• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Metode antropometri merupakan pengukuran yang mudah, murah, serta diperlukan untuk pemeriksaan klinik dan epidemiologi secara rutin, yang dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan status nutrisi seseorang. Salah satu pengukuran antropometri adalah pengukuran Body Mass Index (BMI) yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya obesitas. Obesitas dapat meningkatkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan Diabetes Melitus tipe 2. HbA1c digunakan sebagai deteksi dini adanya risiko penyakit Diabetes Melitus tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi BMI terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara non-random purposive sampling. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 52 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk, uji komparatif Mann-Whitney, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,08±3,14; rerata BMI responden 25,31±3,29; serta rerata HbA1c responden 5,52±0,47. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan sangat lemah dengan arah korelasi negatif antara BMI terhadap HbA1c (r= -0,039 ; p=0,781) pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(2)

ABSTRACT

Anthropometric method is easy measurement, inexpensive, and it is required for clinical and epidemiological examination regularly, which can be used as an indicator of a person's health and nutritional status. One of the anthropometric measurements is Body Mass Index (BMI) which can be used to detect the presence of obesity. Obesity can increase the risk of insulin resistance. Insulin resistance can lead to type 2 diabetes mellitus. HbA1c is used as an early detection of the risk of type 2 Diabetes Mellitus. This study aimed to determine the correlation of BMI on HbA1c in healthy adult women staff at Sanata Dharma University in Yogyakarta .

This research includes observational analytic cross-sectional design. Sampling was done by a non-random purposive sampling. The number of respondents who used a total of 52 respondents who meet the inclusion and exclusion criteria. The research data were analyzed using the Kolmogorov-Smirnov and the Shapiro-Wilk normality test, Mann-Whitney comparative test, and Pearson correlation test with a level of 95 %.

The result shows the characteristic profile of age 44.08 ± 3,14; BMI 25,31 ± 3.29; and HbA1c 5.52 ± 0.47. There is no significant correlation, with the direction of measuring very weak negative correlation between BMI on HbA1c (r = -0.039 ; p=0.781) in healthy adult women staff at Sanata Dharma University in Yogyakarta.

(3)

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA STAF WANITA DEWASA SEHAT DI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Bonaventura Sukintoko Pramudyo NIM : 118114006

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

KORELASI BODY MASS INDEX TERHADAP HbA1c PADA STAF WANITA DEWASA SEHAT DI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Bonaventura Sukintoko Pramudyo NIM : 118114006

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

Kupersembahkan karya ini untuk :

Yesus Kristus sumber pengharapanku,

Bapak, Ibu, Mbak Imas, dan Mas Jemi

yang selalu mendukungku,

Budhe Ris dan sahabat-sahabatku

(8)
(9)
(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena segala berkat, limpahan kasih, dan tuntunan-Nya yang luar biasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Korelasi Body

Mass Index terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta” sebagai syarat memperoleh gelar sarjana farmasi (S.Farm)

di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis melalui dukungan tenaga, pikiran, waktu, dan memberikan banyak nasihat agar penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada :

1. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dalam berbagi ilmu, pengetahuan, dan wawasan, serta bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk berdiskusi dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Wakil Rektor I yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 3. Aris Widayati, M.si, Ph.D., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta serta dosen penguji atas saran dan dukungan yang membangun dan berharga.

(11)

viii

5. Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

6. Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam analisis darah untuk kepentingan penelitian.

7. Staf wanita Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah bersedia untuk terlibat di dalam penelitian sebagai responden.

8. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama perkuliahan.

9. Bapak dan Ibuku, terang dalam setiap gelapku, yang tak pernah berhenti memberikan cinta, kasih sayang, dukungan, perhatian, dan kesabaran dalam membimbingku hingga saat ini.

10.Mbak Imas dan Mas Jemi, yang selalu mendukungku dan memberi curahan semangat untukku.

11.Budhe Ris dan keluarga besarku, yang selalu membantu, memberi motivasi dan dukungan yang luar biasa bagiku.

12.Mas Mbong dan Mbak Elen, guru dan kakak yang luar biasa hebat, yang selalu memberi nasihat yang sangat berarti bagiku.

(12)

ix

14.Teman-teman FKK A 2011, FSM A 2011, dan semua angkatan 2011 yang telah bersama-sama berbagi suka dan duka di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

15.Teman –teman seperjuanganku “skripsi payung 14” Sary, Vento, Bagas, Asri, Tika, Ocha, Avist, Deta, Vita, Lisa, Lala, Deby, dan Shinta yang selalu bersama-sama berjuang, selalu memberikan keceriaan dan semangat untukku. 16.Pejuang mental illness dan Psikiaterku, yang selalu memberi dukungan yang

luar biasa melalui tulisan ataupun kata-kata, tak pernah lelah memberi motivasi bagiku untuk tetap bertahan, berjuang, dan melangkah maju menggapai impian.

17.Semua pihak yang telah membantuku, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 09 November 2014

(13)

x

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

(14)

xi

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 22

B. Variabel Penelitian... 22

C. Definisi Operasional ... 23

D. Responden Penelitian... 23

E. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 26

G. Teknik Pengambilan Sampel ... 28

H. Instrumen Penelitian ... 28

I. Tata Cara Penelitian ... 28

1. Observasi Awal ... 28

2. Permohonan Izin dan Kerjasama ... 29

(15)

xii

4. Pencarian Responden ... 31

5. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 32

6. Pengukuran parameter antropometri, pengambilan darah, dan pengukuran kadar HbA1c ... 33

7. Analisis darah responden ... 34

8. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden ... 34

9. Pengolahan Data ... 34

J. Analisis Data Penelitian ... 34

K. Keterbatasan Penelitian ... 35

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Karakteristik Responden Penelitian ... 37

1. Usia ... 38

2. Body Mass Index (BMI) ... 40

3. HbA1c ... 42

B. Perbandingan Rerata HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 dan Body Mass Index < 25 kg/m2 ... 44

C. Korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c ... 47

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 59

(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Klasifikasi Body Mass Index Penduduk Asia Dewasa ... 12 Tabel II. Kategori Kadar HbA1c ... 18 Tabel III. Penelitian Korelasional antara BMI terhadap HbA1c... 20 Tabel IV. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi,

nilai p, dan arah korelasi ... 35 Tabel V. Profil Karakteristik Responden ... 37 Tabel VI. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok body mass index

≥ 25 kg/m2

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Pencarian Responden ... 25

Gambar 2. Bagan Kajian Penelitian Payung ... 27

Gambar 3. Grafik Distribusi Usia Responden... 38

Gambar 4. Grafik Distribusi Body Mass Index Responden ... 40

Gambar 5. Grafik Distribusi HbA1c Responden ... 42

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ethical Clearance... 60

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian... 61

Lampiran 3. Surat Izin Peminjaman Tempat Penelitian ... 62

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Responden Wanita ... 63

Lampiran 5. Leaflet Tampak Depan... 64

Lampiran 6. Leaflet Tampak Belakang ... 64

Lampiran 7. Informed Consent ... 65

Lampiran 8. Pedoman Wawancara ... 66

Lampiran 9. Form Pengukuran Antropometri ... 67

Lampiran 10. Sertifikat Peneraan Timbangan Badan ... 68

Lampiran 11. Serifikat Peneraan Pengukur Tinggi Badan... 69

Lampiran 12. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 70

Lampiran 13. SOP Pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan ... 71

Lampiran 14. Deskriptif dan Uji Normalitas Usia Responden Wanita ... 72

Lampiran 15. Deskriptif dan Uji Normalitas Body Mass Index ... 73

Lampiran 16. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c ... 74

Lampiran 17. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c Pada Kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 dan < 25 kg/m2 ... 75

