• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulul al-bab sebagai Profil Pendidik: Kajian Tematis terhadap Konsep Ulul al-bab dalam Al-Qur an Qusaiyen * Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ulul al-bab sebagai Profil Pendidik: Kajian Tematis terhadap Konsep Ulul al-bab dalam Al-Qur an Qusaiyen * Abstrak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Ulul al-Bab sebagai Profil Pendidik:

Kajian Tematis terhadap Konsep Ulul al-Bab dalam Al-Qur’an Qusaiyen*

Abstrak

Tulisan ini mengetengahkan tentang ulul al-albāb sebagai profil pendidik. Hasil penelitian menunjukkan konsep ulul al-albāb dalam perspektif al-Quran mengacu pada makna pendidik, guru, dan cendikiawan Muslim. Untuk mencapai pada jenjang ulu albāb seperti dimaksudkan oleh ayat-ayat al-Quran maka seseorang harus memiliki beberapa kriteria, di antaranya harus memiliki pengetahuan luas, integritas moral, berakhlak mulia, penyantun, sabar, bijaksana, adil, tawadu, kasih sayang terhadap subjek didik, dan selalu mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Jadi dengan demikian seorang ulu al-albāb harus memiliki pemikiran yang luas, perasaan yang peka, sensitif, memiliki daya pikir, memiliki wawasan yang luas, memiliki pengertian yang akurat, dan memiliki kebijakan dan selalu mejaga komunikasi transendental dengan Khaliknya, melalui aktifitas dzikr. Semua karakter ini merupakan cerminan dan keteladanan yang harus juga harus dimiliki oleh pendidik ketika berhadapan dengan subjek didik. Jika pendekatan itu mampu dijabarkan dalam kehidupan nyata maka seorang pendidik akan betul-betul memiliki kemapuan dalam proses transfer of hearts, transfer of head dan tranfer of hand kepada peserta didik dan linggkungan kehidupannya.

Kata Kunci: ulul al-albab, pendidik, al-Qur’an

A. Pendahuluan

Guru merupakan salah satu kompo-nen utama bagi terwujudnya suatu hasil yang ideal dalam proses belajar mengajar. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk mampu melakukan transformasi seperang-kat ilmu pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek ketrampilan (physicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk menge-jewantahkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain).

Al-Qur’an sebagai landasan para-digma pemikiran pendidikan Islam, telah banyak mengungkapkan anasir kependidi-kan yang memerlukependidi-kan perenungan men-dalam, terutama bagi praktisi pendidikan. Pemikiran pendidikan Islam yang berlan-daskan kepada wahyu Tuhan menuntut ter-wujudnya suatu sistem pendidikan yang komprehensif, meliputi ketiga aspek cognitive, affective dan physicomotoric yang nantinya di-harapkan akan mampu melahirkan pribadi-pribadi pendidik yang akan berperan dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan mampu mengembangkan peserta didik ke arah pengamalan nilai-nilai Islam secara

di-namis dan fleksibel dalam batas-batas kon-figurasi realitas wahyu Tuhan.1

Ironisnya, kependidikan Islam dewasa ini tampaknya hanya menonjolkan satu aspek dari tiga aspek pendidikan di atas, se-hingga melahirkan tipe-tipe anak didik yang mempunyai keunggulan kognitif saja, minus dari sikap serta etika (affective domain). Suatu sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang dapat memadukan tiga aspek tersebut dengan cara mentransferkan pengetahuan serta mewariskan nilai-nilai bagi peserta didik dan generasi selanjutnya. Maka keharusan melahirkan kalangan yang dapat berperan sebagai medium (pendidik) dalam proses pentransferan ilmu, adalah menjadi suatu keniscayaan.2

Beranjak dari adanya kesenjangan di atas, maka usaha-usaha untuk mengkaji kembali ide-ide tentang profil seorang pen-didik yang ideal menurut al-Quran tam-paknya merupakan suatu solusi dalam me-mecahkan problematika itu.

Dalam Qur’an didapatkan ulu al-albāb sebagai tolak ukur bagi seorang pen-didik dalam melakukan proses pentrans-feran pendidikan kepada subjek didik.

(2)

Se-banyak 16 kali kata ulu al-albāb disebutkan al-Qur’an dalam beberapa surat,3 yang oleh para mufasir al-Qur’an sepakat memberi makna kalangan yang mempunyai kemam-puan intelektual yang sangat mendalam (hikmah) serta mempunyai keterkaitan yang sangat kontras secara vertikal dengan nilai-nilai ilahiyah.4

Kelompok intelektual ini menyadari tentang kejadian-kejadian alam, hukum-hukum dan realitas alam, serta mengen-yampingkan kemampuan dan kebebasan mengambil jalan apapun. Kesadaran akan

kemampuan intelektual yang mereka

peroleh berasal dari anugerah Tuhan, telah memotivasikan mereka untuk berkiprah dan terlibat secara aktif dalam setiap kebajikan baik untuk kemaslahatan mereka sendiri maupun untuk kemaslahatan umat.

B. Pemaknaan dan Kriteria Ulu

al-Albāb dalam Al-Qur’an

Ulu al-albāb dikonotasikan dengan cendekiawan Muslim, intelektual Muslim, ulama bahkan Ali Syariati menyebutkannya

dengan orang yang “tercerahkan.”5

Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan kata ulu al-albāb sebanyak 16 kali, masing-masing 3 kali pada surat Al- Baqarah (ayat 179, 197, dan 269): dua kali pada surat `Ali `Imran ( ayat 7 dan 190), satu kali pada surat Al- Maidah (ayat 100), satu kali pada surat Yu-suf ( ayat 111), satu kali pada surat Ar- Ra`du (ayat 19), satu kali pada surat Ibra-him ( ayat 52), dua kali pada surat Sad (ayat 29 dan 43), tiga kali pada surat Al-Zumar ( ayat 9, 17, dan 21 ), satu kali pada surat al Ghafir (ayat 54) dan satu kali pada surat Al-Talaq (ayat 9). Secara keseluruhan kata ulu al-albāb yang terdapat dalam ayat-ayat di atas memberi kesan, tafakkur fi khalqillah, tafakkur fiddin, dan takut kepada Allah.

Al-Raghib Al-Asfahani ketika mem-berikan penafsirannya tentang makna ulu al-albāb yang terdapat dalam al-Qur’an men-gatakan bahwa kata al-albāb tersebut meru-pakan bentuk plural dari kata al-lub, yang bermakna (ﺐﺋﺍﻮﺸﻟﺍ ﻦﻣ ﺺﻟﺎﳋﺍ ﻞﻘﻌﻟﺍ) yaitu "akal

pemikiran yang bebas dari kerancuan dan kekeliruan". Lebih jauh Asfahani memberi-kan komentar bahwa setiap al-lubb adalah ‘aql, tetapi tidak mesti setiap ‘aql adalah al- lubb.6 Jadi menurut Al-Asfahani al-lubb me-rupakan suatu ‘entitas’ pemikiran yang mengungguli pemikiran yang berlandaskan rasio belaka (àql).

Pemahaman Al-Asfahani di atas di dukung oleh pendapat M Quraish Shihab dalam tafsirnya tentang kata al- albāb yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (179). Menurut Quraish secara leksikal kata al- albāb itu diambil dari unsur bahasa Arab yaitu bentuk jamak dari al-lubb yang ber-makna saripati sesuatu. Kacang, misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulu al-albāb adalah orang -orang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan

dalam berfikir. Yang merenungkan

ketetapan Allah dan melaksanakannya di-harapkan dapat terhindar dari siksa, sedang yang menolak ketetapan ini maka pasti ada kerancuan dalam cara berfikir.7

Ziauddin Sardar memaknai kata ulu al-albāb itu dengan cendikiawan Muslim, yaitu golongan Muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat di-jadikan pemimpin. Orang-orang berpen-didikan saja tidak dengan sendirinya dapat disebut sebagai intelektual. Para insiyur, akuntan dan dokter bukanlah intelektual; sering mereka tidak begitu tentang hal-hal lain di luar masalah teknik mesin, akuntansi, dan obat-obatan. Cara pemikiran yang menodai para intelektual itu bukanlah cabang ilmu atau teologi, melainkan ideologi. Suatu ideologi mengungkapkan pandangan dunia serta nilai-nilai budaya

mereka. Inteligensia Muslim adalah

segolongan masyarakat Muslim

berpendidikan yang pegangannya atas ideology Islam tak perlu diragukan.8

Dari semua penjelasan ayat di atas, dapat dipahami bahwa makna ulu al-albāb itu indentik dengan cendikiawan (memiliki

(3)

kemamuan intelktual yang tinggi) serta memiliki etos yang kuat dalam memberikan

tanwir (pencerahan) dalam kehidupan

masyarakat. Proses pencerahan ini akan terealisir hanya melalui pendidikan, dan pendidik meruapakan pilar utama dalam mewujudkannya. Mereka mempunyai tang-gung jawab moral dalam mendidik, dan mengubah watak masyarakat dari kebiasaan-kebiasaan buruk menjadi baik.

Seorang yang memiliki kualitas ulu al-albāb adalah yang terdidik dan terlatih serta tidak hanya terbatas pada memikirkan melainkan selalu berusaha mengadakan perubahan, pembaharuan, dan membim-bing masyarakat ke arah yang lebih maju. Untuk mencapai ke arah itu, harus bersedia mengorbankan dan mempersembahkan segala potensi yang dimilikinya demi ke-pentingan subjek didik dan masyarakat.

Golongan ulu al-albāb ditafsirkan oleh Imam Ibn Kathir dalam Tafsir Al-Quran Al-`Azim sebagai “golongan yang mempu-nyai pemikiran yang bersih lagi sempurna

sehingga mampu memahami hakikat

sesuatu perkara secara yang betul”. Mereka mencapai maqam ini melalui zikir dan tafakur. Ahli-ahli sains Muslim yang ber-takwa layak digelar sebagai ulu al-albāb karena mereka memiliki ciri-ciri yang disebutkan ini. Hal ini disebabkan mereka berkesempatan untuk berzikir serta men-gagungkan Allah melalui pengamatan, anal-isis dan tafakur ketika hendak menyingkap rahasia alam. Untuk menjadikan seorang ulu al-albāb yang professional dalam konteks pendidik tidaklah mudah, karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar (based competency) bagi pendidik ditentukan oleh tingkat pekaannya dari bobot potensi dasar dan ke-cenderungan yang dimilikinya. Hal ini di-karenakan potensi itu merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pan-dangan sebagai bahan untuk menjawab se-mua tantangan yang datang darinya.

Robert Honston mendefinisikan

kompetensi sebagai suatu tugas yang me-madai atau pemilikan pengetahuan,

ketram-pilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang (competency ordinarily is de-fine as adequacy for a task or as possession of re-quire knowledge, skill and abilities). Dalam pe-laksanaan pendidikan Islam, penyampaian ilmu agama kepada orang lain itu meru-pakan sebuah keharusan. Yang demikian itu dapat dipahami dari firman Allah, Al-Qurān surat Al-Nahl ayat 125,yaitu:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".(Qs. Al- Nahl: 16: 125)

Berdasarkan ayat-ayat tersebut ter-kandung maksud bahwa siapapun dapat menjadi pendidik Islam asalkan ia memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih, serta keterampilan dan sikap yang sesuai dengan kapasitas dan prinsip-prinsip edukatif. Di samping itu ia mampu mengimplimentasi kan nilai-nilai relevan dalam pengetahuan itu kepada peserta didik.

Sebagai suatu ilustrasi, rangsangan dari ayat-ayat diatas telah memicu muncu-lnya sarjana-sarjana Muslim yang handal baik dari kualitas intelektual maupun dari segi integritas moral. Dalam perkembangan sejarah pendidikan Islam dikenal nama-nama antara lain: Abu Qasim Al-Zahrawi (936-1013 M), dia dikenali di Barat sebagai Abulcasis dan dianggap sebagai

bapak bedah Modern. Ensiklopedia

karangannya yang berjudul Al-Tasrif meru-pakan bahan rujukan penting dalam ilmu pembedahan ketika itu. Dia mencipta banyak alat-alat pembedahan seperti alat pemeriksaan telinga dan saluran kencing. Dia tercatat orang pertama yang mengenal pasti penyakit keturunan yang dikenali sebagai hemofilia. Kitab tersebut kemudian diterjemahkan oleh Gherard dari Cremona ke dalam bahasa Latin sebelum diterjemah-kan ke dalam bahasa Hebrew, Perancis dan Inggris. Pakar bedah Perancis yang terkenal, Guy de Chauliac (1300-1368 Masihi)

(4)

men-jadikan tulisan Al-Zahrawi sebagai bahan tambahan dalam buku bedah beliau. Al-Tasrif menjadi bahan rujukan selama lima abad di Universiti Salerno di Itali, Mot-pellier di Perancis dan beberapa Universiti lain di Eropah. Mengikut Dr. Cambell dalam History of Arab Medicine, prinsip-prinsip sains yang diutarakan oleh Al-Zahrawi sebenarnya mengatasi karya Galen di Eropah.

Orang yang berilmu seperti di atas, mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Tuhan dan manusia. Al-Quran menggelar golongan ini dengan pelbagai gelar mulia dan terhormat yang menggam-barkan kemuliaan dan ketinggian kedudu-kan mereka di sisi Allah swt., dan makhluk-Nya. Mereka digelar sebagai "al-Rāsikhun fil `Ilm" (Ali `Imran : 7), "Ulul al-`Ilmi" (Ali `Imran : 18), "Ulu al-albāb " (Ali `Imran : 190), "al-Basir" dan "al-Sami` " (Hud : 24), "al-`Alimun" (al-`Ankabut : 43), "al-`Ulamā" (Fatir : 28), "al-Ahya’ " (Fatir : 35) dan ber-bagai nama baik dan gelaran mulia lain. Ge-laran ini disetarakan Allah swt., dengan ayat-ayat yang membicarakan dasar-dasar akidah tauhid dengan menghubungkan kitab suci al-Quran dan fenomena alam sebagai "wasi-lah" atau "ayat" bagi mengenal dan menga-kui-Nya. Ia sekaligus menunjukkan bahwa daya usaha untuk memperoleh ilmu melalui pelbagai saluran dan pancaindera yang dikurniakan Allah swt., membimbing sese-orang ke arah mengenal dan mengakui ketauhidan Rabbul Jalil.

Sifat ikhlas, berani, dan tegas serta senantiasa istiqamah harus dimiliki oleh ulu al-albāb. Ulu al-albāb tidak mengharapkan imbalan, sanjungan, dan pujian manusia. Keikhlasan adalah hasil dari ramuan kecintaan dan keyakinan kepada prinsip kebenaran yang menjadi tonggak pegangan orang berilmu. Mereka sangat menjunjung tinggi prinsip kebenaran. Tidak menafikan kebenaran dari pihak lain dan tidak pula mencemari kebenaran. Kebenaran yang menjadi pegangan mereka bukan diukur dari perkataan yang keluar dari mulutnya.

Bahkan kebenaran itu boleh juga datang daripada orang lain.

D. Unsur-unsur Ulul al-Abāb dan

Kaitannya dengan Pendidik

Pendidik menduduki posisi yang sangat strategis dalam kegiatan pendidikan. Mereka adalah subjek yang memiliki ilmu pengetahuan, yang merupakan hasil dari proses aktifitas tafakkur dan dhikirnya. Karena kualitas intelektual dan integritas kepibadian yang mereka miliki, mengantar-kan mereka menjadi pemegang otoritas dalam membentuk kepribadian ideal subjek didik.

Seorang pendidik9memiliki tanggung jawab moral terhadap maju mundurnya se-buah pendidikan. Pendidik harus menyam-paikan pengetahuan pada anak didik dengan penuh keikhlasan, menanamkan pengeta-huan dengan harapan akan memperoleh pemahaman yang baik. Usaha tersebut akan terwujud melalui kalangan pendidik yang memiliki kualitas ulu al-albāb, yang mampu mempergunakan fungsi berfikir yang terda-pat pada ranah kognitif dan fungsi mengin-gat yang terdapat pada ranah afektif.

Proses belajar mengajar juga menun-tut kearifan karena kaitannya dengan bimb-ingan terhadap subjek didik agar tercapai tujuan pendidikan. Untuk mencapai maksud tersebut hanyalah dengan jalan memiliki ilmu pengetahuan dan pendidikan yang handal.10

Sebagai ilustrasi, proses pendidikan tidak hanya diwarnai dengan transfer ilmu

pengetahuan dan pendidikan melalui

pendekatan behavioristik-empirik dengan menggunakan paradigma stimulus-respon yang secara mekanistik membentuk ke-mampuan rasional-analitik maupun ketram-pilan professional-mekanistik. Akan tetapi, sebuah proses pendidikan harus menjang-kau bidang lain yang lebih jauh daripada sesuatu yang secara paradigmatik dapat diatasi dan mencapai unsur non-fisik sebab pendidikan sudah harus melintasi dan men-capai unsur non-fisik. Unsur-unsur nonfisik yang dimaksud menyangkut sesuatu yang

(5)

disebut kepribadian, rasa tanggung jawab atau rasa bahagia, baik untuk dirinya sebagai lulusan suatu proses pendidikan tertentu maupun bagi lingkungan masyarakatnya tempat dia mengabdikan dan

mengaplikasi-kan ilmu pengetahuan.11

Melalui ilmu diupayakan pembekalan pengetahuan, ketrampilan dan nilai bagi pe-serta didik agar mereka dapat hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di dalam masyarakat. Pengetahuan, ketrampi-lan dan nilai yang diberikan kepada peserta didik tentunya juga ada yang bersumber dari masyarakat. Karena itu, pendidikan mesti memiliki keterkaitan yang erat dengan masyarakat. Pendidikan merupakan refleksi dari cita-cita, tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

Guru sebagai pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan, tentu juga tidak dapat lepas hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang dihasilkan dari upaya pengembangan pendidikan harus didasarkan pada kepercayaan, nilai, kebutuhan dan tun-tutan masyarakat.

Setiap masyarakat mempunyai keper-cayaan atau keyakinan tentang bentuk manusia yang bagaimana yang dicitakan. Cita ini biasanya terkandung dalam keper-cayaan agama dan falsafah hidup masyara-kat. Di samping didasarkan pada keper-cayaan atau keyakinan masyarakat, pengem-bangan pendidikan harus didasarkan pada nilai yang dijunjung tinggi dalam masyara-kat. Nilai adalah ukuran umum yang dipan-dang baik oleh masyarakat dan menjadi pe-doman bagi tingkah laku manusia tentang bagaimana cara hidup yang sebaiknya.12Nilai bersumber dari falsafah hidup masyarakat.

Pengembangan pendidikan meru-pakan suatu upaya yang mesti memperhati-kan kebutuhan masyarakat. Ini karena pen-didikan pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan, masyarakat sering berhadapan dengan berbagai permasalahan hidup, baik yang bersifat personal maupun

sosial. Permasalahan sosial dewasa ini telah menjadi kendala utama masyarakat dalam memenuhi kebutuhan. Untuk itu, saat ini sangat dibutuhkan tenaga terdidik yang mampu mengatasinya. Penyelesaian ma-salah sosial amat tergantung pada orang yang memiliki keahlian, pengetahuan dan keinginan untuk tugas itu. Pemuda atau pe-serta didik adalah sumber penting dalam penyelesaian masalah sosial melalui kontri-busi yang mereka berikan baik saat sekarang

maupun ketika mereka sudah dewasa.13Jadi,

pendidikan melalui lembaga sekolah dapat dikatakan faktor utama dalam perubahan sosial, yaitu melalui sumbangan peserta didik dengan mengembangkan kapasitas intelektual dalam merespon masalah sosial. Maka dalam hal ini, pendidikan tidak hanya melayani kebutuhan diri peserta didik tetapi juga melayani kebutuhan masyarakat.

Di samping berfungsi sebagai faktor utama perubahan sosial, pendidikan melalui lembaga sekolah juga dapat melayani berba-gai tujuan di dalam masyarakat. Terhadap tanggung jawab ini, pengembangan pen-didikan mesti dapat menentukan jenis keahlian, pengetahuan, dan sikap yang dibu-tuhkan masyarakat.

Kebutuhan masyarakat mendorong munculnya tuntutan yang perlu mendapat-kan pemenuhan. Tuntutan masyarakat san-gat kompleks seiring dengan kompleksnya kebutuhan masyarakat. Maka dalam hal ini, pendidik profesional diharapkan dapat menyeleksi program, materi dan pengala-man belajar yang relevan dengan tuntutan masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat, unsur pendidikan dan unsur kebudayaan meru-pakan dua hal yang mesti harus diikutserta-kan. Di satu sisi pendidikan adalah aktivitas kebudayaan sekaligus aktivitas pembu-dayaan. Di sisi lain kebudayaan menjel-makan aktivitas, sistem dan struktur pen-didikan.14 Karena itu, baik dalam masyarakat tradisional maupun masyarakat modern se-lalu terkandung unsur pendidikan yang berusaha memperkenalkan dan membawa masyarakat ke arah kebudayaannya.

(6)

Pen-didikan diharapkan menjadi instrumen un-tuk mentransmisikan kebudayaan kepada masyarakat dan generasi baru.

Dalam interaksi antar individu baik antara guru dengan peserta didik, antara peserta didik dengan temannya, maupun antara peserta didik dengan peserta didik lainnya terjadi proses dan peristiwa psikolo-gis. Proses dan peristiwa psikologis yang tercipta ditentukan oleh kondisi psikologis individu yang berinteraksi. Sebab itu, me-mahami kondisi psikologis individu yang berinteraksi dalam proses pendidikan adalah tugas penting dalam pengembangannya.

Kondisi psikologis merupakan karak-teristik psiko-fisik seseorang sebagai indi-vidu, yang dinyatakan dalam berbagai ben-tuk prilaku dalam interaksi dengan lingkun-gannya.15 Kondisi psikologis setiap individu berbeda karena perbedaan tahap perkem-bangan, latar belakang sosial-budaya, dan perbedaan faktor bawaannya. Di samping itu, kondisi inipun berbeda tergantung pada konteks, peranan dan status individu di antara individu yang lainnya.

Memperhatikan karakteristik psiko-fisik peserta didik dan peristiwa belajar adalah hal yang sangat penting dalam penentuan keputusan perencanaan pendidi-kan.16 Karena perencanaan pendidikan da-pat pula bermakna perekayasaan interaksi pendidikan yang di dalamnya terjadi peristiwa belajar yang melibatkan peserta didik sebagai salah satu komponennya. In-teraksi pendidikan yang diharapkan mesti sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi belajar yang diinginkan oleh peserta didik.

Karakteristik psiko-fisik peserta didik dapat dimanifestasikan dalam berbagai ben-tuk prilaku yang dapat diamati dan yang ti-dak dapat diamati. Berbagai perilaku ini bi-asanya dikategorikan dalam tiga bentuk pri-laku yaitu: peripri-laku kognitif, peripri-laku afektif dan perilaku psikomotorik. Perilaku kogni-tif dan afekkogni-tif adalah bentuk perilaku yang sangat sukar ditanggapi oleh alat indera, sementara perilaku psikomotorik adalah sebaliknya. Ketiga bentuk perilaku peserta

didik ini senantiasa mengalami perkemban-gan.

Muhibbin Syah membagi perkemban-gan peserta didik ke dalam tiga aspek, yaitu perkembangan motor (motor development), perkembangan kognitif (cognitive development) dan perkembangan sosial dan moral (social and moral development).17 Perkembangan mo-tor merupakan proses perkembangan yang berhubungan dengan perolehan aneka ragam ketrampilan fisik yang dimiliki seo-rang anak seiring dengan laju proses perkembangan fisiknya.

Proses perkembangan fisik anak ber-langsung lebih kurang dua dekade sejak ia lahir. Lonjakan perkembangan terjadi pada masa anak menginjak usia remaja antara dua belas atau tiga belas tahun hingga dua puluh

satu atau dua puluh dua tahun.18 Pada masa

ini perubahan fisik pada remaja terlihat be-gitu menonjol dan berlangsung cepat. Ken-yataan ini terkadang menjadi masalah bagi sebagian remaja, dan menyebabkan bergejo-laknya gejala emosi tertentu, misalnya rasa malu, kaku, kurang percaya diri dan seba-gainya.

Perkembangan perilaku peserta didik yang lainnya adalah perkembangan kognitif. Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang

padanannya knowing, berarti

pengeta-huan.19Dalam perkembangan selanjutnya,

istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pe-mecahan masalah, kesengajaan dan keyaki-nan.20

Sebagian besar psikolog terutama kognitivis berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai ber-langsung sejak ia baru lahir. Bekal dan mo-dal dasar perkembangan manusia, yakni ka-pasitas motor dan kaka-pasitas sensori sampai batas tertentu juga dipengaruhi oleh aktivi-tas ranah kognitif.21 Karena itu, penday-agunaan kapasitas kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu menday-agunakan kapasitas motor dan sensorinya.

(7)

Argumen yang dikemukakan para ahli men-genai hal ini ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivi-tas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali ke-mungkinan bayi tersebut dapat mengotoma-tisasikan berbagai refleks motorik dan daya sensorinya.

Perkembangan ketiga adalah perkem-bangan sosial dan moral. Pendidikan ditin-jau dari sudut psikososial (kejiwaan masyarakat) adalah upaya menumbuh kem-bangkan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal yang ber-langsung dalam masyarakat yang teror-ganisasi, dalam hal ini masyarakat, kan dan keluarga. Oleh karena itu, pendidi-kan baik yang berlangsung secara formal di sekolah maupun yang berlangsung secara informal di lingkungan keluarga memiliki peranan penting dalam mengembangkan sosial peserta didik. Perkembangan sosial peserta didik adalah proses perkembangan kepribadian siswa selaku anggota masyara-kat dalam berhubungan dengan orang lain.

Seperti dalam proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral anak selalu berkaitan dengan proses belajar. Dengan kata lain, kwalitas hasil perkembangan sosial peserta didik sangat tergantung pada kualitas proses belajar, khususnya belajar sosial peserta didik terse-but, baik di lingkungan sekolah dan keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas. Ini berarti, bahwa proses belajar itu amat me-nentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan moral agama, moral tradisi, moral hukum dan moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam kajian ilmu pendidikan, sebuah pendidikan dan pengajaran dapat dikatakan baik apabila memiliki ciri-ciri di antaranya: Pertama, hasil itu tahan lama dan dapat digunakan dalam kehidupan anak didik. Dalam hal ini pendidik akan senantiasa menjadi pembimbing dan pelatih yang baik

bagi anak didik. Jika hasil pengajaran itu tidak tahan lama dan lekas menghilang, maka hasil pengajaran itu berarti tidak efek-tif. Pendidik harus mempertimbangkan berapa banyak dari yang diajarkan itu akan masih diingat kelak oleh subjek didik, sete-lah lewat satu Minggu, satu bulan, satu tahu dan seterusnya. Kedua, hasil itu merupakan pengetahuan “asli” atau “otentik.” Pengeta-huan hasil proses belajar mengajar itu bagi anak didik seolah-olah telah merupakan bagian kepribadian bagi diri setiap anak didik, sehingga akan dapat mempengaruhi pandangan dan caranya mendekati suatu permasalahan. Sebab pengetahuan itu diha-yati dan penuh makna bagi dirinya.22

Dalam hubungan itu, tanggungjawab seorang pendidik menghasilkan produk yang baik adalah bagaimana mengor-ganisasikan proses belajar mengajar untuk mencapai pengetahuan yang otentik dan tahan lama. Karena tugas pendidik sebagai pengajar merupakan kegiatan mengor-ganisasikan proses belajar secara baik, maka pendidik sebagai pengajar harus berperan sebagai organisator yang baik pula. Secara makro pendidik dituntut untuk dapat men-gorganisasikan komponen-komponen yang terlibat di dalam proses belajar mengajar, sehingga diharapkan terjadi proses belajar yang optimal.

E. Dampak Profil Ulul al-Albāb

sebagai Pendidik terhadap Personaliti Subjek Didik

Salah satu komponen internal yang sangat berpengaruh dan fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan, adalah tenaga pendidik. Dalam diskursus pendidikan Islam, pendidik tidak hanya berperan sebagai pengajar (transfer of knowledge) tetapi juga sebagai sentral figure bagi anak didik-nya. Karenanya, pendidik mempunyai dua beban sekaligus, di satu sisi beban profe-sional sebagai pengajar, dan di sisi lain

sebagai orang muaddib23 yang sekaligus

berperan dalam proses internalisasi moral untuk membentuk kepribadian anak didik. Karenanya, figure tenaga pendidik yang

(8)

beretika sebagai satu keharusan yang harus inhern dalam diri pendidik, baik terhadap dirinya sendiri maupun dengan lingkungan proses pendidikan.

Nilai-nilai etis yang harus dimiliki oleh seluruh pendidik dalam proses pendidikan yang terkait dengan dirinya sen-diri, yakni pertama, etika moral (khashaish akhlaqiyah), kedua, etika keagamaan (khash-aish diniyah), dan ketiga, etika profesionalis-me atau keahlian (khashaish muhni’ah).24

Di antara manisfestasi etika moral yang harus selalu inhern dengan jiwa pendidik dalam kehidupan hari-harinya, selalu menampakkan sikap dan tindakan yang mencerminkan muraqabah (dekat kepada Allah) secara kontinyu baik dalam keadaan di muka umum ataupun di tempat yang tersembunyi. Di samping itu, tenaga pendidik harus menjaga ketaqwaan kepada Allah baik dalam kondisi sedang menjalan-kan aktifitas menyeluruh, sedang istirahat, sedang berbicara atau bertindak. Karena, sikap dan perilaku tersebut akan memposisi-kan pendidik sebagai orang yang dapat dipercaya mengenahi apapun yang diajar-kan, sebagai menisfestasi dari bentuk taqwa kepada Allah swt.

Pendidikan juga harus berperilaku zuhud (asketis), dalam mengarungi kehidupan dunia dan hidup sederhana yang sekiranya tidak membahayakan bagi keluarga dan dirinya, agar mampu berkonsentrasi terha-dap tugas yang diembannya secara maksi-mal.

Dalam mengarungi kehidupan sosial, pendidik harus menghiasi dirinya dengan amal-amal yang baik dihadapan umat manu-sia, seperti bermuka manis, mendoakan selamat, menahan marah, menahan hal-hal yang dapat menyakiti orang lain, lemah lembut, welas asih kepada orang-orang miskin dan sebagainya. Konsekwensi, pendidik harus menghindari etika-etika yang buruk, seperti hasud, pemarah, riya, ujub dan lain sebagainya.

Bentuk-bentuk artikulatif etika keaga-maan pendidik yang harus dipenuhi antara lain: Pertama, pendidik harus selalu

memegang teguh syari’at Islam yang menerapkan hukum-hukum syari’at seperti melaksanakan shalat berjama’ah di mesjid, menebarkan doa selamat baik kepada orang yang khusus maupun orang awam, berbuat amar makmur nahi mungkar dan sabar menghadapi musibah. Kedua, pendidik harus selalu menjaga perintah yang disunatkan syara’, baik berupa sunnah praksis maupun ucapan, seperti membaca al-Quran, selalu berzikir kepada Allah di dalam hati dan lisan. Di samping, pendidik diharuskan melakukan doa-doa dan zikir di tengah malam dan banyak beribadah. Ketiga, ketika sedang membaca Al-Qur`an, maka pendidik diharuskan juga merefleksi-kan makna-makna yang dimerefleksi-kandungnya, perintah-perintah dan larangan-larangan dalam makna al-Quran, makna-makna yang terkait dengan janji dan ancaman Allah, dan bahkan pendidik harus selalu menjaga dan jangan sampai melupakan makna-makna yang telah direfleksikan.

Disamping itu seorang pendidik harus memiliki etika profesionalisme. Etika ini harus terwujud dalam jiwa pendidik, adalah mulai dari sebelum keluar dari rumah untuk mengajar sampai selesainya materi yang diajarkan dan terkait dengan dimensi psikologis dan fisikologis. Etika-etika yang harus dimiliki oleh pendidik di antaranya, sebelum membuka materi pelajaran, pendi-dik diharuskan untuk mempersiapkan diri dengan mensucikan dirinya, baik yang terkait dengan dimensi psikologis maupun fisikologis, serta nilai estetika. Daris sikap, kemampuan akademik dan penampilan.

Etika yang harus dimiliki pendidik dalam proses pembelajaran, antara lai, pendidik tidak memisahkan materi pelajaran yang seharusnya disatukan dan baru mengakhiri pada bahasan yang semestinya, agar tidak menjadikan kekacauan atau salah faham bagi peserta didik. Pendidik juga harus mengeliminir persoalan yang sekira-nya sulit diselesaikan pemecahansekira-nya, karena dapat berimplikasi pada teredukasinya peran nalar peserta didik serta akan menghasilkan kejenuhan bagi mereka. Namun pendidik

(9)

juga dilarang memberikan materi pelajaran terlalu ringkas karena dapat membatasi pengetahuan yang seharusnya diberikan kepada peserta didik.

Selanjutnya seorang pendidik juga

harus memiliki etika terhadap peserta didi-knya. Etika ini lebih tepat dinyatakan seba-gai konsep yang terkait dengan metode pengajaran yang harus dipenuhi oleh pen-didik di tengah-tengah pembelajaran sedang berlangsung. Konsepsi tersebut menyangkut konstruksi pengajaran yang bersifat ideal-isme dan praktis.

Di antara etika pendidik harus disertai niat hanya untuk Allah SWT., semata, yebarkan ilmu pengetahuan dan men-ghidupkan syari`ah, melanggengkan aktu-alisasi kebenaran dan mencegah kebatilan karena dengan pembelajaran akan selalu dapat melahirkan intelektual yang akan menjaga kebajikan umat.

Dalam pendidikan modern diakui se-bagian besar tingkah laku peserta didik tidak diperoleh melalui “trial and error”, melainkan sebagai hasil meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya. Peserta didik mengenal nilai baik buruk dari apa yang dilakukan oleh pendidiknya. Oleh karena itu seorang pendidik dalam konteks ulu al-albāb, per-formanya akan meyakinkan peserta didik tatkala wawasan keagamaannya luas dan sikap relegiusnya yang selalu konsisten dalam pengamalan ritualitas ajaran agama-nya, yakin terhadap agama, serta memiliki sensitifitas sosial yang tinggi. Dengan kata lain, nilai-nilai Islam harus mengkristal dalam diri seorang pendidik. Atas dasar ini, tidak berlebihan jika Islam mengedepankan sikap apresiatif yang tinggi terhadap profil pendidik.

Al-Zarnuji dalam kitabnya, Ta`lim al-Muta`allim, mengingatkan bahwa peserta didik tidak akan memperoleh ilmu dan tidak mendapat manfaat dari ilmu yang diajarkan-nya kecuali menghargai ilmu dan pendidik, serta menaruh hormat kepadanya.25 Dalam salah satu hadith, Nabi Muhammad saw., menyatakan bahwa pada hari kiamat ada tiga golongan yang akan memberikan

syafa`at; para Nabi, para ulama, dan para

syuhada. Hadith ini menggambarkan

kemuliaan orang yang berilmu yang mengajarkan ilmunya. Kemuliaan seorang pendidik dikarenakan ilmu yang dimilikinya dan mau mengajarkan ilmunya itu kepada subjek didik.

Ahmad Tafsir dalam bukunya menu-liskan bahwa pendidik harus memberikan teladan yang baik dalam berbagai hal; (1) dalam menampilkan sikap yang lembut pada anak didik; (2) dalam memperlihatkan sikap ramahnya terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya; (3) dalam bergaul dengan semua orang sarat dengan kelemah-lembutannya dan (4) dalam memelihara ibadahnya serta berbagai tindak-tanduknya.26

Dalam beberapa ayat al-Qur’an men-yebutkan bahwa penggunaan kata ulu albāb sebagai pendekatan pendidikan didasari atas hanya orang-orang yang mempunyai akal pikiran yang jernih atau mempunyai intelek-tualitas yang mampu mengemban amanah menjadi seorang pendidik. Quraish Shihab memaknai kata ulu albāb itu sebagai orang-orang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir.27

Dalam pembahasan terdahulu, telah disebutkan bahwa salah satu karakter yang terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah sifat keteladanan. Kete-ladanan akan mendorong identifikasi positif yang sangat berpengaruh pada pembentu-kan kepribadian, karena nilai yang dikenal si anak masih melekat pada orang yang dis-enangi dan dikaguminya. Noer `Ali meng-klasifikasikan identifikasi menjadi dua macam, yaitu bentuk pendekatan identifi-kasi instingtif dan pendekatan identifiidentifi-kasi bertujuan. Pendekatan identifikasi instingtif adalah adanya dorongan berupa perasaan lemah lembut di hadapan pihak yang mem-punyai kekuatan. Pihak yang kalah beriden-tifikasi pada pihak yang menang dengan mengikuti dan tunduk kepada hukumnya, yang dipimpinnya, anak akan berindentifi-kasi kepada orang tuanya dan murid akan

(10)

menteladani gurunya. Di sini pihak yang lemah melakukan tindakan yang identik dengan tokoh identifikasinya didasarkan atas dorongan untuk memperoleh per-lindungan. Jenis identifikasi ini dalam istilah agama disebut taqlid yang tidak disengaja, yakni seseorang telah terpengaruh kepribad-iannya secara tidak sadar.

Selain pendekatan identifikasi insting-tif, pendekatan kedua harus dilakukan den-gan cara pendekatan identifikasi. Bentuk pendekatan ini merupakan proses berfikir yang memadukan ketergantungan serta dorongan untuk meniru dengan kesadaran terhadap yang ditiru. Identifikasi jenis ini disebut ittiba` dan model ittiba` yang paling tinggi nilainya adalah yang didasari pada pengetahuan tentang cara dan tujuan.

Sasaran seperti di atas, merupakan tujuan yang harus dicapai oleh seorang yang memiliki wawasan pengetahuan dan integri-tas moral yang akan memicu sensistifiintegri-tas sosial. Sikap ini selalu terpatri dalam sosok ulu al-albāb. Mereka berkiprah dan men-gabdi dalam masyarakat agar dapat mengan-tarkan dan mewujudkan suatu komunitas yang ideal. Dalam melakukan transformasi ilmu, seorang ulu al-albāb berfungsi sebagai seorang pendidik yang selalu mengamati gerak-gerik subjek didik. Seorang anak mempu-nyai kebiasaan meniru baik dalam ucapan, perbuatan dan perilaku orang yang berhu-bungan erat dengan mereka, sehingga menurut Athiyah Al-Abrasyi, para filosof Muslim mengharapkan setiap pendidik agar mengedepankan akhlak al- karimah dalam segala sikap dan gerak geriknya dan menghindari diri dari sifat tercela.

Terkait dengan masalah ini,

Al-Nahlawi28menjelaskan dalam melakukan

pendidikan itu, paling tidak harus melaku-kan dua pendekatan yaitu:

1. Pendekatan tidak disengaja

Pendekatan ini dilakukan dengan ti-dak disengaja oleh seorang pendidik, karena terjadi dalam interaksi keseharian, misalnya dalam proses belajar mengajar, maupun dalam pergaulan di luar kelas. Keberhasilan

tipe keteladanan, seperti keilmuan, ke-pemimpinan, keikhlasan, penampilan (per-formance), tingkah laku, tutur kata dan seba-gainya. Dalam kondisi ini, pengaruh kete-ladanan berjalan secara langsung tanpa dis-engaja. Ini berarti bahwa setiap orang yang diharapkan menjadi teladan hendaknya memelihara tingkah lakunya, disertai kesa-daran bahwa ia bertanggung jawab di hada-pan Allah swt., dalam segala hal yang diikuti oleh orang lain, terutama anak didik.

2. Pendekatan yang disengaja

Pendekatan ini dilakukan dengan cara penjelasan atau perintah agar diteladani. Seperti lazimnya seorang pendidik memer-intah muridnya untuk membaca, mengerja-kan tugas sekolah, tugas rumah atau seorang pendidik memberi penjelasan di papan tulis kemudian murid menirunya. Pendekatan ini dilakukan agar si anak terbiasa dan terlatih dalam kedisiplinan dan keuletan dalam mempelajari ilmu pengetahuan.

Pendekatan ini adalah salah satu pendekatan yang paling sering dilakukan Nabi Muhammad saw., ketika bersama-sama dengan sahabatnya. Para sahabat telah mempelajari berbagai urusan agama mereka dengan jalan mengikuti keteladanan yang diberikan Rasulullah saw., secara sengaja, seperti digambarkan dalam sebuah hadith, “Hendaklah kamu sekalian mengambil cara-cara ibadah seperti ibadahku.”29

Kedua pendekatan di atas merupakan tugas yang harus dilakukan oleh ulu al-albāb dalam menjembatani dan transpormasi pen-getahuan kepada anak didik. Namun begitu, tugas dan tanggungjawab ini tidak akan bernilai guna apabila tidak mendapat du-kungan dari semua pihak terutama pihak keluarga, masyarakat di samping sekolah di mana anak itu belajar.

Keteladanan pendidikan terhadap pe-serta didik merupakan kunci keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk moral spiritual dan sosial anak.30 Karena pendidikan merupakan figur terbaik dalam pandangan anak yang akan dijadikannya sebagai teladan dalam kehidupannya. Jika

(11)

seorang ulu al-albāb memiliki sifat jujur, da-pat dipercaya, berakhlak mulia dan men-jauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama maka anak didik akan men-jadi teladan dan akan terbawa dalam ke-hidupan sehari-hari.

Ulu al-albāb yang berfungsi sebagai seorang pendidik tidak akan mungkin dapat mendidik dan membawa anak menjadi baik jika tidak memiliki akhlak yang baik. Akhlak bagi seorang ulu albab sangat penting karena dapat merubah sikap dan membentuk kepribadian yang luhur. Dengan keberadaan jiwa yang labil dan sangat mudah dipenga-ruhi, seorang anak akan mudah meniru apa yang dilihatnya. Mereka menghayati secara langsung tingkah laku seorang pendidik apalagi kalau interaksi mereka terus berke-lanjutan jangka waktu enam tahun di seko-lah dasar dan enam tahun di sekoseko-lah lanju-tan.31

Berdasarkan uraian di atas dapat dija-barkan secara sistematis bahwa seorang ulu al-albāb harus mempunyai karakter tersendiri yang semestinya mewarnai selu-ruh perkataan, perbuatan dan performance para pendidik Muslim, di antaranya:

1. Ikhlas

Ulu al-albāb hendaknya memiliki niat apa yang diperbuat dari seluruh pengabdian edukatifnya semata-mata karena Allah SWT., baik berupa perintah, larangan

nase-hat, pengawasan atau hukuman.32 Ia

memiliki tanggung jawab yang penuh khid-mat di jalan Allah SWT. Ketulusan hati dan keikhlasan jiwa dalam mengajari dan mem-bagi pengetahuan kepada anak didik tidak disebabkan adanya unsur pemaksaan atau karena mengharapkan upah atas perbua-tannya.

2. Tawâdu’`

Sifat tawâdu’ adalah bagian dari sifat-sifat terpuji, tidak sombong dan rendah hati terhadap kemampuan atau ilmu yang di-milikinya. Karakter ini dalam ungkapan peribahasa sering dicontohkan, seorang il-muan yang baik bagaikan padi, semakin

ber-isi semakin merunduk. Karakter tawadhu’ harus melekat pada diri seorang ulu al-albāb , jika ingin memiliki kualitas diri yang tinggi dan kepribadian yang mantap. Ibn Mubarak mengatakan bahwa kekayaan itu terletak dalam jiwa, kemurahan itu terletak dalam taqwa, dan kemuliaan itu terletak dalam ket-awadhu’an, dikatakan juga buah qana`ah adalah ketenangan dan buah tawadu` adalah cinta,33 yaitu mencintai ilmu dan mencintai anak didik.

3. Siddiq

Sifat siddiq adalah bagian dari sifat yang melekat pada diri Nabi artinya jujur, dapat dipercaya baik dalam perbuatan mau-pun dalam perkataan. Seorang ulu al-albāb harus memiliki sifat siddid karena sifat ini merupakan akhlak yang paling baik dalam ilmu pendidikan. Jika seorang ulu al-albāb memiliki sifat ini maka akan mudah menga-jarkan ilmu kepada anak didik dan juga

membiasakan mereka berlaku jujur.34

Sifat siddiq yang dimiliki oleh ulu al-albab akan memberi inspirasi bagi anak didik bagaimana berlaku jujur. Anak dengan mu-dah memahami arti kejujuran dengan men-gamati tingkah polah gurunya. Di samping itu, seorang ulu al-albāb apabila telah memiliki karakter siddiq, anak dengan tulus akan melakukan pendekatan, pengaduan terhadap masalah-masalah yang sedang di-hadapinya. Di sinilah terlihat besarnya peran seorang ulu al-albāb sebagai media pendidi-kan dan sebagai penganti orang tua bagi anak didik. Dengan demikian terjalinlah hubungan yang lebih erat antara ulu al-albāb dengan anak didik sehingga akan memper-mudah proses transpormasi ilmu pengeta-huan yang dimilikinya.

4. Rajin ebramal

Seorang ulu al-albāb yang telah dise-butkan al-Quran rajin melakukan kebajian-kebajikan, ringan tangan, tidak kikir dan rajin bekerja. Karena secara tidak langsung sikap ini akan menjadi contoh dan akan ter-bawa dalam pembentukan sikap dan karak-ter anak didik.

(12)

5. Penuh kasih sayang

Sifat kasih sayang merupakan bagian dari sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah SWT. Sifat ini adalah sifat yang paling terpuji, jika dimiliki oleh seorang hamba atau oleh seo-rang ulu al-albāb . Jika seoseo-rang ulu al-albāb telah memiliki sifat ini berarti ia telah mem-buka hati kepada orang lain dengan mengharap ridha Allah SWT. Hal ini akan tercermin sikap bijaksana dalam melakukan proses belajar mengajar. Anak didik yang tumbuh dengan sifat kasih sayang yang diberikan oleh seorang ulu al-albāb sangat berbeda dengan yang lainnya. Hal ini akan memudahkan seorang ulu al-albāb dalam membentuk kepribadiannya. Terkait dengan masalah ini, Rasulullah SWT., bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah-lembut, mencintai kelembutan dalam segala urusan.” “Kelembutan itu tidak menimpa pada sesuatu, melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah ia terlepas dari sesuatu me-lainkan akan memburukkannya.”

Keteladanan itu akan semakin sem-purna bila didukung oleh lingkungan yang penuh kasih sayang antara pendidik dan subjek didik, dan antara sesama pendidik dan antara pendidik dengan masyarakat.

6. `Adil

Seorang ulu al-albāb memiliki sifat adil terhadap anak didik, dengan tidak membe-dakan antara satu sama lain. Semua anak di mata ulu al-albāb harus memiliki hak yang sama dalam mendapatkan perhatian sang ulu al-albāb . Seorang ulu al-albāb tidak boleh menampakkan kepada anak didik sikap me-lebihkan satu dari yang lain, karena sikap ini akan memberi pengaruh terhadap metal subjek didik.

7. Sabar

Seorang ulu al-albāb hendaklah men-ghiasi dirinya dengan kesabaran ketika menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan subjek didik. Kesabaran akan memberikan manfaat yang besar dalam melakukan aktivitas yang mulia.35 Kesabaran yang mewarnai kepribadian ulu al-albāb

akan memberi pengaruh langsung terhadap pembentukan sikap dan kepribadian subjek didik. Mereka selalu akan mengamati dan belajar dari sikap seorang pendidik dalam pengembangan diri agar tumbuh nilai-nilai kesabaran dalam dirinya.

Jika kriteria-kriteria ulu al-albāb di atas dijabarkan dalam konteks pendidik maka secara didaktis, peserta didik akan belajar banyak hal dari pengalamannya, terutama pengalaman pendidikannya. Proses mem-peroleh pengalaman itu banyak dimem-peroleh dalam interaksinya dengan pendidik, se-hingga secara sadar atau tidak, peserta didik banyak menerima unsur nilai dari pendidi-kannya. Dalam konteks inilah tugas men-didik dinilai sangat mulia, dan para penmen-didik sebagai pahlawan-pahlawan tanpa jasa. Ini

bermakna bahwa penghargaan yang

diperoleh seorang pendidik itu tidak dapat diukur dengan nilai materi, melainkan ber-dasarkan investasi nilai-nilai moral dalam membentuk kepribadian peserta didik. Pendidik yang baik akan mengantarkan peserta didik menjadi hamba-hamba Allah yang beriman, ta`at sepenuhnya kepada Allah dan berakhlak mulia. Demikian perkembangan sifat dasar peserta didik juga karena berkat jasa pendidik. Terkait dengan masalah ini, Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ali mengatakan bahwa tidak ada seorang-pun yang dilahirkan dalam keadaan pandai, melainkan kepandaian itu diperoleh dengan belajar.36

F. Penutup

Tulisan ini mengetengahkan tentang ulu al-albāb sebagai profil pendidik. Hasil penelitian menunjukkan konsep ulu al-albāb dalam perspektif al-Quran mengacu pada makna pendidik, guru, dan cendikiawan Muslim. Untuk mencapai pada jenjang ulu al-albāb seperti dimaksudkan oleh ayat-ayat al-Quran, harus memiliki beberapa kriteria di antaranya; seorang pendidik harus memiliki pengetahuan, memliliki integritas moral, berakhlak mulia, penyantun, sabar, bijaksana, adil, tawadu, kasih sayang terhadap subjek didik dan mengamalkan

(13)

ilmu yang dimilikinya. Jadi dengan demikian seorang ulu al-albāb, harus memiliki pemikir-an (mind) ypemikir-ang luas, perasapemikir-an (heart) ypemikir-ang peka, sensitif, memiliki daya pikir (intellect), memiliki wawasan (insight) yang luas, memiliki pengertian yang akurat (under-standing), dan memiliki kebijakan (wisdom) dan selalu mejaga komunikasi transendental dengan Khaliknya, melalui fakultas dan aktifitas dhikr. Semua karakter ini merupa-kan cerminan dan keteladanan yang harus juga harus dimiliki oleh pendidik ketika berhadapan dengan subjek didik.

Jika kriteria-kriteria ulu al-albāb di atas dijabarkan dalam konteks pendidik maka secara didaktis, peserta didik akan belajar banyak hal dari pengalamannya, terutama pengalaman pendidikannya. Proses mem-peroleh pengalaman itu banyak dimem-peroleh dalam interaksinya dengan pendidik, se-hingga secara sadar atau tidak, peserta didik banyak menerima unsur nilai dari pendidi-kannya. Dalam konteks inilah tugas men-didik dinilai sangat mulia, dan para penmen-didik sebagai pahlawan-pahlawan tanpa jasa. Ini

bermakna bahwa penghargaan yang

diperoleh seorang pendidik itu tidak dapat diukur dengan nilai materi, melainkan ber-dasarkan investasi nilai-nilai moral dalam membentuk kepribadian peserta didik. Pendidik yang baik akan mengantarkan peserta didik menjadi hamba-hamba Allah yang beriman, ta`at sepenuhnya kepada Allah dan berakhlak mulia. Demikian perkembangan sifat dasar peserta didik juga karena berkat jasa pendidik. Terkait dengan masalah ini, Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ali mengatakan bahwa tidak ada seorang-pun yang dilahirkan dalam keadaan pandai, melainkan kepandaian itu diperoleh dengan belajar

Daftar Pustaka

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspek-tif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992.

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1987.

Ali Syari`ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, Cet. 2, Bandung: Mizan, 1989.

Al-Asfahani, Al Mufradat Fi Gharib al Qurān, Beirut, Dar Al Maàrifah, t.t.

Abdul `Amir Syamsyuddin, Al-Fikr Tar-bawi `Inda Ibn Jama`ah, Beirut: Dar al-Kitab al-`Alami, 1990.

`Abdullah Nasih Ulwah, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.

Abd Al-Rahman Al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Ke-luarga di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung: Diponegoro, 1992.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspek-tif Islam, Bandung: Remaja Rosdakar-ya, 1994.

Al-Qurtubi, Jami’ al-Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi, Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyah, 1968.

Fuad Abdul Baqi’, Mu`jam Mufahras li al-Fad al-Qurān, Mesir: Dar al-Fikr, 1992. Ibn Manzur, Lisan al-`Arabi, Juz. 1, Beirut: Dar Sādir, 1990), hal. 31. A.M. Sai-fuddin, Fenomena Kemanusiaan, Band-ung: Dinamika, 1996.

Ibrahim Ibn Ismail, Syarh Ta`lim al-Muta`allim, Surabaya: Said Ibn Nasir Ibn Nabhan, t.t.

Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Is-lam, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

James A. Beane, et. all., Curriculum Planning and Development, Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1986.

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Cet. 1, Ja-karta: Logos, 1999.

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. 5, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

(14)

Maudurrahman, The American Journal of Is-lamic Social Sciences, vol. XI, No. 4, America: The Institute of Islamic Thought, 1994.

Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamid, Ber-sama Para Pendidik Muslim, Jakarta: Dar al-Haq, 2002.

Muhammad bin Jamil Zaunu, Solusi Pendi-dikan Anak Masa Kini, (terj.), Nida’un ila al-Murabbin wa al-Murabbiyat, Jakarta: Mustaqim, 2003.

Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Nasir Budiman, M., Pendidikan Dalam Pers-pektif Al-Qurān, Jakarta: Madani Press, 2001.

Oemar Hamalik, Sistem dan Prosedur Pengem-bangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Quraish Shihab, M., Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, Bandung: Lentera Hati, 2000

______, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.

______, Tafsir Al-Misbah, Cet. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Cet. 7, Jakarta: Raja Graf-indo Persada, 2000.

Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim

Education, Chopenham: Anthony

Rowe, 1985.

Tabatabāi, M.H. Al-Mizan fi Tafsir al-Qurān, Juz. 3, Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991.

Webster's world University Dictionary, (ed.), Lewis Mulford Adams, et all, Wash-ington: Publisher Company, Inc., 1965.

Wan Mohd Nour Wan Daud , Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M.

Naquib Al- Attas, Bandung: Mizan:, 2003.

Yahya Hamid Handam dan Jabir `Abdul Hamid Jabir, al-Manāhij: Ususuhā, tak-htituha taqwimuhā, Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1978.

Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Cet. 2, Bandung: Mizan, 1989.

Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, Ja-karata: Bumi Aksara, 1984.

* Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussa-lam Banda Aceh

1M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), p. 122. Ahmad Tafsir, Ilmu Pen-didikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), p. 74-75.

2

Sayyed Ali Asyraf, New Horizon in Muslim Education, (Chopenham: Anthony Rowe, 1985, p. 18. Maudurrahman, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. XI, No. 4, (America: The Institute of Islamic Thought, 1994), p. 529-530.

3

Fuad Abdul Baqi’, Mu`jam Mufahras li al-Fad al-Qurān, (Mesir: Dar al-Fikr, 1992), p. 644.

4

M.H. Tabatabāi, Al-Mizan fi Tafsir al-Qurān, Juz. 3, (Beirut: Muassasah al-`Alami, 1991), hal. 34. Ibn Manzur, Lisan al-`Arabi, Juz. 1, (Beirut: Dar Sādir, 1990), hal. 31. A.M. Saifuddin, Fenomena Ke-manusiaan, (Bandung: Dinamika, 1996), p. 57.

5Ali Syari`ati, Membangun Masa Depan Islam; Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1989), p. 27-28.

6

Al -Asfahani, Al Mufradat Fi Gharib al Qurān, ( Beirut, Dar Al Maàrifah, tt) p. 446

7

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jil. 1, (Bandung: Lentera Hati, 2000), p. 369.

8

Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Perad-aban Muslim, Cet. 2, (Bandung: Mizan, 1989), p. 88-89.

9

Perbedaan antara mengajar dan mendidik itu, kalau dilihat dari segi kebahasaan atau asal kata itu tidak jauh berbeda maknanya. Mengajar memberi atau menerangkan pelajaran seperti menerangkan pelajaran matematika, fisika biologi dan sebagainya, dan mengetahui terhadap bahan yang diajarkannya. Sedang mendidik memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

10

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), p. 171.

11

Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Is-lam, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), p. 88.

12

Oemar Hamalik, Sistem dan Prosedur Pengem-bangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), p. 25.

(15)

13

James A. Beane, et. all., Curriculum Planning and Development, (Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1986), p. 90.

14

Oemar Hamalik, Sistem…, p. 63.

15Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Ros-dakarya, 1999), p.. 45.

16

Yahya Hamid Handam dan Jabir `Abdul Hamid Jabir, al-Manāhij: Ususuhā, takhtituha taqwi-muhā, (Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1978), hal. 27.

17

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Cet. 1, (Ja-karta: Logos, 1999), p. 12.

18

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. 5, (Bandung: Remaja Rosda-karya, 2000), p. 61.

19

Webster's world University Dictionary, (ed.), Lewis Mulford Adams, et all, (Washington: Pub-lisher Company, Inc., 1965), p. 352.

20

Muhibbin Syah, Psikologi…, hal. 66. 21 Ibid.

22

Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Cet. 7, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), p . 47-48.

23

Konsep muaddib sebagai terma pendidik dalam terminology pendidikan Islam dipopulerkan oleh Syed M. Naquib Al- Attas. Menurutnya struktur konsep ta`dib sudah mencakup unsur ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik (tarbiyah). Kajian lebih jauh tentang pemikiran Al- Attas dapat dilihat dalam : Wan Mohd Nour Wan Daud , Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al- Attas (Band-ung: Mizan:, 2003), p. 174-203.

24

Abdul `Amir Syamsyuddin, Al-Fikr Tarbawi `Inda Ibn Jama`ah, (Beirut: Dar Kitab al-`Alami, 1990), p. 16-18.

25Ibrahim Ibn Ismail, Syarh Ta`lim al-Muta`allim, (Surabaya: Said Ibn Nasir Ibn Nabhan, tt), hal. 16.

26

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspek-tif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), p. 144.

27

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Cet. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), p. 369.

28Abd Al-Rahman Al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1992), p. 368

29

`Abd Al-Rahman Al-Nahlawi, Prinsip…, p. 372-373.

30

Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Ja-karta: Bumi Aksara, 1984), p. 81.

31M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qurān, (Jakarta: Madani Press, 2001), p. 59.

32

`Abdullah Nasih Ulwah, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), p. 337.

33

Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamid, Bersama Para Pendidik Muslim, (Jakarta: Dar al-Haq, 2002), p. 57.

34

Muhammad bin Jamil Zaunu, Solusi Pendidikan Anak Masa Kini, (terj.), Nida’un ila al-Murabbin wa al-Murabbiyat, (Jakarta: Mustaqim, 2003), p. 25.

35

Muhammad bin Jamil Zainu, Solusi…, p. 25. 36

Al-Qurtubi, Jami’ al-Bayan al-‘Ilmi wa Fadlihi, (Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyah, 1968), p. 120.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks Kristen-Yudea, seorang hamba yang terikat berarti seseorang menyerahkan diri sepenuhnya untuk melakukan kehendak dan perintah tuannya, bukan karena

Dari segi akses, sirkulasi, parkir dan ruang terbuka tata hijau pada skala tapak ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan standar yang ada.. Begitu pula dalam skala bangunan

Dengan ketebalan kurang dari 3 mm, Dengan ketebalan kurang dari 2 mm, Mengandung karbon 0.6%atau lebih menurut beratnya Tidak dengan pola relief, dalam gulungan,

Untuk peserta Seleksi Tertulis dan Keterampilan Komputer harap mengambil undangan di kantor KPU Kota Jakarta Pusat pada Hari Sabtu tanggal 2 Juli 2016 pukul 01.00 WIB

Sebagai contoh adalah adanya bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga yang merupakan salah satu bentuk budaya Arab berupa tempat ibadah

Disisi lain, dukungan sosial orang tua, juga memberikan manfaat terhadap penyesuaian diri siswa dalam belajar, sehingga bagi siswa yang memiliki tingkat dukungan sosial dari orang

Dari analisis koefisien regresi variabel motivasi internal diperoleh hasil yang signifikan sebesar 0.339, hal ini berarti dengan naiknya perhatian atas Motivasi

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Induksi Kalus Akasia ( Acacia mangium ) Dengan