• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Ta’zir

1. Pengertian ta’zir (Hukuman)

Sebelum para ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian ta‟zir, penulis berpendapat bahwa ta‟zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap perbuatan salah seseorang yang tidak dihukumi dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah. Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada orang yang mempunyai kekuasaan yang akan menjatuhkan hukuman tersebut kepada seseorang yang telah melanggarnya. Adapun pengertian ta‟zir menurut para alhi yaitu:

Menurut Mursal, Taher, dkk, (1997: 56) ta‟zir adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sadar dan secara sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran. Kemudian Abdullah Nashih Ulwan (2007: 308-309), mengemukakan bahwa ta‟zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak terdapat had atau kafarah. Sebagaimana hudud, ta‟zir bertujuan untuk memberi pelajaran untuk orang lain, demi kemaslahatan umat, dan sudah menjadi kesepakatan, bahwa Islam mensyariatkan hukuman ini untuk merealisasikan kehidupan yang tenang, penuh kedamaian, keamanan, dan ketentraman. Hukuman bagaimana pun bentuknya, baik hukuman qishas maupun ta‟zir, semuanya itu adalah cara yang tegas dan tepat untuk memperbaiki umat dan mengokohkan pilar-pilar keamanan serta ketentraman dalam kehidupan umat manusia.

Ibnu Qayyim Al- Jauziyah yang diterjemahkan oleh Adnan qohar dan Anshoruddin (2007: 188), dalam buku Hukum Acara Peradilan Islam Ulama sepakat menetapkan, bahwa Ta‟zir disyari‟atkan pada semua kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman had, hukuman yang sudah ditentukan

17

(2)

jenisnya. Hukuman ta‟zir diterapkan pada dua macam kejahatan, yaitu kejahatan meninggalkan kewajiban, kejahatan melanggar larangan.

Sedangkan Ta‟zir dalam istilah Psikologi adalah cara yang digunakan pada waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan orang lain. Secara umum disepakati bahwa hukuman adalah ketidaknyamanan (suasana tidak menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau jelek (Abdurrahman Mas‟ud, 1999: 23).

Dari beberapa uraian tentang pengertian ta‟zir di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ta‟zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap perbuatan salah seseorang yang tidak dihukumi dengan hukuman hudud atau hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah. Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada orang yang mempunyai kekuasaan yang akan menjatuhkan hukuman. dan dalam hal ini hakim atau orang yang mempunyai kekuasaan memiliki kebebasan untuk menetapkan hukuman takzir kepada pelanggar aturan yang hukumannya tidak disebutkan dalam Alquran. Pemberian hak ini adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat atau kelompok secara tertib dan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan.

Hukuman menurut Zainuddin dkk (1991: 86) adalah jalan yang paling akhir apabila tegduran, peringatan dan nasihat- nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelanggaran.

Hukuman yang dimaksud di sini ialah hukuman yang bersifat mendidik, yang dalam masyarakat Islam dikenal dengan sebutan ta‟zir.

2. Dasar dan Tujuan Ta’zir

Adapun dasar dan tujuan ta‟zir yaitu, Berkaitan dengan konsep hukuman sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al Qur‟an:

اَهَلَ ف ُْتُْأَسَأ ْنِإَو ْمُكِسُفنَِلِ ْمُتنَسْحَأ ْمُتنَسْحَأ ْنِإ )

أرسِلإا

:

(

7

(3)

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri (Q.S. al Isra‟: 7), (Departeman Agama RI, 1994: 425).

Berdasarkan ayat di atas dapat penulis simpulkan, bahwa setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya, baik itu positif maupun negatif. Dan yang perlu dipahami, baik atau buruk yang dilakukan seseorang pasti akan mengenai dirinya sendiri. Hukuman pada dasarnya merupakan akibat dari suatu perbuatan manusia sendiri, sebagaimana firman Allah SWT:

َلاَو ٍِّلَِو ْنِم ِضْرَلِا ِفِ ْمَُلَ اَمَو ِةَرِخلآاَو اَيْ نُّدلا ِفِ ًاميِلَأ ًاباَذَع ُهّللا ُمُهْ بِّذَعُ ي اْوَّلَوَ تَ ي ْنِإَو ٍ ِ َن

Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka, dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (Q.S. at Taubah: 74), (Departeman Agama RI, 1994: 291-292).

Sedangkan dalam hadits diterangkan sebagai berikut: Abu Daud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya, dari kakenya bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

َْ ِنِس ِ ْ َس ُااَنْ بَأ ْمُ َو ِةَ َّ لااِب ْمُ َ َلاْوَأ ِاْوُرُم ٍرْ َع ُااَنْ بَأ ْمُ َو اَهْ يَلَع ْمُ ْوُ بِرْااَو ,

,

ِ ِ اَ َمْلا ِ ْمُهَ نْ يَ ب اْوُ ِّرَ فَو .

“Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan salat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukulah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (Abdullah Nashih Ulwan, 2007: 321)

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, penulis menyimpulkan bahwa barang siapa mengerjakan perbuatan dosa atau melakukan kesalahan, maka akan mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Anak harus diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun, dan diberi hukuman pukul apabila anak menolak mengerjakan

(4)

shalat jika sudah berusia 10 tahun, tujuan diberikannya hukuman pukul ini supaya anak menyadari kesalahannya.

