Latar Belakang. Kondisi proyek konstruksi yang padat akan pekerja dengan jam kerja lebih dari 8 jam serta banyaknya aktifitas keluar masuk kendaraan yang membawa material bangunan menyebabkan para pekerjanya rentan mengalami gejala ISPA karena terkena papa- ran PM10 terus menerus. Berdasarkan penelitian ini penulis mengangkat masalah hubungan antara konsentrasi kadar debu PM10 dengan kejadian gejala ISPA (Infeksi Saluran Pernapa- san Akut) pada pekerja proyek konstruksi di wilayah Kota Depok. Metode. Penelitian ini merupakan studi Cross Sectional (potong lintang) dengan mengambil sampel dari 100 re- sponden. Hasil. Hasil rata-rata pengukuran PM10 di 7 titik di dalam gedung bangunan dan di luar gedung adalah 159,43 μg/m3. Umur pekerja di proyek konstruksi tersebut rata-rata 35 tahun dengan umur termuda 21 tahun dan yang tertua adalah 65 tahun. Pada umumnya para pekerja bekerja selama 12 jam setiap harinya dan rata-rata sudah menjadi pekerja di proyek tersebut selama 1 tahun. Jumlah pekerja yang memiliki kebiasaan merokok di proyek konstruksi sebanyak 65 orang (65,7%) dan 34 orang (34,3%) yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Pekerja yang mengalami gejala ISPA ada 80 orang (80,8%) dan 19 orang (19,2%) yang tidak mengalami gejala ISPA. Simpulan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diperlukan adanya kesadaran dari para pekerja untuk selalu memakai Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja di lingkungan proyek konstruksi tersebut dan perlu terdapat perhatian dari pengelola terhadap kesehatan dan keselamatan kerja untuk para pekerja proyek konstruksi khususnya di wilayah Kota Depok.
Kata kunci: PM10, Gejala ISPA, Proyek Konstruksi Artikel dikirim:
Agustus, 2019 Artikel diterima:
Desember, 2019 Artikel dipublikasi:
Oktober, 2020
Abstrak
Ju rn al N asio n al K es eh atan Lin g ku n g an Glo b al
HUBUNGAN KONSENTRASI KADAR DEBU PM10 DENGAN
KEJADIAN GEJALA ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT) PADA PEKERJA PROYEK KONSTRUKSI X DI DEPOK TAHUN 2018
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
Andi Putri Fildzana Dwi Annisa F 1, Umar Fahmi Achmadi 1 , * )
1Dep a rte me n K es eh a tan Li n g ku n g an , Fa ku lt as K es eh atan M a s yar a ka t Un i v ers it as In d o n esi a, Dep o k, 1 6 4 2 4
* )Co r re sp o n d in g Au th o r: p ro fu fa @g ma il. co m
Background. The condition of a construction project which full of workers, with their 8 hours of working time and the number of vehicles carrying building materials in and out to the site causing the workers to be susceptible to affected Acute Respiratory Infection Symptom due to exposure to PM10 continuously. Based on this research, the author raised the issue of the asso- ciation between PM10 dust level concentration with the case of Acute Respiratory Infection symptom in construction project workers in Depok. Methods. This research uses Cross Sec- tional study by taking samples from 100 respondents. Results. The average PM10 measurement result at 7 points inside the building and outside building is 159,43 g / m3. The average age of the workers in the construction project is 35 years old with the youngest age is 21 years old and the oldest is 65 years old. In general, workers work for 12 hours per day and almost of them have been working in the project for 1 year. The number of workers who have smoking habit in construction project are 65 people (65,7%) and 34 people (34,3%) who don’t have smoking habit. The amount of workers who have symptoms of ARI there are 80 people (80.8%) and 19 people (19.2%) who do not have symptoms of ARI. Conclusions. Based on the results of this study, there should be awareness of the workers to always use Personal Protective Equipment while working in the construction project and there should be attention from the project manag- ers about their workers health and safety especially for construction project in Depok.
Keywords: PM10, Acute Respiratory Infection Symptom, Construction Project
Abstract
Pencemaran udara telah menjadi salah satu ma- salah lingkungan global yang menjadi perhatian dunia (Mulyadi,2015). Survei yang dilakukan oleh WHO tahun 2002 di 1.600 kota yang tersebar di 91 negara di dunia menunjukkan bahwa hampir 90%
orang-orang di pusat perkotaan menghirup udara yang tidak sehat. WHO juga menyatakan bahwa sekitar setengah dari penduduk dunia terkena pencemaran setidaknya dua setengah kali lebih ting- gi dari baku mutu kualitas udara yang telah ditetap- kan.
Salah satu parameter pencemaran udara ialah debu (suspended particulate matter). Secara kese- luruhan partikulat debu di atmosfir disebut sebagai Suspended Particulate Material (SPM) atau Total Suspended Particulate (TSP). Suspended partikulat adalah partikel halus di udara yang terbentuk pada pembakaran bahan bakar minyak, partikel ini mempunyai berbagai ukuran, bentuk, dan bisa terdiri dari ratusan bahan kimia yang berbeda-beda (EPA,n.d). Terutama partikulat halus yang disebut PM10 sangat berbahaya bagi kesehatan.
Ukuran partikel diketahui mempengaruhi pen- gendapan bahan partikulat udara (PM) di dalam saluran pernapasan. Saat ini, partikel <10 μm dengan diameter aerodinamis (PM10) dan <2,5 μm dengan diameter aerodinamis (PM2,5) keduanya dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia oleh Organisasi Kesehatan Dunia Badan pengelola di seluruh dunia, termasuk Badan Perlindungan Lingkungan A.S saat ini memantau dan mengatur materi partikulat pada metrik ini. Namun, sulit untuk menguraikan efek kesehatan yang terkait dengan PM10 dari yang terkait dengan PM2,5 karena pengukuran PM10 sebagian besar terdiri dari partikel PM2,5 yang lebih halus (EPA, 2012 ).
Berdasarkan The European Environment Agency (EEA) (2010), 21 persen dari penduduk kota-kota di Eropa menghirup udara yang berkonsentrasi PM10 dengan kadar yang melampaui batas standar yang ditetapkan Uni Eropa (40 μg/m3, rata-rata pertahun).
Sedangkan, berdasarkan tolok ukur standar yang ditetapkan oleh World Health Organisation (WHO, 2013) (20 μg/m3, rata-rata pertahun), sekitar 81 persen penduduk kota terkena pajanan berlebih
Pendahuluan
Jurnal Nasional Kesehatan Lin gkun gan Gl obal
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
PM10 yang berasal dari industri dan gas buangan kendaraan di Eropa (France, 2012).
Ukuran aerodinamik partikulat seperti PM10 tidak hanya menentukan kemudahan masuknya ke dalam paru-paru, tetapi juga sangat besar kemungkinannya memasuki lebih dalam lagi dari bagian paru-paru.
Oleh karena itu, dalam waktu singkat, pajanan PM10 dapat menimbulkan gangguan saluran pernapasan/
gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (WHO, 2005).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit saluran pernapasan atas atau bawah yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2007).
Di Dunia, ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular, dimana tercatat sebanyak 156 juta kasus baru per tahunnya dan 96,7% kasus tersebut terjadi di negara berkembang (KEMENKES, 2012). Di Indonesia prevalensi kejadian ISPA sebesar 25%, Menurut data dari Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa ISPA masih menjadi salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40% - 60%) dan rumah sakit (15% - 30%). Dari penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas (2007), diperoleh bahwa didaerah urban berpotensi terkena penyakit ISPA 2 kali dibandingkan daerah rural.
Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional atau potong lintang yaitu mengukur variabel inde- penden yaitu pajanan particulate matter 10 dan vari- abel dependen yaitu kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut secara bersamaan. Data yang dik- umpulkan adalah data hasil pengukuran konsentrasi debu PM10 di proyek konstruksi X, data dari riwayat penyakit pekerja dan variabel-variabel lainnya yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, lokasi bekerja, lama bekerja, perilaku kerja (istirahat dan aktivitas sehabis kerja), pengambilan data ISPA dengan pengisian kuesioner dan memakai alat spirometri. Pemilihan desain ini dikarenakan pengambilan data dilakukan pada satu waktu.
Metode
Berdasarkan dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi PM10 di udara lingkungan kerja yang paling tinggi, terdapat di titik pengukuran ke 2, yaitu sebesar 290 (mg/m3). Sedangkan konsentrasi PM10 yang terendah terdapat pada titik pengukuran ke 6, yaitu sebesar 76 (mg/m3). Untuk suhu di lingkungan kerja, titik pengukuran 1 merupakan titik yang bersuhu rendah sebesar 29,7 °C. Sedangkan suhu yang tinggi terdapat pada titik pengukuran 3 yaitu sebesar 34,5 °C. Kelembaban tinggi di lingkungan kerja, terdapat pada titik pengukuran 7, yaitu sebesar 73,4%. Sedangkan kelembaban yang rendah terdapat pada titik pengukuran 1 sebesar 54% . Kecepatan angin yang cukup tinggi, terdapat pada titik pengukuran 6 sebesar 1,07 m/detik, dan yang cukup rendah terdapat pada titik pengukuran 2 sebesar 0,16 m/detik. Secara keseluruhan, setiap titik pengukuran memiliki kelebihan maupun kekurangan terkait faktor di lingkungan kerja.
Berdasarkan tabel 2, hasil kuesioner terhadap 99 pekerja proyek konstruksi x di Wilayah Cibubur, sebanyak 19 pekerja (19,2%) yang tidak mengalami gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan sebanyak 80 pekerja (80,8 %) mengalami gejala ISPA.
Populasi yang digunakan adalah pekerja proyek kon- struksi x di wilayah Depok, yang total populasinya berjumlah 427 pekerja dari 6 divisi pekerjaan. Ban- yaknya sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode quota sampling dan sampel yang digunakan sebanyak 82 sampel tetapi dibulatkan menjadi 100 sampel dari total populasi pekerja proyek konstruksi x.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS. Terdapat tiga tahap analisis, yaitu analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi dan frek- uensi variabel-variabel yang diteliti. Variabel-variabel tesebut antara lain pajanan partikulat debu PM10, kejadian gejala ISPA, umur, lokasi kerja, lama beker- ja, kebiasaan merokok, penggunaan alat pelindung diri (APD), suhu, kelembaban, dan kecepatan angin.
Pada analisis bivariat dengan melakukan uji beda proporsi (chi square) yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kadar debu PM10 dengan kejadian gejala ISPA, hubungan antara kara- teristik pekerja (umur, lama kerja, kebiasaan bekerja, kebiasaan merokok, dan penggunaan APD) dengan kejadian gejala ISPA, serta menganalisis hubungan antara karakteristik lingkungan (suhu, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan kejadian gejala ISPA pada pekerja proyek konstruksi x di wilayah Depok.
Berdasarkan hasil analisis dari 100 sampel, hanya 99 sampel yang berhasil dilakukan analisis data. Berikut adalah gambaran deskriptif seluruh variabel yang diteliti.
Hasil
Tabel 1 Distribusi Konsentrasi PM10, Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin pada Proyek Konstruksi X
Tempat Pengukuran
Faktor Lingkungan Kerja Konsentrasi PM10
(mg/m3)
Suhu (°C)
Kelembaban (%)
Kecepatan Angin (m/detik)
Titik 1 120 34,4 54 0,58
Titik 2 290 29,7 70 0,16
Titik 3 165 34,5 56 1,04
Titik 4 107 30,9 67 0,21
Titik 5 135 31,5 64 0,40
Titik 6 76 30,5 64 1,07
Titik 7 83 29,8 73 1,06
Tabel 2. Distribusi Kejadian Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Perkerja Proyek
Konstruksi X
Hasil Kuesioner Jumlah (N) Presentase (%)
Ya 80 80,8
Tidak 19 19,2
Total 99 100,0
J urnal Nas ional Keseha ta n Lingkungan Global
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
Berdasarkan Tabel 3, dilihat bahwa kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja terdapat di setiap titik yang dilakukan pengukuran atau dengan kata lain di setiap proyek konstruksi, terkecuali titik pengukuran 2, 3, dan 4. Untuk kasus ISPA tertinggi terdapat pada titik pengukuran ke 2, sebesar 100% dari 32 pekerja, semuanya mengalami gejala ISPA.
Distribusi pekerja berdasarkan umur seperti pada tabel 4, menunjukan bahwa presentase pekerja yang berusia £ 35 tahun lebih banyak dari pada yang berusia > 35 tahun, masing-masing sebesar 58,6%
(58 pekerja) dan 41,4% (41 pekerja, berdasarkan lokasi kerja menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja berada didalam gedung lebih banyak dibandingkan pekerja yang bekerja diluar gedung, masing-masing sebesar 79,8% (79pekerja) dan 20,2% (20 pekerja), berdasarkan lama kerja menunjukkan bahwa pekerja yag bekerja selama £ 12 bulan sebanyak 39 pekerja (39,4%). Sedangkan pekerja yang bekerja > 12 bulan sebanyak 60 pekerja (60,6%). Untuk lama kerja dalam sehari, pekerja yang waktu kerjanya > 8 jam sebanyak 67 (67,7%) pekerja, dibandingkan pekerja yang waktu kerjanya £ 8 jam sebanyak 32 (32,3%) pekerja, berdasarkan kebiasaan merokok menunjukkan bahwa pekerja yang tidak merokok sebanyak 34 pekerja (34,3%) dan pekerja yang merokok sebanyak 65 pekerja (65,7%), berdasarkan penggunaan alat pelindung menunjukkan bahwa terdapat 63 pekerja (63,6%) yang tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja.
Sedangkan jumlah pekerja yang menggunakan alat pelindung diri lebih banyak yaitu 36 pekerja (36,4%).
Tabel 3. Distribusi Kejadian Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja Menurut Lokasi Pengukuran di Proyek
Konstruksi X Titik
Pengukuran
Kejadian
ISPA Tidak ISPA
1 4 2
2 32 0
3 11 0
4 4 4
5 20 0
6 4 9
7 5 4
Tabel 4. Distribusi Pekerja Berdasarkan Umur, Lokasi Kerja, Lama Bekerja, Waktu Kerja, Kebiasaan Merokok, dan Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Proyek Konstruksi X
No Variabel Kategori Jumlah Presentase (%)
1. Umur
1. £ 35 tahun 2. > 35 tahun
58 41
58,6 41,4
2. Lokasi Kerja
1. dalam gedung 2. luar gedung
79 20
79,8 20,2
3. Lama Kerja
1. £ 12 bulan 2. > 12 bulan
39 60
39,4 60,6
4. Waktu Kerja 1. £ 8 jam
2. > 8 jam
32 67
32,3 67,7
5. Kebiasaan Merokok 1. Ya
2. Tidak
65 34
65,7 34,3
6. Menggunakan APD
(masker) 1. Tidak menggunakan APD 2.menggunakan APD
63 36
63,6 36,4
Berdasarkan Tabel 7 hasil analisis hubungan antara kelembaban pada lingkungan kerja degan kejadian gejala ISPA didapatkan sebanyak 36 (63,2%) pekerja berada di lingkungan kerja dengan kelembabannya kurang atau sama dengan 63%
mengalami ISPA. Sedangkan, 27 (64,3%) pekerja yang berada di lingkungan kerja yang kelembabannya > 63% yang mengalami ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,539, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada pekerja proyek konstruksi.
Berdasarkan tabel 5, menunjukan hasil analisis hubungan antara konsentrasi PM10 pada lingkungan kerja dengan kejadian gejala ISPA pada pekerja yang berada dilingkungan kerja dengan konsentrasi kurang atau sama dengan 150 mg/m3 sebanyak 27 (49,1%) pekerja. Sedangkan, pekerja yang berada di lingkungan kerja yang konsentrasi PM10 diatas 150 mg/m3, sebanyak 36 (81,8%) pekerja yang terkena gejala ISPA. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi PM10 dengan kejadian gejala ISPA pada pekerja proyek konstruksi.
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara suhu pada lingkungan kerja dengan kejadian ISPA didapatkan bahwa sebanyak 27 (62,8%) pekerja be- rada di lingkungan kerja dengan suhu kurang atau sama dengan 31,61°C mengalami gejala ISPA. Se- dangkan, pekerja yang berada di lingkungan kerja dengan suhu diatas 31,61°C sebanyak 36 (64,3%) yang mengalami gejala ISPA. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,522, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hub- ungan antara suhu dengan kejadian gejala ISPA pa- da pekerja proyek konstruksi.
Tabel 5. Hubungan Antara Konsentrasi PM10 Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Konsentrasi PM10 Kejadian ISPA Total OR
(95% Cl)
P-value ISPA Tidak ISPA
£ 150mg/m3 27 (49,1%) 28 (50,9%) 55(100%) 0,214
>150 mg/m3 36 (81,8%) 8 (18,2%) 44(100%) (Cl: 0,084-0,544) 0,001
Total 63 (19,2%) 36 (80,8%) 99(100%
Tabel 6. Hubungan Antara Suhu Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapsan Akut
Suhu
Kejadian ISPA
Total OR (95% Cl)
P- val- ISPA Tidak ue
ISPA
£ 31,61°C 27 (62,8
%)
16 (37,2
%)
43 (100%)
0,938
> 31,61°C 36 (64,3
%)
20 (35,7
%)
56 (100%)
(Cl: 0,411- 2,140)
0,52 2
Total 63 (63,6
%)
36 (36,4
%)
99(100%
Tabel 7. Hubungan Antara Kelembaban Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Kelemba- ban
Kejadian ISPA Total OR (95% Cl)
P- val- ISPA Tidak ue
ISPA
£ 63% 36 (63,2%)
21 (36,8%)
57 (100
%)
0,952
> 63% 27 (64,3%)
15 (35,7%)
42 (100
%)
(Cl: 0,416- 2,183)
0,53 9
Total 63 (63,6%)
36 (36,4%)
99 (100
%
Jurnal Nasional Kesehatan Lin gkun gan Gl obal
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara umur dengan kejadian gejala Infeksi Saluran Perna- pasan Akut (ISPA) didapatkan bahwa sebanyak 37 (63,8%) pekerja yang bekerja di proyek konstruksi berumur kurang atau sama dengan 35 tahun men- galami gejala ISPA. Sedangkan, pekerja yang beker- ja di proyek konstruksi yang berumur lebih dari 35 tahun sebanyak 26 (63,4%) pekerja yang mengalami ISPA. Dilihat dari hasil uji statistik diperoleh p = 0,568, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian ISPA pada pekerja proyek konstruksi.
Perolehan nilai OR sebesar 1,016, artinya ada ke- cenderungan pekerja yang berumur kurang dari atau sama dengan 35 tahun ke atas resiko 1,016 kali un- tuk mengalami gejala ISPA dibandingkan pekerja yang berumur diatas 35 tahun.
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara lo- kasi kerja dengan kejadian gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didapatkan bahwa sebanyak 49 (62,0%) pekerja yang bekerja di ling- kungan kerja yang berada di dalam gedung men- galami gejala ISPA. Sedangkan pekerja yang beker- ja di lungkungan kerjanya di luar gedung sebanyak 14 (70,0%) pekerja yang mengalami gejala ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p = 0,349, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statsistik tidak adanya hubungan antara lokasi kerja dengan kejadian gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada pekerja proyek konstruksi.
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara ke- cepatan angin pada lingkungan kerja dengan kejadi- an gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didapatkan bahwa sebanyak 22 (88,0%) pekerja be- rada di lingkungan kerja dengan kecepatan angin dibawah atau sama dengan 0,64 m/detik mengalami gejala ISPA. Sedangkan, pekerja yang berada di lingkungan kerja yang kecepatan angin > 0,64 sebanyak 41 (55,4%) pekerja yang mengalami gejala ISPA. Berdasarkan hasik uji statistik diperoleh p = 0,002, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik adanya hubungan antara kecepatan angin dengan kejadian gejala ISPA pada pekerja proyek konstruksi. Perolehan nilai OR sebesar 5,902, artinya ada kecenderungan pekerja yang be- rada di lingkungan kerja dengan kecepatan angin
£ 0,64 m/detik resiko 5,802 kali untuk mengalami gejala ISPA dibandingkan pekerja pada lingkungan kerja dengan kecepatan angin > 0,64 m/detik.
Tabel 8. Hubungan Antara Kecepatan Angin Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Ke- cepatan angin
Kejadian ISPA Total OR (95%
P- val ue ISPA Tidak
ISPA
£ 0,64 m/
det
22 (88,0%)
3 (12,0%) 25 (100%
)
5,902
> 0,64 m/
det
41 (55,4%)
33 (44,6%)
74 (100%
)
(Cl:
1,624- 21,451 )
0,0 02
Total 63 (63,3%)
36 (36,4%)
99 (100%
Tabel 9. Hubungan Antara Umur Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Umur Kejadian ISPA Total OR (95%
P-value ISPA Tidak
ISPA
£ 35 tahun
37 (63,8%)
21 (36,2%)
58 (100%)
1,016
> 35 tahun
26 (63,4%)
15 (36,6%)
41 (100%)
(Cl:0,44 3- 2,334)
0,568
Total 63 (63,6
%)
36 (36,4%)
99 (100%)
Tabel 10. Hubungan Antara Lokasi Kerja Dengan Kejadian Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Lokasi Kerja
Kejadian ISPA Total OR (95%
Cl) P- val-
ue ISPA Tidak
ISPA Dalam
gedung 49 (62,0%)
30 (38,0%)
79 (100%)
0,700
Luar gedung
14 (70,0%)
6 (30,0%) 20 (100%)
(Cl:0,24 3- 2,018 )
0,34 9
Total 63 (63,6
%)
36 (36,4%)
99 (100%)
Hasil analisis hubungan anatara lama kerja (dalam sehari) dengan kejadian ISPA didapatkan bahwa sebanyak 18 (56,3%) pekerja bekerja selama kurang atau sama dengan 8 jam perhari yang men- galami gejala ISPA. Sedangkan, pekerja yang beker- ja lebih dari 8 jam sebanyak 46 (67,2%) pekerja yang mengala gejala ISPA. Berdasarkan hasil ana- lisis uji statistik diperoleh nilai p = 0,202, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara jam kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja proyek konstruksi.
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gejala ISPA didapatkan bahwa sebanyak 44 (67,7%) pekerja memiliki kebiasaan merokok pada saat bekerja di proyek konstruksi mengalami gejala ISPA. Se- dangkan pekerja yang tidak merokok sebanyak 19 (55,9%) pekerja yang tidak mengalami gejala ISPA.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p = 0,173, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gejala ISPA pada pekerja proyek konstruksi. Perolehan nilai OR sebesar 1,654, artinya ada kecenderungan pada pekerja proyek konstruksi yang memiliki kebiasaan merokok, resiko 1,654 kali untuk mengalami gejala ISPA dibanding- kan pekerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
Lama kerja dibagi menjadi 2 kategori yaitu berdasar- kan lama kerja dalam bulan dan lama kerja dalam sehari.
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara lama kerja dengan kejadian gejala ISPA didapatkan bah- wa sebanyak 23 (59,0%) pekerja yang bekerja di proyek konstruksi selama kurang atau sama dengan 12 bulan mengalami ISPA. Sedangkan, pekerja yang bekerja di proyek konstruksi yang lebih dari 12 bulan sebanyak 40 (66,7%) yang mengalami ISPA. Ber- dasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,286, sehingga dapat disimpuljan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara lama kerja dengan ke- jadian gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada pekerja proyek konstruksi.
Lama kerja
Kejadian ISPA Total OR (95% Cl)
P- val- ISPA Tid- ue
ak ISPA
£ 8 jam 18 (56,3%
)
14 (43,8
%) 32 (100
%)
0,629
>8 jam 45 (67,2%
)
22 (32,8
%) 67 (100
%)
(Cl:0,265- 1,492)
0,20 2
Total 63 (63,6
%)
36 (36,4
%) 99 (100
%)
Tabel 11. Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Kejadian Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Tabel 11. Hubungan Antara Lama Kerja Dengan Kejadian Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Lama kerja
Kejadian ISPA Total OR (95% Cl)
P- val-
ue ISPA Tidak
ISPA
£ 12 bu- lan
23 (59,0
%)
16 (41,0%)
39 (100
%)
0,719
>12 bulan 40 (66,7
%)
20 (33,3%)
60 (100
%)
(Cl:0,312- 1,655)
0,28 6 Total 63
(63,6
%)
36 (36,4%)
99 (100
%)
Tabel 12. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Gejala In- feksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Kebia- saan mero- kok
Kejadian ISPA Total OR (95% Cl)
P- val-
ue ISPA Tidak
ISPA Meokok 44
(67,7%)
21 (32,3%)
65 (100%)
1,654 Tidak
Merokok
19 (55,9%)
15 (44,1%)
34 (100%)
(Cl:0,705 -3,884)
0,17 Total 63 (63,6 3
%)
36 (36,4%)
99 (100%)
Jurnal Nasional Kesehatan Lin gkun gan Gl obal
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
proyek konstruksi di Kota Depok (p=0,001, OR=0,214). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusnabeti dan kawan -kawan (2010) (p = 0) , Halim (2012) (p= 0,001), Ha- beebullah (2013) (p= 0), Lindawaty (2010) (p=
0,002), Kukec dan kawan-kawan (2013) (p= 0,001), serta Weinmar dan kawan-kawan (2010) (p= 0,001).
Penelitian yang mereka lakukan, menunjukkan adan- ya hubungan antara konsentrasi PM10 dengan ke- jadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Suhu udara di proyek konstruksi pada Keca- matan Cibubur Kota Depok, cukup bervariasi, sebe- sar 29,70°C-34,50°C dengan rata-rata 31,61°C. Rata -rata suhu udara tersebut telah melampaui batas dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2016, Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan dan Industri, yang menyatakan bahwa batasan suhu udara ruang industri berkisar 18-30°C. Suhu yang tinggi ini berasal dari teriknya sinar matahari, penggunaan mesin pengalus, mesin pengecoran, dan mesin lain pendukung pengerjaan proyek kon- struksi.
Kelembaban di proyek konstruksi pada Keca- matan Cibubur, Kota Depok, cukup rendah sebesar 54%-73% dengan rata-rata 63,71%. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2016, Tentang Persyaratan Kesehatan Ling- kungan Kerja Perkantoran dan dan Industri, menya- takan bahwa batasan kelembaban udara pada indsutri berkisar 65%-95%. Hal ini menunjukkan bah- wa kelembaban di proyek konstruksi tersebut telah melewati batasan yang telah ditentukan. Hampir semua titik pengukuran di proyek onstruksi tersebut, memiliki kelembaban di atas 65%. Pada titik pen- gukuran 1 dan 3, kelembabannya tidak melampaui batas.
Kecepatan angin di proyek konstruksi di Kota Depok, termasuk rendah, sebesar 0,16 m/detik-1,07 m/detik dengan rata-rata 0,64 m/detik. Proyek Kon- struksi tersebut masih masuk ke dalam daerah perkotaam, dimana kecepatan anginnya menurun karena akibat semakin besarnya gesekan yang tim- bul pada aliran udara (Soedomo, 2001). Secara umum, angin permukaan mengalami gesekan kare- na adanya kekasaran pada bumi (permukaan alam), sehingga menyebabkan kecepatan angin melemah.
Apabila permukaan datar dan halus, maka gesekannya akan kecil. Sedangkan, permukaan yang kasar seperti tertutup tanaman, maka gesekannya akan besar (Tjasyono, 2004). Ke- cepatan udara yang sangat rendah terdapat pada titik pengukuran 2 dan 4, yang lokasinya berada di Hasil analisis hubungan antara penggunaan
alat pelindung diri dengan kejadian gejala ISPA didapatkan bahwa sebanyak 40 (63,5%) pekerja tid- ak memakai alat pelindung diri (APD) saat bekerja di proyek konstruksi. Sedangkan, pekerja yang me- makai APD saat bekerja sebanyak 23 (63,9 %) pekerja yang mengalami gejala ISPA. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,572, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja proyek konstruksi.
Konsentrasi debu PM10 yang diperoleh dari hasil pengukuran, cukup bervariasi dengan kisaran 76 mg/m3 – 290 mg/m3. Dari hasil pengukuran ter- sebut, didapatkan rata-rata konsentrasi PM10 pada proyek konstruksi di Kota Depok sebesar 159,43 mg/
m3. Berdasarkan PP No.41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, rata-rata konsen- trasi PM10 melampaui batas baku muku, yaitu sebe- sar 150 mg/m3. Dilihat dari lokasi titik pengukuran debu PM10 yang berada di dalam gedung dan diluar gedung yang kondisi lingkungannya berbeda, bagaian dalam gedung cenderung tidak banyak an- gin, tetapi padat pekerja, sedangkan bagian luar ge- dung terdapat banyak angin, dan berhadapan lang- sung dengan jalan raya yang banyak kendaraan yang melewati, dan tempat keluar masuk kendaraan pengangkut material-material bangunan.
Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik (uji bivariat), diperoleh bahwa ada hubungan antara konsentrasi PM10 dengan kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada pekerja
Tabel 13. Hubungan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Dengan Kejadian Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Penggun
aan APD
Kejadian ISPA Total OR (95% Cl)
P- val-
ue ISPA Tidak
ISPA Tidak Me-
makai
40 (63,5
%)
23 (36,5
%) 63 (100
%)
0,983
Memakai 23 (63,9
%)
13 (36,1
%) 36 (100
%)
(Cl:0,419- 2,304)
0,57 2
Total 63 (63,6
%)
36 (36,4
%) 99 (100
%)
Pembahasan
jukan bahwa pekerja di industri tersebut bekerja melebihi jam kerja normal. Selain itu, mereka juga bekerja setiap hari tanpa ada waktu libur.
Pekerja di proyek konstruksi di Kota Depok, sebanyak 65 orang yang memiliki kebiasaan mero- kok, dari 99 pekerja. Pekerja yang menghabiskan lebih dari 1 bungkus rokok dalam sehari sebanyak 31 orang.
Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik (uji bivariat), diperoleh bahwa tidak ada hub- ungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada pekerja proyek konstruksi di Kota Depok. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Yulisti- yanu (2012) dan Sutra (2009), menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pekerja di proyek konstruksi di Kota Depok, bekerja tanpa menggunakan alat pelindung diri sebanyak 63 (63,6%). Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik (uji bivariat), diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan alat pelin- dung diri dengan kejadian infeksi saluran pernapa- san akut (ISPA) pada pekerjaproyek konstruksi di Kota Depok. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulistiyani (2012) dan Sofia (2013), menyatakan bahwa tidak ada perbe- daan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pa- da pekerja. Namun, hasil tersebut tidak sesuai dengan Yusnabeti dan kawan-kawan (2010), Halim (2012), Fitriyani (2011), dan Purnomo (2007), yang menyatakan ada hubungan antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian infeksi saluran perna- pasan akut (ISPA) pada pekerja.
Konsentrasi PM10 pada proyek konstruksi di Wila- yan Cibubur, Kota Depok, sebesar 76 μg/m3 – 290 μg/m3, dengan rata-rata 159,43 μg/m3. Terdapat 2 lokasi yang konsentrasi PM10 jauh melampaui baku mutu, yaitu titik 2 dan 3 masing-masing sebesar 290 μg/m3, 165 μg/m3.
Gejala ISPA pada proyek konstruksi di Wilayah Cibubur, Kota Depok sebanyak 80 orang (80,8%) yang mengalami ISPA dan 19 orang (19,2%) yang tidak mengalami ISPA.
Hubungan antara konsentrasi PM10 pada lingkungan kerja dengan kejadian gejala ISPA pada pekerja yang kadar debu PM10 nya melampaui ambang batas baku mutu (>150 μg/m3) sebanyak 36 pekerja (81,8%) yang mengalami gejala ISPA.
dalam gedung dan banyak dihalangin oleh material- material bangunan.
Pekerja yang bekerja di proyek konstruksi di Kota Depok, rata-rata berumur 35 tahun. Berdasar- kan hasil pengolahan data secara statistik (uji bivari- at), diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian gejala infeksi saluran perna- pasan akut (ISPA) pada pekerja konstruksi di Kota Depok. ISPA merupakan penyakit akut sehingga dapat menyerang pada semua rentang umur. Selain itu, kekebalan tubuh setiap pekerja berbeda-beda, sehingga memudahkan virus maupun bakteri ISPA masuk dan menginfeksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sofia (2012), Fitriyani (2011), dan Sutra (2009) menyatakan bah- wa tidak ada perbedaan antara umur pekerja dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut. Bellos dan kawan-kawan (2010), Ghasemkhani dan kawan- kawan (2006), Purnomo (2007) dan Halim (2012) yang menyatakan ada hubungan antara umur peker- ja dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pekerja yang bekerja di proyek konstruksi di Kota Depok, bekerja di dalam gedung dan di luar gedung. Berdasarkan hasil pengolahan data secara statistik (uji bivariat), diperoleh bahwa tidak ada hub- ungan antara lokasi kerja dengan kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada pekerja konstruksi di Kota Depok. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru Nugroho (2012), dan Anna Khairunnisa (2013) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lo- kasi kerja dengan kejadian gejala infeksi saluran pernapasan akut. Berdasarkan lokasi terjadinya, pencemaran udara terbagi menjadi pencemaran udara di luar ruangan (outdoor air pollution) dan pencemaran udara di dalam ruang (indoor air pollu- tion). Pencemaran udara dalam ruang memiliki po- tensi menjadi masalah kesehatan yang sesungguhnya, mengingat adanya paparan yang lebih besar dibandingkan dengan pencemaran udara di luar ruang (Effendi & Makhfudli, 2009). WHO da- lam Huboyo, Istirokhatun, & Sutrisno (2016) menya- takan bahwa pencemaran udara dalam ruang seribu kali lebih mampu mencapai paru-paru dibandingkan dengan pencemaran udara luar ruang.
Pekerja di proyek konstruksi di Kota Depok, rata-rata sudah bekerja selama1 tahun, dengan jam kerja rata-rata selama 10 jam/hari. Berdasarkan Un- dang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kerja selama 7 jam/hari dan 40 jam/minggu untuk 6 hari dalam seminggu, sedangkan kerja selama 8 jam/hari dan 40 jam/
minggu untuk 5 hari dalam seminggu. Hal ini menun-
Kesimpulan
Jurnal Nasional Kesehatan Lin gkun gan Gl obal
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
Tesis Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jakar- ta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002).
Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita Dalam Pelita VI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Ling- kungan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003).
Prosedur Kerja Surveilans Faktor Risiko Penyakit Menular Terpadu Berbasis Wilayah Khusus: Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penyakit ISPA, Ma- laria, TBC, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Hepatitis B. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendali- an Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009).
Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendali- an Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011).
Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik In- donesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
Dian Eka Sutra (2009), hubungan antara pemajanan PM 10 dengan gejala ISPA pada pekerja per- tambangan kapur tradisional (studi di pertambangan kapur tradisional gunung masingit cipatat Kabupaten Bandung Barat) tahun 2009, Skripsi, FKM, universi- tas indonesia.
Environment protection Agency. (2012). Particulate Matter (PM-10). Diambil pada 8 Januari 2018 dari http://www.epa.gov/airtrends/aqtrnd95/pm10.html Environment protection Agency. (2013). Particulate Matter. Diambil pada 8 Januari 2018 dari http://
www.epa.gov/pm/
Environment Canada. (2013). Particulate Matter. Di- ambil pada 20 Januari 2018 dari http://www.ec.gc.ca/
air/default.asp?lang=En&n=2C68B45C-1
Environment Devices Corporation. (2013). EPAM- 5000. Retrieved 8 Februari 2018 http://
www.hazdust.com/hazdust/epam-5000/
European Environment Agency . (2012). Air quality in Europe — 2012 report Particulate Matter. Coppen- hagen: Environment Production
Faktor lingkungan kerja (suhu, kelembaban, kecepatan angin) dan karakteristik pekerja (umur, lokasi kerja, lama kerja, kebiasaan merokok, dan penggunaan APD), tidak mempengaruhi hubungan antara PM10 dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja proyek konstruksi di wilayah Cibubur Kota Depok. Hanya sedikit perbedaan proporsi antara kejadian ISPA pada pekerja, baik dari faktor lingkungan kerja maupun karakteristik pekerjanya. Di konstruksi tersebut, faktor lingkungan kerja dan karakteristik pekerja menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada pekerja.
Achmadi, U. F. (2011). Dasar- Dasar Penyakit Ber- basis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.
Aditama, T. Y. (1997). Rokok Dan Kesehatan. Jakar- ta: UI Press.
Aditama, Y. T. (1992). Polusi Udara Dan Kesehatan.
Jakarta: Arcan.
Arbex. M.A., Santiago. S. l.,Moyses. E. P., Pereira.
L. A., Saldiva. P. H., dan Braga. A. L. F. (2011). Im- pact of Urban Air Pollution on Acute Upper Respira- tory Tract Infections. Dalam Moldoveanu (Ed.), Ad- vanced Topics in Environmental Health and Air Pol- lution Case Studies Eropa: InTech
Aris Wijayanto (2008), Pajanan PM10 dan kejadian gejala ISPA pada pekerja pabrik pembuatan batako di Kabupaten Banyu asin, Skripsi, Depok, FKM Uni- versitas Indonesia.
Baccarelli, A., Martinelli, I., AZanobetti, Grillo, P., Hou, L. F., Bertazzi., P. A., . . . Schwartz., J. (2008).
Exposure to Particulate Air Pollution and Risk of Deep Vein Thrombosis. Arch Intern Med, 168(9), 920 -927. doi: 10.1001/archinte.168.9.920.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Ja- karta. (2013). Pemantauan Kualitas Udara. Diambil pada 13 Oktober 2013 dari http://
bplhd.jakarta.go.id/01_pantauudara.php.
Budiaman. (2008). Hubungan Kadar PM10 Dalam Rumah, Lingkungan Fisik Rumah, Dan Karakteristik Balita Dengan Penyakit Gangguan Saluran Pernapa- san Balita Di Wilayah Puskesmas Pangkalan Kerinci Kabupaten Palalawan Propinsi Riau Tahun 2008.
Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Budianto, W. (2008). Analisis Hubungan Kualitas Udara Ambien Dengan Kejadian Penyakit ISPA.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menu- lar Dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI, 2004.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011).
Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2011). Laporan Kegiatan Pengkajian Baku Mutu Kualitas Udara Am- bien-Lampiran PP No.44 Tahun 1999. Serpong:
Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013).
Laporan Penemuan Pneumonia tahun 2012. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Per- syaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri. Jakarta
Kukec, A., Erzen, I., Farkas, J., & Kragelj, L. Z.
(2013). Impact of air Pollution with PM10 on Primary Health Care Consultations for Respiratory Diseases in Children in Zasavje, Slovenia: A Time-Trend Study. Slovenian Journal of Public Health, 0(0), 55- 68. doi: 10.2478/sjph-2014-0007
Kusnoputranto, Haryoto & Susanna, Dewi.
Kesehatan Lingkungan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, 2000.
Leeson, S., & Summers, J. D. (2000). Commercial Poultry Nutrition (3 ed.). Canada: University Book.
Lindawaty. (2011). Partikulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Salu- ran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010). Tesis Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia
Mukono, H. J. (1997). Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Perna- pasan. Surabaya: Airlangga University Press.
Naini, I. (2009). Pajanan Debu Kapuk (PM10) dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Industri Kapuk di Kecamatan Bukut Kecil Kota Palembang Tahun 2009. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Uni- versitas Indonesia, Depok.
Nelson, K. E., & William, C. F. M. (2007). Infectious Disease Epidemiology: Theory And Practice. Boston:
Jones And Bartlett.Sukana, B., & Mardiana. (2011).
Kejadian ISPA Dengan Curah Hujan Dan Kualitas Udara (PM10) Di Kabupaten Kapuas, Provinsi Ka- European Environment And Health Information Sys-
tem. (2011). Exposure To Air Pollution (Particulate Matter) In Outdoor Air. ). Diambil pada 12 Februari 2018 dari http://www.euro.who.int/en/health-topics/
noncommunicable- diseases/chronic-respiratory- diseases/publications/2011/3.3-exposure-to-air- pol- lution-particulate-matter-in-outdoor-air
Fitriyani. (2011). Pajanan PM10 Terhadap Kejadian Gejala ISPA Pada Pergudangan Semen di Kota- madya Palembang. Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Depok.
Gertrudis. (2010). Hubungan Antar Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Sekitar Pabrik Semen Indoce- ment, Citeureup, Tahun 2010. Tesis Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia Ghasemkhani, M., MKumashiro, Rezaei, Anvari, A.
R., Mazloumi, A., & Sadeghipour, H. R. (2006). Prev- alence Of Respiratory Symptoms Among Workers In Industries Of South Tehran, Iran. Industrial Health, 44, 218- 224.
Goverment of Western Australia. (2013). Controlling Wood Dust Hazards At Work. Diambil pada 21 No- vember 2013 dari http://www.commerce.wa.gov.au/
worksafe/PDF/Guidance_notes/Guide_w ood_dust.pdf
Habeebullah, T. M. (2012). Health Impacts of PM10 Using AirQ2.2.3 Model in Makkah. Journal Of Basic Applied Sciences, 9, 256-268.
Halim, Fitria. (2012). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pekerja Di Industri Mebel Dukuh Tukrejo, Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepa- ra, Propinsi Jawa Tengah. Skripsi Dalam Kesehatan Lingkungan. Universitas Indonesia.
Harrison, R. M. (2005). Sources of Air Pollutions. In E. WHO (Ed.), Air quality guidelines global update 2005 Source Of Air Pollution. Denmark: WHO Eu- rope.
Health Safety and Environment. (2012). Wood dust:
controlling the risk. Diambil pada 24 Januari 2018 dari http://www.hse.gov.uk/pubns/wis23.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011).
Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Per- syaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
Jurnal Nasional Kesehatan Lin gkun gan Gl obal
Oktober, 2020
Volume 1, Issue 3
mantan Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan, 10(3), 195-207.
Nugroho, H. (2012). Hubungan Konsentrasi Kadar Debu PM10 Di Ruang Perkantoran Dengan Kejadian Gejala ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) pada Karyawan Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun 2012. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyara- kat, Depok.
Nurussakinah. (2013). Faktor Risiko Lingkungan Fisik Kerja Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) Pada Pekerja Bagian Material, Cutting Dan Sewing Industri Garmen P.T. X Tahun 2013. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyara- kat, Depok.
Ocupational Safety and Health Administration.
(2013). Wood Dust Carcinogen. Retrieved 24 Janu- ari 2018 from https://www.osha.gov/SLTC/etools/
woodworking/health_wooddust.html
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 26 Mei 1999. Jakarta.
Purnomo, A. (2008). Pajanan Debu Kayu PM10 Dan Gejala Penyakit Saluran Pernapasan Pada Pekerja Mebel Sektor Informal Di Kota Pontianak Kalimantan Barat. Tesis Dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Universitas Indonesia.
Romieu, I., Avila, M. H., & Holguin, F. (2006). Ambi- ent Air Pollution. In B. S. Levy, D. H. Wegman, S. L.
Baron & R. K. Sokas (Eds.), Occupational And Envi- ronmental Health. USA: Lippincott Williams & Wil- kins.
Sacks, J. D., Stanek, L. W., Luben, T. J., Johns, D.
O., Buckley, B. J., Brown, J. S., & Ross, M. (2010).
Particulate Matter–Induced Health Effects: Who Is Susceptible. Environment Health Perspect 446-454.
doi: http://dx.doi.org/10.1289/ehp.1002255
Suma’mur. (1995). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV Haji Masagung.
Sutra, D. E. (2009). Hubungan Antara pemajanan (PM10)Dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja Pertambangan KApur Tradisional (Studi di Pertambangan Kapur Tradision- al Gunung Masigit, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat Tahun 2009). Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat, Depok.
Tecer, L. H., Alagha, O., Karaca, F., Tuncel, G., &
Eldes, N. (2008). Particulate Matter (PM2.5, PM10- 2.5, and PM10) and Children’s Hospital Admissions for Asthma and Respiratory Diseases: A Bidirectional
Case-Crossover Study Journal of Toxicology and En- vironmental Health, 71(8), 512-520. doi:
10.1080/1287390801907459
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 Ketenagakerjaan. 25 Maret 2003 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49.
Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Jakarta.
United States Environmental Protection Agency.
(2004). Air Quality Criteria for Particulate Matter, (Vol.
2). US: EPA.
World Health Organization. (2005). Acute respiratory infections. Diambil 9 Januari 2018 dari http://
www.who.int/vaccine_research/diseases/ari/en/.
World Health Organization. (2007). Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi Dan Pan- demi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jenewa;
World Health Organization.
World Health Organization. (2013a). Database: out- door air pollution in cities. Diambil pada 10 Januari 2018 dari http://www.who.int/phe/health_topics/
outdoorair/databases/en/
Yulistiyani, L. (2012). Pajanan Debu Teh (PM10) Dengan Gejala ISPA Pada Pekerja Pabrik Teh Di 3 Kecamatan ( Kecamatan Cipanas, Kecamatan Paci- tan, Kecamatan Cibeber) Kabupaten Cianjur Tahun 2012. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyara- kat, Depok.
Yusnabeti, Wulandari. R. A, Luciana. R. (2010).
PM10 Dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pekerja Industri Mebel. Makara Kesehatan, Vol 14 No. 1, 25-30.