• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SHEAR DAN DAYA APUNG MAGNETIK TERHADAP PROSES DINAMO DI MATAHARI (INFLUENCE OF SHEAR AND MAGNETIC BUOYANCY ON SOLAR DYNAMO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SHEAR DAN DAYA APUNG MAGNETIK TERHADAP PROSES DINAMO DI MATAHARI (INFLUENCE OF SHEAR AND MAGNETIC BUOYANCY ON SOLAR DYNAMO)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

89

PENGARUH SHEAR DAN DAYA APUNG MAGNETIK TERHADAP

PROSES DINAMO DI MATAHARI

(INFLUENCE OF SHEAR AND MAGNETIC BUOYANCY ON SOLAR

DYNAMO)

Muhamad Zamzam Nurzaman Pusat Sains Antariksa LAPAN

Jl. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 e-mail: muhamad.zamzam@lapan.go.id

ABSTRACT

Solar activity rises and falls with 11-year cycle. This activity characterized by numbers and surface area of sunspots. Sunspots has strong magnetic field which hypothetically generated from Tachocline, the area below convective zones, through dynamo process inside solar interior. This dynamo process which can maintain solar magnetism until today, is related to generation of toroidal field from poloidal field and vice versa. Toroidal field can be described by shear velocity in the solar interior, meanwhile poloidal field can be described by magnetic buoyancy. To understand effect of shear and magnetic buoyancy, I employed magnetohydrodynamics simulations at stable layers and under influence of locally shear. Non-dimensional parameters like magnetic Reynold number affect the result of simulations. The result of simulations show that magnetic buoyancy appeared when magnetic diffusivity at the order of 10-2. However, when at the lower value, there is no effect of magnetic buoyancy. Also, the dynamo process can be generated when shear is present.

Keywords: sunspots, sun’s interior: dynamo process, magnetic buoyancy

ABSTRAK

Aktivitas matahari naik dan turun dalam rentang waktu 11 tahunan. Indikator utama dari aktivitas matahari ialah adanya bilangan dan luas area bintik. Bintik matahari mempunyai medan magnet yang sangat kuat. Medan magnet tersebut dipercaya berasal dari daerah di bawah zona konveksi yang disebut Tachocline serta dihipotesiskan muncul karena proses dinamo di dalam interior matahari. Suatu rangkaian proses dinamo yang bisa mempertahankan medan magnet matahari hingga saat ini, berkaitan dengan pembentukan medan toroidal dari poloidal dan pembentukan medan poloidal dari toroidal. Medan toroidal bisa dideskripsikan dari pengaruh shear kecepatan di interior matahari, sedangkan medan poloidal bisa digambarkan oleh daya apung magnetik. Untuk menggambarkan pengaruh shear dan daya apung magnetik dilakukan simulasi magnetohidrodinamika (MHD) dalam lapisan stabil dan dibawah pengaruh shear secara lokal. Parameter non-dimensi seperti bilangan magnetik Reynold ternyata mempengaruhi hasil simulasi. Hasil simulasi menunjukkan daya apung terlihat saat difusivitas magnetiknya memiliki orde 10-2. Akan tetapi saat nilainya lebih kecil dari orde tersebut pengaruh daya apungnya tidak terlihat. Sedangkan shear kecepatan mempengaruhi pola medan magnet hasil simulasi. Tanpa adanya shear, terlihat proses dinamo tidak dapat terjadi.

Kata Kunci: bintik matahari, interior matahari: proses dinamo, daya apung magnetik

1 PENDAHULUAN

Lingkungan antariksa sangat

dipengaruhi oleh aktivitas matahari, seperti flare yang sangat berkaitan erat

dengan banyaknya bintik yang muncul di fotosfer. Kemunculan bintik tersebut dipercaya karena adanya struktur magnetik yang terangkat dari suatu

(2)

90

lapisan di bawah zona konveksi, yang disebut tachocline (Goode et al., 1991, Spiegel dan Zahn, 1992), menuju fotosfer. Anggapan ini berdasar pada penemuan efek Zeeman yang kuat dari spektrum

bintik oleh Hale (1908). Dengan

demikian, bisa dikatakan bahwa aktivitas matahari disebabkan oleh adanya medan magnet di interior matahari. Sumber pembangkitan medan magnet di interior matahari ini diatributkan pada proses dinamo (Moffat, 1978; Parker, 1979; Krause dan Raedler, 1980; Cameron et

al., 2016). Untuk memahami dinamika

aktivitas matahari seperti lokasi

kemunculan bintik selama satu siklus, yang biasa disebut diagram 'kupu-kupu', atau waktu terjadinya fase maksimum atau minimun dalam satu siklus tidak cukup dengan teori dinamo saja. Beberapa proses fisis lainnya perlu untuk diperhitungkan, seperti rotasi diferensial

matahari, daya apung magnetik,

pergerakan (shear) kecepatan medan magnet, turbulensi di zona konveksi, konsep flux-tube, aliran plasma dalam arah meridional dan proses fisis lainnya.

Daya apung magnetik adalah

kecenderungan fluida yang

termagnetisasi untuk lebih ringan dari sekitarnya yang tidak termagnetisasi lalu akan bergerak naik seperti mengapung, memiliki asal-usul yang cukup jelas (Parker, 1955). Akan tetapi perannya dalam proses dinamo di matahari masih belum begitu jelas. Di satu sisi, daya apung magnetik memberikan mekanisme untuk membatasi besar medan magnet yang diperbolehkan. Dalam kasus ini, ketidakstabilan daya apung magnetik mengendalikan amplitudo proses dinamo

akan tetapi tidak secara aktif

mempengaruhi proses pembangkitan medan magnet. Pada sisi yang lain jika efek-α (salah satu proses pembangkitan medan magnet dalam teori dinamo)

memang benar berkaitan dengan

pemuntiran struktur medan magnet yang sedang naik ke permukaan, maka daya apung magnetik merupakan mekanisme penting yang membangkitkan proses

dinamo. Untuk kasus pertama proses dinamo akan tetap terjadi meskipun tidak ada daya apung magnetik, sedangkan dalam kasus kedua, proses dinamo terjadi karena adanya daya apung magnetik. Selain daya apung, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam proses dinamo di matahari adalah shear kecepatan. Shear kecepatan memberikan penggambaran sederhana efek-Ώ (salah

satu proses pembangkitan medan

magnet dalam teori dinamo) yang membentuk medan toroidal dari medan poloidal (Cline et al., 2003).

Penelitian ini dilakukan untuk untuk memahami peran dari daya apung dalam proses dinamo di matahari menggunakan pemodelan numerik yang cukup sederhana dalam daerah terbatas

dengan shear kecepatan yang

terlokalisasi.

2 DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari hasil simulasi numerik proses dinamo di matahari melalui persamaan-persamaan teori dinamo. Teori dinamo secara umum tersusun dari persamaan induksi dan persamaan aliran fluida dalam bentuk plasma. Gabungan dari kedua persamaan

tersebut biasa disebut persamaan

magnetohidrodinamika (MHD).

2.1 Persamaan Induksi

Persamaan induksi digunakan untuk menggambarkan sifat medan magnet di interior matahari dan diperoleh

dari persamaan Maxwell tentang

ektrodinamika yaitu:

denganρ0 adalah kerapatan muatan, ε0 adalah permeativitas dalam vakum, E

0 0 ε ρ = E   (2-1) 0 = B   (2-2) t =      E B (2-3) t + μ = 0     B j E (2-4)

(3)

91

medan listrik, B adalah medan magnet, j adalah kerapatan arus dan μ0 adalah permeabilitas dalam vakum. Pada kasus di matahari, persamaan Gauss untuk medan listrik (2-1) tidak digunakan karena skala global matahari total muatan dianggap bernilai nol. Persamaan Gauss untuk medan magnet (2-2) menggambarkan bahwa tidak ada medan magnet yang monopol, atau sumber titik medan magnet. Semua garis gaya harus mempunyai dua ujung, artinya minimal medan magnet mempunyai dua kutub. Persamaan Faraday (2-3) menggambarkan bahwa rotasi dari medan magnet hanya ditentukan perubahan medan magnet terhadap waktu saja. Untuk kasus di matahari, kecepatan plasma dianggap jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya (u  c), sehingga persamaan Ampere (2-4)

akan menjadi lebih sederhana yaitu

Hukum Ampere (2-5) memberikan informasi bahwa rotasi dalam medan magnet akan menghasilkan arus listrik.