1. Deskriptif dan Uji Normalitas HbA1c Pada Kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 ... 75

(19)

xvi

Lampiran 18. Uji Komparatif antara HbA1c pada Kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 dan < 25 kg/m2 ... 77 Lampiran 19. Uji Korelasi Pearson antara Body Mass Index dengan

(20)

xvii INTISARI

Metode antropometri merupakan pengukuran yang mudah, murah, serta diperlukan untuk pemeriksaan klinik dan epidemiologi secara rutin, yang dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan status nutrisi seseorang. Salah satu pengukuran antropometri adalah pengukuran Body Mass Index (BMI) yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya obesitas. Obesitas dapat meningkatkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin dapat menyebabkan Diabetes Melitus tipe 2. HbA1c digunakan sebagai deteksi dini adanya risiko penyakit Diabetes Melitus tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi BMI terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara non-random purposive sampling. Jumlah responden yang digunakan sebanyak 52 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk, uji komparatif Mann-Whitney, serta uji korelasi Pearson dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan profil karakteristik rerata usia responden 44,08±3,14; rerata BMI responden 25,31±3,29; serta rerata HbA1c responden 5,52±0,47. Terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan sangat lemah dengan arah korelasi negatif antara BMI terhadap HbA1c (r= -0,039 ; p=0,781) pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(21)

xviii ABSTRACT

Anthropometric method is easy measurement, inexpensive, and it is required for clinical and epidemiological examination regularly, which can be used as an indicator of a person's health and nutritional status. One of the anthropometric measurements is Body Mass Index (BMI) which can be used to detect the presence of obesity. Obesity can increase the risk of insulin resistance. Insulin resistance can lead to type 2 diabetes mellitus. HbA1c is used as an early detection of the risk of type 2 Diabetes Mellitus. This study aimed to determine the correlation of BMI on HbA1c in healthy adult women staff at Sanata Dharma University in Yogyakarta .

This research includes observational analytic cross-sectional design. Sampling was done by a non-random purposive sampling. The number of respondents who used a total of 52 respondents who meet the inclusion and exclusion criteria. The research data were analyzed using the Kolmogorov-Smirnov and the Shapiro-Wilk normality test, Mann-Whitney comparative test, and Pearson correlation test with a level of 95 %.

The result shows the characteristic profile of age 44,08 ± 3,14; BMI 25,31 ± 3,29; and HbA1c 5,52 ± 0,47. There is no significant correlation, with the direction of measuring very weak negative correlation between BMI on HbA1c (r = -0,039 ; p=0,781) in healthy adult women staff at Sanata Dharma University in Yogyakarta.

(22)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Dewasa ini, masalah mengenai penyakit diabetes melitus yang merupakan penyakit degeneratif menjadi hal yang harus diwaspadai oleh masyarakat. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit yang mengakibatkan tidak seimbangnya kemampuan tubuh menggunakan makanan secara efisien yang disebabkan oleh pankreas gagal memproduksi insulin atau terjadi misfungsi tubuh yang tidak bisa menggunakan insulin secara tepat (D’Adamo,2008). Jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 8,4 juta jiwa dan diperkirakan mencapai 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, angka prevalensi penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 5,7% dari jumlah penduduk Indonesia . Penyakit DM dibagi menjadi 2 jenis yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang termasuk dalam kategori

(23)

dikatakan mengalami kegemukan bila nilai BodyMass Index (BMI) 25,00 – 29,99 kg/m2 serta dikatakan obesitas bila nilai BMI ≥ 30,00 kg/m2 (WHO,2006).

Wanita lebih berisiko mengidap diabetes melitus dibandingkan pria karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome) dan pasca-menopouse membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut, sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus (Irawan,2010).

Middle adulthood merupakan suatu periode transisi antara usia dewasa dini dengan usia lanjut yang berusia 40-60 tahun (Santrock, 2004). Pada periode ini mulai terjadi penurunan keterampilan fisik serta penurunan fungsi organ (Papalia, Olds, and Feldman, 2008). Berdasarkan penelitian Kanniyappan, Kalidhas, and Aruna (2011), yang melibatkan responden pria dan wanita berusia 20-59 tahun, menunjukkan bahwa pada kelompok responden usia 40-59 tahun memiliki faktor risiko yang lebih tinggi menderita hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin, dan sindrom metabolik daripada kelompok usia 20-39 tahun.

(24)

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan upaya pencegahan dan deteksi dini terhadap risiko munculnya penyakit diabetes melitus tipe 2. Salah satu cara paling sederhana, murah, dan mudah diaplikasikan adalah pengukuran antropometri. Pengukuran antropometri adalah pengukuran secara sederhana dan cepat pada tubuh yang dapat digunakan untuk menilai status gizi seseorang. Pengukuran ini meliputi pengukuran lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang panggul, skinfold thickness, dan body mass index (BMI). Antropometri sendiri sering digunakan dalam praktik klinis karena metode ini tergolong murah dan mudah dalam pelaksanaannya (Indriati, 2010; Haryono dan Prastowo, 2009; Preedy, 2012).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention of United States

(25)

diharapkan mampu membantu masyarakat dalam memprediksi risiko diabetes melitus tipe 2 dengan melakukan pengukuran body mass index (BMI).

1. Perumusan Masalah

Permasalahan penelitian ini adalah : Apakah terdapat korelasi yang bermakna antara body mass index (BMI) dengan HbA1c ?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pencarian informasi terkait penelitian mengenai korelasi body mass index (BMI) terhadap HbA1c, dapat dinyatakan belum pernah dilakukan penelitian ini sebelumnya, namun terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan antropometri, kadar glukosa darah, serta penyakit diabetes melitus. Penelitian – penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini meliputi :

a. “Correlation between body mass index and blood glucose levels among

some Nigerian undergraduates” (Innocent, God, Sandra, and Josiah,

2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat korelasi yang bermakna tetapi lemah antara BMI dan kadar glukosa darah pada responden laki-laki (r=0,43; n=151; p≤0,05) sedangkan pada responden perempuan

(26)

puasa sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan parameter kadar HbA1c.

b. “Association between Obesity and Impaired Glucose Tolerance (IGT) in New Providence Adolescents as Demonstrated by the HbA1c Test

(Rivers, Hanna-Mahase, Frankson, Smith, and Peter, 2013).

Hasil penelitian ini adalah terdapat korelasi yang bermakna antara IGT dan obesitas pada remaja Bahama (p<0,005). Analisis kovarians dengan post hoc menunjukkan bahwa responden laki-laki dan perempuan yang masuk dalam kategori obesitas, masing-masing 25,54 dan 22,96 kali lebih besar kemungkinan mengalami IGT daripada responden yang nilai BMI nya masuk dalam kategori normal. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah responden yang diteliti adalah responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berusia 13-19 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang, responden yang diteliti merupakan wanita dewasa berusia 40-50 tahun.

c. “Diabetes mellitus defined by hemoglobin A1c value: Risk

characterization for incidence among Japanese subjects in the JPHC

Diabetes Study” (Kato, Takahashi, Matsushita, Mizoue, Inoue, Kadowaki,

et al., 2011).

Pada penelitian ini melibatkan 9223 responden di Jepang. Selama periode

follow up 5 tahun, ditemukan 518 kasus diabetes dengan 310 kasus yang didiagnosa dengan HbA1c. Khusus pada responden wanita dengan nilai

(27)

menderita diabetes melitus daripada wanita dengan nilai body mass index

< 25 kg/m2 berdasarkan hasil tes HbA1c. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah penelitian tersebut merupakan penelitian cohort dengan responden pria dan wanita sedangkan pada penelitian sekarang merupakan penelitian cross sectional dengan responden wanita.

d. “Correlation among BMI, fasting plasma glucose, and HbA1c levels in subjects with glycemic anomalies visiting Diabetic Clinics of Lahore”

(Farasat, Cheema, and Khan, 2009).

(28)

e. “The Relation of Body Fat Distribution and Body Mass with Haemoglobin A1c, Blood Preassure and Blood Lipids in Urbans Japanese Men” (Iso,

Kiyama, Naito, Sato, Kitamura, Iida, et al., 1991).

Hasil penelitian ini adalah terdapat korelasi yang bermakna antara body fat distribution dengan A1c (p=0,02) serta tidak terdapat korelasi yang bermakna antara body mass index dengan A1c (p=0,32). Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah pada penelitian tersebut responden yang diteliti merupakan pria berusia 40-59 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang, responden yang diteliti merupakan wanita dewasa berusia 40-50 tahun.

f. “Hubungan Nilai Antropometri dengan Kadar Glukosa Darah” (Lipoeto, Yerizel, Edward, dan Widuri, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah penderita obesitas berdasarkan

(29)

misalnya diabetes melitus dan hipertensi, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan responden wanita dewasa sehat berusia 40 sampai 50 tahun. Pada penelitian tersebut menggunakan parameter glukosa darah puasa sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan parameter HbA1c.

g. “Hubungan Overweight dengan Peningkatan Kadar Gula Darah pada Pedagang Pusat Pasar Medan” (Theresia, 2012).

Hasil penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna antara

overweight dengan peningkatan kadar glukosa darah (p=0,99). Kesimpulan dari penelitian ini ialah peningkatan kadar glukosa darah tidak dipengaruhi oleh kelebihan berat badan (overweight) berdasarkan nilai indeks massa tubuh. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah parameter yang digunakan kadar glukosa darah puasa sewaktu, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan parameter HbA1c. Selain itu, responden penelitian pada penelitian tersebut berusia 20-59 tahun sedangkan pada penelitian sekarang, responden penelitian berusia 40-50 tahun.

h. “Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) Dengan Kadar Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Rawat Jalan Di RS Tugurejo Semarang” (Adnan, Mulyati, dan Isworo, 2013).

Hasil penelitian ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagian besar pada

nilai 25 – 29,9 yaitu sebanyak 19 orang (51,4%). Kadar glukosa darah

(30)

Terdapat korelasi antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kadar glukosa darah

sewaktu penderita DM tipe 2 (p=0,000). Perbedaan penelitian tersebut

dengan penelitian sekarang adalah responden yang diteliti berjenis kelamin pria dan wanita berusia lebih dari 30 tahun dan mengidap diabetes melitus tipe 2 tanpa disertai komplikasi serta parameter yang digunakan adalah kadar glukosa darah sewaktu sedangkan pada penelitian sekarang, responden yang diteliti adalah wanita dewasa yang sehat berusia 40-50 tahun dan parameter yang digunakan adalah HbA1c.

i. “Korelasi Abdominal Skinfold Thickness dan Body Mass Index Terhadap Kadar Glukosa Darah Puasa Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD Kabupaten Temanggung” (Ludji, 2014).

Hasil penelitian ini adalah terdapat korelasi tidak bermakna abdominal skinfold thickness terhadap kadar glukosa darah puasa pada responden pria (p=0,330; 0,160) dan korelasi bermakna pada wanita (p=0,002; r=-0,190). Terdapat korelasi tidak bermakna body mass index terhadap kadar glukosa darah puasa pada responden pria (p=0,248; r= -0,190) dan responden wanita (p=0,957; r=0,007) di RSUD Kabupaten Temanggung. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah pada penelitian sekarang menggunakan parameter HbA1c.

j. “Korelasi Body Mass Index (BMI) dan Abdominal Skinfold Thickness

terhadap kadar glukosa darah puasa” (Pika,2011).

(31)

skinfold thickness dengan kadar glukosa darah puasa (p=0,077) pada penelitian ini. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian sekarang adalah parameter yang digunakan kadar glukosa darah puasa, sedangkan pada penelitian sekarang menggunakan parameter HbA1c yang dapat mengukur kadar glukosa darah 2 sampai 3 bulan terakhir.

3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan kesehatan masyarakat mengenai korelasi antara body mass index (BMI) terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya korelasi antara body mass index (BMI) terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengukur body mass index staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Untuk mengukur HbA1c staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(32)

11 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antropometri

Antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia misalnya pada bagian tulang, otot, dan jaringan adiposa (lemak). Kata antropometri berasal dari bahasa Yunani yaitu “anthropo” yang berarti manusia dan “metron” yang

berarti pengukuran. Bidang antropometri meliputi berbagai pengukuran bagian tubuh manusia, misalnya pengukuran berat badan, tinggi badan, tebal lipatan kulit, lingkar berbagai bagian tubuh (sirkumferensia), panjang tungkai, bahu, dan pergelangan tangan. Pengukuran ini sangat banyak dilakukan karena murah, tanpa harus tes laboratorium, dan mudah dilakukan bagi masyarakat awam. Antropometri dapat berhubungan dengan beberapa gangguan kesehatan yang sering menyerang masyarakat khususnya orang dewasa, misalnya malnutrisi, gangguan kognitif, penurunan kerja fungsional, diabetes melitus, serta penyakit kardiovaskular (Gibney, Margetts, Kearney, and Arab, 2009 ; Preedy, 2012 ; Ulijaszek, 2005).

(33)

1. Body Mass Index (BMI)

Body Mass Index atau indeks massa tubuh adalah salah satu parameter sederhana dari pemeriksaan antropometri tubuh untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan dengan menggunakan perhitungan dari pengukuran tinggi badan dan berat badan. Nilai BMI seseorang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berat badan dalam satuan kilogram (kg) dibagi dengan nilai kuadrat dari tinggi badan dalam satuan meter per segi (m2) (Chehrei, Sadrnia, Keshteli, Daneshmand, and Rezaei, 2007). Rumus perhitungan BMI sebagai berikut :

BMI = BERAT BADAN (Kg) / TINGGI BADAN2(m2)

BMI merupakan salah satu parameter yang paling banyak digunakan dalam menentukan kriteria proporsi tubuh seseorang dibandingkan dengan tabel tradisional yang membandingkan langsung tinggi badan / berat badan. Salah satu alasannya ialah BMI berkorelasi kuat dengan jumlah total lemak tubuh pada manusia dimana dapat menggambarkan status berat badan seseorang. BMI juga dapat digunakan untuk menggambarkan secara kasar komposisi tubuh, meskipun tidak disertai nilai kontribusi berat dari lemak dan otot (Gibson, 2005; Fink, Burgoon, and Mikesky, 2006).

