• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan STEMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pendahuluan STEMI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

ST ELEVATION INFARK MIOCARD

(STEMI)

DEPARTEMEN MEDIKAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Medikal di R.5 CVCU RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Oleh : Akhiyan Hadi S. 0810720009

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

(2)

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG LAPORAN PENDAHULUAN

“STEMI (ST ELEVATION MIOKARD INFARK)”

A. Definisi

Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2001). Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2007).

IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-ST-elevation infark miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

B. Etiologi dan Faktor Risiko

Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.

1. Faktor yang tidak dapat dirubah : a) Usia

Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang

(3)

kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).

b) Jenis kelamin

Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.

c) Ras

Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.

d) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

2. Faktor resiko yang dapat dirubah :

a) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.

b) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah

systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2007). c) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok

mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan

atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok dapat menurunkan risiko secara substansial (Kumar, et al., 2007).

d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.

(4)

f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

C. Manifestasi Klinis

a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2007).

Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)

Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung

Angina Pectoris Stabil

Angina pada waktu istirahat/ aktivitas ringan (ICS III-IV). Hilang dengan nitrat

Depresi segmen ST Inversi gelombang T Tidak ada

gelombang Q

Tidak meningkat

NSTEMI Lebih berat dan lama (> 20 menit). Tidak hilang dengan nitrat, perlu opium

Depresi segmen ST Inversi Gelombang T dalam

Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal

STEMI Lebih berat dan lama (> 20 menit). Tidak hilang dengan nitrat, perlu opium

Elevasi segmen ST inversi gelombang T

Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal

b. Kelainan lain: di antaranya aritmia, henti jantung atau gagal jantung akut. c. Pada manula: bisa kolaps atau bingung.

d. Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada.

e. Sebagian besar pasien memiliki faktor resiko atau penyakit jantung koroner yang diketahui . 50% tanpa disertai angina.

f. Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas

(5)

Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:

Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA

Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)

I Tidak ada tanda gagal jantung

kongestif 40-50% 6

II

Heart falure. Kriteria diagnosis disertai adanya S3 gallop dan/atau ronki basah (rales) di basal paru dan

hipertensi pulmonal

30-40% 17

III Severe Heart Failure. Edema paru

akut (ALO) 10-15% 30-40

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

E. Patofisiologi

STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet

lebih lanjut.

Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis

meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang

(6)

patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.

Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner tergantung pada

a) daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi b) apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak

c) durasi oklusi koroner

d) kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang terkena

e) kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-tiba

f) faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan

g) keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

F. Pemeriksaan Penunjang

Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.

1. Electrocardiograf (ECG)

Gambar 1. Gambaran EKG STEMI Tabel 3. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG

(7)

No Lokasi Gambaran EKG

1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5 2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3

3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL

4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF

7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3

8 True posterior

Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2

9 RV Infraction

Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.

Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

2. Serum Cardiac Biomarker

Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.

a. Cardiac Troponin

Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk

(8)

membedakan keduanya. Hal ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari

cardiac troponin.

Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI.

Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS. Mereka telah menjadi cardiac marker pilihan untuk pasien dengan ACS.

b. Creatine Kinase-MB isoenzym

Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati.

CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac

event dan tidak mempunyai nilai prognostik.

c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK

Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100] dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI.

Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan.

Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan.

(9)

Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam.

Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun.

e. Creatine Kinase-MB isoforms

Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2. CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya lebih dari 1,7.

Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium.

f. C-reactive Protein

CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.

(10)

Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart Association (AHA).

 Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L untuk perempuan.

 CKMB = 10-13 units/L.

 Troponin T = kurang dari 0,1 ng/mL.

 Troponin I = kurang dari 1,5 ng/mL.

 Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.

 Mioglobin = kurang dari 110 ng/mL

Tabel 4. Cardiac marker pada MI.

Marker Waktu Awal

Peningkatan (jam) Waktu Puncak Peningkatan (jam) Waktu Kembali Normal CK 4 – 8 12 – 24 72 – 96 jam CK-MB 4 – 8 12 – 24 48 – 72 jam Mioglobin 2 – 4 4 – 9 < 24 jam LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari Troponin I 4 – 6 12 – 24 3 – 10 hari Troponin T 4 – 6 12 – 48 7 – 10 hari

(11)

Grafik 1. Pelepasan mioglobin, CK-MB, troponin I, dan troponin T berdasarkan waktu.

3. Cardiac Imaging a) echocardiography

Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka nada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.

b) High resolution MRI

Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac MRI.

c) Angiografi

Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:

1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.

2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.

(12)

4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.

4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi

Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu.

G. Penegakan Diagnosis

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim.

1. Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau

bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga,

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sbb:

 Lokasi: sub/retrosternal, prekordial

 Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan dipelintir

 Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan

 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat

(13)

 Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas

2. Pemeriksaan fisik

Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).

Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.

3. Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.

4. Laboratorium

Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,

(14)

terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.

Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB

 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

 Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH

 Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.

H. Penatalaksanaan

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.

2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.

3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.

4. Melakukan terapi perfusi.

 Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau

(15)

pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:

1. JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.

2. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.

3. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.

a. Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

b. Tatalaksana Umum

 Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

 Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT

(16)

intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada

Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

 Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.

 Aspirin

Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

 Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah

(17)

dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

 Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.

Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

c. Seleksi Strategi Reperfusi

Beberapa hal haru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:

 Waktu onset gejala

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian.

Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.

The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.

 Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

(18)

 Risiko Perdarahan

Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.

 Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal berkurang.

STRATEGI REPERFUSI A. REPERFUSI FARMAKOLOGIS (Fibrinolisis)

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:

1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.

2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.

(19)

4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.

Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang, terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang belum menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.

tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.

Fibinolisis umumnya lebih dipilih jika:

1. Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke strategi invasive.

2. Strategi invasive bukan merupakan pilihan. 3. Laboratorium kateterisasi belum tersedia 4. Kesulitan akses vascular.

5. Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu. 6. Terlambat untuk strategi invasive:

- Transport jauh

- (Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time lebih dari 1 jam

- Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih dari 90 menit

(20)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam melakukan arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.

Strategi invasive umumnya lebih dipilih jika:

1. Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical medical contact to balloon atau door to ballon time <90 menit. (Door to ballon)-(Door to needle) time <1 jam.

2. Risiko tinggi STEMI - Syok kardiogenik

- Klas Killip lebih atau sama dengan 3

I. Prognosis

Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:

1. ASPIRIN® 2. clopidrogel

3. statin (cholesterol lowering) drugs

4. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot jantung)

5. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)

(21)

J. Komplikasi

1. Disfungsi ventrikel

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark.

2. Gagal pemompaan (pump failure)

Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru. 3. Aritmia

Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.

4. Gagal jantung kongestif

Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.

5. Syok kardiogenik

Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.

(22)

Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.

7. Disfungsi otot papilaris

Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.

8. Defek septum ventrikel

Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.

9. Rupture jantung

Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.

10. Aneurisma ventrikel

Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.

11. Tromboembolisme

Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. 12. Perikarditis

Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.

(23)
(24)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STEMI A. PENGKAJIAN

 Identitas Klien

Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi, status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.

 Status kesehatan saat ini

Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.

 Riwayat penyakit sekarang (PQRST)

1) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat.

2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.

3) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta ketidakmampuan bahu dan tangan.

4) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang 0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5). 5) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama

timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.

 Riwayat kesehatan terdahulu

Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.

 Riwayat keluarga

Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda

(25)

merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.

 Aktivitas/istirahat

Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap, jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.

 Sirkulasi

Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung koroner, masalah TD, DM.

Tanda:

1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk/berdiri

2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.

3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.

4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar 5) Friksi; dicurigai perikarditis.

6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.

7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal jantung/ventrikel.

8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.

 Integritas ego

Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga, pekerjaan dan keuangan.

Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.

 Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun

 Makanan/cairan

Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar. Tanda: penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan perubahan berat badan

(26)

 Neurosensori

Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk/istirahat)

Tanda: perubahan mental dan kelemahan

 Nyeri/ketidaknyamanan Gejala:

 Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.

 Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher

 Kualitas nyeri ‘crushing’, menusuk, berat, menetap, tertekan, seperti dapat dilihat.

 Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami.

 Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan DM, hipertensi dan lansia.

Tanda:

 Wajah meringis, perubahan postur tubuh.

 Menangis, merintih, meregang, menggeliat.

 Menarik diri, kehilangan kontak mata

 Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD, pernapasan, warna kulit/kelembaban, kesadaran.

 Pernapasan

Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis

Tanda: peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.

 Interaksi social

Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)

Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri dari keluarga

(27)

 Penyuluhan/pembelajaran

Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau

Pengkajian fisik

Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:

 Tingkat kesadaran

 Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)

 Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak mencukupinya oksigen ke dalam miokard

 Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung

 Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan, perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel

 Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume

 Warna dan suhu kulit

 Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)

 Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika merupakan potensial komplikasi yang fatal

 Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria

Pemeriksaan Diagnostik

 EKG

 Echocardiogram

 Lab  CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:

1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner

(28)

2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema paru akut

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural

4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung

6. Distress spiritual berhubungan dengan bedrest total akibat intoleransi aktivitas

C. RENCANA KEPERAWATAN

Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri berkurang

Kriteria hasil: Nyeri dada hilang/terkontrol, Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi , Klien tampak rileks,mudah bergerak

INTERVENSI RASIONAL Kaji keluhan pasien mengenai nyeri

dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi dan faktor yang mempengaruhinya.

Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri dada serta merupakan garis dasar untuk

membandingkan gejala pasca terapi. Berikan istirahat fisik dengan punggung

ditinggikan atau dalam kursi kardiak.

Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung.

Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina

Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya, sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark, emboli paru, atau perikarditis

Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera

Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi

kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut

(29)

Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan nyaman

Menurunkan rangsang eksternal

Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan,perilaku distraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi

Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri

Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik

Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan ventrikel Kolaborasi dengan tim medis

pemberian:

 Antiangina (NTG)

 β- blocker (atenolol)

 Preparat analgesik (Morfin Sulfat)

 Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik

 Untuk mengontrol nyeri dengan efek vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia

 Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD sistolik dan kebutuhan oksigen miokard

 Untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan

mengurangi kerja miokard

 Untuk memulihkan otot jantung dan untuk memastikan peredaan maksimum nyeri (inhalasi oksigen menurunkan nyeri yang berkaitan dengan rendahnya tingkat oksigen yang bersirkulasi).

(30)

Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural

Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi penurunan curah jantung

Kriteria Hasil: Hemodinamika stabil (tekanan darah dkm batas normal, curah jantung kembali meningkat, asupan dan keluaran sesuai, irama jantung tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia), produksi urine > 600 ml/hari.

INTERVENSI RASIONAL Ukur tekanan darah. Bandingkan

tekanan darah kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan

Hipotensi dapat terjadi akibat disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum berhubungan dengan nyeri cemas yang mengakibatkan terjadinya pengeluaran katekolamin.

Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah jantung

mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi

Auskultasi dan catat terjadinya bunyi jantung S3/S4

S3 berhubungan dengan gagal jantung kronis atau gagal mitral yang disertai infark berat. S4 berhubungan dengan iskemia, kekakuan ventrikel, atau hipertensi pulmonal.

Auskultasi dan catat murmur Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung akibat kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilaris.

Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung dapat menunjukkan adanya komlikasi distrimia.

Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering dan mudah dikunyah, batasi asupan kafein.

Makanan dengan porsi besar dapat meningkatkan kerja miokardium. Kafein dapat merangsang langsung ke jantung sehingga meningkatkan frekuensi jantung.

Kolaborasi :

 Pertahankan jalur IV pemberian heparin (IV) sesuai indikasi;

Jalur yang penting untuk pemberian obat darurat

 Pantau data laboratorium enzim jantung, GDA dan elektrolit.

Enzim dapat digunakan untuk memantau perluasan infark,

(31)

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah, misalnya vasikonstriksi, hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi jaringan efektif

Kirteria Hasil: Kulit hangat dan kering, nadi perifer kuat , tanda vital dalam batas normal, kesadaran compos mentis, keseimbangan pemasukan dan pengeluaran, tidak edema dan nyeri

INTERVENSI RASIONAL Observasi adanya perubahan tingkat

kesadaran secara tiba-tiba

Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung

Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab da raba kekuatan nadi perifer

Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung

Observasi adanya tanda Homan, eritema, edema

Untuk mengetahui adanya trombosis vena dalam

Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif

Menurunkan stasis vena,

meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan risiko tromboflebitis Pantau pemasukan dan perubahan

keluaran urine

Penurunan/mual terus menerus dapat megakibatkan penurunan volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ Pantau laboratorium, kreatinin, elektrolit Indikator dari perfusi atau fungsi

organ Kolaborasi dengan tim medis

pemberian:

 Heparin

 Cimetidine

 Untuk menurunkan resiko

tromboflebitis atau pembentukan trombus mural

 Untuk menetralkan asam lambung dan iritasi gaster

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies,

(32)

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc. Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Schreiber, Donald. Use of Cardiac Markers in The Emergency Department. Available at. http://emedicine.medscape.com/article/811905-overview . DeMoranville, Victoria E. Cardiac Marker Tests. Available at.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA
Gambar 1. Gambaran EKG STEMI Tabel 3. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG

Referensi

Dokumen terkait

ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di pengaruhi

Fraktur terbuka atau patah tulang terbuka adalah hilangnya kontinuitas tulang disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan

a) Gejala Lokal..  Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf sensoris. Intensitas atau derajat rasa nyeri berbeda-beda tergantung pada berat / luas kerusakan ujung-ujung

Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan

Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi,

Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain imbalance kekuatan otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi,

Kekurangan nutrisi merupakan keadaan yang dialami seseorang dalam keadaan tidak berpuasa normal atau resiko penurunan berat badan akibat ketidak cukupan asupan nutrisi untuk kebutuhan