• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum. Disusun Oleh :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum. Disusun Oleh :"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDY PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No.

25/PUU-XIV/2016)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum

Disusun Oleh :

SLAMET PUJIONO 201710380211012

DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

JULI 2021

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Alloh SWT atas segala Rahmat dan karunianya pada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tesis yang berjudul : PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI (Study Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016), sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhamad SAW yang telah membawa perubahan zaman menuju zaman terang benderang.

Tesis ditulis dalam rangka memenuhi persayaratan untuk memperoleh gelar Magister (S-2) pada Universitas Muhammadiyah Malang. Kedepan, Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi refrensi bagi kalangan akademika.

Selanjutnya penyelesaian tulisan ini juga atas bantuan dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung.

Selanjutnya ucapan terimakasih, penulis sampaikan kepada :

 Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan moril kepada penulis.

 Mokh. Najih, SH., M.Hum., Ph.D selaku dosen pembimbing I, dan Dr.

Tongat, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang penulis hormati, penulis ucapkan banyak terimakasih atas masukan dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaiakn tesis ini dan juga dukungan moral kepada penulis dalam pekerjaan.

 Seluruh rekan-rekan seangkatan Magister Ilmu Hukum UMM 2017, yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir tesis ini.

Akhir kata penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan tulisan ini, penulis melakukan kesalahan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagai para pembaca.

Malang, Juli 2021 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... I Halaman Pengesahan ... II Halaman Daftar Penguji ... ……….. III Kata Pengantar ... IV Daftar Isi……… V Pernyataan Orisinalitas ... VI Abstrak ... VII Abstract ... VIII

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 5

Tinjauan Pustaka ... 5

Kerangka Teori ... 6

 Teori kepastian hukum ... 6

 Keuangan Negara ... 7

 Kerugian Negara ... 10

 Pembayaran Kerugian Negara ... 10

 Tindak Pidana ... 11

 Pembuktian Tindak Pidana ... 12

Metode Penilitian ... 13

Maksud dan tujuan ... 14

Jenis data dan Sumber Data ... 15

Hasil Pembahasan ... 16

Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 terhadap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana materiil dalam proses penyidikan ... 16

Implikasi pengembalian kerugian Negara dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi ... 20

Kesimpulan ... 27

Saran... 28

Daftar Pustaka ... 29

(6)
(7)

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI (Study Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

25/PUU-XIV/2016) SLAMET PUJIONO

ijup.sl@gmail.com

Mokh. Najih. SH., M.Hum., Ph.D (0017056501) Dr. Tongat. SH., M.Hum (0013016701)

abstrak

Penegakan hukum adalah bagaimana suatu ketentuan hukum dilaksanakan sebagaimana tujuan pembentukan hukum. Penegakan hukum penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi tersebut hingga tuntas. Tujuan penanganan perkara tindak pidana korupsi tentunya ialah menangani perkara tipikor tersebut, selain itu juga memaksimalkan pengembalian kerugian negara. Penanganan perkara tindak pidana korupsi akan menjadi kurang maksimal ketika kerugian negara tidak dapat dipulihkan. Pemulihan kerugian negara sangat diperlukan tentunya untuk melaksanakan program pembangunan yang belum terlaksana.

Penanganan perkara korupsi yang telah ada terdapat pengembalian kerugian negara menjadi salah satu upaya penegakan hukum dalam menangani

perkara tindak pidana korupsi. Bagaimana pelaksanaan penanganan penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dengan pengembalian kerugian negara, perlu diperhatikan prosesnya, agar pelaksanaanya dapat menghasilkan yang maksimal yakni menangani perkara tindak pidana korupsi. Setelah ada putusan MK no. 25/PUU-XIV/2016 yang menghapus frasa kata dapat merugikan negara, membuat tindak pidana korupsi menjadi delik materiil, yakni unsur kerugian negara menjadi mutlak untu dibuktikan.

Tulisan ini dibuat guna menjelaskan bagaimana proses penegakan hukum dengan pengembalian kerugian sebelumnya.

Kata kunci : tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara

(8)

RESTITUTION OF STATE LOSSES AND THEIR IMPLICATIONS IN THE PROSES OF LAW ENFORCEMENT OF CRIMINAL ACTS (Study

Of Implementation Of Mahkamah Konstitusi Decision No. 25/PUU- XIV/2016)

SLAMET PUJIONO ijup.sl@gmail.com

Mokh. Najih. SH., M.Hum., Ph.D (0017056501) Dr. Tongat. SH., M.Hum (0013016701)

abstrak

Law enforcement is how a legal provision is implemented as the purpose of law formation. Law enforcement in handling corruption cases is to complete the corruption case until it is complete. The purpose of handling cases of criminal acts of corruption is of course dealing with cases of criminal acts of corruption, besides maximizing the retrun of state losses. The handling of corruption cases will be less than optimal when state losses cannot be recovered. Recovery of state losses is very necessary, of course, to carry out development programs that have not been implemented. In the handling of existing corruption cases, there is a retrun of state losses to be one of the law enforcement efforts in handling with corrupion cases. Haw is the

implementation of handling law enforcement cases of corruption cases with the retrun of state losses, the process needs to be considered proses, so that its implementation can produce maximum results, namely handling

corruption cases. After there was a decision of MK no. 25/PUU-XIV/2016 that deleted the phrase that “could” harm the state, making corruption a material offense, that is, the element of state loss become absolute to be proven. This paper is made to explain how the law enforcement process with the retrun of provious losses.

Keywords : corruption, retrun of state losses

(9)

Latar Belakang Masalah

Kerugian negara merupakan salah satu unsur dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi dikaitkan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU no. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no. 31 tahun 1999. Kerugian negara merupakan akibat dari ada perbuatan melawan hukum maupun perbuatan penyalahgunaan wewenang atau jabatan.

Kerugian negara juga harus dikaitkan dengan niat seseorang dalam melakukan perbuatan melawan hukum maupun menyalahgunakan jabatan atau kekuasaannya.

Melihat dari sudut pandang perbuatan pidana, maka suatu perbuatan harus termasuk dalam kualifikasi perbuatan yang telah dinyatakan sebagai perbuatan pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan. Selanjutnya untuk membuktikan suatu perbuatan pidana tersebut telah dilakukan pelaku pidana atau tidak maka unsur dalam pasal tindak pidana tersebut haruslah dibuktikan.

Sebagaimana diketahui dalam putusan MK Nomor : 25/PUU-XIV/2016, Mahkamah konstitusi memutuskan menghapus frasa kata “dapat” merugikan keunagan negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU tipikor.1 Dalam pertimbangan putusan MK tersebut menyatakan kerugian negara harus nyata dan jumlahnya dapat dihitung. Kerugian negara bukan hanya sekedar potensial saja yang belum dapat ditentukan secara pasti jumlahnya. Putusan MK Nomor : 25/PUU-XIV/2016 tersebut membuat pasal 2 dan pasal3 uu tipikor menjadi tindak pidana Materiil. Akibatnya maka unsur kerugian Negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut harus dapat dibuktikan.

Pengungkapan perkara tindak pidana korupsi berasal dari segala macam laporan. Laporan dapat berasal dari masyarakat yang melihat terdapat kejanggalan dalam penyelenggaraan keuangan negara, atau dapat berasal dari lembaga pemeriksa keuangan, baik berasal dari pusat maupun daerah dalam hal ini Inspektorat Daerah.

1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016

(10)

Dalam laporan mayarakat atau temuan lembaga pemeriksa keuangan, BPK maupun Inspektorat Daerah, menyebutkan penggunaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Laporan pernyataan penggunaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut diikuti dengan tuntutan ganti rugi untuk mengembalikan kerugian yang ditimbulkan serta pihak yang bertanggungjawab untuk mengganti kerugian tersebut.

temuan tersebut juga menyebutkan jumlah yang harus dibayar sebagai ganti rugi atas pengelolaan keuangan negara yang tidak dapat dieprtanggungjawabkan.

Selanjutnya terdapat pihak yang membayar ganti kerugian sejumlah yang ditentukan sebagaimana dalam laporan pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa keuangan baik BPK atau Inspektorat Daerah. Terdapat juga pihak yang tidak bersedia mengganti kerugian tersebut, lalu kemudian laporan temuan tersebut diteruskan kepada aparat penegak hukum untuk dilakukan proses hukum, untuk kemudian dilakukan proses hukum apakah termasuk dalam perkara korupsi atau tidak.

Tujuan penanganan perkara korupsi ialah agar uang negara yang hilang dapat kembali. Cara pengembalian keuangan negara yang hilang dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui tuntutan ganti rugi, maupun penenganan perkara tindak pidana korupsinya. Selain memberikan hukuman kepada pelaku korupsi, penanganan perkara korupsi juga ditujukan untuk lebih mengembalikan keuangan negara yang hilang, baik dengan cara tuntutan uang pengganti ada pula dengan cara gugatan perdata atas harta kekayaan pelaku korupsi yang tidak bersedia membayar uang pengganti atas kerugian negara yang telah timbul.

Penanganan perkara tindak pidana korupsi inilah yang banyak dihindari oleh pelaku tindak pidana korupsi. Para pelaku korupsi melakukan berbagai hal agar supaya terhindar dari penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Salah satu hal yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi ialah dengan cara membayar tuntutan ganti rugi atas temuan penggunaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Para pelaku korupsi menganggap

(11)

bahwa apabila kerugian telah dibayar maka dapat menghapus pidana.

Walaupun sudah jelas disebutkan bahwa pembayaran kerugian negara tidak menghapus pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Undang-undang Tipikor dan hanya meringankan hukumannya saja.2

Pembayaran gantirugi inilah oleh pihak yang bertanggungjawab yang menjadi perdebatan bagaimana proses penanganannya perkara tindak pidana korupsi. Berdasarkan putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menghapus frasa kata dapat merugikan negara, maka unsur kerugian negara harus dapat dibuktikan guna memenuhi perkara tersebut masih termasuk dalam perkara korupsi atau tidak. Penangananan perkara tindak pidana korupsi pada tingkat penyidikan dengan kerugian yang telah dibayar tersebut menjadi perdebatan dan perbedaan penafsiran dikalangan penegak hukum dengan penasehat hukum pelaku tindak pidana korupsi. Peran penasehat hukum ialah untuk membela kepentingan klien dalam hal orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Salah satu tahapan yang harus dilalui untuk menentukan suatu peristiwa penggunaan keuangan negara yang tidak dapat pertanggunggjawabkan termasuk sebagai tindak pidana korupsi maka terlebih dahulu harus dilakukan penyelidikan. Penyelidikan dilakukan untuk menentukan suatu peristiwa termasuk dalam peristiwa pidana atau bukan, dalam hal ini peristiwa tindak pidana korupsi. Hal yang perlu dilakukan dalam penyelidikan tindak pidana korupsi ialah pengumpulan bukti permulaan yang cukup, yang dengan bukti permulaan yang cukup tersebut dapat menentukan dugaan perkara tindak pidana korupsi termasuk dalam tindak pidana korupsi.

Penangan perkara tindak pidana korupsi dengan pelaku telah membayar kerugian sebelum dilakukan proses penanganan perkara atau penyelidikan juga masih menjadi perdebatan antara penyidik dan penuntut umum dengan penasehat hukum, dimana penasehat hukum menyatakan apabila kerugian negara tersebut telah dibayar maka dianggap kerugian negara telah tidak ada

2 Penjelasan Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(12)

lagi sehingga akan membuat unsur kerugian negara tidak terbukti. Tentunya anggapan ini dihubungkan dengan putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan kerugian negara harus nyata dan pasti jumlahnya.

Sebagaimana ditemukan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang, yakni atas nama terdakwa Ari Ismanto yang menyalahgunakan keuangan dana desa untuk pengadaan mobil ambulan desa namun uangnya digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadi terdakwa. Kemudian terdakwa Ari Ismanto telah mengembalikan penggunaan uang untuk pengadaan mobil ambulan desa tersebut ke kas daerah.

Selanjutnya atas perkara tersebut dilakukan penyidikan oleh Penyidik Kepolisian Resort Malang, dan selanjutnya perkara tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang serta dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya, dan perkara tersebut telah dijatuhi putusan berupa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Contoh lain ialah penganan perkara tindak pidana penyelewengan hasil sewa tanah eks bengkok kelurahan Dampit oleh mantan lurah Dampit Kabupaten Malang tahun 2008 yakni Sugeng Prayitno. Terhadap penanganan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh penyidik kejaksaan Negeri Kabupaten Malang, dan pada saat akan dilakukan penetapan tersangka, Sugeng Prayitno telah mengembalikan uang hasil sewa tanah eks bengkok Kelurahan Dampit tahun 2008 tersebut ke kas daerah. Selanjutnya terhadap perkara tersebut tetap dilanjutkan dengan dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Surabaya dan telah diputus yakni degan putusan menyatakan Sugeng Prayitno bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Melihat permasalahan tersebut menarik untuk dikaji penangan perkara tindak pidana korupsi yang telah mengembalikan kerugian negara, yakni bagaimana proses penentuan suatu peristiwa pengelolaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kemudian dilakukan pembayaran sehingga masih termasuk dalam perkara tindak pidana korupsi.

(13)

Rumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas, menarik untuk dikaji permasalahan sebagai berikut :

1. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 terhadap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana materiil dalam proses penyidikan.

2. Implikasi pengembalian kerugian Negara dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Tinjauan Pustaka Penelitian Terdahulu No Nama

Penulis

Judul Penulisan

Permasalahan Persamaan Perbedaan 1 Abd

Razak Musahib

Pengembalia n Keuangan Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi

1. Bagaimana kah konsep pengembali an keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi?

2. Kendala apakah yang di hadapi dalam mengembal ikan keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi

Penulisan hukum karya Abd Razak Musahib memiliki kesamaan yaitu

pembahasan terkait dengan pengembalia n kerugian Negara

Bahwa tulisan karya Abd Razak Musahib membahas mengenai aturan tentang cara pengembalian kerugian Negara sama dengan uang yang dikorupsi dan cara mencegah kerugian Negara dengan cara follow the money, sedangkan dalam penulisan ini yang akan dibahas mengenai perhitungan kerugian Negara yang telah dibayar dan menjadi salah satu unsur pasal 2 maupun pasal 3 UU tindak Pidana Korupsi yang harus dibuktikan

2 Guntur

Rambey Pengembalia n Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi

1. Bagaimana penuangan ide individualis asi pidana tentang pidana kerja

Penulisan hukum karya Guntur Rambey memiliki kesamaan yaitu terkait

Bahwa tulisan Guntur Rambey membahas mengenai pengembalian kerugian Negara melalui pidana denda uang pengganti serta dengan cara penyitaan

(14)

Melalui Pembayaran Uang Pengganti Dan Denda

sosial dalam hukum pidana positif?

2.

pengembalia n kerugian negara

harta benda pelaku

korupsi untuk

membayar kerugian Negara, sedangkan dalam tulisan ini membahas mengenai penanganan perkara korupsi yang telah dibayar kerugian negaranya ditinjau dari segi delik pidana pembuktian unsur merugikan keuangan Negara dikaitkan juga dengan pasal 4 UU tindak pidana korupsi.

3 Budi Suhariya nto, jurnal Rechtsvi nding, Vol 5 no 3, Desembe r 2016

Restorative justice dalam pemidanaan korporasi pelaku

korupsi demi optimalisasi pengemablia n kerugian keuangan Negara

1. Bagaimana landasan pertimbang an penerapan restorative justice dalam pemidanaan korporasi pelaku korupsi sebagai upaya optimalisasi pengembali an kerugian Negara di Indonesia

Penulisan hukum karya Budi

Suhariyanto memiliki kesamaan yaitu terkait pengembalia n kerugian negara

Bahwa tulisan Budi Suhariyanto membahas mengenai konsep pengembalian Negara dari korporasi pelaku korupsi dan digunakan restorative justice agar tercapai pengembalian kerugian Negara dan memidana korporasi,, sedangkan dalam tulisan ini membahas mengenai penanganan perkara korupsi yang telah dibayar kerugian negaranya ditinjau dari segi delik pidana pembuktian unsur merugikan keuangan Negara dikaitkan juga dengan pasal 4 UU tindak pidana korupsi

Kerangka Teori

Teori Kepastian Hukum

Salah satu tujuan dibentuk hukum selain keadilan dan kemanfaatan yakni kepastian hukum. Kepastian hukum untuk menjamin hukum tersebut ada dan dapat dilaksanakan serta jelas ditafsirkan. Kepastian hukum dalam hukum

(15)

tercapai apabila hukum sebanyak-banyaknya yang tertulis dalam undang- undang, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat ditafsirkan secara berlain-lain.3

Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan. Kepastian dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakuknya hukum dalam masyarakat dan agar tidak menimbulkan salah tafsir. Kepastian hukum dapat berarti juga hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum juga merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa. Dengan demikian hukum tanpa niali kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku orang.

Keuangan Negara

Keuangan Negara berkaitan penerimaan serta pengeluaran Negara. Negara memerlukan adanya penerimaan keuangan untuk membiayai kebutuhan dengan cara belanja atau pengeluaran guna memastikan Negara tersebut dapat terus berjalan.

Berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, definisi yakni pasal 1 angka 1, keuangan Negara ialah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, yang meliputi (Pasal 2), meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

3 Sudikno Merto Kusumo, 2010, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, halaman 161.

(16)

Selanjutnya Berdasarkan penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana di rubah dan ditambah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan keuangan Negara ialah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;

b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

Keuangan Negara sangat berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara.

Tata cara mengatur penerimaan serta pengeluaran keuangan Negara tersebut disebut dengan pengelolaan keuangan Negara.

Pengelolaan keuangan Negara selalu mempertimbangkan asas-asas pengelolaan keuangan Negara guna menghindari dari adanya penyimpangan yang dapat berakibat timbulnya kerugian keuangan Negara.

1. Asas akuntabilitas

Penjelasan Pasal 3 angka 7 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 mendefinisikan asas akuntabilitas sebagai asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari utama akuntabilitas kinerja pada unit- unit pemerintah meliputi dua hal mendasar, yaitu: peningkatan akuntabilitas publik instansi pemerintah dan Peningkatan efisiensi, efektivitas maupun produktivitas kinerja organisasi pemerintah yang sekaligus meminimalkan peluang terciptanya korupsi, kolusi dan nepotisme (Rasul, 2003: 8).

(17)

2. Asas Profesionalitas

Penjelasan Pasal 3 angka 6 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 mendefinisikan asas profesionalitas sebagai asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Asas profesionalitas dalam pelaksanaan keuangan negara merupakan penerapan prinsip profesionalisme dalam tata kelola keuangan negara untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan keuangan negara. Hal tersebut kiranya juga berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi pernerintahan berdasarkan target kinerja yang ditetapkan untuk setiap program/kegiatan pemerintahan.

3. Asas Proporsionalitas

Penjelasan Pasal 3 angka 5 UU No. 28 Tahun 1999 mendefinisikan asas proporsionalitas sebagai asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Dikaitkan dengan pelaksanaan keuangan negara, kiranya dapat dimaknai bahwa pelaksanaan keuangan negara sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pertanggungjawabannya harus menjamin terwujudnya keseimbangan antara kebutuhan anggaran dengan sistem pembiayaan yang diperlukan.

Berkaitan dengan hal tersebut, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara merupakan prinsip yang menghendaki agar pengelolaan anggaran dapat diakses secara terbuka oleh publik dan stakeholders yang berkepentingan.

Pengelolaan keuangan Negara yang benar dengan mempertimbangkan asas-asas pengelolaan keuangan Negara dapat mencegah terjadinya praktek perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan Negara, sehingga pengelolaan keuangan Negara dapat berjalan sesuai dengan arahan atau ketentuan yang telah ditetapkan.

(18)

Teori Kerugian negara

Berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang keduanya sama-sama mendefinisikan: “kerugian keuangan negara/daerah adalah kekurangan uang,surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Pembayaran kerugian negara

Tujuan utama dari UU tindak pidana korupsi ialah adanya pemulihan atau pengembalian kerugian Negara yang timbul akibat perbuatan melawan hukum maupun kelalaian pejabat Negara maupun daerah. Penjatuhan pidana berupa sanki penjara serta denda dapat dikatakan sebagai tindakan yang berfungsi efek jera bagi pelaku pidana korupsi yang mengakibatkan kerugia Negara serta sebagai tindakan preventif agar pejabat Negara atau daerah lain tidak melakukan hal yang sama yakni melawan hukum maupun menyalahgunakan kewenangannya sehingga menimbulkan kerugian Negara.

Sedangkan apabila dicermati tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi ialah agar tidak ada uang Negara yang hilang atau berkurang yang dinikmati oleh oknum pejabat Negara ataupun swasta, kemudian apabila telah timbul kerugian Negara maka secepatnya uang Negara yang hilang tersebut dmintakan kembali sebagai pemulihan keuangan Negara yang hilang atau rugi.

Sebagaimana diatur dalam berbagai ketentuan peruandang-udangan, yakni UU tipikor, UU keuangan Negara dan UU perbendaharaan Negara, pada intinya menginginkan adanya pengembalian kerugian Negara. Selanjutnya terkait dengan pengembalian kerugian Negara tentunya harus dihubungkan dengan adanya penetapan kerugian Negara atau audit. Untuk menentukan

(19)

kerugian tersebut dibutuhkan lembaga yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara.

Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.” Adapun siapa instansi berwenang yang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, “...untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”. “Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.” Ahli dalam bidangnya sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah jika ahli tersebut ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan untuk menilai dan menetapkan kerugian negara. Akan tetapi, jika ahli tersebut diminta oleh penyidik atau pihak lainnya yang berasal dari lembaga negara/lembaga pemerintah non-kementerian/akuntan publik/lembaga lain yang relevan, ahli tersebut harus memiliki kewenangan publik untuk menetapkan dan menghitung kerugian negara.

Setelah ada penetapan kerugian Negara dari lembaga yang berwenang tersebut dapat dijadikan dasar bagi pelaku pidana korupsi yang akan mengembalikan kerugian Negara maupun juga sebagai dasar bagi Negara untuk meminta kerugian yang timbul akibat perbuatannya guna memulihkan uang Negara yang hilang.

(20)

Tindak pidana

Menurut Wiryono Prodjodikoro, tindak pidana merupakan perbuatan yang dikenai sanksi berupa pidana. Dalam KUHP (Pasal 10) dikenal pidana berupa, pidana mati, penjara, kurungan dan denda. Tindak pidana juga dikenal dengan istilah delik.

1. Tindak Pidana Formal

Tindak pidana formil dalam kepustakaan disebut delik formal (formeel delict) adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang,4 yang oleh van Hamel disebutnya sebagai delict met formele omschrijving, yaitu delik yang telah dirumuskan secara formal.5 D.

Schaffmeister menegaskan bahwa walaupun setiap rumusan setiap delik mengenai perbuatan manusia, tetapi ada perbedaan. Delik formal menekankan pada perbuatan, terlepas dari akibat yang mungkin ditimbulkan, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. Pada delik formal, suatu akibat tertentu hanya dapat memberatkan atau meringankan pidana, tetapi juga tanpa akibat perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapat dipidana. 5 Dilihat dari sudut pandang prosesuil atau hukum acara, cara perumusan delik formil meringankan penuntut umum dalam melakukan penuntutan dan pembuktian.

2. Tindak Pidana Materiil

Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Akibat sebagai unsur dalam tindak pidana materiil ini harus dibuktikan.

Pembuktian Tindak pidana

Dalam hukum pembuktian, dari tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa terkait dengan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 undang-undang diatas,

4 P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 213

ibid

(21)

Surat Dakwaan haruslah berisikan uraian cermat, jelas dan lengkap yang menggambarkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan secara bulat dan utuh. Pentingnya hal ini, dikarenakan didalam Surat Tuntutan nya, Penuntut Umum akan membuktikan terpenuhinya seluruh unsur-unsur pasal atas perbuatan terdakwa itu berdasarkan alat bukti yang sah, sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan seluruh unsur tindak pidana pada terdakwa, bahwa tindak pidana telah terjadi dan si terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana itu didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti1 ditambah dengan Keyakinan Hakim.

Metode penelitian

Metode adalah proses prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksanaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. Selanjutnya penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.

Melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Di dalam penelitian untuk memperoleh jawaban tentang kebenaran dari suatu permasalahan diperlukan suatu kegiatan penelitian dalam rangka mencari data ilmiah sebagai bukti guna mencari kebenaran ilmiah.

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah kebijakan hukum akan kepastian hukum penanganan perkara pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian negara. Sasaran penelitian ini adalah penelitian yang ditujukan terhadap masalah penanganan perkara pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian negara maka pendekatannya menggunakan pendekatan yuridis normatif.

(22)

Merujuk pada tipologi penelitian menurut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa studi pendekatan terhadap hukum yang normatif terhadap hukum yang normatif mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan Negara tertentu yang berdaulat.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan penelitian hukum doktrinner, penelitian kepustakaan atau studi dokumen, menelaah kaidah-kaidah dan/atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Maksud dari pendekatan masalah tersebut adalah untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori serta literatur-literatur yang sangat erat kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas tersebut. Pendekatan normatif lebih menekankan pada adanya sinkronisasi dari beberapa doktrin yang dianut dalam hukum. Pendekatan normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifatteoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Pendekatan yuridis normatif yang digunakan pada awalnya menggunakan penelitian inventarisasi hukum positif yang merupakan kegiatan pendahuluan yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum. Selain itu juga menggunakan penelitian terhadap sistematik hukum yang dipakai untuk menemukan pengertian-pengertian dasar dalam system hukum serta penelitian terhadap asas-asas hukum yang akan digunakan untuk meneliti penerapan asas-asas hukum pidana.

Maksud dan tujuan

Bahwa maksud dan tujuan penulisan dengan metode diatas ialah agar dapat ditemukan aturan hukumnya, prinsi-prinsip hukumnya serta doktrin- doktrin hukum yang dapat menjawab permasalahan yang diangkat terakit maupun setidak tidaknya dapat memberikan solusi atas permasalahan yang diangkat.

(23)

Jenis data dan sumber data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh dilapangan dan data sekunder, yaitu penelitian kepustakaan. Namun penelitian ini terutama difokuskan pada data sekunder karena sifat penelitian ini adalah normatif, sedangkan data primer dipakai sebagai penunjang untuk mempertajam analisis.

Sumber data yang digunakan terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Untuk data sekunder diperoleh melalui bahan-bahan primer yaitu perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun bahan–bahan hukum sekunder digunakan berupa pendapat para ahli, hasil karya ilmiah, artikel, makalah dan hasil penelitian. Untuk data primer diperoleh melalui wawancara dengan aparat penegak hukum dalam hal ini adalah hakim selaku pemegang kekuasaan yudikatif yang memegang kekuasaan untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang telah mengembalikan kerugian negara.

Tehnik Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang dipakai adalah : Studi Kepustakaan dan Studi Dokumen, yaitu menelaah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam peradilan in absentia.

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, dan pengamatan diproses secara identifikasi, klasifikasi, sistematis dan analisis. Sesuai dengan metode pendekatan yuridis normatif yang menekankan pada data sekunder, maka strategi atau pendekatan yang digunakan dalam menganalisa data adalah metode analisia kualitatif. Analisa kualitatif digunakan digunakan bersifat deskriptif dan prespektif, yaitu akan berusaha memberikan data yang ada dan menilainya kemudian menganalisa masalah-masalah yang ada yang berkaitan dengan penerapan hukum peradilan in absentia serta memberikan kontribusi berupa solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang terdapat pada penanganan perkara pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian

(24)

negara dan kapan batasan pengembalian negara sehingga dapat mengahapus pidana.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 terhadap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana materiil dalam proses penyidikan

Pada tahun 2016, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusan berkiatan dengan undang-undang tindak pidana korupsi yakni pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 menghapus frasa kata “dapat” merugikan keuangan negara dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-udang tipikor, sehingga akibat kerugian negara menjadi unsur yang harus dinyatakan dapat dihitung dan jumlahnya pasti bukan hanya sekedar potensi saja. Putusan MK No. 25/PUU- XIV/2016 tersebut telah merubah delik tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dari delik formil menjadi delik Materiil. Dengan perubahan tersebut maka unsur kerugian negara menjadi mutlak harus dibuktikan.

Dampaknya delik tindak pidana korupsi menjadi delik materiil yakni dalam pembuktiannya, akibat dari tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan. Akibat dari tindak pidana korupsi adalah kerugian negara.

Berbeda dengan delik formil tidak pidana korupsi sebagaimana pasal 2 dan pasal 3 Tipikor yang hanya menitik beratkan pada perbuatan melawan hukum sudah terbukti maka sudah dikatakan masuk sebagai tindak pidana korupsi.

Dampak putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang membuat delik tindak pidana korupsi menjadi delik materiil, juga membuat proses penyidikan berbeda dari sebelumnya. Perbedaan yakni dalam proses penyidikan harus ada bukti permulaan yang menyatakan adanya kerugian negara yang nyata jumlahnya dari lembaga yang berwenang. Berkiatan dengan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian

(25)

negara sebelumnya, maka untuk dapat dilakukan proses penanganan penyidikkan diperlukan adanya pernyataan mengenai kerugian negara dari lembaga yang berwenang. Hal ini diperlukan untuk menyatakan masih ada kerugian negara atau tidak dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut.

Untuk membutikan adanya kerugian negara guna memenuhi unsur kerugian negara maka diperlukan pemeriksaan oleh lembaga yang berwenang untuk menyatakan kerugian negara sebelum menentukan perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut termasuk dalam tindak pidana dan dilakukan penyidikan.

Pihak yang berwenang untuk menyatakan atau men-declair kerugian termasuk kedalam kerugian negara ialah BPK. Laporan pemeriksaan rutin pengelolaan keuangan negara oleh Lembaga penyelenggara keuangan negara yang dilakukan BPK yang kemudian menemukan penggunaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan hingga menimbulkan kergian negara adalah merupakan permulaan yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.

Selanjutnya apabila kerugian tersebut dilakukan pembayaran sebelum dilakukan proses hukum oleh aparat penegak hukum, maka dalam menentukkan penggunaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kemudian dilakukan pembayaran kerugiannya, terlebih dahulu diperlukan pernyataan kerugian yang telah dibayar tersebut apakah termasuk kerugian negara atau tidak dari lembaga yang berwenang dalam menyatakan atau men-declair kerugian negara, yang dalam hal ini dilaksanakn oleh BPK.

Hasil pernyataan suatu kerugian termasuk kerugian negara atau tidak sangat diperlukan untuk menentukan suatu peristiwa penggunaan uang negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut termasuk dalam peristiwa tindak pidana korupsi. Hasil pemeriksaan kerugian negara dari lembaga yang berwenang akan digunakan sebagai salah satu bukti permulaan untuk

(26)

menentukan proses penanganan perkara korupsi layak dilakukan penyidikan.

Bukti permulaan hasil pemeriksaan kerugian negara nantinya akan dijadikan sebagai alat bukti surat yang menyatakan adanya kerugian negara dan kerugian negara tersebut dapat dihitung serta tidak bersifat potensi saja.

Sehingga dalam menetapkan penyidikan perkara tindak pidana korupsi dengan setalah adanya putusan MK No. 25/PUU-IXV/2016 mutlak diperlukan adanya bukti permulaan berupa surat yang menyatakan adanya kerugian negara untuk memenuhi unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

Berkiatan dengan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian negaranya sebelum dilakukan penyidikan dan setelah ada putusan MK No. 25/PUU-IXV/2016 tersebut juga mutlak diperlukan surat hasil pemeriksaan kerugian negara dari lembaga yang berwenang, guna memperjelas ada atau tidak kerugian negara terhadap pengelolaan keuangan negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kemudian telah dilakukan pengembalian kerugian melalui ganti rugi.

Pernyataan kerugian negara ini akan digunakan sebagai bukti permulaan terkait adanya kerugian negara dan untuk memenuhi unsur kerugian negara sebagaimana dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Tipikor.

Dalam melaksanakan pemeriksaannya kerugian negara yang diminta oleh lembaga aparat penegak hukum yang dilakukan BPK ialah Pemeriksaan Kerugian Negara (PKN) untuk menetukan apakah terdapat kerugian negara atau tidak. Apabila BPK menyatakan tidak terdapat kerugian negara maka membuat unsur kerugian negara sebagaimana pasal 2 dan pasal 3 tipikor menjadi tidak terpenuhi sehingga tidak dapat termasuk tindak pidana korupsi.

Apabila dalam hasil Pemeriksaan Kerugian Negara, BPK menyatakan terdapat kerugian negara maka dapat dijadikan alat bukti untuk membuktikan unsur kerugian negara sebagaimana pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tipikor dan menaikkan proses hukumnya pada tahap penyidikan.

Berdasarkan hal tersebut maka penentuan sebuah perkara tindak pidana korupsi harus didukung dengan hasil Pemeriksaan Kerugian Negara (PKN)

(27)

yang menyatakan telah ada kerugian negara, termasuk dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian. Hal ini penting karena akibat dalam tindak pidana korupsi yakni kerugian negara harus dibuktikan sebagai salah satu unsur pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Metode pemeriksaan yang digunakan oleh BPK dalam memeriksa kerugian yang telah dibayar adalah termasuk kerugian negara atau tidak yakni tentunya dengan menghubungkan apakah terdapat perbuatan melawan hukumnya. Penentuan kapan waktu telah terjadi kerugian negara ialah pada saat uang negara dikeluarkan namun pelaksanaan atau pembelanjaannya tidak sesuai dengan yang sebenarnya, sehingga BPK menyatakan kerugian negara tekah terjadi. Walaupun kemudian kerugian tersebut dilakukan pembayaran, namun senyatanya kerugian negara telah atau sempat terjadi, dan kerugian yang sempat terjadi tersebut yang kemudian dinyatakan oleh BPK sebagai kerugian negara.6 Laporan hasil Pemeriksaan Kerugian Negera (PKN) inilah yang digunakan sebagai alat bukti surat untuk menyatakan unsur kerugian negara dan yang digunakan dalam mengangkat perkara tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum karena putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 menyatakan kerugian negara harus nyata dan dapat dihitung. Dalam hasil Pemeriksaan Kerugian Negara (PKN) yang dilakukan BPK atas permintaan aparat penegak hukum memuat jumlah kerugian yang terjadi.

Pertimbangan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 agar pengenaan pasal 2 dan pasal 3 tipikor tidak digunakan seenaknya oleh penegak hukum dalam menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi. Sebelum MK No. 25/PUU- XIV/2016, Pasal 2 dan pasal 3 tipikor hanya menitik beratkan pada perbuatan melanggar hukum hukum saja, dan kerugian negara tidak perlu harus ada, dengan artinya cukup berpotensi menimbulkan kerugian negara maka sudah dapat dinyatakan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Putusan MK No.

25/PUU-XIV/2016 menghapus kata dapat pada merugikan negara yang artinya kerugian negara harus nyata atau dapat dihitung, bukan hanya sekedar

6 Hasil wawancara dengan Fandi (Auditor BPK) pada tanggal 4 Februari 2021

(28)

berpotensi merugikan negara, sehingga hal inilah yang membuat Mahkamah Konstitusi menghapus kata dapat pada merugikan keuangan negara pasal 2 dan psal 3 tipikor.

Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tersebut membuat delik tindak pidana korupsi pasal 2 dan pasal 3 tipikor menjadi delik materiil, yakni menitik beratkan juga pada pembuktian unsur kerugian negara. Berbeda dengan delik formil, dimana yang diatur adalah perbuatannya, jangan sampai perbuatan yang diatur tersebut dilanggar oleh pelaku tindak pidana korupsi. Secara tidak langsung ini menjadi aspek preventif atau pencegahan agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang diatur dalam tindak pidana korupsi. Hal ini dapat mencegah terjadinya kerugian negara, karena dari awal yang dicegah adalah perbuatan melanggar hukumnya.

Berbeda dengan delik materiil, yang lebih menitik beratkan pada akibat yang dilarang dalam perkara tindak pidana, dan akibat tersebut harus dapat dibuktikan. Berkaitan dengan perkara tipikor, maka unsur kerugian negara harus dibuktikan. Namun apabila dicermati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak diikuti perubahan narasi pada Pasal 2 dan pasal 3 tipkior sehingga dapat dikatakan masih termasuk formal juga.

Implikasi pengembalian kerugian Negara dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi

Salah satu tujuan penagakan hukum adalah dapat berjalannya kepastian hukum dan ketentraman dalam masyarakat.7 Berkaitan dengan kepastian hukum, maka suatu peraturan hukum harus jelas atau tidak terdapat keragu- raguan dan dapat dilaksanakan.

Penegakan hukum dapat diartikan serangkaian tindakan yang dilakukan aparat penagak hukum, dan secara luas dapat pula diartikan sebagai bagaimana suatu produk undang-undang yang baik dan bagaimana produk

(29)

hukum tersebut diaplikasi dengan baik.8 Pelaksanaan aturan hukum yang telah ditetapkan oleh aparat penegak hukum tersebut adalah satu wujud penegakan hukum. Walaupun dalam beberapa ketentuan hukum terdapat yang saling tumpang tindih dan bahkan kadang bertentangan akan tetapi sebenarnya suatu peraturan hukum dapat dilaksanakan dengan cara disesuaikan lagi dengan asas hukumnya sebagai tujuan dari pembentuan ketentuan perundang-undangan. Penagakan hukum disini dapat diartikan bagaimana pelaksanaan suatu ketentuan perundang-undangan yang terdapat saling tumpang tindih dan terkadang bertentangan sehingga dapat dilaksanakan dan ditegakkan.

Salah satu penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah dengan memaksimalkan pengembalian kerugian negara atau keuangan negara yang hilang, selain penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Pengembalian keuangan negara yang hilang atau kerugian negara tersebut diharapkan dapat memulihkan keuangan negara dan dapat dipergunakan lagi untuk kepentingan masyarakat melalui kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan hasilnya akan dirasakan oleh masyarakat.

Salah satu tujuan pembentukan undang-undang Tindak Pidana Korupsi yakni untuk mengembalikan atau memulihkan keuangan negara yang hilang, baik akibat kelalaian maupun akibat kesengajaan para pengelola keuangan negara. Sebagaimana diketahui dalam undang-undang tipikor, selain penjatuhan pidana, para pelaku juga dikenai dengan pidana uang pengganti dengan tujuan agar uang negara tidak hilang selamanya dan dapat dikembalikan ke negara. Penjatuhan uang pengganti kerugian keuangan negara adalah sebagai usaha dalam penegakan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi, dengan tujuan untuk memulihkan keuangan negara yang telah hilang.

Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi selain memaksimalkan pengembalian kerugian negara, harus juga dilakukan penanganan proses

8 Budimansyah, 2017, Rekonstruksi dari Penegakan Hukum Undang-undang Menuju Penegakan Hukum Demi Keadilan yang Subtanti,f, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol 112.14, hal 186

(30)

penanganan perkaranya. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi tidak boleh berhenti dengan telah dikembalikannya kerugian negara. Penangan perkara korupsi harus sampai tuntas hingga pelaku tindak pidana korupsi mendapat hukuman pidana. Tujuan pengenaan pidana adalah sebagai efek jera bagi pelaku tindak pidana dan juga sebagai pembelanjaran bagi semua pihak agar tidak melakukan tindak pidana korupsi (sebagai tindakan prefentif nantinya).

Perkembangannya sampai dengan saat ini banyak pendapat yang menyatakan pengembalian negara tidak dapat menghapus pidana dan ada juga pengembalian kerugian negara dapat menghapus pidana. Sehingga terdapat anggapan perbedaan mengenai hapus tidaknya tindak pidana korupsi dengan pengembalian kerugian negara tersebut menjadikan ketidakpastian hukum.

Pendapat mengenai pengembalian kerugian negara dapat menghapus pidana, dimana salah satunya dikaitkan dengan waktu pengembalian kerugian negara tersebut yakni pengembalian kerugian tersebut dilakukan sebelum perkara tersebut dilakukan proses hukum atau proses penyelidikan. Apabila perkara dugaan tindak pidana tersebut telah dilakukan proses penyidikan maka pengembalian kerugian tersebut sudah tidak dapat lagi menghapus tindak pidana dan hanya digunakan sebagai pertimbangan dalam meringankan hukuman yang dijatuhkan nantinya.

Pendapat lain yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara dapat menghapus tindak pidananya dikaitkan dengan salah satu unsur tindak pidana korupsi ialah unsur kerugian negara. Apabila telah ada pengembalian keuangan negara maka unsur kerugian negara pada tindak pidana korupsi menjadi hilang.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU- XIV/2016 yang secara tidak langsung menyatakan kerugian negara harus nyata dan dapat dihitung maka dengan pengembalian kerugian negara dikatakan akan dapat menghapus tindak pidana korupsi, dimana salah satu unsur tindak pidana korupsi ialah unsur kerugian negara. Apabila telah ada

(31)

pengembalian keuangan negara maka unsur kerugian negara pada tindak pidana korupsi menjadi hilang, (pengembalian kerugian negara tersebut dilakukan sebelum proses penyidikan). Perbedaan pendapat atau penafsiran tersebut diatas akan membuat ketidakpastian hukum, apakah dengan pengembalian kerugian negara sebelum dilakukan proses penyelidikan dapat menghapus tindak pidananya. Perbedaan penafsiran mengenai pengembalian kerugian negara dapat menghapus atau tidak pidananya juga masih menjadi perbedebatan antara penegak hukum dengan penasehat hukum.

Sebagaimana diketahui pengembalian kerugian negara secara jelas disebutkan tidak menghapus pidana.9 Dapat diartikan walaupun terdapat pengembalian kerugian negara maka tidak akan menghapus tindak pidana yang telah terjadi. Apabila dihubungkan dengan pengembalian kerugian negara sebelum dilakukan proses penyelidikan maka terdapat pendapat yang menyatakan bahwa unsur kerugian negara sudah tidak ada lagi karena kerugian negara telah dibayar, dengan tidak adanya lagi unsur kerugian negara karena telah ada pengembalian kerugian negara sebelum proses penyelidikan maka dianggap unsur kerugian negara tersebut tidak terpenuhi, yang tentunya menjadikan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tidak terbukti.

Berdasarkan voltooid delict, atau mengenai selesainya suatu tindak pidana dilakukan, maka akan dilihat terlebih dahulu tindak pidana tersebut termasuk dalam tindak pidana formal atau materiil. Menurut Sudarto, tindak pidana materiil yakni tindak pidana yang dianggap selesai apabila akibat yang dikehendaki benar-benar terjadi, sedangkan tindak pidana formal yakni tindak pidana dianggap selesai dengan dilakukan perbuatan yang dilarang dalam rumusan undang-undang.10

Mengacu pada voltooid delict atau selesainya tindak pidana yang dihubungkan dengan kualifikasi tindak pidana korupsi yang termasuk dalam

9 Pasal 4 UU 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

10 Sudarto, 1989, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

(32)

delik materiil, maka tindak pidana korupsi akan dianggap selesai apabila akibat yang dikehendaki benar-benar terjadi. Akibat dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ialah kerugian negara.

Bila dihungkan dengan pengembalian kerugian negara sebelum proses penyelidikan, maka terlebih dahulu akan dilihat terdapat perbuatan melawan hukum atau hanya sekedar kesalahan administrasi dalam menyusun laporan pertanggungjawaban penggunaan atau pembelanjaan uang negara guna melihat kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi tersebut benar-benar dikehendaki. Apabila memang dalam pembelanjaan uang negara tersebut benar-benar dilaksanakan akan tetapi bukti dukung pembelanjaan uang tersebut tidak tertib maka akan dianggap sebagai kesalahan administratif, tentunya hal tersebut harus dibuktikan dengan laporan fisik yang menyatakan bahwa barang hasil belanja uang negara tersebut benar- benar ada, baik dari sisi kualitas (mutu) maupun kuantitas (jumlahnya).

Berbeda halnya apabila ditemukan kekurangan volume pekerjaan, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitasnya sedangkan dalam laporan pertanggungjawaban keuanganya dibuat sesolah-olah telah sesuai kualitas maupun kuantitas pekerjaannya maka telah nyata timbul kerugian negara dan juga terdapat perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan atau jabatan dalam penggunaan uang negara tersebut, karena hasil pekerjaan tidak sesuai dan pertanggungjawaban dibuat seolah-olah telah sesuai. Pelaku tindak pidana korupsi tersebut menghendaki keuntungan lebih atau tidak wajar dan keuntungan lebih tersebut sama dengan membuat kerugian negara.

Sehingga dengan demikian terlihat jelas kerugian negara tersebut memang dikehendaki oleh pelaku tindak pidana korupsi.

Oleh karena kerugian negara tersebut dikehendaki oleh pelaku tindak pidana korupsi maka dapat dikatakan tindak pidana korupsi yang termasuk dalam tindak pidana materiil telah terpenuhi, karena telah timbul kerugian negara dan kerugian tersebut memang dikehendaki. Dengan demikian pengembalian kerugian negara sebelum dilakukan proses penyelidikan tidak

(33)

akan menghapus tindak pidana korupsi sendiri karen tindak pidana korupsi telah terjadi.

Pengembalian kerugian negara tentunya didasarkan dari hasil laporan pihak atau lembaga yang berwenang dalam menghitung kerugian negara.

Laporan kerugian negara dari lembaga yang berwenang tersebut yang menjadi dasar dalam pengembalian kerugian negara, terkait dengan berapa jumlah uang negara yang hilang dan harus dikembalikan. Kemudian atas laporan pemeriksaan kerugian tersebut perlu dilakukan Pemeriksaan Kerugian Negara dari Lembaga yang berwenang dan salah satunya BPK, untuk menetukan atau menyatakan/men-declair adanya kerugian negara sehingga pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi juga.

Sehingga bila dihubungkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, maka laporan kerugian negara tersebut menyatakan kerugian negara yang ada telah nyata dan dapat dihitung hal ini sesuai dengan Harifin A Tumpa yakni munculnya tindak pidana korupsi berasal dari kurang tertibnya atau pelanggaran administratif, akan tetapi justru akan tetapi dari kurang tertibnya adminitrasi tersebut muncul pidana.11

Berdasarkan hal tersebut diatas maka pengembalian kerugian negara sebelum dilakukan proses penyelidikan tidak menghapus tindak pidana korupsi, namun harus dilihat apakah benar telah terdapat perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan ataupun jabatan. Tentunya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan telah ada pengembalian kerugian negara tetap dilaksanakan untuk kepastian hukum dan juga diperlukan pemeriksaan kerugian negara untuk menetukan ada atau tidaknya kerugian negara sebelum menetukan suatu perkara tersebut masuk ke dalam tindak pidana pada tahap penyidikan.

Pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016 yang menghapus frasa kata “dapat” merugikan keuangan negara, dan

11 BPK Sinergi Cara Strategi Cegah Korupsi, Warta BPK edisi Januari 2011, Terdapat Dalam, http://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/edisi-01-voli-januari-

2011_halaman_6_____27_.pdf, Terakhir Diakses tanggal 8 Maret 2019.

(34)

menyatakan kerugian negara tersebut harus nyata dan dapat dihitung tersebut sebenarnya menegaskan mengenai kerugian negara akibat dari perbuatan tindak pidana korupsi harus nyata atau dapat dihitung, bukan hanya sekedar berpotensi menimbulkan kerugian negara. Berpotensi menimbulkan kerugian negara tersebut, apabila dicermati memang tidak bisa dilakukan penghitungan secara pasti atau hanya berdasarkan perkiraan yang tentunya belum pasti jumlahnya.

Penegakan hukum dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dan telah ada pembayaran kerugian negara dapat dilakukan, namun yang perlu diutamakan ialah harus dilakukan pemeriksaan kerugian negara (PKN) oleh lembaga yang berwenang untuk menentukan atau menyatakan adanya kerugian negara. hsil pemeriksaan kerugian negara ini yang didapat dijadikan sebagai bukti permulaan berupa surat untuk memenuhi unsur kerugian negara sebagaimana pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tipikor.

Dalam proses persidangan nantinya juga akan dibutuhkan pembuktian mengenai kerugian negara, karena pasal 2 dan pasal 3 tipikor telah berubah menjadi delik materiil dan kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan. Pembuktian kerugian negara diperlukan alat bukti yang menyatakan adanya kerugian negara walaupun telah dilakukan pembayaran.

Sebagaimana ditemukan dalam perkara atas nama terdakwa Ari Ismanto yang menyalahgunakan keuangan dana desa untuk pengadaan mobil ambulan desa namun uangnya digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadi terdakwa. Namun terdakwa Ari Ismanto telah mengembalikan penggunaan uang untuk pengadaan mobil ambulan desa tersebut ke kas daerah.

Selanjutnya atas perkara tersebut dilakukan penyidikan oleh Penyidik Kepolisian Resort Malang, dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang serta dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya, hingga akhirnya perkara tersebut telah dijatuhi putusan berupa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Penanganan perkara ini juga didukung oleh pernyataan kerugian negara telah terjadi dari lembaga yang berwenang dalam hal ini ilah

(35)

BPK. Disini terlihat walaupun telah ada pengembalian kerugian negara, pengembalian kerugian negara tersebut tidak menghapus tindak pidana dan atau dengan kata lain unsur kerugian negara tetap ada walaupun telah ada pengembalian kerugian negara.

Kesimpulan

Impilikasi putusan MK no 25/PUU-XIV/2016 terhadap pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang tipikor adalah merubah delik tindak pidana korupsi sebagaimana pasal 2 dan pasal 3 tipikor menjadi delik materiil. Dampaknya dengan pembuktian perkara tindak pidana korupsi ialah unsur kerugian negara harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah pengembalian kerugian negara tersebut masih ada kerugian negara atu tidak, dan harus dinyatakan atau di-declair oleh Lembaga yang berwenang yakni BPK. Berdasarkan metode pemeriksaan kerugian negara yang dilakukan BPK, BPK menyatakan walaupun kerugian telah ada pembayaran, akan tetapi kerugian tersebt telah ada sejak pembayaran atau uang negara dikeluarkan dan pelaksanaannya tidak sesuai, sehingga BPK menyatakan atau mendeclair terdapat kerugian negara. Adanya laporan hasil pemeriksaan kerugian negara oleh BPK tersebut yang dapat dijadikan sebagai alat bukti surat untuk membuktikan unsur kerugian negara.

Pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi.

Dengan pengembalian kerugian negara maka sejatinya telah menyebutkan adanya kerugian negara yang terjadi sebelumnya. Secara voltooid delict, kerugian negara telah ada atau terjadi jika kerugian negara tersebut dikehendaki oleh pelaku tindak pidana. Kehendak akan kerugian negara akan terlihat dari kehendak pelaku tindak pidana yang ingin keuntungan lebih dengan mengurangi volume pekerjaan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas atas pembelanjaan uang negara. Keuntungan lebih tersebut yang membuat kekurangan pekerjaan yang dilaksanakan sehingga mengakibatkan kerugian negara yakni adanya jumlah uang yang dikeluarkan tidak sesuai dengan yang dibelanjakan atau terdapat kekurangan belanja uang negara tersebut.

(36)

Penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan pengembalian kerugian negara tetap dilaksanakan, karena telah jelas walaupun telah ada pengembalian kerugian negara, namun demikian dalam menentukan penanganan perkara tipikor dengan pengembalian kerugian negara diperlukan adanya pernyataan tentang adanya kerugian negara dari lembaga yang berwenang dalam hal ini ialah BPK, apabila telah ada laporan Pemeriksaan Kerugian Negara (PKN) maka pembuktian akibat tindak pidana korupsi berupa kerugian negara dapat terpenuhi.

Saran

1. Dalam menentukan telah terjadi kerugian negara atau tidak harus dilihat terlebih dahulu mengenai perbuatan melawan hukum tersebut apakah termasuk dalam ranah administrasi atau sudah termasuk dalam ranah pidana. Kejelian sangat dibutuhkan dalam menentukan ranah administrasi atau ranah pidana, akan tetapi secara pasti bila perbuatan telah masuk ranah pidana tentunya tidak dapat berlindung ke dalam ranah administrasi, karena ranah administrasi dan ranah pidana sangat berbeda.

2. Dalam melakukan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian negara diperlukan perhitungan kerugian negara terlebih dahulu dari lembaga yang berwenang sehingga dapat menetukan apakah telah ada kerugian negara guna memenuhi unsur kerugian negara.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Dessy Rochman Prasetyo, Penyitaan Dan Perampasan Aset Hasil Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor, jurnal.

Abd Razak Musahib, Pengembalian Keuangan Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, jurnal

Guntur Rambey, Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembayaran Uang Pengganti Dan Denda, jurnal.

Sanyoto, 2008, Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol 8 No. 3

Budimansyah, 2017, Rekonstruksi dari Penegakan Hukum Undang-undang Menuju Penegakan Hukum Demi Keadilan yang Subtanti,f, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol 112.14, hal 186

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia, 1988

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Sudarto, 1989, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Putusan MK nomor : 25/PUU-XIV/2016

(38)

BPK Sinergi Cara Strategi Cegah Korupsi, Warta BPK edisi Januari 2011, Terdapat Dalam,http://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/edisi-01-voli- januari-2011, Terakhir Diakses tanggal 8 Maret 2019

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan itu, tahap pengetahuan komuniti setempat mengenai alam sekitar khususnya manfaat besar daripada ekosistem seperti melalui konsep perkhidmatan ekosistem

Nilai-nilai tersebut akan mewarnai gerak langkah sekolah, membentuk kualitas kehidupan fisiologis maupun psikologis sekolah, dan lebih lanjut akan membentuk

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional, metode yang digunakan adalah metode skala kecerdasan spiritual dan skala efikasi diri, subjek penelitian

Kira-kira 1,5 meter berikutnya ke bawah, dinding ini tidak dibuat tembok yang tidak disemen, tujuannya lebih untuk mencegah runtuhnya tanah (Azwar, 1995).. c) Dinding sumur

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil, penahanan kandungan N Total terbaik pada BMS diperoleh dengan perlakuan penambahan asam humat sebesar 15 %,

Secara umum laporan keuangan terdiri atas laporan laba rugi, laporan perubahan modal, neraca dan laporan arus kas serta catatan atas laporan keuangan (Kasmir,

Dari pernyataan penelitian sebelumnya tersebut, penulis tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut filosofi bisnis di dalam sebuah institusi agama (c.q Sinode GKJ)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenyamanan di DKI Jakarta secara harian dan kecenderungan tingkat kenyamanan dari tahun ke tahun menggunakan