Jika persamaan (2-3) dan (2-5)

digabungkan dengan hukum Ohm (2-6), yang memasukkan gaya Lorentz dalam resistansi,

maka akan didapatkan persamaan induksi, dengan σ μ = η 0 1 merupakan difusivitas magnetik. Di sini σ adalah konduktivitas

magnetik. Suku pertama ruas kanan persamaan (7) menyatakan proses konveksi yang melibatkan pergerakan plasma, sedangkan suku kedua ruas

kanan menyatakan proses difusi.

Persamaan (7) atau persamaan induksi

merupakan persamaan kunci

pendekatan MHD.

Untuk menggambarkan proses dinamo, kedua suku di ruas kanan perlu dipahami dengan benar. Jika hanya terjadi difusi, proses dinamo tidak mungkin terjadi. Sebaliknya jika hanya proses konveksi yang terjadi, MHD berada dalam bentuk idealnya dan tidak akan menghasilkan fluks artinya tidak akan ada bintik matahari baru yang muncul. Mencari solusi dari persamaan lengkap induksi (7) yang menggabungkan proses konveksi dan difusi untuk membuat fluks medan magnet baru atau lebih tepatnya melipatgandakan fluks yang sudah ada menjadi salah satu permasalahan dalam teori dinamo.

2.2 Persamaan Fluida Plasma

Asumsi plasma di matahari sebagai suatu fluida tunggal memberikan implikasi kemudahan bahwa sifat-sifat partikel individu penyusun plasma yaitu ion dan elektron tidak diperhitungkan, sehingga dinamika dan kinematika gerak dari plasma bisa digambarkan oleh persamaan hidrodinamika. Berikut ini set persamaan hidrodinamika yang dipakai: u u      ρ = ρ + t ρ (2-8) + ρ + g + P ρ = + t B j u u u        1 1 (2-9) 0 = s u + t s     (2-10)

Persamaan 2-8 merupakan persamaan kontinuitas massa yang diperlukan untuk menjamin kekekalan massa plasma dalam sistem. Persamaan 2-9 merupakan persamaan momentum yang didalamnya berupa gaya-gaya yang bekerja pada plasma yaitu gradien tekanan, gaya gravitasi, gaya lorentz dan

suku disipatif dan ν merupakan

j B = μ0   (2-5)

E u B

J = σ +  (2-6)

u B

B B 2       η = t (2-7)

(4)

92

viskositas kinematic fluida. Persamaan 2-10 merupakan persamaan kekekalan entropi.

2.3 Bilangan Tak Berdimensi

Untuk memberikan gambaran yang mudah dipahami tentang perilaku medan magnet dalam fluida plasma, beberapa bilangan tak berdimensi bisa membantu.

2.3.1 Bilangan Reynolds

Bilangan Reynolds diartikan

sebagai rasio momen inersia terhadap difusivitas fluida, yaitu

ν UL =

Re (2-11)

Pada persamaan (2-11), U

merupakan karakteristik kecepatan

fluida, L merupakan karakteristik

panjang, dan ν viskositas kinematik

fluida.

2.3.2 Bilangan Magnetik Reynolds

Bilangan magnetik Reynold

diartikan sebagai rasio dari suku

konveksi dan suku difusi pada

persamaan (2-7) dengan menggunakan nilai karakteristiknya, yaitu

η UL = L ηB L UB = Rem 2 / / (2-12)

Dari persamaan 2-12 didapati bahwa Rem sebanding dengan L, artinya

untuk kasus astrofisika termasuk

matahari, nilai Rem lebih besar dari kasus

yang ada di bumi. Oleh karena itu, untuk kasus di matahari Rem pasti jauh lebih

besar dari 1.

2.3.3 Bilangan Prandtl

Bilangan Prandtl diartikan sebagai rasio dari laju difusivitas viskositas kinematik fluida terhadap laju difusivitas termal, yaitu k μ c = Pr p (2-13)

dimana cp kapasitas panas dalam

tekanan tetap, μ viskositas dinamik, dan

k konduktivitas termal.

2.3.4 Bilangan Magnetik Prandtl

Bilangan Magnetik Prandtl

diartikan sebagai rasio difusivitas momentum terhadap difusivitas magnetik, yaitu k ρ ηc = ζ p 0 (2-14)

dimanaρ0 merupakan kerapatan pada batas atas.

2.3.5 Bilangan Chandrasekhar

Bilangan Chandrasekhar diartikan melalui persamaan μη μ d B = Q 0 2 2 0 (2-15) dimana B0 adalah besar medan magnet

poloidal horizontal, d adalah kedalaman lapisan.

2.4 Daya apung magnetik

Toeri tentang daya apung

magnetik pertama kali diusulkan oleh Parker (1955). Secara teori, daya apung magnetik mudah untuk dipahami. Jika ada medan magnet maka akan muncul juga tekanan magnetik,

μ = Pmag 2 2 B (2-16) Benda yang mempunyai medan magnetik internal akan mempunyai tekanan total yang sama dengan tekanan total dari sekitarnya. Sehingga tekanan termal di dalam benda tersebut akan menurun mengikuti persamaan luar th dalam mag dalam th + P = P P (2-17)

Agar tekanan termal di dalam benda tersebut bisa turun, nilai kerapatan benda tersebut akan mengecil, lalu benda tersebut akan mengapung karena adanya perbedaan kerapatan di dalamnya dengan sekeliling.

(5)

93

2.5 Simulasi Numerik

Simulasi dijalankan dengan

menggunakan program pencil

(Brandenburg dan Dobler, 2002). Inti dari

pencil adalah memecahkan persamaan

diferensial sebagian dalam 3 dimensi, 2 dimensi, 1 dimensi bahkan 0 dimensi, bisa menggunakan laptop atau super komputer yang mempunyai ribuan prosesor. Pencil juga dapat dipakai untuk simulasi berbagai fenomena fisis di matahari, mulai dari interior matahari (Kapyla dan Brandenburg, 2009) hingga korona matahari (Bourdin et al., 2013).

2.5.1 Syarat Awal

Flux tabung magnetik yang disimulasikan pada awalnya tidak bergerak dan tidak mengalami shear.

2.5.2 Syarat Batas

Kode program Pencil mempunyai cukup banyak pilihan terkait syarat batas simulasi. Pertama, simulasi ini berjalan dalam suatu kotak tertutup yang berarti pada batas atas dan batas bawah kotak, kecepatan (u) mempunyai nilai nol pada sumbu z. Oleh karena itu syarat simetrik berlaku untuk ux dan uy , dan

anti-simetrik untuk uz . Syarat

anti-simetrik untuk uz artinya kecepatan

bernilai konstan pada sisi atas dan bawah kotak. Syarat batas untuk kerapatan bersifat anti-simetri, artinya kerapatan harus bernilai konstan di sisi-sisi kotak yang menjadi tempat simulasi. Medan magnet mempunyai syarat batas yang sama dengan kecepatan, yakni bersifat simetrik untuk Bx dam By , dan

anti-simetrik untuk Bz .

Syarat batas untuk entropi masih menjadi masalah dalam simulasi ini. Pilihan yang ditawarkan Pencil untuk syarat batas entropi yaitu 'a', 'a2', 'c1', dan 'cT'. Pilihan yang pertama, 'a', mempunyai arti entropi harus bernilai nol di batas bawah dan atas kotak simulasi. Pilihan kedua, 'a2', berarti turunan pertama entropi bernilai nol.

Pilihan ketiga, 'c1', menandakan bahwa flux proses pemanasan dan pendinginan bernilai konstan, sama dengan nilai awalnya. Sedangkan pilihan terakhir, 'cT', menggambarkan temperatur yang tetap di batas atas dan bawah kotak. Masalah utama yang ingin dihindari adalah timbulnya proses konveksi. Sehingga disarankan untuk memilih

syarat batas yang mendukung

pemecahan masalah utama tersebut.

