• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 9 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 9 Universitas Kristen Petra"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Core Values

Bagian utama core values sebuah brand adalah brand vision yang didefinisikan sebagai:

The Brand’s guiding insight into its world (Interbrand Group, 2003) (Panduan insight brand bagi dunianya)

Brand Vision yang kuat adalah yang memiliki tiga komponen berhubungan yaitu:

(Tjahyono, 2003, p.6)

• Lingkungan masa depan yang ingin dibawa oleh brand.

• Tujuan keberadaan brand, selain menghasilkan uang.

• Nilai yang akan menjadi karakter brand.

Sebagai contoh, perusahaan Nestle memiliki Brand Vision ‘nutrition’, yang menjadi pedoman dan diwujudkan dalam setiap kategori produk yang telah dan akan dihasilkannya, mulai produk nutrisi bayi hingga manula.

2.2. Brand Personality

Brand Personality adalah The attribution of human personality traits to a brand as a way to achieve differentiation. (Interbrand Group, 2003).

(Pemakaian atribut kepribadian manusia pada sebuah brand sebagai cara untuk mencapai diferensiasi)

Menurut Jennifer Aaker, terdapat lima factor utama brand personality, yaitu ketulusan hati (sincerity), kegembiraan (excitement), kecakapan (competence), kecanggihan (sophistication), dan kekerasan (ruggedness).

Proses penciptaan brand personality adalah: (Temporal, 2000, p. 54-55).

• Mengenali target audience.

• Mengenali kebutuhan, keinginan, dan kesukaan target audience.

• Membangun profil kepribadian konsumen.

• Menciptakan kepribadian produk yang sesuai dengan profil tersebut

(2)

Sifat Brand Personality pada umumnya: (Ibid, p. 56)

• Jangka panjang (long term), sehingga dapat mengembangkan persahabatan dengan pelanggan. Bila diinginkan perubahan, sebaiknya melalui proses berevolusi secara perlahan.

• Sederhana, karena kepribadian yang terlalu rumit akan sulit dikenali dan diingat oleh pelanggan.

2.3. Brand Identity

Brand Identity adalah the outward expression of a brand, including its name and visual appearance (Interbrand Group, 2003).

(Ekspresi kasat mata dari sebuah brand, termasuk nama dan tampilan visual).

Brand Identity merupakan makna fundamental bagi pengenalan dan pengakuan konsumen akan suatu brand, Brand elements juga menyimbolkan diferensiasi sebuah brand dari kompetitor-kompetitornya.

Terdapat enam kriteria utama dalam memilih brand elements: (Keller, 2003).

• Kemampuan untuk diingat (Memorability)

Brand elements harus mudah dikenali dan diingat kembali, sehingga mampu mencapai brand awareness.

• Faktor arti atau makna (Meaningfullness)

Bran identity harus bersifat deskriptif dan persuasif, sesuai dengan produk yang ditawarkan dan target market, sehingga mampu membentuk brand association.

• Kemampuan untuk disukai (Likability)

Asosiasi yang dibentuk oleh brand identity tidak selalu berhubungan dengan produk. Karenanya, brand elements yang dipilih seharusnya ‘kaya’ secara image verbal dan visual, menyenangkan naik secara emosional maupun estetis, dan menarik. Ini adalah kriteria likability.

• Kemampuan untuk dioper (Transferability)

Kriteria transferability diperuntukkan bagi pengoperan brand elements, baik dalam pengoperan produk kategori maupun pengoperan secara geografis.

(3)

Brand Elements yang baik mampu diaplikasikan pada berbagai produk kategori, selain itu juga harus mampu melintasi batasan geografis dan budaya.

• Kemampuan untuk disesuaikan (adaptability)

Brand identity harus bersifat fleksibel dan dapat terus diperbaharui (updateable), sehingga mampu bertahan melewati waktu. Salah satu caranya adalah dengan redesign.

• Kemampuan untuk dilindungi (Protectability).

Brand identity harus protectable, baik dari sisi hukum maupun sisi kompetitif.

Tidak mudah menciptakan brand element yang memenuhi seluruh kriteria tersebut. Ditambah pertimbangan bahwa nilai dalam pemilihan brand element berhubungan erat dengan brand personality. Proses desain atau redesign brand identity dapat diartikan konsumen sebagai perluasan lini produk, kenaikan harga, sebuah inovasi produk baru, atau berbagai persepsi lain, karena itu brand elements sangat penting. Selanjutnya akan dibahas mengenai beberapa pilihan utama brand identity (Keller, 2003, p. 182-217).

a. Nama Brand (Brand Names)

Brand names merupakan pilihan terpenting karena sering berhubungan dengan tema inti atau asosiasi terhadap produk.

Landor – konsultan branding terkemuka di dunia – memilih brand name menjadi enam kriteria umum:

1. Descriptive, menggambarkan fungsi secara langsung, biasanya tidak dapat didaftarkan.

Contoh: Singapore Airlines.

2. Suggestive, mensugesti keuntungan atau fungsi.

Contoh: Bank Mandiri.

3. Compounds, kombinasi dua atau lebih kata, seringkali tidak terduga.

Contoh: FedEx (Federal Express).

4. Classical, berdasarkan bahasa latin, yunani atau sansekerta.

Contoh: Nike.

5. Arbitrary, kata-kata nyata tanpa hubungan jelas dengan perusahaan.

Contoh: Apple.

(4)

6. Fanciful, kata-kata diperkaya (coined words), tapi tidak memiliki arti yang jelas.

Contoh: Yahoo!

Brand Name berhubungan erat dengan bahasa, dan bahasa berevolusi secara dinamis. Karena itu, pemilihan Brand name seharusnya didukung degnan riset konsumen (Consumer Research).

Dalam proses riset konsumen dan pemilihan nama brand. Harus disadari bahwa selalu ada kemungkinan munculnya asosiasi negatif dari sebuah nama dalam suatu negara atau bahasa atau budaya lain. Pada beberapa kasus, asosiasi negatif yang muncul tidak terlalu parah, mereka dapat dilenyapkan dengan serbuan luncuran pemasaran (Keller, 2003, p. 189-191).

b. Logo dan Simbol

Elemen visual memainkan peran penting dalam sebuah brand, terutama untuk mencapai awareness. Murphy dan Rowe mengklasifikasikan logo dalam tujuh kategori, yaitu: (Murphy & Rowe, 1988, p.16)

• Name-only logos, diambil dari brand name dengan visualisasi khusus.

• Name-symbol logos, diambil dari brand name dengan tipografis berkarakter dan termuat dalam symbol visual sederhana.

• Initial letter logos, logo yang menggunakan huruf awal brand name.

• Pictorial Name logos, logo yang menggunakan brand name sebagai komponen penting dari gaya logo. Secara keseluruhan, logo ini tampil secara khas.

• Associate logos, logo yang berdiri bebas, biasanya tidak memuat brand name.

• Allusive logos, Logo yang bersifat kiasan, biasanya berkaitan dengan produk atau jasa yang ditawarkan.

• Abstract logos, logo yang dapat menimbulkan berbagai kesan tergantung persepsi khalayak.

(5)

c. Karakter

Karakter mewakili tipe khusus sebuah brand symbol. Keberadaan karakter yang penuh warna dan kaya imajinasi efektif untuk menarik atensi khalayak, sehingga berguna bagi brand awareness. Contoh karakter yang berhasil membangun brand awareness hingga brand image pada masa ini adalah ‘Marlboro Cowboy’ (Keller, 2003, p. 202-203).

Karakter seharusnya sering diperbaharui sehingga image dan kepribadiannya tetap relevan dengan target market. Contoh pembaharuan karakter secara bertahap adalah ‘operasi plastik’ yang dilakukan perusahaan Mattel pada boneka Barbie.

d. Slogan dan jingle

Slogan adalah frasa singkat yang mengkomunikasikan informasi mengenai brand secara desktiptif dan persuasif. Slogan dapat berfungsi sebagai ‘pengail’ atau ‘pengikat’ untuk membantu konsumen menangkap makna sebuah brand dan mengapa sebuah brand menjadi spesial. Contoh brand slogan yang baik adalah

“ Just Do It”.

