• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASSOCIATION BETWEEN SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT (SOFA) SCORE WITH HEMOSTASIS PHYSIOLOGIC DISORDER IN SEPSIS PATIENTS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ASSOCIATION BETWEEN SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT (SOFA) SCORE WITH HEMOSTASIS PHYSIOLOGIC DISORDER IN SEPSIS PATIENTS"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

HUBUNGAN ANTARA SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT (SOFA) SCORE DENGAN GANGGUAN FAAL HEMOSTASIS PADA

PASIEN SEPSIS

ASSOCIATION BETWEEN SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT (SOFA) SCORE WITH HEMOSTASIS PHYSIOLOGIC DISORDER IN SEPSIS

PATIENTS

Disusun dan diajukan oleh

RONALD ARIYANTO WIRADIRNATA C015172004

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp-1) PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(2)

i

2022

(3)

ii

HUBUNGAN ANTARA SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT (SOFA) SCORE DENGAN GANGGUAN FAAL HEMOSTASIS PADA

PASIEN SEPSIS

ASSOCIATION BETWEEN SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT (SOFA) SCORE WITH HEMOSTASIS PHYSIOLOGIC DISORDER IN SEPSIS

PATIENTS

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Dokter Spesialis-1 (Sp-1)

Program Studi Ilmu Penyakit Dalam

Disusun dan diajukan oleh:

RONALD ARIYANTO WIRADIRNATA C015172004

Kepada:

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp-1) PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2022

(4)

iii

(5)

iv

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya akhir untuk melengkapi persyaratan menyelesaikan pendidikan keahlian pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Pada kesempatan ini, saya ingin menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Rektor Universitas Hasanuddin atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis di Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Dr. dr. Haerani Rasyid, M.Kes, Sp.GK, Sp.PD, K-GH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan selaku Sekretaris Program Studi Sp-I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam dan senantiasa memberikan motivasi, membimbing, mengarahkan, mengayomi, dan mengawasi kelancaran proses pendidikan. Terima kasih telah menjadi sosok orang tua, guru, dan suri tauladan bagi saya selama ini.

3. Prof. dr. Budu, Ph.D, Sp.M(K), M.MED.ED selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada masanya atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Ilmu Penyakit Dalam.

4. Dr. dr. Andi Muh. Takdir Musba, Sp.An-KMN selaku Koordinator PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin bersama staf yang senantiasa memantau kelancaran Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

5. Prof. Dr. dr. Syakib Bakri, Sp.PD, K-GH selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada masanya yang senantiasa menerima, mendidik, membimbing dan selalu memberi

(7)

nasihat-nasihat selama saya menjadi peserta didik khususnya selama proses pembuatan tesis di Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Terima kasih karena telah menjadi guru, orang tua dan suri tauladan untuk saya selama ini.

6. Prof. Dr. dr. Andi Makbul Aman, Sp.PD, K-EMD selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, atas kesediaan beliau untuk menerima, mendidik, membimbing dan selalu memberi nasihat-nasihat selama saya menjadi peserta didik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Terima kasih karena telah menjadi guru, orang tua dan suri tauladan untuk saya selama ini.

7. Dr. dr. Harun Iskandar, Sp.P(K), Sp.PD, K-P selaku Ketua Program Studi Sp-I Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Hasanuddin yang senantiasa memberikan motivasi, membimbing dan mengawasi kelancaran proses pendidikan selama saya mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, khususnya selama pembuatan tesis ini. Terima kasih telah menjadi sosok orang tua dan guru bagi saya.

8. dr. Rahmawati Minhajat, PhD, Sp.PD, K-HOM selaku Sekertaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas bimbingannya selama saya menempuh Pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

9. Dr. dr. Hasyim Kasim, Sp.PD, K-GH selaku Ketua Program Studi Sp- I Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada masanya yang senantiasa memberikan motivasi, membimbing dan mengawasi kelancaran proses pendidikan selama saya mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam.

10. Dr. dr. Sahyuddin Saleh, SpPD, K-HOM dan Dr. dr. Risna Halim Mubin, SpPD, K-PTI selaku Pembimbing 1 Penelitian dan Pembimbing 2 Penelitian yang senantiasa memberikan motivasi, masukan, dan selalu sabar dalam membimbing saya selama proses pembuatan tesis ini. Terima kasih karena telah menjadi sosok guru yang berharga dan senantiasa selalu mencurahkan ilmunya kepada saya.

11. Dr.dr. A.M. Luthfi Parewangi, Sp.PD, K-GEH selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan motivasi, membimbing,

(8)

mengarahkan, mengayomi, dan mengawasi kelancaran proses pendidikan selama saya mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam. Terima kasih telah menjadi sosok orang tua dan guru bagi saya.

12. Seluruh guru besar, konsultan dan staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, tanpa bimbingan mereka mustahil bagi saya mendapat ilmu dan menimba pengalaman di Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

13. Dr. dr. Arifin Seweng, MPH selaku konsultan statistik atas kesediaannya membimbing dan mengoreksi dalam proses penyusunan karya akhir ini.

14. Prof. Dr. dr. Syakib Bakri, Sp.PD, K-GH, Dr. dr. Andi Fachruddin Benyamin, Sp.PD, K-HOM; dr. Satriawan Abadi, Sp.PD, K-IC; dan Dr. dr. Arifin Seweng,MPH selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukkan dalam proses pembuatan tesis ini.

15. Para Direktur dan Staf RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, RS Pendidikan Universitas Hasanuddin, RS Akademis Jaury, RS Ibnu Sina, RSI Faisal, RS Stella Maris, dan RSUD Syekh Yusuf Gowa atas segala bantuan fasilitas dan kerjasamanya selama ini.

16. Para pegawai Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Pak Udin, Kak Tri, Kak Maya, Kak Yayuk, Kak Hari, Ibu Fira, dan Pak Razak, paramedis, dan pekerja pada masing-masing rumah sakit yang senantiasa turut membantu selama saya menjalani proses pendidikan sejak saya semester satu hingga sekarang. Terima kasih bantuannya selama ini.

