• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARKETABLE DAN MERKETED SURPLUS BERAS DI KABUPATEN BANYUMAS MARKETABLE AND MARKETED SURPLUSES OF RICE IN BANYUMAS DSITRICT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MARKETABLE DAN MERKETED SURPLUS BERAS DI KABUPATEN BANYUMAS MARKETABLE AND MARKETED SURPLUSES OF RICE IN BANYUMAS DSITRICT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MARKETABLE DAN MERKETED SURPLUS BERAS DI KABUPATEN BANYUMAS

MARKETABLE AND MARKETED SURPLUSES OF RICE IN BANYUMAS DSITRICT

Ratna Satriani1*, Anisur Rosyad2 , Indah Widyarini3

1,2,3 Dosen Program Studi Agribisnis,Fakultas Pertanian Unsoed

*Penulis Korespondensi: ratna.satriani@unsoed.ac.id

ABSTRACT

Efforts to increase rice production must be integrated from the upstream sub-system, the farming sub-system, the downstream sub-system and the support sub-system. Upstream sub- system development is very important and cannot be ignored. Ownership of land by farmers is very small with an area of less than 0.5 hectares, most farmers are actually only landless farm laborers who depend on their work as agricultural laborers. Rice farmers in Banyumas Regency cannot be clearly defined as a producer when looking at the consumption side of the farmer.

This study aims to determine the performance of rice farming, determine the magnitude of marketable surpluses and marketed surpluses of rice and analyze the factors that influence the marketed surpluses of rice in Banyumas Regency. Data analysis uses marketable analysis and marketed rice surplus, multiple linear analysis. The results showed an average area of land owned by 0.21 ha, with a productivity of 4,823.69 kg / Ha (GKP), 4,149.34 kg / Ha (GKG), 2,603.30 kg / Ha (Rice). The marketable value of rice surplus is 22,624.20 kg / MT or 85.67 percent of the total product and the marketed value of rice surplus is 13,422.83 kg / MT or 59.33 percent of the marketable surplus value. Product allocation is more used to pay for harvest labor and family food consumption. The results of multiple linear regression analysis with the model obtained Y = -146.89 + 0.87X1-1.94X2 + 4.94X3 + 1X4-83.80X5-0.009X6 + 2.95X7- 7.23X8-1.6X9 + 34 , 3X10-0.007X11 + e. Marketed rice surpluses in Banyumas Regency are influenced by the variable amount of products and farming costs in nature.

Keywords: surplus marketable, marketed, rice, Banyumas

ABSTRAK

Upaya peningkatan produksi beras harus terintegrasi dari sub sistem hulu, sub sistem usahatani, sub sistem hilir dan sub sistem penunjang. Pembangunan sub sistem hulu sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Kepemilikan lahan oleh petani sangat kecil dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar, sebagian besar petani sebenarnya hanya buruh tani tanpa lahan yang menggantungkan hidupnya bekerja sebagai buruh pertanian. Petani padi di Kabupaten Banyumas belum dapat didefinisikan secara tegas sebagai produsen apabila melihat dari sisi konsumsi petani tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan usahatani padi, mengetahui besarnya marketable surplus dan marketed surplus beras dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi marketed surplus beras di Kabupaten Banyumas. Analisa data menggunakan analisa marketable dan marketed surplus beras, analisis linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata luas lahan yang dimiliki 0,21 ha, dengan produktivitas 4.823,69kg/Ha (GKP), 4.149,34kg/Ha (GKG), 2.603,30kg/Ha (Beras). Nilai marketable surplus beras sebesar 22.624,20 kg/MT atau 85,67 persen dari jumlah produk dan nilai marketed surplus beras sebesar 13.422,83 kg/MT atau 59,33 persen dari nilai marketable surplus. Alokasi produk lebih banyak digunakan untuk membayar tenaga kerja panen dan konsumsi pangan keluarga.

(2)

Hasil analisis regresi linear berganda dengan model yang didapat Y = -146,89+0,87X1- 1,94X2+4,94X3+1X4-83,80X5-0,009X6+2,95X7-7,23X8-1,6X9+34,3X10-0,007X11+e. Marketed surplus beras di Kabupaten Banyumas dipengaruhi oleh variabel jumlah produk dan biaya usahatani dalam natura.

Kata kunci: marketable surplus, marketed surplus, beras, banyumas PENDAHULUAN

Sektor Pertanian mempunyai peran yang sngat strategis bagi pembangunan perekonomian di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan menjadi hak asasi setiap manusia, seperti yang tercantum pada pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma 1996. Pangan sangat identik dengan beras yang menjadi kebutuhan pokok di Indonesia. Ketahanan pangan menjadi salah satu indikator kemakmuran suatu bangsa. Ketahanan pangan di masa mendatang telah menjadi salah satu isu terpenting baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Ketersediaan pangan sangat terkait dengan dinamika perberasan nasional. Isu tentang beras selain menjadi isu ekonomi juga dapat meluas menjadi isu sosial dan politik. Kasus kegagalan produksi, melambungnya harga beras, dan kelangkaan beras di pasar dapat menjadi pemicu gejolak sosial yang dapat berimplikasi pada situasi dan stabilitas politik nasional. Ketersediaan beras yang cukup dari waktu ke waktu menjadi salah satu agenda penting pemerintah pusat, daerah dan stakeholders terkait.

