• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Nosokomial

Infeksi adalah suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik (Utama, 2006). Infeksi yang terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan, serta gejala-gejala yang dialami baru muncul selama seseorang itu dirawat atau selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Rumah sakit merupakan salah satu tempat dimana kita dapat menemukan mikroba patogen. Rumah sakit merupakan depot bagi berbagai macam panyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang bersifat karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit seperti udara, lantai, makanan, benda-benda medis ataupun non medis (Darmadi, 2008). Banyaknya mikroba patogen di rumah sakit disebabkan karena :

1. Rumah sakit merupakan tempat perawatan segala macam jenis penyakit.

2. Rumah sakit merupakan “gudangnya” mikroba patogen.

3. Mikroba patogen yang ada umumnya telah kebal terhadap antibiotik. Bila sanitasi rumah sakit tidak terjamin dengan baik, maka semakin besar risiko terjadinya ancaman infeksi nosokomial pada penderita-penderita yang menjalani proses perawatan. Kesadaran akan risiko infeksi nosokomial di rumah sakit di Indonesia dirintis kira-kira dua dasawarsa terakhir. Rumah sakit yang menetapkan quality assurance telah memiliki Panitia Medik Pengendalian Infeksi Nosokomial yang berfungsi untuk mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

Akibat yang ditimbulkan oleh infeksi nosokomial cukup luas, baik untuk penderita dan untuk rumah sakit. Infeksi nosokomial yang terjadi pada penderita

(2)

yang sedang dalam proses perawatan di rumah sakit merupakan beban tambahan secara fisik dan psikologis bagi pasien. Secara fisik, beban tersebut akan terasa lebih berat karena adanya penyakit tambahan di samping penyakit dasarnya sehingga lama hari perawatan semakin panjang. Secara psikologis demikian juga. Pasien-pasien yang menjalani rawat inap ini perlu dilindungi dan dijauhkan dari kemungkinan terjangkitnya infeksi nosokomial melalui sebuah kebijaksanaan rumah sakit (Utama, 2006).

Untuk keseragaman pemahaman, diperlukan adanya definisi atau batasan infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial menyangkut dua hal pokok, yaitu penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit dan adanya transmisi mikroba patogen ke penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan tersebut. Setiap penyakit memiliki masa inkubasi yang berbeda, oleh karena itu perlu adanya penjabaran lebih spesifik mengenai manifestasi klinis. Manifestasi klinis seperti telah disebutkan dapat muncul selama pasien dalam proses perawatan ataupun setelah selesai menjalani proses perawatan / setelah pasien keluar dari rumah sakit. Kadang terjadi penularan / infeksi, namun tidak ada manifestasi klinis. Dalam hal ini sangat diperlukan penilaian laboratorium.

Suatu infeksi dapat dikatakan didapat dari rumah sakit apabila memiliki kriteria sebagai berikut (Darmadi, 2008 dan Utama, 2006) :

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit (infeksi buka n berasal dari rumah sakit). 4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa atau residual dari infeksi

(3)

5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokmial.

6. Penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit dan kemudian menderita keracunan makanan dengan penyebab bukan produk bakteri tidak termasuk infeksi nosokomial.

7. Untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit dan kemudian timbul tanda-tanda infeksi, dapat digolongkan sebagai infeksi nosokomial apabila infeksi tersebut dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit.

8. Infeksi yang terjadi pada petugas pelayanan medis serta keluarga / pengunjung tidak termasuk infeksi nosokomial.

Mikroba patogen yang menimbulkan infeksi nosokomial akan masuk ke penjamu melalui port d’entrée dan setelah melewati masa inkubasi akan timbul reaksi sistemik pada penderita berupa manifestasi klinik ataupun laboratorium. Bakteremia merupakan respon sistemik penderita terhadap infeksi, di mana mikroba atau toksinnya berada di dalam aliran darah dan menimbulkan reaksi sistemik berupa reaksi inflamasi. Proses inflamasi dapat berlanjut hingga menimbulkan sepsis

(4)

Gambar 2.1. Faktor Ekstrinsik Terjadinya Infeksi Nosokomial

Menurut Darmadi (2008) dan Trilla (2005) selain faktor ekstrinsik yang telah dijabarkan, terdapat faktor-faktor lain yang juga berperan memberi peluang timbulnya infeksi nosokomial, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang ada pada diri penderita (faktor intrinsik) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta komplikasinya. Faktor-faktor ini merupakan presdiposisi.

2. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan, menurunnya standard pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.

3. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

Berikut gambaran faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya infeksi nosokomial :

(5)

Gambar 2.2. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Mikroba patogen agar dapat menimbulkan penyakit infeksi harus bertemu penjamu yang rentan dan melalui tiga tahap. Tahap pertama mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu / penderita dengan mekanisme penyebaran (mode of

transmission) terdiri dari penularan langsung dan tidak langsung (Darmadi, 2008).

Penularan langsung : melalui droplet nuclei yang berasal dari petugas, keluarga / pengunjung, dan penderita lainnya. Kemungkinan lain berupa darah saat transfusi darah.

Penularan tidak langsung : vehicle-borne yatu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui benda-benda mati seperti peralatan medis, bahan-bahan / material medis, atau peralatan lainnya. Tindakan invasif seperti pemasangan kateter, vena pungsi, tindakan pembedahan, proses dan tindakan medis lain berisiko untuk terjadinya infeksi nosokomial. Vector-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen dengan perantara seperti serangga. Luka terbuka, jaringan nekrosis, luka bakar, dan gangren adalah kasus-kasus yang rentan dihinggapi lalat.

(6)

minuman yang disajikan untuk penderita. Water-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui air, namun kemungkinannya kecil sekali karena air di rumah sakit biasanya sudah melalui uji baku. Air-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui udara, peluang terjadinya infeksi melalui cara ini cukup tinggi karena ruangan / bangsal yang tertutup secara teknis kurang baik ventilasi dan pencahayaannya.

Dari semua kemungkinan penyebaran / penularan mikroba patogen, maka penyebab infeksi nosokomial yang paling sering dilaporkan adalah tindakan invasif melalui penggunaan berbagai instrumen medis (vehicle-borne).

Tahap kedua adalah upaya dari mikroba patogen untuk menginvasi ke jaringan / organ penjamu (pasien) dengan cara mencari akses masuk (port d’entrée) seperti adanya kerusakan / lesi kulit atau mukosa dari rongga hidung, mulut, orifisium uretra, dan sebagainya.

Tahap ketiga adalah mikroba patogen berkembang biak (melakukan multiplikasi) disertai dengan tindakan destruktif terhadap jaringan, walaupun ada upaya perlawanan dari penjamu. Akibatnya terjadilah reaksi infeksi yang mengakibatkan perubahan morfologis dan gangguan fisiologis jaringan.

Reaksi infeksi yang terjadi pada penjamu disebabkan adanya sifat spesifik dari mikroba patogen tersebut, yaitu (Darmadi, 2008) dan (Pratiwi, 2008) :

1. Infektivitas yaitu kemampuan mikroba patogen untuk menginvasi yang merupakan langkah awal melakukan serangan ke penjamu melalui akses masuk yang tepat dan selanjutnya mencari jaringan yang cocok untuk melakukan multiplikasi.

2. Virulensi yaitu langkah mikroba patogen untuk melakukan tindakan desturktif terhadap jaringan dengan cara menggunakan enzim perusaknya, sehingga menentukan luasnya kerusakan jaringan.

3. Antigenisitas yaitu kemampuan mikroba patogen merangsang timbulnya mekanisme pertahanan imun melalui terbentuknya antibodi. 4. Toksigenisitas yaitu kemampuan mikroba patogen dalam

menghasilkan toksin yang sangat berpengaruh terhadap perjalanan penyakit.

(7)

5. Patogenisitas yaitu gabungan dari sifat infektivitas, virulensi, antigenisitas serta toksigenitas mikroba patogen yang dinilai sebagai derajat keganasan mikroba patogen atau respon tubuh terhadap masuknya mikroba patogen ini.

Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa gejala (symptom) seperti demam, merasa lemah, dan terasa tidak enak (malaise), penurunan nafsu makan, dan sebagainya. Manifestasi khusus timbul berdasarkan organ yang terserang.

Berikut adalah kuman penyebab infeksi nosokomial yang sering ditemukan

Tabel 2.1. Dugaan Kuman Penyebab Infeksi Nosokomial Tahun 2000

Infeksi yang didapat di rumah sakit adalah masalah yang sangat serius dalam perawatan pasien yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan, terutama dipengaruhi lingkungan Instalasi Perawatan Intensif, ruangan gawat di mana pasien dengan kondisi kritis dan penurunan status imunologis. Pasien yang menderita penyakit parah di Instalasi Perawatan Intensif memiliki risiko tinggi

(8)

terkena infeksi nosokomial sehubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan angka kematian serta biaya perawatan. Secara keseluruhan angka rata-rata infeksi pada pasien yang menderita penyakit parah mencapai 40% dan mungkin lebih tinggi lagi 50% hingga 60% pada pasien yang berada di Instalasi Perawatan Intensif lebih dari lima hari (Weinstein, 1998).

Instalasi Perawatan Intensif adalah tempat di mana pasien yang sakit parah dirawat dan tingginya angka kematian. Infeksi nosokomial dan kematian di Instalasi Perawatan Intensif prevalensinya lebih tinggi dibanding tempat lainnya di rumah sakit. Penyakit yang mendasarinya, gangguan mekanisme pertahanan imun, penggunaan alat medis yang invasif, pengobatan imunosupresif, penggunaan antibiotik, dan kolonisasi kuman yang resisten menyebabkan pasien rentan terkena infeksi nosokomial. 25% infeksi yang terjadi di rumah sakit terjadi pada pasien di Instalasi Perawatan Intensif. Infeksi nosokomial di Instalasi Perawatan Intensif 5-10 kali lebih tinggi dibandinhkan unit lainnya (Trilla, 2005).

2.2. Disinfektan

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial sangat terkait dengan uapaya untuk mengeliminasi mikroba patogen. Penderita akan selalu terancam oleh kehadiran mikroba patogen yang bersarang pada benda-benda di sekitarnya, seperti peralatan medis dan non medis yang ada di ruang perawatan. Bahkan udara juga ikut memberikan kontribusi terjadinya infeksi noskomial, termasuk juga petugas yang merawat pasien (Kurniadi, 1993).

Pentingnya kesadaran akan keadaan di mana bebas dari segala mikroba patogen menyebabkan diperlukan adanya upaya untuk mengeliminasi mikroba patogen dari segala peralatan, terutama peralatan yang langsung digunakan pada prosedur atau tindakan medis serta mikroba patogen yang melekat pada petugas. Demikian juga untuk setiap prosedur atau tindakan medis / perawatan yang dilakukan pada pasien, yang akan berisiko untuk masuknya mikroba patogen ke tubuh penderita. Oleh karena itu, diperlukan adanya antiseptik dan disinfektan.

Antiseptik dan disinfektan adalah bahan kimia yang sangat penting dalam praktik kedokteran. Kedua bahan ini memiliki fungsi yang sama, yaitu

(9)

menghambat pertumbuhan atau mematikan berbagai mikroba patogen, namun memiliki aplikasi dan efektivitas yang berbeda-beda (Darmadi, 2008). Berikut adalah beberapa istilah yang perlu diketahui untuk menghindari terjadinya kerancuan :

1. Aseptik merupakan kondisi relatif aman dari mikroba patogen setelah dilakukan eliminasi terhadap mikroba patogen baik yang ada di jaringan hidup ataupun objek / benda mati.

2. Disinfeksi merupakan tindakan / upaya untuk mendestruksi atau membunuh mikroba patogen (bentuk vegetatif bukan endospora bakteri) dengan memanfaatkan bahan kimia, baik yang ada pada jaringan hidup ataupun pada benda mati.

3. Antisepsis merupakan upaya membuat kondisi bebas mikroba pada jaringan hidup dengan menggunakan bahan kimia (antiseptik) atau membuat keadaan bebas mikroba patogen pada jaringan hidup dengan cara disinfeksi.

4. Disinfektan merupakan bahan kimia untuk disinfeksi pada benda mati. 5. Antiseptik merupakan bahan kimia untuk tujuan antisepsis.

Untuk lebih memudahkan dapat dilihat gambar berikut : Jaringan hidup : menggunakan antiseptik

Disinfeksi

Benda mati : menggunakan disinfektan

Oleh karena pada penelitian ini hanya akan dilakukan uji sterilisasi pada benda mati, maka hanya akan dibahas mengenai disinfektan.

Semua peralatan yang digunakan di rumah sakit perlu didisinfeksi termasuk kamar dan peralatan yang tidak kontak langsung dengan pasien seperti kamar bedah, ruangan / bangsal perawatan, meja operasi, dan peralatan nonmedis lainnya. Ada berbagai macam disinfektan, namun disinfektan yang baik harus memenuhi persyaratan berikut :

(10)

1. Mempunyai spektrum luas.

2. Daya absorpsinya rendah pada karet, zat-zat sintetis, dan bahan lainnya.

3. Tidak korosif (bereaksi secara kimiawi terhadap alat-alat medis). 4. Toksisitasnya rendah pada petugas.

5. Baunya tidak merangsang.

Peralatan medis yang telah selesai digunakan pada berbagai prosedur dan tindakan medis dapat dipastikan terkena bahan organik seperti pus, darah, potongan jaringan tubuh, serta terkontaminasi oleh mikroba patogen. Oleh karena itu diperlukan adanya tindakan disinfektan.

Sebelum proses disinfeksi dilakukan, peralatan medis harus diproses lebih dahulu melalui dua fase (Darmadi, 2008) dan (Ekawati, 2006), yaitu :

1. Fase dekontaminasi yang bertujuan untuk menginaktivasi serta mengurangi jumlah mikroba patogen yang ada serta agar peralatan medis lebih aman saat ditangani oleh petugas pada fase berikutnya (fase pembersihan). Secara teknis dikerjakan dengan merendam peralatan medis dalam larutan klorin 0.3% selama 10 menit.

2. Fase pembersihan yaitu fase pembebasan peralatan medis secara fisik dari kotoran, darah, pus, potongan jaringan tubuh yang melekat pada peralatan medis, serta mikroba patogen yang tersisa dengan cara menyikat / menggosok. Selanjutnya diikuti proses mencuci dengan larutan sabun atau deterjen, membilas dengan air bersih, serta mengeringkannya.

Setelah kedua fase ini lalu akan diikuti dengan fase disinfeksi dengan disinfektan yang digunakan diharapkan cukup efektif untuk membunuh mikroba patogen yang ada.

Efektivitas disinfektan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor mikroba yang tergantung dari jenis mikroba patogen dan jumlah mikroba patogen (bioburden). Beberapa jenis mikroba patogen memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap bahan disinfektan dari pada mikroba patogen lainnya.

(11)

2. Faktor peralatan medis seperti perlakuan pada fase sebelumnya dimana faktor pembersihan sangat penting dalam proses disinfeksi agar berlangsung optimal. Beban kandungan materi organik pada peralatan mempengaruhi beban kerja disinfektan karena ada materi organik yang mengikat zat disinfektan. Struktur fisik yang rata atau rumit mempengaruhi kerja disinfektan. Larutan mineral yang menempel pada peralatan medis ada yang dapat mengikat zat disinfektan seperti kalsium dan magnesium.

3. Lamanya kontak antara zat disinfektan dengan mikroba patogen juga mempengaruhi kerja disinfektan.

4. Tingkat keasaman dan kebasaan (pH) disinfektan mempengaruhi, ada yang bekerja optimal pada suasana asam atau basa.

Bahan kimia disinfektan sangat berpengaruh pada unsur protein mikroba patogen. Hanya endospora yang mampu bertahan terhadap efek kimia disinfektan. Beberapa disinfektan yang banyak digunakan antara lain alkohol, klorin dan derivatnya, formaldehid, glutaraldehid, dan fenol (Pratiwi, 2008).

Alkohol yang biasa digunakan adalah etil dan isopropil alkohol dengan konsentrasi optimal 60-90%. Cukup efektif untuk membunuh semua mikroba patogen dan tidak korosif terhadap logam, namun dapat merusak bahan-bahan dari karet atau plastik. Alkohol cepat menguap sehingga waktu kontak sangat singkat, kecuali dengan merendamnya. Alkohol banyak dipakai untuk disinfektan peralatan seperti termometer oral / rektal, probe, USG, ambu bag.

Klorin dan derivatnya memiliki efek kerja yang cepat dan kemampuannya menginaktivasi mikroba cukup luas. Sangat bermanfaat untuk dekontaminasi peralatan medis, sarung tangan termasuk juga peralatan nonmedis. Dapat menyebabkan korosi bila konsentrasinya lebih dari 0.5% dengan waktu pemaparan lebih dari 20 menit.

Formaldehid memiliki nama dagang formalin dengan konsentrasi efektif 8%, memiliki daya inaktivasi mikroba yang cukup luas, namun menyebabkan iritasi pada mata, kulit, saluran nafas. Tidak korosif terhadap peralatan metal. Biasanya

(12)

terinaktivasi oleh materi organik. Pada konsentrasi yang tinggi bersifat karsinogenik.

Glutaraldehid merupakan derivat formaldehid, bersifat iritatif pada kulit, mata, dan pernafasan. Tidak bersifat korosif terhadap bahan metal. Baunya sangat menyengat sehingga diperlukan ventilasi ruangan yang baik. Yang sering digunakan adalah glutaraldehid 2% dengan nama dagang cidex.

Fenol umumnya digunakan untuk disinfeksi lantai, dinding, serta permukaan meja dan sebagainya. Nama dagangnya adalah lysol, kreolin.

Seiring dengan perkembangan jaman, maka bahan untuk disinfeksi tidak hanya digunakan disinfektan dari bahan kimia. Saat ini telah berkembang teknik disinfeksi dengan menggunakan energi panas (termis), yaitu melalui panasnya air (dengan direbus) dan melalui panasnya uap (dengan dikukus). Kedua cara ini disebut disinfeksi tingkat tinggi. Efektivitasnya untuk membunuh mikroba patogen lebih tinggi, namun dengan pengecualian endospora bakteri (Darmadi, 2008) dan (Ekawati, 2006).

Proses untuk disinfeksi tingkat tinggi (DTT) dengan cara merebus adalah sebagai berikut :

1. Sediakan sebuah bejana lengkap dengan tutupnya.

2. Isi dengan air dan masukkan peralatan logam dengan baik. 3. Catat ketika air mendidih dan rebus selama 20 menit.

4. Setelah selesai direbus, pindahkan peralatan yang telah di-DTT ke dalam sebuah kontainer yang telah di-DTT juga apabila tidak akan segera digunakan.

Sedangkan cara mengukus adalah sebagai berikut :

1. Sediakan satu set panci, yaitu 2-4 buah panci, panci paling bawah digunakan untuk merebus air.

2. Panci-panci yang berada di atas harus mempunyai lubang untuk mengalirkan uap air ke atas serta agar air dapat turun ke bawah kembali.

(13)

3. Jumlah panci berlubang yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan dan panci yang teratas harus selalu memakai tutup selama dalam proses.

4. Tempatkan peralatan medis yang akan di-DTT ke dalam panci berlubang.

5. Kukus selama 20 menit, dihitung mulai saat air mendidih.

6. Pindahkan panci yang berlubang ke panci lain yang tidak berlubang agar air dapat mengalir dan ditampung, tindakan ini bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan.

7. Pindahkan peralatan medis yang telah di-DTT ini ke dalam kontainer yang telah di-DTT juga dan peralatan tersebut telah siap digunakan.

Dengan demikian dikenal dua macam cara disinfeksi untuk peralatan medis, yaitu dengan cara kimiawi dan dengan memanfaatkan energi panas (DTT). Selain itu, juga ada pembagian lainnya, yaitu dengan melihat spektrum mikroba patogen yang akan terbunuh oleh proses disinfeksi, yaitu :

1. Disinfeksi tingkat rendah 2. Disinfeksi tingkat menengah 3. Disinfeksi tingkat tinggi

(14)

Tabel 2.2. Klasifikasi Disinfeksi

Menurut Dr. E. H. Spaulding dalam Darmadi (2008) peralatan medis / perawatan dikelompokan berdasarkan risiko infeksi yang mungkin timbul saat digunakan peralatan tersebut, yaitu :

1. Peralatan kritis, yaitu peralatan / instrumen medis yang digunakan untuk kontak dengan jaringan tubuh steril atau masuk ke dalam sirkulasi darah. Contohnya peralatan bedah, kateter jantung. Peralatan ini memerlukan metode sterilisasi secara mutlak.

2. Peralatan semikritis, yaitu peralatan medis yang kotak dengan selaput mukosa. Contohnya peralatan napas anastesi, endotracheal tube, sistoskop. Untuk peralatan ini dapat digunakan dapat didisinfeksi dengan metode sterilisasi mutlak atau dengan DTT.

3. Peralatan nonkritis, yaitu peralatan medis yang hanya kontak dengan kulit saja. Contohnya spigmomanometer, steteskop, elektroda diagnostik. Peralatan ini cukup didisinfeksi dengan cara disinfeksi tingkat menengah atau sedang.

(15)

2.3. Sterilisasi Di Rumah Sakit dan Metodenya

Sterilisasi merupakan suatu proses dengan metode tertentu yang mana dapat memberikan hasil akhir yaitu suatu keadaan yang tidak dapat ditemukan lagi adanya mikroorganisme hidup. Metode sterilisasi sangat banyak, namun alternatif yang dipilih tergantung pada keadaan serta kebutuhan setempat. Metode apapun harus tetap menjaga kualitas serta hasil sterilisasi. Kualitas hasil sterilisasi harus terjaga mengingat risiko kontaminasi kembali saat penyimpanan dan terutama saat akan digunakan dalam tindakan medis.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan metode kimiawi dan pemanfaatan energi panas, namun kedua metode tersebut tidak dapat mengeliminasi endospora bakteri. Untuk peralatan medis kritis diperlukan metode sterilisasi tingkat tinggi dimana endospora bakteri juga tidak boleh ditemukan. Metode sterilisasi tingkat tinggi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini. Jumlah dan jenis peralatan medis kritis yang digunakan oleh berbagai unit di rumah sakit sangat banyak dan harus tersedia setiap saat selama 24 jam penuh. Semakin banyak kegiatan medis yang memanfaatkan peralatan ini, semakin tinggi juga kegiatan sterilisasi yang harus dilakukan. Kegiatan sterilisasi ini memiliki unit pelaksanaan tersendiri yaitu

Central Sterile Supply Department (CSSD) atau Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS)

(Nasra, 2007). Dengan adanya unit kerja ini, maka terdapat stradardisasi prosedur kerja dan jaminan mutu hasil sterilisasi. Garis besar kegiatan CSSD / ISS secara berurutan adalah sebagai berikut (Darmadi, 2008) :

1. Dekontaminasi, yaitu peralatan medis yang terkontaminasi didisinfeksi terlebih dahulu untuk meminimalisasi jenis dan jumlah mikroba patogen yang ada.

2. Pembersihan yaitu peralatan medis dibersihkan untuk membebaskan materi organik yang menempel seperti darah, jaringan tubuh, dan sebagainya kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan.

3. Pengemasan, yaitu membungkus / mengemas secara rapi peralatan medis disertai pemasangan label dan siap untuk proses sterilisasi.

(16)

4. Proses sterilisasi, yaitu peralatan medis yang telah terbungkus / terkemas selanjutnya menjalani sterilisasi sesuai dengan metode yang telah dipilih.

5. Penyimpanan, yaitu setelah selesai proses sterilisasi peralatan medis disimpan dan harus dijaga kualitas sterilitasnya.

6. Pendistribusian, yaitu peralatan medis yang siap dipakai selanjutnya didistribusikan ke unit-unit yang memerlukannya.

Pemilihan metode sterilisasi berdasarkan berbagai kriteria, yaitu sebagai berikut :

1. Mudah pengoperasiannya / pelaksanaannya, namun harus tetap efektif. 2. Waktu pemaparan yang relatif pendek.

3. Tidak mempengaruhi / merusak peralatan medis.

4. Biaya yang murah, baik saat investasi ataupun pemeliharaannya. 5. Aman bagi petugas pelaksana.

Berikut beberapa metode sterilisasi, yaitu metode uap panas bertekanan tinggi, metode panas kering, dan metode gas kimia (Darmadi, 2008).

Metode uap panas bertekanan tinggi mempunyai prinsip dasar berupa uap panas pada suhu, tekanan, dan waktu pemaparan yang efektif membunuh mikroba patogen dengan cara denaturasi protein enzim dan membran sel mikroba. Peralatan yang digunakan adalah sebuah bejana dengan tutupnya yang dilengkapi dengan manometer, termometer, termostat, dan pengatur tekanan sehingga suhu dan tekanan uap panas dapat diatur. Sterilisator dengan metode uap panas disebut

autoclave, dengan cara kerja sebagai berikut :

1. Peralatan medis seperti instrumen, sarung tangan, linen dimasukkan dalam kamar (chamber) dan diletakkan di atas rak-rak yang tersedia. 2. Uap panas yang berasal dari pemanasan air dialirkan ke dalam kamar

(chamber) sehingga mendesak udara di dalam kamar. Pemanasan air dilanjutkan hingga 121oC karena adanya kenaikan tekanan.

3. Saat suhu efektif tercapai, maka hitungan waktu dimulai yaitu 20 menit untuk peralatan medis yang tidak terbungkus dan 30 menit untuk peralatan medis yang terbungkus.

(17)

4. Setelah 20 atau 30 menit, katup pengatur tekanan dibuka sehingga tekanan uap menurun dan diikuti dengan penurunan suhu.

Metode ini banyak digunakan karena aman, efektif, dan mudah pelaksanaannya. Ada tiga jenis autoclave, perbedaannya terletakpada durasi / waktu sterilisasi :

1. Autoclave kilat (Quick Autoclave)

2. Autoclave gaya berat (Gravity Displacement Autovlave)

3. Autoclave pervacum

Metode panas kering memiliki prinsip dasar yaitu melalui mekanisme konduksi, panas akan diabsorpsi oleh permukaan luar dari peralatan yang disterilkan. Lalu panas akan merambat ke bagian yang lebih dalam dari peralatan tersebut sampai suhu untuk sterilisasi tercapai dengan merata. Mikroba terbunuh dengan cara oksidasi, di mana protein mikroba akan mengalami koagulasi. Sterilisasi ini memakai udara panas pada oven, sebuah bejana yang udara di dalamnya harus dipanaskan dengan cara :

1. Pemanasan udara dalam oven dengan gas atau listrik dapat mencapai

suhu 160-180oC.

2. Durasi untuk sterilisasi 1-2 jam karena daya penetrasinya tidak sebaik

uap panas.

3. Digunakan untuk sterilisasi alat-alat dari gelas seperti tabung reaksi,

labu, cawan petri.

Metode ini banyak digunakan dan mudah, namun memerlukan energi yang lebih besar.

Metode gas kimia memakai etilen oksida membunuh mikroba melalui reaksi kimia yaitu reaksi alkilisasi di mana terjadi penggantian gugus atom hidrogen sel mikroba dengan gugus alkil sehingga mengganggu metabolisme dan reproduksi sel. Proses sterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 36-60oC serta konsentrasi gas <400 mg/liter. Prosesnya sebagai berikut :

1. Masukkan peralatan medis lalu gas etilen oksida dipompa ke dalam kamar (chamber) selama 20-30 menit pada kelembaban 50-75%.

(18)

2. Setelah selesai pemaparan dengan gas etilen dioksida dilanjutkan tahap aerasi / pertukaran udara yaitu membuang gas etilen oksida pada sterilisator dan peralatan medis.

Metode ini digunakan untuk sterilisasi peralatan medis dari plastik, alat-alat optik,

pacemaker, dan alat-alat lain yang sulit disterilkan dengan metode lain. Afinitas

gas ini sangat tinggi hingga bisa timbul residu pada peralatan medis sehingga dapat timbul iritasi pada kulit dan mukosa karena bersifat toksik.

Selain gas etilen oksida dapat digunakan juga formaldehid yang membunuh mikroba dengan cara mengikat gugus asam amino dari protein mikroba. Digunakan formaline autoclave pada suhu 70oC. Masukkan peralatan medis lalu alirkan gas formaldehid ke dalam kamar dengan konsentrasi 15 mg/m3. Metode ini hanya untuk sterilisasi yang terbatas seperti kateter, sarung tangan, dan sebagainya. Gas formaldehid baunya sangat menyengat dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, dan saluran napas.

Mutu atau kualitas sterilisasi peralatan medis yang terjamin merupakan upaya pencegahan infeksi nosokomial. Diperlukan adanya standar kerja dalam pelaksanaan sterilisasi untuk menjamin hasil sterilisasi sehingga dapat memutuskan rantai penularan terjadinya infeksi.

Gambar

Gambar 2.1. Faktor Ekstrinsik Terjadinya Infeksi Nosokomial
Gambar 2.2. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi  Nosokomial
Tabel 2.1. Dugaan Kuman Penyebab Infeksi Nosokomial Tahun 2000
Tabel 2.2. Klasifikasi Disinfeksi

Referensi

Dokumen terkait

Melalui Modul Praktik Klinik Ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok dan bedah kepala leher yang dijalani pada semester 7-8 selama 4 minggu dengan beban 4 sks, mahasiswa

Pada larutan HCl logam lebih cepat terkorosi dibandingkan larutan yang lainnya. Nilai laju korosi yang tinggi disebabkan oleh larutan yang bersifat asam sehingga menyebabkan

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Seperti yang telah diketahui bahwa penurunan yang terjadi saat perencanaan awal lebih besar dari pada penurunan yang diizinkan maka perlu dilakukan

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

Hosting dan Domain akan langsung diperpanjang setelah pembayaran diterima antara Jam 6.00 WIB- 23.00 WIB, tidak berlaku jika sedang ada maintenance dari Bank

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah internal audit yang dilihat dari jumlah anggotanya, proporsi dewan komisaris independen yang didapatkan dari jumlah

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang