PENGGUNAAN PRINSIP KERJA SAMA DALAM KEGIATAN
BERBICARA SISWA KELAS VIII DI MTs. AL-KHAIRIYAH
TEGALLINGGAH KECAMATAN SUKASADA
Ratna Ayu Yistiana, I Nyoman Sudiana, Md. Sri Indriani
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail:
{ratnaayuyistiana@yahoo.co.id, nyoman sudiana@yahoo.co.id,
sriindriani6161@yahoo.com}@undiksha.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan menganalisis maksim kuantitas dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah.(2) mendeskripsikan dan menganalisis maksim kualitas dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah.(3) mendeskripsikan dan menganalisis maksim pelaksanaan dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah.(4) mendeskripsikan dan menganalisis maksim relevansi dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII di MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah. Objek penelitian ini adalah penggunaan prinsip kerja sama dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII, yang meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi yang didukung dengan teknik perekaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) siswa sudah menaati maksim kuantitas ketika berbicara; (2) siswa sudah menaati maksim kualitas ketika menjawab pertanyaan dari guru; (3) siswa sudah menaati maksim relevansi saat bertanya dan memberikan tanggapan atas pernyataan guru; dan (4) siswa sudah menggunakan maksim cara ketika berbicara selama pembelajaran bahasa Indonesia. Ketaatan siswa menggunakan keempat maksim tersebut, menunjukkan bahwa siswa sudah menerapkan prinsip kerja sama ketika berbicara. Secara keseluruhan, penggunaan prinsip kerja sama berdampak positif terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu situasi pembelajaran menjadi nyaman, kondusif dan proses pembelajaran berjalan lancar.
Kata kunci: prinsip kerja sama, maksim, kegiatan berbicara, dan pembelajaran bahasa Indonesia
Abstract
This study aims to (1) describe and analyze the maxim of quantity in speaking activities eighth grade students of MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah, (2) describe and analyze the maxim of quality in speaking activities eighth grade students of MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah, (3) describe and analyze the implementation of the maxim of speaking activities eighth grade students of MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah, and (4) describe and analyze the maxim of relevance in speaking activities of eighth grade students of MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah.This research uses descriptive qualitative research design. The subjects were eighth grade students at MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah. Object of this study is the use of the principle of cooperation
in speaking activities eighth grade students, which includes the maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance and maxim of manner. Data collection method used is supported by the observation method that supported by recording t technique.The data obtained were analyzed using qualitative descriptive analysis techniques. The results of this study indicate that (1) students have obeyed the maxim of quantity when speaking, (2) students have obeyed the maxim of quality in answering questions from the teacher, (3) students have obeyed the maxim of relevance and when they asked the teacher and responded to teachers statements, and (4 ) students were using the maxim of manner when speaking during the learning Indonesian. Obedience of students using the four maxims, showed that the students had to apply the principle of cooperation when speaking. Overall, the use of the principle of cooperation have positive impact on learning Indonesian, the learning situation becomes comfortable, and conducive to the learning process can run smoothly.
Key words: cooperative principles, maxims, speaking activities, and learning Indonesian
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan saluran perumusan
maksud, melahirkan perasaan, dan
memungkinkan manusia menciptakan
kerja sama. Soeparno (2002) menyatakan bahwa tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang
mengatur tindakannya, penggunaan
bahasanya,dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan lawan tuturnya. Setiap peserta tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual (Wijana, 1996: 45).
Dalam berkomunikasi setiap orang
mempunyai tujuan- tujuan tertentu.
Komunikasi yang terjalin diharapkan dapat dipahami maknanya oleh orang- orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Tujuan seorang berkomunikasi adalah
menyampaikan pesan dan menjalin
hubungan sosial. Hal ini akan terjadi jika dalam berkomunikasi diperlukan aturan-aturan yang mengatur penutur dan mitra tutur agar dapat saling bekerja sama dalam mewujudkan proses komunikasi yang baik, sehingga pada akhirnya tujuan dari komunikasi tersebut dapat tercapai.
Agar tujuan interaksi dapat tercapai dengan baik, para peserta interaksi harus
memiliki pengetahuan komunikatif yang
terdiri atas pengetahuan linguistik,
pengetahuan interaksi, dan pengetahuan kebudayaan (Ibrahim, 1993). Demikian juga, agar pesan dapat tersampai secara efektif dan efisien, (Rahardi dalam Jumadi, 2001) menyarankan agar peserta interaksi mempertimbangkan(1) prinsip kejelasan, (2) prinsip kepadatan, dan (3) prinsip kelangsungan. Prinsip kejelasan menuntut
agar peserta tutur menyampaikan
informasi secara jelas, tidak ambigu. Prinsip kepadatan menuntut peserta tutur agar menyampaikan informasi secara singkat dan padat, sedangkan prinsip kelangsungan menuntut agar peserta tutur
menyampaikan informasi secara
langsung, dan tidak berbelit-belit.
