• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG’S DISEASE PADA INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG’S DISEASE PADA INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT

DIAGNOSTIK

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

PADA

INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

I KETUT SUBHAWA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT

DIAGNOSTIK

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

PADA

INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

I KETUT SUBHAWA NIM 1014028101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT

DIAGNOSTIK

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

PADA

INFANT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

I KETUT SUBHAWA NIM 1014028101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016

Mengetahui Pembimbing I,

dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS

NIP 19701120 200003 1 001

Pembimbing II,

Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) NIP 19620307 198903 1 001

Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana,

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma NIP 19600621 198710 1 001

Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana,

dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk

(5)

Tesis ini Telah Diuji pada

Tanggal 7 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 2028/UN14.4/HK/2016, Tanggal 3 Mei 2016

Penguji :

1. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS

2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)

3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD

4. dr. Gede Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma

(6)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016

Mengetahui Pembimbing I,

dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS NIP 19701120 200003 1 001

Pembimbing II,

Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) NIP 19620307 198903 1 001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

(7)

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 7 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 2028/UN14.4/HK/2016, Tanggal 3 Mei 2016

Penguji :

1. dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K) BA, MARS

2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K)

3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD

4. dr. Gede Suwedagatha, Sp.B (K) Trauma

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan

Yang Maha Esa atas berkat dan anugerahnya-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis dengan judul “Validitas Barium Enema Sebagai Alat

Diagnostik Hirschsprung’s Disease pada Infant di RSUP Sanglah Denpasar”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program

Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Bedah di Departemen/SMF Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dan dalam

rangka memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik di

Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Bali.

Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga dan

penghargaan yang setinggi–tingginya kepada dr. I Made Darmajaya, Sp.B (K)

BA, MARS, selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian

dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga

sangat membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Terima kasih dan penghargaan yang tertinggi juga penulis ucapkan kepada

Dr. dr. I Nyoman Golden, Sp.BS (K), selaku pembimbing kedua dalam penelitian

ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar

penyelesaian karya tulis ini.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD–KEMD, selaku

Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di

(9)

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis belajar pada Program Magister Ilmu Biomedik,

Universitas Udayana.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,

Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan

kesempatan untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Biomedik Universitas

Udayana.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan

untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau

pimpin.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K), selaku Kepala Departemen/SMF Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan

Dokter Spesialis di Program Studi Ilmu Bedah.

Terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada dr. I Ketut

Wiargitha, Sp.B (K) Trauma, selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda

Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang

(10)

Terima kasih kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, selaku Direktur

Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin, Seluruh staf

dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat

Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan

Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar

Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP

Sanglah Denpasar, sebagai guru dan teladan dengan penuh dedikasi dan kesabaran

telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan Ilmu Bedah dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua dan kakak-kakak

tercinta, istri tercinta dr. Priska Apsari Primastuti, dan putra penulis I Putu Mesha

Wibhisana atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama

penulis menjalani pendidikan spesialis ini.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas

segala kekurangan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa

selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang membantu

penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Mei 2016

(11)

ABSTRAK

VALIDITAS BARIUM ENEMA SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG’S DISEASE PADA INFANT DI RSUP SANGLAH

DENPASAR

Hirschsprung’s disease adalah penyakit motilitas usus kongenital yang

ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan sub-mucosal plexus usus bagian distal. Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas, dimana semakin dini diagnosis Hirschsprung’s disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui validitas (sensitifitas, spesifisitas, likelihood ratio) pemeriksaan barium enema sebagai alat diagnostik Hirschsprung’s disease pada

infant.

Penelitian ini merupakan uji diagnostik barium enema dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi paskaoperasi sebagai baku emas. Populasi penelitian adalah penderita dengan gangguan pencernaan yang ditemukan di poliklinik Bedah Anak RSUP Sanglah Denpasar. Metode pengambilan sampel secara konsekutif, memenuhi kriteria inklusi (berusia ≤ 12 bulan, menunjukkan gejala klasik Hirschsprung’s disease). Besar sampel penelitian adalah 52. Sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif dianalisis menggunakan uji tabulasi silang antara hasil pemeriksaan barium enema dengan histopatologi paskaoperasi.

Total 52 pasien yang dievaluasi selama penelitian ini, rerata umur 3,31 bulan, laki-laki:perempuan (75%:25%). Berdasarkan gejala, 98.08% pasien mengalami keterlambatan pengeluaran mekonium lebih dari 24-48 jam dan distensi abdomen. Diantara seluruh pasien yang dievaluasi, sensitifitas, spesifisitas, nilai prediktif positif dan negatif pemeriksaan barium enema dalam mendiagnosis Hirschsprung’s disease adalah 95.5%, 87.5%, 97.7%, dan 77.8%.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan barium enema dapat digunakan sebagai alat diagnostik dini Hirschsprung’s disease pada infant.

(12)

ABSTRACT

VALIDITY OF BARIUM ENEMA AS HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

DIAGNOSTIC TOOLS FOR INFANT IN SANGLAH HOSPITAL DENPASAR

Hirschsprung's disease is a congenital bowel motility disease characterized by the absence of parasympathic ganglion cells in the myenteric and sub-mucosal plexus of distal intestine. Early diagnosis is crucial to determine morbidity and mortality, where the early diagnosis of Hirschsprung's disease upheld the lower rate of morbidity and mortality. The purpose of this study was to determine the validity (sensitivity, specificity, likelihood ratio) of barium enema as Hirschsprung's disease diagnostic tool in infants.

This study was a diagnostic test of barium enema compared with postoperative histopathology examinations as gold standard. The population were all of patients with indigestion symptom be discovered at pediatric surgical clinic of Sanglah Hospital Denpasar. The sampling method was consecutive sampling, satisfy inclusion criteria (≤ 12 months old, indicate classic symptom of Hirschsprung’s disease). Total sampel of study were 52. Sensitivity, specificity, positive and negative predictive value were analysed using cross tabulation test of barium enema and postoperative histopathology.

A total of 52 patients were evaluated during the study period, mean of age was 3.31 months old, boys:girls (75%:25%). Based on symptom, 98.08% patients were delayed released of meconium more then 24-48 hours and abdominal distention. Among all the patients reviewed, sensitivity, specificity, positive and negative predictive value of barium enema for diagnostic of Hirschsprung’s disease were 95.5%, 87.5%, 97.7%, and 77.8%.

From this study it can be concluded that the barium enema can be used as early diagnostic tool for infants suspected Hirschsprung’s disease.

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek dan variabel penelitian ... 33

Tabel 5.2 Uji validitas barium enema dalam mendeteksi adanya

segmen aganglion pada saluran cerna bagian bawah dengan

pemeriksaan histopatologi sebagai baku

(14)

DAFTAR SINGKATAN

AChE : acetylcholinesterase

AP : anteroposterior

ARM : anorectal manometry

BaSO4 : barium sulfat

BE : barium enema

BOF : Bild Och Funktion

CI : confidence interval

CIL : colon in loop

EDNRB : The Endothelin B receptor gene

GDNF : the Glial cells line Derived Neutrophic Factor

HAEC : Hirschsprung-associated enterocolitis

H&E : hematoxylin dan eosin

IBS : Instalasi Bedah Sentral

FK UNUD : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

FN : false negative

FP : false positive

FTB : full thickness biopsy

LATEP : Laparoscopic Assisted Transanal Endorectal Pullthrough

MIS : minimally invasive surgery

NPV : negative predictive value

(15)

PHOX2B : paired-like homeobox 2B

PPV : positive predictive value

RET gene : Rearranged during Transfection gene

ROC : Receiver Operating Characteristic

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SD : standar deviasi

SMF : Staff Medis Fungsional

SOX-10 : SRY (Sex Determining Region Y)-Box 10

TCA : Total Colon Aganglionosis

TN : true negative

TP : true positive

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Total transanal endorectal pull-through ... 13

Gambar 2.2 Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through ... 13

Gambar 2.3 Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui teknik

biopsi rectal ... 14

Gambar 2.4 Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita

Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase) ... 15

Gambar 2.5 Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin

dan eosin (H&E) kasus Hirschsprung’s disease ... 16

Gambar 2.6 Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak

distensi pada colon sigmoid ... 21

Gambar 2.7 Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran

Hirschsprung’s disease. ... 22

Gambar 5.1 Grafik ROC kemampuan barium enema dalam mendeteksi

segmen aganglion saluran cerna bagian bawah dengan

pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas……… 34

(17)

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Akademis... 5

(18)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Hirschsprung’s disease ... 6

2.1.1 Definisi dan epidemiologi ... 6

2.1.2 Biologi molekuler ... 7

2.1.3 Patofisiologi ... 8

2.1.3 Manifestasi Klinis ... 10

2.1.4 Penatalaksanaan ... 11

2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease ... 14

2.3 Barium Enema ... 16

2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease ... 20

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN ... 23

3.1 Kerangka Berpikir ... 23

3.2 Kerangka Konsep ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1 Rancangan Penelitian ... 25

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

(19)

4.3.1 Kriteria inklusi ... 26

4.3.2 Kriteria eksklusi... 26

4.4 Besar Sampel ... 26

4.5 Variabel Penelitian ... 27

4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 27

4.7 Prosedur Penelitian ... 28

4.8 Alur Penelitian ... 29

4.9 Analisis Data ... 29

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1 Hasil Penelitian ... 32

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 32

5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 34

5.1.2 Uji Validitas Barium Enema ... 35

5.1 Pembahasan ... 36

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1 Simpulan ... 40

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hirschsprung’s disease merupakan penyakit motilitas usus kongenital yang

ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada myenteric dan

sub-mucosal plexus usus bagian distal. Etiologi penyakit ini diduga disebabkan oleh

penyebab multifaktor. Gagalnya migrasi neural crest cells ke arah craniocaudal

pada bagian distal colon diduga sebagai kelainan embriologi utama yang

menyebabkan Hirschsprung’s disease. Selain itu, kelainan genetik berupa mutasi

Ret gene dan endothelin B receptor gene juga dikaitkan sebagai penyebab

penyakit ini (Gunnarsdottir, et al., 2011).

Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014).

Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak

terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi

yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita

yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25%

obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease

(Georgeson, 2010). Berdasarkan lokasi kelainannya, hampir 90% transition point

berada pada rectosigmoid colon (short-segment aganglionosis) (Huang, et al.,

2011).

Down syndrome (trisomy 21) adalah gangguan kromosomal yang paling

(21)

2

Beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain

hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforasi

anus, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s

syndrome, neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Kessmann, 2006).

Berdasarkan gambaran klinisnya, sekitar 90% pasien pada bulan pertama

kehidupannya menunjukkan gejala tidak mengeluarkan mekonium pada 24 jam

pertama kehidupannya, gangguan pergerakan usus, tidak mau menyusu, dan

distensi abdomen yang progresif. Pemeriksaan colok dubur dapat dilakukan untuk

mengetahui kekuatan sphincter anal dan mengeksplorasi fecal serta gas (Amiel, et

al., 2001). Gejala penyakit yang tidak cukup definitif dan perlunya bukti objektif

untuk menegakkan diagnosis, menyebabkan Hirschsprung’s disease masuk dalam

salah satu penyakit bedah anak yang paling sulit ditegakkan diagnosisnya

(Georgeson, 2010; Moore, 2010).

Diagnosis dini sangat menentukan angka morbiditas dan mortalitas suatu

penyakit. Pada Hirschsprung's disease, komplikasi yang dapat terjadi antara lain

konstipasi, fecal impaksi yang berlanjut pada kondisi yang mengancam jiwa, yaitu

Hirschsprung-associated enterocolitis (HAEC). Angka morbiditas HAEC sebesar

15%-50% dan angka mortalitasnya mencapai 20%-50% (Nurko, 2014). Semakin

dini diagnosis ditegakkan berpengaruh pada pemilihan operasi definitif menjadi 1

tahap dibandingkan 3 tahap jika penderita datang terlambat. Hal ini akan

memberikan keuntungan daripada pasien yang terdiagnosis dan dioperasi pada

usia lebih tua dengan operasi multistage akan lebih sering mengalami masalah

(22)

3

lama perawatan di rumah sakit akan lebih pendek, dan juga memberikan

keuntungan psikososial lebih baik (Gunnarsdottir, et al., 2011).

Pemeriksaan baku emas untuk penegakkan diagnosis Hirschsprung’s

disease adalah full-thickness rectal biopsy (sensitivitas-spesifisitas 100%). Akan

tetapi, tidak semua rumah sakit terutama rumah sakit daerah tersedia fasilitas

untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, tindakan ini bersifat invasif

dengan komplikasi prosedur berupa perforasi, perdarahan, dan infeksi. Oleh

karena itu, dalam praktek klinik sehari-hari terdapat pemeriksaan yang bisa

digunakan sebagai alat penegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease yaitu

barium enema dan anorectal manometry (de Lorijn, et al., 2006; Abbas, et al.,

2013).

Dari dua jenis pemeriksaan penunjang diatas, barium enema lebih luas

digunakan dibandingkan dengan anorectal manometry. Hal ini karena barium

enema lebih mudah dilakukan, bersifat minimally invasive, bisa dilakukan hampir

diseluruh rumah sakit daerah, serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang

lebih tinggi. Barium enema memiliki sensitivitas 70-75% (mencapai hampir 100%

dengan menggunakan 24-hours delayed abdominal radiographs) dan spesifisitas

70-80% sedangkan anorectal manometry memiliki sensitivitas 60%-70% dan

spesifisitas 65%-70% pada seluruh kelompok usia (O’Donovan, et al., 1996;

Ishfaq, et al., 2014; Wong, et al., 2014).

Seperti dijelaskan diatas bahwa semakin dini diagnosis Hirschsprung’s

disease ditegakkan maka semakin rendah angka morbiditas dan mortalitasnya.

(23)

4

pada kelompok usia infant. Bila terbukti pemeriksaan barium enema pada usia

dini memiliki akurasi yang lebih tinggi maka pemeriksaan tersebut dapat

dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat diagnostik sehingga penanganan

operatif lebih awal pada Hirschsprung’s disease dapat dilakukan untuk menekan

angka mortalitas.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pemeriksaan barium enema akurat (sensitivitas, spesifisitas, dan

likelihood ratio) digunakan untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease

pada infant?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui validitas barium enema sebagai alat diagnostik

Hirschsprung’s diseasepada infant.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui sensitivitas barium enema sebagai alat diagnostik

Hirschsprung’s diseasepada infant.

b. Untuk mengetahui spesifisitas barium enema sebagai alat diagnostik

Hirschsprung’s diseasepada infant.

c. Untuk mengetahui likelihood ratio barium enema sebagai alat

(24)

5

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Penelitian dapat digunakan sebagai acuan klinisi dalam pemilihan tindakan

diagnostik awal pada penderita kelompok usia infant dengan klinis yang

mengarah pada Hirschsprung’s disease.

1.4.2 Manfaat klinis

a. Sebagai data ilmiah bahwa barium enema dapat digunakan sebagai

salah satu alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara praktis,

sederhana, dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s

disease pada infant.

b. Barium enema dapat digunakan sebagai acuan penanganan awal pada

(25)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hirschsprung’s Disease

2.1.1 Definisi dan epidemiologi

Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan

suatu kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada

submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus

dan membentang secara proksimal (Amiel, et al., 2001). Kondisi ini menyebabkan

obstruksi akibat penurunan fungsi relaksasi kolon (Kessmann, 2006).

Pada tahun 1691, seorang anatomist Belanda, Fredericus Ruysche,

melakukan otopsi pada anak perempuan berusia 5 tahun dimana ditemukan

megacolon dengan riwayat nyeri abdomen dan konstipasi (Georgeson, 2010). Hal

ini sebagai awal dikenalnya penyakit megacolon namun patogenesis penyakit

belum dapat dijelaskan (Wang, et al., 2009). Harald Hirschsprung, seorang dokter

anak berasal dari Denmark, merupakan orang pertama yang dapat menjelaskan

penyakit ini secara definitif melalui presentasi ilmiah dalam konfrensi asosiasi

pediatri di Berlin, Jerman pada tahun 1886 (Wang, et al., 2009; Moore, et al.,

2010). Dia memaparkan dua kasus bayi yang meninggal akibat komplikasi

obstruksi usus. Usus besar tampak dilatasi dan hipertropi namun rektum tampak

normal. Tidak ditemukannya sel ganglion intramural pada myenteric dan

(26)

7

dari bagian colon yang mengalami dilatasi menjadi hal yang paling dikaitkan

sebagai penyebab penyakit megacolon kongenital (Amiel, et al., 2001).

Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014).

Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak

terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi

yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita

yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement. Sekitar 25%

obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease

(Georgeson, 2010).

Berdasarkan batas inferior secara anatomi (internal anal sphincter),

penderita dapat diklasifikasikan menjadi short- dan long-segment disease.

Short-segment disease merupakan lokasi terbanyak dan mempengaruhi bagian

rectosigmoid pada colon (80% dari seluruh kasus). Sedangkan long-segment

disease kasusnya lebih jarang (kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi

hampir seluruh bagian colon, tetapi sangat jarang mengenai usus halus

(Kessmann, 2006; Moore, 2010).

2.1.2 Biologi molekuler

Overexpression of gene on chromosome 21 diperkirakan sebagai faktor

pencetus munculnya Hirschsprung’s disease dan dipengaruhi oleh gene mapping

to 21q22. Walaupun penyebab tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan sel

ganglion belum diketahui secara jelas, identifikasi gen yang paling berpengaruh

(27)

8

receptor gene (EDNRB) serta variasi gen lainnya) dapat membantu memahami

etiologi dari kondisi ini. Penelitian secara berkelanjutan mengidentifikasi

sejumlah gen yang dicurigai sebagai gen penyebab, antara lain (the EDNRB

ligand EDN 3, the glial cells line derived neurotrophic factor (GDNF) dalam

kromosom 5p12-13 dan dihubungkan dengan GFRα). Hubungan antara PHOX2B

dan SOX-10 pada kromosom 22q13 juga menunjukkan kesinergisan dengan

sistem endotelin dalam kasus aganglonic segment yang sangat panjang (Moore,

2010; Khazdouz, et al., 2015).

2.1.3 Patofisiologi

Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan

esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah

craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi

minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010).

Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system,

yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama

Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya

kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric nervous system dan

menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest

tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel

ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai sebagai penyebab

(28)

9

ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural cell adhesion molecules

(Georgeson, 2010).

Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa

faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu

kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang

menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi

Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan

dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam mempengaruhi

perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu, beberapa kondisi lain yang

dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum

kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated anal, ventricular septal

defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma,

dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015).

Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para

ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis (TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal

Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short segment

Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan (4) tidak

termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang kontroversial

dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang

(29)

10

2.1.4 Manifestasi Klinis

Sekitar 92% bayi dengan Hirschsprung’s disease lahir dari ibu dengan

riwayat antenatal yang normal dan memiliki nilai APGAR yang baik. Namun,

evaluasi klinis selama 24 jam pertama kehidupan masih merupakan bagian yang

penting untuk mengidentifikasi kelainan kongenital pada neonatus (hampir 90%

manifestasi klinis nampak pada periode setelah lahir) (Ekenze, et al., 2011).

Keterlambatan pengeluaran meconium (>24 jam) atau sedikitnya jumlah

meconeum yang keluar menjadi salah satu gejala klinis utama untuk dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan Hirschsprung’s disease (>80% dari

keseluruhan kasus). Gejala lainnya yang menguatkan diagnosis antara lain

obstruksi usus fungsional dan mulai usia 2 hari. Pada usia yang lebih tua

(10%-50% kasus), dapat juga ditemukan distensi abdomen (hampir 100% kasus),

konstipasi, diare, dan keterlambatan pertumbuhan (Moore, 2010).

Gejala lain yang perlu diperhatikan yaitu Hirschsprung’s-associated

enterocolitis (HAEC). Kasus ini terjadi kurang lebih 16%, muncul pada 2-4

minggu pertama setelah lahir dengan gejala diare berdarah, distensi abdomen, dan

muntah. HAEC penting untuk diperhatikan karena meningkatkan mortalitas

penderita Hirschsprung’s disease hingga 53% (Pirie, 2010; Yan, et al., 2014).

Pemeriksaan anorectal manometry (ARM) merupakan tes diagnostik

noninvasif yang digunakan untuk mendeteksi refleks pada rectoanal

(rectosphincteric reflex). Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila

ditemukan adanya hambatan pada refleks rectoanal. Terdapat penelitian yang

(30)

11

(negative predictive value 100%) (Jarvi, et al., 2009). ARM termasuk dalam tes

diagnostik yang mudah dilakukan namun memerlukan penderita yang kooperatif

sehingga pemeriksaan ini lebih akurat dilakukan pada anak-anak usia diatas satu

tahun (de Lorijn, et al., 2006; Saravanan, et al., 2008). Hal ini menyebabkan

ARM lebih sering digunakan sebagai preliminary screening kasus Hirschsprung’s

disease (Ishfaq, et al., 2014).

2.1.5 Penatalaksanaan

Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka

kondisi penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi

yang serius seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011).

Setelah Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi

definitif utama (Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya

pembedahan adalah mereseksi bagian abnormal usus (aganglionic) dan

menganastomis bagian usus yang normal dengan rectum tanpa mempengaruhi

kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum dilakukan pembedahan,

penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain pemberian cairan dan

elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat melalui rektal secara

berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi usus) dan

mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010).

Berbagai teknik pembedahan sudah dilakukan untuk mengatasi

Hirschsprung’s disease. Prosedur Swenson adalah teknik pembedahan pertama

(31)

12

ksi bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi

antara lain trauma pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal.

Kemudian Rehbein memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic

colon sampai di atas rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan

dilatasi adekuat pada sisa rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan

bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang radikal

digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al., 2015).

Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang

berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis

menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik

ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada

tahun 1964 menyempurnakan prosedur Duhamel dengan menggunakan

transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah mencegah diseksi luar

pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk menjaga inervasi

di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009).

Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan pertama kali

oleh De La Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip prosedur complete

dissection dan mobisasi aganglionic colon secara keseluruhan serta anastomosis

kolon normal ke anus melalui muscular tube. Teknik ini paling banyak digunakan

oleh para ahli bedah karena komplikasi konstipasi dan inkontinensia yang

(32)

13

Gambar 2.1.

Total transanal endorectal pull-through (Kamal, 2010)

Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan

pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli

bedah pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada

neonatus penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada

colo-anal dan dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy

secara cepat dan hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi

(Jona, 2005; Thomson, et al., 2015).

Gambar 2.2.

Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through

(33)

14

2.2 Histopatologi Hirschsprung’s disease

Metode suction biopsy pertama kali dilakukan oleh Helen Noblett dengan

mengambil spesimen pada lapisan submukosa dan mukosa dengan

meminimalisasi ketidaknyamanan dan tanpa anestesi (Moore, 2010). Gambaran

histologi klasik pada Hirschsprung’s disease adalah hyperthropic nerve trunk

(proliferasi saraf tepi) serta tidak ditemukannya sel ganglion dalam intramuscular

myenteric (Auerbach’s) plexus dan submucosal Meissner’s plexus (Moore, 2010;

Esayias, et al., 2013).

Spesimen biopsi diambil pada 2-4 cm (3-5 cm pada usia yang lebih tua) dari

dentate line. Kegagalan pengambilan spesimen rectal suction biopsy yang adekuat

sebagai dasar diagnostik menyebabkan diperlukannya tindakan full thickness

biopsy (Saravanan, et al., 2008).

Gambar 2.3.

Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui pull-through procedure

(Abbas, et al., 2013)

Full thickness biopsy (FTB) merupakan pemeriksaan baku emas untuk

penegakan diagnosis Hirschsprung’s disease (Pratap, et al., 2007). Spesimen

(34)

15

diatas dental line pada bagian posterior (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al.,

2007). Kemudian, dengan menggunakan frozen-sectioned, spesimen biopsi

tersebut diiris setebal ± 15 µm (Kapur, et al., 2009).

Pada spesimen suction biopsy tersebut dilakukan teknik pewarnaan

acetylcholinesterase (AChE) untuk mengevaluasi peningkatan aktivitas saraf

parasimpatis pada area yang tertentu yang terpengaruh maupun neurofibril

diantara lamina propria dan mukosa muskularis. Interpretasi pewarnaan AChE

dipengaruhi oleh pola yang berbeda pada kenampakan AChE. Hal ini sering

terjadi terutama pada neonatus. Pada pewarnaan tipe A, AChE akan tampak

positif pada serabut saraf sepanjang lamina propria. Sedangkan, pada pewarnaan

tipe B, pola AChE yang positif tampak di mukosa muskularis dan dekat lamina

propia dalam beberapa minggu (Kapur, et al., 2009).

Gambar 2.4.

Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase) (Moore, 2010)

Pewarnaan menggunakan hematoxylin dan eosin (H&E) juga digunakan

sebagai metode pilihan selain pewarnaan AChE dalam penegakkan diagnosis

(35)

16

H&E adalah lebih sulit mengidentifikasi sel ganglion immatur dari sel plasma dan

limfosit (Memarzadeh, et al., 2009).

Gambar 2.5.

Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E) kasus Hirschsprung’s disease(Abbas, et al., 2013)

Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila pada hasil biopsi

ditemukan peningkatan aktivitas acetylcholinesterase (AChE) pada serabut saraf

cholinergic dari aganglionic segments (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%)

ditambah dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada pewarnaan (sensitivitas

96%, spesifisitas 98%) (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al., 2007). Komplikasi

yang harus diwaspadai dalam prosedur ini antara lain perdarahan rektal, perforasi,

atau sepsis (de Lorijn, et al., 2006).

2.3 Barium Enema

2.3.1 Prinsip

Pemeriksaan barium enema merupakan pemeriksaan radiografi kolon

(36)

17

colon in loop (CIL) tetapi terdapat beberapa perbedaan pada persiapan dan

prosedur. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran anatomis

kolon dan membedakan kelainan-kelainan obstruksi letak rendah saluran cerna

terutama pada bayi yang baru lahir (Karami, et al., 2008). Selain itu, barium pada

usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas lain pada saluran gastrointestinal,

seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, dan hernia (Reid, et al.,

2000; Smith, 2001)

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi

Beberapa kecurigaan penyakit yang mengindikasikan barium enema sebagai

pemeriksaan penunjang diagnostik antara lain:

- Ileus obstruksi letak rendah pada bayi baru lahir

- Hirschsprung’s disease

- Meconium plug syndrome atau functional immaturity of the colon

- Atresia kolon

- Meconium ileus

- Atresia ileum

Namun, terdapat kondisi tertentu yang menjadi kontraindikasi dilakukannya

barium enema sebagai pemeriksaan. Salah satu kontraindikasi mutlak

(37)

18

2.3.3 Persiapan

Neonatus sampai bayi berusia dua tahun tidak memerlukan persiapan

khusus. Bayi berusia dua tahun sampai anak berusia 10 tahun makan makanan

rendah residu pada malam sebelum pemeriksaan dan satu tablet bisacodyl atau

laksatif lain sebelum tidur malam. Enema pencahar juga dapat diberikan pada pagi

hari sebelum pemeriksaan. Anak berusia 10 tahun sampai dewasa memiliki

persiapan yang sama dengan anak berusia 2-10 tahun, namun tablet bisacodyl

yang diminum adalah sebanyak dua tablet.

Zat kontras yang digunakan adalah zat kontras barium. Persiapkan juga

kateter (biasanya menggunakan folley catheter) atau feeding tube ukuran 8F untuk

memasukkan kontras (Soetikno, 2014).

2.3.4 Prosedur

Berikut ini adalah prosedur dilakukannya pemeriksaan barium enema

(Soetikno, 2014).

1. Sebelum zat kontras dimasukkan, terlebih dahulu dibuat foto polos perut.

2. Gunakan perisai gonad pada pasien.

3. Ujung kateter dimasukkan hanya sedikit ke dalam rektum dengan balon

yang tidak dikembungkan (balon dapat mengganggu penilaian dan bahkan

dapat mebuat perforasi bagian rektum yang aganglionic).

4. Kontras kemudian dimasukkan.

5. Terdapat dua metode memasukkan kontras, yaitu melalui spuit atau

(38)

19

spuit harus berhati-hati agar tidak memberikan tekanan terlalu besar yang

dapat menyebabkan perforasi.

6. Foto lateral kiri diambil pada saat awal pengisian dan foto anteroposterior

(AP) atau posteroanterior (PA) diambil setelah kontras mengisi seluruh

kolon. Foto posisi lain dapat diambil jika terdapat super posisi

bagian-bagian kolon.

7. Refluks kontras ke ileum harus diusahakan agar kelainan di ileum dapat

terlihat juga.

8. Foto retensi barium dilakukan 24-48 jam setelah foto pertama, dengan

gambaran khas pada Hirschsprung’s diseaseadalah barium yang membaur

dengan feses kearah proksimal kolon.

2.3.5 Interpretasi

Hal yang dinilai pada hasil pemeriksaan barium enema adalah pasase

kontras, bentuk, dan posisi serta mukosa dan adanya filling defect atau bayangan

tambahan (filling affect). Rasio rektosigmoid juga dinilai, dimana rasio ini

merupakan perbandingan antara diameter rektum terbesar (dibawah segmen 3

sacrum) dan diameter kolon sigmoid.pengukuran ini dapat dilakukan pada foto

posisi AP/PA maupun lateral. Tanda-tanda adanya microcolon juga harus

(39)

20

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan terjadi dalam proses pemeriksaan

barium enema adalah adanya perforasi pada saluran cerna akibat penggunaan

instumen yang kurang tepat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kebocoran

kontras bahkan hingga menimbukan peritonitis pada penderita (Soetikno, 2014).

2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease

Pada kasus keterlambatan pengeluaran mekonium 24 jam pertama

kehidupan, foto polos abdomen (BOF) diperlukan dalam mendiagnosis

Hirschsprung’s disease pada neonatus, terutama pada kasus dengan total colonic

aganglionosis (kondisi distensi berat) (Huang, et al., 2011). Pada foto polos akan

tampak tanda obstruksi intestinal bawah dan distensi bowel loops, fluid level

(posisi berdiri saat pengambilan foto), rektum menyempit (pada posisi lateral

view) (Hayakawa, et al., 2003). Namun, pemeriksaan ini tidak berguna dilakukan

pada anak usia lebih tua dengan gejala konstipasi. Rendahnya spesifisitas (52%),

ketersediaan pemeriksaan lain yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi, dan

kurang membantu dalam perencanaan prosedur pembedahan menyebabkan

pemeriksaan foto polos abdomen tidak dijadikan sebagai pilihan pemeriksaan

untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease (Hayakawa, et al., 2003;

(40)

21

Gambar 2.6.

Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak distensi pada colon sigmoid (Alaish, et al., 2013)

Barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas pada saluran

gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, hernia,

dan obstruksi (striktur) (Smith, 2001; Diamond, et al., 2007). Pada kasus

Hirschsprung’s disease, barium enema merupakan salah satu modalitas diagnosis

awal yang terjangkau, invasif minimal, dan dapat meminimalisasi komplikasi

sejak dini (Esayias, et al., 2013). Metode yang digunakan yaitu dilute barium

sulfate dimasukkan melalui rektal menggunakan infant feeding tube nomor enam

tanpa menggunakan balon kateter (Pratap, et al., 2007). Kriteria radiologi positif

pada Hirschsprung’s disease adalah tampak gambaran kontraksi irreguler dan

spasme (sensitivitas 65%-80%, spesifisitas 66%-100%) (Huang, et al., 2011).

Selain itu, gambaran transitional zone juga mengarahkan diagnosis pada

Hirschsprung’s disease (sensitivitas 75%, spesifisitas 81%) (de Lorijn, et al.,

(41)

22

diagnosis, antara lain indeks rektosigmoid (lebar maksimal rektum berbanding

lebar maksimal sigmoid; dikatakan abnormal jika < 1) dan tampak mukosa yang

irreguler (Wong, et al., 2014).

Gambar 2.7.

Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran Hirschsprung’s

disease. Aganglionic rectum (tanda panah) tampak kecil. Bagian proksimal adalah

ganglionic colon tampak dilatasi. Terlihat jelas zona transisional diantara

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada tugas akhir ini penulis akan mencoba untuk membuat suatu sistem yang dapat melakukan klasifikasi dalam pengenalan perintah suara dengan menggunakan

Analisis Kesalahannya berupa pemakaian dhomir mustatir wujuban َدٔأ (mufrod mudzakar mukhotob) yang terkandung dalam fi‟il mudhori‟ بِّشدذ untuk menggantikan isim

Prioritas perbaikan karakteristik teknik yang dilakukan mengacu pada nilai kepentingan relatif diatas 4,5%, yaitu: pelayan diberikan pengarahan oleh manajer seminggu

Voltametri Voltametri mempelajari mempelajari hubungan hubungan voltase voltase arus-waktu arus-waktu selama elektrolisis dilakukan dalam suatu sel, di mana suatu

Struck (dalam Balitbang, 2010) memberikan perspektif lain terhadap pendidikan kejuruan dan teknologi, yaitu mengarah pada pemberian pengalaman kepada peserta didik agar

Pada perancangan dan desain aplikasi anti-forensic menggunakan visual C# dengan memiliki dua tahap yaitu tahap pertama pesan rahasia akan dilakukan enkripsi dengan Triple

Data penelitian sebelumnya Prakoso (2003), Prahesti (2010), Hutabarat (2012), Hutabarat (2013) telah menjelaskan bahwa kawasan Segara Anakan Cilacap dimanfaatkan