• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

FADHILATUR ROSYIDAH NIM: 11160453000006

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1441 H / 2020 M

(2)

i

(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini adalah hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang telah Saya gunakan dalam penulisan ini telah Saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli Saya atau merupakan hasil jiplaka dari karya orang lain, maka Saya berseda menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 April 2020

Fadhilatur Rosyidah NIM : 11160453000006

(5)

iv ABSTRAK

Fadhilatur Rosyidah. NIM 11160453000006. PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL.

Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. ix + 67 halaman + 22 halaman lampiran.

Latar belakang penelitian ini adalah adanya tindakan persekusi yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uighur. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tindakan persekusi yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uighur di Xinjiang dan tinjauan hukum humaniter internasional terhadap persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uighur.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach). Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum, yaitu bahan hukum primer (Universal Declaration of Human Rights, dan Statuta Roma 1998), bahan hukum sekunder (buku-buku yang terkait perlindungan HAM dan penyelenggaraan hukum humaniter internasional), dan bahan non hukum. Kemudian data yang didapat dianalisis secara sistematis, sehingga menghasilkan output yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Hasil Penelitian ini menunjukan dua hal. Pertama, persekusi yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur di antaranya berupa penyekapan, penindasan, perampasan, kekerasan, penembakan mati, hingga membatasi hak beragama dan privasi Musim Uighur di antaranya yaitu membuat kebijakan penghapusan wakaf, penghapusan pajak untuk sekolah Islam, melarang pegawai negeri atau pejabat pemerintah Muslim untuk berpuasa, tidak bebas beraktifitas karena selalu diawasi oleh kepolisian, dan adanya kebijakan pemindaian alat komunikasi bagi warga etnis Uighur. Kedua, tindakan persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur melanggar ketentuan dalam hukum humaniter internasional, di antaranya adalah ketentuan dalam Universal Declaration of Human Rights dan Statuta Roma 1998. Kasus persekusi Muslim Uighur telah memenuhi keempat syarat yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang termuat dalam Statuta Roma 1998 di antaranya yaitu:

Rationae materiae, Rationae temporis, Rationae loci,dan Rationae personae, dan penanganan kasus ini dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Kata Kunci : Persekusi, Etnis Uighur, Hukum Humaniter Pembimbing : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A.

Daftar Pustaka : 1967 s.d. 2020

(6)

v

ِميحَّرلا ِن ٰم ْحَّرلا ِالله ِمْسِب

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., yang berkat karunia dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Persekusi Muslim Uighur Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Diplomatik Indonesia-Cina (Analisis Hukum Humaniter).” Shalawat serta salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad saw., yang telah menuntun umat Islam menuju Shirat al-mustaqim yang diridhai Allah swt.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya terutama kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Hj. Maskufa, M.Ag., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan para Wakil Dekan lainnya.

3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara yang sudah penulis anggap sebagai ibu sendiri dan yang selalu sabar dalam mendengar curahan hati penulis dari awal perkuliahan hingga saat ini.

Dan Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara yang sudah membantu administratif akademik penulis.

4. Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A., Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, arahan, dan mentransfer ilmunya kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga saat ini. Tanpa adanya bimbingan dan arahan dari beliau tidak mungin skripsi ini dapat sampai ke tangan pembaca.

5. Prof. Arskal Salim GP, M.Ag., Dosen Penasihat Akademik penulis, yang telah menjadi inspirator penulis dalam menjalani perkuliahan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

Tata Negara atas transfer ilmu yang diberikan selama penulis belajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga atas semua yang diberikan dengan ikhlas akan menjadi amal ibadah yang terus mengalir.

7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Mulyadi, Ibunda Hj. Nurjanah, Kakek H. Warkaya dan Nenek Hj. Nadiroh yang selalu menjadi garda terdepan dalam memberikan dukungan bagi penulis di segala aspek, dan juga yang tak ada hentinya menyelipkan penulis dalam doa di setiap sujudnya. Dan juga adik-adik tercinta Muhammad Fadil Firmansyah dan Muhammad Fadlan Ardiansyah yang telah turut andil memberikan hiburan kepda penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Kepada partner Ajat Sudrajat, S.Ag., kostmate Suci Prastya Ningrum, S. Psi. yang selalu memberikan dorongan semangat kepada penulis dan menjadi tempat berkeluh kesah penulis selama penulisan skripsi ini.

10. Keluarga besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya kawan seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2016 yang telah melewati perkuliahan bersama dari awal kuliah hingga saat ini, semoga ilmu yang kami dapat diperkuliahan diberkahi Allah swt.

Khususnya untuk Princess HTN Andriani Kasip, Silmi Nurtsin, Lis Diana Putri, Miftahurrahmah, Halimatur Rusyda, Nur Kholifah, Syifa Salsabila, Ajeng Dwi Pramesti, Husniyah, Inten Murnia Sari dan kawan seperjuangan lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

11. Keluarga Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tata Negara yang telah menjadi tempat berproses di internal kampus dalam mengolah bakat berorganisasi penulis. Khususnya Bang Muhammad

(8)

vii

Ridwan, S.H., Bintang Garda Nusantara, Nur Kholifah, Wildan Fauzi, dan anggota lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

12. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat yang telah memberikan wadah bagi penulis dalam belajar berorganisasi, dan memberikan arti persaudaraan sesungguhnya di tanah rantau.

Khususnya Mas Mochamad Andi Apriyanto, S.H., Robi Chul Bais, Khoerun Nisa DPM, Aghnina Auliani, Dede Hidayatulloh dan anggota lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

13. Dan kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak senantiasa menjadi amal ibadah yang terus mengalir pahalanya hingga Hari Kiamat.

Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 2 April 2020 M 8 Sya’ban 1441H

Fadhilatur Rosyidah NIM : 11160453000006

(9)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KONSEP PERSEKUSI, HAM, DAN TEORI HUKUM HUMANITER ... 16

A. Konsep Persekusi ... 16

B. Teori Hukum Humaniter Internasional ... 18

C. Persekusi Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ... 21

BAB III KONFLIK UIGHUR ... 26

A. Potret Muslim Uighur ... 26

B. Kondisi Sosial dan Politik Muslim Uighur ... 34

C. Akar Konflik Muslim Uighur ... 41

BAB IV PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI ASPEK HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ... 45

A. Persekusi Muslim Uighur ... 45

(10)

ix

B. Analisis Hukum Humaniter Internasional terhadap Persekusi Muslim

Uighur ... 50

BAB V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 68

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan masa kini memang tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi sebelumnya

.

Dari sekian banyak jenis kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, ada jenis kejahatan yang berdampak terhadap keselamatan dan perdamaian dunia yaitu extra ordinary crime atau lebih dikenal dengan istilah kejahatan luar biasa. Apabila dilihat dari sejarahnya, kejahatan luar biasa hanya mencakup 4 jenis kejahatan saja yaitu kejahatan perang, kejahatan agresi, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, perkembangan kejahatan sekarang menunjukkan bahawa ada beberapa kejahatan terkini yang diasumsikan sama dengan keempat jenis kejahatan tersebut. 1 Persekusi dapat ditafsirkan sebagai kejahatan luar biasa karena termasuk dalam jenis kejahatan terhadap kemanusiaan.

Persekusi ini merupakan salah satu jenis kejahatan kemanusiaan sebagaimana dijelaskan dalam Statuta Roma, Pasal 7 ayat (1) 2 dan Pasal 7 ayat (2) huruf g3. Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa "persecution" berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender.

Kejahatan kemanusiaan yang berupa tindakan persekusi jelas melanggar ketentuan Hak Asasi manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang telah melekat pada diri setiap manusia dan merupakan anugerah yang

1 Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime), (Aceh : UNIMAL Press, 2019), h. 9

2 Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma 1998 : “Crime against humaniy means any of the following acts when commited as part of widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of attack.”

3 Pasal 7 yat (2) huruf g Statuta Roma 1998 : “Persecution means the intentional and severe deprivation of fundamental rights contrary to international law by reason of the identity of the group or collectivity;”

(12)

2

diberikan Tuhan sejak lahir serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Universal Declaration of Human Rights 4 berisi hak berpikir dan mengeluarkan pendapat, hak untuk memperoleh nama baik, hak untuk kemerdekaan hidup, hak untuk memperoleh pekerjaan, hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk hidup, hak menganut aliran kepercayaan atau agama tertentu, dan hak memiliki sesuatu.

Hal tersebut juga tertuang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (UDHR), bahwa setiap orang berhak atas hak asasi nya tanpa dibeda- bedakan : “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain”.

Eksistensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan merupakan dasar dalam membangun komunitas bangsa yang memiliki kohesi sosial yang kuat.

Meskipun beragam ras, etnis, agama, dan keyakinan politik, masyarakat akan dapat hidup harmonis dalam suatu komunitas bangsa atau negara, jika ada sikap penghargaan terhadap nilai-nilai HAM dan keadilan. Eksistensi HAM berbanding lurus dengan keberadaan bangsa, sesuai dengan jangkauan pemikiran dan perkembangan lingkungannya. Untuk itu, setiap kejahatan HAM harus diadili karena kejahatan tersebut selalu menjadi kendala dalam perjalanan peradaban bangsa. Pelanggaran HAM dapat juga dilakukan oleh satuan non-pemerintah,

4 Universal Declaration of Human Right, merupakan sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris). Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal yang menggarisbesarkan pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM) kepada semua orang. Dalam Yudi Latif, Negara Paripurna, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 184.

(13)

misalnya pembunuhan penduduk sipil oleh para pemberontak, serangan bersenjata oleh satu pihak kepada pihak lain dan sebagainya.5

Melihat besarnya perhatian PBB dan dunia internasioanal terhadap hak- hak asasi manusia sedunia, maka sudah sepantasnya dalam kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara harus senantiasa menghormati dan memperlakukan setiap manusia sesuai dengan harkat dan martabat hak-hak asasinya. Perkembangan progresif di bidang hak asasi manusia dewasa ini tidak terlepas dengan adanya prinsip bahwa negara (pemerintah) mempunyai kewajiban untuk menjamin dan memberikan perlindungan HAM tersebut selain merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.

Saat ini, tidak ada satu pun aspek kehidupan yang keluar dari HAM.

Masalah perlindungan internasional HAM ini sudah diatur secara baik dalam hukum internasional HAM yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan individu dan kelompok dari pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh aparat pemerintah.6

Kendati demikian, pelanggaran terhadap HAM masih sering terjadi.

Pengekangan kebebasan atas hak-hak yang dimiliki seseorang, pendiskriminasian suatu etnis sampai pada pemusnahan suatu kelompok tertentu masih saja terjadi.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut masih terjadi di tengah masyarakat internasional yang menjunjung tinggi persamaan dan martabat kehidupan manusia. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan HAM dan kejahatan- kejahatan serius terhadap HAM membutuhkan perhatian khusus, karena hal tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia yang seharusnya bebas dari rasa tidak aman. Hanya saja tindakan-tindakan tidak manusiawi masih sering diterima, khususnya pada kaum-kaum minoritas.

Dalam dunia Internasional, penegakkan hukum tentang Hak Asasi Manusia secara global dalam penegakannya dapat dikatakan belum tuntas. Dalam

5 Fazlur Rahman, et.al, Analisis Yuridis Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia (Studi Kasus di Mesuji Sumatra Selatan), (Makasar : UNHAS, 2011), h. 2.

6 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, edisi ke-2, (Bandung : Alumni, 2005), h. 672.

(14)

4

perkembangannya, hukum yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia secara global juga telah diatur dalam hukum humaniter. Hukum humaniter yang mulai dikenal pada tahun 1970an ini awalnya disebut dengan International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict lalu berkembang menjadi hukum perang (law of war), yang kemudian berkembang lagi menjadi hukum sengketa bersenjata (law of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter internasional adalah seperangkat aturan yang dibuat dengan alasan kemanusiaan untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata. Hukum ini melindungi korban atau orang lain yang terlibat ataupun tidak terlibat dalam pertikaian.

