• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN STEMI DAN PCI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN STEMI DAN PCI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN

“KLIEN DENGAN STEMI DAN PCI”

DI RUANG 5 CVCU RSSA MALANG

Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Departemen Medical

Disusun Oleh :

I Wayan Gede Saraswasta

140070300011111

PSIK A Kelompok 1

PROGRAM PROFESI NERS

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

ST- elevation infark miocard (STEMI)

1. Definisi STEMI

(2)

STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA, 2013).

IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST- elevation infark miocard (STEMI) dan non ST- elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

2. Faktor Risiko

Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat diubah. 2.1. Faktor yang tidak dapat dirubah:

a) Usia

Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).

b) Jenis kelamin

Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.

(3)

c) Ras

Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.

d) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

2.2. Faktor resiko yang dapat dirubah:

a) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan

atherosclerosis pada wanita (Kumar, et al., 2007). Efek rokok adalah

menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.

b) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.

c) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah

systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat

meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar

(4)

50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2007). Mekanisme hipertensi berakibat IHD:

 Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.

 Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.

d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus.

e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner. f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang

bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

3. Faktor Etiologi

Penyebab infark miokard secara umum, antara lain:

a. Thrombus dan/atau embolus yang menyebabkan aterosklerosis dan aklusis di arteri coroner

b. Vasospasme (vasokonstriksi atau penyempitan mendadak) pada arteri coroner

c. Penurunan suplai oksigen (tekanan darah rendah, kehilangan darah yang akut atau anmeia).

d. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik e. Penyempitan aterorosklerotik

f. Plak aterosklerotik

g. Lambatnya aliran darah di daerah plak atau oleh viserasi plak h. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium

i. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur j. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot

(5)

4. Patofisiologi

STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat)

dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut.

Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis

meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua platelet secara simultan, menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.

Pada sebagian kecil kasus STEMI terjadi karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflamasi.

Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung pada:

a) Daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi b) Apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak

(6)

d) Kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang terkena

e) Kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba

f) Faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan

g) Keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

5. Manifestasi Klinis

a. Keluhan utama klasik

Nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2007). Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.

Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)

Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung

Angina Pectoris Stabil

Angina pada waktu istirahat/ aktivitas ringan (ICS III-IV). Hilang dengan nitrat

Depresi segmen ST Inversi gelombang T Tidak ada gelombang Q

Tidak meningkat

NSTEMI Lebih berat dan lama (> 20 menit). Tidak

Depresi segmen ST Inversi Gelombang T

Meningkat minimal 2 kali

(7)

hilang dengan nitrat, perlu opium

dalam nilai batas atas normal

STEMI Lebih berat dan lama (> 20 menit). Tidak hilang dengan nitrat, perlu opium

Elevasi segmen ST inversi gelombang T

Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal

b. Respiratory

- Nafas yang memendek, dispnea, takipnea

- Krakles dapat terdengar jika ada kongesti pulmonary - Dapat pula disertai edema paru

c. Neurologis

Kecemasan, rasa kelelahan, pusing, mengindikasikan peningkatan stimulus simpatis atau penurunan kontraktilitas dan oksigenasi cerebral. Gejala ini dapat mengarahkan kepada gambaran syok kardiogenik.

Sakit kepala, gangguan penglihatan, perubahan ucapan, perubahan fungsi motorik, dan perubahan kesadaran dapat mengindikasikan perdarahan cerebral jika klien mendapatkan trombolitik.

d. Gastrointestinal Mual dan muntah e. Urinary

Penurunan keluaran urin dapat mengindikasikan syok kardiogenik f. Integumen

Dingin, berkeringat, diaforesis, dan pucat, dapat muncul karena stimulus dari kurangnya kontraktilitas yang dapat mengindikasikan adanya shock kardiogenik. Oedema dapat muncul karena kurangnya kontaktilitas.

g. Psikologis

Ketakutan akan kematian, atau penyangkalan terhadap penyakit dapat terjadi pada klien.

6. Pemeriksaan Penunjang

Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.

1. Electrocardiograf (ECG)

(8)

Gambar 1. Gambaran EKG STEMI

(a)

(b)

Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL. b) STEMI pada dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.

(9)

Gambar 3. STEMI inferolateral diikuti perubahan reciprocal pada lateral (I dan aVL) dan lead anterior (V1 hingga V3)

Gambar 4. STEMI di dinding anterior dengan segmen ST elevasi pada lead V1 dan V4 juga dengan perubahan reciprocal pada lead inferior.

Gambar 5. Variasi penyebab segmen ST elevasi pada dewasa dengan nyeri dada, LVH (left ventricular hypertrophy).

(10)

Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.

Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG

No Lokasi Gambaran EKG

1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5 2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3 3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan

I dan aVL 4 Lateral

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF

7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3

8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2

9 RV Infraction

Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.

Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

2. Serum Cardiac Biomarker

Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.

(11)

a. Cardiac Troponin

Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari

cardiac troponin. Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji

troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse

cardiac event pada ACS.

b. Creatine Kinase-MB isoenzym

Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false

positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati.

CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan tidak mempunyai nilai prognostik.

c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK

Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100] dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk

(12)

meningkatkan spesifitas elevasi MB untuk MI. Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan.

d. Mioglobin

Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam. Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun.

e. Creatine Kinase-MB isoforms

Isoenzim MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu MB1 dan MB2. CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya >1,7. Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah

(13)

marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium.

f. C-reactive Protein

CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac

events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk

mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.

Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart

Association (AHA):

- Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L untuk perempuan.

- Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.

Marker Waktu Awal

Peningkatan (jam) Waktu Puncak Peningkatan (jam) Waktu Kembali Normal Nilai Rujukan CK 4 – 8 12 – 24 72 – 96 jam CK-MB 4 – 8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L Mioglobin 2 – 4 4 – 9 < 24 jam < 110 ng/mL LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari Troponin I 4 – 6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL Troponin T 4 – 6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL

Tabel 3. Cardiac marker pada Miokard Infark

Cardiac Imaging

a) Echocardiography

Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat

(14)

akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal akanada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.

b) High resolution MRI

Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI.

c) Angiografi

Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:

 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.

 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.

 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.

(15)

Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu.

7. Penatalaksanaan

Menurut American Heart Ascossiation, 2013

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA (Smeltzer, 2001)

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis. b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan

resusitasi.

Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah

(16)

sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:

 JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.

 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.

 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.

c. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.

d. Melakukan terapi perfusi. Tatalaksana STEMI

a. Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

b. Tatalaksana Umum

 Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

 Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5

(17)

menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada

Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

 Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.

 Aspirin

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat

(18)

siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

 Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasadiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

 Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.

 Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI

(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang

direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada arteri koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.

(19)

Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI

Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:

1. Waktu onset gejala

- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian.

- Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.

- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.

2. Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

(20)

Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.

4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal berkurang.

8. Komplikasi

8.1. Disfungsi ventrikel

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.

8.2. Gagal pemompaan (pump failure)

Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru. 8.3. Aritmia

Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.

8.4. Gagal jantung kongestif

Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,

(21)

sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.

8.5. Syok kardiogenik

Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.

8.6. Edema paru akut

Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.

8.7. Disfungsi otot papilaris

Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis. 8.8. Defek septum ventrikel

Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.

8.9. Rupture jantung

Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.

(22)

Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup. 8.11. Tromboembolisme

Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. 8.12. Perikarditis

Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ST- ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI) A. PENGKAJIAN

a. Identitas Klien

Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No.RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.

b. Keluhan utama

nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.

1) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat.

2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.

3) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta ketidakmampuan bahu dan tangan.

4) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang 0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).

5) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah dan

(23)

berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.

c. Riwayat kesehatan terdahulu

Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.

d. Riwayat keluarga

Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.

e. Aktivitas/istirahat

Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja. f. Sirkulasi

Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner, masalah hipertensi, DM.

Tanda:

1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk/berdiri

2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.

3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.

4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar 5) Friksi; dicurigai perikarditis.

6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.

7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.

8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa. g. Integritas ego

(24)

Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga, pekerjaan dan keuangan.

Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.

h. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun i. Makanan/cairan

Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar. Tanda:penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan berat badan

j. Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri k. Neurosensori

Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk/istirahat)

Tanda: perubahan mental dan kelemahan l. Pernapasan

Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis

Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.

m. Interaksi sosial

Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi). Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri dari keluarga.

(25)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:

1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner

2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural

4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung

6. Distress spiritual berhubungan dengan bedrest total akibat intoleransi aktivitas

(26)

DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction : A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2013.

Djohan, Anwar Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan

Keperawatan. Jakarta: EGC.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s

Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies,

Inc.

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc. Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.

Edisi 8. Jakarta : EGC.

Schreiber, Donald. Use of Cardiac Markers in The Emergency Department. Available at. http://emedicine.medscape.com/article/811905-overview .

DeMoranville, Victoria E. Cardiac Marker Tests. Available at.

Gambar

Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL.
Gambar 4. STEMI di dinding anterior dengan segmen ST elevasi pada lead V1 dan V4 juga dengan perubahan reciprocal pada lead inferior.
Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG
Tabel 3. Cardiac marker pada Miokard Infark

Referensi

Dokumen terkait

Kelas olahraga hakikatnya suatu wadah untuk menyalurkan keterampilan, minat dan bakat serta potensi yang masih terpendam dari peserta didik. Latar belakang masalah dalam

Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang.. tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu Pengetahuan, arahan,

Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2015) meng- hasilkan wanita yang bekerja umumnya mereka memiliki pandangan yang lebih terbuka dengan lingkungan

Komputer memegang peran penting dalam menunjang kelancaran aktivitas pekerjaan di dalam suatu informasi, cara pengaturan data dengan menggunakan Sistem Basis Data yang selama ini

Latihan soal dan simulasi analisa rangkaian Pelipat tegangan, Gerbang Logika [BT+BM:(1+1)x3x(2x60”)]  Penyearah setengah gelombang  Penyearah gelombang penuh 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanolik daun sendok (Plantago lanceolata L.) topikal terhadap re–epitelisasi penyembuhan ulkus traumatik mulut

Project Integration Management kumpulan aktivitas dan proses yang diperlukan untuk mengidentifikasi, mendefinisi, mengkombinasi, menyatukan dan mengkoordinasi berbagai