2.5.3 Parameter input

Parameter tak berdimensi seperti bilangan Reynolds, bilangan magnetik Reynolds dan bilangan Prandtl dapat

membantu memahami pentingnya

viskositas, medan magnet serta

difusivitas panas. Di dalam program

pencil, bilangan tak berdimensi tersebut

tidak secara langsung bisa dijadikan

parameter input. Akan tetapi

digambarkan oleh parameter ν, η, dan k yang merupakan salah satu parameter

input dalam kode program pencil. Berikut

ini beberapa contoh kasus untuk nilai ν,

η, dan k yang berbeda-beda (Tabel 3-1).

Untuk keseluruhan satuan waktu (t) dan satuan panjang (x, z) hasil simulasi bersifat agnostik atau tidak mempunyai satuan khusus.

Tabel 3-1: NILAI PARAMETER ν, η, DAN k UNTUK BEBERAPA SIMULASI Kasus Syarat batas

entropi K (W/m K) η (m2/s) Ν (m2/s) E1 c1:cT 0,1 5x10-4 2x10-3 E2 c1:cT 0,1 5x10-2 2x10-3 E3 c1:cT 0,1 5x102 2x10-3 N1 c1:cT 0,1 5x10-4 5x10-3 N2 c1:cT 0,1 5x10-2 2x10-2 N3 c1 0,1 5x10-2 2x10-3 K1 c1:cT 10-3 5x10-4 2x10-3 K2 c1:cT 10-3 5x10-4 1x10-3 K3 c1 10-3 5x10-4 2x10-3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Simulasi tanpa shear

Hasil simulasi tanpa melibatkan

shear mempelihatkan pola seperti

Gambar 3-1 untuk energi magnetik serta Gambar 3-2 untuk energi kinetik (kontur

(6)

94

warna merah bernilai paling tinggi, sedangkan warna biru paling rendah). Saat awal simulasi (t=0,2) hingga akhir simulasi (t=20), energi magnetik hanya sedikit mengalami perubahan nilai. Artinya selama proses simulasi tanpa

shear, hampir tidak ada medan magnet

yang terbentuk, entah medan magnet toroidal maupun poloidal. Hal ini menandakan bahwa proses dinamo tidak berlangsung dalam simulasi tanpa shear. Jika tidak terdapat shear kecepatan, maka tekanan gas akan menurun sampai ke tempat medan magnet kuat berada. Lalu gas tersebut akan kembali naik

akibat daya apung magnetik.

Gambar 3-1: Kontur kerapatan energi magnetik tanpa shear saat t=0,2 (atas) dan t=20 (bawah) dalam bidang xz.

Pola seperti itu tidak terlihat dari Gambar 3-1 yang artinya tidak ada daya apung yang bekerja. Daya apung tidak terjadi dimungkinkan karena kuat medan magnet di daerah tekanan gas yang menurun tadi tidak terlalu besar, sehingga tekanan magnet juga tidak terlalu besar (persamaan 16) untuk

membuat plasma yang sudah

termagnetisasi mengapung.

Gambar 3-2: Kontur kerapatan energi kinetik tanpa shear saat t=0,2 (atas) dan t=20 (bawah) dalam bidang xz Energi kinetik, saat awal simulasi (t=0,2) hingga akhir (t=20), mengalami perubahan yang cukup signifikan seperti

yang terlihat pada Gambar 3-2.

Komponen kecepatan dalam arah x dan y (Gambar 3-3) memperlihatkan adanya fluktuasi nilai. Fluktuasi inilah yang

diperkirakan menyebabkan energi

kinetik mengalami perubahan yang cukup signifikan dari awal hingga akhir simulasi.

Gambar 3-3: Grafik uy (atas) dan ux (bawah)

terhadap waktu untuk kasus tanpa shear. Satuan dalam m/s

(7)

95 Gambar 3-4: Kontur kerapatan energi magnetik untuk kasus E1 saat t=0,1 (kiri atas), t=3,2 (kanan

atas), t=8(kiri bawah), dan t=20 (kanan bawah) dalam sumbu xz.

3.2 Simulasi dengan shear

Dari simulasi kasus-kasus pada Tabel 3-1, yang hasil simulasinya bermasalah yaitu kasus E3 yang mengambil nilai η > 0. Untuk kasus astrofisika, termasuk di matahari, nilai difusivitas magnetik yang realistis adalah η << 0 supaya menghasilkan bilangan magnetik Reynolds yang besar. Semua

kasus yang melibatkan shear,

memberikan hasil simulasi yang normal, artinya semua parameter keluaran mempunyai nilai yang berubah selama simulasi berjalan. Hanya kasus E3 yang menunjukkan hasil yang tidak normal yaitu waktu yang menggambarkan evolusi setiap parameter keluaran tidak bertambah selama simulasi berjalan.

Gambar 3-4 merupakan hasil

simulasi untuk kasus E1 yang

mempunyai nilai difusivitas magnetik yang kecil. Energi magnetik saat awal simulasi (t=0,2) mempunyai luas yang cukup besar, tapi seiring dengan meningkatnya waktu luasnya semakin

kecil dikarenakan adanya shear

kecepatan. Dari hasil ini, bisa dikatakan jika shear telah membantu pembentukan

medan toroidal seperti yang dijelaskan oleh Cline et al., 2003. Selama waktu simulasi (dari t=0,2 hingga t=20) energi magnetik tidak mengalami peubahan

dalam sumbu z. Hal tersebut

menandakan bahwa daya apung

magnetik tidak membuat plasma

termagnetisasi mengapung yang

kemungkinan disebabkan oleh besar medan magnet awal yang tidak begitu besar.

Medan toroidal digambarkan oleh komponen x dari medan magnet seperti Gambar 3-5 (warna biru menunjukkan nilai yang paling tinggi, warna merah paling rendah). Saat t=0,2 medan magnet mempunyai area dari z = 1.5 s.d. z = -2.5. Karena pengaruh shear area Bx

berkurang menjadi hanya di sekitar z = -2 saat t=8. Seiring dengan hal tersebut, muncul medan Bx atau medan toroidal

baru di z = -1,7 dan z = -2,3 dengan besar nilai yang lebih kecil dari medan toroidal saat t=0,2. Jika dibandingkan dengan kasus tanpa shear (Gambar 3-1), terlihat memang benar shear bisa membantu pembentukan medan toroidal seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3-5.

(8)

96

Gambar 3-5: Kontur Bx untuk kasus E1 saat t=0,2 (kiri) dan t=8 (kanan) Kasus dalam Tabel 3-1

mengguna-kan dua syarat batas untuk entropi, yakni c1 dan c1:cT. Syarat batas c1 artinya flux panas di batas atas dan batas bawah simulasi bernilai konstan. Syarat batas c1:cT artinya mempunyai flux panas yang tetap di batas bawah dan temperatur yang konstan di batas atas simulasi. Pemilihan syarat batas ini menjamin tidak ada pertukaran panas yang terjadi antara tempat simulasi dan lingkungannya, sehingga lapisan yang stabil bisa tetap terjaga selama simulasi. Lapisan yang stabil ini menandakan jika proses konveksi tidak terjadi. Jadi jika ada pergerakan plasma termagnetisasi karena adanya daya apung magnetik bukan karena konveksi. Pemilihan syarat batas ini memang tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di matahari yang mempunyai daerah konveksi. Akan tetapi pemilihan syarat batas ini berguna untuk memahami sejauh efek daya apung magnetik.

Kerapatan energi kinetik untuk kasus E1 (Gambar 3-6) menunjukkan perubahan energi yang begitu cepat dari t=0,2 hingga t=0,8. Seiring berjalannya waktu, energi kinetik terbesar, yang berpusat di sekitar x= -0,75 saat t=0,2, bergerak ke arah x positif. Perubahan energi kinetik yang terjadi dalam waktu

relatif cepat menunjukkan shear

kecepatan mempunyai pengaruh cukup signifikan untuk kasus ini. Nilai beberapa parameter masukan untuk kasus E1 di antaranya η = 5 x 10-4, ν = 2 x 10 -3, dan

k = 0.1. Besar nilai parameter tersebut

ternyata belum cukup untuk

menunjukkan pengaruh dari daya apung. Untuk mengetahui pengaruh daya

apung, akan lebih mudah dengan mengubah nilai awal medan magnet. Semakin besar nilai awal medan magnetnya, kemungkinan besar pengaruh daya apung akan terlihat.