17. Kepada teman-teman angkatan saya tercinta dan terbaik, Angkatan Januari 2018. Berkat kalian semua, saya bisa menjadi saya yang sekarang, menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih karena telah percaya dan telah menjadi saudara saya selama ini, menjadi keluarga yang selalu mendukung saya.

Terima kasih dr. Akbar,Sp.PD, dr. Achmad Fikry,Sp.PD, dr. Resha Dermawansyah,Sp.PD, dr. Muh. Wahdiyat, dr. Sheila Nurul Najmi, dr. A.

Arny Megawaty, dr. Desvita Gleditsia Amiruddin, dr. Sudarman, dr. Andi Nadya Febriama, dr. Fahrul Abdul Azis, dr. Rizky Nur Harun, dr. Abdul Mubdi Ardiansar, dr. Febriyani, dr. San Rio Neuro Tonapa,Sp.PD dan

(9)

18. dr. Jorianto Muntari,. Kalian luar biasa dan kita sudah sampai di titik mengenal satu sama lain hingga berakhir menjadi keluarga.

19. Kepada seluruh teman sejawat para peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas bantuan, jalinan persaudaraan, dan kerjasamanya selama ini.

Pada saat yang berbahagia ini, tidak lupa saya ingin menyampaikan rasa cinta, terima kasih, dan penghargaan setinggi-tingginya kepada orang tua yang saya sayangi – Dr. Ir. Ronny Wiradirnata, MM dan Lenny Aliem, yang tidak henti- hentinya memberikan cinta, doa, dan dukungannya selama ini, juga kepada saudari- saudari saya, dr. Novita Gemalasari Liman, Sp.JP dan Melisa Salim, SH,MH M.Kn, sepupu saya dr. Wirijanto, Sp.OG, dr. ;Widjoyo, Sp.B - dr. Lenny Khosal, Sp.OG, dr. Widodo, Sp.An, KIC- dr. Mirella Afifuddin, Sp.M serta seluruh keluarga besar atas dukungan moril dan materil serta dengan tulus mendukung, mendoakan dan memberi motivasi selama saya menjalani pendidikan ini.

Akhir kata, semoga karya akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan kiranya Tuhan YME selalu melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Amin.

Makassar, Agustus 2022

Ronald Ariyanto Wiradirnata

(10)

DAFTAR ISI

JUDUL ……… i

HALAMAN JUDUL ………. ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii

LEMBAR KEASLIAN TESIS ………. iv

KATA PENGANTAR ………... v

DAFTAR ISI ……….. ix

ABSTRAK ……….. xi

DAFTAR TABEL ………. … xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR SINGKATAN ………. xv

I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

I.2. Rumusan Masalah ... 3

I.3. Tujuan Penelitian ... 3

I.4. Manfaat Penelitian... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 4

II.1. Definisi Sepsis ... ... 4

II.2. Diagnosa Sepsis .... ... 4

II.3. Fisiologi Hemostasis ... 6

II.4. Patofisiologi Sepsis Induced Coagulopathy ... 12

III. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN VARIABLE PENELITIAN... 19

III.1. Kerangka Teori ... 19

III.2. Kerangka Konsep ... 20

III.3. Hipotesis Penelitian ... 20

IV. METODE PENELITIAN ... 21

IV.1. Desain Penelitian ... 21

IV.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

IV.3. Populasi dan Subjek Penelitian ... 21

(11)

IV.4. Cara Pengambilan Sampel ... 21

IV.5. Perkiraan Besar Sampel ... 21

IV.6. Prosedur Penelitian ... 22

IV.7. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif ... 23

IV.8. Analisis Data ... 25

IV.9. Skema Alur Kerja ... 26

V. HASIL PENELITIAN ... 27

V.1. Karakteristik Dasar Pasien ... 27

V.2. Analisis Korelasi ... 28

V.3. Analisis Akurasi Skor SOFA untuk Prediksi APTT... 30

VI. PEMBAHASAN . ... 33

VI.1. Korelasi Skor SOFA dengan APTT ... 33

VI.2. Korelasi Skor SOFA dengan PT,INR,fibrinogen dan d-dimer 33

VI.3. Keterbatasan Penelitian ... 35

VII. PENUTUP ... ... 36

VII.1. Ringkasan ... 36

VII.2. Kesimpulan ... 36

VII.3. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

ABSTRAK

Ronald Ariyanto Wiradirnata: Hubungan Antara Sequential Organ Failure Assessment (Sofa) Score dengan Gangguan Faal Hemostasis pada Pasien Sepsis (dibimbing oleh Sahyuddin Saleh dan Risna Halim Mubin).

Latar belakang: Setiap 3-4 detik, seseorang di dunia meninggal akibat sepsis.

Stratifikasi dini prognosis pada sepsis dapat dilakukan melalui skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA). Pasien dengan sepsis dilaporkan memiliki gangguan koagulasi di antaranya kadar trombosit rendah, pemanjangan prothrombin time (PT), pemanjangan activated partial thromboplastin time (APTT), peningkatan fibrinogen, dan peningkatan d-dimer. Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipahami. Namun, sampai saat ini belum diketahui apakah semakin tinggi skor SOFA berkorelasi dengan beratnya gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skor SOFA dengan beratnya gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis.

Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan total subjek 61 pasien (35 laki- laki [57,4%]; median usia 54 (20-80) tahun. Semua pasien dilakukan perhitungan skor SOFA dan pemeriksaan laboratorium faal hemostasis darah, fibrinogen, dan d-dimer. Analisis statistik dilakukan untuk menilai korelasi skor SOFA dan faktor-faktor hemostasis darah.

Hasil: Median skor SOFA pada penelitian ini adalah 7 (dengan kisaran 2-19).

Median skor SOFA dan kadar trombosit dalam darah secara signifikan berkorelasi negatif dengan kekuatan korelasi lemah. Median skor SOFA dan nilai APTT dalam darah secara signifikan berkorelasi positif dengan kekuatan korelasi lemah. Median skor SOFA tidak berkorelasi secara signifikan dengan nilai PT, kadar fibrinogen, dan kadar d-dimer pada penelitian ini. Nilai potong skor SOFA sama atau lebih dari 6,5 mampu membedakan pasien sepsis dengan dan tanpa trombositopenia atau pemanjangan APTT dengan sensitivitas 63,6%-spesifisitas 56,4% dan sensitivitas 59,4%-spesifisitas 58,6% berturut-turut.

Kesimpulan: Pada pasien sepsis, nilai skor SOFA yang semakin tinggi berkorelasi dengan kadar trombosit yang semakin rendah dan pemanjangan nilai APTT, tetapi tidak berkorelasi dengan nilai PT, kadar fibrinogen, dan d-dimer.

Kata Kunci: sepsis, skor SOFA, hemostatis, trombosit, koagulasi.

(13)

ABSTRACT

Ronald Ariyanto Wiradirnata: Association Between Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) Score With Hemostasis Physiologic Disorder In Sepsis Patients (supervised by Sahyuddin Saleh dan Risna Halim Mubin).

Background: Every 3-4 seconds, someone in the world dies from sepsis. Early stratification of the prognosis in sepsis can be done through the Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) score. Patients with sepsis were reported to have coagulation disorders including decreased platelet, increased prothrombin time (PT), increased activated partial thromboplastin time (APTT), increased fibrinogen, and increased d-dimer. Many factors contribute to the occurrence of impaired hemostatic function in septic patients, the mechanism of which is not fully understood. However, until now it is not known whether the higher SOFA score correlates with the severity of hemostatic function disorders in septic patients.

Objective: This study aims to determine the relationship between SOFA scores and the severity of hemostatic function disorders in septic patients.

Methods: This study was a cross-sectional study with a total of 61 patients (35 men [57.4%]; median age 54 (20-80) years. All patients were calculated with SOFA scores and tested for blood hemostasis, fibrinogen, and d-dimer. Statistical analysis was performed to assess the correlation of SOFA scores and blood hemostasis factors.

Results: The median SOFA score in this study was 7 (with a range of 2-19). The median SOFA score and blood platelet levels were significantly negatively correlated with weak correlation coefficient. The median SOFA score and APTT were significantly positively correlated with the with weak correlation coefficient.

The median SOFA score did not correlate significantly with PT values, fibrinogen levels, and d-dimer levels in this study. The cut-off score of SOFA equals to or more than 6.5 was able to differentiate septic patients with and without thrombocytopenia or prolongation of the APTT with a sensitivity of 63.6%- specificity 56.4% and sensitivity 59.4%-specificity 58.6%, respectively.

Conclusion: In septic patients, higher SOFA scores correlated with lower platelet levels and prolongation of APTT, but did not correlate with PT values, fibrinogen levels, and d-dimer.

Keywords: sepsis, SOFA score,hemostatic, platelets, coagulation.

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Definisi Sepsis

Tabel 2 : Sequential [Sepsis-Related] Organ Failure Assessment Score Tabel 3 : Karakteristik subyek penelitian

Tabel 4 : Korelasi antara median skor SOFA dan faktor-faktor koagulasi pada pasien dengan sepsis

Tabel 5 : Akurasi Prediksi Cut-off Skor SOFA ≥ 7 terhadap Pemanjangan APTT

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerusakan endotel mengekspos kolagen subendotelial. Peristiwa awal dalam hemostasis primer adalah pengikatan von Willebrand factor terhadap kolagen

Gambar 2 : Trombosit berikatan dengan VWF melalui reseptor GPIb trombosit sehingga terjadi adhesi platelet

Gambar 3 : Dengan pengikatan trombosit ke VWF, trombosit menjadi aktif, dan memicu agregasi

Gambar 4 : Agregasi yang terjadi ketika trombosit melakukan ikatan silang melalui ikatan fibrinogen dengan GPIIb / IIIa pada trombosit Gambar 5 : Hemostasis sekunder diaktifkan ketika TF pada sel-sel

subendotelial terekspos akibat cedera pada endotel. FVII mengikat TF dan menjalani autoaktivasi ke FVIIa

Gambar 6 : Sebagai konsekuensi dari pembentukan kompleks TF-FVIIa, kaskade protein plasma pada akhirnya bertujuan untuk konversi fibrinogen menjadi fibrin

Gambar 7 : Peran trombin dalam konversi FXI ke FXIa, yang menunjukkan peran FXI dalam hemostasis normal. FVa lebih aktif daripada FV. FVIIIa lebih aktif daripada FVIII. FXIII adalah faktor penstabil fibrin

Gambar 8 : Tiga faktor utama yang berkontribusi pada DIC yang meliputi aktivasi koagulasi, agregasi trombosit, dan kerusakan endotel Gambar 9 : Mekanisme kompleks untuk aktivasi koagulasi pada sepsis Gambar 10 : Kerangka Teori

Gambar 11 : Kerangka Konsep Gambar 12 : Skema Alur kerja

Gambar 13 : Hubungan antara skor SOFA dengan nilai APTT. Koefisien korelasi r=0,28.

Gambar 14 : Kurva receiver operating characteristic (area under the curve 0, 629) Skor SOFA dengan cut-off ≥ 7 untuk memprediksi APTT yang memanjang

(16)

DAFTAR SINGKATAN

ADP Adenosine 5'-Diphosphate

APTT Activated Partial Thromboplastin Time

AT Anti Thrombin

DAMP Damage Associated Molecular Pattern DIC Disseminated Intravascular Coagulation INR International Normalized Ratio

ISTH International Society on Thrombosis and Haemostasis NET Neutrophil Extracellular Trap

PAI-1 Plasminogen Activator Inhibitor-1 PAI-2 Plasminogen Activator Inhibitor-2 PAMP Pathogen-Associated Molecular Pattern PAR Protease-Activated Receptor

PT Prothrombin Time

SIC Sepsis-Induced Coagulopathy

SIRS Systemic Inflammatory Response Syndrome SOFA Sequential Organ Failure Assessment TAFI Thrombin Activatable Fibrinolysis Inhibitor

TF Tissue Factor

tPA Tissue-Type Plasminogen Activator TNFα Tumor Necrosis Factor-α

TxA2 Thromboxane A2

uPA Urokinase-Type Plasminogen Activator VWF von Willebrand factor

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penelitian

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat ketidakseimbangan respons tubuh terhadap infeksi. Jika sepsis tidak segera ditangani, dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ dan berakhir pada kematian.Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut dalam skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) total lebih dari dua poin akibat infeksi. Nilai SOFA dianggap nol pada pasien tanpa disfungsi organ. Skor SOFA lebih dari atau sama dengan dua dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.1

Sepsis merupakan masalah kesehatan utama, dan insidennya terus meningkat. Secara umum, sepsis terjadi pada sekitar 2% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit di negara maju. Sepsis dapat terjadi antara 6-30% pasien di unit perawatan intensif (Intensive Care Unit/ICU), dengan variasi yang cukup besar akibat heterogenitas di antara ICU. Di sebagian besar negara maju, insiden sepsis berat diperkirakan antara 50-100 kasus per 100.000 orang pada populasi umum.

Diperkirakan sepertiga hingga setengah dari semua pasien sepsis akhirnya akan mengalami kematian. Di negara berkembang, sepsis menyumbang 60-80% dari semua kematian. Setiap 3-4 detik, seseorang di dunia meninggal akibat sepsis.Pada ICD-10, penelitian yang dilakukan pada pasien dengan sepsis berat di antara 150 ICU di enam belas negara Asia menemukan bahwa angka kematian rumah sakit mencapai 44,5%. Dalam penelitian di rumah sakit pendidikan di Yogyakarta, Indonesia, ada 631 kasus sepsis pada tahun 2007, dengan angka kematian 48,96%.1

Sistem hemostasis terdiri dari koagulasi dan fibrinolisis, dalam hal ini yang berperan adalah trombosit, faktor koagulasi dan endotel pada mikrosirkulasi.2 Pada sepsis terjadi respon imunologis yang menyebabkan aktivasi jalur inflamasi dan koagulasi. Aspek gangguan koagulasi dari sepsis adalah terjadinya ketidakseimbangan antara aktivasi koagulasi dan antikoagulasi. Lebih spesifik lagi, peningkatan faktor pro-koagulasi dan penurunan faktor anti-koagulasi.1

(18)

2

Saat ini, banyak perhatian telah difokuskan pada respon inflamasi terhadap sepsis. Pasien yang mengalami sepsis menunjukkan beberapa penanda inflamasi yang sering mendahului kegagalan organ, memberikan hubungan sebab akibat antara keduanya. Respon inflamasi terhadap infeksi dapat berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap invasi mikroba; Namun, ketika terlalu berlebihan, inflamasi dapat menyebabkan multisystem organ dysfunction syndrome (MODS). Inflamasi dan gangguan koagulasi tidak dapat dipisahkan, dimana masing-masing bertindak sebagai umpan balik positif untuk aktivasi yang lain.3

Faktanya, lebih dari 50% pasien dengan sepsis menunjukkan perubahan hemostatik. Secara historis, gangguan hemostatik terkait dengan sepsis sebagian besar disebabkan oleh konsumsi faktor koagulasi.4 Terdapat suatu studi yang dilakukan Benediktsson dkk di Swedia menyimpulkan bahwa Pemanjangan activated partial thromboplastin time dan peningkatan PT-INR saat masuk ICU pada pasien sepsis berat atau syok septik dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suliarni pada tahun 2002, menunjukkan jalur ekstrinsik sangat penting dalam terjadinya gangguan sistem koagulasi pada sepsis. Selain itu, faktor yang paling banyak berperan penting adalah tissue factor. Penelitian yang dilakukan oleh Suliarni, yang membandingkan tingkat prothrombin time (PT) pada pasien sepsis dan pasien normal menunjukkan waktu protrombin yang memanjang pada pasien sepsis.6

Studi yang dilakukan oleh Anggraini dkk di rumah sakit Dr. M. Jamil, Padang menyimpulkan bahwa aktivitas koagulasi pada pasien sepsis menunjukkan jumlah trombosit masih dalam kisaran normal sementara PT dan aPTT berkepanjangan dan tingkat D-dimer meningkat.7 Studi lain yang dilakukan oleh Yessy dkk. di RS Dr. Soetoemo Surabaya tahun 2016, menunjukkan bahwa kadar D-dimer juga dapat digunakan sebagai prediktor untuk disfungsi organ pada pasien sepsis.8

Sejauh ini, di Indonesia data-data yang ada hanya menunjukkan adanya gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis, oleh karena itu pada penelitian ini kami lakukan untuk mengetahui hubungan derajat berat sepsis dengan gangguan faal hemostasis.

(19)

3

I. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah:

Apakah semakin tinggi SOFA Score menunjukkan semakin beratnya gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis?

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara sequential organ failure assessment (SOFA) score dengan gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis.

I.3.2. Tujuan Khusus:

a. Menilai korelasi nilai skor SOFA dengan Prothrombin time (PT)

b. Menilai korelasi skor SOFA dengan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)

c. Menilai korelasi skor SOFA dengan kadar fibrinogen.

d. Menilai korelasi skor SOFA dengan kadar D-dimer.

e. Memperkirakan nilai prediksi skor SOFA terhadap gangguan faal hemostasis yang signifikan

I.4. Manfaat Penelitian I.4.1. Manfaat Akademik

Memberikan informasi mengenai hubungan dan nilai prediksi antara sequential organ failure assessment (SOFA) score dengan gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis

I.4.1. Manfaat Klinis

Diharapkan gangguan faal hemostasis pada pasien sepsis dapat lebih diperhatikan oleh klinisi sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera.

(20)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI SEPSIS

Selama bertahun-tahun, pemahaman kita tentang patofisiologi kompleks sepsis telah berkembang, dan demikian pula definisi sepsis. Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yaitu "dekomposisi" atau "pembusukan," dan telah digunakan sekitar 2700 tahun yang lalu.9

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat ketidakseimbangan respons tubuh terhadap infeksi. Bahkan tingkat disfungsi organ yang ringan ketika infeksi pertama kali terjadi berhubungan dengan kematian di rumah sakit lebih dari 10%. Oleh karena itu, kondisi ini memerlukan penannganan yang cepat dan tepat.10

II.2. DIAGNOSIS SEPSIS

Sebelumnya, diagnosis sepsis ditegakkan ketika adanya infeksi disertai dengan dua atau lebih kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS), dan jika disertai dengan disfungsi organ disebut 'sepsis berat'. Definisi terbaru tidak lagi menggunakan kriteria SIRS untuk mengindikasikan adanya sepsis. Sekarang ini, diagnosis sepsis ditegakkan ketika ada infeksi plus disfungsi organ yang ditunjukkan oleh perubahan akut dalam Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) sebanyak dua poin atau lebih. Dengan demikian, istilah 'sepsis berat' menjadi 'sepsis' sebagai definisi baru yang memberikan kriteria spesifik untuk mengidentifikasi disfungsi organ. Bentuk sepsis yang paling berat adalah syok septik, suatu keadaan kegagalan sirkulasi yang terjadi pada pasien sepsis di mana terjadi gangguan sirkulasi, seluler dan metabolik yang dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian.11

(21)

5

Tabel 1. Definisi Sepsis.9

SOFA dinilai berdasarkan enam kategori, masing-masing yaitu sistem pernapasan, kardiovaskular, hati, koagulasi, ginjal dan neurologis masing-masing mendapat skor dari 0 hingga 4 di mana semakin tinggi skor mencerminkan semakin buruknya fungsi organ.12

(22)

6

Tabel 2. Sequential [Sepsis-Related] Organ Failure Assessment Score.10

II.3. FISIOLOGI HEMOSTASIS

Hemostasis adalah keseimbangan antara faktor yang memicu dan yang menghambat trombosis. Faktor yang memicu trombosis adalah kerusakan endotel, hiperkoagulabilitas dan keadaan stasis. Triad trombotik ini diperkenalkan lebih dari 100 tahun yang lalu oleh Virchow. Faktor penghambat pembentukan trombus adalah sebagai berikut: 1) aliran darah yang terus menerus pada pembuluh darah, 2) endotelium vaskular, 3) produksi prostasiklin oleh sel endotel, 4) ekspresi heparan sulfat (HS) pada permukaan endotel, dan 5) protein plasma yang mengatur koagulasi mencakup plasminogen, antithrombin (AT), protein S (PS), protein C (PC) dan alpha-2 antiplasmin.13

Sistem koagulasi dibagi menjadi 3 tahap: 1) hemostasis primer (vasokonstriksi pembuluh darah dan pembentukan sumbatan trombosit), 2) hemostasis sekunder (aktivasi kaskade koagulasi dan deposisi serta stabilisasi fibrin) dan 3) hemostasis tersier (disolusi bekuan fibrin dan aktivasi plasminogen).14

(23)

7

II.3.1. HEMOSTASIS PRIMER

Koagulasi dimulai ketika terjadi kerusakan endotel. Pada hemostasis primer, VWF berikatan dengan kolagen subendotel. Mirip dengan faktor VIII (FVIII) dan tidak seperti faktor pembekuan protein plasma lainnya, VWF diproduksi oleh sel-sel endotel. Melalui reseptor GPIb, trombosit berikatan dengan VWF (terikat kolagen) membentuk lapisan monoseluler di lokasi cedera endotel sehingga terjadi adhesi trombosit. Dalam sistem vena di mana shear stress lebih rendah, trombosit dapat terikat langsung ke kolagen yang terpapar melalui reseptor GPIa / IIa.13

Gambar 1. Kerusakan endotel mengekspos kolagen subendotelial (gambar atas).

Peristiwa awal dalam hemostasis primer adalah pengikatan von Willebrand factor terhadap kolagen (gambar bawah).13

Pada fase ini terjadi lima hal:1). Trombosit meningkatkan adhesi endotel dan ekstravasasi leukosit di tempat peradangan sambil menjaga integritas vaskular di lokasi tersebut.15 Kemudian trombosit melekat pada endotelium yang rusak, melalui interaksi kolagen-VWF-GPIb, trombosit menjadi aktif. 2) platelet berubah bentuk, memperpanjang interlocking pseudopodia, 3) Granula platelet dilepaskan melalui sistem kanalikuli platelet, dan tromboksan A2 (TxA2) disintesis serta dilepaskan, dan 4) perubahan pada reseptor GPIIb / IIIa, yang memungkinkannya untuk mengikat fibrinogen plasma.5) Agregasi platelet13

(24)

8

Gambar 2 . Setelah VWF terikat ke kolagen, trombosit berikatan dengan VWF melalui reseptor GPIb trombosit sehingga terjadi adhesi platelet.13

Selama aktivasi trombosit, ADP dan TxA2 bekerja sebagai autokrin dan parakrin. Efek parakrin adalah untuk mengaktifkan trombosit yang belum melekat pada lokasi cedera endotel. Melalui reseptor GPIIb / IIIa teraktivasi, trombosit ini melakukan agregasi dimana mereka berikatan satu sama lain melalui fibrinogen.

Selanjutnya, terjadi agregasi lebih jauh untuk membentuk dan memperkuat trombus.13

Gambar 3 . Dengan pengikatan trombosit ke VWF, trombosit menjadi aktif, dan memicu agregasi.13

(25)

9

Gambar 4. Agregasi yang terjadi ketika trombosit melakukan ikatan silang melalui ikatan fibrinogen dengan GPIIb / IIIa pada trombosit.13

II.3.2. HEMOSTASIS SEKUNDER

Hemostasis sekunder dimulai ketika terjadi ikatan faktor VII (FVII) dengan tissue factor(TF) subendotelial. TF (CD142) adalah protein transmembran yang diekspresikan pada sel-sel subendotelial. Namun, TF dalam keadaan normal tidak diekspresikan pada membran endotel vaskular. Nama lain untuk TF adalah "faktor koagulasi III." Setelah FVII mengikat TF, FVII menjalani autokatalisis menjadi FVIIa.13

Gambar 5. Hemostasis sekunder diaktifkan ketika TF pada sel-sel subendotelial terekspos akibat cedera pada endotel. FVII mengikat TF dan menjalani

autoaktivasi ke FVIIa.13

(26)

10

Meskipun proses inisiasi aktivasi faktor pembekuan plasma cukup kompleks, TF-FVIIa pada akhirnya mengarah pada konversi faktor IX (FIX) ke FIXa. FIXa plus faktor kofaktor VIII (FVIII) sekarang dapat mengaktifkan FX ke FXa. Proses FIXa-FVIII ini adalah aktivitas "Xase." Seperti halnya FIX yang memiliki FVIII sebagai kofaktor, FX juga memiliki kofaktor: faktor V (FV).

