• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PEMELIHARAAN ANAK PADA PERK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROBLEMATIKA PEMELIHARAAN ANAK PADA PERK"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIKA PEMELIHARAAN ANAK PADA

PERKARA

PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLA

M

Edi Gunawan1

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang problematika pemeliharaan anak terhadap perkara perceraian. Menurut hukum Islam, apabila terjadi perceraian, hak pemeliharaan anak jatuh ke tangan ibu apabila anak itu belum mencapai umur mumayyiz. Hal itu disebabkan karena ibu dianggap lebih bisa memberikan kasih sayang dibanding ayah. Ibu juga dianggap lebih bisa mengerti dan memahami kebutuhan dan keinginan anak daripada ayah. Terlebih lagi jika anak itu masih sedang menyusui. Begitu juga hukum positif, menegaskan bahwa anak yang belum mumayyiz, maka pemeliharaannya jatuh ke tangan ibu. Sedang nafkahnya ditanggung oleh ayahnya. Sedangkan apabila anak itu sudah mumayyiz, maka diberikan hak kepada anak tersebut untuk memilih ikut ibu atau ayayhnya. Namun apabila terjadi perebutan anak di Pengadilan, hendaknya ditempuh dengan langkah persuasif, yakni dengan cara kekeluargaan dan bijaksana, serta tetap memperhatikan adat istiadat masyarakat setempat. Akan tetapi jika pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka ditempuh cara secara paksa untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan agama tentang hadhanah tersebut.

Kata Kunci: Problematika, Pemeliharaan Anak, Perceraian, Hukum Islam

A.PENDAHULUAN

Mendambakan pasangan hidup merupakan fitrah kemanusian dan

dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama

mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara kaum Adam dan kaum Hawa untuk

saling kenal mengenal. Kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga

terlaksananya perkawinan dan berakhirlah kerisauan pria dan wanita menjadi

ketentraman atau “sakinah”. Demikian dijelaskan QS. Ar-Rum: 21



(2)

Terjemah : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir2.

Hubungan antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri

adalah hubungan kemitraan. Oleh karena itu, kalimat ini memberi kesan bahwa

laki-laki sendiri belum mampu hidup tanpa perempuan, demikian pula sebaliknya.

Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja maka kereta tidak bisa

berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah

maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Dalam studi atau kajian hukum Islam kontemporer, banyak hal yang

menyebabkan munculnya pertanyaan, apakah hukum Islam bisa dan perlu

diperbaharui dan diubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan perubahan zaman?.

Menurut Akhmad Minhaji, diantara penyebabnya adalah adanya kekaburan

istilah-istilah yang digunakan dalam kaitan dengan hukum Islam. Istilah-istilah

tersebut antara lain syariah3 dan fikih4.

Kekaburan penggunaan istilah ini dapat dilihat dalam literatur barat

misalnya, istilah Islamic Law dalam penjelasannya digunakan sebagai padanan

dari istilah syariah dan fikih. Artinya ketika istilah Islamic Law dipakai itu bisa

berarti syariah dan bisa juga fikih yang dimaksudkan. Hal ini terjadi pula pada

literatur bahasa lain, seperti droit musulman dalam bahasa Prancis, Islamistise

recht dalam bahasa Belanda, Islam Bakuku dalam bahasa Turki, dan hukum Islam

dalam bahasa Indonesia5.

2 Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, 1990. h. 664.

3 Syariah adalah ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh adanya nalar

manusia, syairah adalah wahyu Allah secara murni yang bersifat tetap, tidak bisa berubah dan tidak boleh diubah oleh siapa pun kecuali oleh Yang Maha Mutlak yakni Allah itu sendiri. Lihat Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, h. 104

4 Fikih adalah daya upaya manusia dalam memahami dan menginterpretasi ajaran wahyu

Allah atau hukum yang terdapat di dalam Alquran, karena fikih hanya merupakan interpretasi dan pemahaman yang bersifat zanni, maka kebenarannya bersifat relatif. Fikih terikat oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya, sehingga fikih senantiasa berubah seiring dengan berubahnya waktu dan tempat. Lihat Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. h. 7.

(3)

Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran dan

literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Alquran adalah kata syariah, fikih,

hukum Allah dan yang seakar dengannya, atau yang biasa digunakan dalam

literatur hukum dalam Islam adalah syariah Islam, fikih Islam, dan hukum syara’6.

Dengan demikian kata hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia yang

agaknya diterjemahkan secara harfiah dari term Islamic Law dari literatur barat.

Adapun definisi dari hukum Islam itu sendiri setidaknya ada dua pendapat

yang berbeda di kalangan para ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia. Hasbi

ash-Shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam memberikan definisi hukum

Islam dengan “ koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat sesuai

dengan kebutuhan masyarakat7. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini

mendekati kepada makna fikih.

Sementara Amir Syarifuddin memberikan penjelasan bahwa “ apabila kata

hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti seperangkat

peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku

manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk yang

beragama Islam. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah

hukum yang berdasarkan wahyu Allah, sehingga hukum Islam menurut ta’rif ini

mencakup hukum syariah dan hukum fikih, karena arti syariah dan fikih

terkandung di dalamnya8.

Manusia sebagai makhluk sosial melakukan interaksi sosial yang diikuti

fitrah kemanusiaan yaitu ingin melangsungkan dan melestarikan hidup dengan

lawan jenis yakni melalui perkawinan. Dari perkawinan tersebut, manusia

berharap akan lahir generasi baru sebagai penerus kehidupan keluarga. Namun

dalam membina generasi, manusia berharap bahwa kelak generasi mereka atau

anak-anak merekaakan tumbuh sebagai anak yang berguna, cerdas, pintar, shaleh

6 Faturrahman Djamil, op.cit., h. 11.

7 Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993., h.

21.

8 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, Cet. I; Padang: Angkasa

(4)

dan berbakti pada kedua orang tua. Akan tetapi harapan ini tidak tercapai jika

kedua orang tua mereka bercerai.

Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan

martabat orang tua kelak apabila ia dewasa, menjadi anak yang shaleh dan

shalehah yang selalu mendoakannya apabila ia meniggal dunia. Berangkat dari

pemikiran inilah baik ayah maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama

berkeinginan keras untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya agar dapat

membimbing langsung dan mendidiknya agar kelak kalau anak-anak sudah

dewasa dapat tercapai apa yang dicita-citakannya itu. Demikian pula anak-anak

yang telah lahir dari perkawinan itu, selalu ingin dekat orang tuanya, rasanya sulit

untuk berpisah karena mereka selalu ingin dilindungi dan diberikan kasih sayang

oleh kedua orang tuanya sampai mereka dapat berdiri sendiri dalam mengarungi

bahtera kehidupan di dunia ini9.

Perceraian yang terjadi antara suami istri yang telah memiliki anak tidak

saja mengakibatkan terputusnya hubungan antara keduanya (suami dan istri), akan

tetap berimplikasi buruk terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup anak

tersebut. Di sisi lain kadang anak yang tadinya diharapkan sebagai sosok yang

berguna tetapi justru menjadi sengketa antara kedua belah pihak dengan alasan

bahwa mereka masing-masing lebih berhak memelihara anak tersebut.

Eksisitensi Pengadilan Agama di Indonesia adalah dalam rangka

mengupayakan terwujudnya suasana perikehidupan yang aman dan kerukunan

antar warga Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu, Pengadilan Agama

harus tetap konsisten terhadap prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, ketertiban dan

kepastian hukum dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh setiap

perubahan sosial dan pergeseran nilai yang terjadi di tengah kehidupan

masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu penegetahuan dan teknologi.

Undang-undang yang berhubungan dengan proses perceraian dan

pemeilharaan anak telah diatur, sehingga kasus-kasus yang muncul dapat

berpedoman pada aturan tersebut. Meskipun dalam kenyataan yang ditemui di

9 Abdul Manan, Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktek Hukum

(5)

lapangan dalam kasus seperti ini masih terdapat sengketa yang masing-masing

pihak berkehendak untuk memelihara anak tersebut. Bahkan dari personalitas

keislaman, mereka tidak memperhatikannya sehingga masih terdapat umat Islam

dalam menempuh keadilan dengan mengajukan kepada Pengadilan Negeri.

Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama membawa

perubahan besar terhadap kedudukan dan kewenangan peradilan agama. Lembaga

peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang kedudukannya

sejajar dengan lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan dalam pasal

10 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman. Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama maka secara yuridis normatif ketatanegaraan peradilan agama dijadikan

sebagai institusi lembaga kekuasaan kehakiman yang diposisikan sebagai

subsistem dari sistem peradilan nasional yang berpuncak pada Mahkamah Agung

sebagai lembaga pengadilan negara tertinggi10.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama mempunyai dua aspek yang ingin diraih11. Dengan demikian, dapat

diketahui bahwa hukum Islam di Indonesia berada pada tiga tempat, yaitu

pertama, tersebar dalam kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para fuqaha ratusan

tahun yang lalu, kedua berada dalam peraturan perundang-undangan negara yang

memuat hukum Islam seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Presiden No 1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan sebagainya, ketiga terdapat

10 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006., h.

11

11 1) Memordenisasi peradilan agama sehingga menjadi suatu lembaga peradilan yang

(6)

dalam berbagai putusan hakim yang telah berbentuk yurisprudensi. Dalam

pelaksanaan ketiga sumber hukum Islam tersebut sering terjadi kontroversi antara

fikih dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara fikih dan

putusan Pengadilan Agama, antara putusan-putusan Pengadilan Agama dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku12.

Dalam kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung masalah hak

pemeliharaan anak, namun konsep fikih ini bisa tidak dapat diterapkan karena

harus tunduk pada putusan hakim, sementara hakim dalam menganalisis hukum

materilnya juga berpedoman pada ruang fikih tertentu, tetapi kenapa bisa

demikian ? itulah yang perlu dikaji dan dianalisis lebih jauh berdasarkan

wewenang Pengadilan Agama.

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian,

maka ibu berhak atas hadhanah anak yang belum mumayyiz atau belum berumur

21 tahun, sedangkan semua biaya kebutuhan anak ditanggung oleh ayah.

Pemeliharaan anak bagi yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih di antara ayah dan ibunya. Ini bukan berarti suatu hal yang mutlak,

karena dalam kasus tertentu bisa saja hakim menyerahkan hak hadhanah tersebut

kepada ayah. Kasus seperti ini memerlukan penafsiran yang mendalam dari

hakim.

B.PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadhanah

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Hadhanah menurut

bahasa berarti mendekap, memeluk, mengasuh, atau merawat13. Dalam

Ensiklopedi Hukum Islam, secara etimologis hadhanah berarti di samping atau

berada di bawah ketiak. Sedangkan secara terminologis, hadhanah berarti merawat

12 Abdul Manan, loc.cit.

13

(7)

dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya

karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri14.

Perkawinan merupakan akad yang sangat kuat yang bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah di

antara sesama anggota keluarga (ayah, ibu, dan anak ). Manakala pasangan suami

istri telah mampu mewujudkan jalinan kasih sayang dan kedamaian dalam rumah

tangganya, maka kemungkinan besar pasangan tersebut secara kooperatif akan

mampu menunaikan misi perkawinan berikutnya, yaitu melahirkan keturunan

(anak) yang berkualitas, tumbuh dan berkembang menjadi anak sematawayang

yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa15. Hal tersebut juga dijelaskan dalam

QS. Al-Furqan; 74

Terjemah: Dan orang-orang yang berkata “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”16

Bagi orang tua, anak tersebut diharapkan dapat mengangkat derajat dan

martabat orang tua kelak apabila ia dewasa, menjadi anak yang shaleh dan

shalehah yang selalu mendoakannya apabila ia meninggal dunia. Berangkat dari

pemikiran inilah, baik ayah maupun ibu dari anak-anak itu sama-sama

berkeinginan untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya, agar dapat

membimbing langsung dan mendidiknya agar kelak kalau anak-anak sudah

dewasa dapat tercapai apa yang dicita-citakan. Demikian pula anak-anak yang

14Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1990),

h. 415. Dipengertian yang lain, hadhanah berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu pada waktu menyusukan meletakkan anak dipangkuannya, dan melindunginya dari segala yang menyakitinya. Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Cet. I; Jakarta: PT. Prenada Media, 2004).

15 Abun Bunyamin, Hadhanah dan Problematikanya ( Suatu Analisis Terhadap

Pemegang Hadhanah dalam Kaitannya dengan Kepentingan Anak ), ( Jurnal Mimbar Hukum; Jakarta: PT. Tomasu, 1999), h. 24

(8)

telah lahir dari perkawinan itu, selalu ingin dekat dengan orang tuanya, rasanya

sulit untuk terpisah karena mereka selalu ingin dilindungi dan diberikan kasih

sayang oleh kedua orang tuanya sampai mereka dapat berdiri sendiri dalam

mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini.

2. Hadhanah dalam Pandangan Hukum Islam

Ash-Sha’ani menjelaskan bahwa dalam hukum Islam pemeliharaan anak

disebut dengan “ al-Hadhīnah” yang merupakan masdar dari “al-Hadhanah” yang berarti mmengasuh atau memelihara bayi (hadhanah as-Shabiyyah)17. Pada

dasarnya hadhanah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian

teerhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang

menyangkut dengan hartanya, hadhanah adalah perkara mengasuh anak, dalam

arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika anak-anak itu membutuhkan

wanita pengasuh18. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa itu adalah hak ibu.

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai lamanya masa asuhan seorang

ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu, syarat-syarat pengasuh, dan hak-hak

atas upah.

Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat

anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal, apakah hadhanah

itu menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi

dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu,

sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama,

hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak19. Bahkan menurut

Wahbah al-Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan

anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau

kepentingan anak.

Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa hadhanah adalah melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang

17 Lihat Ash-Sha’ani, Subūlussalam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad Jilid III,

( Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 819

18 Muhammad Jawad Mughniyyah, Al Fiqh ‘ala madzhalib al Khamsah, diterjemahkan

oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff dengan judul Fiqh Lima Mazhab, ( Cet. XVII; Jakarta: Lentera, 2006), h. 415.

(9)

sudah besar tetapi belum mumayyiz, tanpa perintah daripadanya. Menyediakan

sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusak

jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup

dan dapat memikul tanggung jawab apabila ia sudah dewasa20.

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak

melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal lain terutama

tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu,

dan juga syarat-syarat orang yang berhak menjadi pengasuh. Selama tidak ada hal

yang menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus

melaksanakan hadhanah, kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk

melaksanakan hadhanah, maka hak hadhanah berpindah ke tangan orang lain

dalam kerabat ibu garis lurus ke atas. Apabila kerabat ibu dalam garis lurus ke

atas berhalangan, maka yang lebih berhak adalah kerabat ayah dari anak tersebut,

terutama kerabat dalam garis lurus ke atas. Manakala anak yang masih itu sama

sekali tidak punya kerabat di antara muhrim-muhrimnya itu atau mempunyai

kerabat tetapi tidak cakap bertindak hukum untuk melaksanakan hadhanah, maka

Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas menjadi ibu

pengasuh dari anak-anak tersebut21.

Menurut Imam Syafi’i, hak atas penguasaan anak itu berturut-turut adalah ibu, ibunya ibu, dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah

ahli waris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah dan

seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka adalah ahli waris si anak pula,

jika kerabat ibu tidak ada, demikian pula kerabat ayah, maka selanjutnya hak

hadhanah berpindah kepada keluarga pihak ibu dan disusul kerabat-kerabat dari

pihak ayah si anak. Sedangkan di kalangan mazhab Maliki hak asuh itu

berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya ke atas, saudara-saudara

perempuan sekandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara

perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan sekandung,

20 Sayyid Sabiq, Fikhus Sunnah, diterjemahkan oleh Moh. Thalib dengan judul Fiqh

Sunnah, (Jilid VIII; Bandung: PT. Al-Ma’Arif, 1996), h. 160

(10)

kemudian anak perempuan saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga ke bibi

dari pihak ibu dan ayah. Mazhab Hanafi mengatakan hak itu secara berturut-turut

dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan

sekandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan

seayah, anak perempuan dari saudara perempuan sekandung. Kemudian anak

perempuan dari saudara perempuan seibu, dan demikian seterusnya hingga pada

bibi dari pihak ibu dan ayah22.

Lain halnya dengan mazhab Hambali, hak asuh itu berturut-turut berada

pada ibu, ibunya ibu, ayah, ibunya ayah, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara

perempuan sekandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah,

saudara perempuan ayah sekandung, saudara perempuan ayah seibu, dan

seterusnya.

Hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Oleh

karena itu, orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai

kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus

dipenuhi, di antaranya:

a. Berakal sehat, karena orang yang akalnya tidak sehat tidak diperkenankan

merawat anak;

b. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baliq dan berakal, tidak terganggu

ingatannya, sebab hadhanah merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab.

Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan

ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah23.

c. Mempunyai kemampuan dan keahlian. Oleh karena itu, orang yang rabun

matanya atau tunanetra, mempunyai penyakit menular, usia lanjut, dan

mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun mereka kerabat

anak kecil itu sendiri, dilarang menjadi orang yang melaksanakan hadhanah.

d. Amanah dan berbudi luhur, karena orang yang curang tidak aman bagi anak

yang diasuhnya, karena tidak jarang seorang anak akan meniru kelakuan

curang orang yang mengasuhnya;

(11)

e. Beragama Islam, para ulama mazhab berbeda pendapat tentang ini, mazhab

Imamiyah dan Syafi’iyah tidak memperkenankan seorang kafir mengasuh

anak-anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab lainnya tidak

mensyaratkan hal yang demikian itu. Demikian juga para ahli hukum Islam di

kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita atau laki-laki

yang mengasuh menggugurkan hak asuhan24. Sedangkan menurut Satria

Efendi, orang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Seorang

nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas

mengasuh termasuk ke dalam usaha mendidik anak menjadi muslim yang baik,

dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua25.

f. Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu anak yang diasuh itu kawin lagi dengan

laki-laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.

g. Merdeka atau bukan budak, seorang biasanya sangat sibuk dengan

urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkan26.

Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan

baik, jika kedua orang tua saling bekerjasama dan saling membantu. Hal ini dapat

dilakukan dengan baik jika keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah

dan mawaddah27.

Hadhanah berhenti apabila anak yang diasuh itu sudha tidak lagi

memerlukan pelayanan dari pengasuhnya, ia sudah dewasa dan dapat berdiri

sendiri, misalnya sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya28.

Menurut para imam mazhab seperti Imam Hanafi mengatakan, masa asuhan

adalah tujuh tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun untuk anak

perempuan. Imam Syafi’i mengatakan tidak ada batasan tertentu bagi asuhan.

Anak tetap bisa tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan

apakah ia tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada

tingkatan kemampuan memilih ini, dia disuruh memilih apakah tinggal bersama

24 Abdul Manan, op.cit, h. 67 25 Satria Efendi, op.cit, h. 173 26 Abdul Manan, op.cit, h. 68

(12)

ibu atau ayahnya. Kalau seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya,

maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya

disiang harinya agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila anak itu

perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama

ibunya disiang dan malam hari. Tetapi bila si anak memilih tinggal bersama ibu

atau ayahnya, maka dilakukan undian, bila anak diam (tidak memberikan pilihan)

dia ikut bersama ibunya29.

3. Hadhanah dalam Hukum Positif

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, telah

disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas merupakan rangkaian

dari hukum perkawinan di Indonesia. Akan tetapi hukum penguasaan anak itu

belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang

pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Oleh

karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan

efektif. Sehingga para hakim di lingkungan peradilan agama pada waktu itu masih

mempergunakan hukum hadhanah yang disebut dalam kitab-kitab fiqih ketika

memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, dan Inpres

Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah

hadhanah menjadi hukum nasional di Indonesia dan peradilan agama diberi

wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya30.

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

dijelaskan bahwa:

Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban akan

berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

(13)

Pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) atau

belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah

kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari

kekuasaannya.

(2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di

dalam dan di luar pengadilan.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa:

Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21

tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental

atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum

di dalam dan di luar pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat

yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang

tuanya meninggal.

Pasal ini memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua adalah

mengantarkan anak-anaknya dengan cara mendidik, membekali dengan ilmu

pengetahuan untuk menjadi bekal mereka dihari dewasanya. Secara khusus

Alquran menganjurkan kepada ibu agar menyusui anak-anaknya secara sempurna

(sampai usia dua tahun). Namun Alquran juga mengisyaratkan kepada ayah atau

ibu supaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan sama

sekali Alquran tidak menginginkan ayah atau ibu menderita karena anaknya.

Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab terhadap anaknya, maka

tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya. Sebagaimana yang

(14)

Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menegaskan bahwa

tanggung jawab pemeliharaan anakmenjadi beban yang harus dipenuhi suami

sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian

kepada para ibu-ibu melekat di dalam tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini

diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain

yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar

perempuan yang menyusui secara makruf32.

Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di

atas dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya

yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu

kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun

perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian.

Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala

perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua

memelihara meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani),

pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang), dan pembelanjaan dalam

arti yang luas, yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan

tingkat sosial ekonomi orang tua si anak33. Ketentuan ini sama dengan konsep

Terjemah: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

(15)

hadhanah dalam hukum Islam, bahwa orang tua berkewajiban memelihara

anak-anaknya semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.

Selain dari hal tersebut di atas, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 106

dikemukakan bahwa;

(1) Orang tua berkewajiban mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa

atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau

menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan

dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuai kenyataan yang tidak

dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut dalam ayat (1) di atas34.

Kompilasi Hukum Islam juga telah melakukan antisipasi jika

kemungkinan seorang bayi disusukan oleh seorang perempuan yang bukan ibunya

sebagaimana yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 104, yaitu:

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.

Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan

kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau

walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan

penyapihan dalam masa kurang dari dua tahun dengan persetujuan ayah dan

ibunya35.

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui

anaknya tetapi dapat diganti dengan susu formula (susu kaleng) atau anak

disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan

dengan hal yang termuat dalam QS. Al-Baqarah: 233 sebelumnya yang menjadi

acuan dalam hal pemeliharaan anak.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 dikemukakan

bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat dari itu adalah:

(16)

(1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada

perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.

(2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya

tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan

bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

(3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dalam ketentuan pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab

pemeliharaan anak yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan.

Pasal ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang

menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu

Pengadilan Agama dapat menentukan lain selain dengan keyakinannya. Dalam

kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci

dalam hal antara suami istri terjadi perceraian. Yaitu;

(1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 21 tahun

adalah hak ibunya.

(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya36.

Dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz

dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan

kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal

ini sejalan dengan bunyi UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 34 ayat

(1), menjelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan

memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah

tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang

kebetulan diberi beban untuk melaksanakan hadhanah kepada anak-anaknya dapat

(17)

menuntut biaya hadhanah tersebut kepada Pengadilan Agama setempat agar

menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang

dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama37. Jadi pembayarannya itu

dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak

mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,

maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama.

Adapun alasan yang dapat mencabut kekuasaan orang tua adalah orang tua

melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, dan orang tua berkelakuan sangat

buruk38.

M. Yahya Harahap juga menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan

kewajibannya terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan orang tua itu atau

sama sekali tidak mungkin melaksanakannya, boleh saja disebabkan karena

dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu yang lama, sakit uzur atau gila,

dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya.

Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh

sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh

yang baik39.

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,

maka terhentilah kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada

anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja,

maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan

mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar

pengadilan. Dengan demikian ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan

terhadap anak tersebut, ibunya yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan

anak tersebut. Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawina, pasal 42

ayat (2) menjelaskan bahwa meskipun kekuasaan pemeliharaan orang tua/ ayah

kepada anaknya dicabut, kewajiban orang tua/ayah memberikan biaya

pemeliharaan kepada anaknya tetap harus dilaksanakan.

37 Abdul Manan, Problematika..., op.cit, h. 70-71 38Ibid, h. 71

(18)

Jika kekuasaannya dicabut dari kedua orang tuanya, maka berdasarkan UU

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 50 ayat (1) menjelaskan bahwa

pelaksanaan penguasaan anak akan diurus oleh seorang wali yang ditunjuk. Jadi

perwalian (voogdy) itu terjadi sebagai akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua

(onderlyke match) terhadap anak-anaknya. Bisa juga terjadi apabila kedua orang

tuanya meninggal dunia, maka hal yang demikian ini anak harus berada di bawah

perwalian. Umumnya dalam masyarakat patrilinier, anak yang ditinggal kedua

orang tuanya langsung berada dalam perwalian kerabat dari orang tua laki-laki,

sedangkan pada masyarakat matrilinier, maka anak yang ditinggal kedua orang

tuanya langsung berada di bawah perwalian keluarga ibunya. Sedangkan

masyarakat yagn berstelsel parental, maka anak yang ditinggal kedua orang

tuanya itu berada di bawah salah satu kerabat ayah atau kerabat ibunya40.

Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu adalah sama dengan

kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak-anak tersebut, yaitu

meliputi dari pribadi dan harta benda yang berada di bawah perwaliannya.

Pengangkatan wali ini dapat dilaksanakan dengan surat wasiat oleh orang tuanya

dan juga dapat dengan pengangkatan oleh pengadilan sebagaimana yang

ditentukan oleh UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 53 (2),

mengatakan bahwa perwalian anak yang ditetapkan oleh pengadilan disebabkan;

(1) Apabila anak-anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.

(2) Apabila mereka tidak berada di bawah kekuasaan wali karena wali yang

ditetapkan semula telah dicabut haknya, oleh karenanya pengadilan harus

menunjuk orang lain menjadi wali.

(3) Bisa juga karena orang tua anak ini telah dicabut haknya menjalankan

kekuasaan orang tua sedangkan wali yang ditunjuk belum dapat menjalankan

kewajibannya41.

Seseorang yang telah ditunjuk oleh hakim menjadi wali, maka ia harus

menerima penunjukan itu dengan sebaik-baiknya, kecuali peraturan

40 Abdul Manan, Problematika, loc.cit.

(19)

undangan membolehkan ia dibebaskan dari penunjukannya sebagai wali, di

antaranya;

1. Mereka yang berada di luar negeri untuk kepentingan negara.

2. Anggota tentara yang masih aktif.

3. Mereka yang mencapai umur 60 tahun.

4. Mereka yang sering terganggu oleh penyakit atau kesusahan yang berat.

5. Mereka yang sudah menjadi wali untuk anak yang lain.

6. Ia sendiri mempunyai anak lebih dari lima orang.

7. Laki-laki yang setelah menerima penunjukan wali, kemudian ia menikah lagi

dengan wanita lain42.

Otoritas kekuasaan wali sebagaimana telah diuraikan di atas sama dengan

tugas dan kewajiban kekuasaan orang tua, yakni:

1. Memelihara diri pribadi dari anak-anak yang berada di bawah perwaliannya.

2. Memelihara terhadap harta kekayaan anak yang berada di bawah perwaliannya.

3. Harus menghormati agama yang dianut oleh anak yang berada di bawah

perwaliannya, sama sekali tidak dipekenankan memaksa si anak untuk pindah

agama agar sama dengan agama wali asuh anak tersebut43.

Terhadap harta kekayaan si anak, wali mempunyai kewajiban;

1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.

2. Mencatat semua perubahan ysng terjadi atas harta benda anak yang berada di

bawah perwaliannya.

3. Mempertanggungjawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dari

kelalaian dan kesalahan wali.

4. Dilarang memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang

dimiliki anak yang berada di bawah kekuasaan wali, kecuali apabila

kepentingan anak itu menghendakinya44.

Apabila dalam kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan

tugasnya dengan baik, atau mempunyai i’tikad tidak baik dalam mengurus harta

benda anak-anak yang berada di bawah perwaliannya, maka hak perwaliannya

42 Abdul Manan, op.cit, h. 73

43 Ibid.

(20)

dapat dicabut. Prosedur dan tata cara pencabutan tersebut dengan cara

mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama setempat. Dalam

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 35 disebutkan bahwa;

1. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya.

2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang

lain sebagai wali.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 109 dikemukakan bahwa

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum

dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali

tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan/atau melalaikan atau

menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang

yang berada di bawah perwaliannya45. Hal itu dilakukan karena anak merupakan

amanah yang harus dijaga. Tidak diperbolehkan diberikan hak asuh anak kepada

orang yang dianggap tidak cakap dan tidak mampu untuk menjaga dan

memberikan jaminan keselamatan kepada anak, baik itu keselamatan terhadap

fisik, mental dan harta benda anak tersebut.

C. PENUTUP

1. Dalam sebuah rumah tangga rukun dan damai, masalah hadhanah pada

prinsipnya merupakan hak dan kewajiban kedua orang tua si anak. Apabila

kedua orang tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak

hadhanah, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pngadilan agama

dapat memindahkan hak hadhanah kepada lainnya yang mempunyai hak

hadhanah pula. Dalam hal terjadi perceraian, hadhanah bagi anak yang belum

mumayyiz adalah hak ibunya, jika tidak memenuhi syarat sebagai pemegang

hadhanah, maka hadhanahnya beralih kepada kerabat terdekat yang

memenuhi syarat, sebagaimana yang disyaratkan pasal 156 Kompilasi Hukum

Islam. Sedangkan hadhanah bagi anak yang sudah mumayyiz diberikan hak

opsi untuk memilih di antara ibu atau ayahnya, akan tetapi hak opsi tersebut

tidak bersifat mutlak. Artinya bahwa pilihan si anak dapat dikabulkan

(21)

sepanjang yang dipilihnya memiliki kemampuan untuk menjamin

keselamatan jasmani dan rohani si anak.

2. Dalam proses penyelesaian perkara mengenai pemeliharaan anak di

pengadilan agama, maka tidak semua anak itu berada di bawah hak asuh

seorang ibu, walaupun pada dasarnya telah diatur oleh undang-undang,

namun ada juga hak pemeliharaan anak diberikan kepada ayahnya karena

dianggap seorang ibu tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai seseorang

yang dapat diberikan hak pemeliharaan anak, walaupun pada dasarnya proses

penyelesaian perkara pemeliharaan anak lebih banyak dimenangkan oleh piha

ibu.

3. Pelaksanaan eksekusi tentang hadhanah hendaknya ditempuh dengan langkah

persuasif, yakni dengan cara kekeluargaan, dengan penuh hikmat dan

bijaksana, serta tetap memperhatikan adat istiadat masyarakat setempat. Akan

tetapi jika pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan

baik, maka ditempuh cara secara paksa untuk melaksanakan eksekusi putusan

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. III; Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2001.

Al-Habsyi Bagir Muhammad, Fikih Praktis Menurut Alquran, Sunnah dan Pendapat Para Ulama, t. Cet; Bandung: PT. Mizan, 2002.

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Al-Jauziyah Qayyim Ibnu, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Al-Munawwir Warson Ahmad, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, t. Cet; Yogyakarta: Pesantren Al-Munir, 1984.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata, Cet. V; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Arifin Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ash-Shiddieqy Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Ash-Shan’ani, Subulussalam, terjemahan Abu Bakar Muhammad jilid III; Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.

Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Cet. I; Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.

Barakatullah Halim Abdul dkk, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, Cet. I; Pustaka Pelajar, 2006.

(23)

Dahlan Aziz Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoepe, 1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Fuad Mahsun, Hukum Islam di Indonesia ( dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris ), Cet. I; Yogyakarta: LKIS, 2005.

Efendi M Zein Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyya, Cet. I; Jakarta: PT. Prenada Media, 2004.

Halim Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka kesamaan visi persepsi dan pola tindak yang sama terhadap implementasi penyelenggaraan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hokum,

Sebagai contoh adalah adanya sajian khusus Toraja (kopi Toraja) dikemas dalam interior yang memiliki ragam hias Toraja dengan pengaplikasian yang baik, tetapi ada beberapa

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan fungsi Bimbingan Konseling Islam dalam upaya mengembangkan religiusitas remaja dan menekan atau mengontrol kenakalan remaja

Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan pembina yang menyatakan bahwa upaya memotivasi peserta didik untuk hadir dalam kegiatan ekstrakurikuler senantiasa

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa untuk uji organoleptik secara uji hedonik dan mutu hedonik terhadap daging dada burung puyuh yang diberi perlakuan ransum

Nilai signifikansi harus kurang dari 0,05 (sig < 0,05) maka hasil pemeriksaan jumlah trombosit terjadi perbedaan yang signifikan antara Pada pasien

Wade (2007) terdapat beberapa aspek dari pengelolaan marah, yaitu:.. 1) Mengenali emosi marah, emosi marah merupakan kemampuan untuk mengendalikan perasaan marah sewaktu

Suatu Business Case adalah alat operasional yang harus secara terus menerus diperbaharui sepanjangn perjalanan bisnis dari suatu investasi, dan digunakan untuk