Akan tetapi dalam penelitian ini, besar nilai awal medan magnet tidak menjadi variabel yang berbeda untuk setiap kasus. Artinya semua kasus di Tabel 3-1 mempunyai besar nilai awal medan magnet yang sama. Parameter yang diubah untuk melihat pengaruh dari daya apung adalah parameter tak berdimensi η, ν, dan k. Hasil simulasi untuk nilai parameter tersebut yang berbeda dengan kasus E1 (contoh yang diambil kasus N3) terlihat seperti Gambar 3-7. Kasus N3 mengambil nilai η = 5 x 10-2, ν = 2 x 10-3, dan k = 0.2 dan

dengan syarat batas entropi yaitu mempunyai nilai yang konstan di batas atas dan bawahnya.

Gambar 3-7 merupakan kontur energi magnetik untuk kasus saat t = 2 hingga t=20. Dari Gambar tersebut terlihat perubahan posisi dari sekitar z = -2,0 saat t=2 menjadi z = -1,5 dan z = 2.5 saat t = 20. Kerapatan energi magnetik berpindah ke posisi yang lebih tinggi disebabkan oleh daya apung magnetik.

Meskipun nilai awal medan magnet kasus N3 sama dengan kasus E1 yang tidak terlihat adanya pengaruh daya apung, akan tetapi di kasus N3 justru terlihat pengaruh dari daya apung. Yang membedakan kedua kasus tersebut adalah nilai difusivitas magnetiknya (η) dengan kasus N3 mempunyai η yang lebih kecil dari η di kasus E1. Parameter η sebenarnya mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap turbulensi

(9)

97

magnetik yang terjadi di matahari.

Parameter yang menggambarkan

langsung turbulensi magnetik di

matahari yakni bilangan magnetik Reynolds dan η merupakan salah satu parameter dalam persamaan tersebut (12). Jadi bisa dikatakan daya apung juga terpengaruh oleh turbulensi magnetik tidak hanya nilai awal medan magnet saja.

Pengaruh dari turbulensi medan magnet mungkin tidak sebesar pengaruh nilai awal medan magnet karena medan

magnet tersirat dalam persamaan

tekanan magnetik (persamaan 16) sedangkan turbulensi mangetik yang digambarkan oleh bilangan magnetik Reynold tidak ada dalam persamaan tersebut. Hal ini dipertegas dengan pengertian daya apung yang berkaitan dengan tekanan magnetik (Parker, 1955).

Gambar 3-6: Kontur kerapatan energi kinetik untuk kasus E1 saat t=0,2 (kiri atas), t=0,4 (kanan atas), t=0,6 (kiri bawah), dan t=0,8 (kanan bawah) dalam sumbu xz.

Gambar 3-7: Kontur kerapatan energi magnetik untuk kasus N3 saat t=2 (kiri atas), t=10 (kanan atas), t=12 (kiri bawah), dan t=20 (kanan bawah) dalam sumbu xz.

(10)

98

4 KESIMPULAN

Daya apung magnetik terlihat mempengaruhi proses dinamo saat nilai η = 5x10 -2. Sedangkan saat η = 5x10-4

tidak terlihat pengaruh dari daya apung magnetik tersebut. Besar nilai awal medan magnet, yang merupakan faktor langsung dalam menentukan daya apung magnetik, diasumsikan sama untuk semua kasus penelitian ini. Oleh karena itu bisa dipastikan daya apung magnetik terjadi karena ada perubahan nilai η. Selain perubahan nilai η, parameter lain yang diubah adalah syarat batas simulasi. Pengaruh daya apung magnetik terlihat di hasil simulasi saat syarat batas atas dan bawah simulasi untuk entropi mempunyai nilai tetap.

Pengaruh shear kecepatan

digambarkan oleh perubahan posisi medan magnet dalam arah toroidal (sumbu x). Shear kecepatan menjadi parameter yang bisa dimasukkan atau tidak dalam simulasi. Saat shear tidak terlibat dalam simulasi, tidak ada perubahan pola magnetik. Dengan kata lain proses dinamo tidak terjadi. Sedangkan semua kasus yang memakai

shear dalam simulasinya, luas dari energi

magnetik mengalami perubahan menjadi lebih kecil. Artinya ada proses dinamo yang terjadi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih tak terkira penulis sampaikan kepada Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc atas diskusinya, serta Tim Redaksi Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara dan Mitra Bestari.

DAFTAR RUJUKAN

Bourdin, P. A., S. Bingert and H. Peter, 2013.

Observationally Driven 3D

Magnetohydrodynamics Model of the Solar Corona Above an Active Region. Astronomy

& Astrophysics, A123.

Brandenburg, A. and Dobler, 2002.

Hydromagnetic Turbulence in Computer

Simulations. Computer Physics

Communications, 147:471-475.

Cameron, R. H., M. Dikpati and A. Brandenburg, 2016. The Global Solar Dynamo. Space Science Reviews, 1-29.

Cline, K. S., N. H. Brummel and F. Cattaneo, 2003. Dynamo Action Driven by Shear and

Magnetic Buoyancy. Astrophysical

Journal, 599: 1449-1468.

Goode, P. R., W. A. Dziembowsik, S. G. Korzennik and E. J. Rhodes, 1991. What

We Know About the Sun's Internal Rotation from Solar Oscillations. Astrophysical Journal, 367:649-657.

Hale, G. E., 1908. The Zeeman Effect in the Sun.

Publications of the Astronomical Society of the Pacific, 287.

Kapyla, P. J.and A. Brandenburg, 2009.

Turbulent Dynamos with Shear and Fractional Helicity. The Astrophysical Journal, 1059-1066.

Krause, F. and K. H. Raedler, 1980. Mean-field

Magnetohydrodynamics and Dynamo

Theory. Pergamon Press.

Moffat, H. K., 1978. Magnetic Field Generation in

Electrically Conducting Fluids. Cambridge

un4ersity Press.

Parker, E. N., 1955. The Formation of Sunspots

from the Solar Toroidal Field.

Astrophysical Journal, 121:491.

Parker, E. N., 1979. Cosmical Magnetic Fields. Oxford: Clarendon.

Spiegel, E. A. and J. P. Zahn, 1992. The Solar

Tachocline. Astronomy And Astrophysics,

Gambar

Gambar 3-1: Kontur kerapatan energi magnetik  tanpa  shear  saat  t=0,2  (atas)  dan  t=20 (bawah) dalam bidang xz
Gambar  3-4  merupakan  hasil  simulasi  untuk  kasus  E1  yang  mempunyai  nilai  difusivitas  magnetik  yang  kecil
Gambar 3-5:   Kontur B x  untuk kasus E1 saat t=0,2 (kiri) dan t=8 (kanan)  Kasus dalam Tabel 3-1
Gambar 3-7: Kontur kerapatan energi magnetik untuk kasus N3 saat t=2 (kiri atas), t=10 (kanan atas),  t=12 (kiri bawah), dan t=20 (kanan bawah) dalam sumbu xz

Referensi

Dokumen terkait

KAJIAN EFISIENSI OPERASIONAL KERETA API KOTA BANDUNG STUDI KASUS KA ARGO PARAHYANGAN BANDUNG-JAKARTA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Dengan banyaknya informasi yang ada dalam laporan tersebut sejumlah 78 tabel dan grafik yang harus dibaca oleh para eksekutif dalam hal ini yang dimaksud adalah pihak bupati

Selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif untuk setiap data penelitian yang diperoleh untuk penarikan kesimpulan penelitian berupa temuan miskonsepsi siswa

Kemudian masing-masing ekstrak kental dari varietas wortel, yaitu ekstrak n-heksan, etil asetat dan metanol diuji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH secara

Komunikasi yang dilakukan oleh guru baik dalam verbal maupun nonverbal digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak lain adalah informasi materi kepada siswa.. Hal

Beberapa pengamat memperkirakan apabila pemerintah Vietnam tidak mengambil langkah untuk mengatasi penyebab perubahan iklim maka pada tahun 2050 nanti Delta Sungai Mekong

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa pada materi luas permukaan kubus dan balok dan untuk mengetahui apakah penerapan pendekatan ilmiah

Adapun pembelajaran Peer Lessons menurut Silbermen (2014: 185) yaitu menentukan sub materi, membagi kelompok berdasarkan jumlah sub materi, setiap kelompok diberi