Hukum humaniter merupakan bagian dari hukum internasional.

Hukum humaniter internasional merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara.7

Pemerintah Cina melakukan tindakan persekusi8 terhadap kaum Muslim Uighur di wilayah yang dikenal dengan nama Turkistan Timur, sementara Cina menyebutnya dengan nama Xinjiang, yang berarti blok baru. Persekusi yang terjadi mengakibatkan lebih dari seratus enam puluh Muslim meninggal.

Sementara menurut warga Uighur akibat dari persekusi itu hampir empat ratus Muslim meninggal, ratusan menderita luka-luka, dan ratusan lagi ditangkap.9

Pemerintah Cina mengubah bentuk penjajahannya menjadi penjajahan kependudukan, di mana ia memindahkan sekitar delapan juta masyarakat Cina dari keturunan Han yang merupakan suku terbesar ke Turkistan Timur.

Selanjutnya mereka diberi jabatan tinggi dan kekuasaan penuh. Sementara penduduk asli dijadikan penduduk kelas dua yang dipekerjakan sebagai pegawai

7Ambarwati, et.al, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 27.

8 Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersulit, atau ditumpas. Dikutip dari https://kbbi.web.id/persekusi, diakses pada tanggal 10 Juli 2019 Pukul 11.26 WIB.

9 Muslim Uighur Sekitar Satu Juta ditahan PBB Sebut Ini Mengkhawatirkan, dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45372418, diakses pada 9 Juli 2019 pukul 15.47 WIB.

(15)

rendahan, dan pekerja kasar untuk memperoleh penghidupannya. Sesungguhnya yang melakukan kejahatan terhadap warga Uighur sekarang, bukan hanya pemerintah dan aparatnya yang bertindak represif, namun juga orang-orang Cina keturunan Han yang banyak melakukan berbagai bentuk permusuhan dan pelecehan terhadap penduduk asli.10 Namun, pemerintah Cina membantah tudingan adanya diskriminasi rasial terhadap Etnis Muslim Uighur di Xinjiang.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sudah menjadi tanggung jawab negara jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM. Apabila negara membiarkan tidak ditegakkannya hukum atau bahkan menjadi bagian dari pelanggaran HAM tersebut maka negara tetap dalam keadaan impunitas11 (impunity).

Berdasarkan urgensi dan daya tarik yang tinggi terhadap fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pustaka mengenai persekusi Muslim Uighur untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut terhadap problematika di atas. Selain itu, peneliti juga ingin mengkaji secara mendalam terkait dengan implementasi hukum humaniter internasional berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, dan dituangkan dalam judul :

“PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Hukum Internasional, terutama setelah Perang Dunia I, telah memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum Internasional yang mandiri dalam tata hukum internasional. Individu dalam hukum Internasional, juga dapat membela hak-haknya secara langsung, yang pada awalnya berlaku

10 Muhammad Fajrin Saragih, “Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim Uighur di China Ditinjau dari Hukum Humaniter” (Medan: Jurnal Universitas Sumatera Utara, 2015), h.3-4.

11Impunitas adalah keadaan tidak dapat dipidana (nirpidana). Diakses melalui https://kbbi.web.id/impunitas , diakses pada tanggal 10 Juli 2019 Pukul 15.12 WIB.

(16)

6

menurut masyarakat Eropa dalam Konvensi Eropa serta berlaku dalam Konvensi Amerika.

Pasca disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yaitu Statuta Roma 1998 pada 17 Juli 1998 maka telah berlaku hukum baru yang di dalamnnya memuat peraturan baru tentang genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma merupakan hasil dari beberapa upaya yang dilakukan oleh PBB untuk menciptakan sebuah Pengadilan Internasional.

Cina sebagai negara yang tergabung dalam PBB sudah seharusnya menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Namun, dengan adanya problematika persekusi yang dialami oleh etnis Muslim Uighur seolah Cina sudah tidak lagi mengindahkan prinsip yang telah dijunjung tinggi oleh seluruh anggota PBB. Terlebih problematika tersebut telah menjadi sebuah isu global yang turut mengganggu stabilitas politik internasional.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disebutkan identifikasi masalah yang diteliti lebih lanjut, sebagai berikut:

1. Persekusi yang dilakukakan oleh pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uighur menjurus ke tindakan genosida. Tindakan-tindakan tersebut berdampak pada penurunan populasi etnis Uighur yang jika dibiarkan secara terus-menerus maka dapat memusnahkan etnis Uighur di Cina.

2. Diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Muslim Uighur ini tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia dalam Universal Declaration of Human Rights yang telah disepakati oleh seluruh negara-negara di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan juga tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan. Hal itu, terkait dengan Cina yang juga menjadi negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang seharusnya turut menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia namun yang terjadi adalah sebaliknya, justru Cina sudah tidak lagi menjunjung tinggi prinsip yang telah disepakati bersama.

(17)

3. Persekusi yang dilakukan oleh Pemerintah kepada etnis Uighur turut membuat negara-negara di dunia merespon dan mengecam Pemerintah Cina untuk menghentikan tindakan pelanggaran HAM karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.

4. Republik Rakyat Cina (RRC) dikenal dengan “macan asia”, dengan perekonomian yang maju dan sebagai negara yang berpengaruh di kawasan Asia. Dengan adanya problematika ini, dapat mengakibatkan citra Cina sebagai negara maju di Asia menjadi tidak baik dan secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian Cina.

5. Persekusi yang dialami oleh etnis Uighur yang mayoritas beragama Islam turut menjadi perhatian dunia. Karena Islam merupakan agama yang diakui secara global dan merupakan salah satu agama dengan penganut terbesar di dunia, isu diskriminasi ini menjadi sorotan karena dianggap merendahkan entitas salah satu agama.

6. Etnis Uighur sebagai etnis minoritas di Cina tidak mendapat perlakuan baik oleh Pemerintah Cina, sehingga terkesan negara Cina mengabaikan hak warga negaranya.

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Penelitian ini difokuskan pembahasannya hanya menyangkut masalah persekusi Muslim Uighur dalam tinjauan Hukum Humaniter Internasional.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka secara terperinci masalah yang diteliti adalah implikasi dari tindakan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter internasional. Dari masalah di atas maka dapat diperoleh rumusan penelitian sebagai berikut:

(18)

8

a. Bagaimana bentuk persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur?

b. Bagaimana tinjauan hukum humaniter internasional terhadap persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Tujuan penelitian yang dilakukan mengenai implikasi dari tindakan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter internasional:

a. Mengetahui bentuk persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur.

b. Mengetahui tinjauan hukum humaniter internasional terhadap persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur.

2. Manfaat

Manfaat penelitian yang dilakukan mengenai implikasi dari tindakan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter internasional adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Akademik

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang tindakan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter internasional.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis kepada semua pihak yang terkait dalam penelitian ini, diantaranya:

(19)

1) Sebagai bahan referensi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang tindakan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter internasional.

2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi dalam bidang politik/hukum internasional bagi mahasiswa/i yang terkhusus membahas mengenai Hukum Humaniter Internasional.

3) Penelitian ini secara pribadi menjadi salah satu bentuk implementasi dari ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti program perkuliahan sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan penelusuran terhadap berbagai karya-karya ilmiah baik yang berbentuk buku, artikel dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil penelusuran yang peneliti dapatkan, antara lain:

Muhammad Fajrin Saragih “Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM Terhadap Muslim Uighur di China Ditinjau dari Hukum Humaniter,” Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2015. 12 Dalam penulisan artikel ini, dijelaskan bahwa Pemerintah Cina telah melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang, di antaranya pelanggaran kebebasan beragama, ditinjau dari ketentuan hukum dalam Konvensi Janewa.

Lidya Elmira Amalia dalam karya ilmiah skripsi yang berjudul

“Diskriminasi Rasial Terhadap Minoritas Muslim Uyghur di China Ditinjau dari Hukum Islam” Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia tahun 2018.13 Dalam penulisan skripsi ini, dijelaskan bentuk-bentuk diskriminasi rasial pemerintah Cina terhadap Etnis Uighur berupa kebijakan

12 Lihat https://digilib.uin-suka.ac.id, diakses pada 9 Juli 2019, Pukul 10.40 WIB

13 Lihat https://repositori,usu.ac.id, diakses pada 9 Juli 2019, Pukul 10.50 WIB

(20)

10

pengusiran Islam dari identitas Uighur, memberikan penekanan khusus untuk mengasingkan wanita Uighur, larangan bagi muslim Uighur untuk memasuki masjid dan bagaimana pandangan Islam terhadap konsep minoritas yaitu Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kaum minoritas dan diskriminasi rasial yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Ika Yogyantari, “Muslim Uyghur di Provinsi Xinjiang Pada Masa Pemerintah Komunis China Tahun 1949 - 2008 M,” Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2008.14 Dalam penulisan skripsi ini, dijelaskan usaha pemerintah Komunis Cina dalam menekan umat beragama di wilayah Xinjiang khususnya terhadap umat Islam dengan membuat kebijakan yang merugikan umat Islam di Xinjiang dan sikap Muslim Uighur terhadap perlakuan pemerintah Komunis China yang melawan dan ingin mendirikan negara sendiri yang merdeka dan berdaulat.

Muhammad Izzul Mubarak “Kebijakan Pemerintah China Terhadap Muslim Uighur Perspektif Siyasah Syar’iyyah” Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2018.15 Dalam penulisan skripsi ini, dijelaskan bagaimana kebijakan Pemerintah Cina terhadap etnis Uighur yang tidak sesuai dengan prinsip siyasah syar’iyyah yaitu dalam teori fiqh siyasah syar’iyyah ini yang di dalamnya mencakup konsep hukum-hukum dan hak-hak bagi anak Adam yang dijamin oleh Islam dan Pemerintah China telah melakukan pelanggaran HAM internasional yang tercantum dalam Konvensi Janewa 1949.

Dari semua karya ilmiah yang disebutkan sebelumnya, masing-masing karya memiliki fokus pembahasan yang menarik. Penulis sangat tertarik membahas persoalan ini, tentunya dengan melihat adanya celah untuk membahas tema dan objek penelitian yang sama, tetapi dengan fokus

14 Lihat https://dspace,uii.ac.id, diakses pada 5 Juli 2019, Pukul 15.20 WIB

15 Lihat https://digilib.uin-suka.ac.id, diakses pada 5 Juli 2019, Pukul 17.20 WIB

(21)

pembahasan yang berbeda. Dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih menekankan pada tindakan persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur dengan mengaitkan pada tinjauan hukum humaniter internasional dalam Universal Declaration of Human Rights dan Statuta Roma 1998.

E. Metode Penelitian

Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka disusun metode16 penelitan sebagai jalan petunjuk yang mengarahkan jalannya penelitian ini, atau dengan kata lain sebagai jalan atau cara dalam rangka usaha mencari data yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup materi, dan konsistensi.17 Dalam literatur lain disebutkan bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.18 Penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan

16 Metode adalah suatu cara atau jalan sehubungan dengan usaha ilmiah, metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:

UI Press, 2015), h. 5.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 15.

18 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003), h. 41.

(22)

12

komposisi, lingkup materi, konsistensi, dan realitas kejadian yang ada di masyarakat.

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan pokok bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dilakukan dengan cara mengkaji persekusi Muslim Uighur yang dilakukan Pemerintah Cina dalam tinjauan Universal Declaration of Human Rights dan Statuta Roma 1998.

2. Pendekatan Penelitian19

a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Aprroach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan tindakan persekusi yang dialami oleh Muslim Uighur.

b. Pendekatan Konseptual

Penelitian ini berdasarkan pada pendekatan Konseptual (conceptual approach) yaitu yang beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam hukum.

Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan. Penelitian ini juga berfokus pada problem identifikasi yaitu penelitian yang bertujuan untuk menginventarisir dan kemudian mengklarifikasi permasalahan untuk dicarikan jalan keluar.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133-177.

(23)

3. Sifat Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang implikasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk membantu Etnis Uighur di Xinjiang Cina.

4. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas atau kewenangan tertentu. Bahan- bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim.20 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan hukum primer antara lain Universal Declaration of Human Rights dan Statuta Roma 1998.

b. Bahan Hukum Sekunder

Mengenai bahan hukum sekunder, Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku, teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku-buku teks tentang hukum yang relevan dengan isu hukum yang diangkat dan ditulis dalam penulisan ini, seperti literatur-

20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.

(24)

14

literatur dan buku-buku yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia, dan penyelenggaraan hukum humaniter internasional.

c. Bahan Non-Hukum

Bahan-bahan non hukum dalam penetian hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non hukum sepanjang semua itu memiliki relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan bagi peneliti, namun yang harus digarisbawahi bahwa bahan non hukum ini tidak boleh lebih dominan dibanding bahan hukum primer dan sekunder.21 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa bahan non hukum antara lain: buku-buku politik dan hubungan internasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ensiklopedi di perpustakaan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pegumpulan data adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencatat dan mengcopy data-data tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian baik dari sumber dokumen/buku-buku, koran, majalah, internet dan lain lain.

6. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data.

Analisis data bertujuan untuk menginterprestasikan data yang sudah disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,

21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 204-208.

(25)

runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini, dipaparkan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Konsep Persekusi, HAM dan Teori Hukum Humaniter. Pada bab ini, diulas mengenai Konsep Perekusi, Teori Hukum Humaniter Internasional, dan Persekusi Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Bab III Konflik Uighur. Pada bab ini, dipaparkan mengenai Potret Muslim Uighur, Kondisi Sosial dan Politik Muslim Uighur, dan Akar Konflik Muslim Uighur.

Bab IV Persekusi Muslim Uighur Ditinjau dari Aspek Hukum Humaniter Internasional. Pada bab ini, dielaborasikan mengenai Persekusi Muslim Uighur, dan Analisis Hukum Humaniter Intenasional terhadap Persekusi Muslim Uighur.

Bab V Penutup. Dalam bab ini diuraikan kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah dan saran atau masukan sebagai usulan tindak lanjut dari penelitian ini.

(26)

16 BAB II

KONSEP PERSEKUSI, HAM, DAN TEORI HUKUM HUMANITER

A. Konsep Persekusi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata dari persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersulit, atau ditumpas.1 Namun apabila kata persekusi tersebut dijadikan sebagai kata kerja yaitu “memperkusi” memiliki arti menyiksa, atau menganiaya, sehingga ada unsur praktik adanya suatu penyiksaan.

Dalam bahasa Inggris, persekusi disebut dengan persecution yang memiliki makna “hostility and ill-treatment, especially because of race or political or religious beliefs”, atau jika diterjemahkan secara bebas adalah

“permusuhan dan penganiayaan, terutama karena ras atau keyakinan politik atau agama”.

Persekusi dilakukan tanpa dasar kewenangan yang diatur undang-undang.

Hal ini akan dapat mengancam seseorang dalam berdemokrasi dan mengekspresikan suatu pendapat yang dijamin undang-undang dan dapat berakibat meresahkan publik. Atas kejadian kasus-kasus persekusi, seharusnya pihak yang berwenang yaitu Aparat Penegak Hukum bertindak aktif untuk menyelesaikan sesuai ketentuan. Hal ini untuk mencegah dan membuat tidak terulangnya kembali kejadian persekusi dikemudian hari dan menutup peluang terjadinya upaya balasan dari korban pada waktu dan di tempat lain kepada persekutor.

Persekusi ini ada dikarenakan banyaknya keinginan untuk memaksakan suatu kehendaknya agar diterima oleh orang lain melalui proses-proses yang secara hukum tidak diperbolehkan karena dalam perbuatannya merugikan pihak lain, namun pelaku memaksakannya dengan bentuk perbuatan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap korbannya agar korban mau mengikuti apa yang dikehendaki oleh pelaku. Persekusi ini juga disebabkan karena adanya kefanatikan

1 Dikutip dari https://kbbi.web.id/persekusi, diakses pada tanggal 18 April 2020 Pukul 11.22 WIB.

(27)

ide terhadap kepercayaan dari pandangan diri seseorang atau kelompok yang menyebabkan gejolak antara kedua pihak yang tidak sependapat pemikirannya yang kemudian menimbulkan perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut hukum.2

Berdasarkan peristiwa persekusi yang telah terjadi, karakteristik persekusi antara lain :3

1. Adanya hak dasar yang dirampas 2. Pelaku mentarget :

a. Orang atau orang-orang karena identitas kelompok b. Orang atau orang-orang karena identitas bersama/kolektif c. Kelompok tertentu

d. Kolektivitas tertentu

3. Pentargetan tersebut didasarkan atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender atau dasar lain yang secara universal tidak dibolehkan menurut hukum internasional

4. Tindakan yang dilakukan mulai pembunuhan, penganiayaan, hingga perbuatan tidak manusiawi yang menyebabkan penderitaan fisik maupun mental

5. Meluas atau sistematis, dan

6. Pelaku mengetahu bahwa tindakannya bagian dari tindakan yang diniatkan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis.

Dari pemaparan sebelumnya, dapat dipahami bahwa yang dimaksud persekusi adalah sebuah sikap permusuhan atau penganiayaan terhadap seseorang oleh individu maupun kelopok-kelompok tertentu yang biasanya didasarkan pada dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama dan gender. Membahas mengenai persekusi, tidak jarang terjadi perdebatan yang cukup menarik mengenai makna dari persekusi. Seperti yang disampaikan

2 Muhammad Hilman Anfas Maaroef, Persekusi dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia, (Surabaya : UNAIR, 2020), h.4

3 Nur Pujiyanti, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Persekusi, (Surabaya : UNTAG, 2018), h.19

(28)

18

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan), yang meyatakan bahwa

“persekusi adalah bentuk lain dari main hakim sendiri. Hal itu tidak dibenarkan di negara hukum, termasuk Indonesia.... Selanjutnya, disampaikan oleh Kabiro Humas Kemenkumham, Efendy BP, mengatakan bahwa

“persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas...”. 4

B. Teori Hukum Humaniter

Persoalan konflik dan perang menjadi sebuah pembicaraan yang hangat dalam hubungan antar negara, ditambah lagi dengan timbulnya korban-korban manusia akibat peristiwa tersebut, baik itu dari pihak sipil maupun korban dari pihak militer. Pemikiran yang muncul selama ini bahwa dalam konflik bersenjata, jatuhnya korban dari pihak militer dianggap sebagai sebuah konsekuensi dari peperangan yang terjadi. Sementara itu jatuhnya korban sipil dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan tidak terlibat dalam konflik seharusnya menjadi pihak yang bebas dan dilindungi keselamatannya. Namun ironisnya kondisi ini tidak jarang dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan strategis dan politis dengan mengabaikan hak-hak dan keselamatan mereka. Hukum Humaniter Internasional lahir sebagai upaya penyeimbang antara kebutuhan-kebutuhan militer dan keperluan akan penghormatan akan hakikat manusia.5

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu

4 Kemenkumham: Persekusi Sama Saja Main Hakim Sendiri dikutip dari http://news.liputan6.com, diakses pada 20 April 2020, Pukul 09.00 WIB.

5 Iqbal Asnawi “Konsistensi Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam Hubungan Antar Bangsa”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol.12, No.1 (Januari 2017), h. 112.

(29)

bisa dianggap kejahatan perang.6 Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang. Kejahatan perang mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.

Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum humaniter, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum humaniter karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.

Pada dasarnya Hubungan Internasional merupakan interaksi antar aktor suatu negara dengan negara lain. Secara umum pengertian Hubungan Internasional adalah hubungan yang dilakukan antar negara yaitu unit politik yang didefinisikan menurut territorial, populasi, dan otonomi daerah yang secara efektif mengontrol wilayah dan penghuninya tanpa menghiraukan homogenitas etnis.

Hubungan Internasional mencakup segala bentuk hubungan antar bangsa dan kelompok-kelompok bangsa dalam masyarakat dunia dan cara berfikir manusia.

Negara merupakan unit hubungan antar bangsa sekaligus sebagai aktor dalam masyarakat antar bangsa. Negara sebagai suatu organisasi diciptakan dan disiapkan untuk mencapai tujuan tertentu melalui berbagai tindakan yang direncanakan.

6 Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang, diakses pada 17 Januari 2020, pukul 11.50. WIB.

(30)

20

Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa.7

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara- negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum Humaniter Internasional itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara.8

Sumber utama hukum humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag terdiri dari, Konvensi den Haag 1899 dan 1907 mengenai cara dan alat berperang. Konvensi Den Haag 1899 terdiri dari 3 konvensi dan tiga deklarasi, antara lain Konvensi II tentang Hukum dan kebiasaan Perang di Darat serta adanya deklarasi larangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. Sedangkan Konvensi Den Haag 1907 terdiri dari 13 Konvensi, konvensi yang penting antara lain Konvensi

7 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, (Bandung : Bina Cipta, 1980), h. 20

8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, h. 24

(31)

III tentang Cara Memulai Permusuhan dan Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi IV ini sering disebut dengan Hague Regulation (HR). HR memberikan batasan yang lebih tegas terhadap pemakaian alat dan metode perang. Di samping itu di dalam terdapat Martens Clause, dimana dalam Martens Clause dinyatakan bahwa dalam keadaan apapun harus diperhatikan perlakuan kemanusiaan.9

Di era sekarang, terbentuk sumber hukum humaniter internasional. Pasca disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yaitu Statuta Roma 1998 pada 17 Juli 1998 maka telah berlaku hukum baru yang di dalamnnya memuat peraturan baru tentang genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma merupakan hasil dari beberapa upaya yang dilakukan oleh PBB untuk menciptakan sebuah Pengadilan Internasional.

Statuta Roma dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum perang dan membatasi penggunaan senjata berteknologi maju yang terjadi pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan teradap kemanusiaan. Dengan adanya Statuta Roma, para pelaku tindak kejahatan teradap umat manusia tidak dieksekusi di kotak umum atau dikirim ke perkemahan penyiksaan, namun mereka diperlakukan sebagai penjahat dengan sidang reguler, hak untuk membela diri dan praduga tak bersalah.10

C. Persekusi Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Persekusi tergolong dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena termasuk di dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Salah satu kejahatan yang mendunia dan berdampak buruk bagi peradaban manusia adalah kejahatan- kejahatan yang tergolong kepada extra ordinary crimes atau kejahatan luar biasa.

9 Aryuni Yuliatiningsih, “Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter Internasional”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9, No.2, (Mei, 2009), h. 112-113.

10 Statuta Roma 1998 diunduh melalui https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7- 5752-4f84- be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dapat diunduh pada http://referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2014/10/Statuta- Roma.pdf

(32)

22

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menafsirkan istilah extra ordinary crime seperti kejahatan luar biasa, kejahatan ekstrem, kejahatan serius, kejahatan yang berdampak luas dan sistematik terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Apapun istilah yang digunakan untuk menyebutkan penafsiran terhadap istilah extra ordinary crimes namun yang pasti kejahatan tersebut berbeda dengan kejahatan konvensional baik dari sifat, karakter, cara melakukan kajahatan dan dampak daripada kejahatan tersebut.

Istilah extra ordinary crime awalnya muncul dari pelanggaran HAM berat.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa kriteria daripada the most serious crimes concern to international community adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.11 Dari situ lah istilah extra ordinary crime selalu diarahkan kepada keempat jenis kejahatan tersebut. Walaupun kejahatan perang dan kejahatan agresi sulit ditemukan atau tidak mungkin terjadi lagi pada saat demokrasi mulai tumbuh hampir disemua negara-negara di dunia.

Extraordinary crimes diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kejahatan luar biasa. Ford berpandangan bahwa kejahatan luar biasa yang dimaksud disini adalah pelanggaran HAM berat. Extra ordinary crimes adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia dan menjadi yurisdiksi Peradilan Pidana Internasional, serta dapat dijatuhkannya hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tersebut.12

Dalam hukum pidana internasional, sejak dibentuknya Rome Statute of International Criminal Court tahun 1998, istilah the most serious crimes concern to international community mulai diperkenalkan. Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma, the most serious crimes concern to international community ditafsikan menjadi empat jenis kejahatan yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,

11 Sunarto, “Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme”, Jurnal Equality, Vol. 12, No. 2 (Agustus 2007), h. 14

12 Stuart Ford, “Crimes Against Humanity At The Extraordinary Chambers In The Courts Of Cambodia: Is A Connection With Armed Conflict Required”, Pacific Basin Law Journal, Vol.

24, No. 2, (Januari 2007), h. 127-129.

(33)

kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Keempat kejahatan tersebut dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena akibatnya dapat mencederai hati nurani kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat yang mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia.13

Berdasarkan pada kriteria tersebut maka tindakan persekusi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh serta kejahatan tersebut sangat bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan secara mendalam.

Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious crimes of international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap norma Jus Cogens dan Erga Omnes, yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-norma lainnya (overriding norms) dan apabila terjadi delik tersebut maka semua negara mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya.14 Genosida salah satu kejahatan terlarang dan sangat berbahaya. Hal itu disebabkan, kejahatan genosida dapat menghancurkan seluruhnya atau sebagian anggota kelompok dengan latar belakang kebangsaan, etnis, ras, atau agama. Raphael Lemkin menyebutkan genosida sebagai suatu rencana yang terorganisir dan terkoordinasi yang bertujuan untuk menghancurkan dasar-dasar kehidupan yang esensial dari kelompok bangsa, dengan tujuan untuk membinasakan, mengilangkan, menghapuskan atau menghancurkan kelompok-kelompok bangsa tersebut.15

13 Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime),h. 12

14 Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime),h. 13

15 Raphael Lemkin, “Genocide”, American Scholar, Vol. 15, No. 2, (April, 1946), h.

227-230

(34)

24

Dalam instrumen internasional, definisi pelanggaran HAM berat belum dirumuskan secara jelas dan tegas. Victor Conde menyebutkan bahwa sebuah istilah pelanggaran hak asasi manusia yang digunakan oleh resolusi, deklarasi dan perjanjian-perjanjian internaional tetapi tidak ditafsirkan secara baik, namun pelanggaran HAM berat ditafsikan sebagai kejahatan yang bersifat serius seperti kejahatan aparted, diskriminasi ras, pembunuhan, tindakan perbudakan, genosida, tindakan kejahatan karena agama yang berskala besar.16

Dalam berbagai resolusi, deklarasi dan perjanjian internasional, definisi pelanggaran HAM berat tidak dapat diuraikan secara komprehensif, namun pengertian umum dari pelanggaran HAM berat adalah suatu tindakan kekerasan secara sistematis, serius dan berskala besar (massif) yang dilakukan oleh aparat negara seperti tindakan diskriminasi rasial, aparteid, perbudakan, pembunuhan massal, kekerasan atau penyiksaan berhubungan dengan agama (persekusi).

Biasanya, dampak pelanggaran HAM berat yang dirasakan oleh korban susah untuk dipulihkan atau diperbaiki.

Walaupun belum memiliki satu definisi yang disepakati secara umum, namun di kalangan para ahli terdapat semacam kesepakatan bahwa definisi pelanggaran HAM barat adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional. Pelanggaran tersebut dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun karena kelalaian (acts of omission). Adapun rumusan yang lain yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat adalah tindakan dan kelalaian negara terhadap norma hukum internasional.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Cherif Bassiouni bahwa suatu perbuatan melawan hukum internasional dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional apabila memenuhi tiga faktor, yaitu:17

1. Perbuatan itu melanggar kepentingan internasional yang sangat signifikan 2. Perbuatan itu melanggar nilai-nilai bersama masyarakat dunia

16 Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime),h. 27

17 M. Cherif Bassiouni, “The ICC-Quo Vadis”, Journal of International Criminal Justice, Volume 4, No. 3, (Juli 2006), h. 421-427.

(35)

3. Perbuatan tersebut melintasi batas-batas wilayah suatu negara, baik itu karena pelaku korban maupun perbuatan itu sendiri.

Sejauh ini batasan-batasan yang dapat dikategorikan Pelanggaran berat HAM yang melanggar norma hukum internasional, tetap berpedoman pada apa yang telah ditetapkan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan juga komisi hukum internasional (International Law Commission) tentang rancangan ketetapan tindak pidana kejahatan perdamaian dan keselamatan umat manusia seperti kejahatan genosida, apartheid, pelanggaran sistematik terhadap hak asasi manusia. Instrumen lain seperti Statuta Roma 1998 juga menjabarkan kejahatan HAM berat yang memiliki empat yurisdiksi kejahatan yaitu kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

(36)

26 BAB III KONFLIK UIGHUR

A. Potret Muslim Uighur

Muslim Uighur adalah suku minoritas di wilayah Provinsi Xinjiang, terletak di ujung Barat dan Barat Laut Cina. Suku ini memiliki provinsi sendiri dengan status otonomi bernama Xinjiang-Uighur. Mayoritas suku Uighur adalah Muslim. “Uighur”sendiri memiliki arti persatuan atau persekutuan. Kaum Muslim Uighur berbicara dengan bahasa lokal dan Turkmen. Mereka menulis dengan tulisan bahasa Arab. Awal mula masuknya Islam ke Xinjiang yaitu ketika masyarakat Uighur berperan sebagai perantara perdagangan antara Cina dengan Barat.1

Uighur secara hariah berarti “bersatu” atau “sekutu”. Asal dari Muslim Uighur dapat ditelusuri dari abad ke-3 SM, diketahui bahwa nenek moyang bangsa Uighur menganut Shamanisme2, Manicheism, Nestorinisme, Mazdaisme, dan Buddhisme. Penduduk Muslim Uighur tersebar di daerah otonomi Xinjiang dan sebagian kecil menghuni Povinsi Hunan dan Henan. Populasi Etnis Muslim Uighur menurut data terbaru adalah sekitar 8 juta jiwa.

Wilayah Otonom Xinjiang Uighur, juga disebut Xin (untuk kependekannya), terletak di Cina utara-barat laut dan sudah menjadi provinsi otonom semenjak tahun 1955, dengan nama resmi Xinjiang Uighur Autonomous Region (XUAR), beribukota Urumqi.3 Terletak di pedalaman benua Eurasia,

1 Anshari Thayib, Islam di Cina, (Surabaya : Amar Press, 1991), h. 42

2 Shamanisme merupakan sebuah ajaran spiritual kuno, dan dalam catatan sejarah dunia ajaran ini dikatakan sebagai ajaran spiritual tertua yang dikenal manusia di Bumi. Ciri dari ajaran ini adalah dari teori-teori tentang menempatkan pikiran pada sisi tersembunyi yang berada pada dimensi berbeda pikiran atau dikenal dengan istilah roh atau jiwa. Dikutip dari https://atlantis- indonesia.org/2016/09/shamanisme-spiritual-tertua-bumi/, diakses pada 26 November 2019 Pukul 12.52 WIB.

3 Xinjiang (yang artinya “new territory” atau “new frontier”) adalah wilayah terbesar di antara semua tingkat administratif daerah di provinsi Cina.3 Nama tersebut diberikan pada 18 November 1884 oleh pemerintah Cina. Xinjiang Uighur meliputi area seluas 1,66 juta sq.km, seperenam wilayah Cina. Xinjiang menempati seperenam wilayah Cina secara keseluruhan, dan

(37)

Xinjiang berbatasan dengan Rusia, Kazakhstan, Kirghizistan, Tajikistan, Pakistan, India, Afganistan, Mongolia, Tibet. Posisi geografis membuat Xinjiang memiliki arti strategis yang sangat penting bagi Cina maupun negara-negara di sekitarnya.

Dalam sejarah, Xinjiang merupakan bagian pengendali kunci dari Jalur Sutera (Silk Road), sementara saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kereta api yang mengarah ke Continental Eurasia kedua. Dengan demikian wilayah Xinjiang adalah “rumah” dari berbagai keturunan peradaban Turki seperti Kazaks Uighur, Kirgiz, Tatar dan Uzbek. Uighur sendiri merupakan suku terbanyak jumlah populasinya di antara kelompok etnis di Xinjiang berdasarkan keturunan Turki yang memiliki banyak bahasa. Karena letaknya Jalan Sutra yang terkenal, Uighur memainkan peran penting dalam pertukaran budaya antara Timur dan Barat, sehingga mereka memiliki budaya dan peradaban yang unik.

Wilayah Xinjiang dulu lebih dikenal sebagai “Turkistan Timur”. Luas wilayah Turkistan Timur sendiri mencapai 1,6 juta kilometer persegi atau seperlima dari luas Cina. Berkat interaksi panjang dengan pedagang Arab, Persia, dan Turki itulah yang membuat masyarakat Uighur mulai mengenal dan memeluk agama Islam. Jumlah Muslim Uighur pada tahun 2011 sekitar 8 juta orang.

Sedangkan jumlah umat Muslim di Cina pada tahun 2011 sekitar 20 juta orang dari total penduduk Cina yang berjumlah 1,3 Milyar.4

Jean A. Berlie dalam bukunya Islam in Cina: Hui and Uygghurs Between Modernization and Sinicization menjelaskan bahwa tersebarnya Islam di Cina melalui tiga (3) tahap yaitu :5

populasi Uighurs terdiri dari 47% dari populasi Xinjiang. Walaupun berstatus sebagai provinsi otonom, namun status tersebut hanya simbolis karena kuatnya kendali Partai Komunis Cina.

4 Perlakuan Pemerintah China Terhadap Muslim Uighur, dikutip dari https://www.kompas.com/marinaikasari, diakses pada29 November 2019 Pukul 11.52 WIB.

5 Jean A Berlie, Islam in Cina: Hui and Uygghurs Between Modernization and Sinicization, (Bangkok: White Lotus, 2004), h. 1-2.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kitaip tariant, toji Hegelio ieškota „pradžia“ čia yra įgyvendinama būtent kaip tokios pradžios negalimybė, o pati pradžios pradžia šiuo atveju gali būti suvokta tik

Berdasarkan hasil penelitian ini daun gaharu (A. malaccensis) bisa dijadikan dasar digunakan sebagai herbal untuk pengembangan sediaan antioksidan.. Nilai tambah pada

Apabila ortodoksi Islam dilihat dari aspek teologi, maka tentu saja teologi yang mayoritas dianut penduduklah yang disebut sebagai ortodoksi, sebaliknya semua aliran atau

Dalam penelitian ini berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain, seperti judul yang peneliti angkat yaitu, “Korelasi Kreatifitas

Savitha B Japali [2] menggunakan fuzzy c-means dan association rule generator in KNIME untuk membuat rekomendasi produk untuk toko retail. Dia menggali data dari

pengamanan data dan informasi dengan algoritma Kriptografi TripleDES dan metode Steganografi LSB yang dapat dijalankan pada beberapa sistem operasi komputer.. 5.2

Karya keramik ini diciptakan sebagai bentuk ekspresi pengalaman sosial manusia yang kemudian digambarkan melalui tekstur anemon dan bentuk biomimicry pada

opératoire adalah guna mengungkap aspek-aspek teknologi yang berkaitan dengan proses pembuatan beliung batu dari situs-situs perbengkelan neolitik di kawasan