Adapun tujuan hukuman Menurut Kartini Kartono (1992:261) dalam pendidikan ialah :

a. Untuk memperbaiki individu yang bersangkutan agar menyadari kekeliruannya, dan tidak akan mengulanginya lagi.

b. Melindungi pelakunya agar dia tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela.

c. Sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan dan salah (nakal, jahat, asusila, kriminial, abnormal dan lain-lain) yang dilakukan oleh anak atau orang dewasa.

Berdasarkan penjelasan tujuan hukuman di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan hukuman dalam pendidikan Islam untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan anak-anak, sedangkan tujuan pokok hukuman dalam syariat Islam ialah pencegahan, pengajaran dan pendidikan. Adapun tujuan hukuman dalam pendidikan ialah: memperbaiki tabi‟at dan tingkah laku anak ke arah kebaikan dan anak akan menyesali serta menyadari perbuatan salah yang telah dilakukannya.

Hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan oleh Islam sebagaimana hadits Nabi di atas. Hal ini dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan cara lain tidak bisa. Tata cara yang tertib ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah ada hasilnya dan bermanfaat, sebab pukulan adalah hukuman yang paling berat dan tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain tidak bias. Praktik ta‟zir atau hukuman sebenarnya sudah lama dikenal manusia bahkan sudah ada sebelum manusia pertama diturunkan di dunia ini.

3. Fungsi Ta’zir

Dalam pendidikan fungsi ta‟zir hendaknya meliputi tiga peran penting dalam perkembangan moral anak yaitu: Pertama, Menghalangi, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

(5)

Kedua, Mendidik, sebelum anak mengerti peraturan, maka dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah, dengan mendapatkan hukuman karena melakukan tindakan yang salah, dan tidak menerima hukuman bila melakukan tindakan yang diperbolehkan. Dan dengan meningkatnya usia, mereka belajar peraturan terutama lewat pengajaran verbal. Tetapi mereka juga belajar dari pengalaman bahwa jika mereka gagal mematuhi peraturan sudah barang tentu mereka akan mendapatkan hukuman.

Aspek edukatif lain dari hukuman yang sering kurang dipehatikan adalah membedakan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat mereka. Ketiga, Memberi motivasi untuk menghindari dari perilaku yang tidak diterima masyarakat.

Dengan demikian selagi anak masih bisa dididik dengan lembut dan penuh kasih sayang, maka jangan sekali-kali orang tua melayangkan tangannya. Hukuman dalam pendidikan anak merupakan metode terburuk yang sedapat mungkin kita hindari, akan tetapi dalam kondisi itu harus dipergunakan. Oleh karena itu, hukuman harus dianggap sebagai metode kuratif yang bertujuan untuk memperbaiki anak yang melakukan kesalahan (Arma‟i Arief, 2002: 131).

Sedangkan Rasulullah menetapkan hukuman sebagai metode memberikan batas-batas dan persyaratan sehingga tidak keluar dari maksud dan tujuan pendidikan Islam yaitu:

a. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan.

Bukhari dan muslim meriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah r.a.

ia berkata:

َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُاا َّلَ ِاا ِ ْوُسَر ِرْ ِح ِْفِاًمَ ُ ُ ْنُ

ِفِ ُشْيِطَت ْيِدَي ْ َناَ َو ,

ِ َفْ َّ لا َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُاا َّلَ ِاا ِ ْوُسَر ِْلِ َ اَ َ ف ,

َاا ِّمَس ُ َ ُ اَي : ُلُ َو ,

َ ْنِيِمَيِب َ ْيِلَي اَِ ْلُ َو ,

.

“ Ketika aku kecil, berada dalam asuhan Rasulullah sar. pada suatu hari ketika tanganku bergerak ke sana kemari di atas meja makan berisi makanan, berkatalah Rasulullah saw., “ wahai anak, sebutlah nama Allah.

(6)

Makanlah dengan tangan kananmu. Dan makanlah yang dekat denganmu.”

Dalam hal ini dilihat bahwa Rasulullah saw. memberi petunjuk kepada Umar bin Abu Salamah terhadap kesalahannya dengan nasehat yang baik, pengarahan yang membekas, ringan dan jelas.

b. Menunjukkan kesalahan dengan keramah tamah.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahal bin Sa‟ad r.a.:

ُهْنِم َاِرَ َف ٍااَرَ ِب َِ ُأ َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُاا َّلَ ِاا َ ْوُسَر َّنَا ٌ َ ُ ِهِنْيَِ ْنَعَو ,

,

ِ َ ُ ْلِل َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُاا َّلَ ُ ْوُسَر َ اَ َ ف ٌااَيْ َأ ِ ِراَسَي ْنَعَو َيِطْعُأ ْنَأ ِْلِ ُنَذْأَتَأ :

ُ َ ُ ْلا َ اَ َ ف ِاَلا هٰ

ِااَوَلا : اًدَحَا َ ْنِم ِْبِْيِ َنِب ُرِثُأَلا ,

ُاا َّلَ ِاا ُ ْوُسَر ُهَّلَ تَ ف ,

ِ ِدَي ِْفِ َمَّلَسَو ِهْيَلَع .

ٍااَّ َع ِنْب ِااُدْ َع َوُ ُ َ ُ ْلا اَذهٰ َو ( )

“ Rasulullah saw. diberi minuman, dan beliau minum sebagian. Disebelah kanannya duduk seorang anak, dan di sebelah kirinya beberapa orang tua.

Rasulullah saw. bersabda kepada anak itu, „Apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada mereka?‟ (ini adalah ramah tamah dan metode pengarahan). Maka anak itu menjawab, “Tidak, demi Allah.

Bagianku yang diberikan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapa pun. “Maka Rasulullah saw. meletakan minuman di tangan anak itu.

Dan dia adalah Abdullah bin Abbas.”

Juga kita saksikan bersama bahwa Rasulullah saw. ingin ingin mengajari anak mengenai bagaimana bersopan santun kepada orang dewasa (orang tua) dalam mendahulukan mereka untuk mendapatkan minuman dengan mengorbankan haknya. Dan ini adalah yang terbaik.

Dengan ramah tamah Rasulullah saw. telah minta izin kepada anak,

“Apakah engkau mengizinkan aku memberi kepada mereka?”.

c. Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.:

َفْيِ َر ُلْ َفْلا َناَ

َمَعْ ثَخ ْنِم ُةَأَرْما ِتَااَ َف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُاا َّلَ ِاا ِ ْوُسَر

ِهْيَلِإ ُرُ ْنَ تَو اَهيَلِإ ُرُ ْنَ ي ُلْ َفْلا َلَعَ َف

َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُاا َّلَ ِاا ُ ْوُسَر َلَعَ َف ,

(7)

ْا ِّ ِّسلا َ ِإ ِلْ َفْلا َهْ َو ُ ِرْ َي ِرَخ لآ

ْ َلاَ َ ف , ِاا َ ْوُسَر َاي :

ِاا َ َ ْيِرَف َّنِإ !

ِ َلِحاَّرلا َلَع ُ ُ ْثَ يَلا اًرْ يِ َ اً ْيَ ِْ َأ ْ َ َرْ َأ ِّ َْاا ِفِ ِ َ اَ ِع َلَع هٰ اَعَ ت ُّ ُح َأَفَأ ,

َ اَ ُهْنَع ْمَعَ ن :

ِااَ َوْلا ِ َّ َح ِْفِ َ ِلهٰذَو , .

“Fadha pernah mengikuti Rasulullah saw. pada suatu hari datanglah seorang wanita dari Khats‟am yang membuat Fadhal memandangnya dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah saw. memalingkan muka Fadhal ke arah lain. Wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban yang diturunkan Allah kepada hamba-hamba- Nya dalam ibadah haji telah sampai kepada ayahku pada saat ia tua renta, yang tidak mampu lagi menunggang (unta). Apakah boleh aku menghajiakn untuknya? „Rasulullah saw. berkata, ya, „Dan peristiwa itu adalah dalam haji wada‟.”

Dalam hadits di atas diketahui, bahwa Rasulullah saw. memperbaiki kesalahan melewati wanita bukan muhrim dengan memalingkan wajah ke arah lain, dan dan telah meninggalkan bekas pada diri Fadhal.

d. Menunjukkan kesalahan dengan kecaman.

Bukhari meriwayatkan dari Abu Dzar r.a. berkata:

ِهِّمُأِب ُهُتْرَّ يَعَ ف ً ُ َر َ ْ َ ب اَس ُهَل َ اَ (

ِااَ ْوَّسلا َنْبااَي : )

َ اَ َ ف , ُاا َّلَ ِاا ُ ْوُسَر

َمَّلَسَو ِهْيَلَع ٍّرَذ اَبَأ اَي :

ٌ َّيِلِ اَ َ ْيِف ٌ ُرْما َ َّنَإ ِهِّمُأِب ُهَتْرَّ يَعَأ ! ْمُكُل َوَخ ْمُكُناَوْخِإ ,

,

ْمُ ِدْيَا َ َْ ُاا ُمُهَلَعَ

ُلُ ْأَي اَِّ ُهْمِعْطُيْلَ ف ِ ِدَي َ َْ ُ ْوُخَأ َناَ ْنَمَف , ُهْسِ ْلُ يْلَو ,

ُ َ ْلَ ي اِِّ

َنْوُ ْ يِطُي َلااَم ِلَمَعْلا َنِم ْمُهُفِّلَكُتَلاَو , ْمُ ْوُ نْ يِعَأَف ْمُ ْوُمُتْفَّلَ ْنِإَو ,

.

“Saya mencaci seorang laki-laki dengan menjelekan ibunya, (yaitu dengan berkata, „Hai anak wanita hitam‟). Maka Rasulullah saw.

bersabda, „Wahai Abu Dzar, kamu telah mencacinya dengan menjelekkan ibunya. Sesungguhnya kamu orang yang masih berprilaku Jahiliyah.

Saudara-saudaramu adalah hamba sahayamu yang Allah jadikan mereka di tanganmu. Barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya, maka hendaknya ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberinya pakaian yang apa yang ia pakai, janganlah mereka diserahi

(8)

pekerjaan yang sekiranya tidak mampu mereka kerjakan, dan jika pekerjaan itu diserahkan, maka bantulah mereka.”

Telah diketahui bagaimana Rasulullah saw. memperbaiki kesalahan Abu Dzar ketika mencaci seseorang dengan menyebutnya „anak wanita hitam‟. Rasulullah saw. mengecam dengan sabdanya. “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu masih berperilaku Jahiliyah.” Kemudian memberinya nasehat yang sesuai dengan situasi dan pengarahan yang sesuai dengan keadaan.

e. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan (memboikotnya).

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa‟id r.a. berkata:

َ اَ َو ِ ْذَْاا ِنَع َمَّلَسَو ِهْيَلَع ِاا َّ ْوُسَر َهَ ن ُأَكْنُ ي َلاَو َدْيَّ لا ُلُتْ َ يَلا ُهَّنِأ :

َّنِّسلا ُرِسْكَيَو َْ َعْلا ُأَ ْفَ ي ُهَّنِإَوَّوُدَعْلا .

“Rasulullah saw. melarang melempar kerikil dengan telunjuk dan ibu jari.

Dan bersabda, „lemparan itu tidak akan mematikan binatang buruan, tidak akan menewaskan musuh, tetapi ia hanya akan memecakan mata dan gigi”

Bukhari meriwayatkan bahwa Ka‟ab bin Malik ketika tidak ikut Rasulullah saw. tidak berbicara kepada kami selama lima puluh malam, hingga turun ayat tentang tobat mereka dalam Al-Qur‟an.

f. Menunjukkan kesalahan dengan memukul.

Abu Daud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya, dari kakenya bahwa Rasulullah saw. bersabda:

َْ ِنِس ِ ْ َس ُااَنْ بَأ ْمُ َو ِةَ َّ لااِب ْمُ َ َلاْوَأ ِاْوُرُم ٍرْ َع ُااَنْ بَأ ْمُ َو اَهْ يَلَع ْمُ ْوُ بِرْااَو ,

,

ِ ِ اَ َمْلا ِ ْمُهَ نْ يَ ب اْوُ ِّرَ فَو .

“Suruhlah anak-anak kalian mengerjakan salat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukulah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.”

(9)

Dalam surat An-Nisa‟ ayat 34 disebutkan:









































“wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

Hukuman dengan memukul adalah hal yang diterapkan oleh Islam.

Dan ini dilakukan pada tahap terakhir, setelah nasehat dan meninggalkannya. Tatacara yang tertib ini menunjukan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, tidak boleh menggunakannnya kecuali jika dengan jalan lain sudah sudah tidak bisa. Perlu diketahui pula bahwa Rasulullah saw. sama sekali belum pernah memukul seorang pun dari istri-istrinya.

g. Menunjukkan kesalahan dengan memberikan hukuman yang membuat jera.

Al-Qur‟an menetapkan prinsip hukuman yang menjerakan dalam firmanya:























































“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap- tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

(10)

Hukuman, jika dilaksanakan dihadapan orang banyak, disaksiakan anggota masyarakat, akan merupakan pelajaran yang sangat kuat pengaruhnya. Sebab beberapa orang yang menyaksikan, akan menggambarkan bahwa hukuman yang menimpa mereka itu pasti pedih.

Seolah-olah hukuman itu benar-benar mengenai diri yang melihat. Dengan demikian, mereka akan takut hukuman itu menimpa dirinya, sebagaimana menimpa terhukum yang sempat disaksikan (Abdullah Nashih Ulwan, 2007: 316- 322).

Berdasarkan metode di atas penulis menyimpulkan, bahwa ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan oleh para pendidik. Sesungguhnya para pendidik tidak boleh melalaikan metode yang efektif dalam membuat anak menjadi jera, sehingga para pendidik harus berlaku bijaksana dan sewajar mungkin dalam memberikan atau menerapkan ganjaran atau hukuman pada anak didik.

4. Bentuk dan Jenis Ta’zir di Pesantren

Hukum secara bahasa yaitu ketetapan atau keputusan (al-qada), pemisahan (al-fasl), dan cegahan (al-man‟u), sedangkan menurut istilah, hukum dalam pandangan pakar usul fikih adalah:

ِ ْاَوْلاِوَأ ِْ ِيْ َّتلاِوَأ ِااَ ِتْ ِْلاا ِلْيِ َس َلَع َْ ِفِلَكمُلْا ِ اَعْ فَأِب ُ َلَعَ تُمْلا َ َاعَت ِاا ُااَطِخ

Titah (perintah) Allah SWT. yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf (dewasa dan berakal) melalui iqtida, pilihan, atau wad‟i (Jaih Mubarok, 2006: 10).

Dalam The Oxford English Dictionary, definisi hukum adalah kumpulan peraturan (the body of rules), baik peraturan tersebut bersumber dari perundangan resmi maupun dari adat kebiasaan, yang oleh suatu negara atau masyarakat dipandang sebagai mengikat bagi anggota atau warganya (Abudin Nata, 2008: 342).

(11)

Adapun bentuk Ta‟zir (hukuman) dan jenis Ta‟zir (Hukuman) yaitu a. Bentuk Ta‟zir (Hukuman)

Menurut Abu Ahmadi (1978: 50) bentuk hukuman dibagi menjadi 4 yaitu:

1) Hukuman Isyarat, Hukuman ini cukup dilakukan dengan cara pandangan mata, gerakan anggota badan dan sebagainya.

2) Hukuman Perkataan, Hukuman ini diberikan dengan cara memberikan teguran, perhatian dan ancaman.

3) Hukuman Perbuatan, Hukuman ini diberikan dengan cara memberikan tugas kepada Santri yang melakukan pelanggaran.

4) Hukuman Badan, Hukuman ini diberikan dengan cara menyakiti badan santri, baik dengan alat maupun tidak.

Adapun Macam-macam Hukuman Menurut Ngalim Purwanto (2011: 189) macam-macam hukuman ada 2 yaitu :

1) Hukuman Preventif. Hukuman preventif adalah hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak terjadi pelanggaran. Hukuman ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai terjadi pelanggaran sehingga hal itu dilakukan sebelum terjadi pelangaran.

2) Hukuman Represif. Hukuman refresif yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran yang telah diperbuat. Jadi hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggran atau kesalahan.

Kemudian Wiliam Stern dalam buku Ngalim Purwanto (2011: 190) membagi hukuman menjadi 3 macam yang disesuaikan dengan perkembangan anak dalam menerima hukuman.

1) Hukuman Asosiatif, Umumnya orang mengasosialisasikan antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Untuk menyingkirkan perasaan tidak enak (hukuman) itu, biasanya orang atau anak menjauhi perbuatan yang tidak baik atau yang dilarang.

(12)

2) Hukuman Logis, Hukuman ini dipergunakan terhadap santri yang telah beranjak dewasa. Dengan hukuman ini, santri mengerti bahwa hukuman itu adalah akibat yang logis dari perbuatan yang tidak baik.

Santri mengerti bahwa ia mendapat hukuman karena kesalahan yang telah diperbuat.

3) Hukuman Normatif, Hukuman normatif adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki moral santri. Hukuman ini dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran mengenai norma norma atau etika.

b. Jenis Ta‟zir (hukuman) di Pesantren

Selain pengertian ta‟zir, dasar hukum, tujuan ta‟zir, bentuk ta‟zir (hukuman), ada juga jenis ta‟zir (hukuman)menurut para ahli yaitu:

Hukuman yang dapat diterapkan pada anak dapat dibedakan menjadi beberapa pokok bagian yaitu :

1) Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan kesalahan, terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak.

2) Hukuman verbal sepertimemarahi, maksudnya meng : ingatkan anak dengan bijaksana dan bila para penddidik atau orang tua memarahinya maka pelankanlah suaranya.

3) Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka tidak suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan anak dengan memperingatkan lewat isyarat. Seperti sabda Nabi :

ُاا َلَ ِاا ُ ْوُسَر ٍفْيِ َر اِاَ َع ِنْب ُلْ َفْلا َناَ ٍ ِلاَم ْنَع ِْبَِنْعَ ْلَا اَنَ ثَدَح اَهْ يَلِإ ُرِ ْنَ ي ِلْ َفْلا ُلَعَ َف ُهَيِتِفَتْسَت ِمْعَ ثَخ ْنِم ًةَأَرْمِا ُهْتَااَ َف َمَلَسَو ِهْيَلَع َ ِإ َلْ َفْلا ُهْ َو ُ ِرَ ُي َمَلَسَو ِهْيَلَع ُاا َلَ ِاا ُ ْوُسَر َلَعَ َف ِهْيَلِإ ُرِ ْنَ تَو َرَخ ْلآا ِ َ ْلا

Kami diberitahu oleh al-Qa‟naby, dari Malik dia berkata, Fadhl bin Abbas pernah dibonceng Rasulullah, lalu ada seorang wanita dari Khuts‟um meminta fatwa kepada beliau, pada waktu itu Fadhl

(13)

memandangnya, begitu juga sebaliknya wanita itu memandang Fadhl, dan Nabi memalingkan muka ke lain pihak.(H.R. Abu Daud),

4) Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan agar kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk (Abu Daud Sulaiman Ibn Al-Asy‟ats as-Sijistani, t.t: 552).

B. Kedisiplinan Belajar 1. Pengertian Disiplin

Sebelum para ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian disiplin, penulis berpendapat terlebih dahulu bahwa, disiplin adalah suatu kondisi tertentu dari serangkaian perilaku santri yang menunjukkan ketaatan terhadap sebuah peraturan atau tata tertib untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Adapun pengertian disiplin menurut para ahli yaitu: Elizabeth B.

Hurlock yang diterjemahkan oleh Med Meitasari Tjandrasa (2008: 34) disiplin berasal dari kata yang sama dengan “disciple”, yakni seorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju kehidupan yang berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok.

Keith Davis dalam Santoso Sastropoerta mengemukakan: “ disiplin adalah pengawasan terhadap diri pribadi untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah disetujui/ diterima sebagai tanggung jawab” (Santoso Sastropoetra, 1988: 286 ).

Sementara itu Laura M. Ramirez (2004: 121) mendefinsikan disiplin sebagai praktik melatih orang untuk mematuhi aturan dengan menggunakan hukuman untuk memperbaiki ketidak patuhan.

(14)

2. Pengertian belajar

Ada beberapa pengertian belajar menurut para ahli, tetapi sebelum para ahli mengemukakan pendapatnya penulis mengemukakan pengertian belajar terlebih dahulu, belajar adalah sebuah proses untuk mendapatkan informasi, perubahan, ilmu pengetahuan yang diperoleh dari praktik atau latihan dan pengalaman-pengalaman yang didapat.

Adapun pengertian belajar menurut para ahli yaitu: Istilah belajar terkenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ta‟allum. Al-qur‟an (surah al- baqarah ayat 102) menggunakan kata ta‟alum untuk proses penangkapan dan penyerapan pengetahuan yang bersifat maknawi serta berpengaruh pada perilaku (Mahmud, 2005: 59). Lalu Wasty Soemanto (2003: 104) mengatakan bahwa belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia.

Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang.

Kemudian Ratna Wilis Dahar (2011: 1) mengemukakan definisi belajar menurut Gagne, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.

Dalam lingkup pendidikan, belajar diidentikan dengan proses kegiatan sehari-hari siswa di sekolah / madrasah. Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subjek, yaitu siswa dan guru. Belajar adalah sebuah proses penambahan bagian demi bagian informasi baru terhadap informasi yang telah mereka ketahui dan kuasai sebelumnya (Abdul Majid, 2012: 106-107)

Menurut Abdul Rahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab (2005: 207- 209) belajar (learning), seringkali didefinisikan sebagai perubahan yang secara relatif berlangsung lama pada masa berikutnya yang diperoleh dari pengalaman- pengalaman. Di samping itu, adapula sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka seperti tampak pada latihan membaca dan menulis. Sementara itu, menurut pendapat nasional, belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, di sisi yang dipentingkan adalah pendidikan intelektual atau kecerdasan. Lain lagi dengan

(15)

pendapat para ahli pendidikan moderen yang merumuskan perbuatan belajar sebagai berikut: belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara- cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.

Sedangkan menurut Anurrahman (2009: 33) belajar merupakan kegiatan penting setiap orang, termasuk di dalamnya belajar bagaimana seharusnya belajar.

Sobry Sutikno (2008:4) menyimpulkan pengertian belajar menurut para ahli yang tertulis dalam bukunya, yang berjudul “belajar dan pembelajaran” yaitu: belajar pada hakikatnya adalah “perubahan ” yang terjadi di dalm diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktifitas tertentu.

3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kedisiplinan Belajar

Telah dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang menimbulkan terjadinya suatu perubahan atau pembaharuan dalam tingkah laku atau kecakapan. Berhasil atau tidaknya belajar itu tergantung kepada bermacam- macam faktor, adapun faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni:

a. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual. Faktor yang termasuk kedalam faktor individual antara lain:

faktor kematangan/ pertumbuhan, kecerdasan latihan, motivasi dan faktor pribadi. Di sini dijelaskan bahwa Kematangan/ pertumbuhan mengajarkan sesuatu baru dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah memungkinkannya dalam atri potensi- potensi jasmani dan rohaninya telah matang untuk itu. Kemudian kecerdasan dan intelegensi yaitu selain kematangan, dapat tidaknya seseorang mempelajari sesuatu dengan baik ditentukan juga oleh taraf kecerdasan, lalu latihan dan ulangan, karena terlatih seringkali mengulagi sesuatu, maka kecakapan dan pengetahuan yang dimilikinya dapat menjadi semakin dikuasai dan semakin mendalam.

(16)

Dan motivasi yaitu merupakan pendorong suatu organisme untuk melakukan sesuatu.

b. Faktor yang ada di luar individual yang disebut sosial. Faktor yang termasuk faktor sosial antara lain, faktor keluarga/ keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat- alat yang dipergunakan dalam belajar, lingkungan, dan kesempatan yang tersedia dalam motivasi sosial. Di sini dijelaskan bahwa faktor keadaan keluarga yaitu suasana dan keadaan keluarga yang bermacam-macam juga mau tidak mau turut menentukan bagaimana dan sampai di mana belajar dialami dan dicapai leh anak- anak.

Guru dan cara mengajar yaitu bagaimana sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang yang dimiliki guru dan bagaiman cara guru mengajarkan pengetahuan itu kepada anak- anak didiknya juga turut menentukan bagaiman hasil belajar yang dapat dicapai. Motivasi sosial yaitu karena belajar itu suatu proses yang timbul dari dalam, maka motivasi memegang peranan penting. Jika guru atau orang tua dapat memberikan motivasi yang baik pada anak- anak, maka timbulah dorongan dan hasrat untuk belajar lebih baik. Lingkungan dan kesempatan yaitu yaitu pengaruh lingkungan dan kesempatan untuk belajar juga dapat mempengaruhi belajarnya (Abdur Rahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, 2005: 224-226 )

Sedangkan menurut M. Sobry Sutikno (2008: 14- 25) bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi belajar yaitu:

a. Faktor dari dalam diri diri individu (internal)

Faktor yang berasal dari dalam diri individu (faktor internal) diklasifikasikan menjadi 2, yaitu faktor jasmaniah dan faktor psikologis.

b. Faktor- faktor eksternal

Keberhasilan belajar juga sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor dari luar diri santri (faktor eksternal). Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

1) Faktor keluarga

(17)

Faktor keluarga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses belajar anak karena anak lebih banyak berinteraksi di dalam keluarga daripada diseklah.

2) Faktor sekolah

Di antara faktor- faktor sekolah yang dapat mempengaruhi proses belajar anak dalah kurikulum, keadaan gedung, waktu sekolah, alat pelajaran, metode mengajar, hubungan antara guru dengan siswa, dan hubungan antara siswa dengan siswa.

3) Faktor masyarakat

Mengapa masyarakat berpengaruh terhadap belajar santri? Karena memang santri itu berada di tengah masyarakat atau lingkungan yang plural.

Penulis menyimpukan bahwa tumbuhnya sikap disiplin pada anak tidak terjadi secara instan atau mendadak namun, kedisiplinan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yakni, faktor keluarga, faktor sekolah, faktor sosial atau masyarakat. Faktor yang paling banyak berpengaruh yaitu faktor keluarga, karena keluarga merupakan tempat dimana anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Lalu faktor pendidikan dan sosial atau masyarakat, yang diperoleh dari sekolah dan masyarakat seperti pembentukan kebiasaan, sikap dan pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

4. Bentuk-Bentuk Disiplin

Mengingat betapa pentingnya kedisiplinan tersebut dibahas seperti ini, maka penulis memandang perlu untuk membatasinya. Batasan kedisiplinan yang dimaksud adalah disiplin dalam belajar, mentaati peraturan, Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu batasan jenis-jenis kedisiplinan menurut para ahli tersebut:

a. Disipin dalam belajar

Disiplin dalam belajar ini penting, karena itu perlu diberikan penanaman disiplin bagi para santri. Caranya dengan memberikan teladan yang baik oleh guru atau pendidik yang lain dan kemudian teladan yang

(18)

baik itu diusahakan agar jngan sampai dilanggar oleh guru atau pendidik itu sendiri. Dengan demikian kesadaran berdisiplin anak akan selalu tertanam dan tumbuh di hatinya sehingga akan menjadi disiplin diri sendiri.

Dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren disiplin sangat ditekankan. Pagi-pagi antara pukul 04.30 atau pukul 05.00 bapak Kyai atau pengurus telah membangunkan para santri, mereka diajak shalat Subuh berjamaah. Pendidikan semacam ini berpengaruh besar dalam kehidupan para santri (Imam Bawani, 1993: 99).

b. Disiplin dalam mentaati peraturan

Untuk menjamin kelancaran dan ketertiban proses pendidikan, biasanya menyusun tata tertib yang berisi peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh santri yang ada. Di samping mentaati peraturan pondok pesantren juga harus memahami dan mentati pola-pola kebudayaan Pondok Pesantren yang berlaku. Pada Pondok Pesantren yang menjalankan disiplin secara permissive dan lebih banyak memberikan kebebasan pun terdapat norma-norma yang harus dipahami dan ditaati oleh semua pihak.

(S. Nasution, 1995: 68)

Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa, seorang santri dapat dikatakan mentaati peraturan Pondok Pesantren jika ia selalu taat pada tata tertib, hormat dan taat pada perintah guru, serta tertib dalam menjalankan kegiatan yang telah ditetapkan.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa Pesantren merupakan sarana latihan kedisiplinan bagi santri. Jika dalam pesantren santri melatih kedisiplinan dengan baik maka setelah keluar dari pesantren pun santri akan terbiasa dengan sikap disiplin yang nantinya sangat berguna dalam kehidupannya di masyarakat.

Sedangkan disiplin dalam pembahasan sebelumya dijelaskan yaitu suatu kondisi yang tercipta melalui proses latihan yang dikembangkan menjadi serangkaian perilaku yang didalamnya terdapat unsur-unsur ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, ketertiban dan semua itu dilakukan sebagai

(19)

tanggung jawab yang bertujuan untuk mawas diri. Pendidikan dan disiplin mempunyai sedikit kesamaan yaitu yang berhubungan dengan tingkah laku. Dalam pendidikan yaitu mengubah tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Sedangkan dalam disiplin proses mengubah tingkah laku tersebut.

C. Urgensi Ta’zir dan Pengaruhnya sebagai Instrumen Penegakan Kedisiplinan Santri

Ta‟zir adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sadar dan secara sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran (Mursal, Taher, dkk, 1997: 56).

Menurut Ibnu Qayyim Al- Jauziyah yang diterjemahkan oleh Adnan qohar dan Anshoruddin (2007: 188) dalam buku Hukum Acara Peradilan Islam Ulama sepakat menetapkan, bahwa Ta‟zir disyari‟atkan pada semua kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman had, hukuman yang sudah ditentukan jenisnya. Hukuman ta‟zir diterapkan pada dua macam kejahatan, yaitu kejahatan meninggalkan kewajiban, kejahatan melanggar larangan.

Ta‟zir digunakan di pondok pesantren untuk memperbaiki individu santri agar menyadari kekeliruannya dan tidak akan mengulanginya lagi, melindungi santri agar dia tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela, sekaligus juga melindungi orang sekitar dari perbuatan salah (nakal, jahat, asusila, kriminial, abnormal dan lain-lain) yang dilakukan santri, sehingga aturan- turan tersebut menjadikan santri lebih disiplin dan bertanggung jawab (Kartini Kartono, 1992: 261).

Penulis berpendapat bahwa Ta‟zir dalam pendidikan Islam adalah sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik atau pihak pengurus kepada santri agar santri yang melanggar peraturan tersebut tidak mengulangi untuk yang kedua kalinya atas pelanggaran yang dilakukannya. dengan memberi peringatan dan pelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keislaman,

(20)

serta bertujuan untuk mendidik supaya bertingkahlaku dan berakhlakkul karimah sesuai yang diharapkan.

Kemudian Abdullah Nashih Ulwaan (2007: 308-309), mengemukakan bahwa ta‟zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak terdapat had atau kafarah.

Sebagaimana hudud, ta‟zir bertujuan untuk memberi pelajaran untuk orang lain, demi kemaslahatan umat, dan sudah menjadi kesepakatan, bahwa Islam mensyariatkan hukuman ini untuk merealisasikan kehidupan yang tenang, penuh kedamaian, keamanan, dan ketentraman. Hukuman bagaimanapun bentuknya, baik hukuman qishash maupun ta‟zir, semuanya itu adalah cara yang tegas dan tepat untuk memperbaiki umat dan mengokohkan pilar-pilar keamanan dan ketentraman dalam kehidupan umat manusia.

Disiplin berasal dari kata yang sama dengan “disciple”, yakni seorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Otang tua dan guru merupakan pemimpin dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju kehidupan yang berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok (Elizabeth B. Hurlock, 2008: 34).

Secara istilah disiplin oleh beberapa pakar diartikan sebagai berikut Keith Davis dalam Santoso Sastropoetra mengemukakan: ”Disiplin adalah pengawasan terhadap diri pribadi untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah disetujui/

diterima sebagai tanggung jawab (Santoso Sastropoetra, 1988: 286 ).

Sementara itu Laura M. Ramirez (2004: 121) mendefinsikan disiplin sebagai praktik melatih orang untuk mematuhi aturan dengan menggunakan hukuman untuk memperbaiki ketidak patuhan.

Dari berbagai pengertian kedisiplinan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kedisiplinan adalah suatu kondisi yang tercipta melalui prses latihan yang dikembangkan menjadi serangkaian perilaku yang didalamnya terdapat unsur-unsur ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, ketertiban dan semua itu dilakukan sebagai tanggung jawab yang bertujuan untuk mawas diri dan mencapai suatu tujuan.

(21)

Istilah belajar terkenal dalam bahasa Arab dengan sebutan ta‟allum. Al- qur‟an (surah al-baqarah ayat 102) menggunakan kata ta‟alum untuk proses penangkapan dan penyerapan pengetahuan yang bersifat maknawi serta berpengaruh pada perilaku (Mahmud, 2005: 59).

Menurut Abdul Rahman Shaleh, muhbib abdul wahab (2005: 207-209) belajar (learning), seringkali didefinisikan sebagai perubahan yang secara relatif berlangsung lama pada masa berikutnya yang diperoleh dari pengalaman- pengalaman. Di samping itu, adapula sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka seperti tampak pada latihan membaca dan menulis.

Sementara itu, menurut pendapat nasional, belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, di sisi yang dipentingkan adalah pendidikan intelektual atau kecerdasan. Lain lagi dengan pendapat para ahli pendidikan moderen yang merumuskan perbuatan belajar sebagai berikut: belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara- cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.

Dari beberapa definisi belajar di atas, penulis menyimpulkan bahwa belajar adalah sebuah proses untuk mendapatkan informasi, perubahan, ilmu pengetahuan yang diperoleh dari praktik atau latihan dan pengalaman- pengalaman yang didapat.

Penulis menyimpulkan dari seluruh pemaparan tentang ta‟zir, disiplin dan belajar di atas bahwa, penerapan ta‟zir sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan belajar santri, karena dengan adanya ta‟zir, santri sangat berantusias dalam mengikuti kegiatan pengajian dan mengikuti semua aturan yang dibuat oeh pondok pesantren. Walaupun terkadang persepsi santri terhadap ta‟zir berbeda dengan pena‟zir, santri merasa dihukum, merasa tidak diperlakukan secara adil dan yang lebih ekstrim lagi, santri merasa apa yang dilakukannya adalah benar sehingga istilah ta‟zir tidak tepat untuknya. Tetapi ta‟zir di sini dengan memberi peringatan dan pelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keislaman, serta bertujuan untuk mendidik supaya bertingkah slaku dan berakhlakul karimah sesuai ya ng diharapkan.

Referensi

Dokumen terkait

Orang-orang yang berhasil dalam belajar dan berkarya disebabkan mereka selalu menempatkan disiplin di atas semua tindakan dan perbuatan.. Semua jadwal belajar yang telah

1) Penolakan“dari masyarakat dan menganggap bahwa anak jalanan adalah calon bibit dari”kriminal. 2) Pada“masyarakat kurang mampu, anak-anak menjadi aset orang tua untuk

Dalam pasal 1313 KUHPerdata perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang ataupun lebih 49. Menurut

perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan atau menimbulkan kerugian itu, mengganti

Dukungan ini terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan untuk maju atau pesertujuan dengan gagasan atau perasaan

Sebagaimana kita ketahui pelaku tindak pidana pencabulan dilakukan oleh anak merupakan perbuatan tercelah dan perlu diberikan sanksi pidana namun sebelum

Nilai yang didapatkan dari pertanyaan tersebut akan selalu berbeda antara satu orang dengan yang lain, hal ini disebabkan jawaban didasarkan pada perasaan setiap

2 Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh