• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toraja merupakan salah satu suku yang berada di dataran tinggi bagian utara daerah Sulawesi Selatan. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2021 jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Toraja Utara adalah 264.145 jiwa dan 285.179 jiwa di wilayah Tana Toraja.1 Mayoritas penduduk di kedua wilayah tersebut memeluk agama Kristen, jumlahnya mencapai 395.967 jiwa.2 Agama Kristen memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi kelangsungan hidup masyarakat di Toraja.3 Dengan adanya agama Kristen, masyarakat meyakini bahwa ajaran dalam agama tersebut dapat memberi kedamaian dan kasih terhadap sesama makhluk Tuhan.4

Kekristenan di Toraja awalnya dibawa oleh Pdt. Antonie Aris Van de Loosdrecht sebagai misionaris pertama yang memperkenalkan ajaran agama Kristen di Toraja.5 Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja pada tahun 1947.

1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, diakses pada 23 September 2022 melalui https://torutkab.bps.go.id/site/resultTab dan https://tatorkab.bps.go.id/site/resultTab

2 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut di Provinsi Sulawesi Selatan, diakses pada 7 Juli 2020 melalui https://sulsel.bps.go.id/dynamictable/2016/08/15/291/jumlah-penduduk- menurut-kabupaten-kota-dan-agama-yang-dianut-di-provinsi-sulawesi-selatan-2015.html

3 Ones Kristiani Rapa’, Ma’bulle Tomate : Memori Budaya Aluk Todolo pada Tradisi Nyanyian Kristen dalam Ritual Kematian di Toraja, (Tesis, Magister Sosiologi Agama, Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana Salatiga, 2020)

4 Abdul Munir Murkan, Dilema Manusia dengan Diri dan Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

5 Yan Malino dan Daniel Ronda, Sejarah Pendidikan Sekolah Kristen Gereja Toraja, Jurnal Jaffray vol.

12 no.1, April 2014

(2)

2

Pdt. Aris Van de Loosdrecht dan sang istri yang bernama Alida tinggal di daerah Rantepao (kini menjadi Ibukota Kabupaten Toraja Utara) dan melaksanakan berbagai pelayanan sehingga banyak masyarakat Toraja mulai tertarik dengan agama Kristen.6 Pengajaran yang dibawa oleh misionaris ini terus berkembang dikalangan masyarakat Toraja sehingga membentuk sebuah persekutuan yang disebut Gereja Toraja. Pengajaran dan pandangan hidup dari misionaris Pdt. Aris Van de Loosdrecht membuka pandangan masyarakat Toraja untuk menerima agama hingga mendirikan Gereja Toraja sebagai basis kekristenan di Toraja.

Gereja Toraja sebagai salah satu gereja kesukuan di Indonesia merupakan hasil kegiatan GZB (Gereformeerde Zendingsbond) dari Belanda. GZB mengutus Pdt. Aris Van de Loosdrecht sebagai zendeling pertama yang mewartakan Injil dan mengarahkan masyarakat Toraja menjadi pemeluk agama Kristen.7 Sistem kepemimpinan Gereja Toraja adalah presbiterial sinodal yang dipimpin oleh Pendeta, Penatua dan Diaken.8 Menurut tata Gereja Toraja, Majelis Gereja bertugas sebagai pemimpin yang menjalankan tugas dan pelayanan untuk menyelenggarakan keteraturan, ketertiban, dan arah keimanan

6 Budi Prayetno, Dari Benih Terkecil Tumbuh Menjadi Pohon Besar, diakses pada tanggal 1 Juli 2020 melalui https://budiprayetno.wordpress.com/2009/03/31/dari-benih-terkecil-tumbuh-menjadi-pohon-besar/

7 Website BPS Gereja Toraja, diakses pada 30 Juni 2020 melalui https://bps-gerejatoraja.org/

8 Presbiterial Sinodal merupakan sistem kepemimpinan dalam gereja yang dipimpin oleh pejabat-pejabat gerejawi; yang disebut Majelis Gereja. Struktur Gereja Toraja disusun berdasarkan sistem penataan gereja presbiterial sinodal yang terdiri dari empat lingkup kepemimpinan gerejawi, yaitu: Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode. Jemaat adalah lingkup yang paling dasar dari Gereja Toraja dan dipimpin oleh Majelis Jemaat yang anggotanya terdiri dari semua pejabat-pejabat gerejawi meliputi Penatua, Diaken, dan Pendeta. Klasis adalah lingkup yang lebih luas dari Jemaat dan terdiri dari Jemaat-jemaat yang berada di Klasis bersangkutan serta dipimpin oleh Majelis Klasis. Sinode Wilayah adalah lingkup yang lebih luas dari Klasis dan terdiri dari Klasis- klasis yang berada di Sinode Wilayah bersangkutan serta dipimpin oleh Majelis Sinode Wilayah. Sinode adalah lingkup yang paling luas dan terdiri dari Sinode Wilayah-sinode wilayah yang berada di Sinode serta dipimpin oleh Majelis Sinode.

(3)

3

seluruh warga jemaat.9 Majelis Gereja Toraja berkewajiban menuntun jemaat untuk hidup teratur, tertib, dan saling mengasihi satu dengan yang lain. Selain itu, dalam tata Gereja Toraja pun diungkapkan bahwa Majelis Gereja merupakan pemangku jabatan khusus sehingga haruslah berkasih-kasihan, bertolong-tolongan, saling mengingatkan satu dengan yang lain supaya masing-masing dan bersama- sama dapat melaksanakan pelayanan gerejawi.10

Sebelum berkembangnya agama Kristen dan Gereja Toraja serta kepemimpinan Majelis Gereja Toraja seperti sekarang ini, masyarakat Toraja telah mengenal agama lokal yang disebut Aluk Todolo. Aluk Todolo mengandung berbagai ajaran dan aturan hidup yang dibuat oleh nenek moyang masyarakat Toraja. Pada zaman ini perilaku masyarakat Toraja banyak dipengaruhi serta didorong oleh ajaran kekristenan, tetapi beberapa ajaran dan aturan hidup dalam agama lokal Aluk Todolo masih ada yang tetap dipertahankan.

Sekalipun agama Kristen telah memberi banyak perubahan bagi kehidupan masyarakat Toraja tetapi pandangan hidup masyarakat secara eksplisit tetap menghidupi ajaran nenek moyang dan terus diwariskan secara turun temurun. Hal ini terus terjadi karena sejak dahulu kala masyarakat Toraja sudah hidup dengan berbagai adat istiadat yang mengikat, mempersatukan, dan menjaga kelangsungan hidupnya.11

Menurut salah satu pendeta Gereja Toraja bernama Pdt. Christian Tanduk Langi, perjumpaan antara dogma agama dan adat istiadat yang mengandung kebudayaan masih

9 Tata Gereja Toraja Pasal 11 tahun 2005

10 Tata Gereja Toraja Pasal 38 ayat 1 tahun 2017

11 Okto Kurapak, Profil Pemuda Toraja, (Makassar : Penerbit Lakipadada Publisher, 2006), 143

(4)

4

mengalami tarik menarik. Hal ini dituliskan oleh Pdt. Christian dalam artikelnya di laman website Gereja Toraja berdasarkan pengalaman hidupnya sebagai pelaku adat di Toraja dan perannya sebagai Pendeta dalam jemaat yang juga merupakan bagian dari komunitas etnis Toraja. Adat istiadat telah mengakar serta membentuk perilaku masyarakat Toraja dan setelah kehadiran agama dalam bingkai modernitas masyarakat Toraja mengalami perubahan sosial. Masyarakat Toraja dengan perubahan sosial kerap kali mengalami kebingungan antara adat yang telah lama dihidupi dengan konteks masyarakat Toraja di masa kini.

Masyarakat Toraja menunjukkan perannya sebagai pelaku adat melalui keikutsertaan dalam berbagai kegiatan adat seperti upacara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Ajaran dalam adat terus dipelihara sehingga mempengaruhi tingkah laku dan relasi masyarakat Toraja dalam berbagai aspek kehidupannya.12 Sekalipun ajaran kekristenan telah diterima masyarakat, tetapi berbagai pandangan berlatar belakang adat istiadat tidak hilang. Beberapa individu yang menjadi bagian dari Majelis Gereja Toraja tidak dapat melepaskan perannya sebagai pelaku adat karena keberadaannya di lingkungan masyarakat Toraja. Seperti yang dituliskan oleh Pdt. Christian bahwa agama dan adat istiadat masih mengalami tarik menarik maka hal ini dapat membuat Majelis Gereja Toraja merasakan dilema dari dalam dirinya saat memiliki dua peran sekaligus, yaitu pelaku adat dan pimpinan jemaat.

12 Simon Petrus, Budaya Spiritual Orang Toraja di Potok Tengan Mengkendek, (Makassar: Penerbit De La Macca, 2018), 6

(5)

5

Setelah mengenal ajaran kekristenan, masyarakat Toraja menjadikan Firman Tuhan (Alkitab) sebagai salah satu rujukan etika. Fenomena dualisme terjadi ketika Firman Tuhan sebagai rujukan etika hanya digunakan dalam konteks gereja atau keagamaan sedangkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lebih memilih mengikuti adat istiadat.

Ketika masyarakat mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah sesuai dengan ajaran leluhur sehingga muncul ungkapan seperti ”menurut orang tua” (sebutan orang tua maksudnya nenek moyang) atau “jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.13 Ungkapan yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat tetap memiliki keterikatan dengan ajaran nenek moyang sekalipun telah memeluk agama Kristen.

Realitas inilah yang menjadi salah satu contoh karakter dualisme dalam diri masyarakat Toraja, yang mengakui keberadaan agama namun pada sisi lain tetap memakai ajaran nenek moyang sebagai petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat.

“Keberadaan sosial masyarakat Toraja masih berada dalam kondisi tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian” Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi

13 Pdt. Christian Tanduk, Ketegangan Budaya Nenek Moyang: Agama dan Modernitas dalam Masyarakat Toraja, BPS Gereja Toraja, 2016

(6)

6

di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka “pakaian” Kristennya dipakai”.14

Hubungan antara adat istiadat dan Gereja Toraja sebagai basis agama Kristen dalam kehidupan masyarakat Toraja sudah sejak lama menjadi perbincangan. Tanggapan masyarakat Toraja atas kehadiran gereja pada awalnya dilihat sebagai ancaman terhadap adat, tetapi dalam praktik keagamaannya masyarakat ternyata tetap memiliki rasa saling menghargai. Kasiangkaran (saling menghargai) dalam adat istiadat telah diajarkan secara turun temurun oleh nenek moyang agar masyarakat Toraja bisa terus menjalin relasi dengan baik. Nilai Kasiangkaran pada kenyataannya bukan hanya mengandung adat istiadat tetapi juga memuat tentang nilai kasih dalam ajaran agama Kristen.15 Masyarakat Toraja akhirnya menyadari bahwa nilai kekristenan tentang kasih ada pengaruhnya terhadap praktik kebudayaan.16

Adat istiadat yang berpengaruh terhadap praktik kebudayaan dimaksud sebagai pernyataan sikap juga perasaan yang didasarkan pada nilai-nilai atau perilaku yang menjadi ciri khas dari suatu masyarakat atau kelompok sosial tertentu.17 Adat istiadat yang mengandung nilai kebudayaan merupakan bagian dari diri manusia yang membimbing nilai-nilai, keyakinan dan perilaku serta interaksi. Gereja Toraja menampakkan jati

14 Pdt. Christian Tanduk, Ketegangan Budaya Nenek Moyang: Agama dan Modernitas dalam Masyarakat Toraja

15 Robi Panggarra, Konflik Kebudayaan menurut Teori Lewis Alfred Coser dan relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) di Tana Toraja, Jurnal Jaffray vol.12 no.2, Oktober 2014

16 Robi Panggarra, Upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja: Memahami Bentuk Kerukunan di Tengah Situasi Konflik, (STT Jaffray Makassar: Kalam Hidup, 2015),37

17 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, ( Bandung: Nusamedia, 2014), 3

(7)

7

dirinya dalam ketaatannya terhadap ajaran agama yang dimanifestasikan dalam kebudayaan yang berintegrasi dengan adat istiadat masyarakat Toraja. Perkembangan pola pemikiran masyarakat Toraja tentang agama dan kebudayaan, kini membuat Majelis Gereja Toraja terlibat dalam adat istiadat. Sering ditemukan bahwa tokoh masyarakat yang menjadi pelaku adat diberi kepercayaan sebagai Majelis Gereja Toraja.18

Menurut Ketua Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, terpilihnya pelaku adat menjadi Majelis Gereja Toraja diperlukan untuk menjalankan adat dalam konteks iman.

Kebudayaan dalam adat istiadat tidak jalan sendiri dan refleksi iman dari ajaran gereja tidak jalan sendiri sehingga iman menjiwai adat dan adat menjiwai iman.19 Majelis Gereja Toraja dalam tugasnya sebagai pimpinan jemaat tidak terlepas dari keberadaan sebagai individu. Individu yang terlibat sebagai pelaku dalam adat istiadat ditunjukan dari keikutsertaannya dalam berbagai prosesi upacara adat masyarakat Toraja seperti Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’.20 Pelaksanaan upacara melibatkan masyarakat sebagai pelaku adat dengan perannya masing-masing sesuai kelas sosialnya. Prosesi upacara memiliki ritual dan tata cara yang berbeda-beda tergantung jenis upacara dan pelaksana upacara adat tersebut.

18 Wawancara dengan Pnt. Edha yang merupakan salah satu anggota Majelis Gereja Toraja Jem. Ba’ba- ba’ba Klasis Nanggala Karre. Wawancara dilakukan pada bulan Mei 2020

19 Wawancara dengan Pdt. Musa Salusu, M.Th yang merupakan Ketua Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja. Wawancara dilakukan pada 2 Juli 2020 melalui via telepon

20 Rambu Solo' adalah upacara adat yang menggambarkan kesedihan atau dukacita dan biasanya ditandai dengan pemberian persembahan kepada arwah yang telah meninggal dunia. Dalam prosesinya, ritual upacara kematian akan dibedakan berdasarkan strata sosial masyarakat Toraja. Rambu Tuka' adalah upacara adat yang menggambarkan sukacita atau syukuran yang ditandai dengan pemberian persembahan kepada dewa yang dipercaya berdiam di atas langit. Acara yang termasuk dalam upacara adat ini misalnya : pernikahan (rampanan kapa' atau ma'pakawin), upacara pengobatan fisik (maro'), penolak bala (ma'bugi), upacara syukuran rumah (mangrara banua) dan perayaan hasil panen (sisemba).

(8)

8

Salah satu tulisan mengenai dilema identitas dibuat oleh Helma Yances Pasulu yang berfokus pada Dilema Identitas pada Pelaksanaan Ma'pasilaga Tedong dalam Rangkaian Ritual Rambu Solo’. Tulisan ini membahas mengenai dilema masyarakat Toraja yang melaksanakan kegiatan Rambu Solo’ sesuai stratifikasi sosial dan kemampuan finansial.

Tidak dapat disangkal bahwa dalam perkembangan masyarakat Toraja saat ini, stratifikasi sosial kemasyarakatan tidak lagi ditentukan oleh darah (faktor keturunan) tetapi mulai bergeser dengan digantikan oleh materi (faktor finansial). Pelaksanaan Rambu Solo’

akhirnya mengalami perubahan dan kerap dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan leluhur dalam Aluk Todolo. Tulisan ini membahas mengenai dilema yang dialami masyarakat Toraja dalam upaya mempertahankan eksistensi adat istiadatnya.

Tulisan lain yang juga membahas kebudayaan dan agama sekaligus menjadi salah satu sumber inspirasi dari tulisan ini adalah Ketegangan Budaya Nenek Moyang, Agama dan Modernitas dalam Masyarakat Toraja karya Pdt. Christian Tanduk Langi. Tulisan ini mengkaji tentang pertentangan yang terdapat antara kebudayaan dan agama pada masyarakat Toraja seiring dengan perkembangan zaman. Kebudayaan yang merupakan hasil warisan leluhur terus mempengaruhi kehidupan masyarakat Toraja hingga kini, termasuk kehidupan beragamanya. Kemajuan zaman membuat adat istiadat yang terus dipertahankan masyarakat Toraja pada akhirnya bersitegang dengan aturan gereja. Kedua tulisan ini menginspirasi penulis untuk membahas dilema identitas yang ada di tengah keberadaan masyarakat Toraja beragama Kristen. Penulis tertarik untuk meneliti fenomena dualisme yang menimbulkan rasa dilema oleh Majelis Gereja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat. Meski demikian, tulisan ini memiliki perbedaan dengan tulisan-

(9)

9

tulisan sebelumnya karena rujukannya langsung kepada Majelis Gereja Toraja yang dipilih sendiri oleh masyarakat Toraja pelaksana adat menjadi pimpinan jemaat tetapi dalam kehidupan bermasyarakat tetap memiliki peran sebagai pelaku adat.21

Persoalan yang dideskripsikan dalam latar belakang di atas akan dikaji dari sudut pandang identitas dan sosiologi agama. Kajian menurut sudut pandang sosiologi agama diperlukan untuk mengetahui keberadaan agama di tengah kehidupan sosial masyarakat Toraja beragama Kristen. Teori identitas akan mengungkap jati diri Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan juga merupakan pelaku adat sebagai bagian dari masyarakat Toraja yang hidup bersama. Pendekatan sosiologis akan mengkaji identitas masyarakat dari proses-proses sosial yang dialami masyarakat baik secara individu maupun kolektif seperti yang diungkapkan Durkheim mengenai fakta sosial.22 Sedangkan, kajian agama yang akan digunakan adalah sudut pandang teologi Kristen yang mengacu pada spiritualitas individu dalam pemahaman tentang iman Kristen.23 Diketahui bahwa pada dasarnya kajian sosiologi dan agama merupakan bagian yang saling berkelindan dan tidak terpisahkan maka kajian sosiologi agama yang digunakan dalam tulisan ini akan membahas mengenai keterlibatan agama dalam masalah-masalah masyarakat.

Kajian ini akan menolong penulis untuk mengetahui lebih dalam tentang dilema identitas yang dirasakan oleh Majelis Gereja Toraja sebagai pelaku adat dan pimpinan

21 Pdt. Christian Tanduk, Ketegangan Budaya Nenek Moyang, Agama dan Modernitas dalam Masyarakat Toraja

22 Helma Yances Pasulu, Dilema Identitas pada Pelaksanaan Ma’pasilaga Tedong dalam Rangkaian Ritual Rambu Solo’, Pax Humana: Jurnal Humaniora Yayasan Bina Dharma vol.6 no.1, 2019

23 Dr. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 404

(10)

10

jemaat. Proses mempertahankan adat istiadat dan perkembangan agama dalam masyarakat Toraja kerap tidak menemukan titik tengah karena terdapat kecenderungan yang memihak. Titik tengah dari fenomena dualisme ini menjadi permasalahan karena agama dan adat istiadat merupakan hal yang penting dan saling mempengaruhi. Peran Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat maupun pelaku adat adalah dua peran yang sangat penting dipertahankan demi eksistensi kehidupan beragama di kalangan masyarakat Toraja.

Dengan demikian, topik penelitian dari tulisan ini adalah : Dilema Identitas Majelis Gereja Toraja sebagai Pimpinan Jemaat dan Pelaku Adat dalam kajian Sosiologi Agama.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana analisis dilema identitas terhadap Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat dalam kajian sosiologi agama?

1.3 Tujuan Penelitian

Mendeskripsikan serta menganalisis dilema identitas Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat dalam kajian sosiologi agama.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoretis: Penelitian ini diharapkan mampu memberi penjelasan secara teoritis kepada masyarakat Toraja khususnya terhadap Majelis Gereja Toraja.mengenai dilema identitas dalam kajian sosiologi agama.

(11)

11

2. Secara praksis: Penelitian ini diharapkan dapat memberi perspektif atau kajian baru untuk pengembangan gereja dan adat istiadat yang dihidupi dalam masyarakat Toraja.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah kegiatan ilmiah yang penting bagi pengembangan ilmu dan pemecahan suatu masalah.24 Jadi dapat dipahami bahwa metode penelitian adalah mekanisme untuk memahami dan menjawab suatu masalah secara terstruktur. Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Deskriptif karena penelitian akan diarahkan untuk memberikan gambaran faktual tentang realitas keberadaan individu yang menjadi pelaku adat dalam praktik kebudayaan masyarakat Toraja sekaligus juga mengambil peran penting dalam memimpin pelayanan Gereja Toraja. Analitis karena data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui dilema identitas terhadap Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat sekaligus pelaku adat dalam praktik kebudayaan masyarakat Toraja. Penelitian ini berupaya mengumpulkan data yang faktual untuk mendapat penjelasan mengenai masalah dilema identitas yang dialami Majelis Gereja Toraja.

1.6 Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah masyarakat Toraja yang ditetapkan menggunakan bentuk Purposive Sampling. Penetapan partisipan dalam penelitian ini didasari atas beberapa pertimbangan yang bertujuan agar data yang diperoleh dapat lebih

24 Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung: Alfabeta,2011), 1

(12)

12

representatif. Partisipan akan ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1) Majelis Gereja Toraja, 2) Terlibat aktif dalam kegiatan adat Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’, 3) Bersedia menjadi partisipan penelitian.

1.7 Alat Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi secara langsung dari sumber data melalui dialog tanya jawab.25 Wawancara akan dilakukan secara tidak terstruktur yang berguna untuk mendapatkan data secara lisan dari narasumber.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dari berbagai sumber tertulis seperti buku, jurnal, atau dokumen milik informan yang berguna sebagai pelengkap wawancara.26

c. Observasi

Observasi adalah pengamatan terhadap objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk memperoleh data yang harus dikumpulkan

25Satori dan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif, 130

26 Satori dan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif, 148

(13)

13

dalam penelitian.27 Observasi yang akan dilakukan adalah observasi langsung, yang mana peneliti akan terlibat langsung di lapangan misalnya berpartisipasi dalam upacara adat.

1.8 Analisis Data

Analisis data adalah cara untuk menyajikan data agar lebih bermakna dan mudah dimengerti.28 Adapun yang menjadi langkah-langkahnya adalah, sebagai berikut :

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian, pengabstrasian dan transformasikan kata kasar dari lapangan. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal sampai akhir penelitian-reduksi merupakan bagian dari analisis bukan terpisah.

b. Penyajian Data

Sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajiannya berupa teks naratif dan bagan dengan tujuan memudahkan penulis untuk menarik kesimpulan. Penyajian data juga merupakan bagian dari analisis, bahkan mencakup pula reduksi data.

c. Menarik Kesimpulan

Penarikan kesimpulan hanyalah bagian dari suatu kegiatan dan konfigurasi utuh.

Kesimpulan-kesimpulan yang diverifikasi selama penelitian berlangsung. Dalam hal ini,

27 Satori dan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif, 105

28 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 209

(14)

14

peneliti membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsif logika, mengangkatnya sebagai temuan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji secara berulang-ulang terhadap data yang ada. Pengelompokan data yang jelas terbentuk dan proposisi yang telah dirumuskan.

1.9 Sistematika Penulisan

Bagian pertama akan membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bagian kedua akan membahas teori tentang identitas, kebudayaan, dan sosiologi agama.

Bagian ketiga akan membahas hasil penelitian yang meliputi data dari respoden yaitu Majelis Gereja Toraja dan masyarakat Toraja yang beragama Kristen.

Bagian keempat akan membahas analisis dilema identitas dari Majelis Gereja Toraja dalam implementasinya sebagai pelaku adat dan pimpinan jemaat dengan kajian sosiologi agama.

Bagian kelima akan berisi kesimpulan dari temuan-temuan yang diperolah dan saran-saran yang berupa kontribusi untuk penelitian mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

Dari area bisnis yang ada, ditemukan beberapa hal menyangkut permasalahan yang ada, yaitu: (1) Pihak manajemen dalam melakukan perencanaan penjualan dan produksi memperoleh data dari

Hasil uji reliabilitas instrumen variabel motivasi belajar (Y) akan diukur tingkat reliabilitasnya berdasarkan interpretasi reliabilitas yang telah ditentukan pada

tidak dapat mengukur non-perform dari suatu kredit padahal terdapat variabel total loans dalam perhitungan efisiensi; investor di Indonesia masih berorientasi short term

Penelitian dilaksanakan dengan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan mengikuti desain penelitian Kemmis dan Mc. Instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Teman-teman penulis yang lainnya, yaitu Caroline, Jessie, Sandra, Pamela, Wimar, Aldi, dan Yongky yang telah memberikan semangat, dukungan, serta masukan dan saran selama

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR