• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Rujukan Pasien Retinopati Diabetik di Pusat Rujukan Tersier Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Indonesia Tahun 2016-2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pola Rujukan Pasien Retinopati Diabetik di Pusat Rujukan Tersier Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Indonesia Tahun 2016-2019"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

POLA RUJUKAN PASIEN RETINOPATI DIABETIK DI PUSAT RUJUKAN TERSIER PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO INDONESIA TAHUN

2016-2019

Disusun oleh:

Daniel Cevry Edi Maulana NPM 131221180003

PENELITIAN OBSERVASIONAL

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH

SAKIT MATA CICENDO BANDUNG 2020

(2)
(3)

1

POLA RUJUKAN PASIEN RETINOPATI DIABETIK DI PUSAT RUJUKAN TERSIER PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO INDONESIA TAHUN

2016-2019

Daniel Cevry Edi Maulana, Iwan Sovani

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Abstract

Introduction: Diabetic retinopathy (DR) is a major microvascular complication and had become fifth leading cause of visual impairment in global population. Number of people with diabetes is on rising, with increased incidence of DR and vision threatening diabetic retinopathy. Prevalence of diabetic patient in many developing nation is still high with no current DR screening program. Many patients presented to tertiary referral center need advanced treatment for various condition.

Purpose: To describe referral pattern of diabetic retinopathy patient in tertiary referral center Cicendo National Eye Hospital, Indonesia from 2016 to 2019.

Methods: This study reviewed hospital registry of diabetic retinopathy patients in Cicendo National Eye Hospital, Indonesia retrospectively from 1st January 2016 to 31st December 2019. Sex, age, patient domicile, and referring hospital each year were reviewed retrospectively.

Result: In this study, 22.169 patients were included. Demographic data showed DR was greater in female (53,88 %), age range at 50-59 years (36,68%), patients who lived in Greater Bandung area at 44,58%, and absence of referral at 25,77% .

Conclusion: Rate of DR patient without referral to tertiary referral center were still high each year.

High accessibility to tertiary referral center increase hospital attending for treatment. Improvement in development and implementation of national screening program is needed to provide cost effective treatment and prevent further disease progression.

Keyword: diabetic retinopathy, referral pattern, vision threatening diabetic retinopathy

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular kronis yang paling sering ditemukan di hampir seluruh negara, dan jumlahnya terus meningkat.

Prevalensi global dari DM diprediksi mengalami peningkatan signifikan dari estimasi 422 juta jiwa pada tahun 2014 ke 592 juta jiwa pada tahun 2035.

Menurut WHO, Indonesia menempati urutan kelima di dunia dalam populasi diabetes usia dewasa dan diprediksi akan meningkat secara signifikan pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa Indonesia memiliki 10,5 juta jiwa

dengan DM pada tahun 2017 dan sekitar 7,7 juta jiwa belum terdiagnosis.

Retinopati diabetik adalah komplikasi mikrovaskular utama dari DM yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat dan ireversibel pada orang dewasa usia produktif dan lansia di seluruh dunia. Retinopati diabetik menjadi penyebab kelima gangguan penglihatan sedang hingga berat di populasi global. Vision threatening diabetic retinopathy (VTDR) didefinisikan berdasarkan Eye Disease Research Group sebagai seluruh retinopati diabetik proliferatif, retinopati diabetik non-proliferatif berat, atau adanya edema makula yang

(4)

signifikan pada derajat berapapun.

Jumlah penderita dengan gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik diperkirakan mencapai 191 juta jiwa dan VTDR mencapai 56,3 juta jiwa di tahun 2030. Data dari International Agency for Prevention of Blindness (IAPB) menunjukkan 415 juta jiwa memiliki DM pada tahun 2015 di mana 35% di antaranya memiliki retinopati diabetik dan 11% mengalami VTDR.

Berdasarkan IDF, Indonesia menempati posisi negara keenam dengan penderita DM di kelompok usia 20-79 tahun pada tahun 2017 dengan prevalensi 6,3%.1-6 Prevalensi retinopati diabetik di negara berkembang menunjukkan angka lebih tinggi pada pasien dengan kasus DM baru karena banyak orang terdiagnosis retinopati diabetik setelah menunjukkan gejala atau komplikasi.

Penelitian yang dilakukan di Jogjakarta menunjukkan prevalensi retinopati diabetik pada populasi dengan DM di kawasan urban sebanyak 43,1% dan sebanyak 26,3% di populasi rural, dengan 95% responden belum pernah mendapatkan pemeriksaan mata sebelumnya. Hal ini didukung dengan ketiadaan program penapisan retinopati diabetik nasional berbasis komunitas di Indonesia.4,7-8

Tatalaksana retinopati diabetik yang paling utama adalah mengontrol glukosa darah, baik menggunakan obat anti diabetes oral maupun penyuntikan insulin. Pilihan tatalaksana untuk VTDR seperti laser fotokoagulasi panretina (PRP) dapat mengontrol neovaskularisasi dan pencegahan kebutaan walaupun tidak dapat memperbaiki fungsi penglihatan. Agen intravitreal seperti anti-vascular

endothelial growth factor (VEGF) bekerja dengan berikatan pada VEGF sehingga mencegah terbentuknya neovaskularisasi yang dapat meningkatkan risiko perdarahan dan mengurangi edema makula.

Penyuntikan anti-VEGF tidak mengembalikan penglihatan secara utuh pada seluruh pasien, dan membutuhkan kunjungan berkala dan biaya yang cukup tinggi untuk mencapai efektivitas terapi. Tindakan lain yaitu dengan operasi vitrektomi pars plana (VPP) untuk pilihan pada pasien yang tidak merespon pada tindakan laser PRP. Gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik dapat menjadi beban pelayanan kesehatan yang cukup signifikan.1,7,9-11 Tindakan pencegahan tersier seperti laser PRP, anti-VEGF, dan VPP masih menjadi fokus utama dalam penanganan VTDR. Kebutuhan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk menangani VTDR masih terbatas sehingga hanya dapat dilakukan terutama di pusat rujukan tersier.

Berbagai studi menunjukkan inefisiensi dalam proses rujukan dan rekomendasi terapi, dan banyak pasien VTDR belum mendapatkan penanganan optimal.12-15 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola rujukan pasien retinopati diabetik di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo sebagai pusat rujukan tersier pada tahun 2016 hingga 2019.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif secara potong lintang dengan mengambil data sekunder dari sistem rumah sakit pasien

(5)

3

retinopati diabetik unit Vitreoretina di Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit Mata Cicendo periode 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2019.

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2020.

Jumlah data yang terhimpun sebanyak 63.824 pasien, 22.169 pasien masuk dalam kriteria inklusi dan 41.665 masuk ke dalam kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu seluruh pasien yang terdiagnosis retinopati diabetik di PMN RS Mata Cicendo selama periode penelitian.

Kriteria eksklusi dari penelitian ini yaitu pasien dengan diagnosis selain retinopati diabetik, kunjungan ganda, dan pencatatan yang tidak lengkap.

Data yang dikumpulkan dari di antaranya usia, jenis kelamin, waktu kunjungan, asal perujuk, domisili pasien, jenis tindakan yang didapat, dan diagnosis. Definisi operasional pada penelitian ini yaitu VTDR didefinisikan sebagai retinopati diabetik yang mendapatkan tindakan injeksi anti- VEGF, laser PRP, dan operasi VPP, sedangkan non-VTDR didefinisikan sebagai retinopati diabetik yang tidak mendapatkan intervensi tindakan.

Domisili pasien dikelompokkan menjadi Bandung Raya meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, diikuti dengan Jawa Barat yang meliputi wilayah selain Bandung Raya, dan Luar Jawa Barat.

Data inklusi dikelompokkan dengan mengambil seluruh pasien dengan diagnosa retinopati diabetik berdasarkan kode 10th Revision of The International Statistical Classification of Disease and Related Health

Problems (ICD-10). Data kemudian dikelompokkan berdasarkan tindakan yang diperoleh untuk menentukan kriteria VTDR dan non-VTDR. Data kemudian dikelompokkan per tahun kunjungan, usia, jenis kelamin, asal perujuk, dan domisili pasien.

Data yang diperoleh diolah menggunakan software Microsoft Excel 2016 dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL

Jumlah pasien retinopati diabetik di PMN RS Mata Cicendo periode 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2019 adalah 22.169 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 4.239 pasien adalah kelompok VTDR dan 17.930 pasien termasuk kelompok non-VTDR. Jenis kelamin pasien sebanyak 11.945 orang (53,88%) adalah perempuan dan 10.224 orang (46,12%) pasien adalah laki-laki. Usia pasien paling banyak di kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 8.131 orang (36,68%) dan usia 60-69 tahun sebanyak 5.906 orang (26,64%).

Domisili terbanyak berasal dari wilayah Bandung Raya sebanyak 9.883 orang (44,58%) diikuti Jawa Barat sebanyak 9.002 orang (40,61%).

Tabel 2 menunjukkan asal perujuk terbanyak untuk kasus VTDR.

Sebanyak 4.239 pasien datang tanpa rujukan, diikuti dengan RSUD Al Ihsan sebagai perujuk terbesar sebanyak 134 pasien (3,16%) diikuti dengan Klinik Utama Bandung Eye Center sebanyak 120 pasien (2,83%). Berdasarkan tabel 3, pasien yang didiagnosa non-VTDR paling banyak dirujuk dari RSUD Al Ihsan sebanyak 691 pasien (3.85%)

(6)

diikuti oleh RSUD Cibabat sebesar 364 pasien (2,03%).

Gambar 1 menunjukkan rujukan VTDR setiap tahunnya, sedangkan gambar 2 menunjukkan rujukan non- VTDR setiap tahunnya, dengan memasukkan data pasien yang datang tanpa rujukan dan 10 perujuk

terbanyak. Pasien yang datang tanpa rujukan menjadi penyumbang terbesar kunjungan pasien retinopati diabetik baik VTDR maupun non-VTDR, dengan jumlah yang hampir sama setiap tahunnya. Rumah sakit asal perujuk sebagian besar berasal dari wilayah Bandung Raya dan Jawa Barat.

Tabel 1 Data Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien (n = 22.169) Jumlah Persentase (%) DR

VTDR 4.239 19,12

Non-VTDR 17.930 80,88

Jenis kelamin

Laki-laki 10.224 46,12

Perempuan 11.945 53,88

Usia <30 thn 30-39 thn 40-49 thn

1.142 1.116 4.099

5,15 5,03 18,49 50-59 thn

60-69 thn

8.131 5.906

36,68 26,64

>70 tahun 1.775 8,01

Domisili Pasien

Bandung Raya 9.883 44,58

Jawa Barat 9.002 40,61

Luar Jawa Barat 3.284 14,81

Tabel 2 Asal Perujuk Kasus VTDR

Perujuk Jumlah Persentase (%)

Datang tanpa rujukan 457 10,78

RSUD Al Ihsan, Kab. Bandung 134 3,16

KU Mata Bandung Eye Center, Kota Bandung 120 2,83

RS Dustira, Kota Cimahi 101 2,38

RSUD dr. H. Abdul Moeloek, Kota Bandar Lampung 98 2,31

RSUD Kab. Subang 90 2,12

RSUD Cibabat, Kota Cimahi 87 2,05

RS Salamun, Kota Bandung 84 1,98

RS AMC, Kab. Bandung 77 1,82

RSUD dr. Slamet, Kab. Garut 74 1,75

RSUD Soreang, Kab. Bandung 74 1,75

(7)

5

Tabel 3 Asal Perujuk Kasus non-VTDR

Perujuk Jumlah Persentase (%)

Datang tanpa rujukan 5.255 29,31

RSUD Al Ihsan, Kab. Bandung 691 3,85

RSUD Cibabat, Kota Cimahi 364 2,03

RS Kebonjati, Kota Bandung 350 1,95

RSUD dr. Slamet, Kab. Garut 323 1,80

KU Mata Bandung Eye Center, Kota Bandung 313 1,75

RSUD Kab. Subang 293 1,63

RSUD Majalaya, Kab. Bandung 284 1,58

RS Al Islam, Kota Bandung 282 1,57

RS Dustira, Kota Cimahi 281 1,57

Gambar 1 Rujukan Pasien VTDR per tahun

162 39

20 35 21 19

27 9

20 21

108 31

4

27 30 27 24

31 16 15

25

85 42

44 27 20 19

26 17

26 14

15

102 22

72 27

13 23 18 9

26 25 13

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Datang Tanpa Rujukan RSUD Al Ihsan KU Mata Bandung Eye Center RS Dustira RSUD dr. H. Abdul Moeloek RSUD Subang RSUD Cibabat RS Salamun RS AMC RSUD Soreang RSUD dr. Slamet

Jumlah

Asal Perujuk

Jumlah Rujukan Pasien VTDR

2019 2018 2017 2016

(8)

Gambar 2 Rujukan pasien Non-VTDR per Tahun

DISKUSI

Retinopati diabetik adalah penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah di usia produktif. Laporan dari International Council of Ophthalmology (ICO) menyatakan

bahwa 1 dari 3 orang dengan DM

menderita retinopati diabetik di populasi Amerika, Australia, Eropa, dan Asia. Deteksi dini dari komplikasi DM memerlukan sistem penapisan yang baik dan sistem rujukan berjenjang yang komprehensif agar dapat menurunkan risiko kebutaan.

1478 197

157 105

112 103 87

124 80

1365 191

103 70

80 12

83 77 71 79

1172 181

48 76 71

127 54 59 73 66

1240 122

56 99 60

174 53

61 14

56

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

Datang Tanpa Rujukan RSUD Al Ihsan RSUD Cibabat RS Kebonjati RSUD dr. Slamet KU Mata Bandung Eye Center RSUD Subang RSUD Majalaya RS Al Islam RS Dustira

Jumlah

Asal Perujuk

Jumlah Rujukan Pasien Non-VTDR

2019 2018 2017 2016

(9)

7

Rekomendasi rujukan berdasarkan ICO memiliki kriteria: (1) tajam penglihatan

<6/12 atau mempunyai keluhan penglihatan; (2) derajat moderate NPDR atau lebih berat; (3) bila tajam penglihatan atau pemeriksaan retina tidak dapat diperoleh dari pemeriksaan penapisan.1,5

Prevalensi pasien VTDR dan non- VTDR pada penelitian ini yaitu 19,12%

dan 80,88%, menunjukkan bahwa estimasi prevalensi VTDR sesuai dengan data penelitian dari negara Nepal (14,4%), China (4,4-13,8%), Hong Kong (9,8%), dan Singapura (7,1-9%), yang melaporkan angka kejadian VTDR lebih tinggi dari Inggris atau Amerika Serikat (1,4- 4,4%). Hal ini menggambarkan bahwa kasus retinopati diabetik mungkin terdeteksi ketika bergejala atau sudah mulai timbul komplikasi. Penelitian lain di China menyebutkan bahwa 67%

pasien dengan DM yang datang pertama kali ke spesialis mata didiagnosa dengan VTDR.13-15

Usia dan jenis kelamin dapat menjadi fakto risiko peningkatan kejadian retinopati diabetik. Kelompok usia terbanyak pada penelitian ini yaitu pada kelompok usia 50-70 tahun. Hal ini hampir sama dengan penelitian Sasongko dkk pada rentang usia di bawah 70 tahun. Berdasarkan penelitian oleh Shani dkk menyatakan bahwa retinopati diabetik banyak ditemukan pada wanita, sejalan dengan penelitian ini yaitu 53,88%. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara proporsi pria dan wanita dalam berbagai penelitian.4,13,14,16

Domisili pasien yang datang ke pusat rujukan tersier PMN Rumah Sakit

Mata Cicendo paling banyak berasal dari wilayah Bandung Raya (44,58%) dan Jawa Barat (40,61%). Asal perujuk terbanyak baik kasus VTDR maupun non-VTDR dalam penelitian ini yaitu rumah sakit yang berada di wilayah Bandung Raya dan Jawa Barat, dengan pengecualian RS dr. Abdul Moeloek yang berada di Lampung. Jumlah pasien yang datang tanpa rujukan menjadi penyumbang terbesar kunjungan ke PMN RS Cicendo. Hal ini menunjukkan keterjangkauan pada akses dan fasilitas medis tersier didominasi pada wilayah yang paling dekat pada berbagai penelitian, juga kesadaran mengenai komplikasi DM pada mata lebih banyak diketahui oleh populasi urban. Penelitian di India menyatakan 72% populasi berada di area rural di mana mayoritas dokter spesialis mata berada di area urban sehingga pasien yang berada di area terpencil kesulitan dalam menjangkau pusat mata spesialistik. Penelitian oleh Sasongko dkk juga menyatakan populasi pasien retinopati diabetik lebih banyak berada di area rural dengan kesadaran mengenai retinopati diabetik yang rendah. Faktor pembiayaan tergolong sebagai faktor internal yang mempengaruhi kemampuan pasien berobat contohnya biaya transportasi dan biaya hidup sehari-hari yang menjadi pertimbangan pasien untuk melakukan kunjungan dari tempat tinggal mereka ke pusat pelayanan kesehatan mata tersier. Jarak yang jauh dari tempat tinggal pasien terlebih bila pasien tinggal di daerah perifer atau rural menyebabkan pasien enggan melakukan kunjungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

(10)

tersebut. Selain itu waktu yang diperlukan oleh pasien yang dirujuk cukup banyak, dimulai dari permintaan rujukan dari fasilitas kesehatan primer hingga kontrol berkala, dapat membuat kepatuhan untuk berobat lebih rendah.4,9,17-20

Jumlah kasus VTDR dan non- VTDR yang dirujuk dan ditangani dalam penelitian ini meningkat setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan kasus retinopati diabetik meningkat seiring dengan peningkatan kasus DM di masyarakat. Penelitian oleh Chua dkk menyatakan gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik dapat memberikan efek negatif signifikan pada kualitas hidup pasien, juga memberikan beban ekonomi terutama pada pasien dengan retinopati diabetik tahap lanjut. Estimasi pembiayaan perawatan pasien retinopati diabetik oleh Sasongko dkk pada tahun 2017 mencapai 2% dari anggaran belanja tahunan nasional dan diproyeksikan lebih tinggi pada tahun 2025. Biaya paling besar dihabiskan oleh tindakan operasi VPP, laser PRP, atau injeksi anti-VEGF untuk tatalaksana pasien VTDR, sehingga diperlukan intervensi yang tepat pada sistem pelayanan kesehatan untuk menurunkan pembiayaan tersebut.9,13

Panduan penapisan kasus retinopati diabetik di Asia Pasifik masih terbatas.

Tatalaksana retinopati diabetik masih terhambat oleh jumlah dokter spesialis mata yang terbatas, sumber daya kesehatan, dan fasilitas yang tersedia.

Pilihan terapi yang terbaru terbentur dengan biaya yang masih tinggi dan belum masuk dalam pembiayaan oleh jaminan kesehatan sehingga belum

dapat diakses semua orang. Kepatuhan untuk penapisan terbatas oleh kesadaran mengenai komplikasi, akses, dan sumber daya. Penelitian di China dan Indonesia oleh Sasongko dkk menyatakan bahwa pasien DM dengan skor pengetahuan retinopati diabetik yang baik cenderung mendatangi pusat kesehatan mata untuk pemeriksaan rutin. Strategi yang dapat diterapkan di Indonesia yaitu pencegahan primer dengan pengendalian DM di tingkat fasilitas kesehatan primer, penapisan fotografi retinopati diabetik rutin pada pasien untuk memonitor perburukan dan intervensi lebih dini, penambahan fasilitas tersier yang lebih merata, serta edukasi pada pasien, dokter, dan stakeholder kebijakan publik agar dapat terbentuk pelayanan optimal dengan panduan yang efektif.4,12,13,21

Keterbatasan penelitian ini yaitu pencatatan sistem informasi RS yang belum lengkap. Selain itu, tidak terdapat data mengenai berapa lama waktu pasien VTDR sejak dirujuk hingga mendapatkan tindakan, mata yang menderita penyakit, berapa lama pasien terdiagnosis DM, penyakit sistemik terkait, derajat retinopati diabetik, dan tatalaksana apa saja yang sudah didapatkan sebelum dirujuk ke rujukan tersier. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis lebih lanjut kepatuhan pada rujukan dan kesadaran terhadap retinopati diabetik dengan data rumah sakit yang lebih lengkap.

SIMPULAN

Retinopati diabetik masih menjadi masalah kesehatan terutama VTDR, yang menjadi refleksi akibat penapisan

(11)

9

yang kurang baik dan tatalaksana yang terlambat karena keterlambatan diagnosis. Jumlah pasien retinopati diabetik yang datang tanpa rujukan masih tinggi setiap tahunnya. Wilayah Bandung Raya menjadi wilayah domisili pasien terbanyak untuk kasus retinopati diabetik. Akses pasien pada pusat rujukan tersier didasarkan pada keterjangkauan dari domisili terdekat.

Perbaikan dari pengembangan dan implementasi program penapisan nasional diperlukan agar dapat memindahkan fokus penanganan retinopati diabetik pada pencegahan primer dan sekunder sehingga dapat menekan pembiayaan dan mencegah progresifitas penyakit lebih dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. International Council of Ophthalmology. ICO Guidelines for Diabetic Eye Care; 2017.

2. International Diabetes Federation.

IDF Diabetes Atlas, Ninth Edition;

2019.

3. DR Barometer. The Diabetic Retinopathy Barometer Report:

Global Findings. 2017.

4. Sasongko MB, Widyaputri F, Agni AN, Wardhana FS, Kotha S, Gupta P, et al. Prevalence of diabetic retinopathy and blindness in indonesian adults with type 2 diabetes. Am J Ophthalmol.

2017;181:79–87.

5. Wong TY, Sun J, Kawasaki R, Ruamviboonsuk P, Gupta N, et al.

The International council of Ophthalmology Recommendations for screening, follow-up, referral, and treatment based on resource

settings. Ophthalmology 2018;125:1608-1622.

6. Global Diabetic Retinopathy Advocacy Initiative. Integrated care for diabetes and eye health: a global compendium of good practice.

Melbourne; 2018.

7. International Diabetes Federation and The Fred Hollows Foundation.

Diabetes eye health: A guide for health care professionals. Brussels, Belgium: International Diabetes Federation, 2015.

8. Johnson GJ, Minassian DC, Weale RA, West SK, Gower EW, Kuper H et al. The epidemiology of eye disease. Edisi ke-3. Imperial College Press, 2012.

9. Sasongko MB, Wardhana FS, Febryanto GA, Agni AN, Supanji S, et al. The estimated healthcare cost of diabetic retinopathy in Indonesia and its projection for 2025. Br J Ophthalmol. 2019; 0:1-6.

10. Flaxel CJ, Adelman RA, Bailey ST, Fawzi A, Lim JI, et al. Diabetic retinopathy preferred practice pattern. Ophthalmology. 2020 Jan;127(1):P66-P145.

11. Reddy NV, Kamath YS, Rao LG, Rao KA, Shenoy SB, et al. Vision- threatening diabetic retinopathy necessitating vitrectomy in a tertiary care hospital in coastal Karnataka, South India. Asian J Ophthalmol. 2020;17:101-107

12. Wong TY, Sabanayagam C.

Strategies to Tackle the Global Burden of Diabetic Retinopathy:

From Epidemiology to Artificial Intelligence. Ophthalmologica 2020;243:9–20

(12)

13. Chua J, Xin C, Lim Y, Wong TY.

Diabetic Retinopathy in the Asia- Pacific. Asia-Pasific J Ophthalmol.

2018;7:3–16.

14. Lee R, Wong TY, Sabanayagam C.

Epidemiology of diabetic retinopathy, diabetic macular edema and related vision loss. Eye Vis. 2015;1–25.

15. Wong TY, Sabanayagam C. The war on diabetic retinopathy: where are we now? Asia Pac J Ophthalmol 2019;8:448–456

16. Shani M, Eviatar T, Komaneshter D, Vinker S. Diabetic Retinopathy – Incidence And Risk Factors In A Community Setting-A Longitudinal Study. Scand J Prim Health Care.

2018;0(0):1–5.

17. Rahmawati RD, Iljanto. Faktor- faktor yang berhubungan dengan tingkat kunjungan rawat jalan di RS Ananda Bekasi tahun 2017. FKM UI. 2017.

18. Bresnick G, Cuadros JA, Khan M, Fleischmann S, Wolff G, et al.

Adherence to ophthalmology referral, treatment and follow-up after diabetic retinopathy screening in the primary care setting. BMJ Open Diab Res Care 2020;8:e001154

19. Salamanca O, Geary A, Suarez N.

Implementation of a diabetic retinopathy referral network, Peru.

Bull World Health Organ. 2018;

96:674-681.

20. Billah M, Rahim MA, Rahman A, et al. Pattern and Risk factors of Diabetic Retinopathy among type 2 Diabetic Patients: Experience in a Tertiary Care Hospital. J Medicine.

(2016); 17: 17-20.

21. Dubey A, Maharana PK, Chauhan A, Ingle V. Awareness and referral patterns of diabetic retinopathy: a hospital based study. Journal of Clinical and Diagnostic Research.

2017 Oct, Vol-11(10): NC10-NC12

Referensi

Dokumen terkait

Sejarah Kristenisasi masyarakat Madura di kecamatan Sumberjambe ini dimulai dari adanya misi khusus pekabaran injil yang dibawa oleh Java Comitee yaitu sebuah badan khusus

Pasien kemudian disarankan untuk menggunakan koreksi kacamata dengan lensa fotokromik, edukasi penggunaan alat bantu untuk membaca dekat, edukasi mengenai kondisi pasien kepada

Meningioma di diagnosis pada pasien yang memiliki tanda dan gejala berupa proptosis dengan atau tanpa disertai nyeri kepala, diplopia, riwayat kejang disertai salah satu

Tujuan: Mengetahui perbedaan pengaruh pemberian latihan foam roller massage dan contrast bath terhadap penurunan efek delayed onset muscle sorness pada otot

INOKULASI RHIZOBAKTERIA PEMACU TUMBUH PADA BIBIT MELATI (Jasminum officinale Linn) UNTUK MENDAPATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI YANG TINGGI DI TANAH ULTISOL. Holtikultura

M, berusia 69 tahun datang berobat pertama kali pada tanggal 4 November 2020 ke Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit Mata Cicendo poliklinik rekonstruksi,

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa kolaborasi ataupun kerja sama Dinas Kebudayaan dengan masyarakat adat dalam pelestarian kebudayaan baik,

Beberapa mitos yang beredar di masyarakat meliputi : penggunaan dua kondom dapat meminimalisasi risiko kebocoran, faktanya jelas tidak benar bahkan penggunaan kondom