II
PANDANGAN TEORITIS
2.1. Keaslian PenelitianKajian tentang zakat sebagai pranata keagamaan, telah banyak mendapat perhatian para ahli/ulama, mulai dari kitab-kitab fiqh klasik maupun kitab-kitab fiqh kontemporer. Salah satu kitab fiqh zakat yang boleh dipandang lengkap, dengan kajian komprehensif adalah Fiqh az-Zakât karya Yusuf Qaradawi (1994). Sungguhpun karya ini dipandang lengkap akan tetapi pembahasannya sangat diwarnai kajian ―normatif‖ (Idris, 1997). Zakat lebih dilihat dalam kerangka ajaran agama yang menonjolkan dimensi normatif ketimbang dimensi sosialnya. Keberadaan dan bekerjanya sebuah rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang memberi warna bagaimana zakat dipahami atau dikonstruksi secara sosial dalam masyarakat, belum banyak terlihat.
Beberapa kajian terdahulu pada level tesis yang mengkaji zakat, misalnya: Khasanah (2001), mengkaji tentang Model Pengelolaan Dana Zakat di Indonesia, yang menemukan dan menggambarkan empat model lembaga tatakelola zakat, yaitu: model birokrasi (pemerintah), model organisasi swasta (industri), model
organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan model tradisional. Khasanah
(2001) menyatakan bahwa pengelolaan zakat model pertama, kedua dan ketiga mengalami kemajuan dan mampu mengumpulkan dana zakat dalam jumlah besar, sebaliknya lembaga model keempat hanya mampu membuat kinerja konstan. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan oleh perbedaan manajemen tatakelola (negara, bisnis dan ormas berbasis sains modern sedangkan model tradisional berbasis budaya dan pengetahuan lokal).
Palmawati (2002), yang meneliti ―Zakat dan Pengentasan Kemiskinan‖ di Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, menemukan bahwa konstribusi zakat terhadap pengentasan kemiskinan di Donggala masih sangat lemah.
Penyebab utama menurut Palmawati adalah lemahnya manajemen
kelembagaan, tidak terlibatnya tokoh masyarakat sehingga kurangnya kepercayaan masyarakat. Tidak ada kepastian hukum karena pemerintah daerah tidak terlibat. Palmawati merekomendasikan agar pemerintah daerah berperan aktif mendukung lembaga zakat dan pengelolaan zakat. Dua penelitian ini mengedepankan sains modern dengan logika politik, sehingga keterlibatan
pemerintah dianggap sebagai kunci utama untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat.
Takidah (2001) meneliti tentang ―Pengaruh Kualitas Jasa Badan Amil Zakat
Nasional pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki‖, menemukan adanya
ketidakpuasan masyarakat terhadap Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini berakibat pada rendahnya kepercayaan masyarakat. Temuan yang sama oleh Hardianto (2003), terhadap BAZIS DKI, bahwa rendahnya kepercayaan dikarenakan lemahnya sumber daya manusia pengelola dan kurangnya dukungan negara. Berbeda dengan temuan Firdaus (2004) yang meneliti
Strategi-strategi Penggalangan Dana Filantropi Islam Oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) tahun 2002-2003, menemukan bahwa BAZNAS menghadapi
persoalan kepercayaan masyarakat karena keterlibatan negara. Ini ditunjukkan bahwa keterlibatan negara juga bisa membawa persoalan kepercayaan publik..
Indrijatiningrum (2005), dengan menggunakan analisis SWOT (Sthength,
Weakness, Opportunity, Threat) dan HAP (Hierarchy Analysis Process),
menemukan bahwa; ada gap yang sangat besar antara potensi dan realisasi yang teridentifikasi disebabkan oleh masalah kelembagaan tatakelola zakat berupa masalah kesadaran masyarakat dan masalah sistem manajemen zakat yang belum terpadu. Oleh karena itu Indrijatiningrum (2005) merekomendasikan kebijakan penerapan sanksi bagi muzakki yang tidak berzakat, meningkatkan kualitas SDM pengelola, profesionalitas, kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi pangelolaan zakat dan mengintegralkan pelaksanaan sistem pajak dan zakat secara nasional. Skenario terbaik menurut Indrijatiningrum adalah dengan reformasi perundang-undangan.
Zuhraini (2004), mengelaborasi zakat menyangkut ―Konsepsi Kekuatan
Zakat dalam Pemberdayaan Umat‖, yang mencoba membongkar konsep-konsep
zakat terkait dengan pemberdayaan masyarakat miskin. Zuhraini menyimpulkan bahwa; zakat bukanlah sekedar ibadah akan tetapi dalam perintah zakat ditemukan konsep-konsep pemberdayaan yang tergambar dalam delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, yang kesemuanya orang yang lemah (kecuali amil dan fisabilillah) yang butuh diberdayakan.
Khatimah (2006), yang mengkaji Community Development Circle (CDC) Dompet Dhuafa Republika Tahun 2001-Maret 2004, menemukan bahwa; ada pengaruh yang signifikan antara distribusi dana zakat dengan peningkatan
kesejahteraan mustahik. Hal yang sama ditemukan oleh Mufraini (2001) bahwa; tingkat pendapatan dan konsumsi mustahik mengalami perubahan secara signifikan sesudah menerima dana zakat. Hanya saja, belum terlihat perubahan status dari mustahiq menjadi muzakki. Sementara Hidayat (2004), menemukan bahwa masyarakat mandiri yang dikelola oleh Lembaga Amil Dompet Dhuafa di Bekasi, menunjukkan bahwa bantuan pembiayaan meningkatkan pendapatan
mustahik. Berbeda dengan temuan Muslim (2005), dalam penelitiannya tentang
―Pengaruh Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) terhadap Peningkatan Penghasilan
Para Mustahik” menemukan bahwa bantuan-bantuan dana yang disalurkan
ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan perekonomian mustahik. Hal ini dikarenakan kecilnya dana dan kurangnya motivasi kerja para musthik penerima dana zakat.
Kajian-kajian di atas, meski memperlihatkan adanya perbedaan basis pengetahuan antara model lembaga tatakelola, namun tidak sampai pada pembahasan bagaimana pengetahuan bekerja dan membangun kekuasaan dalam empat lembaga tersebut. Menemukan kurangnya kepercayaan publik, para peneliti mengabaikan bekerjanya rezim pengetahuan sebagai basis rasionalitas yang mampu membangun kepercayaan publik itu bisa dibangun, padahal kepercayaan publik amat tergantung pada sebuah rezim pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif yang mengarahkan logika publik. Para penelitian di atas juga menemukan kegagalan lembaga zakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan rendahnya motivasi mustahik. Persoalan ini tidak dilihat sebagai sebuah fenomena hasil dari konstruksi sosial masyarakat terhadap zakat dan bantuan zakat.
Permono (1988) melalui disertasinya : ―Pendayagunaan Zakat di Samping
Pajak dalam Rangka Pembangunan Nasional”, yang mengkaji persamaan zakat
dan pajak, menyatakan zakat untuk pembangunan nasional, dan pemerintah sebagai amil zakat. Dengan pendekatan normatif, Permono mencoba mengelaborasi unsur-unsur yang menghubungkan zakat dan pajak dalam konteks pembangunan nasional, dan menekankan pentingnya zakat dan pajak dalam konteks penguatan ekonomi dan politik negara menuju pembangunan yang memberdayakan rakyat. Disertasi Permono tersebut merupakan kajian kepustakaan dengan fokus pada kitab-bitab zakat, undang-undang perpajakan dan tulisan-tulisan lainnya yang membahas tentang zakat dan pajak. Permono di
sini mengabaikan subjektifitas masyarakat zakat, konstruksi sosial zakat dan dinamika pengetahuan serta sistem rasionalitas masyarakat, makanya Permono merekomendasikan negara sebagai pengelola tunggal zakat.
Qadir (1998) dalam disertasinya ― Zakat dalam Dimensi Ibadah Mahdhah
dan Sosial―, menelaah zakat dari konsep keadilan dengan menggunakan
pendekatan filosofis dan kontekstual. Dalam kajiannya, Qadir mencoba melihat zakat dari dua dimensi, yaitu : dimensi Mahdhah dan Ghairu Mahdhah (Sosial) yang dielaborasinya dengan menganalisis dimensi ibadah sebagai perintah agama yang wajib dari Allah SWT dan dimensi sosial. Konsekuensi kehambaan dan keberagamaan terwujud dalam bentuk ibadah yang merupakan bangunan hubungan yang bersifat vertikal (hablun min-Allah). Sementara dari dimensi sosial, Qadir mengelaborasi bagaimana fungsi-fungsi sosial zakat dalam bangunan hubungan horzontal (hablun min-al-nas) sebagai bentuk solidaritas sosial kepada kaum lemah (mustahik) dan perwujudan keadilan sosial bernuansa spiritual. Qadir kemudian merumuskan beberapa fungsi sosial zakat, yaitu: a. Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di
kalangan masyarakat Islam.
b. Menghindari kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat.
c. Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana alam.
d. Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekacauan dalam masyarakat.
e. Menyediakan dana teknis dan khusus dalam menanggulangi biaya hidup bagi gelandangan, pengangguran, dan tuna sosial lainnya, termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memiliki dana untuk itu (Qadir, 1998 : 76).
Dasril (2000) dengan disertasinya : ―Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi
Kemiskinan di Jakarta Pusat ―, yang menfokuskan kajian pada pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BAZIS DKI Jakarta. Dasril mencoba melihat upaya apa saja yang telah dilakukan berikut faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, Dasril mencoba menganalisis program-program aksi yang telah dilakukan dan menemukan berbagai kendala sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh BASIZ DKI dalam pengelolaan dana zakat, Infaq dan shadaqah (ZIS) menuju upaya pengentasan kemiskinan di Jakarta Pusat. Sayangnya Dasril terlalu fokus pada program-program kerja BASIZ DKI, akibatnya kurang memperhatikan bagaiaman konstruksi sosial terhadap kelembagaan zakat. Padahal berbagai persoalan dan kendala yang
dihadapi dalam upaya pengentasan kemiskinan berbasis zakat, amat terkait bagaimana zakat dikonstruksi secara sosial dan atas kuasa siapa.
Hafhidhuddin (2001) dengan disertasi berjudul ‖Zakat dalam Perekonomian
Modern―, menekankan masalah sumber-sumber zakat dalam perekonomian
modern dengan menggunakan pendekatan hukum dan ekonomi. Hafhidhuddin mengelaborasi berbagai sumber-sumber dana zakat yang baru dalam konteks ekonomi modern yang berpotensi menunjang pembangunan dan pengentasan kemiskinan umat. Disertasi ini sangat detil menjelaskan berbagai kegiatan ekonomi modern yang bisa menjadi sumber-sumber dana zakat baru, namun di sana beliau masih mengabaikan bagaimana konstruksi sosial zakat dan kaitannya dengan rezim pengetahuan.
Hikam (2004), dengan disertasi yang berjudul: ―Pendayagunaan Zakat
untuk Usaha Produktif“, memfokuskan pembahasan pada pandangan ulama
klasik dan kontemporer berkaitan dengan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif. Relevansi konsep pendayagunaan zakat dikaitkan dengan UU. No. 38 tahun 1999 dengan hukum Islam dan praktek pendayagunaan zakat di beberapa lembaga zakat yang ada di Indonesia. Pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan filsafat hukum Islam yang bernuansa normatif (Hikam, 2004). Di sini Hikam merekomendasikan transformasi zakat dari bantuan zakat konsumtif menjadi bantuan zakat produktif. Penekanan bantuan zakat produktif menunjukkan kalau di sana rezim pengetahuan ekonomi bekerja dengan penekanan pada pencapaian kesejahteraan dan stabilitas politik negara. Yang terlupakan adalah ulasan tentang bagaimana rezim pengetahuan tersebut dibangun dan bekerja membentuk pemahaman dan tindakan berzakat.
Miftah (2005) dengan disertasinya : ―Zakat dalam Perpektif Hukum Diyâni
dan Qadâ‘i‖ membahas zakat sebagai hukum diyâni dan qadâ‟i, dan
mengkaitkannya dengan UU. Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Miftah menganalisis realitas zakat sebagai aturan/hukum agama (diyâni) dan hukum negara (qadâ‘i). Dengan pendekatan normatif, Miftah berpandangan bahwa zakat sebagai ketentuan agama yang harus ditangani oleh negara dalam konteks kewarganegaraan terkait dengan kepentingan dan kemashlahatan (kebaikan) ummat. Menurut Miftah zakat adalah ibadah yang memiliki tujuan penegakan keadilan sosial dan ekonomi, dan untuk mewujudkannya, negara penting hadir dalam pengelolaan zakat. Negara yang dibayangkan oleh Miftah
dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki keberpihakan pada kemashlahatan masyarakat dan penegakan hukum secara konsisten. Miftah lupa kalau sebuah negara selalu tunduk pada satu rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas. Rezim pengetahuan bekerja membentuk kostruksi sosial zakat dan menggiring tindakan berzakat dan tatakelolanya pada satu titik yang disertai oleh ragam kepentingan.
Selain beberapa tesis dan disertasi yang telah mengkaji zakat dalam berbagai perspektif di atas, terdapat pula sejumlah tulisan terdahulu yang memperbincangkan persoalan zakat. Seperti tulisan Idris (1997) dengan judul ―Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat‖, tulisan Ali (1988) dengan judul ―Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf ―, tulisan Ash-Shidiqy (1976) dengan judul ― Pedoman Zakat ―, tulisan Mas‘udi (1993) dengan judul ― Agama
Keadilan; Risalah Zakat (pajak) dalam Islam―, tulisan Sofwan Idris (1997)
dengan judul: ―Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Islam, sebuah
pendekatan transformatif”, dan Bamualim dan Irfan Abu Bakar (2005) sebagai
editor buku berjudul : ―Revitalisasi Filantropi Islam”, dan (2006) ―Filantropi dan
Keadailan Sosial”. Keseluruhan karya-karya tersebut di atas begitu detil mengkaji
persoalan zakat, akan tetapi hampir belum terlihat secara nyata, ada yang mengupas tentang konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dalam kaitannya dengan sistim rasionalitas dan kepentingan (lihat tabel 2 dan 3). Padahal pemahaman zakat dan sistem tatakelola zakat yang ada, merupakan perwujudan dari konstruksi sosial zakat, sebagai hasil kerja kuasa pengetahuan, sistem rasionalitas dan ragam kepentingan yang menyertainya.
Kehadiran ragam entitas sosial menyuarakan tatakelola zakat, memunculkan berbagai benturan-benturan dan persaingan hingga pertarungan. Akibatnya model relasi-relasi internal dan eksternal yang terbangunpun akan bervariasi dan mengarah pada terbangunnya relasi independensi, interdependensi, dominasi atau malah kooptasi. Mengamati fenomena ragamanya entitas sosial mewacanakan tatakelola zakat dengan asumsi adanya persaingan dan benturan, maka penelitian ini mencoba melihat konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dengan terlebih dahulu memetakan beberapa kajian tentang zakat terkait, yang dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
INDIKATOR PRO NEGARA BIAS CIVIL
SOCIETY ID E N T IT A S
LEMBAGA PENERBIT Yogyakarta UIN UIN Jakarta IPB Bogor
Nama Penulis dan
Tahun Qadir (1998) Permono (1988) Dasril (2000)
Hafhidhuddin
(2001) Hikam (2004) Miftah (2005)
Abd. Malik (2008)
Klasifikasi Kajian Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi Disertasi
Judul
Zakat dalam Dimensi Ibadah Mahdhah dan Sosial
Pendayagunaan Zakat di Samping Pajak dalam Rangka Pembangunan Nasional
Upaya Bazis DKI Jakarta Mengatasi Kemiskinan di Jakarta Pusat Zakat dalam Perekonomian Modern Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif
Zakat dalam Perpektif Hukum Diyâni dan Qadâ‘i
Konstruksi Sosial Kuasa
Pengetahuan Zakat FOKUS KAJIAN fungsi zakat optimalisasi
zakat fungsi zakat inovasi zakat potensi zakat hukum zakat
zakat dan kuasa pengetahuan zakat L A D A N S A N K A J IA N
Landasan Etika asketik, keadilan
& solidaritas
keadilan sosial pemerataan &
kesejahteraan
keadilan sosial keadilan sosial asketik dan
keadilan sosial
pembebasan dan kemandirian Landasan Teoritis
(Paradigma Teoritis) modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi post-struktukral Landasan Normatif norma agama, dan hukum negera agama dan hukum negara agama dan
hukum negara agama
agama dan hukum negara budaya dan norma sosial M E T O D O L O G I
Wilayah Penelitian hukum zakat (agama) hukum zakat (agama) Bazis DKI Jakarta hukum agama dan UU zakat
hukum zakat dan UU zakat
Jambi dan Sumatera Barat
Metode Kajian pustaka pustaka lapangan data sekunder pustaka pustaka lapangan
Pedekatan filsafat hukum hukum ekonomi
pemberdayaan
ekonomi filsafat hukum hukum dan politik
sosiologis
Analisis kualitatif kualitatif kualitatif kuantitatif kualitatif hermeneutik konstruktifif
R E K O M E N D A S I
Basis Kelembagaan Negara Negara Negara Negara Negara Negara masjid
Manajemen modern modern modern modern modern modern hibrid
Landasan Politik hukum agama
dan UU UU UU
hukum agama dan UU
hukum agama
dan UU komunitas masjid
Kuasa Kelembagaan negara negara negara negara negara negara jejaring masjid
TEMUAN zakat berdimensi ke-Tuhan-an dan kemanusiaan agama bersifat dinamis terhadap modernisasi efektifitas zakat harus dengan intervensi negara konstruksi sosial berdialetika dengan kuasa pengetahuan
Tabel 3: Penelitian (Thesis) Tentang Wacana Zakat Bias Negara dan Civil Society
INDIKATOR BIAS NEGARA BIAS CIVIL
SOCIETY ID EN T IT AS
LEMBAGA UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA IPB Bogor
Nama Penulis dan
Tahun Tesis Magister (Hukum dan Ekonomi) Disertasi
Jenis Tulisan Khasanah (2001) Palmawati (2002) Fatahillah (2001) Takidah (2001) Hardianto (2003) Indrijatiningrum
(2005 Khatimah (2006) Abd. Malik (2008)
Judul Model Pengelolaan Dana Zakat di Indonesia Zakat dan Pengentasan Kemiskinan Strategi Kebijakan Pengelolaan Zakat di Bazis DKI Jakarta Analisis Pengaruh pelayalan Baznas pada Kepuasan dan Kepercayaan Muzakki‖, Analisis Kebijakan BAZIS DKI Jakarta Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Membayar Zakat Zakat sebagai Alternatif Penggalangan Dana Masyarakat untuk Pembangunan Pengaruh Zakat Produktif Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Para Mustahik Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat
FOKUS KAJIAN kelembagaan fungsi ekonomi
zakat
stategi
kelembagaan respon pelayanan potensi zakat fungsi sosial zakat fungsi zakat
konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan L AD AN SA N KAJI AN
Landasan Etika solidaritas keadilan sosial kesejahteraan pemerataan keadilan sosial keadilan sosial pemberdayaan pembebasan dan
kemandirian
Landasan Teoritis
(Paradigma) modernisasi modrnisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi modernisasi post-struktukral
Landasan Normatif Norma agama, dan hukum negera Agama dan hukum negara Agama dan UU Agama dan hukum
negara Agama
Hukum agama dan negara
H. agama, negara & norma
Budaya dan Norma sosial MET O D O -L O G I
Wilayah Penelitian Kelemabagaan
Zakat Jakarta
Lembaha zakat Donggala
BAZIS DKI
Jakarta Baznas Jakarta BAZIS DKI Jakarta Kebijakan
Yayasan DD Republika
Jambi dan Sumatera Barat
Metode Penelitian Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan Data sekunder Lapangan
Pedekatan Manajemen Sosial ekonomi Ekonomi kelembagaan Manajemen Manajemen Ekonomi manajemen Sosiologis
Analisis Kualitatif Kualitatif AHP kuantitatif AHP SWOT DAN AHP Kuantitatif Konstruktivis
R EKO MEN -D ASI
Basis Kelembagaan Negara Komunitas dan
negara Negara Berbasis Negara Negara Negara Civil Society Jejaring Masjid
Manajemen
Kelembagaan Modern Modern Modern Modern Modern Modern Modern Hibrid
Landasan Politik Hukum agama dan UU Hukum Agama & UU Hukum Agama & UU Undang-Undang Hukum agama dan
UU
Reformasi Hukum
dan UU Dukungan negara Civil Society
Kuasa Kelembagaan Negara Negara Negara Negara Negara Negara Civil Society Komunitas
KESIMPULAN Ada 4 model lembaga zakat -negara, -bisnis -kemsyarakatan - tradisional Perlu adanya keterlibatan masyarakat dan Pemerintah Daerah agar tujuan zakat optimal. Strategi Penyaluran Bazis Jkt kurang tepat sasaran Pelayanan Baznas tidak berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat
BAZIS DKI Jakarta menghadapi empat kendala yaitu SDM, sarana, anggaran dan peraturan Skenario terbaik meningkatkan realisasi potensi zakat adalah reformasi perundang-undangan Ada hubungan signifikan antara Jenis kelamin, pen-didikan, jenis usaha dan total skim (pembiayaan dari zakat)
Konstruksi sosial berdialetika dengan Kuasa Pengetahuan
Pada tabel 2 dan 3 terlihat pemetaan kajian terdahulu tentang zakat dan tatakelolanya. Pada tabel 2, semua kajian yang berlevel disertasi dengan wacana kajian yang menonjolkan tatakekola zakat pro negara. Pemetaan kajian pada tabel tersebut, menitikberatkan perhatian pada fokus kajian, landasan kajian, metodologi dan rekomendasi serta temuan. Fokus kajian menunjukkan bahwa penumpukan ada pada kajian fungsi dan optimalisasi serta inovasi kelembagaan zakat. Landasan kajian menekankan pada kajian normatif meski sudah terlihat mencoba menyentuh aspek sosial dengan menonjolkan konsep ―keadilan sosial‖ di bawah paradigma modernisasi yang sangat strukturalis.
Pada tabel 3, kumpulan kajian tesis tentang wacana zakat bias negara dan
civil society. Kajian-kajian zakat pada tabel 3 menitikberatkan pada pembahasan
zakat dalam konteks kelembagaan yang melihat fungsi zakat, strategi kelembagaan dan respon masyarakat. Landasan kajian kesemuanya berada di bawah payung modernisasi dengan pendekatan ekonomi dan manajemen kelembagaan. Rekomendasi ketatakelolaan zakat, pada tabel 3 terlihat mengarah pada penekanan kuasa tatakelola oleh negara, dengan manajemen modern di bawah legitimasi hukum negara. Akhirnya kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa dibutuhkan keterlibatan negara dan pemerintah yang disertai dengan kebijakan peraturan yang jelas dan berkekuatan hukum untuk mengoptimalkan manajemen dan fungsi serta capaian tujuan zakat, dan mengabaikan kuasa pengetahuan yang bekerja dalam aras kognitif umat.
Semua kajian di atas belum ditemukan satupun yang menekankan kajian pada konstruksi sosial zakat terkait dengan kuasa pengetahuan. Bagaimana zakat dikonstruksi dan bagaimana pengetahuan menjadi sebuah kekuatan yang mengarahkan wacana zakat, tindakan berzakat hingga tatakelolanya, belum terlihat sama sekali. Kajian yang menekankan pada aspek sosial dengan menggunakan pendekatan sosiologi juga belum tampak di sana. Memunculkan wacana jejaring masjid sebagai sebuah kekuatan sosial luas dan mengakar dalam budaya zakat dan tatakelolanya, juga tidak muncul dan terkesan terlupakan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut dengan mengangkat kajian tatakelola zakat dengan fokus kajian: Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat, dengan memfokuskan kajian pada tiga lembaga tatakelola zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat.
2.2. Pandangan Filosofis
Secara filosofis, zakat memiliki dua dimensi (As-Shiddiqie, 1991), yaitu:
pertama, sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai konsekuensi
logis atas makhluk yang percaya kepada Allah dan menganut agama Islam. Maka zakat di sini menjelma dalam tindakan sebagai kepatuhan, penyerahan, dan pengabdian kepada Allah SWT sebagai pencipta (tindakan asketik), tanpa dicampuri oleh pertimbangan-pertimbangan dan pilihan-pilihan yang bersifat duniawi (Idris, 1997). Pemahaman kedua, sebagai ajaran menuju lahirnya kepedulian kepada sesama (khususnya kepada yang lemah/mustahiqin), menjalin hubungan saling membantu dan melindungi secara sosial, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, maka zakat dipahami sebagai ibadah sosial dalam wujud tindakan kemanusiaan yang oleh Idris (1997) diistilahkan dengan paradigma trasformatif.
Zakat sebagai perintah agama melembaga karena religious ethics dan kemanusiaan yang di dalamnya bekerja sistem rasionalitas. Dalam pandangan ini kelembagaan zakat menjadi dinamis dan sarat dengan pertimbangan ilmiah dengan dimensi-dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi (Syâtibi, tt).
Pemahaman pertama (dimensi spiritual) (Syâtibi, tt) atau dimensi normatif merupakan perwujudan pemahaman zakat dalam ranah teologi atau epistemogi teologisme dengan basis etik teosentrisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus tunduk kepada ajaran agama. Sementara pemahaman kedua (dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi) merupakan perwujudan
Ruang Diskursus
pemahaman berbasis epistemologi sekularisme yang melihat manusia sebagai makhluk yang cerdas dan ivonatif. Paham ini berbasis etika Antroposentrisme.
Pemahaman pertama melihat zakat sebagai ajaran agama yang harus dalam kemurnian sebagaimana diterjemahkan nabi atas firman Tuhan, yang disabdakan kepada umat manusia dalam konteks ukhrawi. Pemahaman kedua, melihat zakat sebagai fenomena duniawi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan dan pembebasan. Pemahaman kedua ini kemudian berkembang sehingga zakat yang tadinya berwawasan normatif, bergeser menjadi berwawasan ilmiah (Idris, 1997) yang terbuka dengan wacana pembangunan, kemanusian, dan keadilan (Mas‘udi, 1993).
Zakat sebagai ajaran agama Islam, dalam konteks ibadah ke-Tuhan-an (ilahiyah) merupakan perintah tetap dan menyejarah, namun dalam konteks kemanusiaan (muamalah), zakat dipandang sebagai fenomena pembebasan dan instrumen keadilan. Di sini pemahaman zakat sangat dinamis dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan untuk kepentingan perwujudan keadilan dan pembebasan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan dan ketidak berdayaan (Qadir, 1998).
Berawal dari pemahaman zakat sebagai ibadah yang memiliki misi kemanusiaan dan pembebasan, maka lahir pemikiran tentang transformasi zakat pada ranah pengetahuan (Kontowijoyo, 1991, Mas‘ud, 1991 dan Idris, 1997). Kelembagaan zakat tak lepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan rasionalitas bekerja membentuk konstruksi sosial zakat dan melembagakan dalam praktek sosial. Zakat digerakkan oleh semangat spiritualitas dan humanitas dan amat erat kaitannya dengan budaya berderma, makanya zakat selain sebagai ibadah berdimensi teosentrisme di sana juga terkandung dimensi antroposentrisme, sehingga sinergis antara pengetahuan berbasis teologisme dan pengetahuan berbasis sekularisme terbuka untuk saling merajut dalam wacana tatakelola zakat.
Melembaganya zakat dalam praktek kehidupan sosial, secara politis dan ekonomi merupakan potensi yang besar bagi berbagai kalangan, dan melihat zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan. Potensi tersebut merupakan salah satu pendorong munculnya wacana pemberdayaan berbasis zakat dari berbagai kalangan: mulai dari akademisi, politis hingga pengusaha. Mereka mencoba ikut bicara dan menawarkan formula masing-masing, hingga
kemudian mengerucut pada wacana zakat berbasis negara, berbasis industri dan berbasis komunitas dan memunculkan zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial.
Persoalan kemudian adalah bahwa manusia memang makhluk sosial yang butuh interaksi, makhluk ekonomi yang tergantung dengan orang lain, namun pada saat yang bersamaan juga sebagai makhluk penuh konflik (Ritzer, 2005), haus kekuasaan dan tindakannya penuh persaingan (Weber) dan pertarungan (Marx). Oleh sebab itu, maka ragamnya wacana zakat membuka peluang lahirnya konflik antar-aktor, apalagi ketika zakat dilihat sebagai sumber daya potensial secara politik dan ekonomi. Wacana zakat bisa terjebak dalam arena kontestasi dan pertarungan untuk saling menguasai dan mendominasi antara satu dengan lainnya, atau paling tidak saling berupaya mencapai kepentingan masing-masing dan menegasikan yang lain. Akibatnya zakat akan lebih dipandang sebagai sumber daya dalam konteks perwujudan tujuan sepihak, ketimbang sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan umat.
Zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan berbasis agama, memandang kaum lemah pada posisi yang harus diperhatikan, hal ini memiliki kemiripan dengan teori pembangunan alternatif yang menyuarakan elit tradisional yang terancam terasing oleh industrialisasi (ideologi Marxisme) (Hettne, 2001: 27). Pandangan ini menekankan implikasi etis dan estetis yang negatif dari sebuah perubahan sosial yang sedang berlangsung dan meminggirkan masyarakat tertentu. Marx pada karya awalnya menggambarkan bahaya keterasingan sebagai akibat dari cara produksi kapitalis, dan Weber menyatakan bahwa rasionalisasi masyarakat modern yang tidak dapat diubah, membuat masyarakat itu menjemukan karena kehilangan pesona (entzauberung) (Weber, dalam Albrow, 2005). Hal yang sama dinyatakan oleh Nisbet (1980) bahwa keyakinan terhadap kemajuan sulit diharapkan dalam suatu peradaban, karena di sana semakin banyak kelompok yang mengalami kebosanan terhadap dunia, negara, masyarakat dan bahkan terhadap diri sendiri (Nisbet, 1980).
Escobar (1992) melihat pentingnya refleksi pembangunan dengan menekankan pada pendekatan grass root dan pendekatan politik alternatif untuk dunia ketiga. Pendekatan model pembangunan yang menekankan pada pembelaan, perlindungan dan pemberdayaan komunitas lokal (Pieterse, 1998), untuk membangun diri sendiri berdasarkan kemampuan dan karakteristik budaya
lokal, yang sebelumnya dianggap oleh kaum kelompok modernis sebagai hal yang tidak penting dan bahkan diangggap sebagai penghambat pembangunan. Maka dalam upaya memberdayakan dan melindung masyarakat lokal muncul teori pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development), berwawasan etnis (etno-development), berwawasan budaya (culture-development), dan berwawasan agama (religion-development).
Perkembangan pemahaman tentang sosok agama, sains dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagamaan yang lahir belasan abad lalu mengalami perkembangan karena zaman berubah, meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, namun pada urutannya lembaga-lembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya (Hidayat, 2006) dan mengalami persentuhan dengan sains modern. Persentuhan antara agama dan sains terus berlanjut sebagai wujud kebutuhan manusia terhadap dunia spiritual dan material secara bersamaan. Ini merupakan upaya pencarian untuk menemukan format yang tepat bagi pembangunan yang bisa memposisikan kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan dalam usaha mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dominasi.
Proses konstruksi sosial manusia terhadap agama, terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Agama yang semula hanya dicerna dalam kerangka teologisme, perlahan bergeser dan dicerna dalam kerangka sekularisme. Agama yang tadinya hanya dilihat sebagai ajaran wahyu yang statis dan lebih diwarnai dengan orientasi ketuhanan, belakangan banyak diwarnai dengan orientasi kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat dalam masyarakat, yang memunculkan wacana tatakelola zakat yang didominasi gagasan meningkatkan kesadaran berzakat menuju pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan satu gejala yang menunjukkan bahwa, benturan-benturan antara agama dan sains yang pernah ada dalam sejarah perlahan melunak dan semakin cair. Namun perlu disadari bahwa untuk Indonesia, masyarakat muslim berasal dari ragam budaya dengan ragam kearifan lokal, yang tentunya di sana ada banyak sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja. Akibatnya zakat sebagai ajaran agama, dikonstruksi oleh umat secara berbeda berdasarkan rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja pada aras gagasan dengan kepentingan yang berbeda. Maka upaya untuk mewujudkan
kehidupan bertuhan, beragama dan bernegara dalam satu gagasan pada konteks zakat, agaknya perlu diperhatikan keragaman sistem pengetahuan dan rasionalitas termasuk di dalamnya keragaman kepentingan terhadap zakat.
Memandang zakat sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi pemberdayaan masyarakat, hendaklah dalam konteks keragaman budaya (pengetahuan, dan sistem rasionalitas). Memaksakan satu gagasan utuh terhadap suatu komunitas sama halnya meniadakan komunitas itu, apalagi kalau kemudian disertai dengan justifikasi dan menyalahkan yang lain. Agaknya ini merupakan keangkuhan, karena manusia hanya mencari kebenaran dan kebenaran yang ditemukan tidaklah pernah ditemukan secara sempurna, kebenaran sempurna hanya ada pada Tuhan dan manusia hanya berusaha untuk benar dan belum tentu benar. Oleh sebab itu, maka biarkanlah umat beragama dan berzakat sesuai dengan konstruksi yang mereka bangun dalam gagasan, dan biarlah zakat dikelola sesuai dengan konstruksi sosial dan pengetahuan serta budaya dengan kearifan-lokal (local-wisdom) masing-masing. Bagaimanapun mekanisme yang penting adalah kesadaran dan pemahaman bahwa zakat merupakan mekanisme distribusi kesejahteraan masyarakat yang bertujuan mendekatkan hubungan kaum kaya dan miskin dalam relasi yang saling memanusiakan dengan penuh kehangatan. Sehingga kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dari dominasi.
2.3. Pandangan Teoritis
Berangkat dari asumsi bahwa tiga model lembaga zakat dikonstruksi oleh aktor-aktornya secara berbeda dengan basis pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan yang berbeda. Zakat dilihat sebagai sumber daya yang memiliki potensi, baik potensi politik, sosial budaya, maupun ekonomi. Maka kehadiran negara, industri dan komunitas dalam ruang tatakelola zakat, membuat ruang zakat diwarnai oleh kemungkinan berbagai macam relasi. Relasi antara aktor dari tiga entitas sosial bisa bersifat dominasi, kooptasi, kerjasama atau relasi kemitraan, atau bisa jadi berupa negosisasi atau transaksi yang bisa bermuara pada bangunan relasi berbentuk interdependensi atau trans-dependensi.
Semua relasi tersebut tergantung bagaimana kuasa pengetahuan zakat dikonstruksi oleh masyarakat. Karena konstruksi sosial zakat sangat dipengaruhi
oleh bagaimana rezim pengetahuan bekerja membangun pemahaman zakat dan rezim pengetahuan apa yang dianggap memiliki kuasa membentuk wacana zakat dan tatakelolanya. Untuk bisa menjelaskan konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat, maka perlu membahas tentangan Pengetahuan, Rasionalitas dan Kepentingan dalam Tatakelola Zakat. Oleh karena itu diperlukan beberapa landasan teori yang mampu membantu menjelaskan, menganalisa dan membongkar realitas di balik hadirnya wacana tatakelola zakat berbasis negara, industri dan komunitas.
2.3.1. Konstruksi Sosial (Social Construction) atas Realitas
Peter L Berger adalah salah seorang sosiolog yang konsen bicara tentang konstruksi sosial atas realitas. Gagasan Berger terlihat humanis (mengikuti Weber dan Schutz) mudah diterima, mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger cenderung tidak melibatkan pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada historisitas. Benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx).
Berger dan Luchmann (1990) dalam bukunya yang berjudul; Konstruksi
Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, secara
tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma (1994) yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Tetapi Berger dan Luchmann tidak menolak kekuatan struktur terhadap aktivitas manusia. Oleh karena itu Berger dan Luchmann dianggap oleh Douglas dan Johnson sebagai Durkheimian dan memberikan justifikasi pada gagasan (Samuel, 1993).
Beberapa tokoh yang mewarnai pemikiran sosiologi Berger adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya tentang makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala kemanusiaan. Dalam hubungan dialektik antara masyarakat dan individu, Berger meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif–yang mempunyai kekuatan memaksa,
sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, Mead menjadi rujukan Berger (Poloma, 1994).
Teori Berger mendefinisi ulang hakekat dan peranan sosiologi pengetahuan, dengan mendefinisikan kembali pengertian ―kenyataan‖ dan ―pengetahuan‖ dalam konteks sosial. Sosiologi menurutnya, harus mampu menjelaskan dan memahami bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk dalam proses-proses yang terus-menerus, yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, maka perhatian terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif). Kenyataan sosial tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, dan bekerja sama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial. Kenyataan sosial, ditemukan dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas).
Lewat intersubjektivitas itu dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubjektivitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Berger dan Luchmann (1990) memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi, serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif. Kenyataan sosial oleh Berger dan Luchmann, merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini dan menuju masa depan.
Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas objektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subjektif. Pada sisi yang lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata‘ oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan (objektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subjektif dan
membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Konstruksi sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger dan Luchmann, 1990).
Masyarakat sebagai realitas objektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Di sinilah terdapat peranan di dalam konstruksi kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Peranan mempresentasikan konstruksi kelembagaan; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Pentradisian sengaja dihadirkan, diformat, diinstitusionalisasikan, diritualkan, dan dikonstruksi kembali untuk kepentingan tertentu sebagai bagian dari pelegitimasian suatu perilaku sosial. Karena, masyarakat sebagai realitas objektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan objektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan, tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat objektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subjektif.
Masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas objektif ditafsir secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsir itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ―mengambil alih‖ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder.
Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.
Menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan perlu ada sebuah universum simbolik. Universum simbolik ini menduduki hierarki yang tinggi, menunjukkan bahwa semua realitas memiliki makna bagi individu dan individu bertindak sesuai dengan makna. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum
simbolik. Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan,
pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun
universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk
melegitimasi organisasi sosial. Proses ‖legitimasi lembaga sosial‖ menuju ‖lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi‖ terus berlangsung secara dialektik dan ini berdampak pada perubahan sosial.
2.3.2. Pengetahuan dan Kekuasaan
Foucault (1980) adalah orang yang paling konsen berbicara tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan, dan menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam The Archaeology of Knowledge, konsep discourse sebagai gambaran bagaimana pengetahuan bekerja sebagai kumpulan pernyataan. Konsep discourse yang dimunculkan oleh Foucault dalam beberapa tulisannya berada pada tema sentral yang disebutnya dengan énconcé (statemen).
Statemen yang dimaksud oleh Foucault, memiliki kemiripan dengan speech act
yang pernah dikemukan oleh Jon Austin (1962) dan John Searle (1979).
Statmen-statmen yang terlontar pada dasarnya akan memberikan pengaruh sosial dan
pada gilirannya akan menjadi sebuah pengetahuan yang tersebar dan membuat orang lain mengikutinya (Dreyfus and Rabinow, 1982).
Diskursus sebagai ide pokok dalam pemikiran Foucault, dipahami sebagai penjelasan, pendifinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus tidak terlepas dari relasi kekuasaan, dan bertaut dengan pengetahuan. Oleh karenanya, Foucault berfikir dan mengakui kalau kekuasaan tersebar di mana dan datang dari mana-mana. Berbeda dengan Marx yang melihat kekuasaan hanya ada pada negara (Haryatmoko, 2002). Konsep diskursus juga memberikan jalan pemikiran tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bebas dari kungkungan intelektual yang berkaitan dengan ideologi.
Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktek-perktek yang menghasilkan pernyataan-penyataan (statemen) yang bermakna pada satu rentang sejarah tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendifinisikan dan memproduksi objek pengetahuan yang sekaligus merupakan sebuah undang-undang sosial yang menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu.
Hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan . Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu.
Kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai.
Kekuasaan (power), oleh Adams (1977) dilihat dalam kerangka kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan melalui kendali. Wolf (2001) menambahkan bahwa kekuasaan yang disadari oleh kemampuan pelaku untuk mempengaruhi dan mengendalikan pelaku lain, adalah kekuasaan taktis (tactical power) atau kekuasaan terorganisir (organizational power). Kekuasaan model ini mengakibatkan pelaku lain terbatas untuk bertindak sesuai keadaan yang sudah ditetapkan. Hubungan kekuatan/kekuasaan antar pelaku oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi kekuasaan bebas (independent power) dan kekuasaan terikat (dependent power).
Kekuasaan bebas merupakan hubungan dominasi berdasarkan atas kemampuan dan pengendalian secara langsung oleh pelaku, sementara kekuasaan terikat merupakan pelimpahan hak kekuasaan kepada orang untuk membuat keputusan untuknya. Jenis kekuasaan kedua oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: Kekuasaan yang dihibahkan (power granting), kekuasaan yang dialokasikan (power allocation), dan pendelegasian kekuasaan (power delegation). Pada tiga jenis kekuasaan terakhir, pelaku yang sedang melakukan kontrol kekuasaan tetap terlibat dalam setiap proses pelaksanaan kekuasaan.
Hubungan-hubungan kekuasaan dalam perspektif Adam (1973), Bourdieu (1979), dan Suparlan (2004), dilihat sebagai kekuasaan yang terjadi antara pelaku, dan ditambah oleh Giddens (1984) dalam setiap ruang dan waktu. Kekuasaan oleh Giddens (1984) merupakan kemampuan untuk mencapai hasil, bersifat dinamis, dan dalam bekerjanya kekuasaan, ada struktur yang mendominasi dalam proses reproduksi sosial. Struktur yang dimaksud Giddens (2003) terwujud dalam tiga gugus yang saling terkait yaitu: pertama, struktur penanda (signification) yang
menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan/dominasi (domination), yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran/legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam hukum.
Menurut Giddens (1984 dan 2003), bahwa dalam ilmu sosial melihat kekuasaan cenderung mencerminkan dualisme subjek dan objek. Makanya kekuasaan seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan atau kemauan, yakni sebagai kemampuan mencapai hasil yang diinginkan dan dimaksudkan. Sebaliknya Foucault (1984, 2002), memandang kekuasaan sebagai milik masyarakat atau komunitas, dan tersebar di mana-mana di tengah-tengah masyarakat. Sementara Marx (dalam Giddens, 1993) melihat kekuasaan selalu terkait dengan ekonomi sebagai sebab lahirnya perbedaan kelas (proletar dan borjuis), dan itu terlihat pada ―means of production”. Kekuasan diletakkan pada kepemilikan alat-alat produksi, mulai dari sistem ekonomi feodalisme hingga kapitalisme. Kemudian Weber (dalam (Giddens, 1993), pada sisi yang agak berbeda, melihat kekuasaan tidak hanya ada pada kekuatan ekonomi semata, tapi memasukkan unsur status dan partai (status and party). Jadi kekuasaan menurut Weber bisa karena motif ekonomi dan juga motif lain, yang disebutnya dengan prestise.
Meski pandangan Marx dan Weber berbeda tentang kekuasaan, namun keduanya memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya kekuasaan dalam pengaturan kehidupan manusia sekaligus peradaban, sehingga orang selalu terdorong untuk mencari kekuasaan dan memanfaatkan berbagai cara yang paling efektif dan efisien untuk memperoleh kekuasaan. Salah satu cara yang paling menonjol adalah, mengakumulasi potensi atau sumber daya yang dianggap mempu membukakan jalan bagi perolehan kekuasaan. Namun karena terbatasnya sumber daya potensial yang bisa memberikan peluang besar bagi perolehan kekuasaan, menyebabkan seringkali terjadi perebutan, pertikaian hingga pertarungan dalam proses upaya menguasai sumber-sumber potensial.
Kekuasaan bagi Foucault (1980, 2002), merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah (Ritzer, 2005), mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah
sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktek yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu yang di dalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran. Kekuasaan bukan datang dari luar, akan tetapi menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Kekuasaan selalu bertautan dengan pengetahuan dan memproduksi pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang kemudian membangun kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Pernyataan ini menujukkan bahwa ada korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, artinya bahwa pengetahuan mengandung kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan mengandung pengetahuan.
Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the
constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan
konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga ke konsep the concept of
govermentality, yang mengarah ada organisasi admisnitratif yang dibentuk untuk
mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto, 2005). Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena kelembagaan zakat formal dan informal, modern dan tradisional, berbasis negara dan komunitas, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan atas wacana. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai bentuk restriksi. Dengan demikian, model yang satu menjadi layak untuk mengalahkan dan menguasai yang lainnya dengan alasan-alasan rasionalitas subjektif yang dibangun melalui wacana, mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya yang di dominasi oleh kelompok yang mendominasi arena pertarungan.
Strategi kuasa terjelma sebagai aparat, artinya mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu (Foucault, 2002).
Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen, dan bangunan wacana. Kegiatan-kegiatan yang di atas-namakan keilmiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (Eriyanto, 2001).
2.3.3. Wewenang (Authority)
Otoritas atau wewenang erat hubungannya dengan kekuasaan (power), karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Wewenang atau otoritas menekankan pada unsur hak, bukan pada kekuasaanya, meskipun kekuasaan dan wewenang tidak dapat dipisahkan. Wewenang merupakan suatu kekuatan yang sah untuk menjalankan kekuasaan. Dalam pandangan Weber (1978), wewenang (authority) dikaitkan dengan legitimasi, yang kemudian membagi otoritas menjadi tiga jenis, yaitu: pertama, otoritas tradisional (traditional authority), jenis otoritas ini bersumber dari budaya (custom) sehingga otoritas lebih merupakan pelimpahan kekuasaan berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. Kedua, orotiras kharismatik (charismatic authority), jenis ini merupakan otoritas yang bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap luar biasa) sehingga ia dipatuhi, dan ini sangat peribadi sifatnya. Ketiga, otoritas
legal rasional (rational-legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari aturan formal (hukum). Jenis otoritas inilah yang dimaksud oleh Weber ketika membahas otoritas birokrasi (bureaucratic authority).
Otoritas rasional atau legal merupakan otoritas yang diperoleh seseorang dengan batasan-batasan hukum formal yang berlaku. Ketika Otoritas tersebut diterima oleh seseorang, maka otoritas tadi melekat dalam diri orang yang menjadi pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan. Orang lain mematuhi penguasa atas dasar kekuatan norma-norma hukum. Oleh Weber kemudian dikatakan bahwa kekuasaan itu bisa berbentuk kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, dan kekuasaan agama atau norma. Makanya kepatuhan orang terhadap kekuasaan dilandasi oleh tujuan yang bisa bersifat ekonomi, politik dan juga agama.
2.3.4. Negara dan Kekuasaan: Pergulatan Kaum Elit.
Relasi segitiga antara negara, civil society dan industri swasta (kapitalis) dalam sejarah menujukkan berbagai model. Marx misalnya cenderung memposisikan negara dan pihak kapitalis pada posisi yang sama dan berlawanan dengan civil society, dan di sana ia menunjukkan bahwa kapitalis bersama-sama negara selalu menduduki posisi superior (borjuis) dan civil society selalu pada posisi inverior (proletar) (Ritzer, 2005).
Weber pada sisi lain melihat antara negara dan kapitalis pada posisi yang berbeda dan masing-masing punya kepentingan. Dengan demikian bahwa tiga entitas sosial (negara, kapitalis dan civil society) selalu pada posisi yang berlawanan. Perlawanan itu secara empiris terlihat nyata, di balik negara dan industri ada aktor-aktor individual yang menjalankan roda organisasi, sehingga kalau melihat fenomena benturan-benturan kepentingan di mana negara dan industri diletakkan pada satu sisi dan pada sisi yang lain ada civil society, maka sebenarnya yang lebih nyata adalah adanya sekelompok aktor yang meng-hegemoni masyarakat untuk menguasai potensi-potensi politik, sosial dan ekonomi yang melekat dalam dunia khalayak.
Negara bagi Weber (dalam Greth dan Mills, 1974) merupakan lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Weber menunjukkan betapa sebuah negara memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur, merubah dan bahkan memaksakan kehendaknya. Plato dan Aristoteles melihat negara memerlukan kekuasaan yang mutlak dan
kekuasaan itu untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Pada zaman pertengahan, pandangan negara dan kekuasaan mengalami perubahan, di mana pemikir ketika itu menyatakan bahwa negara harus tunduk dengan Gereja, dan Gereja adalah wakil Tuhan yang menegakkan kehidupan moral dunia (Martin, 1993).
Hobbes (dalam Budiman, 1996), melihat pentingnya kekuasaan negara karena pertimbangan warganya, karena jika tidak, warga akan saling bertarung dan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Di sini negara dianggap sebagai wakil dari kepentingan publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok. Pandangan Hobbes (1588-1679) ini berawal dari kondisi politik yang sedang terlibat perang saudara, sehingga pada saat itu dibutuhkan kekuasaan negara yang sangat besar yang diwakili oleh seorang raja yang berkuasa mutlak dan individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya kepentinganya, keamanannya, dan perdamaian jangka panjang dapat terjamin. Negara yang seperti inilah yang oleh Hobbes dinamai dengan leviathan.
Hegel dalam filsafat dialektikanya, berpendapat bahwa sejarah manusia merupakan proses dari sebuah ide yang universal yang sedang merealisasikan atau mengaktualisasikan dirinya. Ide dasar tersebut dapat disamakan dengan ide Tuhan dalam menciptakan umat manusia yang tidak menjelma dalam waktu singkat. Ide tersebut berperoses dengan apa yang dinamakan sejarah (Heidegger, 1989 dan 2002). Penghujung sebuah proses sejarah adalah menjelmanya ide universal menjadi sebuah kenyataan dengan terbentuknya masyarakat ideal.
Bebeda dengan Hegel, Marx melihat sejarah adalah menuju terciptanya masyarakat sosialis, bukan masyarakat ideal demokratis. Mengikuti Hegel, Marx melihat sejarah manusia sebagai sejarah pertentangan kelas (borjuis dan proletar, yang ditandai dengan hubungan eksploitatif) yang secara tidak langsung mencerminkan dalam pembagian kerja, karena kepentingan antara penguasa dan yang dikuasai. Pembagian kerja selalu diwarnai oleh konflik dan sering menimbulkan perjuangan kelas6. Inilah yang menurut Marx sebagai motor utama penggerak perkembangan sejarah (Giddens, 1987).
Menyangkut keberpihakan negara, Hobbes (dalam Budiman, 1996) melihat bahwa keberpihakan negara berada pada kepentingan warga, dan di sinilah letak perolehan kekuasaan negara mutlak. Oleh sebab itu menurut pandangan kaum
6
Kelas oleh Ferguson (1967) dan Millar digunakan semata-mata untuk membedakan strata sosial (kekayaan dan kedudukan), Adam Smith menujukkan kelas miskin, dan Ricardo dan Ure, Sain Simon dan Fourier, apalagi Marx dan Engel digunakan untuk menyatakan kelompok kaya dan miskin (kelas borjuis dan proletar) (Dahrendorf, 1986: 4).
pluralis, negara itu netral dengan persyaratan demokrasi. Kekuasaan politik menurut kaum pluralis tidak boleh berada di tangan negara, tetapi berada di tangan rakyat. Kekuasaan negara yang mutlak ditolak di sini, maka jika negara ingin kuat dan di dukung oleh rakyat, maka harus memihak pada kepentingan semua kelompok secara sama.
Bagi kaum Marxis, keberpihakan negara selalu berada pada kelas borjuis secara menyeluruh dan mengenyampingkan kelas proletar. Kekuasaan negara diabadikan untuk kepentingan kelas borjuis dan terus memperkuat kekuasaanya dengan mengeksploitasi kaum proletar. Bahkan lebih jauh kaum Marxis menganggap bahwa negara selalu menjadi alat dari kelas yang berkuasa. Sejalan dengan itu, Mills (1974) yang dikutip oleh Budiman (1996:61) menyatakan bahwa meskipun masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang pluralistis, namun kelompok elit penguasa selalu datang dari kelompok masyarakat tertentu. Karena itu, masyarakat akan selalu berusaha menciptakan negara yang kuasai oleh kaum proletar (buruh) untuk membentuk masyarakat komunis.
Antonio Gramsci, Nicos Poulantzas, dan Ralph Miliband, melihat bahwa negara melingkupi aparat-aparat individu dan organsiasi sosial lainnya yang berada di luar negara. Oleh Garamsci (dalam Budiman, 1992) menjelaskan bahwa negara tidak hanya mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan aparat pertahanan dan keamanan, namun juga termasuk lembaga non-pemerintah atau organisasi politik, ekonomi, dan kultural yang bisa menjadi sarana negara untuk menghegemoni. Makanya Poulantzas, melihat negara sebagai wilayah berlangsungnya pergulatan politik antara kelas (ekonomi, politik, dan ideologi), termasuk antar pejabat pemerintah. Selain negara sebagai institusi kekuasaan yang mencerminkan relasi sosial yang sangat kompleks, di sana juga tercermin struktur perjuangan kelas yang menghasilkan dominasi kelas tertentu atas kelas lainnya. Negara adalah institusi yang relatif mandiri, baik dalam menjalankan kebijakan maupun ketika mengamankan kepentingannya terhadap tuntutan masyarakat (Culla, 2006).
Ragam teori tentang negara dan kekuasaan serta keberpihakannya, jika dicermati kesemuanya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: a. Teori yang menekankan negara sebagai lembaga yang mandiri dan punya
kepentingan dan kemauan sendiri. Teori ini dicetuskan oleh Hegel yang kemudian dikenal dengan teori negara organis.
b. Teori yang menyatakan bahwa negara bukan sebuah negara yang mandiri. Kebijakan negara dihasilkan dan ditentukan oleh faktor eksternal. Negara
hanya sekedar arena kekuatan-kekuatan sosial tempat orang membangun kekuasaan dan saling bertanding untuk menguasai.
Perkembangan berikut adalah adanya kecenderungan untuk mengebiri kekuasaan yang berada di tangan negara, munculnya kekuatan eksternal berupa kekuatan civil society, yang terus berusaha mengembangkan pemikirannya dan memperjuangkan kekuatan di luar negara sebagai kekuatan penyeimbangan kekuatan negara. Kekuatan civil society ini memperjuangkan hak-hak rakyat secara umum, maupun komunitas dengan berusaha mengurangi kekuasaan negara terhadap rakyat dan komunitas.
Fenomena ragamnya kelembagaan zakat, yang mencuat di permukaan, merupakan salah satu contoh menarik dari perjuangan civil society. Meski memang di sana ada dua kelompok besar yang selalu berbenturan gagasan dan bahkan aksi, yaitu kelompok yang menolak campur tangan negara terhadap hak tata kelola zakat dan berusaha mengelola sendiri dengan kelembagaan kultural berbasis kekuasaan komunitas, berlawanan dengan kelompok yang mendukung dan memperjuangkan agar kelembagaan zakat berada dalam penguasaan dan pengaturan negara.
2.3.5. Kapitalisme dan Kekuasaan
Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi, berbeda dengan sistem feodal yang mengedepankan kepemilikan modal pribadi. Kapitalisme lebih mengedepankan prinsip-prinsip rasionalitas ekonomi pasar dalam organisasi produksi. Rasionalitas di sini bermakna mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi secara teknis untuk mencapai tujuan tertentu, dan pasar adalah metode yang efektif untuk mencapai tujuan, melalui praktek tukar menukar yang diwarnai dengan persaingan (Martin, 1993: 193). Faktor-faktor produksi dialokasikan sesuai dengan prinsip pencarian keuntungan maksimal (utility maximization), tenaga kerja harus menguntungkan, segala sumberdaya dimanfaatkan dengan maksimal dengan tujuan utama ulititiy maximize. Maka mempertahankan kohesi sosial atau malah mempertahankan keadaan krisis demi perolehan profit, merupakan hal yang wajar dan rasional dalam dunia kapitalisme.
Kekuasaan dalam dunia kapitalisme bekerja dan menyebar dalam wilayah yang luas. Pada wilayah sumber-sumber produksi dan alat-alat produksi, kekuasaan atas alat dan sumber produksi menjadi sentral bagi perolehan keuntungan ekonomis. Makanya kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam
kapitalisme, menjadi satu rajutan yang sulit untuk diurai, karena di sana ekonomi dan kekuasaan menjadi dua sisi yang saling merajut dengan kuat, sulit untuk dipilah mana yang melahirkan dan mana yang dilahirkan. Walau secara historis perwajahan kapitalisme yang lebih menonjolkan adalah aspek ekonominya, namun belakangan menjadi simpang siur antara kekuasaan dan ekonomi, di mana keduanya saling melahirkan. Perjuangan kuasa atas sumber-sumber ekonomi dan alat-alat produksi mewarnai perkembangan kapitalisme modern dewasa ini, sehingga segala sumber-sumber yang mempu memberikan peluang ekonomi yang besar serta merta menjadi perhatian untuk dikuasai. Fenomena ini merambah masuk ke segala wilayah kehidupan, mulai dari wilayah politik, sosial budaya dan bahkan agama.
Secara internal, hubungan-hubungan hierarkis dalam industri kapitalis lebih sederhana dan sekaligus kompleks dibanding dengan hubungan-hubungan hierarkis dalam pertanian feodal (lebih sederhana karena inklusif dan lebih kompleks karena semakin kompleksnya hubungan pembagian kerja). Pola hubungan di antara aneka ragam struktur dalam masyarakat industri kapitalis berlangsung satu alur, yaitu hubungan langsung, namun hubungan tersebut mengembangkan satu alur yang kompleks (pembagian kerja yang lebih kompleks). Kompleksnya hubungan dalam industri kapitalis tergambar ketika melihat relasi-relasi kuasa yang terjalin dalam berbagai strukturnya, yaitu: antar manajer, antara menajer dengan pekerja, dan antara berbagai kelompok pekerja.
Bangungan hubungan eksternal yang terkait dengan sistem internal, terlihat dalam bangunan hubungan dengan pihak-pihak luas, yaitu antara komunitas industri (manajer, pekerja dan organisasi pekerja) dengan komunitas di sekeliling industri. Bangunan hubungan semacam ini, dewasa ini menjadi fenomena yang mencuat (meski bukan barang baru) dan menjadi perhatian banyak pihak, yang salah satunya berwujud dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR), yang di dalamnya terdapat berbagai upaya mendekati masyarakat di luar industri sebagai pertanggung-jawaban sosial korporasi terhadap lingkungan dan komunitas. Di sana secara bersamaan memainkan berbagai model bangunan relasi yang diwarnai oleh kuasa dan dominasi, yang dikemas dalam satu kemasan pertanggungjawaban sosial, kesetiakawanan sosial hingga pemberdayaan yang entah murni untuk komunitas ataukah untuk keuntungan industri.
Sudah menjadi wataknya sejak lahir bahwa kaum aktor industri dalam dunia kapitalisme haus akan penguasaan sumber-sumber produksi, sehingga apapun sumberdaya yang menurut mereka memiliki potensi ekonomi atau bisa