Tabel I. Klasifikasi Body Mass Index Penduduk Asia Dewasa (WHO, 2006)

BMI (kg/m2) Kategori

< 18,5 Rendah

18,5 – 24,99 Normal

25.00-29.99 Overweight / Pre Obesitas 30.00-34.99 Obesitas kelas 1 35.00-39.99 Obesitas kelas 2

(34)

B. Obesitas

Obesitas merupakan suatu keadaan dari akumulasi lemak tubuh yang berlebihan di jaringan lemak tubuh dan dapat menimbulkan beberapa penyakit. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan, sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan. Makanan yang berlebihan, baik lemak, karbohidrat, serta protein hampir seluruhnya disimpan sebagai lemak di jaringan adiposa untuk dipakai kemudian sebagai energi. Penanda kandungan lemak tubuh yang biasa digunakan adalah body mass index.

Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasa terjadi secara bertahap yang diawali dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Obesitas sering menimbulkan komplikasi berupa kelainan jantung, hipertensi, diabetes melitus, gangguan pernafasan dan pada usia lanjut sering menyebabkan kelainan sendi (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008 ; Guyton

and Hall, 2006 ; Hermawan, 1991 ; Wagesetiawan, 2007).

Menurut D’adamo (2008) orang yang mengalami kelebihan berat badan,

(35)

pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi insulin yaitu leptin menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan glukosa, sehingga mengalami peningkatan kadar glukosa darah.

Beberapa pengaruh keadaan obesitas terhadap sensitivitas insulin dimana sebagai penanda terjadinya diabetes melitus tipe 2, meliputi :

1. Pada kondisi obesitas terjadi penurunan produksi adiponektin dan adipokin. Adiponektin berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap insulin dengan meningkatkan efek insulin. Jika produksi adiponektin dan adipokin menurun maka insulin menjadi kurang sensitif untuk berikatan dengan reseptor insulin akibatnya efek insulin menjadi lemah.

2. Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan jumlah jaringan lemak. Jaringan lemak sendiri berperan dalam menghasilkan hormon resistin yang dapat memicu terjadinya resistensi insulin dengan mengganggu kerja insulin. 3. Pada kondisi obesitas juga terjadi peningkatan produksi asam-asam lemak

bebas akibat meningkatnya jumlah jaringan lemak. Asam-asam lemak tersebut lambat laun dapat menumpuk secara abnormal pada otot sehingga hal tersebut dapat menggangu kerja dari insulin (Sherwood, 2011).

C. Resistensi Insulin

(36)

insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Penurunan jumlah reseptor terjadi karena peningkatan konsentrasi insulin yang tinggi menyebabkan reseptor insulin melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desentisasi reseptor insulin pada tahap postreceptor, yaitu penurunan aktivitas tirosin kinase, translikasi glucose transporter dan aktivasi

glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan retensi insulin. Pada retensi insulin , terjadi peningkatan produksi insulin dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik). Pada tahap ini, sel β pankreas mengalami adaptasi diri, sehingga responnya untuk

mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008; Mitchell, et al., 2009).

Akibat reseptor pada sel tidak merespon dengan baik terhadap insulin, sehingga menyebabkan sel tidak dapat dengan mudah menyerap glukosa dari aliran darah. Hal tersebut mengakibatkan kadar glukosa darah semakin meningkat, hal ini dapat memicu terjadinya diabetes melitus tipe 2 (National Institutes of Health, 2014).

D. Diabetes Melitus

(37)

kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurangnya respon sel-sel tubuh terhadap insulin. Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya akan merusak sistem tubuh khususnya pembuluh darah dan saraf. Gejala yang sering muncul pada penderita diabetes melitus adalah poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (merasakan haus yang berlebihan), dan polifagia (merasakan lapar yang berlebihan). Kriteria diagnostik untuk diabetes melitus mencakup (1) glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL, (2) gejala diabetes plus glukosa plasma

sewaktu ≥ 200 mg/dL, atau (3) kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL setelah

pemberian 75 g glukosa per oral (uji toleransi glukosa oral) (American Diabetes Association, 2010 ; Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Hiperglikemia pada semua kasus disebabkan oleh defisiensi fungsional kerja insulin. Defisiensi efek insulin dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas dan penurunan respon terhadap insulin oleh jaringan

sasaran (resistensi insulin). Kontribusi relatif masing-masing faktor ini tidak saja membentuk dasar klasifikasi penyakit ini menjadi beberapa subtipe tetapi juga membantu menjelaskan gambaran klinis khas untuk setiap subtipe. Lebih dari 90% kasus diabetes melitus dianggap sebagai proses primer dan individu yang bersangkutan memiliki predisposisi genetik untuk mengalaminya, dan diabetes melitus diklasifikasikan sebagai tipe 1 dan tipe 2. (American Diabetes Association, 2010 ; McPhee and Ganong, 2011).

1. Diabetes Melitus (DM) tipe 2

(38)

terutama pada orang dewasa, meningkat prevalensinya seiring pertambahan usia. Tipe ini sering (80% kasus) berkaitan dengan obesitas, suatu faktor tambahan yang meningkatkan resistensi insulin (McPhee and Ganong, 2011).

Etiologi DM tipe 2 merupakan multi faktor. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan merupakan faktor yang sering menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas fisik. Pada penderita DM tipe 2 terutama pada tahap awal, umumnya kadar insulin di dalam darahnya cukup, disamping kadar glukosa darah yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan karena kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal untuk merespon insulin secara normal. Penderita DM tipe 2 juga mengalami gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Pada penderita DM tipe 2, glukosa sulit masuk ke dalam sel karena adanya resistensi insulin tersebut. Resistensi insulin juga dapat menyebabkan terganggunya proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005 ; Sugondo, 2006).

DM tipe 2 yang cenderung diderita oleh orang dewasa ini sangat berkorelasi dengan obesitas, aktifitas fisik, maupun riwayat keluarga yang memberikan sumbangan 90% terjadinya DM tipe 2. DM tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti penyakit kardiovaskuler,

peripheral vascular, ocular, neurologic, abnormalitas renal yang menyebabkan penyakit jantung, stroke, kebutaan, kerusakan saraf ginjal dan kematian (Ceriello

(39)

E. HbA1c

HbA1c atau disebut juga dengan hemoglobin A1c atau glikohemoglobin merupakan protein yang terbentuk atas reaksi antara glukosa dan hemoglobin dalam sel darah merah dan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi glukosa darah. HbA1c tidak dipengaruhi oleh perubahan sementara glukosa darah yang disebabkan oleh makanan dan lainnya. Proses glikosilasi hemoglobin terjadi melalui proses non-enzimatik dimana terjadi secara spontan tanpa bantuan enzim. Pada proses tersebut, gugus aldehida dari glukosa akan berikatan secara kovalen dengan gugus amino terminal-N protein (residu serin, treonin, dan asparagin) pada rantai β hemoglobin. Proses glikosilasi tersebut terjadi selama 120 hari (± 3 bulan)

dimana mengikuti usia dari sel darah merah, sehingga HbA1c dapat menjadi gambaran mengenai kadar glukosa darah selama ±3 bulan terakhir. Semakin tinggi nilai HbA1c berarti semakin tinggi pula kadar glukosa darah. (Acton, 2013 ; Marks, Marks, and Smith, 2010 ; Reinhold and Earl, 2014 ; Tandra, 2008).

Menurut Ginis, et al., (2012) pengukuran HbA1c dapat diandalkan dalam penggunaan untuk diagnosa Diabetes Melitus. HbA1c ini secara spesifik dapat digunakan untuk diagnosa Diabetes Melitus tipe 2 pada individu yang memiliki risiko tinggi menderita penyakit tersebut. Pengukuran HbA1c sendiri memiliki akurasi dan spesifisitas yang relatif tinggi.

(40)

F. Landasan Teori

Antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia misalnya pada bagian tulang, otot, dan jaringan adiposa (lemak). Pengukuran ini sangat banyak dilakukan karena murah, tanpa harus tes laboratorium, dan mudah dilakukan bagi orang awam. Salah satu pengukuran antropometri adalah pengukuran body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh, untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Seseorang dengan nilai BMI ≥ 25 kg/m2 termasuk dalam kategori kelebihan berat badan. Seseorang yang mengalami obesitas, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat, leptin akan menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan glukosa, sehingga mengalami peningkatan kadar glukosa darah (Chehrei, Sadrnia, Keshteli, Daneshmand, and Rezaei, 2007 ; D’Adamo, 2008 ; Preedy, 2012).

Diabetes melitus adalah suatu penyakit heterogen yang didefinisikan berdasarkan adanya hiperglikemia. Hiperglikemia pada semua kasus disebabkan oleh defisiensi fungsional kerja insulin. Defisiensi efek insulin dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas serta penurunan respon terhadap insulin oleh jaringan sasaran (resistensi insulin). Pada penderita diabetes melitus tipe 2, glukosa sulit masuk ke dalam sel karena adanya resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap hormon insulin. HbA1c (glycosylated hemoglobin atau

(41)

pula kadar glukosa darah, yang berlangsung selama usia sel darah merah, yaitu sekitar 120 hari (American Diabetes Association, 2010 ; McPhee and Ganong, 2011 ; Mitchell, et al., 2009 ; National Institutes of Health, 2011).

Tabel III. Penelitian Korelasional antara BMI terhadap HbA1c

(42)

G. Hipotesis

(43)

22 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian berupa cross sectional/potong lintang. Rancangan penelitian

cross-sectional merupakan rancangan penelitian yang mempelajari korelasi antara faktor risiko dan faktor efek. Analisis korelasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara Body Mass Index (BMI) sebagai faktor risiko, terhadap HbA1c sebagai faktor efek pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Notoadmodjo, 2012).

Pada rancangan penelitian potong lintang, peneliti hanya melakukan observasi dan variabel pada satu waktu tertentu, artinya, subyek penelitian hanya diteliti satu kali saja tanpa adanya tindak lanjut atau pengulangan pengukuran. Rancangan penelitian ini cocok untuk penelitian klinis, baik deskriptif maupun analitik (Saryono, 2011). Data penelitian yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk menganalisis korelasi antara faktor risiko dengan faktor efek.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Body Mass Index

2. Variabel tergantung : HbA1c 3. Variabel pengacau :

a. Terkendali. : usia dan jenis kelamin

(44)

C. Definisi Operasional

1. Responden penelitian adalah staf wanita dewasa sehat di kampus I, II, dan III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang masih aktif dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.

2. Karakteristik penelitian meliputi pengukuran antropometri dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan serta yang akan dihitung adalah BMI. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dianalisis adalah kadar HbA1c.

3. Pengukuran BMI adalah perhitungan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter persegi (m2).

4. Kadar HbA1c diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang dinyatakan dalam persen (%).

5. Kriteria kadar HbA1c berdasarkan American Diabetes Association (2014). 6. Kriteria Body Mass Index berdasarkan World Health Organization (2006).

D. Responden Penelitian

(45)
(46)

responden wanita yang terdata sebanyak 32 orang, namun dari jumlah tersebut, terdapat empat orang yang tidak hadir. Pengambilan data ketiga dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2014 di Kampus I dan II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Jumlah responden yang mengikuti pengambilan data yaitu sebanyak tiga orang. Pengambilan data keempat dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2014 di Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Jumlah responden yang mengikuti pengambilan data yaitu sebanyak tiga orang. Pengambilan data kelima dilaksanakan pada tanggal 9 Oktober 2014 di Kampus I dan II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Jumlah responden yang mengikuti pengambilan data yaitu sebanyak tiga orang.

Gambar 1. Skema Pencarian Responden

Dalam penelitian korelasi diperlukan minimal 30 responden (Spiegel and

(47)

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kampus I, II, dan III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengambilan data di Kampus I Universitas Sanata Dharma dilaksanakan pada tanggal 26 September 2014, 2 Oktober 2014, dan 9 Oktober 2014. Pengambilan data di Kampus II Universitas Sanata Dharma dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2014 dan tanggal 9 Oktober 2014. Pengambilan data di Kampus III Universitas Sanata Dharma dilaksanakan pada tanggal 25 September 2014 dan 3 Oktober 2014.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian payung Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang berjudul “Korelasi Pengukuran Antropometri

terhadap Rasio Lipid dan HBA1c pada Staf Pria dan Wanita Dewasa Sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta”, serta “Laju Filtrasi Glomerulus Pada Staf Pria dan Wanita Dewasa Sehat dengan Formula Cockroft-Gault, Modification of Diet in Renal Disease, dan Chronic Kidney Disease Epidemiology di Universitas Sanata Dharma”, dan telah memperoleh ijin dari Komisi Etik

(48)

orang dengan kajian yang berbeda-beda. Pada penelitian kali ini, peneliti hanya mengkaji korelasi Body Mass Index terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kajian yang diteliti dalam penelitian payung ini sebagai berikut :

(49)

G. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara non-random dengan jenis purposive sampling. Teknik non-random sampling

merupakan cara pengambilan sampel dimana tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel, serta terdapat kriteria inklusi dan eksklusi dalam penentuan responden. Jenis purposive sampling merupakan teknik yang berdasarkan pada ciri/sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri/sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya sehingga ciri/sifat yang spesifik dalam populasi tersebut digunakan sebagai kunci untuk pengambilan sampel (Notoatmodjo,2012; Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

H. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa alat timbangan berat badan dengan merk Nagako® dan alat pengukur tinggi badan dengan merk

Height® dimana hasil dari pengukuran tersebut digunakan untuk menghitung

Body Mass Index. Pengukuran kadar HbA1c menggunakan Cobas C 581®.

I. Tata Cara Penelitian 1. Observasi Awal

(50)

dilakukan. Hasil dari observasi awal adalah dipilih Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta untuk menganalisis sampel darah responden karena laboratorium tersebut telah terakreditasi.

2. Permohonan izin dan kerjasama

Permohonan izin untuk melakukan penelitian dengan mengajukan ethical clearance ditujukan kepada Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Permohonan izin ini dilakukan untuk memenuhi etika penelitian dengan sampel darah manusia serta agar hasil penelitian dapat dipublikasikan. Ethical clearance diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tanggal 14 Agustus 2014 dengan nomor Ref: KE/FK/896/EC.

(51)

yang akan digunakan dalam penelitian. Izin dari kepala bagian Rumah Tangga diberikan pada tanggal 3 September 2014.

Permohonan kerjasama untuk pengambilan dan analisis darah, diajukan ke bagian Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Permohonan kerjasama selanjutnya ditujukan kepada calon responden berupa

informed consent, sebagai bukti dari kesepakatan antara peneliti dengan calon responden mengenai kesediaan calon responden untuk dapat mengikuti penelitian ini.

3. Pembuatan leaflet dan informed consent

Pembuatan leaflet bertujuan untuk membantu calon responden dalam memahami gambaran mengenai penelitian ini. Leaflet di dalam penelitian ini berjudul “Korelasi Antropometri dan Pengukuran Laju Filtrasi Glomerulus” yang disusun dengan ukuran A4. Konten/isi dari leaflet ini antara lain berisi tujuan penelitian; manfaat penelitian yang diterima responden; pengukuran antropometri yang meliputi pengukuran lingkar pinggang, rasio lingkar panggul-panggul, body fat percentage, dan body mass index; penjelasan singkat mengenai pengukuran laju filtrasi glomerulus; serta pemeriksaan laboratorium yang meliputi, kadar LDL, HDL, kolesterol total, HbA1c, dan serum kreatinin.

(52)

data pada informed consent berupa nama lengkap, usia, tanggal lahir, alamat, serta nomor telepon atau handphone yang dapat dihubungi setelah itu calon responden menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan dan kerjasama.

4. Pencarian responden

Pencarian responden dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma. Izin tersebut diteruskan kepada Kepala Bagian Personalia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk meminta informasi mengenai data staf yang dibutuhkan peneliti berupa jumlah dan informasi lengkap (nama lengkap, TTL, Jenis kelamin, pekerjaan/bagian) staf administratif dan edukatif wanita di Kampus I, II, dan III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Data yang telah diperoleh kemudian disortir menurut usia yaitu antara usia 40-50 tahun (kriteria inklusi) untuk menentukan jumlah populasi/sampel yang akan digunakan sebagai responden penelitian.

Setelah memperoleh jumlah sampel yang diperlukan proses selanjutnya adalah pencarian responden. Peneliti mencoba untuk mencari seluruh staf tetapi tidak semua dapat ditemui dengan beberapa alasan antara lain sedang cuti serta sedang melanjutkan studi. Pada calon responden yang dapat ditemui, calon responden diberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian, manfaat yang diperoleh dari penelitian, gambaran penelitian yang akan dilakukan, penjelasan mengenai kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan peneliti, serta menanyakan kesediaan calon responden untuk terlibat dalam penelitian ini .

(53)

yang selanjutnya diisi dan ditandatangani oleh responden sebagai bukti kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini. Responden kemudian diberi informasi mengenai tempat dan waktu pelaksanaan penelitian. Responden akan dihubungi melalui SMS atau telepon sehari sebelum pelaksanaan penelitian untuk mengingatkan responden bahwa akan diadakan pengambilan darah dan pengukuran antropometri pada jam dan tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagian calon responden tidak dapat terlibat dalam penelitian karena beberapa alasan, meliputi : sedang hamil, sudah menopause, menggunakan kontrasepsi selain IUD, menderita penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, takut terhadap jarum suntik, serta berhalangan hadir saat pengambilan darah.

5. Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian

Instrumen yang valid adalah instrumen yang digunakan dapat untuk mengukur variabel yang seharusnya (variabel yang diinginkan). Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang jika digunakan beberapa kali akan menghasilkan data yang sama. Validitas menunjukkan keakuratan dari instrumen penelitian untuk dapat mengukur sesuatu yang hendak diukur, sedangkan reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran suatu instrumen selalu konsisten dalam pengukuran yang dilakukan berulang kali (Notoatmodjo, 2012; Weiner, 2007).

(54)

(Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik, 2011). Instrumen kesehatan yang divalidasi adalah alat timbangan berat badan dengan merk Nagako®, alat pengukur tinggi badan dengan merk Height®, serta alat Cobas C 581®.

Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan pada alat timbangan berat badan serta alat pengukur tinggi badan dengan replikasi pengukuran sebanyak lima kali. Nilai CV pada alat timbangan berat badan sebesar 0,455%. Nilai CV pada alat pengukur tinggi badan sebesar 0,173%. Dari nilai CV tersebut, dapat dikatakan bahwa alat timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan tersebut valid dan reliabel karena memiliki nilai CV sebesar ≤ 5%. Alat timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan yang digunakan dalam penelitian telah dikalibrasi oleh Balai Metrologi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 6 Agustus 2014 dengan nomor sertifikat peneraan 2566/TC-383/VIII/2014 untuk alat timbangan berat badan dan 2570/UP-319/VIII/2014 untuk alat pengukur tinggi badan. Alat Cobas C 581® yang digunakan untuk mengukur kadar HbA1c di dalam darah, telah divalidasi oleh pihak Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

6. Pengukuran parameter antropometri, pengambilan darah, dan pengukuran kadar HbA1c

(55)

dilakukan oleh peneliti dimana setelah memperoleh data berat badan dan tinggi badan, selanjutnya dihitung nilai body mass index dengan menggunakan rumus. 7. Analisis darah responden

Darah responden yang telah diambil kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Bethesda untuk dianalisis kadar HbA1c.

8. Penyerahan hasil pemeriksaan kepada responden

Hasil pengukuran antropometri serta hasil analisis sampel darah dari Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Bethesda kemudian diberikan kepada responden. Dalam hal ini, peneliti memberikan penjelasan mengenai hasil pengukuran antropometri dan analisis darah responden disertai dengan memberikan saran mengenai perbaikan/perubahan gaya hidup pada responden. 9. Pengolahan data

Pertama kali yang dilakukan adalah menyusun data yang sejenis untuk kemudian digolongkan ke dalam kategori yang telah ditetapkan, yaitu BMI, HbA1c, usia. Proses terakhir adalah dilakukan analisis data.

J. Analisis Data Penelitian

(56)

Kemudian, setelah uji normalitas, langkah selanjutnya adalah dilakukan uji komparatif. Pada uji komparatif yang pertama kali dilakukan adalah uji normalitas pada dua kelompok data yaitu HbA1c dengan body mass index ≥ 25 kg/m2 dan < 25 kg/m2. Terdapat salah satu kelompok data yang tidak terdistribusi normal, maka uji komparatif yang digunakan adalah Mann-Whitney.Pada uji komparatif, kelompok data dikatakan tidak berbeda bermakna jika nilai p > 0,05. Tahap terakhir analisis data adalah uji korelasi, pada penelitian ini data BMI dan HbA1c terdistribusi normal, sehingga digunakan uji Pearson. Suatu korelasi dianggap bermakna jika nilai p < 0,05 (Ahmad, 2011 ; Dahlan, 2009).

Tabel IV. Interpretasi Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan Kekuatan Korelasi, Nilai p, dan Arah Korelasi (Dahlan, 2009)

(57)
(58)

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penelitian

Pada penelitian ini, responden penelitian merupakan staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang berusia 40-50 tahun. Terdapat 52 orang yang bersedia terlibat dalam penelitian dimana responden tersebut telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Jumlah responden pada penelitian ini telah memenuhi kebutuhan sampel dimana pada penelitian korelasional, jumlah minimal sampel yang digunakan adalah 30 sampel (Lodico, Spaulding, and Voegtle, 2010).

Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik data responden dari hasil penelitian. Profil karakteristik yang dianalisis meliputi usia,

body mass index, serta HbA1c. Data yang terdistribusi normal maka profil karakteristik data yang disajikan dalam mean ± SD, sedangkan jika data tidak terdistribusi normal maka profil karakteristik data yang disajikan adalah median (minimum- maksimum). Uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov

karena jumlah data penelitian adalah lebih dari 50 (Dahlan, 2009).

Tabel V. Profil Karakteristik Responden

* Nilai signifikansi > 0,05 berarti terdistribusi normal (mean±SD).

(59)

1. Usia

Responden wanita pada penelitian ini berusia 40-50 tahun. Uji normalitas usia responden menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan taraf kepercayaan 95% menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,005 yang menunjukkan bahwa data tidak terdistribusi normal. Ukuran pemusatan usia dinyatakan dalam median yaitu 44,00 serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam minimum-maksimum yaitu 40,00-50,00. Distribusi usia responden dapat dilihat pada Gambar 3.

Usia

Gambar 3. Grafik distribusi usia responden

(60)

kalangan ahli perkembangan rentang hidup. Pada periode middle adulthood mulai terjadi penurunan keterampilan fisik serta penurunan fungsi organ (Lachman, 2001 ; Papalia, Olds, and Feldman, 2008 ; Santrock, 2004).

Berdasarkan penelitian Kanniyappan, Kalidhas, and Aruna (2011), yang melibatkan responden pria dan wanita, berusia 20-59 tahun, menunjukkan bahwa kelompok usia 40-59 tahun memiliki faktor risiko yang lebih tinggi menderita hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin serta sindrom metabolik daripada kelompok usia 20-39 tahun. Penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian dari Choi and Shi (2001), menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus meningkat seiring dengan pertambahan usia. Penelitian ini juga menemukan bahwa di Kanada sendiri proporsi pria yang menderita diabetes melitus lebih besar daripada wanita (54% pria dan 46% wanita) tetapi di Amerika Serikat, proporsi wanita yang menderita diabetes mellitus lebih besar daripada pria (42% pria dan 58% wanita). Kedua hasil penelitian tersebut mendukung penelitian sekarang dimana semakin bertambahnya usia, kemungkinan terjadinya diabetes melitus tipe 2 juga semakin tinggi, khususnya saat seseorang sudah memasuki periode middle adulthood karena pada periode tersebut seseorang mulai mengalami penurunan keterampilan fisik dan penurunan fungsi organ.

(61)

gestasional memiliki risiko lebih besar menderita diabetes melitus tipe 2 di kemudian hari daripada wanita yang tidak pernah mengalami diabetes gestasional. Secara umum, jumlah wanita yang menderita diabetes melitus tipe 2 jauh lebih banyak dibandingkan pria pada rentang usia 20-64 tahun.

2. Body mass index (BMI)

Nilai BMI diperoleh dari perhitungan terhadap hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan responden. Uji normalitas nilai BMI menggunakan

Kolmogorov-Smirnov dengan taraf kepercayaan 95% menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,200 yang menunjukkan bahwa data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan BMI dinyatakan dalam mean yaitu 25,31 (termasuk dalam kategori overweight) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi yaitu 3,29. Distribusi nilai BMI responden dapat dilihat pada Gambar 4.

(62)

Menurut Centers for Disease Control and Prevention of United States

(2011), nilai BMI berkolerasi dengan lemak tubuh dan risiko beberapa penyakit di kemudian hari. Seseorang yang memiliki nilai BMI yang tinggi (≥ 25 kg/m2) lebih berisiko mengalami obesitas dimana berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan daripada seseorang dengan nilai BMI normal.

BMI tetap memiliki beberapa kekurangan, misalnya : BMI hanya sebagai indikator perkiraan overweight dan obesitas ; beberapa faktor seperti massa otot, asal etnis atau ras, serta faktor pubertas dapat mengubah hubungan antara BMI dengan overweight dan obesitas ; BMI tidak dapat menggambarkan distribusi lemak tubuh dimana hal tersebut sangat dibutuhkan ketika mencari perbandingan antara kelompok etnis atau ras tertentu (National Obesity Observatory, 2009). Menurut Kumar (2013), persentase penderita diabetes melitus tipe 2 dengan obesitas sentral lebih tinggi daripada obesitas general , hal ini menunjukkan bahwa deteksi dini dan pengendalian pada obesitas sentral lebih penting dilakukan daripada obesitas general dalam populasi Asia.

(63)

tipe 2 sebesar 11,5 % di Kolkata, persentase tersebut sangat dipengaruhi oleh riwayat penyakit keluarga, usia, serta obesitas sentral tetapi tidak memiliki pengaruh yang cukup besar dari BMI. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada BMI saat dibandingkan dengan kelompok normoglycaemic

dan diabetes melitus tipe 2. 3. HbA1c

Uji normalitas nilai HbA1c menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan taraf kepercayaan 95% menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,200 yang menunjukkan bahwa data terdistribusi normal. Ukuran pemusatan data HbA1c dinyatakan dalam mean yaitu 5,52 % (termasuk dalam kategori normal) serta ukuran penyebarannya dinyatakan dalam standar deviasi yaitu 0,47 namun terdapat beberapa responden yang memiliki nilai HbA1c melebihi nilai normal dan pada grafik distribusi HbA1c terdapat data yang terpisah dari data yang lain. Distribusi nilai HbA1c responden dapat dilihat pada Gambar 5.

(64)

Menurut National Institutes of Health (2011), tes HbA1c atau hemoglobin terglikasi merupakan tes sampel darah yang memberikan informasi mengenai rata-rata kadar glukosa darah seseorang selama 3 bulan terakhir. Tes HbA1c terkadang disebut tes A1c hemoglobin atau tes glikohemoglobin. Tes HbA1c menjadi tes utama yang digunakan untuk manajemen diabetes melitus atau penelitian mengenai diabetes melitus. Hasil tes HbA1c dinyatakan dalam persentase dimana semakin tinggi persentase HbA1c maka kadar glukosa darah seseorang semakin tinggi pula, nilai normal HbA1c adalah di bawah 5,7 %.

The International Expert Committee (2009) merekomendasikan tes HbA1c sebagai salah satu tes yang sangat membantu dalam mendiagnosa diabetes melitus tipe 2 dan pradiabetes, karena pada tes HbA1c tidak memerlukan puasa dan sampel darah dapat diambil setiap waktu. Kemudahan dalam tes HbA1c ini diharapkan lebih banyak orang yang melakukan tes HbA1c sehingga dapat terjadi penurunan jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdiagnosa. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng, Neugaard, Foulis,

and Conlin (2011) yang menyatakan bahwa HbA1c dapat membantu memprediksi risiko diabetes melitus tipe 2 di masa mendatang.

Penelitian lain terkait HbA1c juga dilakukan oleh Pradhan, Rifai, Buring,

(65)

melibatkan 295 responden dimana responden tersebut terbagi menjadi 4 kelompok sesuai diagnosa meliputi 120 responden normoglikemi, 44 responden diabetes melitus, 62 responden impaired fasting glucose, dan 69 responden impaired glucose tolerance menunjukkan bahwa HbA1c dapat digunakan untuk diagnosa diabetes melitus pada penduduk Turki. Penggunaan nilai cut-off untuk diagnosa diabetes melitus 6,1 %, HbA1c memiliki sensitivitas sebesar 81,8 % dan spesifisitas 80 %. Pada penelitian ini juga menunjukkan kadar glukosa darah puasa dan glukosa darah sewaktu berkorelasi positif sedang dengan kadar HbA1c (masing-masing, r = 0,47 ; p=0,001 dan r = 0,52 ; p=0,000).

B. Perbandingan Rerata Hba1c pada Kelompok Body Mass Index ≥ 25 kg/m2 dan Body Mass Index < 25 kg/m2

Tujuan dari uji komparatif atau perbandingan adalah untuk mengetahui perbandingan antara dua kelompok yaitu HbA1c pada kelompok BMI ≥ 25 kg/m2 dengan HbA1c pada kelompok BMI < 25 kg/m2. Pada penelitian ini, klasifikasi nilai BMIberdasarkan WHO (2006). Jumlah responden yang memiliki nilai BMI ≥ 25 kg/m2 sebanyak 28 responden, sedangkan jumlah responden yang memiliki

nilai BMI< 25 kg/m2 sebanyak 24 responden.

(66)

adalah Mann-Whitney karena terdapat satu kelompok yang tidak terdistribusi normal. Pada uji komparatif apabila nilai p > 0,05 maka menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna antara kedua kelompok data (Dahlan,2009). Berikut ini adalah hasil dari uji komparatif rerata HbA1c pada dua kelompok data:

Tabel VI. Hasil Perbandingan rerata HbA1c pada kelompok body mass index ≥ 25

kg/m2 dan < 25 kg/m2

* p>0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang tidak bermakna

Hasil uji komparatif pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara dua kelompok yaitu HbA1c pada kelompok BMI ≥ 25 kg/m2 dengan HbA1c pada kelompok BMI < 25 kg/m2, dapat dilihat pada nilai p = 0,941, selain itu dapat dilihat pula pada rata-rata kadar HbA1c tiap kelompok. Kedua rata-rata kadar HbA1c termasuk dalam kategori normal menurut American Diabetes Association (2014) sehingga hasil uji statistik menyatakan rata-rata kadar HbA1c pada kedua kelompok sama atau berbeda tidak bermakna.

(67)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bhale (2013) menyerupai hasil penelitian sekarang. Penelitian tersebut menunjukkan pada uji perbandingan antara kadar HbA1c pada kelompok responden obesitas (9,93 ± 2,02) dengan kelompok non obesitas (8,9 ± 1,53) terdapat perbedaan yang tidak bermakna (p=2,15). Penelitian yang dilakukan oleh Dofuor (2013) juga menyerupai hasil penelitian sekarang, dimana menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna (p=0,79) antara kadar HbA1c pada kelompok responden diabetes (6,58 ± 0,14) dengan kelompok responden non diabetes (5,36 ± 0,08).

Hasil penelitian sekarang tidak menyerupai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saikumar, Sudha, and Chandraselvi (2014), yang menunjukkan kadar glukosa darah pada kelompok responden yang menderita diabetes melitus tipe 2 (pria 144,6 ± 43,8 dan wanita 140,7 ± 41,4) lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol (pria 105,6 ± 22,5 dan wanita 91,4 ± 15,4) dimana secara statistik memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,000). Perbandingan nilai BMI pada kelompok responden yang menderita diabetes melitus tipe 2 (27 ± 4,4) lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol (27,6 ± 4,7) memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,02). Hasil penelitian Saikumar, Sudha, and

(68)

responden yang sehat tidak menimbulkan perbedaan rerata kadar HbA1c yang bermakna pada kedua kelompok responden pada penelitian sekarang, sedangkan pada penelitian lain dimana kedua kelompok tersebut adalah kelompok DM tipe 2 dan kelompok kontrol (non DM tipe 2) dapat menunjukkan perbedaan rerata kadar glukosa darah yang bermakna.

C. Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap HbA1c

(69)

Gambar 6. Diagram sebaran korelasi antara Body Mass Index dengan Kadar HbA1c

(70)

Hasil penelitian ini menyerupai penelitian yang dilakukan oleh Dofuor (2013), pada uji korelasi Pearson menunjukkan korelasi negatif sangat lemah (r= - 0,1112) serta terdapat korelasi yang tidak bermakna (p=0,7053) antara nilai BMI terhadap kadar HbA1c. Penelitian lain yang menyerupai penelitian sekarang, dilakukan oleh Theresia (2012), pada uji korelasi Pearson, menunjukkan terdapat korelasi yang tidak bermakna antara overweight berdasarkan nilai BMI dengan peningkatan kadar glukosa darah (p=0,99 ; r=0,001).

Tabel VII. Korelasi Body Mass Index (BMI) terhadap kadar HbA1c

Variabel Korelasi (r) Signifikansi (p)

BMI -0,039 0,781*

*p>0,05 = korelasi tidak bermakna

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Martins, Jones, Cumming, Silva, Teixeira, and Verissimo (2012) tidak menyerupai dengan hasil penelitian sekarang, dimana menunjukkan terdapat korelasi yang bermakna namun lemah antara kadar HbA1c dengan BMI (r=0,31 ; p=0,01). Perbedaan hasil penelitian tersebut dengan penelitian sekarang dikarenakan adanya perbedaan usia responden yang ditetapkan. Pada penelitian tersebut, rentang usia responden yaitu 65-95 tahun, sedangkan pada penelitian sekarang, rentang usia responden yang digunakan adalah 40-50 tahun. Perbedaan rentang usia tersebut mampu mempengaruhi profil glukosa darah atau HbA1c dikarenakan pada usia 65-95 cenderung telah mengalami penurunan fungsi organ yang signifikan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanaka, Yoshida, Bin, Fukuo, and

(71)

dengan meningkatnya kadar HbA1c pada responden wanita kategori middle aged

(72)

51 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat korelasi yang tidak bermakna, berkekuatan sangat lemah dengan arah korelasi negatif antara Body Mass Index

terhadap HbA1c pada staf wanita dewasa sehat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Saran

1. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan dapat meningkatkan jumlah sampel penelitian.

2. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan dapat menambahkan parameter glukosa darah puasa dalam pengujian body mass index terhadap HbA1c. 3. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan untuk melaksanakan pengukuran

Gambar

Tabel IV.  Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi,
Gambar 4. Grafik Distribusi Body Mass Index Responden ...............................
Tabel II. Kategori Kadar HbA1c (American Diabetes Association, 2014)
Tabel III. Penelitian Korelasional antara BMI terhadap HbA1c
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pengaruh metode tipe jigsaw terhadap hasil belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA Swasta Setia Budi Abadi Perbaungan

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN SIDOARJO Jumlah  rumah tangga usaha  pertanian di Kabupaten Sidoarjo  Tahun 2013 sebanyak 41.287 rumah  tangga   

Salah satu pendekatan pembelajaran tersebut adalah apa yang disebut “Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)” atau “Problem Based Learning (PBL)”. Pendekatan pembelajaran ini

Model matematika yang rumit ini adakalanya tidak dapat diselesaikan dengan metode analitik yang sudah umum untuk mendapatkan.. solusi sejatinya ( exact

[r]

KREDIT KREDIT KREDIT CICILAN CICILAN CICILAN CICILAN UANG UANG UANG UANG PADA PADA PADA PADA PT PT PT PT BANK BANK BANK BANK NAGARI NAGARI NAGARI NAGARI CABANG CABANG CABANG

Untuk memanfaatkan limbah padat industri tahu dan sekaligus memecahkan masalah pencemaran, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisa protein di beberapa