Salah satu cara untuk mendukung upaya Ketahanan Pangan adalah dengan mengetahui ketersediaan beras di suatu wilayah. Kabupaten Banyumas menduduki peringkat kedua belas dari dua puluh sembilan Kabupaten di Jawa Tengah terkait dengan luas produksi usahatani padi, yaitu 57.171 ha (BPS Provinsi Jawa Tengah, 2019). Produktivitas rata-rata usahatani padi di Kabupaten Banyumas sebesar 54,72 ku/ha, angka ini masih di atas produktivitas rata-rata nasional yaitu 51,92 ku/ha (pertanian.go.id, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Banyumas sangat berpotensi menjadi penyokong produksi beras di level Nasional. Berikut adalah data usahatani padi tiap Kecamatan di Kabupaten Banyumas tahun 2015

Tabel 1. Produksi padi sawah di Kabupaten Banyumas tahun 2013 – 2015

Kecamatan Produksi 2013 Produksi 2014 Produksi 2015

( Ton ) (Ton) ( Ton )

1 Lumbir 10.259 10.202 11.913

2 Wangon 14.739 14.553 17.305

3 Jatilawang 16.924 15.686 18.360

4 Rawalo 9.007 13.583 15.818

5 Kebasen 19.498 9.716 10.447

6 Kemranjen 15.329 16.441 21.523

7 Sumpiuh 15.028 13.879 17.827

8 Tambak 5.903 15.075 19.391

9 Somagede 8.881 5.142 6.048

10 Kalibagor 5.818 8.465 9.719

11 Banyumas 15.048 5.570 6.264

12 Patikraja 12.026 13.451 16.547

13 Purwojati 18.713 9.293 11.411

14 Ajibarang 13.112 17.247 19.460

(3)

15 Gumelar 22.956 9.622 12.061

16 Pekuncen 22.452 22.844 26.902

17 Cilongok 9.047 21.278 27.998

18 Karanglewas 14.067 6.895 11.824

19

Kedungbanten

g 11.611 9.179 15.436

20 Baturaden 18.078 9.890 13.702

21 Sumbang 15.798 14.759 24.430

22 Kembaran 16.281 19.259 18.941

23 Sokaraja 2.437 15.436 18.493

24

Purwokerto

Selatan 2.088 2.168 2.519

25

Purwokerto

Barat 1.514 1.925 2.856

26

Purwokerto

Timur 1.514 1.301 1.559

27

Purwokerto

Utara 3.323 2.968 3.882

Banyumas 335.350 305.795 382.635

Sumber : BPS Kabupaten Banyumas, 2019

Produksi padi di Kabupaten selama tiga tahun (2013-2015) bersifat fluktuatif dan di atas 300.000 ton per tahun. Usahatani padi yang menjadi sumber pendapatan petani, tidak lepas dari berbagai kendala. Kendala tersebut antara lain, skala usaha yang masih kecil, kelangkaan persediaan sarana produksi, akses pasar dan permodalan yang relatif sulit dijangkau oleh petani.

Petani masih menduduki peringkat atas mata pencaharian utama warga Indonesia, namun di sisi lain kesejahteraan petani belum merata. Menanam padi membutuhkan waktu 4 - 5 bulan hingga panen, sedangkan kebutuhan sehari-hari haruslah dipenuhi. Kebutuhan yang mendesak akan pendapatan tunai cukup beralasan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mengganti pinjaman sebelum panen ataupun dipergunakan membeli sarana produksi guna memulai usahataninya kembali (Krisnamurthi, 2014).

Petani memanfaatkan hasil produksi untuk berbagai kebutuhan antara lain, untuk kebutuhan konsumsi, untuk kebutuhan usahatani sebagai benih misalnya, maupun kebutuhan lainnya. Petani di Kabupaten Banyumas mempunyai dua peran, yaitu sebagai produsen dan konsumen karena selain menghasilkan beras, mereka juga berperan sebagai konsumen beras.

Apabila kebutuhan pangan petani akan beras lebih rendah dari hasil produksinya maka petani padi di Kabupaten Banyumas mengusahakan padi dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Namun, apabila terdapat kelebihan hasil produksi maka sisa hasil produksi petani setelah dikurangi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga memiliki potensi untuk dapat dijual atau dipasarkan kepada masyarakat (marketable surplus).

Ketersediaan beras di masyarakat tergantung dari besarnya jumlah sisa produksi beras (marketed surplus), semakin besar marketed surplus petani maka kebutuhan masyarakat akan beras semakin tercukupi. Selain itu, ketersediaan beras di pasar juga mempengaruhi harga beras baik di tingkat produsen maupun konsumen. Pertimbangan petani untuk menjual sebagian atau seluruh hasil produksi beras tentu terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Tujuan dari penelitian yaitu:

1. Mengetahui keragaan usahatani padi di Kabupaten Banyumas.

(4)

2. Mengetahui besarnya marketable surplus dan marketed surplus beras di tingkat petani padi di Kabupaten Banyumas.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus beras di tingkat petani padi di Kabupaten Banyumas.

METODE PENELITIAN

A. Analisis Data

Metode analisis data merupakan metode yang bertujuan untuk menyederhanakan data-data yang diperoleh ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dimengerti. Metode analisis yang digunakan pada penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuaannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Nazir, 2011). Analisis deskriptif digunakan untuk mengolah data dan informasi yang diperoleh melalui kuesioner mengenai gambaran umum petani padi sawah. Analisis deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan keragaan usahatani padi, cara dan bentuk alokasi penjualan hasil produksi padi serta jumlah marketable dan marketed surplus beras yang dihasilkan.

2. Analisis regresi linear berganda

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketed surplus akan dilakukan dengan menggunakan data dari keseluruhan responden, maka diperoleh model faktor marketed surplus.

Model yang digunakan adalah regresi linear berganda karena regresi linear adalah metode yang sederhana tetapi cukup menggambarkan pengaruh-pengaruh faktor terhadap marketed maupun marketable surplus. Selain itu, regresi linear berganda dapat membuat estimasi rata-rata dan nilai variabel tergantung didasarkan pada nilai variabel bebas, menguji hipotesis karakteristik dependensi dan untuk meramalkan nilai rata-rata variabel bebas didasarkan pada nilai variabel bebas diluar jangkauan (Gujarati, 1978).

Berdasarkan data yang tersedia, model persamaan regresi dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = ɑ + ꞵ1lnX1 + ꞵ2lnX2 + ꞵ3lnX3 + ꞵ4lnX4 + ꞵ5lnX5 + ꞵ6lnX6 + ꞵ7lnX7

+ ꞵ8lnX8 + e Keterangan:

Y : Jumlah beras yang dipasarkan (marketed surplus) kg/petani/MT ɑ : Konstanta (intercept)

i : Koefisien regresi variabel ke-i (i = 1, 2, 3, ….8)

Nilai ꞵi menunjukkan perubahan proporsional tertentu dalam X mengakibatkan perubahan yang konstan dalam Y (Gujarati, 1978)

e : Standard error

X1 : Jumlah produksi (kg beras/MT)

X2 : Pendapatan rumah tangga on farm (Rp/MT) X3 : Pendapatan rumah tangga off farm (Rp/MT) X4 : Pendapatan rumah tangga non farm (Rp/MT) X5 : Luas lahan (Ha)

X6 : Beras yang dikonsumsi (kg beras/MT)

X7 : Pengeluaran rumah tangga petani pangan (Rp/MT)

(5)

X8 : Pengeluaran rumah tangga petani non pangan (Rp/MT) X9 : Biaya usahatani (natura) (kg beras/MT)

X10 : Jumlah anggota keluarga (orang) X11 : Harga beras (Rp/kg)

Pengujian asumsi klasik merupakan pengujian asumsi-asumsi statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear berganda yang berbasis Ordinary Least Squares (OLS). Pengujian asumsi klasik dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu software SPSS 16.0 untuk beberapa uji sebagai berikut:

a. Uji normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji normalitas pada penelitian menggunakan uji statistik Kolmogorov Smirnov.

Pengujian hipotesis:

H0 : Data residual terdistribusi normal Ha : Data residual tidak terdistribusi normal

Data residual dikatakan terdistribusi normal apabila hasil pengujian menunjukkan nilai signifikan di atas nilai alfa dan jika nilai signifikansinya lebih kecil dari nilai alfa maka distribusi adalah tidak normal (Ghozali, 2013).

b. Uji autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan pengujian Durbin Watson (DW) dengan ketentuan sebagai berikut:

Jika H0 adalah dua ujung, yaitu bahwa tidak terjadi autokorelasi positif maupun negatif, maka jika:

DW < dL : menolak H0 DW > 4 – dL : menolak H0

dU < DW < 4 – dU : tidak menolak H0 dL ≤ DW ≤ dU : pengujian tidak meyakinkan

4 – dU ≤ DW ≤ 4 – dL : pengujian tidak meyakinkan (Ghozali, 2013).

c. Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi yang kuat di antara variabel-variabel independen yang diikutsertakan dalam pembentukan model. Terjadi atau tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF) untuk masing-masing variabel independen. Jika suatu variabel independen mempunyai nilai Tolerance lebih kecil dari 0,10 atau sama dengan nilai VIF lebih besar dari 10, maka telah terjadi multikolinearitas (Ghozali, 2013).

d. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi linear kesalahan pengganggu (e) mempunyai varians yang sama atau tidak dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Terjadi atau tidaknya heteroskedastisitas dapat diketahui dari nilai signifikansi regresi harga mutlak antara masing-masing variabel independen dengan residualnya. Pengujian hipotesis:

H0 : Tidak terdapat heteroskedastisitas Ha : Terdapat heteroskedastisitas

(6)

Uji heteroskedastisitas pada penelitian menggunakan Uji Glejser, jika nilai signifikansi lebih besar dari α (5%) maka tidak terdapat heteroskedastisitas, dan sebaliknya, jika lebih kecil dari α (5%) maka terdapat heteroskedastisitas (Ghozali, 2013).

Evaluasi model pendugaan bertujuan untuk mengetahui apakah model yang diduga terpenuhi secara statistik. Membuat suatu keputusan ada atau tidaknya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), maka digunakan uji F dan uji t. Uji F digunakan untuk melihat pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) secara bersama-sama (simultan), sedangkan uji t digunakan untuk melihat pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) secara parsial dalam penilitian ini.

a. Uji-F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor (Xi) secara bersamaan (simultan) terhadap variabel terikat (Y). Dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : ꞵ1 = ꞵi = 0 (Semua faktor Xi tidak mempengaruhi Y) H1 : Minimal salah satu ꞵ tidak bernilai nol

Kriteria Uji:

1) Fhitung ≤ Ftabel, maka terima H0 berarti semua variabel bebas tidak mampu secara bersama- sama menjelaskan variasi dari variabel terikat.

2) Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 berarti semua variabel bebas mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel terikat.

Rumus Uji F adalah:

F hitung = R² / k (1 – R² (n – k – 1)) Keterangan:

R2 = koefisien regresi n = jumlah sampel

k = jumlah variabel independen (Sugiyono, 2014) b. Uji- t

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).

Hipotesis pengujiannya adalah:

H0 : ꞵi = 0 (Variabel X tidak mempengaruhi variabel Y) H1 : ꞵi ≠ 0 (Variabel X mempengaruhi variabel Y)

Melihat pengaruh variabel X terhadap variabel Y, maka digunakanlah uji t.

Kriteria Uji:

1) thitung ≤ ttabel, maka terima H0 artinya variabel-variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat

2) thitung > ttabel, maka tolak H0 artinya variabel-variabel bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

Rumus perhitungan uji t adalah:

t = bj Sbj

Keterangan: t = nilai thitung

bj = koefisien regresi

Sbj = kesalahan baku koefisien regresi (Suliyanto, 2011).

c. Koefisien Determinasi (R2)

(7)

Koefisien determinasi (R2) digunakan sebagai pengukur tingkat kebaikan model. Semakin tinggi keragaman dapat diterangkan oleh model tersebut, semakin besar koefisien determinasi.

Rumus perhitungan R2 adalah:

R² =Σ (Ŷi − Ȳ)² Σ (Yi − Ȳ)² Keterangan:

R2 : Koefisien Determinasi

Ŷi : Nilai taksiran (perkiraan) Y ke i Ȳ : Nilai Y rata-rata

Yi : Nilai Y ke I (Gujarati, 1978).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327.60 km2 dengan keadaan wilayah antara daratan dan pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian daratan tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng Gunung Slamet sebelah selatan. Berdasarkan kelompok penggunaan lahan, dari total luas wilayah seluas 132.758 ha, yang merupakan lahan sawah adalah sekitar 32.292 ha atau sekitar 24,32 persen, dimana sekitar 25.909 ha merupakan sawah irigasi dan sekitar 6.383 34 ha merupakan sawah tadah hujan, sedangkan 100.466 ha atau sekitar 75.798 ha merupakan lahan pertanian bukan sawah dan 48.668 ha lahan bukan pertanian.

Karakteristik petani adalah ciri atau sifat yang dimiliki oleh petani yang ditampilkan melalui pola pikir, sikap, dan tindakan terhadap lingkungannya (Mislini dalam Chuzaimah et al., 2016). Pengkategorian karakteristik sosial ekonomi petani responden dilakukan dengan teknik analisis deskriptif. Petani padi di Kabupaten Banyumas didominasi oleh petani dengan usia produktif (15 sampai dengan 64 tahun) sebesar 83%. Menurut Soekartawi (1995), petani yang lebih tua usianya bisa jadi memiliki kemampuan usahatani yang lebih baik karena lebih berpengalaman dan keterampilannya lebih baik. Namun, biasanya lebih konservatif dan mudah lelah, sedangkan petani muda mungkin lebih miskin dalam pengalaman dan keterampilan, tetapi biasanya sikapnya progresif terhadap inovasi baru dan relatif lebih kuat. Petani di Kabupaten Banyumas sebesar 57% mengenyam pendidikan hingga SMP, pendidikan sangat berpengaruh dalam pengembangan pengetahuan dan pola berpikir. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin berkembang pola berpikirnya sehingga dapat dengan mudah mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani padi yang didiukung oleh adopsi inovasi teknologi (Yasa dan Hadayani, 2017).

Petani di Kabupaten Banyumas rata-rata mengusahakan padi pada lahan lebih kecil dari 0,50 hektar dengan luas lahan tersempit, yaitu 0,10 hektar. Luas lahan akan mempengaruhi besarnya marketed surplus, makin luas lahan yang dikuasai petani maka semakin besar jumlah beras yang dapat dipasarkan oleh petani (Ilham et al., 2010).

Pendapatan rumah tangga petani di Kabupaten Banyumas antara Rp6.000.000 sampai Rp10.999.999 per musim tanam, yaitu sebanyak 54 petani atau sebesar 54 persen.

Pendapatan rumah tangga tersebut termasuk ke dalam pendapatan kelas sedang atau setara dengan nilai upah minimal kabupaten (UMK) Kabupaten Banyumas pada tahun 2019 sebesar Rp1.900.000 per bulan atau rata-rata Rp7.600.000 per musim tanam.

Petani padi di Kabupaten Banyumas menjual hasil panennya melalui tiga cara yaitu, sistem tebasan, penjualan dengan cara sekaligus, dan penjualan dengan cara bertahap. Bentuk penjualan hasil produksi padi oleh petani dengan ketiga cara penjualan tersebut, yaitu gabah

(8)

kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), dan beras. Adapun petani yang menjual dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) sebanyak 76%, Gabah Kering Giling (GKG) sebanyak 3% dan beras sebanyak 21%.

Alokasi hasil produksi yang dilakukan oleh petani berdasarkan hasil pengamatan terhadap petani padi sawah irigasi di Kabupaten Banyumas dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:

a. Biaya usahatani

Hasil panen dialokasikan untuk membayar biaya selama usahatani atau dikeluarkan dalam bentuk natura (beras atau bawon). Biaya tersebut antara lain, biaya tenaga kerja (bawon), sewa thresher, zakat, irigasi dan bagi hasil dengan pemilik lahan (sakap).

b. Konsumsi

Produk dimanfaatkan oleh petani untuk kebutuhan keluarga (baik sebagai bahan pangan maupun benih) ataupun kegiatan sosial lainnya.

c. Penjualan

Hasil panen dijual dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) ataupun beras.

d. Penyimpanan (Stock)

Produk yang disimpan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan sewaktu-waktu, misalnya untuk kebutuhan sosial petani dan disimpan dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) Tabel 2. Alokasi produk petani responden padi di Kabupaten Banyumas per luas lahan (10,92 hektar )

Sumber: Data Primer diolah, 2019

Alokasi hasil produksi petani di Kabupaten Banyumas diukur per satu musim tanam (MT) dengan luas lahan garapan yang dikonversikan ke dalam satuan hektar. Luas lahan rata- rata yang dimiliki petani, yaitu sebesar 0,21 hektar. Besarnya alokasi hasil produksi secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai jumlah produk sebesar 26.408,39 Kg/MT diperoleh dari jumlah produk hasil panen.

Marketable surplus merupakan hasil produksi yang bisa dijual oleh petani setelah dikurangi dengan biaya usahatani selama proses usahatani sampai dengan pemanenan yang pembayarannya menggunakan bagian dari hasil panen dalam bentuk gabah maupun beras. Biaya yang dikeluarkan dalam bentuk natura (beras atau gabah) antara lain tenaga kerja panen, sewa thresher, zakat, irigasi dan bagi hasil dengan pemilik lahan (sakap). Meskipun hasil produksi yang telah dikurangi dengan biaya usahatani (natura) bisa dijual seluruhnya, tetapi petani masih

Uraian Jumlah beras

(kg/MT)

Rata-rata (kg/MT)

Persentase (%)

Stock sebelum panen 0,00 0,00 0,00

Jumlah produk hasil panen 26.408,39 2.418,35 100,00

Jumlah produk 26.408,39 2.418,35 100,00

Biaya tenaga kerja panen (bawon) 3.320,20 304,05 12,57

Sewa thresher 28,63 2,62 0,11

Zakat 435,36 39,87 1,65

Irigasi 0,00 0,00 0,00

Bagi hasil (Sakap) 0,00 0,00 0,00

Marketable surplus 22.624,20 2.071,81 85,67

Konsumsi pangan keluarga 5.251,78 480,93 23,21

Benih 37,02 3,39 0,16

Marketed surplus 13.422,83 1.229,20 59,33

Sisa marketable surplus (stock) 3.912,57 358,29 17,29

(9)

menyisihkan sebagian hasil panen padinya untuk kebutuhan benih musim tanam selanjutnya, konsumsi pangan rumah tangga, dan cadangan. Tinggi rendahnya nilai marketable surplus juga dipengaruhi oleh produktivitas lahan sawah untuk menghasilkan beras, rata-rata produktivitas padi lahan sawah di Kabupaten Banyumas berdasarkan data dari 100 responden petani yaitu sebesar 4.823,69kg/Ha dalam bentuk GKP. Makin tinggi tingkat produktivitas lahan maka semakin besar jumlah produk yang dihasilkan sehingga jumlah marketable surplus juga akan bertambah.

1. Marketable Surplus Beras

Marketable surplus merupakan hasil produksi yang bisa dijual oleh petani setelah dikurangi dengan biaya usahatani selama proses usahatani sampai dengan pemanenan yang pembayarannya menggunakan bagian dari hasil panen dalam bentuk gabah maupun beras.

Biaya yang dikeluarkan dalam bentuk natura (beras atau gabah) antara lain tenaga kerja panen, sewa thresher dan zakat. Meskipun hasil produksi yang telah dikurangi dengan biaya usahatani (natura) bisa dijual seluruhnya, tetapi petani masih menyisihkan sebagian hasil panen padinya untuk kebutuhan benih musim tanam selanjutnya, konsumsi pangan rumah tangga, dan cadangan.

Tinggi rendahnya nilai marketable surplus juga dipengaruhi oleh produktivitas lahan sawah untuk menghasilkan beras, rata-rata produktivitas di Kabupaten Banyumas berdasarkan data dari 100 responden petani padi, yaitu sebesar 4.823,69kg/Ha dalam bentuk GKP, 4.149,34kg/Ha (GKG), 2.640,80kg/Ha (Beras).

a. Jumlah produk hasil panen

Jumlah produk hasil panen merupakan jumlah beras kotor yang dihasilkan lahan petani. Penelitian ini menggunakan data satu musim tanam padi pada periode tanam April sampai Juli. Jumlah produk yang dihasilkan adalah 2.640,80/Ha (Beras).

b. Biaya tenaga kerja (bawon)

Biaya tenaga kerja sistem bawon adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani untuk membayar tenaga kerja saat memanen lahan padi miliknya. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar tenaga kerja yang dibayar menggunakan natura adalah tenaga kerja panen, sedangkan tenaga kerja pengolahan dan tanam dibayar dengan uang tunai.

Nilai untuk biaya tenaga kerja rata-rata per hektar sebesar 304,05 kg/MT atau 12,57 persen dari jumlah produk dialokasikan untuk biaya tenaga kerja.

c. Sewa thresher

Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa mesin perontok (thresher).

Pembayaran sewa thresher dapat menggunakan uang tunai maupun natura, dari 100 responden yang membayar biaya threser dengan natura sebesar 10%. Sebagian besar petani mengalokasikan sebagian dari pendapatan rumah tangga untuk membayar sewa thresher, selebihnya petani tidak menyewa thresher untuk mengolah hasil panennya, melainkan dengan tenaga kerja manusia yang dibayar dengan natura. Nilai untuk sewa threser sebesar 2,62 Kg beras/MT.

d. Zakat

Biaya yang harus dikeluarkan oleh petani sebagai bentuk kewajiban dalam agama Islam atau rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Petani responden memberikan sebagian dari hasil panennya kepada saudara dan tetangga yang membutuhkan. Nilai untuk zakat sebesar 435,36 kg beras/MT, dengan rata-rata per hektar sebesar 39,87 kg beras/MT atau 1,65 persen dari jumlah produk dialokasikan untuk membayar zakat.

e. Irigasi

(10)

Biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar perawatan saluran irigasi.

Pembayaran untuk irigasi dapat menggunakan uang tunai maupun hasil panen, dari 100 responden tidak terdapat responden membayar biaya irigasi dengan natura.

f. Sewa lahan (sakap)

Pembayaran natura untuk pemilik lahan hanya dilakukan oleh petani penggarap, khususnya penggarap dengan sistem sakap, dari 100 responden tidak ada yang membayar sewa melalui sakap.

Sisa dari hasil panen yang telah dikurangi dengan alokasi untuk biaya usahatani sebenarnya bisa dijual seluruhnya, tetapi petani responden masih menyisihkan sebagian hasil panen untuk kebutuhan benih musim tanam selanjutnya, konsumsi pangan rumah tangga, dan cadangan. Nilai marketable surplus beras di Kabupaten Banyumas dengan rata-rata per hektar sebesar 2.071,81 kg/MT atau 85,67 persen dari jumlah produk.

2. Marketed Surplus

Marketed surplus merupakan jumlah produk atau kelebihan hasil dari produksi yang dijual ke pasar. Jumlah produk yang dihasilkan oleh petani setelah dikurangi dengan biaya usahatani dalam bentuk natura sebenarnya semuanya bisa dijual langsung oleh petani.

Namun, petani sering kali menyimpan sebagian hasil panennya sebagai persediaan untuk konsumsi pangan rumah tangga, benih, dan stock atau cadangan. Jual sekaligus adalah penjualan gabah petani setelah panen dilaksanakan, yaitu kurang dari tujuh hari, sedangkan jual bertahap adalah penjualan gabah yang telah disimpan petani lebih dari tujuh hari dan telah mengalami proses penjemuran atau telah diolah menjadi beras. Besarnya nilai marketed surplus beras di Kabupaten Banyumas disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai marketed surplus petani responden di Kabupaten Banyumas per luas lahan 10,92 hektar periode tanam April sampai Juli

Uraian Jumlah beras

(kg/MT)

Rata-rata (kg/MT)

Persentase (%)

Marketable surplus 22.624,20 2.071,81 85,67

Konsumsi pangan keluarga 5.251,78 480,93 23,21

Benih 37,02 3,39 0,16

Marketed surplus 13.422,83 1.229,20 59,33

Sisa marketable surplus (stock) 3.912,57 358,29 17,29 Sumber: Data primer diolah, 2019.

a. Konsumsi pangan keluarga

Konsumsi pangan keluarga merupakan jumlah beras yang digunakan responden untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Sebanyak 80 petani dari 100 petani responden atau sebesar 80 persen petani mengkonsumsi beras dari hasil produksinya.

Namun, ada beberapa responden yang lebih mengutamakan beras yang dihasilkan untuk dijual kemudian membeli beras dengan varietas lain yang harganya lebih rendah atau dengan kualitas beras yang lebih baik. Nilai untuk konsumsi pangan keluarga rata-rata sebesar 480,93kg beras/MT/hektar atau 23,21 persen dari marketable surplus..

b. Benih

Benih sangat berpengaruh terhadap produksi padi. Varietas yang digunakan di Kabupaten Banyumas antara lain, Ciherang, Inpara 2, Inpara 5, Inpari 32, Inpari 33, IR 64, Mekongga dan Situbagendit. Penelitian ini belum membedakan jenis benih yang digunakan. Nilai untuk benih adalah 37,02kg beras/MT, dengan rata-rata per hektar sebesar 3,39 kg beras/MT atau 0,16 persen dari marketable surplus dialokasikan untuk benih musim tanam selanjutnya. Nilai tersebut menunjukkan angka yang sangat kecil

(11)

karena nilai tersebut jauh dari nilai anjuran pemerintah mengenai jumlah benih padi per hektar, yaitu sebanyak 25 kg gabah kering giling untuk satu musim tanam.

c. Marketed surplus

Marketed surplus adalah kelebihan dari jumlah produk yang dijual oleh responden.

Selain untuk dikonsumsi dan disimpan, hasil panen padi juga dijual oleh petani responden. Berdasarkan hasil pengamatan, petani responden menjual dalam bentuk beras kepada konsumen secara bertahap dengan harga berkisar antara Rp9.700 per kg sampai dengan Rp10.500 per kg. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua petani responden menjual hasil produksi padinya dalam bentuk beras, yaitu dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG). Rata-rata petani menjual hasil usahatani padi mereka dalam bentuk gabah kering giling (GKG) dengan harga Rp4.000-Rp6.500 d. Sisa marketable surplus (stock)

Stock adalah persediaan yang disimpan oleh petani agar bisa digunakan sewaktu-waktu untuk berbagai keperluan. Berdasarkan pengamatan, stock beras masih dilakukan oleh responden, hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga ketika suatu saat membutuhkan uang tunai, untuk konsumsi rumah tangga ketika alokasi beras untuk konsumsi telah habis, atau digunakan untuk keperluan sosial. Nilai untuk sisa marketable surplus adalah 3.912,57 kg beras/MT, dengan rata-rata per hektar sebesar 358,29 kg beras/MT atau sebesar 17,29 persen dari marketable surplus dialokasikan untuk stock sebagai cadangan.

Badan Pusat Statistik (2019) menyatakan bahwa tingkat konsumsi beras per kapita nasional sebesar 111,58 kg per kapita per tahun. Jumlah penduduk Kabupaten Banyumas tahun 2017 sebanyak 831.816jiwa, dengan asumsi bahwa setiap individu memiliki kebutuhan beras yang sama maka kebutuhan konsumsi beras di Kabupaten Banyumas sebesar 92.814.029 kg per tahun, diasumsikan satu musim tanam adalah 4 bulan maka kebutuhan konsumsi beras sebesar 30.938.009,67 kg per MT.

Marketed surplus beras dipengaruhi oleh beberapa variabel yang dimasukkan ke ada pada model penelitian. Hipotesis pada penelitian adalah terdapat pengaruh antara variabel jumlah produk, pendapatan rumah tangga petani, luas lahan, beras yang dikonsumsi, pengeluaran rumah tangga petani, biaya usahatani (natura), jumlah anggota keluarga, dan harga beras terhadap variabel marketed surplus beras. Untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Model regresi linear berganda yang baik adalah model dengan penaksir tak bias, linear, dan mempunyai varian yang minimum (Best Linear Unbiased Estimators = BLUE) didasarkan pada asumsi yang harus dipenuhi (asumsi klasik), yaitu normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas.

(12)

Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi marketed surplus beras di Kabupaten Banyumas:

Variable Coefficient Std. Error thitung ttabel p-value

C -146.8931 75.93500 -1.934459 1.990 0.0603

X1 0.877208 0.194050 4.520524 0.0001

X2 -1.94E-05 1.37E-05 -1.416595 0.1645

X3 4.94E-06 3.32E-06 1.486895 0.1451

X4 1.00E-05 5.07E-06 1.978383 0.0550

X5 -83.80923 281.0914 -0.298156 0.7672

X6 -0.009820 0.007112 -1.380839 0.1752

X7 2.95E-05 2.77E-05 1.067088 0.2925

X8 -7.23E-05 5.62E-05 -1.286037 0.2060

X9 -1.606858 0.479364 -3.352059 0.0018

X10 34.33088 28.31392 1.212509 0.2326

X11 -0.007510 0.0079768 -0.942510 0.3517

R-square 0.872711

Adjusted R-square 0.599065

Fhitung 7.791685

Prob. Fhitung 0.000001

Ftabel 2.04

Sumber: Data Primer diolah, 2019

Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,87 artinya 87,2 persen variasi yang terjadi pada marketed surplus beras dapat dijelaskan oleh variasi dari kesebelas variabel bebas (jumlah produk, pendapatan rumah tangga on farm, pendapatan rumah tangga off farm, pendapatan rumah tangga non farm, luas lahan, beras yang dikonsumsi, pengeluaran rumah tangga, biaya usahatani, jumlah anggota keluarga, dan harga beras), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Variabel yang secara signifikan berpengaruh adalah variabel Jumlah produk (X1) dan biaya usahatani dalam natura (X9). Nilai thitung untuk variabel jumlah produk sebesar 4,5 lebih besar dari ttabel 1,99 dengan nilai p-value sebesar 0,0001 lebih kecil dari tingkat kesalahan 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Artinya, pada taraf kepercayaan 95 persen variabel jumlah produk berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel jumlah produk bernilai 0,87 artinya jumlah produk memiliki pengaruh positif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan jumlah produk sebesar satu satuan akan meningkatkan marketed surplus sebesar 0,87 satuan beras per musim tanam.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Mubyarto (1970) yang menyatakan bahwa satu- satunya faktor yang paling penting yang mempengaruhi marketed surplus adalah tingkat produksi dari produk itu sendiri. Nilai thitung untuk variabel biaya usahatani sebesar 3,35 lebih besar dari ttabel 1,99 dengan nilai p-value sebesar 0,00 lebih kecil dari tingkat kesalahan 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Artinya, pada taraf kepercayaan 95 persen variabel biaya usahatani berpengaruh secara nyata terhadap variabel marketed surplus. Koefisien regresi variabel biaya usahatani bernilai -1,60, artinya biaya usahatani berpengaruh negatif terhadap marketed surplus, yaitu peningkatan biaya usahatani sebesar satu satuan akan menurunkan

(13)

marketed surplus sebesar 1,6 satuan beras per musim tanam. Hal ini sesuai dengan pendapat Hendriyana (2011) yang menyatakan bahwa marketable surplus merupakan jumlah hasil panen dikurangi oleh pembayaran natura sehingga semakin tinggi biaya usahatani maka akan mengurangi marketable surplus dan berpotensi untuk mengurangi marketed surplus.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Usahatani padi pada lahan sawah irigasi di Kabupaten Banyumas telah memiliki tanda pergeseran corak usahatani, yaitu dari subsisten ke arah komersial dilihat dari proporsi alokasi hasil produksi yang lebih besar untuk dijual oleh petani (market oriented).

2. Marketable surplus beras di Kabupaten Banyumas sebesar 22.624,20 kg/MT dengan rata- rata per hektar sebesar 2.071,81 kg/MT atau 85,67 persen dari jumlah produk dan nilai marketed surplus beras sebesar 13.422,83 kg/MT dengan rata-rata per hektar sebesar 1.229,20 kg/MT atau 59,33 persen dari marketable surplus.

3. Marketed surplus beras di Kabupaten Banyumas dipengaruhi oleh variabel jumlah produk dan biaya usahatani dalam natura.

Saran

1. Berdasarkan hasil penelitian maka diperlukan peningkatan pengadaan fasilitas penanganan pasca panen, seperti mesin pengering gabah dan mesin perontok padi supaya petani dapat menjual hasil panen dalam bentuk beras dengan harga yang lebih tinggi.

2. Salah satu faktor pengaruh marketed surplus yang nyata adalah jumlah produk beras sehingga perlu adanya paket program dan teknologi yang aplikatif supaya dapat mengkatkan hasil panen petani di Kabupaten Banyumas.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2019. Luas Panen, Produktivitas, Jumlah Produk Padi di Kabupaten Banyumas Tahun 2012-2015. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Banyumas.

Chuzaimah et al. 2016. Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Petani terhadap Pendapatan Usahatani Padi Lebak di Desa Pemulutan Ulu. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2016, 20-21 Oktober, Palembang. Hal. 331-338.

Ghozali, I. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Gujarati, D. Alih bahasa oleh Zain, S. 1978. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.

Hendriyana, Y. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Produk dan Marketed Surplus Padi di Kabupaten Karawang. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Krisnamurthi, B. 2014. Ekonomi Perberasan Indonesia. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Bogor.

Mubyarto. 1970. Marketable Surplus Beras di Indonesia. Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.

(14)

Nabiu, M., et al. 2010. Marketed Surplus Ubi Jalar (Ipomea Batatas) dan Dampaknya terhadap Ketersediaan Pangan Nonberas di Provinsi Bengkulu. Prosiding Semirata Bidang Ilmu- Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat. Hal. 739-748.

Nazir, M. 2011. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Bogor.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta, Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

In the area of language learning and teaching, a new reference framework has been published that aims at a kind of language learning in which learners are able to enhance their

[r]

Dengan menggabungkan kedua metode tersebut diharapkan sistem yang akan dibangun dapat mempermudah mengenal informasi dari rambu lalu lintas disekitar kendaraan yang

Jika epistemologi baya&gt;ni merupakan nalar yang tumbuh dari dalam rahim kebudayaan Arab, dan jika epistemologi ‘irfa&gt;ni pada awalnya merupakan manifestasi dari

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan hasil belajar salah satunya yaitu motivasi, untuk meningkatkan motivasi dari peserta didik khususnya dalam

Serangga permukaan tanah yang terjebak di kelompokkan ke dalam kelompok ordo, famili dan genus.Serangga permukaan tanah yang ditemukan terdiri atas ordo

perbedaan antar plot terdapat keanekaragaman, kemerataan dan kelimpahan morfospesies di Hutan lindung nanga-nanga, (2) habitat terbuka dan tertutup tidak menunjukkan

They glanced at Susannah and looked a bit longer at Jake (his youth apparently more interesting to them than her dark skin), but it was clearly Roland they had come to see;