• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI BARU PENENTUAN HARGA GAS UNTUK MENGATASI KEBUNTUAN DALAM PERUNDINGAN KONTRAK GAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI BARU PENENTUAN HARGA GAS UNTUK MENGATASI KEBUNTUAN DALAM PERUNDINGAN KONTRAK GAS"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI BARU PENENTUAN HARGA GAS

UNTUK MENGATASI KEBUNTUAN DALAM PERUNDINGAN KONTRAK GAS

Sugriwan Soedarmo

PERTAMINA Divisi Gas Hulu

Kata kunci : krisis moneter, harga gas, bahan bakar

ABSTRAK

Anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara daya beli konsumen gas domestik (khususnya yang memanfaatkan gas bumi untuk bahan bakar) dengan biaya perolehan gas bumi. Saat ini konsumen gas cenderung menggunakan bahan bakar minyak (BBM) yang harganya disubsidi.

Beberapa kontrak gas untuk pembangkit listrik dan bahan bakar industri akan habis tahun 2001 ini. Dalam rangka perpanjangan kontrak sulit dicapai titik temu antara keinginan konsumen dan produsen. Begitu pula kontrak-kontrak gas yang baru cenderung mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan harga gas.

Mengingat situasi tersebut maka perlu sebuah terobosan guna menghindari kemacetan dalam kontrak jual beli gas agar upaya peningkatan pemanfaatan gas untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri tidak me-ngalami stagnasi.

Pada tulisan ini diajukan strategi baru dalam penentuan harga gas yakni berdasarkan formula yang dikaitkan dengan harga BBM dalam negeri. Formula harga gas yang kami usulkan ini mencoba mengadopsi kepentingan produsen dan konsumen gas bumi dan diusahakan lebih realistis sehingga diharapkan dapat diterima oleh para pihak yang terkait.

1. PENDAHULUAN

Pemanfaatan sumber daya gas di Indonesia dapat dibedakan kedalam 2 kategori, yaitu untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor (Lampiran-1). Gas diekspor dalam bentuk Liquefaction Natural Gas (LNG) dengan total ekspor saat ini mencapai 5000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Disamping dalam bentuk LNG, pasar ekspor gas nantinya akan disalurkan juga melalui pipa setelah ditanda-tanganinya kontrak jual beli gas dengan Singapura dan Malaysia. Selain untuk ekspor, gas digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Perkembangan penjualan gas untuk kebutuhan domestik sungguh mencengangkan, jika pada tahun 1981 hanya sekitar 390 MMSCFD maka pada tahun 1997 sudah mencapai 1680 MMSCFD atau kenaikan rata-rata sekitar 18% per tahun. Namun sangat disayangkan, krisis moneter dan ekonomi yang dimulai pertengahan tahun 1997 telah menghambat perkembangan pemanfaatan gas sehingga dalam 3 tahun terakhir mengalami perlambatan.

Krisis ekonomi-moneter, yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah (Rp) terhadap Dollar AS ($), telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara daya beli konsumen domestik dengan biaya perolehan gas. Konsumen gas dimaksud antara lain PT. Pembangkit Listrik Negara (PLN) dan beberapa perusahaan listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) serta PT. Perusahaan Gas Negara (PGN). Saat ini PLN dan IPP cenderung menggunakan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik jenis dual firing (PLTGU) dan PGN mengalami ke-sulitan memasarkan gas ke industri kecil dan gas kota jika harga beli gas lebih mahal dari harga BBM yang disubsidi.

Guna mengatasi permasalahan tersebut, beberapa waktu lalu Pertamina mengajukan usulan kepada pemerintah, yaitu: 1. Pengurangan pendapatan pemerintah dari peman-faatan

gas. Usulan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah dengan menerbitkan kebijakan Insentif Gas Domestik (IGD). Namun kebijak-an ini belum membawa hasil seperti diharapkan.

2. Konsep relokasi subsidi dari BBM ke Gas. Usulan inipun hingga saat ini belum membuahkan hasil (belum ada respon positif dari pemerintah).

Sementara itu, dalam proses negosiasi perpanjangan kontrak lama (existing) dan kontrak baru (new contracts) beberapa diantaranya mengalami stagnasi, antara lain:

• Perpanjangan kontrak pasok gas ke PLTGU Medan, PLN mengharapkan penurunan harga gas dari $3,00/MMBTU menjadi Rp.12.600/MMBTU (ekivalen $1,50/MMBTU pada kurs Rp.9000/$), sedangkan harga keekono-mian gas Sumut sekitar $2,30/MMBTU.

• Perpanjangan kontrak pasok gas ke PGN Jabar, PGN mengharapkan harga gas paling tinggi $1,80/MMBTU (flat), sedangkan harga gas yang dikehendaki Pertamina (harga keekonomian) di atas $2,00/MMBTU.

• Rencana kontrak pasok gas ke PLTGU Tambak Lorok, Grati dan Muara Tawar hingga saat ini belum tercapai kesepakatan harga. Produsen (KPS) menghendaki harga gas sekitar $3,00/MMBTU, sedangkan daya beli PLN jauh lebih rendah. Akibatnya, untuk memenuhi energi listrik, PLTGU-PLTGU tersebut kini memakai solar bersubsidi sehingga menambah beban anggaran negara. Mengingat situasi tersebut maka perlu suatu terobosan guna menghindari kemacetan dalam kontrak jual beli gas agar upaya pemanfaatan gas domestik tidak mengalami stagnasi. Dalam tulisan ini diajukan sebuah strategi baru dalam penentuan harga gas dengan tetap berpedoman kepada diktum bahwa, rata-rata haga gas selama periode kontrak tidak boleh lebih rendah dari harga/ biaya keekonomiannya.

2. PEMANFAATAN GAS UNTUK PLN DAN PGN

Perkembangan pemanfaatan gas untuk bahan bakar pembangkit listrik (PLN dan IPP) dan gas kota (PGN) yang telah berlangsung sejak tahun 1983 cukup menggembirakan. Namun akhir-akhir ini konsumen mengurangi pemakain gas dan meningkatkan pemakaian BBM (solar). Hal ini bisa dimengerti karena harga solar yang disubsidi jauh lebih murah daripada harga gas yang tidak disubsidi.

(2)

Saat ini jumlah Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan PLN sebanyak 7 buah dan IPP 6 buah. Jumlah pasok gas kontrak untuk PLN dan IPP sebesar 785 MMSCFD. Sementara itu, PJBG dengan pihak PGN saat ini sebanyak 6 buah dengan jumlah pasok gas sebesar 227 MMSCFD (Lampiran-3). Fenomena perkembangan pemanfaatan gas yang pesat hingga tahun 1997 serta munculnya masalah akhir-akhir ini sangat berkaitan dengan “competitiveness” harga gas terhadap harga solar. Perbandingan harga kedua jenis energi tersebut ada pada Grafik di Lampiran-2. Dari Grafik tersebut terlihat bahwa:

• Pesatnya pemakaian gas oleh PLN dan PGN hingga tahun 1997 tidak terlepas dari tingginya daya saing gas terhadap solar. Ambil contoh tahun 1992, harga solar Rp.350/liter yang ekivalen dengan harga $4,10/MMBTU. Jadi harga gas yang dibawah $3,00/MMBTU dirasakan konsumen jauh lebih murah dibandingkan harga solar.

• Sedangkan sejak krisis moneter harga solar anjlok. Contoh tahun 1998, harga solar Rp.600/liter yang ekivalen dengan harga $1,50/MMBTU.

Berdasarkan hal tersebut, maka untuk meningkatkan kembali pemanfaatan gas, baik untuk pembangkit listrik maupun gas kota perlu memperhitungkan daya beli konsumen dan harga solar dalam penentuan harga gas.

3. USULAN FORMULA HARGA GAS

Konsumen yang menggunakan gas sebagai bahan bakar selalu mengaitkan competitiveness harga gas terhadap harga solar. Oleh karena itu, dalam rangka mengikuti jalan pikiran konsumen, maka produsen gas (Pertamina/KPS) seyogianya merumuskan suatu formula harga gas dikaitkan dengan harga solar (HSD) sejauh tidak merugikan produsen.

Sebetulnya, harga gas berdasarkan formula (tidak flat) telah digunakan dalam kontrak jual beli gas, antara lain untuk penjualan gas kepada PT. East Java Power (EJP), PT. Fajar Surya Wisesa (FSW), PT. Asrigita dan PLN Keramasan Palembang. Contoh formula harga gas sebagai berikut:

• Formula harga gas untuk EJP:

HG = 0,9 x ICP/5,83 + 0,28 ………. (1) Dimana

HG : harga gas, $/MMBTU ICP : harga crude oil, $/bbl

Untuk saat ini, apabila model tersebut digunakan sebagai dasar negosiasi cenderung ditolak konsumen. Hal ini karena, dengan ICP = $24/bbl, harga gas menjadi $3,98/MMBTU yang mana harga tersebut jauh di atas daya beli konsumen.

• Formula harga gas untuk PLN Keramasan Palembang: HG = 1,94 x HSD / HSD0 ………. (2)

Dimana :

HSD : harga solar dalam negeri, Rp/liter

HSDO : harga solar awal (ditetapkan ketika perjanjian dibuat), Rp/liter.

Formula harga gas pada persamaan-2 akan sulit diterima oleh konsumen apabila digunakan dalam kontrak jangka panjang, karena pada saat harga solar dalam negeri sama dengan harga pasar, maka harga gas akan di atas $5,00 /MMBTU.

Berdasarkan fenomena tersebut, pada tulisan/makalah ini diajukan suatu formula penentuan harga gas sebagai berikut: HG = f x HSD x 25,46 / K ……….. (3)

Dengan

f = a + b HSD ……. (persamaan linear) a = (fO HSDP – fP HSDO) / (HSDP – HSDO) b = (fP – fO) / (HSDP – HSDO)

Dimana

HG : harga gas, $/MMBTU.

HSD : harga solar untuk umum pada waktu tertentu berdasarkan penetapan pemerintah, Rp/liter. HSDO : harga solar awal (ditetapkan ketika perjanjian

dibuat), Rp/liter.

HSDP : harga pasar solar berdasarkan penetapan pemerintah (ditetapkan ketika perjanjian dibuat), Rp/liter.

f : faktor “daya saing” pada waktu tertentu fO : faktor “daya saing” pada saat HSD = HSDO

(ditetapkan ketika perjanjian dibuat). fP : faktor “daya saing” pada saat HSD = HSDP (ditetapkan ketika perjanjian dibuat). 25,46 : konversi dari liter solar ke MMBTU gas. K : nilai tukar Rupiah terhadap $.

Adapun yang membedakan formula harga gas yang diusulkan dengan formula harga gas untuk PLN Palembang terletak pada besaran faktor “f” (faktor “daya saing”) dimana “f” tidak bersifat flat tapi fleksibel, yakni:

• Pada saat harga solar masih murah (misalnya Rp.900 per liter), maka “f” tinggi (misalnya f = 0,90).

• Pada saat harga solar mahal (misalnya sama dengan harga pasar), maka “f” tidak perlu tinggi (misalnya f = 0,65).

Cara penentuan formula harga gas tersebut ditunjukkan pada

Lampiran-4. Sedangkan contoh perhitungan dan

perbandingan terhadap beberapa alternatif harga gas pada

Lampiran-5.

Dari hasil perhitungan dan analisis ternyata bahwa:

• Model formula harga gas ke EJP akan sulit diterima oleh konsumen karena harga gas kontrak dapat mencapai rata-rata lebih dari $3,98 per MMBTU (saat ini).

• Model formula harga gas ke PLN Keramasan tidak akan diterima oleh kon-sumen untuk kon-trak jangka panjang, karena pada saat harga solar sama dengan harga pasar, maka harga gas mencapai sekitar $5,23/MMBTU.

• Model harga gas berbentuk flat (konstan) selama kontrak juga sulit untuk mencapai titik temu. Sebab, jika harga gas rendah produsen akan menolak, begitu pula sebaliknya.

• Sedangkan dengan formula harga gas "usulan", awalnya harga gas relatif rendah, kemudian meningkat seiring naiknya harga solar dan daya beli konsumen, namun persen (%) kenaikan harga gas akan selalu lebih rendah dibandingkan % kenaikan harga solar.

(3)

4. KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN

Berikut ini adalah keuntungan dan kelemahan dari penerapan model formula harga gas “usulan”:

4.1 Keuntungan

• Besar kemungkinan dapat diterima oleh konsumen karena harga gas awal relatif murah.

• Meskipun harga gas awal relatif murah, namun dalam jangka panjang tetap menguntungkan produsen, bahkan berpotensi memperoleh return yang lebih besar daripada harga gas flat.

• Negosiasi harga gas lebih terfokus.

• Secara psikologis, konsumen akan sulit meminta harga yang jauh lebih rendah dari solar karena harga solar sudah inheren dalam harga gas.

• Tidak ada tututan/permintaan dari konsumen untuk mengetahui besarnya biaya perolehan gas.

• Bisa diterapkan pada beberapa wilayah sekaligus.

• Mengurangi kemungkinan terjadinya opportunity loss di masa datang sebagaimana terjadi pada harga gas “flat”.

• Prinsip formula harga gas ini dapat diterapkan pula untuk penjulan gas ke industri lainnya (misalnya pupuk).

• Pada akhirnya, pemanfaatan gas yang kini mengalami stagnasi diharapkan bergairah kembali.

4.2 Kelemahan

• Sulit memprediksikan kapan dan seberapa besar serta bagaimana tahapan kebijakan kenaikan harga BBM yang akan dilakukan pemerintah.

• Ketetapan pemerintah mengatakan bahwa harga gas untuk pemanfaatan domestik harus berdasarkan harga keekono-mian pengembangan lapangan. Sedangkan dalam usulan ini, harga gas dikaitkan dengan harga energi alternatif.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Krisis ekonomi dan moneter telah menurunkan daya saing gas terhadap BBM yang pada gilirannya mem-buat perundingan jual beli gas cenderung mengalami kebuntuan atau perlambatan.

2. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pertamina dan pemerintah telah mengkaji konsep kebijakan IGD dan relokasi subsidi, namun konsep tersebut hingga kini masih menemui banyak kendala.

3. Penentuan harga gas flat untuk saat ini dapat dipasti-kan akan menghasilkan harga yang murah dan dalam jangka panjang akan “merugikan” produsen gas.

4. Formula harga gas yang kami usulkan:

• Prinsipnya, produsen memperoleh margin profit kecil saat daya beli konsumen rendah tapi mem-peroleh profit tinggi saat daya beli kon-sumen membaik dengan tetap mem-perhitung-kan keeko-nomian dan competitiveness gas terha-dap BBM.

• Dalam kontrak jual beli gas jangka panjang berpotensi lebih me-nguntungkan dibandingkan harga gas flat sampai de-ngan $3,00/MMBTU.

• Merupakan sebuah upaya mengatasi stagnasi pe-manfaatan gas karena lebih realistis, baik untuk kepentingan produsen maupun konsumen.

5. Model formula yang diusulkan tersebut, secara prinsip dapat diterapkan untuk penjualan gas ke industri lain.

5.2 Saran

Penerapan harga gas berdasarkan formula akan efektif bila dilakukan secara bersama-sama oleh produsen gas. Oleh karena itu, perlu ada kesepakatan diantara Pertamina dan KPS untuk memakai basis formula dalam penentuan harga gas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Bapak Dedi Sarodji (Manajer Niaga Gas Pertamina Hulu) dan Bapak Sofian Farhan (Manajer Senior Pengembangan & Utilisasi Gas Pertamina Hulu) yang telah membina penulis agar menjadi praktisi bisnis gas yang profesional. Juga kepada istri dan anak-anakku (Ghea-Bara-Bunga) yang selalu memberi inspirasi dan motivasi kepada penulis dalam pencarian jatidiri dan pengembangan pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pengaruh Pemakaian Gas Bumi Dalam Negeri Terhadap Subsidi BBM, Nopember 1999, Jakarta.

2. Tim Pertamina Korporat, Daya Saing Gas Bumi, Pertamina, Agustus 1999, Jakarta.

3. Ikhsan, Mohammad, Subsidi dan Perhitungan Harga BBM, Kompas, 1 April 2000, Jakarta.

4. Soedarmo, Sugriwan dan Kurtubi, Bahan Bakar Gas: Solusi Alternatif untuk Mengatasi Masalah Energi, Kompas, 4 Mei 2000, Jakarta.

5. Soedarmo, Sugriwan dan Muda, T. Amiruddin, Substitusi Bahan Bakar Pembangkit Listrik dari BBM ke Gas: Solusi Alternatif Mengurangi Beban Pemerintah, Pertamina Hulu, LKEP II, Februari 2001, Jakarta.

(4)

LAMPIRAN : I N D O N E S I A G A S U T I L I Z A T I O N 1 9 8 5 - 2 0 0 0 D O M E S T IC v s E X P O R T 0 1 , 0 0 0 2 , 0 0 0 3 , 0 0 0 4 , 0 0 0 5 , 0 0 0 6 , 0 0 0 1 9 8 5 1 9 8 6 1 9 8 7 1 9 8 8 1 9 8 9 1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0 Y E A R S MMSCFD 0 % 5 % 1 0 % 1 5 % 2 0 % 2 5 % 3 0 % 3 5 % 4 0 % 4 5 % 5 0 % % DOMESTIC 1 , 7 0 0 2 , 2 3 8 4 3 . 2 %

PERBANDINGAN HARGA GAS VERSUS SOLAR

-1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun

US$/MMBTU GAS DOMESTIK

SOLAR DOM ESTIK

SOLAR IMPOR Lampiran - 1 K O N T R A K G A S U N T U K L IS T R IK D A N G A S K O T A S T A T U S D E S E M B E R 2 0 0 0 P A S O K G A S H A R G A K O N S U M E N H A R I A N J U A L G A S ( M M S C F D ) ( $ / M M B B T U ) A . P L N 1 P L N M E D A N ( P L T G U ) 8 0 . 0 0 3 . 0 0 2 P L N K R A M A S A N 1 0 . 0 0 2 . 2 0 3 P L T G M U A R A K A R A N G TP 2 6 0 . 0 0 2 . 4 5 4 P L T G S U N Y A R A G I 1 5 . 0 0 3 . 0 0 5 P L N S U R A B A Y A ( K O ) 3 9 . 4 5 2 . 5 3 6 P L N G R E S IK ( A R B N I) 2 4 2 . 0 0 2 . 5 3 7 P L N T A N J U N G B A T U 1 3 . 0 0 3 . 0 0 B . L I S T R I K S W A S T A ( I P P ) 1 I T P C I T E R E U P ( I N D O C . ) 5 . 9 0 3 . 0 0 2 I T P C I T E R E U P I I 1 8 . 0 0 @ 2 . 7 6 3 C I K A R A N G L IS TR IN D O 1 5 . 0 0 @ 2 . 4 5 4 C I K A R A N G L IS TR IN D O II 4 7 . 0 0 @ 2 . 6 4 5 F A J A R S U R Y A W IS E S A 2 2 . 0 0 @ 2 . 9 0 6 E N E R G Y S E N G K A N G 2 1 . 8 0 2 . 8 5 C . G A S K O T A ( P G N ) 1 P G N M E D A N 1 2 . 0 0 3 1 0 0 * 2 P G N J A K A R TA / B O G O R 9 9 . 0 0 3 A D D E N D U M H A R G A 1 . 6 3 1 . 7 3 4 P G N M U A R A K A R A N G 5 5 . 0 0 2 . 9 0 5 P G N C I R E B O N A D D II 1 . 1 2 2 5 0 0 * 6 P G N S U R A B A Y A 6 0 . 0 0 2 . 1 6 K e t e r a n g a n : C : \ G R I \ D A T A \ H G \ K G D 8 B . X L S @ ) K o n s u m e n m e m b a n g u n p i p a . * ) D a l a m $ / M M B T U 1 9 8 6 - 2 0 0 1 1 9 9 2 - 2 0 1 6 0 1 / 0 0 - 0 3 / 0 1 1 9 9 7 - 2 0 0 7 1 9 9 1 - 2 0 0 1 1 9 8 6 - 2 0 0 1 0 7 / 9 9 - 1 2 / 9 9 1 9 9 3 - 2 0 0 3 1 9 9 5 - 2 0 1 4 1 9 9 6 - 2 0 0 6 1 9 9 7 - 2 0 1 6 1 9 9 2 - 2 0 1 1 1 9 9 7 - 2 0 1 7 1 9 9 4 - 2 0 0 4 1 9 9 4 - 2 0 1 5 P E R I O D E K O N T R A K ( T A H U N ) 1 9 8 5 - 2 0 0 1 1 9 9 6 - 1 9 9 9 1 9 9 4 - 2 0 0 4 1 9 8 6 - 1 9 9 6 1 9 9 3 - 2 0 0 8 Lampiran - 2 Lampiran - 3

(5)

LANJUTAN LAMPIRAN 1 900 2.338 2.104 1.987 1.940 3.985 2.000 2.500 3.000 2 1080 2.805 2.415 2.275 2.328 3.985 2.000 2.500 3.000 3 1296 3.366 2.740 2.572 2.794 3.985 2.000 2.500 3.000 4 1555 4.039 3.060 2.858 3.352 3.985 2.000 2.500 3.000 5 1866 4.847 3.344 3.102 4.023 3.985 2.000 2.500 3.000 6 2050 5.325 3.461 3.195 4.419 3.985 2.000 2.500 3.000 7 2050 5.325 3.461 3.195 4.419 3.985 2.000 2.500 3.000 8 2050 5.325 3.461 3.195 4.419 3.985 2.000 2.500 3.000 9 2050 5.325 3.461 3.195 4.419 3.985 2.000 2.500 3.000 10 2050 5.325 3.461 3.195 4.419 3.985 2.000 2.500 3.000 Rata-rata 4.402 3.097 2.877 3.653 3.985 2.000 2.500 3.000 Kumulatif PV (* 40.54 28.617 26.59 32.23 35.75 17.94 22.43 26.91 Keterangan

1) Asumsi Harga HSD (20% kanaikkan per tahun)

2) HG (US$/MMBTU) = 1.94 x HSD/HSDO ……….. (model harga gas untuk PLN Keramasan Palembang) 3) HG (US$/MMBTU) = 0.90 x ICP/5.83 + 0.28 …… (model harga gas untuk EJP pada ICP = US$24/bbl)

*) Present Value pada asumsi Inflation Rate (% p.a) ……….= 2.50%

2009 2010 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2001 2002 PT EJP Kontrak IA IB PLN Plb HG ( 3 HG "Flat" $/mmbtu

PERBANDINGAN HARGA GAS PADA BERBAGAI ALTERNATIF FORMULA

Rp/liter $/mmbtu

HG "USULAN" HG ( 2

Tahun HSD ( 1

1. Formula umum disepakati : 3. Mis a lkan dari hasil negosiasi, disepakati :

HG = f x HSD x 25.46 / K persamaan-1 f0 = 0.90 faktor "f" maksimum yaitu pada saat HSD = HSD0

dengan : f = b + a (HSD) persamaan-2 (baca: harga gas 10% lebih murah dari harga solar)

dimana fP = 0.65 faktor "f" minimum yaitu pada saat HSD = HSDP

b = (fp HS DO - f0 HS DP)/(HSDO - HS DP) persamaan-3 (baca : harga gas 35% lebih murah dari harga solar)

a = (fP - f0)/(HS DO - HSDP) persamaan-4 maka dengan menggunakan persamaan-3 dan 4 didapat:

b = 1.0957 a = 2.1739 x 10-4

2. Mis a lkan data pada saat perundingan adala h sebagai berikut:

HSDO = 900 Rp/lite r (Harga HSD untuk umum) 4. Sehingga formula Harga Gas yang tertuang dalam PJBG adalah :

HSDP = 2050 Rp/lite r (Harga pasar HSD) HG = f x HSD / 385

K = 9800 Rp/US$ (asumsi sesuai APBN 2001) dengan f = 1.0957 - 2.1739-4 HSD

dimana HG : Ha rga gas, US$/MMBTU

mengacu kepada data tersebut, maka persamaan-1 menjadi : HSD : Ha rga sola r dalam negeri (untuk umum), Rp/Liter

f : Faktor daya saing

HG = f x HSD x 25.46 / 9800 = f x HSD / 385 385 : Konve rsi dari Rp/liter menjadi US$/MMBTU

CARA PENENTUAN FORMULA HARGA GAS

Lampiran-4

Lampiran-5a

Lampiran-5b

Formula : HG = f x HSD / 385 Dengan : f = b + a (HSD)

Dimana b = (fp HSDO - f0 HSDP)/(HSDO - HSDP) a = (fP - f0)/(HSDO - HSDP) - Asumsi

HSDO = 900 Rp/liter (Harga HSD untuk umum, berdasarkan Keppres, berlaku t.m.t 15 Juni 2001) HSDP = 2050 Rp/liter (Harga pasar HSD asumsi)

f0 = 0.90 faktor "f" maksimum yaitu pada saat HSD = HSD0 fP = 0.65 faktor "f" minimum yaitu pada saat HSD = HSDP - Didapat b = a = x 10-4 HSDO (Rp/liter) = HSDP (Rp/liter) = f0 ("f" maksimum) = fP ("f" minimum) = 1 900 2.338 0.900 2.104 0.850 1.987 900 2.338 0.900 2.104 0.850 1.987 2 1080 2.805 0.861 2.415 0.811 2.275 990 2.571 0.880 2.264 0.830 2.135 3 1296 3.366 0.814 2.740 0.764 2.572 1 0 8 9 2.829 0.859 2.429 0.809 2.288 4 1555 4.039 0.758 3.060 0.708 2.858 1 1 9 8 3.111 0.835 2.599 0.785 2.443 5 1866 4.847 0.690 3.344 0.640 3.102 1 3 1 8 3.423 0.809 2.770 0.759 2.598 6 2050 5.325 0.650 3.461 0.600 3.195 1 4 4 9 3.765 0.781 2.939 0.731 2.750 7 2050 5.325 0.650 3.461 0.600 3.195 1 5 9 4 4.141 0.749 3.102 0.699 2.895 8 2050 5.325 0.650 3.461 0.600 3.195 1 7 5 4 4.555 0.714 3.254 0.664 3.027 9 2050 5.325 0.650 3.461 0.600 3.195 1 9 2 9 5.011 0.676 3.389 0.626 3.138 10 2050 5.325 0.650 3.461 0.600 3.195 2 0 5 0 5.325 0.650 3.461 0.600 3.195 Harga Rata-rata (real) 4.402 3.097 2 . 8 7 7 3.707 2.831 2 . 6 4 6 K e t e r a n g a n

1) Diasumsikan naik 20% per tahun hingga tercapai Harga HSD untuk Umum = Harga Pasar 2) Diasumsikan naik 10% per tahun hingga tercapai Harga HSD untuk Umum = Harga Pasar *) Present Value pada asumsi Inflation Rate (% p.a) …………= 2.5%

CONTOH PERHITUNGAN Sehingga f = 1.0957 - 2 . 1 7 3 9 x 1 0- 4 HSD 1.0957 2.1739 0.65 0.60 H G $/mmbtu f $/mmbtu HG IIA IIB 900 900 900 2 0 5 0 0.90 2050 0.85 Skenario - II T a h u n 2050 2050 0.90 0.85 P a r a m e t e r 900 HG 0.65 2010 P e r k i r a a n H S D (1 2003 2004 2005 2006 2008 2009 P e r k i r a a n H S D (2 f $/mmbtu f 2007 Rp/liter Kontrak 2001 2002 Skenario - I IA IB $/mmbtu

Rp/liter f $/mmbtu $/mmbtu 0.60

Referensi

Dokumen terkait

Dari 6 ibukota provinsi di Pulau Jawa, semua kota mengalami inflasi dan inflasi terendah terjadi di kota DKI Jakarta sebesar 0,16 persen.. Sedangkan inflasi kumulatif terendah

Adapun target luaran dari program ini adalah terbentuknya kader anti narkoba sejumlah tiga puluh satu (31) dari kalangan anak jalanan yang telah diedukasi mengenai

Arso mengungkapkan, dari 1.750 jumlah Masjid dan mushalla di Medan, baru sekitar 50 Masjid saja yang memiliki data keabsahan, penentuan posisi arah kiblat dan

• Variabel 2; 5; 6; 8; 11; 13; 15; 18 berada di kuadran I yang artinya menurut persepsi mahasiswa semester tujuh, lima dan tiga merupakan variabel dengan kenyataan rendah

ANALISIS UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PUTUSAN PN SEMARANG

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia serta cahaya pencerah-Nya selama proses penyelesaian tugas akhir ini sehingga skripsi yang

Pada penelitian kali ini terlihat bahwa di setiap tahun Penyajian salah satu komponen OCI tidak menentu artinya setiap tahun terlihat ada yang menyajikan dan

Tanuwijaya, Haryanto, 2005, Sistem Informasi Konsep, Teknologi & Manajemen, Edisi Pertama, Graha Ilmu: Yogyakarta.. Laudon, Kenneth C., & Laudon, Jane P., 2006,