Jingle adalah pesan musikal di sekitar brand. Jingle dapat pula dikategorikan sebagai slogan musikal. Sebuah jingle yang baik sangat mempengaruhi tingkat brand awareness, juga dapat menjadi dasar strategi periklanan dalam jangka yang cukup panjang. Contoh jingle yang berhasil adalah “Be Like Mike!”

Seperti Brand Identity yang lain, slogan dan jingle juga harus terus diperbaharui, sesuai dengan perkembangan pasar.

e. Kemasan

Perkembangan kemasan masa kini telah melampaui segi fungsionalnya, yakni sekedar pembungkus sebuah produk. Kini, baik dari segi produsen maupun konsumen, kemasan harus mampu (Bassin, 1998):

• Membedakan brand yang diwakili.

• Memuat informasi secara deskriptif dan persuasif.

• Melindungi produk.

• Membantu penyimpanan produk

(6)

• Membantu konsumsi produk.

Untuk mencapai kepuasan konsumen, aspek fungsional dan estetis dari kemasan harus dipilih dengan cermat. Pertimbangkan estetis meliputi ukuran kemasan, bentuk, material, dan elemen-elemen grafis. Penonjolan suatu elemen pada kemasan dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap produk dan brand. Contohnya adalah aplikasi brand color palate merah dan biru membedakan brand Coca Cola dan Pepsi untuk produk yang serupa.

2.4. Brand Strategy

Agar sasaran sebuah brand dapat tercapai, dibutuhkan strategi yang tepat, yang disebut sebagai brand strategy. Oleh Interbrand, brand strategy didefinisikan sebagai:

A plan for systematic development of a brand to enable it to meet its agreed objectives (Interbrand Glossary, 2003).

(Sebuah rencana perkembangan sistematis bagi sebuah brand untuk memungkinkan brand tersebut mencapai sasaran-sasaran yang telah disetujui).

Strategi yang digunakan harus berakar dari brand vision. Brand strategy harus mempengaruhi pelaksanaan operasi suatu bisnis untuk memastikan konsistensi suatu brand. Komponen penting brand strategy adalah brand positioning.

Biasanya brand strategy memiliki blueprint yang dilengkapi dokumen untuk mendefinisikan brand yang bersangkutan, yang oleh Interbrand disebut sebagai brand platform.

2.5. Brand Positioning

Brand positioning adalah

The distinctive position that a brand adopts in its competitive environment to ensure that individuals in its target market can tell the brand apart from others. (Ibid).

(7)

(Suatu posisi tersendiri yang digunakan sebuah brand pada lingkungan kompetitifnya untuk memastikan bahwa individu-individu dalam target pasarnya dapat menyatakan brand tersebut secara terpisah dari lainnya).

Positioning adalah melakukan sesuatu bukan terhadap brand atau produk, tetapi terhadap pikiran calon konsumen, yakni bagaimana menempatkan brand atau produk tersebut di benak calon konsumen. Melakukan positioning atau repositioning dapat melibatkan perubahan brand elements, namun bukan perubahan brand secara holistic. Positioning dapat diartikan sebagai menjadi yang pertama masuk di pikiran audience adalah salah satu brand Top of Mind Levi’s yang membrandkan jeans untuk pertama kali dan dianggap sebagai jeans pertama, padahal jeans telah dipakai oleh para penambang jauh sebelum brand itu muncul.

Dalam melakukan positioning, sebaiknya dipahami betul siapa konsumen yang dituju, dan bagaimana mereka berperilaku. Positioning harus diawali dengan segmenting yang jelas dan targeting yang dinamis. Segmenting adalah suatu strategi untuk memahami struktur pasar. Targetting adalah bagaimana memilih, menyeleksi, dan menjangkau pasar (Ibid, p. 369-412).

Tujuan utama positioning adalah memberitahukan pada audience bahwa sebuah brand berbeda dan lebih baik dari kompetitornya, kemudian berusaha memperoleh sebuah posisi dalam benak konsumen. Karena itu brand positioning selalu mengandung janji (brand promise) yang harus diwujudkan melalui brand experience, yang kemudian dapat membentuk atau memperkuat brand image.

2.6. Brand Platform

Brand platform adalah a model for defining brands (Interbrand Glossary, 2003). (Sebuah model atau teladan dalam mendefinisikan brand)

Brand platform membantu memastikan penerapan brand secara konsisten.

Brand Platform biasanya berupa dokumen yang tediri dari brand vision, brand mission, brand values, brand personality, dan brand elements secara mendetail.

Dalam mengembangkan brand platform, harus dipertimbangkan aset-aset yang tersedia dan memilih sebuah poros komunikasi yang strategis, dalam arti : (Temporal, 2000, p. 50-52).

• Dapat dikenali oleh pasar.

(8)

• Dianggap menarik dan berarti oleh pasar.

• Mampu menawarkan poin diferensiasi yang positif dan berarti.

• Mampu mewakiliki positioning jangka panjang.

• Dilandasi oleh elemen-elemen pembeda dari perkembangan produk.

2.7. Brand Image

Wujud brand yang sebenarnya adalah apa yang terletak di benak konsumen, yang disebut dengan brand image.

Brand image tercipta melalui brand associations, yaitu saat konsumen mengintegrasikan kesan yang mereka tangkap dari sebuah brand dengan struktur mental pribadi mereka, baik yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan.

Bagi para pelanggan, brand image terbentuk berdasarkan pengalaman praktis terhadap produk atau jasa yang bersangkutan, bagaimana brand memenuhi harapan mereka. Sedangkan bagi Non-users, brand image terbentuk melalui kesan, perilaku, dan apa yang mereka percayai.

Karena itu brand strategy harus diatur secara tepat, sehingga mampu membentuk dan mengendalikan image yang muncul dalam benak calon konsumen. Jika tidak, akan terbentuk perception gap, yaitu perbedaan antara image di benak konsumen dengan identitas atau kepribadian perusahaan. Apabila terjadi perception gap, perusahaan harus siap mengubah brand image-nya, bukan brand personality-nya. (Temporal, 2000, p. 31-34) Cara efektif mengubah brand image ---jika diperlukan----adalah melalui brand experience.

2.8. Brand Experience

Brand experience adalah pengalaman konsumen dengan brand yang bersangkutan. Brand experience bergantung pada kepuasan konsumen secara stimultan akan kebutuhannya. (Ibid, p. 65-67) Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud termasuk kebutuhan fungsional yang terpenuhi dengan pembelian produk atau jasa, juga kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh brand.

Faktor utama dalam brand experience adalah kualitas produk atau jasa, ketersediaan, dan kekuatan brand. Brand experience akan semakin berkesan apabila memiliki perbedaan dari competitor, dan disampaikan dengan jelas.

(9)

Produsen atau perusahaan dapat mengontrol brand experience melalui kampanye periklanan, layanan pelanggan, dan berbagai sarana promosi lainnya.

Namun brand experience yang didapat audience secara tidak terkontrol, seperti melalui komentar jurnalistik dan berita dari mulut ke mulut (Word of mouth) bisa jadi lebih efektif.

2.9. Brand Loyalty

Brand loyalty atau kesetiaan pelanggan pada sebuah brand didahului oleh suatu proses yang panjang. Awal proses tersebut adalah brand awareness, saat konsumen masih sensitif terhadap harga dan kerap berpindah brand. Kemudian melalui brand experience yang baik, konsumen menjadi puas dan terbiasa suatu brand (behaviour brand). Selanjutnya, konsumen menjadi puas dan tidak ingin berpindah brand dengan alasan harga atau munculnya brand baru (attitude loyal).

Pada tahap ini konsumen bahkan siap mengkonsumsi produk lebih sering. Lama kelamaan, konsumen menyukai brand tersebut seperti seorang teman. Pada fase ini, konsumen telah mengkomitmenkan dirinya terhadap suatu brand, dan menuntut keberadaan brand tersebut (insist). Ini disebut dengan brand loyalty.

2.10. Brand Architecture

Brand Architecture adalah:

Establishes corporate relationships between parent and subsidiaries/

affilities, among subsidiaries/affilities, with products and services (Surya, p. 36).

(Penetapan hubungan perusahaan, antara induk dan cabang-cabang, antar cabang-cabang, dengan produk dan jasa).

Brand architecture banyak berperan dalam pengambilan keputusan brand strategy ketika induk perusahaan melakukan perluasan lini, karena dalam melakukan perluasan lini semua brand memiliki batas.

Beberapa perluasan lini yang dilakukan dapat berupa overstepping, dilution, dan fractionating. Contoh overstepping adalah perluasan lini yang dilakukan oleh Levi Strauss dengan menjual pakaian formal. Dilution adalah perluasan lini yang dilakukan Dunhill dari produk rokok hingga fashion kelas

(10)

atas. Fractionating dilakukan IBM yang membangun dua kepribadian yang saling berkompetisi dengan memproduksi computer mainframe dan personal computer.

Sayangnya, perluasan lini yang tidak hati-hati hampir selalu menghancurkan brand, karena sesungguhnya kekuatan brand berbanding terbalik dengan cakupannya.

Karena itu, brand architecture menggunakan decision tree untuk mengambil keputusan, dengan tujuan: (Surya, p. 36)

• Mendefinisikan brand relationships potensial antara induk dengan cabang.

• Menetapkan perangkat kriteria objektif untuk menetapkan hubungan tersebut.

• Melacak setiap kesatuan dalam lingkup kriteria, menuju posisi yang tepat.

Empat model brand architecture yang sering digunakan adalah: (Ibid, p. 37-39)

• Monolithic, yaitu hanya menggunakan brand induk.

Contoh : GE Capital.

• Shared, yaitu hanya menggunakan brand induk dan brand name baru Contoh : Sony Walkman.

• Endorsed, yaitu menggunakan brand name baru, namun tetap mencantumkan brand induk.

Contoh : Fanta, a product of the Coca Cola Company.

• Invisible, yaitu menggunakan brand name yang benar-benar baru dan lepas dari brand induknya.

Contoh : Lexus.

Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga tidak ada pendekatan yang benar dan salah dalam brand architecture. Setiap perusahaan harus memilih pendekatan yang paling tepat dengan kebutuhannya.

2.11. Brand Equity

Kekompleksan antara brand dan pilihan komunikasi pemasaran telah meningkat seiring dengan perkembangan jaman. Secara umum, brand equity diperkenalkan sebagai suatu alat untuk menafsirkan efek-efek potensial beragam brand strategies.

(11)

Munculnya konsep brand equity meningkatkan pentingnya brand dalam strategi pemasaran, disertai dengan terbentuknya focus manajerial dan aktifitas penelitian. Namun, konsep ini telah didefinisikan dengan cara yang berbeda untuk tujuan yang berbeda oleh berbagai pihak (Keller, 2003, p. 43).

Walaupun demikian, pada dasarnya branding adalah mengenai membantu produk dan jasa dengan kekuatan brand equity. Brand equity berhubungan dengan fakta bahwa dicapai hasil (outcome) yang berbeda dari pemasaran suatu produk atau jasa dengan brand dibandingkan dengan pemasaran suatu produk atau jasa yang sama tanpa brand.

Brand equity dapat dibangun melalui pemilihan brand element (Ibid, p. 174-227), perancangan program pemasaran (Ibid, p. 228-281), mengintegrasikan komunikasi pemasaran (integrated marketing communication) (Ibid, p. 282-348), dan mempengaruhi brand knowledge seconder (Ibid, p. 349-387).

2.12. Destination Branding 2.12.1. Asal Mula dan Definisi

Setiap lokasi juga dapat di-branding-kan dengan menciptakan dan mengkomunikasikan identitas bagi suatu lokasi yang bersangkutan. Kota, negara bagian, dan negara masa kini telah aktif dikampanyekan melalui periklanan, direct mail, dan perangkat komunikasi lainnya. (Keller, 2003, p. 30). Keseluruhan strategi dan proses ini dikenal sebagai destination branding.

Mem-branding-kan suatu lokasi sebetulnya bukanlah suatu fenomena baru. Di masa lalu, setiap lokasi selalu berkompetisi dengan alasan kekuasaan, prestis dan pengaruh. Seiring perjalanan sejarah, suatu lokasi selalu menciptakan simbol untuk diidentikkan dengan keberadaan mereka. Simbol tersebut pada umumnya diwujudkan melalui bendera, panji-panji, dan tokoh-tokoh heroik.

Mereka juga berperang dan saling menaklukkan terutama secara politis (Surya, . Kini, setiap lokasi masih berkompetisi untuk alasan yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Diawali pada sekitar tahun 1850, di Amerika mulai muncul konsep selling untuk menarik perhatian pendatang ke wilayah yang baru di buka, yang disebut sebagai “Wild West”. Di awal tahun 1900-an, konsep selling lokasi mulai dikenal di Eropa. Tempat-tempat peristirahatan musim panas di

(12)

pantai Inggris dan Perancis memulai konsep beriklan untuk menarik turis. Konsep

“menjual lokasi” berkembang menjadi “memasarkan lokasi”. Kini, konsep tersebut berkembang menjadi “destination branding”, ujung tombak mencapai kejayaan melalui aspek ekonomi.

Destination branding berarti merancang suatu tempat untuk memenuhi kebutuhan target market. (Keller, p.138). Lebih penting lagi, destination branding adalah mengenai bagaimana konsumen merasa mengenai suatu tempat dalam benak mereka. Kekuatan brand terletak pada kemampuannya membangun awareness terhadap suatu lokasi dan menghubungkan lokasi tersebut dengan asosiasi yang diinginkan.

Sebagai salah satu wujud brand, destination brand memiliki anatomi yang serupa dengan brand pada umumnya. Pada umumnya, brand name yang digunakan adalah nama sebenarnya dari lokasi tersebut.

2.12.2. Tujuan

Destination branding digunakan untuk mencapai tujuan yang beragam (multiple goals). Secara umum, tujuan-tujuan tersebut adalah: (Kotler et al., p. 138)

• Membangun brand image positif bagi lokasi.

• Meningkatkan quality of life suatu lokasi.

• Menarik target market, seperti pengunjung, penduduk dan pegawai, bisnis, dan industri.

• Menemukan pasar ekspor.

2.12.3. Pemeran

Pemeran adalah:

Orang yang menjalankan tindakan atau bagian tertentu dalam suatu peristiwa.

Pemeran destination branding sangat luas. Kotler membagi pemeran utama menjadi empat bagian, yaitu pemeran lokal, regional, nasional, dan internasional.

(13)

2.12.4. Target Market

Ketika suatu lokasi mengatur untuk menciptakan rangka dasar dan infrastuktur destination brand-nya, lokasi tersebut harus mengenali target market- nya secara tepat.

Target market potensial dari destination branding adalah kalangan produsen barang dan jasa, cabang perusahaan dan kantor regional, penanam modal luar negeri dan pasar ekspor, turisme dan penerimaan tamu (hospitally), warga negara, dan para penduduk baru.

Destination branding dapat dinyatakan sukses apabila warga negara dan bisnis puas dengan komunitas mereka, serta harapan-harapan dari para pengunjung dan para penanam modal dapat bertemu (Kotler & Gertner, 2002).

2.12.5. Segmentasi

Dalam pembagiannya segmentasi pasar akan terbagi-bagi menjadi 4 hal:

(Kotler, p.386-391).

2.12.5.1. Segmentasi Geografis

Segmentasi yang dilakukan menghendaki pembagian pasar ke dalam unit- unit geografis seperti bangsa, negara bagian, wilayah propinsi, kabupaten, dan lainnya. Itu dapat dilakukan dengan cara memutuskan untuk melakukan kegiatannya di satu atau beberapa daerah geografis atau melakukan kegiataanya pada semua daerah tetapi hanya memberikan perhatian pada variasi dalam kebutuhannya dan preferensi geografis.

2.12.5.2. Segmentasi Demografis

Segmentasi geografis terdiri dari pembagian pasar kedalam kelompok atas dasar variabel kependudukan seperti usia, jenis kelamin, banyaknya anggota keluarga, daur hidup keluarga, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras dan nasionalis.

(14)

2.12.5.3. Segmentasi Psikografis

Dalam segmentasi psikografis, pembeli dibagi kedalam berbagai kelompok atas dasar kelas sosial mereka, gaya hidup dan atau karakter kepribadian mereka.

2.12.6. Brand Personality and The Benefit Pyramid for Destination Brand

Salah satu kunci sukses dalam membangun sebuah destination brand adalah brand personality destination brand tersebut haruslah sesuai dengan target market yang kita inginkan.

Di dalam brand personality haruslah bisa menyentuh kepala dan hati kita.

Dimana kepala itu maksudnya adalah harus menyentuh logika dari para target market. Dan hati itu haruslah menyentuh sisi emotional dan assosiasinya.

Level 1 Level 4

Level 2 Level 3 Level 5

Gambar 2.1. The Destination Brand Benefit Pyramid

(Nigel Morgan and Annette Pritchard, Destination Branding: Creating The Unique Destination Proposition. p.71)

Keterangan :

- Level 1 : Apa yang nyata, bisa membuktikan, objectif, bisa mengukur karakteristik untuk destination ini?

- Level 2 : Apa keuntungan yang didapat oleh para turis dari fitur-fitur destination kita?

(15)

- Level 3 : Apa penghargaan psikologis atau keuntungan dari sisi emotional yang didapat oleh para turis didalam mengunjungi tempat destination tersebut? Apa yang dirasakan oleh para turis?

- Level 4 : Apa nilai yang diinginkan atau dimaksud oleh tipe repeat visitor?

- Level 5 : Apa sifat dasar yang alami dan karakter dari destination tersebut?

2.12.7. Branded Customer Experience

Ada 2 hal untuk membuat sebuah Branded Customer Experience yaitu:

(Smith & Wheeler, p. 10-11) 1. Experiencing the brand.

2. Branding the experience.

Tapi keduanya berbeda pada saat memulai prosesnya.

2.12.7.1. Experiencing the Brand

Brand

Essence TranslateInto

Brand

Promise TranslateInto

Brand Customer Experience

*Melakukan semua janji kita dengan cara membuat para customer melakukan interaksi dengan orang, proses dan produk kita.

*Sebuah nilai yang kita janjikan kepada customers

*Apa yang kita komunikasikan untuk pasar sasaran kita

Gambar 2.2. Experience The Brand

(Shaun Smith and Joe Wheeler, Managing the customer experience, p. 12)

(16)

2.12.7.2. Branding The Experience

It has always seemed to me that your brand is formed primarily, not by what your company says about itself, but what the company does (Smith &

Wheeler, p.13-14).

(Itu selalu terlihat oleh aku bahwa brand-mu adalah selalu yang terutama, bukan karena perusahaan mu mengatakannya, tetapi karena perbuatan yang dilakukan oleh perusahaanmu).

*Apa yang membuatmu dikenak di pasar sasaranmu

*Sebuah nilai dari customer kita yang membuat customer kita menjadi expect dan rely on

*Menciptakan sebuah

experience yang unik dengan cara membuat customer melakukan interaksi dengan orang, proses, dan produk kita, dimana yang membuat produk kita berbeda

Brand Image

Translate Into

Brand Values

Translate Into

Brand Customer Experience

Gambar 2.3. Branding The Experience

(Shaun Smith and Joe Wheeler, Managing the customer experience, p.14)

(17)

2.12.8. Branded Customer Experience Drives Customer Loyalty & -Profits

Predictable Experience

• Consistent

• Intentional

• Consistent

• Intentional

• Differentiated

• Valuable

Random Experience

Branded Experience

Customer Loyalty

Gambar 2.4. Branded Customer Experience Drives Customer Loyalty and Profits (Shaun Smith and Joe Wheeler, Managing the customer experience, p.17)

Keterangan :

• Consistent : Pada saat menerapkan pengalaman melalui waktu dan tempat.

• Intentional : Pada saat menerapkan customer experience untuk mendukung brand-nya.

• Differentiated : Yang membedakan dari brand competitor.

• Valuable : Pada saat memberikan sebuah saran dari konsumen dimana dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan konsumennya.

(18)

2.12.9. Customer Journey Map

Customer journey map merupakan sebuah alat yang display visualnya menunjukkan bagaimana para customer melakukan interaksi dengan bisnis kita.

Tak seperti sebuah peta tentang proses, ini harus linear dan terilustrasikan hanya untuk point dimana customer melakukan interaksi dengan product atau jasa kita.

Lebih baik lagi kalau peta touchline hanya menunjukan tentang apa yang kita harus lakukan dan kapan customer experiencenya terjadi adalah efeknya. (Smith &

Wheeler, p. 229)

Sebuah customer journey map dapat kita gunakan pada saat kita membutuhkan:

• Supaya kita dapat memahami sepenuhnya customer experience terhadap perusahaan kita.

• Untuk mengidentifikasi keadaan potensial, kerancuan, atau ketidak konsistenan dalam pelaksanaan customer experience oleh perusahaan.

• Untuk mengidentifikasi bagaimana pengalaman tersebut bisa membuat lebih

“seamless”

• Untuk memperkuat pengalaman dari customer kita dengan organisasi kita.

(19)

Customer wait in line jetway

Customer boards aircraft Customer greeted by flight attendant(s)

Announcement regarding stowing carry-on Baggage and flight miles, etc

Announcement from cockpit regarding flight details

Safety announcement or video

Announcement regarding use of electrical equipment Safety check for seatbelts, upright seats windowshades International flights :

And trays – interaction only for non-compliance

Gambar 2.5. Customer Touchline Example

(Shaun Smith and Joe Wheeler, Managing the Customer Experience, p. 232)

Offer/serve drinks and peanuts/pretzels

Offer/serve food service, if applicable

Announcement from cockpit regarding flight status

Flight attendants collect cups/trash Distribution of customs or

immigration forms, Landing card

Announcement regarding duty free service

Flight attendants offer items From duty free cart

Interaction if, bell sounded, eye contact Second drink and meal When flight crew walks by, walk to galley

Announcement regarding various topics:

Turbulence, flight details, return to seats, seatbelts.

Service, if applicable

Announcement regarding initial descent

Announcement regarding preparation for arrival Safety check – only interaction if non-compliance

Announcement regarding arrival, gate connection, and welcome

Flight crew say goodbye

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Edward dalam (Winarno, 2002 : 125), studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administrasion dan public policy. Implementasi kebijakan adalah tahap

a) Perilaku keberagamaan anak tunalaras dalam kesehariannya belum menunjukkan kesesuaian dengan ajaran agama. Seperti ketika dengan guru kurang sopan, selain itu anak

1) Hambatan pengembangan dan pembelajaran yang meliputi faktor-faktor dana, fasilitas dan peralatan yang telah tersedia, waktu yang tersedia (waktu mengajar serta

[r]

Motivator; guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta

Sistem biaya standar menerapkan konsep tersebut di atas secara lebih luas, dimana jumlah biaya (beban) untuk tiap unit produksi (yang meliputi bahan, upah langsung, maupun

Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa anggota dewan dengan pengalaman internasional, efektivitas komite audit, efektivitas audit

Yayasan Pendidikan Sudirman Semarang berupaya untuk terus merintis peningkatan mutu kualitas dan kuantitas pendidikannya yang didasari dengan dasar kependidikan yang