Adapun hal-hal yang memengaruhi ketika interaksi terjadi, seperti topik
pembicaraan, situasi psikologis,
pengetahuan, suasana hati peserta tutur dan perkembangan situasi (formal/ tidak terlalu formal). Selain itu, konteks interaksi juga dipengaruhi oleh faktor sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Faktor–faktor sosial tersebut berhubungan dengan peran peserta komunikasi, tempat
komunikasi berlangsung, tujuan
komunikasi, dan situasi komunikasi.
Dengan mengetahui kedua aspek
tersebut, penutur/peserta tutur dalam berinteraksi akan mampu berkomunikasi secara baik dan benar.
Sebagai fenomena sosial,
belajar mengajar di sekolah terbukti dalam bentuk percakapan yang dibangun oleh
siswa. Secara intensif, percakapan
tersebut tampak ketika siswa aktif
bertanya atau berbicara di kelas, yang umumnya dikembangkan oleh guru untuk mengaktifkan siswa sesuai yang dituntut KTSP yang mengutamakan bahwa di sekolah dituntut lebih banyak melibatkan
siswa selama pembelajaran. Siswa
diharapkan mampu berkomunikasi
sebagai respons terhadap sesuatu yang telah disampaikan oleh guru. Dalam hal
ini, siswa dituntut untuk mampu
berkomunikasi dengan memperhatikan kaidah yang ada. Jika antara guru dan siswa kurang memperhatikan kaidah-kaidah tersebut, maka kejelasan pesan akan terganggu. Akibatnya, komunikasi yang terjadi tidak dapat berlangsung secara maksimal.
Dalam teori interaksi, ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar dan alamiah, yaitu prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan
konteksnya. Prinsip kesopanan
menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpati.
Prinsip kerja sama terdiri atas empat maksim percakapan (conversational
maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of
relevance), dan maksim
pelaksanaan(maximofmanner).
Penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dapat terjadi apabila penggunaan prinsip kerja sama tidak memenuhi ketentuan. Ini dapat berdampak pada terganggunya proses komunikasi yang
sedang berlangsung. Adanya
penyimpangan terhadap prinsip kerja sama disebabkan oleh suatu keadaan yang mendorong penutur untuk tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Keadaan yang dimaksud, yaitu 1) ketika penutur kurang atau tidak menguasai
permasalahan yang dibahas atau
disampaikan, dan 2) ketika penutur kurang
atau tidak memahami konteks komunikasi tutur yang sedang terjadi.
Seperti yang diketahui, pembelajaran dapat berjalan dengan baik jika fungsi komunikasi berjalan dengan baik pula. Guru ataupun siswa diharapkan mampu berdiskusi dengan komunikatif, mampu menyampaikan gagasan, sanggahan, dan
berargumen saat pembelajaran
berlangsung. Sesuai pengamatan peneliti, pada saat guru mengajari siswa bahasa
Indonesia di MTs. Al-Khairiyah
Tegalinggah, yang dalam hal ini peneliti
juga ikut membina siswa tentang
jurnalistik, ditemukan banyak siswa tidak mengerti materi yang disampaikan oleh guru. Ketika siswa bertanya, sebagian besar siswa mengajukan pertanyaan yang hanya sekadar bertanya. Siswa-siswi tersebut tidak begitu tanggap dalam
membuat pertanyaan. Mereka lebih
cenderung bertanya dengan bahasa yang berbelit-belit, sehingga pertanyaan yang diajukan sulit dimengerti oleh lawan bicaranya. Sebagian besar siswa dalam memberikan pertanyaan menggunakan kalimat yang tidak jelas dan sistematis, sehingga mitra tutur/ guru memerintahkan siswa untuk mengulangi pertanyaannya. Adanya hal tersebut, menyebabkan guru meminjam waktu mata pelajaran lainnya untuk menyelesaikan topik pelajaran yang disampaikan pada saat itu. Jadi, interaksi belajar yang terjadi di dalam kelas tersebut tidak efektif.
Bahasa yang digunakan oleh guru, terutama dalam menyampaikan materi pembelajaran kurang mendapat respons dari siswa. Siswa terlihat kesulitan dalam menerima materi yang dijelaskan oleh guru, sehingga proses pembelajaran tidak efesien dan banyak membuang waktu. Untuk itulah diharapkan guru ataupun siswa dalam proses pembelajaran harus
berbicara seinformatif mungkin dan
relevan dengan materi yang disampaikan
pada saat pembelajaran. Hal ini
disebabkan oleh konsep utama dari prinsip kerja sama adalah menyampaikan tuturan yang bisa dipahami oleh penutur dan mitra tutur. Melihat keadaan itulah peneliti bermaksud untuk mengamati prinsip kerja sama yang digunakan oleh siswa di sekolah tersebut. Menurut hemat
peneliti, dalam kegiatan berbicara perlu diterapkan prinsip kerja sama, baik oleh siswa maupun guru yang menjadi mitra tutur. Proses interaksi di sekolahlah yang sesuai untuk diamati karena di dalam kelas akan terjadi interaksi antara siswa
dan siswa ataupun guru yang
bersangkutan. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat keefektifan proses
pembelajaran dan kepekaan siswa
terhadap materi yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengaji penggunaan prinsip kerja sama yang digunakan oleh siswa ketika berbicara di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung.
Pemilihan MTs. Al-khairiyah
Tegallinggah didasarkan pada
pertimbangan bahwa siswa di sekolah ini tergolong ke dalam siswa yang sudah cukup aktif berbicara terutama dalam menyampaikan pertanyaan, menyanggah, berpendapat dan sebagainya selama proses pembelajaran. Namun, seperti yang sudah dipaparkan diawal, dalam
berbicara, siswa-siswi masih belum
menerapkan kaidah-kaidah dalam
berbahasa. Pemilihan kelas VIII sebagai
subjek penelitian berdasarkan
pertimbangan bahwa siswa-siswi kelas VIII lebih aktif dibandingkan dengan siswa-siswi kelas VII, sementara untuk siswa kelas IX, peneliti tidak pernah mengajar pada jenjang kelas tersebut, sehingga
peneliti kurang mengetahui suasana
pembelajaran yang ada di kelas IX. Dengan berbagai alasan inilah peneliti memilih kelas VIII. Di sekolah ini terdapat kelas VIII A dan VIII B, peneliti akan mengamati kedua kelas tersebut agar peneliti menemukan tuturan siswa yang lebih variatif dan representatif, yaitu tuturan siswa yang mengandung maksim-maksim tertentu ketika berbicara.
Terdapat 2 penelitian yang mengkaji
tentang prinsip kerja sama, yaitu
“Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama dalam
Percakapan Siswa saat Diskusi pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas XI Jurusan Administrasi Perkantoran SMK Negeri I Singaraja, karya Ngakan Putu
Angga Nantha Wijaya pada tahun 2012, dan Realisasi Prinsip Kerja Sama dalam
Wacana Dialog antara Penyiar dan
Pendengar Radio oleh Wildan pada tahun 2010. Dari kedua penelitian tersebut,
belum ada yang meneliti penggunaan prinsip kerja sama ketika siswa berbicara selama proses pembelajaran berlangsung.
Oleh karena itulah, penelitian ini
bermaksud mengaji prinsip kerja sama siswa ketika mereka berbicara.
Berdasarkan hal yang telah
disampaikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis (1) untuk mendeskripsikan
maksim kuantitas dalam kegiatan
berbicara siswa kelas VIII MTs.
Al-Khairiyah Tegallinggah, (2) untuk
mendeskripsikan maksim kualitas dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs.
Al-Khairiyah Tegallinggah, (3) untuk
mendeskripsikan maksim relevansi dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs.
Al-Khairiyah Tegallinggah, (4) untuk
mendeskripsikan maksim pelaksanaan dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah.
Adapun manfaat yang bisa
diperoleh dari penelitian ini. Manfaat tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yakni manfaat teoretis
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, terkait dengan pelaksanaan prinsip kerja sama siswa dalam kegiatan berbicara
selama pembelajaran bahasa
Indonesia. Dalam hal ini, hasil
penelitian yang dilaksanakan dapat
digunakan para ahli untuk
mengembangkan dan menciptakan teori prinsip kerja sama yang secara
aplikatif dapat diterapkan untuk
membangun komunikasi yang baik sehingga tercipta proses pembelajaran yang edukatif, efektif dan efesien. 2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk beberapa pihak.Bagi para Guru, hasil penelitian
ini dapat bermanfaat bagi para guru
untuk memahami pengaruh
penggunaan prinsip kerja sama dalam
berbicara, khususnya saat
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Dari pemahaman itu dapat
dijadikan umpan balik untuk
mengevaluasi dan menyempurnakan
proses komunikasi dalam
menggunakan bahasa pada kegiatan pembelajaran. Dalam hal ini, guru
mampu mengarahkan dan
menciptakan kondisi pembelajaran
sesuai yang diharapkan. Bagi siswa,
Penelitian ini juga memberikan
manfaat kepada siswa. Melalui
penelitian ini siswa mampu memahami pengaruh penggunaan prinsip kerja sama dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Dengan mengetahui pengaruh prinsip kerja sama ini, siswa akan mampu menciptakan dan melakukan kegiatan pembelajaran yang efektif. Untuk itu, siswa memiliki pengetahuan baru mengenai prinsip kerja sama. Bagi peneliti, hasil penelitian ini akan
memberikan jawaban mengenai
penggunaan prinsip kerja sama siswa dalam kegiatan berbicara selama proses pembelajaran di kelas. Sebagai calon guru, peneliti dapat memahami penggunaan prinsip kerja sama yang seharusnya diperhatikan dalam proses
pembelajaran bahasa Indonesia.
Penelitian ini setidaknya akan
memberikan gambaran mengenai
penggunaan prinsip kerja sama siswa
dalam kegiatan berbicara pada
pembelajaran bahasa Indonesia. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan, pedoman, informasi, atau bahan bandingan terhadap penelitian yang dilakukan.
Hasil penelitian ini juga dapat
digunakan sebagai pancingan untuk melakukan penelitian sejenis yang lebih mendalam dan lebih terperinci.
METODE
Rancangan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan rancangan penelitian
yang digunakan sebagai prosedur
mengidentifikasi dan mendeskripsikan
fenomena yang terjadi di lapangan dengan
apa adanya, tanpa adanya unsur
rekayasa. Rancangan deskriptif kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran yang jelas, objektif, sistematis, dan cermat mengenai fakta-fakta aktual dari sifat populasi. Rancangan deskriptif kualitatif digunakan karena penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan dan menganalisis
penggunaan prinsip kerja sama dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII di MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah, yang meliputi maksim kuantitas yang digunakan oleh siswa, maksim kualitas yang digunakan oleh siswa, maksim relevansi yang digunakan oleh siswa dan maksim pelaksanaan yang digunakan oleh siswa ketika berbicara.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII di MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah. Objek penelitian ini secara umum adalah penggunaan prinsip kerja sama dalam kegiatan berbicara, yang
meliputi maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi, maksim
pelaksanaan dalam kegiatan berbicara
siswa kelas VIII MTs. Al-Khairiyah
Tegallinggah.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan metode observasi yang didukung dengan teknik perekaman. Teknik ini digunakan untuk memudahkan dalam mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Alat perekaman yang digunakan adalah
tape recorder.Melalui alat ini, peneliti
berusaha mengumpulkan data berupa rekaman tuturan siswa dari proses
interaksi verbal dalam kegiatan
pembelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, peneliti juga menyiapkan lembar observasi untuk mencatat hal-hal yang kemungkinan besar tidak dapat direkam
melalui teknik perekaman. Untuk
melengkapi data yang tidak terekam tersebut, peneliti melakukan observasi
terhadap aktivitas komunikasi dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Teknik
observasi yang dilakukan adalah
observasi nonpartisipatif. Artinya, peneliti tidak ikut secara aktif dalam aktivitas pembelajaran di kelas, tetapi cukup duduk
di kelas bagian belakang sambil
mengamati dan melakukan pencatatan tentang pelaksanaan pembelajaran dan situasi yang menyertainya pada lembaran observasi yang sudah disiapkan. Yang dilakukan peneliti hanyalah melakukan pengamatan atas segala kejadian yang berlangsung. Oleh karena itu, alat yang digunakan berupa kertas atau buku catatan. Dengan teknik tersebut, diperoleh data catatan hasil observasi tentang penggunaan prinsip kerja sama saat siswa berbicara. Sementara untuk teknik
perekaman, data yang terekam
selanjutnya ditranskripsikan dan dianalisis. Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih oleh penulis dalam pengumpulan data agar kegiatan tersebut
berjalan secara sistematis
(Arikunto,2005;101). Instrumen yang
digunakan dalam metode observasi
adalah lembar catatan observasi dan dibantu oleh alat perekam yang digunakan
untuk merekam tuturan siswa saat
pembelajaran berlangsung. Pada saat melaksanakan observasi, hasil observasi dicatat dalam lembar catatan tersebut. Catatan yang telah terkumpul dalam lembar observasi tersebut dianalisis dan disesuaikan dengan data perekaman.
Analisis data dilakukan setelah
pengumpulan data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan ini dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif. Teknik deskriptif kualitatif adalah suatu teknik
menganalisis data dengan cara
menginterpretasikan data yang diperoleh
dengan kata-kata. Teknik deskriptif
kualitatif juga sering diartikan sebagai
penelitian yang tidak menggunakan
“perhitungan” atau hanya menggunakan kata-kata, (Moleong dalam Jabrohim (ed) 2001:23). . Teknik deskriptif kualitatif ini
digunakan untuk mendeskripsikan
penggunaan prinsip kerja sama siswa
dalam kegiatan berbicara selama
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah.
Menurut Sugiyono (2008:336)
analisis data pada penelitian kualitatif sebenarnya berlangsung sebelum terjun ke lapangan dan selama terjun di
lapangan. Adapun tahapan-tahapan
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) klasifikasi data, dan (4) penyimpulan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini mencakup empat hal, yaitu (1) maksim kuantitas dalam kegiatan berbicara siswa, (2) maksim kualitas dalam kegiatan berbicara siswa, (3) maksim relevansi dalam kegiatan berbicara siswa, (4) maksim pelaksanaan dalam kegiatan berbicara siswa kelas VIII
di MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah. Berdasarkan hasil observasi, tuturan
siswa dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas VIII MTs. Al-Khairiyah
Tegallinggah, ditemukan adanya 86
(67,78%) tuturan siswa yang mengandung maksim kuantitas, 58 tuturan siswa (45,70%) tuturan siswa yang mengandung
maksim kualitas, sebanyak 103
(81,10%)tuturan siswa yang termasuk maksim relevansi, dan 48 (37,80%) tuturan siswa yang menggunakan maksim
cara dari 127(60,20%) tuturan.
Berdasarkan jumlah tuturan tersebut, tampak bahwa maksim relevansi lebih dominan dibandingkan maksim-maksim yang lain.
Pada saat tertentu, prinsip kerja sama tidak selamanya ditaati oleh siswa
ketika berbicara.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kerja sama juga sempat dilakukan oleh siswa dalam berbicara, baik disadari maupun tidak.
Namun, pelanggarantersebut hanya
sebagian kecil saja. Dari segi pelanggaran
terhadap prinsip kerja sama yang
dilakukan oleh siswa, maksim kualitas dan maksim cara adalah yang paling banyak dilanggar oleh siswa, yakni sebanyak 61,
53%. Pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan kebanyakan pada saat
memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diberikan oleh guru selama proses pembelajaran bahasa Indonesia. Lebih
lanjut, hasil penelitian tentang
pada pembelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah akan diuraikan sebagai berikut.
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dipaparkan, siswa sebagian besar menaati maksim kuantitas dan maksim relevansi dalam bertutur. Boleh dikatakan, kedua penggunaan maksim ini yang paling banyak ditaati oleh siswa ketika berbicara.
Saat guru mengarahkan jalannya
pembelajaran bahasa Indonesia, siswa hampir selalu menaati maksim kuantitas, relevansi dalam berbicara, baik di bagian pembuka, bagian inti pembelajaran atau waktu terjadinya berbagai diskusi, antara guru dan siswa, dan ketika guru akan
mengakhiri pembelajaran. Selama
kegiatan pembelajaran, guru selalu
bertanya kepada siswa. Pertanyaan –
pertanyaan tersebut mendapat tanggapan yang tepat dan memiliki hubungan dengan materi yang diberikan. Oleh karena itu, sebagian besar siswa menciptakan kerja sama. Hal ini dibuktikan karena siswa cukup aktif menjawab pertanyan yang dilontarkan oleh guru. Seperti yang diungkapkan oleh Keith Allan (1986), bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial, seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, Kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila terdapat satu atau lebih para peserta pertuturan terlibat aktif di dalam proses bertutur, dan jika salah satu pertuturan tidak aktif, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat
berjalan lancar. Hal inilah yang
menyebabkan antara penutur dan mitra tutur tidak melaksanakan prinsip kerja sama.
Siswa umumnya menyampaikan
tuturannya dengan singkat dan
memberikan informasi yang secukupnya sesuai dengan kebutuhan penanya/ guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Wijana
(1996:46) yang menyatakan bahwa
menaati maksim kuantitas berarti
menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Hal yang demikian digunakan oleh siswa terutama ketika memberikan informasi kepada guru atas jawaban yang diajukan, sehingga proses pembelajaran berlangsung lancar.
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan penggunaan maksim
kuantitas siswa ketika berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebanyak 86 (67,78%) tuturan. Tuturan siswa tersebut terjadi saat guru membuka, menjelaskan dan menutup pembelajaran. Sebelum memulai pembelajaran, guru bertanya kepada siswa materi apa saja yang sudah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. Kemudian siswa menjawab serempak atas pertanyaan yang diajukan
oleh guru. Sementara di tengah
berlangsungnya pembelajaran, antara
guru dan siswa terjadi diskusi atas materi yang disampaikan pada pertemuan itu. Sebagian besar maksim kuantitas banyak ditaati oleh siswa ketika diundang oleh guru untuk berpendapat. Dalam hal ini, guru memberikan berbagai pertanyaan untuk mengetahui kemampuan siswa memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Siswa juga terlihat aktif dalam menjawab dan memposisikan jawabannya tersebut
tepat dan relevan dengan topik
pembicaraan.Tetapi, kadang jawaban
yang diberikan masih kurang dan salah,
sehingga terjadi pelanggaran pada
maksim kuantitas.
Tuturan siswa yang banyak
mengandung maksim kuantitas terjadi
ketika guru memberikan pertanyaan
kepada siswa. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap materi yang akan dipelajari. Mengajukan
pertanyaan setelah menjelaskan
merupakan tugas sebagai seorang guru. Terkadang, jawaban yang diutarakan oleh siswa ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Tuturan yang bersifat
langsung inilah yang memungkinkan
terjadinya prinsip kerja sama, dan
sebaliknya jika tuturan itu disampaikan secara tidak langsung, kemungkinan dalam bertutur, siswa akan menerapkan
prinsip kesopanan. Hal inilah yang
membuat bahwa tuturan tersebut
melanggar maksim yang ada. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Angga (2012), yang berjudul “Pelaksanaan Prinsip Kerja Sama dalam
Percakapan Siswa saat Diskusi pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas XI Jurusan Administrasi Perkantoran SMK
Negeri I Singaraja, dinyatakan bahwa
dalam kegiatan diskusi tuturan siswa dipengaruhi oleh sikap santun siswa, artinya siswa tidak sepenuhnya menaati prinsip kerja sama dalam diskusi pada pembelajaran bahasa Indonesia di kelas.
Selain maksim kuantitas, dalam
sebuah tuturan yang sama juga
mengandung maksim relevansi, kualitas dan maksim cara. Dikatakan maksim relevansi karena informasi yang diberikan siswa sudah tepat dengan permasalahan yang dibicarakan, sedangkan dikatakan mengandung maksim kualitas karena tuturan tersebut sudah sesuai dengan kenyataaan bahwa tuturan tersebut sudah lumrah. Maka dari itu, satu tuturan tidak
selamanya mengandung satu jenis
maksim tetapi bisa dua atau tiga maksim.
Sebanyak 17,44% tuturan siswa
melanggar maksim kuantitas, sedangkan ketaatan siswa melaksanakan maksim ini sebanyak 67,78% tuturan.
Dari segi penggunaan maksim
kualitas, hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa ketika berbicara untuk menanggapi pertanyaan guru sudah benar dan bisa diterima oleh guru. Informasi yang diberikan siswa sudah sesuai dengan topik pembicaraan. Tuturan yang
disampaikan umumnya memberikan
jawaban yang sesuai dengan kenyataan agar dapat diterima oleh pendengar. Tetapi ada sebagian pertanyaan yang dijawab oleh siswa yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diterima oleh pendengar. Inilah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran pada maksim ini. Pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan
siswa umumnya karena kesalahan
konsep. Siswa belum memahami
sepenuhnya mengenai permasalahan
yang diajukan oleh guru sehingga
tanggapan siswa atas pertanyaan guru
hanya memberikan informasi yang
sekadar pengetahuan mereka. Oleh
karena itulah, siswa kadang memberikan informasi yang tidak berkualitas dan diragukan oleh guru, sehingga terjadilah pelanggaran pada maksim kualitas. Tetapi tuturan yang melanggar maksim kualitas
bisa menimbulkan maksim lainnya.
Maksim cara, misalnya. Sebagian tuturan yang mengandung maksim kualitas atau
yang melanggar maksim ini bisa juga mengandung maksim cara. Dikatakan demikian, informasi yang diutarakan oleh siswa memang sudah benar tapi uraian jawabannya itu cukup singkat, padat dan jelas, sehingga kualitas jawabannya dinilai kurang tepat dan tidak berkualitas. Dengan demikian, tuturan siswa yang mengandung atau melanggar maksim kualitas bisa juga terdapat maksim lainnya dalam tuturan tersebut. Jadi, maksim kualitas sama halnya dengan maksim kuantitas.
Kemudian mengenai maksim
relevansi, dilihat pada kartu data yang sudah dijabarkan pada hasil penelitian, maksim ini merupakan maksim yang paling banyak ditaati oleh siswa ketika mereka berbicara selama pembelajaran berlangsung. Boleh dikatakan, maksim ini selalu ada dalam setiap tuturan siswa. Informasi yang diberikan oleh siswa selalu relevan dengan topik dan permasalahan
yang dibicarakan. Selama proses
pembelajaran, ketika siswa berbicara baik itu dalam bertanya maupun menanggapi pertanyaan atau perintah yang diajukan oleh guru, siswa selalu memberikan
kontribusi yang relevan dengan
pernyataan guru/ penanya. Hal ini
menyebabkan tidak ada tuturan siswa yang tidak berhubungan dengan inti
pembicaraan. Penggunaan maksim
tersebut menggambarkan bahwa siswa berpartisipasi penuh selama kegiatan pembelajaran.
Sebanyak 103 (81,10%) tuturan
siswa relevan dengan topik yang
dibicarakan. Ini berarti, siswa memberikan kontribusi yang relevan dengan topik atau permasalahan yang dibicarakan selama pembelajaran bahasa Indonesia. Maksim
ini akan mengarahkan proses
pembelajaran berjalan lancar dan tidak
melebihi rentang waktu yang telah
ditentukan.
Namun, tidak dapat dipungkiri
maksim ini juga pernah dilanggar oleh siswa. Pelanggaran ini terjadi ketika guru
bertanya dan siswa memberikan
tanggapan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jawaban yang diutarakan siswa tidak sesuai dengan inti pertanyaan guru. Sebanyak 12 (11,65%) tuturan siswa
yang melanggar maksim relevansi. Ketidakrelevanan tuturan siswa berkaitan dengan pelanggaran maksim kuantitas dan pematuhan maksim kualitas. Ada kalanya, informasi yang diberikan oleh siswa tidak sesuai dengan kebutuhan penanya. Oleh karena itu, tuturan siswa tersebut dikatakan melanggar maksim relevansi. Ketidaksesuain tuturan juga disebabkan karena kurangnya kontribusi relevan siswa terhadap pertanyaan guru.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, terdapat berbagai tuturan yang sama dalam kartu data tersebut. Secara umum, semua tuturan yang ada pada kartu data, masing-masing tuturan tersebut mengandung berbagai
maksim. Pada pembahasan maksim
kuantitas, kualitas, dijelaskan bahwa setiap tuturan tersebut tidak hanya
mengandung satu buah maksim,
melainkan berbagai maksim. Berbeda halnya dengan maksim-maksim tersebut, ketidakrelevalan informasi yang diberikan siswa sudah melanggar prinsip kerja sama, terutama ketiga maksim tersebut.
Yang terakhir adalah maksim cara. Sesuai dengan hasil penelitian, siswa umumnya menaati maksim cara dalam bertutur, sebanyak 48 (37,80%) tuturan. Sebagian besar, siswa berbicara secara langsung, jelas dan runtut serta tidak
ambigu. Hanya saja, ketika siswa
berbicara, kadang karena
ketidakmampuannya menjawab, mereka
sering mengulangi pertanyaan guru.
Adanya hal tersebut menyebabkan
terjadinya pelanggaran dalam prinsip kerja
sama. Sesuai dengan teori bahwa
penyimpangan terhadap prinsip kerja sama disebabkan oleh suatu keadaan yang mendorong penutur untuk tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Keadaan yang dimaksud, yaitu 1) ketika penutur kurang atau tidak menguasai
permasalahan yang dibahas atau
disampaikan, dan 2) ketika penutur kurang atau tidak memahami konteks komunikasi tutur yang sedang terjadi.
Secara umum, tuturan siswa banyak yang mematuhi maksim cara. Maksim ini berbeda tipis dengan penggunaan maksim kualitas siswa dalam berbicara. Sebagian
besar, jawaban siswa terhadap
pertanyaan guru sudah cukup singkat, padat dan jelas. Namun, kejelasan ini akan menimbulkan pelanggaran maksim kualitas. Hal ini disebabkan karena tuturan siswa yang singkat, jelas tersebut belum
tentu berkualitas, bergantung dari
penanya, apakah informasi tersebut sudah bisa diterima atau tidak. Tuturan yang seperti itu berkaitan dengan maksim
kuantitas, sehingga informasi yang
diberikan siswa sudah relevan, berkualitas dan sesuai kebutuhan penanya. Namun, jika sebuah tuturan disampaikan dengan kalimat panjang lebar, dikatakan tuturan siswa tersebut melanggar maksim cara.
Dikatakan demikian, karena hakikat
maksim cara adalah informasi yang disampaikan harus singkat, padat dan jelas. Hal ini sejalan dengan pendapat
Rahardi (2008:57), maksim cara
mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur.
Sebanyak 17(13,38%) tuturan siswa
melanggar maksim cara. Maksim ini merupakan maksim yang kedua paling banyak dilanggar oleh siswa ketika pembelajaran berlangsung.
Selanjutnya, penggunaan prinsip kerja sama siswa ketika berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai
dengan hasil penelitian diatas
menunjukkan bahwa siswa umumnya menaati prinsip kerja sama dalam bertutur. Diketahui sebanyak 127 (60,20%) tuturan siswa yang taat terhadap prinsip kerja sama dan pelanggarannya mencapai
43(23,50%) tuturan. Hal ini
memperlihatkan bahwa tingkat ketaatan siswa terhadap prinsip kerja sama lebih besar daripada tingkat pelanggarannya. Berarti dalam hal ini, ketaatan tuturan siswa secara umum menaati prinsip kerja sama. Dengan kata lain, penggunaan
maksim –maksim dalam prinsip kerja
sama sudah dipatuhi oleh siswa ketika berbicara selama mengikuti pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ketika siswa berbicara selama
pembelajaran berlangsung, siswa
umumnya menaati prinsip kerja sama dalam bertutur. Hal ini memberikan
dampak positif terhadap jalannya
pembelajaran. Pertama, waktu yang
berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Kedua, masalah yang dibicarakan tidak
menghabiskan banyak waktu dalam
penyelesainnya. Ketiga, permasalahan yang dibicarakan selalu relevan dengan topik pembicaraan. Secara keseluruhan,
penggunaan prinsip kerja sama
berdampak positif terhadap pembelajaran
bahasa Indonesia. Dampak yang
ditimbulkan dalam penggunaan prinsip
kerja sama terhadap pembelajaran
bahasa Indonesia adalah situasi
pembelajaran menjadi nyaman, kondusif dan proses pembelajaran berjalan lancar. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai penelitian ini.
Pertama, Penggunaan maksim
kuantitas dalam kegiatan berbicara siswa umumnya menaati maksim tersebut dalam prinsip kerja sama. Sebanyak 86 (67,78%) tuturan siswa yang menaati maksim ini. Siswa memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pendengar. Terkadang, tuturan siswa tersebut dikatakan masih kurang cukup, sehingga tuturan tersebut telah melanggar maksim kuantitas.
Kedua, Penggunaan maksim
kualitas dalam kegiatan berbicara siswa, sebagian besar menaati maksim ini. Sebanyak 58 (45,70%) tuturan siswa yang mengandung maksim tersebut. Siswa sudah memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan guru.
Ketiga, Penggunaan maksim
relevansi dalam kegiatan berbicara siswa, secara keseluruhan menaati maksim tersebut. Siswa selalu relevan dengan apa yang dibicarakan selama pembelajaran berlangsung. Sebanyak 103 (81,10%) tuturan siswa yang menaati maksim ini.
Keempat, Penggunaan maksim cara dalam kegiatan berbicara siswa, sebagian besar siswa menaati maksim ini. Siswa memberikan jawaban secara singkat, padat, jelas dan tidak ambigu. Sebanyak
48(37,80%) tuturan siswa yang
menggunakan maksim cara.
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan di atas, saran-saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Hasil penelitian ini
diharapkan dapat djadikan umpan balik untuk mengevaluasi diri dalam proses komunikasi. Dengan demikian, guru akan berusaha untuk memperhatikan prinsip kerja sama ketika memberikan penjelasan ataupun pertanyaan kepada siswa.
Kedua, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengalaman langsung untuk mengetahui penggunaan prinsip kerja sama. Dengan pengetahuan yang dimiliki, maka gambaran mengenai penggunaan prinsip kerja sama siswa bisa dijadikan
cerminan untuk melaksanakan
pembelajaran yang efektif dan efesien. Ketiga, Hasil penelitian ini juga disarankan agar dapat digunakan sebagai pancingan untuk melakukan penelitian
sejenis, yang lebih mendalam dan
menghasilkan hasil yang jauh berbeda dengan hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
AnggaN.W,NgakanPutu.2012.“Pelaksana an Prinsip Kerja Sama dalam Percakapan Siswa saat Diskusi
pada Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Kelas XI Jurusan
Administrasi Perkantoran SMK
Negeri 1 Singaraja. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Singaraja: Undiksha.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur
Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Fadilah, Wildan. 2010. Realisasi Prinsip Kerja Sama dalam Wacana Dialog
antara Penyiar dan Pendengar
Radio. Skripsi (tidak diterbitkan). FPBS, UPI Bandung.
Ruhardi, Kunjana. 2005. Pragmatik
Kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik
Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar