TESIS
VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT
DIAGNOSTIK
HIRSCHSPRUNG’S DISEASE
PADA
INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR
I KETUT SUBHAWA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
TESIS
VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT
DIAGNOSTIK
HIRSCHSPRUNG’S DISEASE
PADA
INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR
I KETUT SUBHAWA NIM 1014028101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT
DIAGNOSTIK
HIRSCHSPRUNG’S DISEASE
PADA
INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KETUT SUBHAWA NIM 1014028101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016
Mengetahui Pembimbing I,
dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS
NIP 19701120 200003 1 001
Pembimbing II,
Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) NIP 19620307 198903 1 001
Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana,
dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma NIP 19600621 198710 1 001
Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana,
dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 7 Mei 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 2028/UN14.4/HK/2016, Tanggal 3 Mei 2016
Penguji :
1. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS
2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)
3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD
4. dr. Gede Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016
Mengetahui Pembimbing I,
dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS NIP 19701120 200003 1 001
Pembimbing II,
Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) NIP 19620307 198903 1 001
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 7 Mei 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 2028/UN14.4/HK/2016, Tanggal 3 Mei 2016
Penguji :
1. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS
2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)
3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD
4. dr. Gede Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa atas berkat dan anugerahnya-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis dengan judul “Validitas Barium Enema Sebagai Alat
Diagnostik Hirschsprung’s Disease pada Infant di RSUP Sanglah Denpasar”.
Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Bedah di Departemen/SMF Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dan dalam
rangka memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik di
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Bali.
Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga dan
penghargaan yang setinggi–tingginya kepada dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K)
BA, MARS, selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian
dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Terima kasih dan penghargaan yang tertinggi juga penulis ucapkan kepada
Dr. dr. I Nyoman Golden, Sp.BS (K), selaku pembimbing kedua dalam penelitian
ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar
penyelesaian karya tulis ini.
Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD–KEMD, selaku
Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di
Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis belajar pada Program Magister Ilmu Biomedik,
Universitas Udayana.
Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,
Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan
kesempatan untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Biomedik Universitas
Udayana.
Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan
untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau
pimpin.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada
Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K), selaku Kepala Departemen/SMF Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis di Program Studi Ilmu Bedah.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada dr. I Ketut
Wiargitha, Sp.B (K) Trauma, selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda
Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang
Terima kasih kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, selaku Direktur
Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin, Seluruh staf
dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat
Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan
Bedah RSUP Sanglah Denpasar.
Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar
Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP
Sanglah Denpasar, sebagai guru dan teladan dengan penuh dedikasi dan kesabaran
telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama
mengikuti pendidikan Ilmu Bedah dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua dan kakak-kakak
tercinta, istri tercinta dr. Priska Apsari Primastuti, dan putra penulis I Putu Mesha
Wibhisana atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama
penulis menjalani pendidikan spesialis ini.
Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas
segala kekurangan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa
selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang membantu
penyelesaian tesis ini.
Denpasar, Mei 2016
ABSTRAK
VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG’S DISEASE PADA INFANT DI RSUP SANGLAH
DENPASAR
Hirschsprung’s disease adalah penyakit motilitas usus kongenital yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan sub-mucosal plexus usus bagian distal. Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas, dimana semakin dini diagnosis Hirschsprung’s disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui validitas (sensitifitas, spesifisitas, likelihood ratio) pemeriksaan barium enema sebagai alat diagnostik Hirschsprung’s disease pada
infant.
Penelitian ini merupakan uji diagnostik barium enema dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi paskaoperasi sebagai baku emas. Populasi penelitian adalah penderita dengan gangguan pencernaan yang ditemukan di poliklinik Bedah Anak RSUP Sanglah Denpasar. Metode pengambilan sampel secara konsekutif, memenuhi kriteria inklusi (berusia ≤ 12 bulan, menunjukkan gejala klasik Hirschsprung’s disease). Besar sampel penelitian adalah 52. Sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif dianalisis menggunakan uji tabulasi silang antara hasil pemeriksaan barium enema dengan histopatologi paskaoperasi.
Total 52 pasien yang dievaluasi selama penelitian ini, rerata umur 3,31 bulan, laki-laki:perempuan (75%:25%). Berdasarkan gejala, 98.08% pasien mengalami keterlambatan pengeluaran mekonium lebih dari 24-48 jam dan distensi abdomen. Diantara seluruh pasien yang dievaluasi, sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif pemeriksaan barium enema dalam mendiagnosis Hirschsprung’s disease adalah 95.5%, 87.5%, 97.7%, dan 77.8%.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan barium enema dapat digunakan sebagai alat diagnostik dini Hirschsprung’s disease pada infant.
ABSTRACT
VALIDITY OF BARIUM ENEMA AS HIRSCHSPRUNG’S DISEASE
DIAGNOSTIC TOOLS FOR INFANT IN SANGLAH HOSPITAL DENPASAR
Hirschsprung's disease is a congenital bowel motility disease characterized by the absence of parasympathic ganglion cells in the myenteric and sub-mucosal plexus of distal intestine. Early diagnosis is crucial to determine morbidity and mortality, where the early diagnosis of Hirschsprung's disease upheld the lower rate of morbidity and mortality. The purpose of this study was to determine the validity (sensitivity, specificity, likelihood ratio) of barium enema as Hirschsprung's disease diagnostic tool in infants.
This study was a diagnostic test of barium enema compared with postoperative histopathology examinations as gold standard. The population were all of patients with indigestion symptom be discovered at pediatric surgical clinic of Sanglah Hospital Denpasar. The sampling method was consecutive sampling, satisfy inclusion criteria (≤ 12 months old, indicate classic symptom of Hirschsprung’s disease). Total sampel of study were 52. Sensitivity, specificity, positive and negative predictive value were analysed using cross tabulation test of barium enema and postoperative histopathology.
A total of 52 patients were evaluated during the study period, mean of age was 3.31 months old, boys:girls (75%:25%). Based on symptom, 98.08% patients were delayed released of meconium more then 24-48 hours and abdominal distention. Among all the patients reviewed, sensitivity, specificity, positive and negative predictive value of barium enema for diagnostic of Hirschsprung’s disease were 95.5%, 87.5%, 97.7%, and 77.8%.
From this study it can be concluded that the barium enema can be used as early diagnostic tool for infants suspected Hirschsprung’s disease.
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek dan variabel penelitian ... 33
Tabel 5.2 Uji validitas barium enema dalam mendeteksi adanya
segmen aganglion pada saluran cerna bagian bawah dengan
pemeriksaan histopatologi sebagai baku
DAFTAR SINGKATAN
AChE : acetylcholinesterase
AP : anteroposterior
ARM : anorectal manometry
BaSO4 : barium sulfat
BE : barium enema
BOF : Bild Och Funktion
CI : confidence interval
CIL : colon in loop
EDNRB : The Endothelin B receptor gene
GDNF : the Glial cells line Derived Neutrophic Factor
HAEC : Hirschsprung-associated enterocolitis
H&E : hematoxylin dan eosin
IBS : Instalasi Bedah Sentral
FK UNUD : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
FN : false negative
FP : false positive
FTB : full thickness biopsy
LATEP : Laparoscopic Assisted Transanal Endorectal Pullthrough
MIS : minimally invasive surgery
NPV : negative predictive value
PHOX2B : paired-like homeobox 2B
PPV : positive predictive value
RET gene : Rearranged during Transfection gene
ROC : Receiver Operating Characteristic
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SD : standar deviasi
SMF : Staff Medis Fungsional
SOX-10 : SRY (Sex Determining Region Y)-Box 10
TCA : Total Colon Aganglionosis
TN : true negative
TP : true positive
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Total transanal endorectal pull-through ... 13
Gambar 2.2 Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through ... 13
Gambar 2.3 Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui teknik
biopsi rectal ... 14
Gambar 2.4 Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita
Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase) ... 15
Gambar 2.5 Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin
dan eosin (H&E) kasus Hirschsprung’s disease ... 16
Gambar 2.6 Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak
distensi pada colon sigmoid ... 21
Gambar 2.7 Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran
Hirschsprung’s disease. ... 22
Gambar 5.1 Grafik ROC kemampuan barium enema dalam mendeteksi
segmen aganglion saluran cerna bagian bawah dengan
pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas……… 34
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.3.1 Tujuan Umum ... 4
1.3.2 Tujuan Khusus ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.4.1 Manfaat Akademis... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6
2.1 Hirschsprung’s disease ... 6
2.1.1 Definisi dan epidemiologi ... 6
2.1.2 Biologi molekuler ... 7
2.1.3 Patofisiologi ... 8
2.1.3 Manifestasi Klinis ... 10
2.1.4 Penatalaksanaan ... 11
2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease ... 14
2.3 Barium Enema ... 16
2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease ... 20
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ... 23
3.1 Kerangka Berpikir ... 23
3.2 Kerangka Konsep ... 24
BAB IV METODE PENELITIAN ... 25
4.1 Rancangan Penelitian ... 25
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
4.3.1 Kriteria inklusi ... 26
4.3.2 Kriteria eksklusi... 26
4.4 Besar Sampel ... 26
4.5 Variabel Penelitian ... 27
4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 27
4.7 Prosedur Penelitian ... 28
4.8 Alur Penelitian ... 29
4.9 Analisis Data ... 29
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
5.1 Hasil Penelitian ... 32
5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 32
5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 34
5.1.2 Uji Validitas Barium Enema ... 35
5.1 Pembahasan ... 36
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 40
6.1 Simpulan ... 40
6.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hirschsprung’s disease merupakan penyakit motilitas usus kongenital yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan
sub-mucosal plexus usus bagian distal. Etiologi penyakit ini diduga disebabkan oleh
penyebab multifaktor. Gagalnya migrasi neural crest cells ke arah craniocaudal
pada bagian distal colon diduga sebagai kelainan embriologi utama yang
menyebabkan Hirschsprung’s disease. Selain itu, kelainan genetik berupa mutasi
Ret gene dan endothelin B receptor gene juga dikaitkan sebagai penyebab
penyakit ini (Gunnarsdottir, et al., 2011).
Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014).
Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi
yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita
yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25%
obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease
(Georgeson, 2010). Berdasarkan lokasi kelainannya, hampir 90% transition point
berada pada rectosigmoid colon (short-segment aganglionosis) (Huang, et al.,
2011).
Down syndrome (trisomy 21) adalah gangguan kromosomal yang paling
2
Beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain
hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforasi
anus, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s
syndrome, neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Kessmann, 2006).
Berdasarkan gambaran klinisnya, sekitar 90% pasien pada bulan pertama
kehidupannya menunjukkan gejala tidak mengeluarkan mekonium pada 24 jam
pertama kehidupannya, gangguan pergerakan usus, tidak mau menyusu, dan
distensi abdomen yang progresif. Pemeriksaan colok dubur dapat dilakukan untuk
mengetahui kekuatan sphincter anal dan mengeksplorasi fecal serta gas (Amiel, et
al., 2001). Gejala penyakit yang tidak cukup definitif dan perlunya bukti objektif
untuk menegakkan diagnosis, menyebabkan Hirschsprung’s disease masuk dalam
salah satu penyakit bedah anak yang paling sulit ditegakkan diagnosisnya
(Georgeson, 2010; Moore, 2010).
Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas suatu
penyakit. Pada Hirschsprung's disease, komplikasi yang dapat terjadi antara lain
konstipasi, fecal impaksi yang berlanjut pada kondisi yang mengancam jiwa, yaitu
Hirschsprung-associated enterocolitis (HAEC). Angka morbiditas HAEC sebesar
15%-50% dan angka mortalitasnya mencapai 20%-50% (Nurko, 2014). Semakin
dini diagnosis ditegakkan berpengaruh pada pemilihan operasi definitif menjadi 1
tahap dibandingkan 3 tahap jika penderita datang terlambat. Hal ini akan
memberikan keuntungan daripada pasien yang terdiagnosis dan dioperasi pada
usia lebih tua dengan operasi multistage akan lebih sering mengalami masalah
3
lama perawatan di rumah sakit akan lebih pendek, dan juga memberikan
keuntungan psikososial lebih baik (Gunnarsdottir, et al., 2011).
Pemeriksaan baku emas untuk penegakkan diagnosis Hirschsprung’s
disease adalah full-thickness rectal biopsy (sensitivitas-spesifisitas 100%). Akan
tetapi, tidak semua rumah sakit terutama rumah sakit daerah tersedia fasilitas
untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, tindakan ini bersifat invasif
dengan komplikasi prosedur berupa perforasi, perdarahan, dan infeksi. Oleh
karena itu, dalam praktek klinik sehari-hari terdapat pemeriksaan yang bisa
digunakan sebagai alat penegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease yaitu
barium enema dan anorectal manometry (de Lorijn, et al., 2006; Abbas, et al.,
2013).
Dari dua jenis pemeriksaan penunjang diatas, barium enema lebih luas
digunakan dibandingkan dengan anorectal manometry. Hal ini karena barium
enema lebih mudah dilakukan, bersifat minimally invasive, bisa dilakukan hampir
diseluruh rumah sakit daerah, serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih tinggi. Barium enema memiliki sensitivitas 70-75% (mencapai hampir 100%
dengan menggunakan 24-hours delayed abdominal radiographs) dan spesifisitas
70-80% sedangkan anorectal manometry memiliki sensitivitas 60%-70% dan
spesifisitas 65%-70% pada seluruh kelompok usia (O’Donovan, et al., 1996;
Ishfaq, et al., 2014; Wong, et al., 2014).
Seperti dijelaskan diatas bahwa semakin dini diagnosis Hirschsprung’s
disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya.
4
pada kelompok usia infant. Bila terbukti pemeriksaan barium enema pada usia
dini memiliki akurasi yang lebih tinggi maka pemeriksaan tersebut dapat
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat diagnostik sehingga penanganan
operatif lebih awal pada Hirschsprung’s disease dapat dilakukan untuk menekan
angka mortalitas.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemeriksaan barium enema akurat (sensitivitas, spesifisitas, dan
likelihood ratio) digunakan untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease
pada infant?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui validitas barium enema sebagai alat diagnostik
Hirschsprung’s diseasepada infant.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui sensitivitas barium enema sebagai alat diagnostik
Hirschsprung’s diseasepada infant.
b. Untuk mengetahui spesifisitas barium enema sebagai alat diagnostik
Hirschsprung’s diseasepada infant.
c. Untuk mengetahui likelihood ratio barium enema sebagai alat
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
Penelitian dapat digunakan sebagai acuan klinisi dalam pemilihan tindakan
diagnostik awal pada penderita kelompok usia infant dengan klinis yang
mengarah pada Hirschsprung’s disease.
1.4.2 Manfaat klinis
a. Sebagai data ilmiah bahwa barium enema dapat digunakan sebagai
salah satu alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara praktis,
sederhana, dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s
disease pada infant.
b. Barium enema dapat digunakan sebagai acuan penanganan awal pada
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hirschsprung’s Disease
2.1.1 Definisi dan epidemiologi
Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan
suatu kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada
submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus
dan membentang secara proksimal (Amiel, et al., 2001). Kondisi ini menyebabkan
obstruksi akibat penurunan fungsi relaksasi kolon (Kessmann, 2006).
Pada tahun 1691, seorang anatomist Belanda, Fredericus Ruysche,
melakukan otopsi pada anak perempuan berusia 5 tahun dimana ditemukan
megacolon dengan riwayat nyeri abdomen dan konstipasi (Georgeson, 2010). Hal
ini sebagai awal dikenalnya penyakit megacolon namun patogenesis penyakit
belum dapat dijelaskan (Wang, et al., 2009). Harald Hirschsprung, seorang dokter
anak berasal dari Denmark, merupakan orang pertama yang dapat menjelaskan
penyakit ini secara definitif melalui presentasi ilmiah dalam konfrensi asosiasi
pediatri di Berlin, Jerman pada tahun 1886 (Wang, et al., 2009; Moore, et al.,
2010). Dia memaparkan dua kasus bayi yang meninggal akibat komplikasi
obstruksi usus. Usus besar tampak dilatasi dan hipertropi namun rektum tampak
normal. Tidak ditemukannya sel ganglion intramural pada myenteric dan
7
dari bagian colon yang mengalami dilatasi menjadi hal yang paling dikaitkan
sebagai penyebab penyakit megacolon kongenital (Amiel, et al., 2001).
Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014).
Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi
yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita
yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25%
obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease
(Georgeson, 2010).
Berdasarkan batas inferior secara anatomi (internal anal sphincter),
penderita dapat diklasifikasikan menjadi short- dan long-segment disease.
Short-segment disease merupakan lokasi terbanyak dan mempengaruhi bagian
rectosigmoid pada colon (80% dari seluruh kasus). Sedangkan long-segment
disease kasusnya lebih jarang (kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi
hampir seluruh bagian colon, tetapi sangat jarang mengenai usus halus
(Kessmann, 2006; Moore, 2010).
2.1.2 Biologi molekuler
Overexpression of gene on chromosome 21 diperkirakan sebagai faktor
pencetus munculnya Hirschsprung’s disease dan dipengaruhi oleh gene mapping
to 21q22. Walaupun penyebab tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan sel
ganglion belum diketahui secara jelas, identifikasi gen yang paling berpengaruh
8
receptor gene (EDNRB) serta variasi gen lainnya) dapat membantu memahami
etiologi dari kondisi ini. Penelitian secara berkelanjutan mengidentifikasi
sejumlah gen yang dicurigai sebagai gen penyebab, antara lain (the EDNRB
ligand EDN 3, the glial cells line derived neurotrophic factor (GDNF) dalam
kromosom 5p12-13 dan dihubungkan dengan GFRα). Hubungan antara PHOX2B
dan SOX-10 pada kromosom 22q13 juga menunjukkan kesinergisan dengan
sistem endotelin dalam kasus aganglonic segment yang sangat panjang (Moore,
2010; Khazdouz, et al., 2015).
2.1.3 Patofisiologi
Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan
esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah
craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi
minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010).
Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system,
yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama
Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya
kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric nervous system dan
menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest
tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel
ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai sebagai penyebab
9
ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural cell adhesion molecules
(Georgeson, 2010).
Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa
faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu
kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang
menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi
Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan
dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam mempengaruhi
perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu, beberapa kondisi lain yang
dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum
kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated anal, ventricular septal
defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma,
dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015).
Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para
ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis (TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal
Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short segment
Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan (4) tidak
termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang kontroversial
dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang
10
2.1.4 Manifestasi Klinis
Sekitar 92% bayi dengan Hirschsprung’s disease lahir dari ibu dengan
riwayat antenatal yang normal dan memiliki nilai APGAR yang baik. Namun,
evaluasi klinis selama 24 jam pertama kehidupan masih merupakan bagian yang
penting untuk mengidentifikasi kelainan kongenital pada neonatus (hampir 90%
manifestasi klinis nampak pada periode setelah lahir) (Ekenze, et al., 2011).
Keterlambatan pengeluaran meconium (>24 jam) atau sedikitnya jumlah
meconeum yang keluar menjadi salah satu gejala klinis utama untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan Hirschsprung’s disease (>80% dari
keseluruhan kasus). Gejala lainnya yang menguatkan diagnosis antara lain
obstruksi usus fungsional dan mulai usia 2 hari. Pada usia yang lebih tua
(10%-50% kasus), dapat juga ditemukan distensi abdomen (hampir 100% kasus),
konstipasi, diare, dan keterlambatan pertumbuhan (Moore, 2010).
Gejala lain yang perlu diperhatikan yaitu Hirschsprung’s-associated
enterocolitis (HAEC). Kasus ini terjadi kurang lebih 16%, muncul pada 2-4
minggu pertama setelah lahir dengan gejala diare berdarah, distensi abdomen, dan
muntah. HAEC penting untuk diperhatikan karena meningkatkan mortalitas
penderita Hirschsprung’s disease hingga 53% (Pirie, 2010; Yan, et al., 2014).
Pemeriksaan anorectal manometry (ARM) merupakan tes diagnostik
noninvasif yang digunakan untuk mendeteksi refleks pada rectoanal
(rectosphincteric reflex). Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila
ditemukan adanya hambatan pada refleks rectoanal. Terdapat penelitian yang
11
(negative predictive value 100%) (Jarvi, et al., 2009). ARM termasuk dalam tes
diagnostik yang mudah dilakukan namun memerlukan penderita yang kooperatif
sehingga pemeriksaan ini lebih akurat dilakukan pada anak-anak usia diatas satu
tahun (de Lorijn, et al., 2006; Saravanan, et al., 2008). Hal ini menyebabkan
ARM lebih sering digunakan sebagai preliminary screening kasus Hirschsprung’s
disease (Ishfaq, et al., 2014).
2.1.5 Penatalaksanaan
Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka
kondisi penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi
yang serius seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011).
Setelah Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi
definitif utama (Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya
pembedahan adalah mereseksi bagian abnormal usus (aganglionic) dan
menganastomis bagian usus yang normal dengan rectum tanpa mempengaruhi
kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum dilakukan pembedahan,
penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat melalui rektal secara
berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi usus) dan
mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010).
Berbagai teknik pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi
Hirschsprung’s disease. Prosedur Swenson adalah teknik pembedahan pertama
12
ksi bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain trauma pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal.
Kemudian Rehbein memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic
colon sampai di atas rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan
dilatasi adekuat pada sisa rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan
bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang radikal
digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al., 2015).
Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang
berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis
menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik
ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada
tahun 1964 menyempurnakan prosedur Duhamel dengan menggunakan
transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah mencegah diseksi luar
pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk menjaga inervasi
di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009).
Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan pertama kali
oleh De La Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip prosedur complete
dissection dan mobisasi aganglionic colon secara keseluruhan serta anastomosis
kolon normal ke anus melalui muscular tube. Teknik ini paling banyak digunakan
oleh para ahli bedah karena komplikasi konstipasi dan inkontinensia yang
13
Gambar 2.1.
Total transanal endorectal pull-through (Kamal, 2010)
Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan
pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli
bedah pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada
neonatus penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada
colo-anal dan dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy
secara cepat dan hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi
(Jona, 2005; Thomson, et al., 2015).
Gambar 2.2.
Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through
14
2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease
Metode suction biopsy pertama kali dilakukan oleh Helen Noblett dengan
mengambil spesimen pada lapisan submukosa dan mukosa dengan
meminimalisasi ketidaknyamanan dan tanpa anestesi (Moore, 2010). Gambaran
histologi klasik pada Hirschsprung’s disease adalah hyperthropic nerve trunk
(proliferasi saraf tepi) serta tidak ditemukannya sel ganglion dalam intramuscular
myenteric (Auerbach’s) plexus dan submucosal Meissner’s plexus (Moore, 2010;
Esayias, et al., 2013).
Spesimen biopsi diambil pada 2-4 cm (3-5 cm pada usia yang lebih tua) dari
dentate line. Kegagalan pengambilan spesimen rectal suction biopsy yang adekuat
sebagai dasar diagnostik menyebabkan diperlukannya tindakan full thickness
biopsy (Saravanan, et al., 2008).
Gambar 2.3.
Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui pull-through procedure
(Abbas, et al., 2013)
Full thickness biopsy (FTB) merupakan pemeriksaan baku emas untuk
penegakan diagnosis Hirschsprung’s disease (Pratap, et al., 2007). Spesimen
15
diatas dental line pada bagian posterior (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al.,
2007). Kemudian, dengan menggunakan frozen-sectioned, spesimen biopsi
tersebut diiris setebal ± 15 µm (Kapur, et al., 2009).
Pada spesimen suction biopsy tersebut dilakukan teknik pewarnaan
acetylcholinesterase (AChE) untuk mengevaluasi peningkatan aktivitas saraf
parasimpatis pada area yang tertentu yang terpengaruh maupun neurofibril
diantara lamina propria dan mukosa muskularis. Interpretasi pewarnaan AChE
dipengaruhi oleh pola yang berbeda pada kenampakan AChE. Hal ini sering
terjadi terutama pada neonatus. Pada pewarnaan tipe A, AChE akan tampak
positif pada serabut saraf sepanjang lamina propria. Sedangkan, pada pewarnaan
tipe B, pola AChE yang positif tampak di mukosa muskularis dan dekat lamina
propia dalam beberapa minggu (Kapur, et al., 2009).
Gambar 2.4.
Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase) (Moore, 2010)
Pewarnaan menggunakan hematoxylin dan eosin (H&E) juga digunakan
sebagai metode pilihan selain pewarnaan AChE dalam penegakkan diagnosis
16
H&E adalah lebih sulit mengidentifikasi sel ganglion immatur dari sel plasma dan
limfosit (Memarzadeh, et al., 2009).
Gambar 2.5.
Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E) kasus Hirschsprung’s disease(Abbas, et al., 2013)
Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila pada hasil biopsi
ditemukan peningkatan aktivitas acetylcholinesterase (AChE) pada serabut saraf
cholinergic dari aganglionic segments (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%)
ditambah dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada pewarnaan (sensitivitas
96%, spesifisitas 98%) (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al., 2007). Komplikasi
yang harus diwaspadai dalam prosedur ini antara lain perdarahan rektal, perforasi,
atau sepsis (de Lorijn, et al., 2006).
2.3 Barium Enema
2.3.1 Prinsip
Pemeriksaan barium enema merupakan pemeriksaan radiografi kolon
17
colon in loop (CIL) tetapi terdapat beberapa perbedaan pada persiapan dan
prosedur. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran anatomis
kolon dan membedakan kelainan-kelainan obstruksi letak rendah saluran cerna
terutama pada bayi yang baru lahir (Karami, et al., 2008). Selain itu, barium pada
usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas lain pada saluran gastrointestinal,
seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, dan hernia (Reid, et al.,
2000; Smith, 2001)
2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi
Beberapa kecurigaan penyakit yang mengindikasikan barium enema sebagai
pemeriksaan penunjang diagnostik antara lain:
- Ileus obstruksi letak rendah pada bayi baru lahir
- Hirschsprung’s disease
- Meconium plug syndrome atau functional immaturity of the colon
- Atresia kolon
- Meconium ileus
- Atresia ileum
Namun, terdapat kondisi tertentu yang menjadi kontraindikasi dilakukannya
barium enema sebagai pemeriksaan. Salah satu kontraindikasi mutlak
18
2.3.3 Persiapan
Neonatus sampai bayi berusia dua tahun tidak memerlukan persiapan
khusus. Bayi berusia dua tahun sampai anak berusia 10 tahun makan makanan
rendah residu pada malam sebelum pemeriksaan dan satu tablet bisacodyl atau
laksatif lain sebelum tidur malam. Enema pencahar juga dapat diberikan pada pagi
hari sebelum pemeriksaan. Anak berusia 10 tahun sampai dewasa memiliki
persiapan yang sama dengan anak berusia 2-10 tahun, namun tablet bisacodyl
yang diminum adalah sebanyak dua tablet.
Zat kontras yang digunakan adalah zat kontras barium. Persiapkan juga
kateter (biasanya menggunakan folley catheter) atau feeding tube ukuran 8F untuk
memasukkan kontras (Soetikno, 2014).
2.3.4 Prosedur
Berikut ini adalah prosedur dilakukannya pemeriksaan barium enema
(Soetikno, 2014).
1. Sebelum zat kontras dimasukkan, terlebih dahulu dibuat foto polos perut.
2. Gunakan perisai gonad pada pasien.
3. Ujung kateter dimasukkan hanya sedikit ke dalam rektum dengan balon
yang tidak dikembungkan (balon dapat mengganggu penilaian dan bahkan
dapat mebuat perforasi bagian rektum yang aganglionic).
4. Kontras kemudian dimasukkan.
5. Terdapat dua metode memasukkan kontras, yaitu melalui spuit atau
19
spuit harus berhati-hati agar tidak memberikan tekanan terlalu besar yang
dapat menyebabkan perforasi.
6. Foto lateral kiri diambil pada saat awal pengisian dan foto anteroposterior
(AP) atau posteroanterior (PA) diambil setelah kontras mengisi seluruh
kolon. Foto posisi lain dapat diambil jika terdapat super posisi
bagian-bagian kolon.
7. Refluks kontras ke ileum harus diusahakan agar kelainan di ileum dapat
terlihat juga.
8. Foto retensi barium dilakukan 24-48 jam setelah foto pertama, dengan
gambaran khas pada Hirschsprung’s diseaseadalah barium yang membaur
dengan feses kearah proksimal kolon.
2.3.5 Interpretasi
Hal yang dinilai pada hasil pemeriksaan barium enema adalah pasase
kontras, bentuk, dan posisi serta mukosa dan adanya filling defect atau bayangan
tambahan (filling affect). Rasio rektosigmoid juga dinilai, dimana rasio ini
merupakan perbandingan antara diameter rektum terbesar (dibawah segmen 3
sacrum) dan diameter kolon sigmoid.pengukuran ini dapat dilakukan pada foto
posisi AP/PA maupun lateral. Tanda-tanda adanya microcolon juga harus
20
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan terjadi dalam proses pemeriksaan
barium enema adalah adanya perforasi pada saluran cerna akibat penggunaan
instumen yang kurang tepat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kebocoran
kontras bahkan hingga menimbukan peritonitis pada penderita (Soetikno, 2014).
2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease
Pada kasus keterlambatan pengeluaran mekonium 24 jam pertama
kehidupan, foto polos abdomen (BOF) diperlukan dalam mendiagnosis
Hirschsprung’s disease pada neonatus, terutama pada kasus dengan total colonic
aganglionosis (kondisi distensi berat) (Huang, et al., 2011). Pada foto polos akan
tampak tanda obstruksi intestinal bawah dan distensi bowel loops, fluid level
(posisi berdiri saat pengambilan foto), rektum menyempit (pada posisi lateral
view) (Hayakawa, et al., 2003). Namun, pemeriksaan ini tidak berguna dilakukan
pada anak usia lebih tua dengan gejala konstipasi. Rendahnya spesifisitas (52%),
ketersediaan pemeriksaan lain yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi, dan
kurang membantu dalam perencanaan prosedur pembedahan menyebabkan
pemeriksaan foto polos abdomen tidak dijadikan sebagai pilihan pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease (Hayakawa, et al., 2003;
21
Gambar 2.6.
Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak distensi pada colon sigmoid (Alaish, et al., 2013)
Barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas pada saluran
gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, hernia,
dan obstruksi (striktur) (Smith, 2001; Diamond, et al., 2007). Pada kasus
Hirschsprung’s disease, barium enema merupakan salah satu modalitas diagnosis
awal yang terjangkau, invasif minimal, dan dapat meminimalisasi komplikasi
sejak dini (Esayias, et al., 2013). Metode yang digunakan yaitu dilute barium
sulfate dimasukkan melalui rektal menggunakan infant feeding tube nomor enam
tanpa menggunakan balon kateter (Pratap, et al., 2007). Kriteria radiologi positif
pada Hirschsprung’s disease adalah tampak gambaran kontraksi irreguler dan
spasme (sensitivitas 65%-80%, spesifisitas 66%-100%) (Huang, et al., 2011).
Selain itu, gambaran transitional zone juga mengarahkan diagnosis pada
Hirschsprung’s disease (sensitivitas 75%, spesifisitas 81%) (de Lorijn, et al.,
22
diagnosis, antara lain indeks rektosigmoid (lebar maksimal rektum berbanding
lebar maksimal sigmoid; dikatakan abnormal jika < 1) dan tampak mukosa yang
irreguler (Wong, et al., 2014).
Gambar 2.7.
Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran Hirschsprung’s
disease. Aganglionic rectum (tanda panah) tampak kecil. Bagian proksimal adalah
ganglionic colon tampak dilatasi. Terlihat jelas zona transisional diantara