Memang struktur FV dan FVIII serupa. FXa-FV mempunyai aktivitas prothrombinase yang mengubah prothrombin (faktor II, FII) menjadi trombin (FIIa). Trombin memiliki banyak efek. Secara kolektif proses ini kadang-kadang digambarkan sebagai "ledakan trombin." Selanjutnya trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin.13

Gambar 6. Sebagai konsekuensi dari pembentukan kompleks TF-FVIIa, kaskade protein plasma pada akhirnya bertujuan untuk konversi fibrinogen menjadi

fibrin.13

Selain efek mengubah fibrinogen menjadi fibrin, trombin 1) mengubah FV ke FVa , 2) mengonversi FVIII ke FVIIIa , 3) memberikan efek feed forward dengan mengonversi FXI ke FXIa, 4) mengaktifkan faktor XIII (FXIII, faktor penstabil fibrin) menjadi FXIIIa dan 5) menstimulasi trombosit yang terlibat dalam hemostasis primer. Proses trombin untuk mengubah FXI menjadi FXIa memungkinkan pembentukan trombin dan fibrin berlanjut sampai akhirnya

(27)

11

dihambat (misalnya dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor [TFPI]). Fungsi FXIa adalah untuk mengubah FIX ke FIXa. Oleh karena itu, FIX dapat dikonversi ke FIXa dengan 2 cara: 1) melalui TF-FVIIa atau 2) melalui FXIa.13

Gambar 7 . Peran trombin dalam konversi FXI ke FXIa, yang menunjukkan peran FXI dalam hemostasis normal. FVa lebih aktif daripada FV. FVIIIa lebih

aktif daripada FVIII. FXIII adalah faktor penstabil fibrin.13

Jika setelah hemostasis primer berhasil tidak ada lagi proses prokoagulan (misalnya, ada kegagalan hemostasis sekunder), maka dapat terjadi perdarahan kembali. Oleh karena itu, peran hemostasis sekunder adalah untuk memperkuat trombus melalui pembentukan matriks fibrin di sekitar dan di antara trombosit.

Penting juga diketahui bahwa sel darah merah terperangkap dalam proses pembentukan trombus dan berkontribusi terhadap massa trombus.13

(28)

12

II.3.3. HEMOSTASIS TERSIER

Setelah bekuan fibrin terbentuk, trombosit yang teraktivasi akan terorganisasi dengan baik dan mengambil posisi untuk mengontraksikan aktin intraseluler atau sitoskeleton miosin. Jaringan aktin intraseluler akan langsung terhubung ke integrin GpIIbIIIa dan reseptor Fib secara internal. Selanjutnya, komponen eksternal GpIIbIIIa akan melekat ke jaringan fibrin gumpalan darah, membuat gumpalan padat dan mengurangi volume gumpalan secara perlahan, yang disebut retraksi bekuan darah.14

Peran sistem fibrinolitik adalah untuk melarutkan bekuan darah selama proses penyembuhan luka dan untuk mencegah bekuan darah di pembuluh darah yang sehat. Sistem fibrinolitik terutama terdiri dari tiga protease serin yang hadir sebagai zymogen (yaitu, proenzim) dalam darah.Plasmin membelah dan memecah fibrin. Plasmin dihasilkan dari plasminogen zymogen oleh tissue-type plasminogen activator (tPA) dan urokinase-type plasminogen activator (uPA). 16

TPA dan plasminogen bergabung pada permukaan bekuan fibrin. TPA kemudian mengaktifkan plasminogen, yang kemudian memecah fibrin. UPA mengaktifkan plasminogen dengan adanya reseptor uPA, yang ditemukan pada berbagai jenis sel. Ketiga protease serin ini dihambat oleh serine protease inhibitor, yaitu alpha-2-antiplasmin menghambat plasmin, dan plasminogen activator inhibitors 1 dan 2 menghambat tPA dan uPA.16

II.4. PATOFISIOLOGI SEPSIS-INDUCED COAGULOPATHY

Aktivasi kaskade koagulasi adalah respon fisiologis, bawaan dan adaptif selama infeksi.17 Pada sepsis, infeksi yang tidak terkontrol menghasilkan inflamasi progresif dan tidak teratur. Produksi sitokin abnormal berkontribusi terhadap aktivasi faktor koagulasi dan trombosit yang berlebih, serta kerusakan sel endotel vaskular, menyebabkan kebocoran pembuluh darah dan Disseminated intravascular coagulation (DIC). Setelah terjadi trombosis akibat aktivasi sistem koagulasi, DIC selanjutnya dapat mengakibatkan perdarahan pada saat trombosit dan faktor koagulasi habis.18

(29)

13

II.4.1. Aktivasi Cascade Koagulasi

Kunci dalam patofisiologi koagulopati terkait sepsis adalah respons inflamasi sistemik terhadap infeksi. Mekanisme utama gangguan koagulasi selama sepsis adalah faktor trombosit yang dimediasi oleh tissue factor dan disfungsi dari mekanisme antikoagulan fisiologis dan fibrolitik sehingga peningkatan pembentukan fibrin diikuti oleh gangguan eliminasi fibrin.19

Beberapa faktor mengaktifkan koagulasi selama sepsis. Pathogen- associated molecular patterns (PAMPs) memicu respons infflamasi dengan mengaktifkan beberapa jalur dan reseptor yang mencakup pattern-recognizing receptors (PRRs), damage-associated molecular patterns (DAMPs) seperti high- mobility group box 1 (HMGB1), cell-free DNA, dan histon. Ketika mediator- mediator ini dilepaskan dari jaringan dan sel yang rusak, terjadi proses peradangan dan koagulopati. Mediator humoral tambahan yang berperan terhadap koagulopati mencakup sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) -1, IL-6, tumor necrosis factor-α (TNFα), elastase, cathepsin G dan sistem komplemen, sebagai respon sistemik pada sepsis.

Selama beberapa tahun terakhir, telah ditemukan berkontribusi penting terhadap kelainan koagulasi dan pembentukan trombus selama sepsis. Agen trombogenik baru ini disebut neutrophil extracellular traps (NETs). NET adalah jaringan filamen kromatin yang terdiri dari histones dan untaian DNA, dengan protein dan enzim lisosom (myeloperoxidase, elastase, dan cathepsin G, ) dan dilepaskan oleh neutrofil akibati berbagai stimulasi seperti mikroorganisme ( bakteri, jamur, protozoa, virus) dan produknya, mediator inflamasi dan reactive oxygen species (ROS).20

Vesikel ekstraseluler adalah nama umum untuk partikel berbentuk bola yang tertutup oleh membran bilayer fosfolidid yang dilepaskan dari sebagian besar sel ke dalam plasma atau tempat lain.21 Penelitian terbaru juga menunjukkan interaksi antara NET dan vesikel ekstraseluler, serta NET-bearing extracellular vesicles yang meningkatkan pembentukan trombin.Tissue factor, inisiator penting dari jalur koagulasi ekstrinsik, diekspresikan pada makrofag, monosit, dan sel endotel dan memainkan peran sentral dalam terjadinya koagulopati dan DIC dalam

(30)

14

sepsis. Setelah terjadi cedera seluler, tissue factor yang diekspresikan pada vesikel ekstraseluler juga semakin meningkatkan respons prokoagulan. Singkatnya, semua mediator inflamasi ini mengaktifkan trombin sebagai bagian dari respons pertahanan inang sehingga terjadi kegagalan multiorgan pada sepsis. 22

Gambar 8. Tiga faktor utama yang berkontribusi pada DIC yang meliputi aktivasi koagulasi, agregasi trombosit, dan kerusakan endotel.22

II.4.2. Penurunan Fungsi Fibrinolitik

International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH) mendefinisikan DIC sebagai aktivasi koagulasi intravaskular sistemik yang timbul dari beragam penyebab, namun fibrinolisis juga ditemukan tersupresi pada sepsis.

Plasmin memodulasi fibrinolisis, dan aktivitas plasmin diatur terutama oleh plasminogen activator (PA) dan inhibitornya, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Aktivator plasminogen mengubah plasminogen menjadi enzim plasmin aktif melalui kedua jalur yang meliputi PA dan aktivasi kontak. Sel-sel endotel vaskular berperan dalam modulasi fibrinolisis dengan melepasrkan tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan PAI-1. Disfungsi sel endotel adalah fitur penting dalam patogenesis DIC terkait sepsis. Peningkatan kadar PAI-1 menyebabkan gangguan fibrinolisis, dan kejadian utama ini menunjukkan fitur khas DIC tipe trombotik. Selain pembentukan bekuan masif, gangguan fibrinolisis mencegah pembersihan fibrin dan menyebabkan trombosis mikrovaskuler sistemik.22

(31)

15

Jalur penting lainnya dalam koagulopati / DIC termasuk thrombin- activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). TAFI mengurangi pembentukan plasmin dan degradasi fibrin dengan menghilangkan plasminogen-binding-site dari fibrin yang terdegradasi setelah aktivasi oleh trombin atau plasmin. Berbeda dengan PAI- 1, kadar TAFI menurun karena aktivasi dan konsumsi yang luas pada sepsis, dan oleh karena itu, memiliki dampak yang lebih sedikit dibandingkan dengan PAI-1 dalam penekanan fibrinolisis. Selain PAI-1 dan TAFI, penurunan kadar plasminogen juga dapat berkontribusi terhadap penurunan aktivitas fibrinolitik.22

II.4.3. Disfungsi Endotel

Endotel vaskular adalah target utama dalam sepsis, dan salah satu yang khas dari sepsis-associated DIC adalah kerusakan endotel. Pada DIC non sepsis seperti kehamilan dan DIC gestasional, emboli cairan amnion dan solusio plasenta, kerusakan endotel terjadi karena penyebab sekunder. Pada solusio plasenta, tissue factor dan faktor prokoagulan lain yang dilepaskan dari plasenta memasuki sirkulasi ibu dan memicu koagulopati, yang diikuti perdarahan masif sebagai akibat koagulopati konsumtif. Namun, penekanan fibrinolisis pada sepsis-associated DIC tidak secara rutin terjadi pada DIC non sepsis. Sebaliknya, kerusakan endotel yang disebabkan oleh mikroorganisme dan stimulasi inflamasi memprovokasi pelepasan t-PA transien yang diikuti oleh peningkatan produksi PAI-1, yang berkontribusi pada deposisi fibrin masif dalam mikrosirkulasi. Di antara komplikasi terkait kehamilan, kejadian serupa dengan yang terlibat dalam sepsis-associated DIC terlihat pada sepsis nifas, eklampsia, dan sindrom HELLP.

Selain perubahan fungsi fibrinolitik, efek prothrombotik terjadi karena disfungsi endotel akibat penurunan pelepasan nitrat oksida dan prostasiklin, peningkatan regulasi / ekspresi tissue factor dan von Willebrand factor (VWF), dan hilangnya glikokaliks. Glikokaliks adalah lapisan tipis seperti gel yang menutupi endotelium vaskular dan merupakan target penting infeksi dan inflamasi.

Glikokaliks terdiri dari membrane-binding proteoglycan, rantai samping glikosaminoglikan, dan protein plasma seperti albumin dan antitrombin. Aktivitas antitrombin meningkat secara signifikan dengan mengikat rantai samping heparan

(32)

16

sulfate dari glikokaliks, dan stabilitas glikokaliks meningkat dengan pengikatan antitrombin untuk mempertahankan homeostasis vaskular. Selama sepsis, komponen glikokaliks masuk ke dalam darah dan menggambarkan biomarker yang relevan secara klinis, dan hilangnya glikokaliks juga dianggap berkontribusi terhadap disfungsi mikrosirkulasi.22

II.4.4. Agregasi Platelet

Trombositopenia juga merupakan temuan penting untuk mendiagnosis DIC pada sepsis, di samping kelainan koagulasi, penurunan jumlah trombosit terjadi pada hampir semua pasien dengan DIC.Jumlah trombosit pada sepsis dipengaruhi oleh banyak faktor. Meskipun kadar trombopoietin meningkat, produksi trombosit sumsum tulang ditekan karena efek toksik patogen dan mediator inflamasi. Pada sepsis, terjadi aktivasi trombosit yang berkontribusi terhadap penurunan jumlah trombosit, pembentukan trombin, inflamasi, dan sekresi VWF. Trombosit juga diaktifkan oleh trombin dan mediator inflamasi termasuk komplemen, dan secara aktif berpartisipasi dalam patogenesis sepsis-associated DIC. Trombin menginduksi aktivasi trombosit dengan memecah protease-activated receptor (PAR) yang diekspresikan pada trombosit untuk melepaskan konten granula trombosit, seperti ADP dan serotonin. Aktivasi trombosit melalui aktivasi reseptor PAR juga dikaitkan dengan pembentukan tromboksan A2 dan pelepasan beragam sitokin proinflamasi. Trombosit juga melepaskan HMGB1, salah satu DAMP utama dalam sepsis, yang setelah aktivasi,memainkan peran penting dalam trombosis, perekrutan monosit, dan produksi NET.22

II.4.5. Gangguan Sistem Antikoagulan

Trombin adalah mediator utama pada patogenesis sepsis-associated DIC, dan antitrombin adalah penghambat fisiologis trombin. Antitrombin diperkirakan memberikan 80% aktivitas penghambatan terhadap trombin dan faktor koagulasi lainnya. Antitrombin menghambat beberapa faktor koagulasi, termasuk Faktor X, IX, VII, XI dan XII. Namun, kadar antitrombin diketahui berkurang pada sepsis akibat konsumsi, gangguan sintesis (terutama pada subkelompok pasien dengan

(33)

17

hepatitis iskemik akut), ekstravasasi, dan degradasi oleh elastase yang dilepaskan oleh neutrofil teraktivasi.22

Di antara mekanisme ini, kebocoran dari pembuluh darah adalah penyebab penting. Baru-baru ini, beberapa penelitian fokus pada mekanisme interaksi antara antitrombin dan glikokaliks pada sel endotel vaskular. Antitrombin memberikan efek anti-inflamasi lokal pada permukaan sel endotel dengan mengikat glikosaminoglikan. Endotel pembuluh yang sehat dilapisi oleh glikokaliks, akan tetapi, hilangnya lapisan ini pada sepsis meningkatkan trombogenitas dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan adhesi seluler dari endotelium yang rusak.

Antitrombin diketahui menginfiltrasi glikokaliks, berikatan dengan glikosaminoglikan, dan mempertahankan glikokaliks ketika dalam keadaan sepsis.

Oleh karena itu, pemberian antitrombin memberikan efek perlindungan dengan menonaktifkan trombin sitotoksik, tetapi juga menjaga fungsi endotel dengan mengikat glikokaliks.22

Sistem antikoagulan penting lainnya adalah sistem trombomodulin / protein C. Jalur protein C berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara hemostasis dan pertahanan pejamu sebagai respons terhadap infeksi. Protein C diaktifkan oleh trombomodulin pada permukaan vaskular, dan protein C teraktivasi diketahui memberikan banyak efek, mencakup efek antitrombotik, sitoprotektif, dan anti- inflamasi, untuk menjaga integritas pembuluh darah. Protein C aktif melakukan aktivitas antitrombotik melalui inaktivasi proteolitik faktor Va dan VIIIa, sedangkan aktivitas sitoprotektif pada sel endotel dimediasi melalui reseptor seperti endothelial protein C receptor (EPCR) dan PAR-1. Berbagai efek ini meliputi aktivitas anti-apoptosis, aktivitas antiinflamasi, regulasi ekspresi gen, dan stabilisasi sawar endotel.22

Gangguan sistem trombomodulin / protein C ini dalam sepsis telah diketahui, dan penurunan kadar protein C diakui sebagai biomarker yang berguna pada sepsis berat. Mirip dengan antitrombin, kadar protein C sangat rentan terhadap deplesi dengan hepatitis iskemik akut, dan kadar kedua protein antikoagulan telah dilaporkan sebagai prediktor mortalitas yang signifikan. Trombomodulin terdegradasi secara proteolitik dari permukaan sel dan bersirkulasi sebagai bentuk

(34)

18

terlarut. Peningkatan kadar plasma trombomodulin terlarut telah dilaporkan pada pasien dengan sepsis dan disfungsi organ. Meskipun trombomodulin terlarut diekskresi oleh ginjal, kadarnya berkorelasi dengan tingkat keparahan disfungsi organ atau kerusakan endotel sehingga digunakan untuk menilai cedera endotel pada sepsis.22

Gambar 9. Mekanisme kompleks untuk aktivasi koagulasi pada sepsis.21

(35)

19

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN VARIABLE PENELITIAN

III.1 Kerangka Teori

Gambar 10. Kerangka Teori

(36)

20

III.2. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 11. Kerangka Konsep

III.3 Hipotesis Penelitian

Pada penelitian ini, diajukan suatu hipotesis bahwa:

a. Semakin tinggi nilai SOFA Score, semakin memanjang nilai Prothrombin time (PT)

b. Semakin tinggi nilai SOFA Score semakin memanjang nilai Activated Partial Thromboplastin Time( APTT).

c. Semakin tinggi nilai SOFA Score semakin rendah kadar fibrinogen.

d. Semakin tinggi nilai SOFA Score semakin tinggi kadar D-dimer Peningkatan SOFA

Score

- Penurunan Fibrinogen

- Peningkatan PT, aPTT, dan D-dimer

Penyakit Hati Kronik Keganasan Hematologi Pemakaian Antikoagulan

Variabel perancu

Referensi

Dokumen terkait