Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Studi Komparatif Antara Pendekatan Kontekstual Dan Metode Ceramah Terhadap Kemampuan Ranah Kognitif
Pembelajaran Fiqih Materi Haji dan Umrah di MTs Al- Islam Gunungpati
ABSTRACT
Learning is essentially a process of interaction between students and their environment, resulting in changes in behavior for the better. In learning, the teacher's most important task is to condition the environment to support behavior change for students. The learning process needs to be done calmly and pleasantly, this of course requires teacher activity and creativity in creating a conducive environment. The learning process is said to be effective if all students are actively involved, both mentally, physically and intellectually.
A contextual approach is a learning approach that optimally appreciates students' abilities, with the illustration that students experience real events that are learned. While the lecture method is a learning method that is often the main choice, because of its practicality in delivering it.
This study focused on the results of students' cognitive values through a comparison of the use of contextual approaches and lecture methods at Mts Al-Islam Gungngpati. By taking the research subject of class VIII students. The method used in data collection is the method of observation and tests. While the analytical techniques used are descriptive statistical techniques and quantitative analysis.
The results showed that there was a significant difference between the contextual approach and the lecture method on cognitive abilities in Fiqh learning material for Hajj and Umrah at Mts Al-Islam Gungngpati, with a different index of 3.51. This means that the data on student fiqh learning outcomes from the cognitive domain taught with a contextual learning approach at Mts Al-Islam Gunungpati and students taught by the lecture method at Mts Al-Islam Gunungpati are normally distributed and have homogeneous variance, so hypothesis testing uses the t-test. The results obtained are tcount = 3.51 and ttable obtained = 2.030 at = 0.05. Because tcount (3.51) > ttable (2.030), based on the test criteria it means H0 ) Hypothesis Zero) which reads 'there is no significant difference between the contextual approach and the lecture method on cognitive abilities in Fiqh learning material for Hajj and Umrah in Mts Al-Islam Gunungpati was rejected and H1( Alternative Hypothesis) which reads 'there is a significant difference between the contextual approach and the lecture method on cognitive domain abilities in Fiqh learning material for Hajj and Umrah at Mts Al-Islam Gunungpati is accepted.
The results of the t-test analysis showed that the Fiqh learning outcomes of class VIII students at MTs Mts Al-Islam Gunungpati who were taught using a contextual approach (CTL) were better than the Fiqh learning outcomes of class VIII students at Mts Al-Islam Gunungpati who were taught by the lecture or lecture method. In other words, contextual approach (CTL) is more effectively used to teach Fiqh material on the subject of Hajj and Umrah to class VIII MTs students.
Keywords: Contextual Approach, Lecture Method, and Cognitive Realm
ABSTRAK
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Proses pembelajaran perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreatifitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun intelektualnya.
Pendekatan kontekstual adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang mengapresiasi kemampuan siswa secara optimal, dengan ilustrasi bahwa siswa mengalami peristiwa yang dipelajari secara nyata.
Sementara metode ceramah adalah sebuah metode pembelajaran yang acap kali menjadi pilihan utama, karena kepraktisan dalam penyampainya.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Penelitian ini difokuskan pada hasil nilai ranah kognitif siswa melalui perbandingan penggunaan pendekatan kontekstual dan metode ceramah di Mts Al-Islam Gungngpati. Dengan mengambil subjek penelitian siswa kelas VIII. Metode yang dipakai dalam pengumpulan data adalah metode observasi dan tes. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah teknik statitistik diskriptif dan analisis kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan, Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gungngpati, dengan indek perbedaan 3.51. Artinya data hasil belajar fiqih siswa dari ranah kognitif yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual di Mts Al-Islam Gunungpati dan siswa yang diajar dengan metode ceramah di Mts Al-Islam Gunungpati berdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen maka pengujian hipotesis menggunakan uji-t . Hasil yang diperoleh adalah thitung = 3.51 dan ttabel diperoleh = 2,030 pada α = 0,05. Karena thitung (3.51) > ttabel (2,030), sehingga berdasarkan kriteria pengujian berarti H0 )Hipotesis Nol) yang berbunyi ‘tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpati ditolak dan H1 (Hipotesis Alternatif) yang berbunyi ‘terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpati diterima.
Hasil analisis uji t tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar Fiqih siswa kelas VIII d MTs Mts Al-Islam Gunungpati yang diajar dengan pendekatan kontekstual (CTL) lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar Fiqih siswa kelas VIII di Mts Al-Islam Gunungpati yang diajar dengan metode ceramah atau dengan kata lain bahwa pendekatan kontekstual (CTL) lebih efektif digunakan untuk mengajarkan materi Fiqih pokok bahasan Haji dan Umrah kepada siswa kelas VIII MTs.
Kata kunci: Pendekatan Kontesktual, Metode Ceramah, dan ranah Kognitif
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
A. Pendahuluan
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Dalam pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Proses pembelajaran perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreatifitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif.
Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental, fisik maupun intelektualnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barth1,
“…research on learning and effective teaching for any school subject clearly shows that teaching is more effective when the students in the classroom are activelly involved in learning the lesson” yang artinya sebuah penelitian terhadap proses pembelajaran yang efektif pada beberapa sekolah terbukti bahwa pembelajaran akan lebih efektif apabila semua siswa di dalam kelas terlibat secara aktif dalam proses belajar.
Setiap proses pembelajaran, sasaran utamanya adalah bagaimana agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, dibutuhkan guru yang profesional. Artinya guru tersebut mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas dengan menggunakan strategi, metode atau model yang tepat sesuai dengan materi yang sedang dipelajari.
Menanggapi hal tersebut, ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya.
Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam
1 James L. Barth, Method of Instruction in Social Studies Education (New York: Univercity Press of America, 1990).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah.2
Munculnya isu pembelajaran kontekstual, pada dasarnya sebagai upaya kritik terhadap kecenderungan pembelajaran yang mengedepankan aspek kognitif (menghafal) tanpa memandang potensi lain dari peserta didik. Pada kenyataannya peserta didik hanya memiliki kemampuan menghafal, tetapi tidak menguasai keahlian. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau lebih terkenal dengan singkatan CTL, merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.3
Witanaputra, menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual dapat diperoleh beberapa keuntungan atau kelebihan, diantaranya;
1) Membuat apa yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. 2) Lebih merangsang kreativitas subjek belajar. 3) Informasi sebagai bahan pelajaran lebih luas dan aktual. 4) Subjek belajar dibiasakan mencari dan memproleh informasi.
Kebiasaan dan keterampilan justru lebih penting daripada informasinya sendiri.
5) Mengembangkan, menanamkan serta memupuk rasa cinta pada lingkungan.4 Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu;
2 Nurhadi and Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) Dan Penerapannya Dalam KBK (Malang: UMPRESS (Universitas Negeri Malang), 2003).
3 Ibid
4 Udin S. Winataputra, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Depdikbud, 1992).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
konstruktivisme, menemukan (inquiry), masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian sebenarnya.5
Oleh karena itu, guru lebih banyak menggunakan strategi daripada memberi informasi. Menurut Nurhadi dan Senduk (2003: 1), dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK), guru dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu memberikan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat.6
Tugas guru dalam kelas kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Melalui konsep tersebut, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Berkaitan dengan implementasi kurikulum 2006 atau yang terkenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka strategi yang harus diterapkan oleh pendidik pada mata pelajaran Fiqih adalah strategi pembelajaran kontekstual. Strategi
5 Op.cit
6 Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
pembelajaran kontekstual yang diterapkan di Madrasah Tsanawiyah pada dasarnya merupakan strategi yang berdasarkan pada pemahaman, karakteristik, dan komponen pendekatan kontekstual yang diharapkan dapat mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika belajar di kelas.7
1. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Menurut Uus Toharuddin menyatakan bahwa;
“Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya.
Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok. Dengan demikian, guru dituntut untuk menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dan memberikan kegiatan yang bervariasi, sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, responsif, serta rumah dan lingkungan masyarakat. Pada akhirnya siswa memiliki motivasi tinggi untuk belajar.”8 Harapan untuk dapat meningkatkan motivasi belajar, mutu proses dan hasil belajar siswa dapat diwujudkan jika proses pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dengan menerapkan pilar-pilar Contextual Teaching and Learning atau biasa disingkat CTL secara optimal. Karena itu untuk dapat menciptakan proses pembelajaran yang kondusif dibutuhkan peran guru yang optimal dan memunculkan kreatifitas siswa.
Penggunaan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan pilihan yang tepat untuk dapat menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas.
Lebih lanjut Depdiknas, menyatakan “pendekatan CTL memiliki tujuh komponen
7 Masnur Muslich, KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi Dan Kontekstual, Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah, Dan Pengawas Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).
8 Usman, M. Basyiruddin, Metodologi Pembelajaran Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment).9
Berdasarkan pendapat di atas pembelajaran kontekstual adalah strategi yang berdasarkan pemahaman, karakteristik dan komponen pendekatan kontekstual, beberapa strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual.
2. Tujuan Pembelajaran CTL
Contextual Teaching and Learning (CTL), suatu system pendekatan pendidikan yang berbeda, malakukan lebih daripada sekedar menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan mereka sendiri. CTL juga melibatkan para siswa dalam mencari makna “konteks” itu sendiri.
Berkenaan dengan hal ini CTL sebagai pendekatan pembelajaran mempunyai tujuan khusus, yaitu;
Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.10
CTL dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan yang mengakui dan manunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman
9 Depdiknas, Pendekatan Kontekstual (CTL); Contextual Teaching and Learning (Jakarta:
Depdiknas, 2005).
10 Elaine Johnson and Christine LaRocco, American Literature for Life and Work (South-Western Educational Publishing, 2007).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
lebih relevan dan berarti bagi sisiwa dalam membangun pengetahuna yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran dengan konteks dimana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya/cara siswa belajar. Konteks memberikan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar.
3. Komponen-komponen dalam Pembelajaran CTL
a. Membuat Keterkaitan yang Bermakna
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pengajaran dan pembelajaran CTL.11 Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Pengaitan isi dengan konteks berhasil karena pengaitan semacam ini merupakan komponen CTL.
Hubungan dari semua bagian di sistem CTL-lah yang memberikan kekuatan pada system ini. Sudah bertahun-tahun, pengajar di program untuk siswa cerdas dan berbakat (Talented and Gifted Program/TAG), menemukan bahwa menghubungkan studi akademik dengan konteks kehidupan nyata siswa sehari-hari yang diiringi dengan penggunaan komponen lainnya dari CTL, efektif untuk pembelajaran.12 Dengan membangun keterkaitan, kita menghasilkan konteks untuk belajar dan hidup.
Berkenaan dengan hal ini Triyanto, menambahkan bahwa pembelajaran bermakna;
pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan
11 Ibid.
12 Ibid.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
terhadap konten yang harus dipelajari.13 Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan dengan hidup siswa.
Dengan demikian, banyak cara efektif untuk mengaitkan pengajaran dan pembelajaran dengan konteks situasi sehari-hari siswa. Menurut Johnson, ada enam metode dalam mengaitkan pembelajaran yang bermakna, yaitu;
1) Ruang kelas tradisional yang mengaitkan materi dengan konteks kelas.
2) Memasukkan materi dari bidang lain dalam kelas
3) Mata pelajaran yang tetap terpisah, tetapi mencakup topik-topik yang saling berhubungan.
4) Mata pelajaran gabungan yang menyatukan dua atau lebih disiplin.
5) Menggabungkan sekolah dan pekerjaan/pengalaman kerja berbasis sekolah.
6) Model pengalaman nyata atau penerapan terhadap hal-hal yang dipelajari di sekolah ke masyarakat.14
Pengaitan yang paling ampuh adalah pengaitan yang mengundang siswa untuk membuat pilihan, menerima tanggung jawab, dan memberikan hasil yang penting bagi orang lain. Pengaitan seperti tersebut mungkin ada di hampir setiap lingkungan belajar, mulai ruang kelas tradisional hingga proyek-proyek yang berbasis kerja.
Dengan demikian, membangun keterkaitan untuk menemukan makna dapat meningkatkan pengetahuan dan memperdalam wawasan. Lebih jauh lagi, membangun keterkaitan memungkinkan kita mempengaruhi konteks kita, yaitu dunia tempat kita tinggal.
b. Pembelajaran Mandiri dan Kerja Sama
Dua komponen system pembelajaran CTL adalah pembelajaran mandiri dan kerja sama. Pembelajaran mandiri mengutamakan pengamatan aktif dan mandiri.
Pembelajaran mandiri juga melibatkan pengaitan studi akademik dengan kehidupan
13 Triyanto, Model-Model Pembelajaran Inovatif; Berorientasi Konstruktivistik (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007).
14 Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
sehari-hari dalam cara yang bermakna untuk mencapai tujuan yang berarti.15 Pembelajaran mandiri memberi kebebasan kepada siswa untuk menemukan bagaimana kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Proses pembelajaran mandiri paling baik diuji dari segi perspektif yang berbeda, tetapi sangat berhubungan. Pertama, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa untuk memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Mereka harus tahu dan mempu melakukan hal-hal tertentu, mengambil tindakan, membuat keputusan sendiri, berpikir kritis dan kreatif, memiliki kesadaran diri, dan bias bekerja sama, kedua, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa untuk melakukan hal-hal tersebut, yaitu;
menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam urutan yang pasti, satu langkah secara logis mengikuti langkah yang lain.
Pembelajaran mandiri memberikan kesempatan kepada siswa yang luar biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka. Pembelajaran mandiri memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari- hari.
Sedangkan kerja sama, sebagai bagian penting dari system CTL, memainkan peran penting dalam pembelajaran mandiri. Sekolah bekerja sama dengan mitra masyarakat, orang tua dan rekan kerja yang harmonis dalam merekrut tenaga-tanaga yang handal. Para siswa dengan pembelajaran mandiri biasanya bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom.
Kerja sama dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang yang sempit.16 Jadi akan lebih mungkin untuk
15 Johnson and LaRocco. Op.cit.
16 Johnson and LaRocco. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
menemukan kekuatan dan kelemahan diri, belajar untuk menghargai orang lain, mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama.
Dengan bekerja sama, para anggota kelompok akan mampu mengatasi berbagai rintangan, bertindak mandiri, penuh tanggung jawab, mengandalkan bakat setiap anggota kelompok, mempercayai orang lain, mengeluarkan pendapat, dan mengambil keputusan.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
c. Berpikir Kritis dan Kreatif
System pengajaran dan pembelajaran CTL adalah tentang pencapaian intelektual yang berasal dari partisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna, pengalaman yang memperkuat hubungan antara sel-sel otak yang sudah ada dan membentuk saraf baru. Untuk membantu siswa mengembangkan potensi intelektual mereka, CTL mengajarkan langkah-langkah yang dapat digunakan dalam berikir kritis dan kreatif serta kesempatan untuk menggunakan keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi ini dalam dunia nyata.
Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisa asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.17 Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi.
Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pribadi dan pendapat orang lain.
Adapun yang dimaksud berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan dengan cara terorganisasi, merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi orisinal.18
Berpikir kritis dan kreatif bagaikan dua sisi mata uang. System pengajaran dan pembelajaran CTL menawarkan banyak kesempatan bagi siswa untuk menjadikan berpikir kritis dan kreatif sebagai suatu kebiasaan. Pendidikan berarti belajar
17 Triyanto. Op.cit.
18 Johnson and LaRocco. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
menggunakan pikiran dengan baik, dan CTL menyediakan kesempatan untuk mempraktikkan pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
d. Membantu Siswa untuk Tumbuh dan Berkembang
Para guru yang menggunakan pembelajaran CTL menyadari bahwa setiap anak memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda. Oleh karena itu, para guru membimbing setiap siswa untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang mudah untuk mereka menumbuhkan kecerdasan-kecerdasan yang merupakan tantangan untuk mereka. Para guru harus berusaha mendorong siswa untuk meningkatkan kecerdasan mereka, dan mengeluarkan bakat yang terpendam di dalam diri mereka.19
Upaya dalam mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan para siswa dapat dilakukan guru melalui memotivasi dalam segala hal sesuai tingkat kemampuan mereka, serta kemampuan yang dimilikinya. Sekolah bisa menjadi tempat bersemayam kegembiraan, bukan rasa sakit, tempat kepuasan, bukan kekecewaan, tempat harapan, bukan keputusasaan, tempat keberhasilan, bukan kekalahan jika para guru atau pendidik memberikan perhatian aktif terhadap setiap pribadi siswa.
CTL meminta para guru untuk mengetahui segala hal tentang siswanya di sekolah; minat siswa, bakatnya, gaya belajarnya, ciri emosinya, dan perlakuan dari teman-temannya. CTL meminta para guru untuk memahami kehidupan rumah setiap siswa dan untuk menghargai latar belakang agama, budaya siswa yang mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya.
Berdasar fenomena itulah, ketika para guru membantu siswa untuk percaya pada diri mereka sendiri dan untuk menemukan jalan mereka, para guru menginspirasikan mereka untuk mencapai standar akademik yang bahkan paling sulit.
Para guru menginspirasikan siswa untuk mengembangkan potensi terpendam mereka,
19 Johnson and LaRocco. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
dan untuk menemukan bidang pekerjaan yang tepat untuk diri mereka, pekerjaan yang membuat hati mereka bernyanyi.
e. Mencapai Standar yang Tinggi dan Penilaian Autentik
Komponen paling akhir dari CTL adalah standar tinggi dan penilaian autentik.
Komponen ini juga tidak kalah penting dari komponen-komponen sebelumnya tentu saja, menetapkan standar tinggi tak pelak lagi akan menimbulkan permasalahan dalam hal menilai penguasaan siswa terhadap pelajaran. Untuk mencapai standar tinggi tersebut, diperlukan juga melalui penilaian yang autentik.
Hampir semua orangtua dan pendidik setuju bahwa tujuan utama dari pendidikan abad-21 ini adalah untuk mempersiapakan anak agar dapat hidup mandiri, produktif, dan bertanggungjawab. Penemuan tujuan ini bergantung pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang canggih.20 Keunggulan akademik merupakan kunci menuju warga negara yang bertanggung jawab, pengambil keputusan yang bijaksana, dan untuk memperoleh pekerjaan yang memuaskan. Siswa dapat memenuhi standar akademik tinggi dapat memilih masa depan mereka. Siswa yang tidak menguasai materi pendidikan yang disyaratkan akan mengalami kesulitan pada zaman teknologi maju ini.
Oleh karena itu, penilaian autentik bersifat insklusif dan memberikan keuntungan kepada siswa, seperti:
a. Mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik mereka.
b. Mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, menangani teknologi, dan berpikir secara sistematis.
20 Johnson and LaRocco. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
c. Menghubungkan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka, dan masyarakat luas.
d. Mempertajam keahlian berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka menganalisis, memadukan, mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi, dan mengikuti hubungan sebab akibat.
e. Menerima tanggung jawab dan membuat pilihan.
f. Berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain dalam mengerjakan tugas.
g. Belajar mengevaluasi tingkat prestasi sendiri.21
21 Johnson and LaRocco. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
4. Metode Ceramah
a. Pengertian Metode Ceramah
Berbicara mengenai sebuah metode pembelajaran, akan sering dijumpai pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan alasan pemakaian. Tidak disangkal lagi bahwa metode pembelajaran yang paling popular di Indonesia bahkan juga di negara- negara maju, adalah metode ceramah, atau yang sering disebut dengan lecture atau lecturing. Mengingat populernya metode ceramah tersebut, maka metode ceramah digunakan atau tidak digunakan, sebaiknya diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya metode ceramah tersebut.
Adapun yang dimaksud metode ceramah adalah cara menyampaikan sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai.22 Pendapat tersebut hampir sama dengan pendapat Bligh yang dikutip oleh Munthe, dkk.., bahwa ceramah adalah continous expositions by speaker who wants the audience to learn something.23 Kemudian kalimat tersebut diringkas menjadi instructor-Centered Method, hal ini terjadi karena pengajar atau guru adalah satu- satunya orang yang bertanggung jawab terhadap penyampaian materi kepada siswa, sehingga arah komunikasi cenderung hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa.
Adapun menurut Usman, yang dimaksud dengan metode ceramah adalah .teknik penyampaian pesan pengajaran yang sudah lazim disampaikan oleh para guru di sekolah. Ceramah diartikan sebagai suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru bilamana diperlukan.24 Pengertian senada juga diungkapkan oleh Sholahuddin dkk., bahwa metode ceramah adalah suatu cara penyampaian bahan pelajaran secara
22 Armai Arief, Pengantar Dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).
23 Bermawy Munthe, Hisyam Zaini, and Sekar Ayu Aryani, Strategi Pembelajaran Aktif (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008).
24 M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
lisan oleh guru di depan kelas atau kelompok.25 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan yang dimaksud dengan metode ceramah adalah cara belajar mengajar yang menekankan pada pemberitahuan satu arah dari pengajar kepada pelajar (pengajar aktif, pelajar pasif).26
b. Karakteristik Metode Ceramah
Karakteristik yang menonjol dari metode ceramah adalah peranan guru tampak lebih dominan. Sementara siswa lebih banyak pasif dan menerima apa yang disampaikan oleh guru. Menurut Usman, metode ceramah layak digunakan guru dimuka kelas apabila:
1) Pesan yang akan disampaikan berupa fakta atau informasi;
2) Jumlah siswanya terlalu banyak;
3) Guru adalah seorang pembicara yang baik, berwibawa dan dapat merangsang siswa.27
Berkaitan dengan ini Munthe, dkk.., berpendapat bahwa sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, metode ceramah adalah metode yang tetap baik untuk digunakan. Selanjutnya dia berpendapat:
1) Metode ceramah sama baiknya dengan metode lain, khususnya jika itu digunakan untuk menyampaikan informasi.
2) Pada umumnya, metode ceramah tidak seefektif metode diskusi, jika digunakan untuk menggugah pendapat siswa.
3) Jika tujuan pembelajaran adalah merubah sikap siswa, maka sebaiknya tidak menggunakan metode ceramah.
4) Metode ceramah tidak efektif jika digunakan untuk mengajar keterampilan.28
25 Salahuddin and Mahfudh, Metodologi Pendidikan Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1968).
26 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
27 M. Basyiruddin Usman. Op.cit.
28 Munthe, Zaini, and Aryani. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Berdasar pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa metode ceramah tidak kalah dengan metode-metode yang lain, terutama dalam hal penyampaian informasi.
Atau dengan kata lain metode ceramah dapat menjadi metode efektif jika dipakai untuk pengajaran pada tingkatan rendah, yaitu pengetahuan dan pemahaman, dari pembelajaran ranah kognitif, terutama kelas besar. Oleh karena itu, metode ceramah dilihat segi positif dapat disejajarkan dengan metode-metode lain.
Disamping ceramah mempunyai karakteristik yang demikian, maka metode tersebut mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya:
1) Suasana kelas berjalan dengan tenang karena siswa melakukan aktivitas yang sama, sehingga guru dapat mengawasi siswa sekaligus secara komprehensif.
2) Tidak membutuhkan tenaga yang banyak dan waktu yang lama, dengan waktu yang singkat murid dapat menerima pelajaran sekaligus secara bersamaan.
3) Pelajaran bisa dilaksanakan dengan cepat, karena dalam waktu yang sedikit dapat diuraikan bahan yang banyak.
4) Melatih para pelajar untuk menggunakan pendengarannya dengan baik sehingga mereka dapat menangkap dan menyimpulkan isi ceramah dengan cepat dan tepat.29
5) Dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada siswa dalam belajar;
6) Fleksibel dalam penggunaan waktu dan bahan, jika bahan banyak sedangkan waktu terbatas maka dapat dibicarakan pokok-pokok permasalahannya saja, sedangkan bila waktu masih panjang, dapat dijelaskan lebih mendetail.30
Tanpa mengecilkan kelebihan metode ceramah, metode yang hanya mengandalkan indera pendengaran sebagai alat belajar yang dominant ini, mempunyai beberapa kelemahan. Adapun kelemahan metode ceramah adalah;
1) Interaksi cenderung bersifat teacher centered (berpusat pada guru)
2) Guru kurang dapat mengetahui dengan pasti sejauh mana siswa telah menguasai bahan ceramah.
3) Mungkin saja siswa memperoleh konsep-konsep lain yang berbeda dengan apa yang dimaksudkan guru.
4) Siswa kurang menangkap apa yang dimaksudkan oleh guru, jika ceramah berisi istilah-istilah yang kurang/tidak dimengerti oleh siswa dan akhirnya mengarah kepada verbalisme.
29 Arief, Armai, 2002, Pengantar dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, hlm. 139
30 M. Basyiruddin Usman. Op.cit
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
5) Tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah, karena siswa hanya diarahkan untuk mengikuti fikiran guru.
6) Kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kecakapan dan kesempatan mengeluarkan pendapat.
7) Guru lebih aktif sedangkan murid bersikap pasif.31
8) Bila guru menyampaikan bahan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang terbatas, menimbulkan kesan pemompaan atau pemaksaan terhadap kempuan penerimaan siswa.
9) Cenderung membosankan dan perhatian siswa berkurang, kerena guru kurang memperhatikan faktor-faktor psikologis siswa, sehingga bahan yang dijelaskan menjadi kabur.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut seorang guru harus mengusahakan hal-hal sebagai berikut:
1) Untuk menghilangkan kesalahpahaman siswa terhadap materi yang diberikan, hendaknya diberi penjelasan beserta keterangan-keterangan, gerak-gerik, dan contoh yang memadai dan bila perlu hendaknya menggunakan media yang refresentatif.
2) Selingilah metode ceramah dengan metode lainnya untuk menghilangkan kebosanan peserta didik.
3) Susunlah ceramah secara sistematis.
4) Mengulang kata atau istilah-istilah yang digunakan secara jelas, dapat membantu siswa yang kurang atau lambat kemampuan dan daya tangkapnya.
5) Carilah umpan balik sebanyak mungkin sewaktu ceramah berlangsung.32
5. Kemampuan Ranah Kognitif
a. Pengertian Evaluasi Ranah/Aspek Kognitif
Kognitif berasal dari kata kerja “kognisi” yang berarti : 1) Proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang, 2) Kegiatan memperoleh pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri.33 Dapat juga diartikan bahwa
“Cognition is process by which knowledge and understanding is developed in the mind,” yang artinya : Proses pengetahuan dan pemahaman yang dikembangkan oleh akal.34
31 Arief Armai. Op.cit.
32 M. Basyiruddin Usman. Op.cit.
33 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.
34 Oxford Advanced Learner’s Dictionary (London: Oxford University Press, 2001).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Hampir sama dengan hal di atas menurut Bruner (1973) mengatakan bahwa
“Cognition is the study of how individuals go beyond the information provided.“35 Sedangkan menurut Sudijono, aspek kognitif adalah aspek yang mencakup kegiatan mental otak.36 Jadi yang dimaksud evaluasi kognitif di sini adalah pelaksanaan penilaian (evaluasi) yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan intelektual siswa (otak).
Tanpa ranah kognitif, sulit dibayangkan seorang siswa dapat berfikir.
Selanjutnya, tanpa kemampuan berfikir mustahil siswa tersebut dapat memahami dan menyakini faedah materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Tanpa berfikir juga sulit bagi siswa untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran yang ia ikuti, termasuk materi pelajaran agama. Oleh karena itu, agaknya kita perlu menafikan kebenaran ungkapan mutiara hikmah (bahasa Arab) yang artinya :”Agama adalah (memerlukan) akal, tiada beragama bagi orang-orang yang tak berakal”.37
b. Bentuk evaluasi kognitif di sekolah.
Penilaian aspek kognitif dilakukan setelah siswa mempelajari satu kompetensi dasar yang harus dicapai, akhir dari semester, dan jenjang satuan pendidikan.
Dalam sekolah-sekolah penilaian kognitif biasanya menggunakan tes, tes adalah merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah
35 Cecil D. Mercer, Students with Learning Disabilities (Columbus : A Bell & Howell Company, 1979).
36 Sugiyono, ‘Teknik Analisis Kualtitatif’, Teknik Analisis, 2018, 1–7
<http://staffnew.uny.ac.id/upload/132232818/pendidikan/Analisis+Kuantitatif.pdf>.
37 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
ditentukan.38 Tes berbentuk pemberian tugas berupa perintah-perintah (yang harus dikerjakan) oleh testee, atau pertanyaan (yang harus dijawab). Sehingga (atas dasar yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut) dapat dihasilkan nilai.
6. Kurikulum Fiqih MTs
Mata pelajaran Fikih dalam Kurikulum Madrasah Tsanawiyah adalah salah satu bagian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan penggunaan, pengamalan dan pembiasaan. Mata pelajaran Fikih Madrasah Tsanawiyah ini meliputi: Fikih Ibadah, Fikih Muamalah, Fikih Jinayat dan Fikih Siyasah yang menggambarkan bahwa ruang lingkup Fikih mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT., dengan diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablunminallah wa hablun minannaas).
7. Materi Haji dan Umrah
Pendekatan dalam materi Fiqih pada setiap aspek dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang terpadu, meliputi:
a. Keimanan, yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah Swt. sebagai sumber kehidupan.
b. Pengamalan, mengkondisikan peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan isi mata pelajaran Fiqih dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan melakukan tata cara ibadah, bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan materi pelajaran Fiqih yang dicontohkan oleh para ulama.
d. Rasional, usaha meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran Fiqih dengan pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai-nilai yang ditanamkan mudah dipahami dengan penalaran.
38 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
e. Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati pelaksanaan ibadah sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik.
f. Fungsional, menyajikan materi Fiqih yang memberikan manfaat nyata bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas.
g. Keteladanan, yaitu pendidikan yang menempatkan dan memerankan guru serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan; sebagai cerminan dari individu yang mengamalkan materi pembelajaran fiqih.39
Berkenaan dengan pendekatan dalam materi tersebut, dan standar kompetensi Madrasah Tsanawiyah khususnya mata pelajaran Fiqih dalam pengorganisasian materi harus diupayakan proses pembelajaran dengan perancangan/rekayasa terhadap unsur-unsur instrumental melalui upaya pengorganisasian yang rasional dan menyeluruh.40
Kronologi pengorganisasian mencakup tiga kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Pelaksanaan terdiri dari prencanaan per satuan waktu dan perencanaan per satuan bahan ajar. Perencanaan per-satuan waktu terdiri dari program tahunan dan program semester. Perencanaan persatuan bahan ajar dibuat berdasarkan satu kebulatan bahan ajar yang dapat disampaikan dalam satu atau beberapa kali pertemuan.
Sedangkan pelaksanaan terdiri dari langkah-langkah pembelajaran di dalam atau di luar kelas, mulai dari pendahuluan, penyajian, dan penutup. Penilaian merupakan proses yang dilakukan terus menerus sejak perencanaan, pelaksanaan, dan setelah pelaksanaan pembelajaran per-pertemuan, satuan bahan ajar, maupun satuan waktu.
Merujuk pada proses-proses di atas, maka sesuai topik atau pokok bahasan pada semester genap tahun pelajaran 2020/2021 adalah salah satunya tentang Haji dan
39 Muslich. Op.cit.
40 Dirjen Bimbagais, Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah (Jakarta: Dirjen Bimbagais, 2004).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Umrah, dan termasuk dalam Fiqih ibadah. Fiqih ibadah dibahas dengan runut dalam setiap jenjang atau tingkatan kelas yang ada. Secara kebetulan bahasan mengenai haji dan Umrah adalah pokok bahasan kelas VIII semester genap. Tuntutan dari indikator dalam materi haji dan Umrah adalah siswa dapat memahami dan mengalami nyata tentang pokok bahasan ini.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian dan Uji Normalitas Data
Hipotesis yang telah dirumuskan akan diuji dengan statistic parametris, yaitu t- test. Pengujian tersebut dapat dilakukan jika data yang akan diuji memiliki distribusi normal. Oleh karena itu sebelum pengujian hipotesis dilakukan, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data berdasar hasil data berupa nilai hasil belajar/tes kognitif Fiqih pokok bahasan Haji dan Umrah siswa Mts Al-Islam Gunungpati. Adapun langkah dalam pengujian ini menggunakan rumus Chi Kuadrat. Langkah-langkah pengujian normalitas data tersebut adalah:
a. Merangkum data seluruh Variabel yang akan diuji normalitasnya. Dalam hal ini data berupa hasil belajar siswa Mts Al-Islam Gunungpati yang diajar menggunakan pendekatan CTL pada pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah, dan data hasil belajar siswa Mts Al-Islam Gunungpati yang diajar menggunakan metode ceramah.
Rekapitulasi nilai hasil belajar siswa tersebut adalah:
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Tabel 1 Rekapitulasi Nilai Hasil Belajar/Tes Kognitif Fiqih Siswa Mts Al-
Islam Gunungpati
Nilai Fiqih metode
CTL
Mts Al- Islam Gunungpati
Nilai Fiqih metode Ceramah
R-1 72 R-1 60
R-2 72 R-2 60
R-3 72 R-3 65
R-4 68 R-4 65
R-5 68 R-5 65
R-6 70 R-6 66
R-7 70 R-7 64
R-8 70 R-8 65
R-9 70 R-9 69
R-10 70 R-10 68
R-11 70 R-11 69
R-12 71 R-12 69
R-13 72 R-13 71
R-14 72 R-14 70
R-15 72 R-15 71
R-16 72 R-16 70
R-17 74 R-17 70
R-18 60 R-18 70
R-19 62 R-19 66
R-20 66 R-20 68
R-21 66 R-21 68
R-22 68 R-22 68
R-23 74 R-23 68
R-24 76 R-24 68
R-25 78 R-25 68
R-26 75 R-26 69
R-27 76 R-27 70
R-28 89 R-28 71
R-29 90 R-29 70
R-30 78 R-30 72
R-31 78 R-31 75
R-32 80 R-32 74
R-33 80 R-33 73
R-34 82 R-34 72
R-35 84 R-35 76
R-36 85 R-36 83
b. Menentukan jumlah kelas interval
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Dalam hal ini jumlah kelas intervalnya = 6, karena luas kurva normal dibagi menjadi enam, yang masing-masing luasnya adalah: 2,7%; 13,34%; 33,96%; 33,96%;
13,34%; dan 2,7%.
c. Menentukan panjang kelas interval
Cara menghitung panjang kelas interval adalah data terbesar – data terkecil dibagi dengan jumlah kelas interval. Oleh karena itu, panjang kelas masing-masing data/nilai Fiqih siswa Mts Al-Islam Gunungpati adalah sebagai berikut:
Distribusi frekuensi nilai Fiqih kelas VIII Mts Al-Islam Gunungpati; nilai terbesar = 90; nilai terkecil = 60. maka panjang kelas intervalnya: . Sedangkan distribusi nilai Fiqih Mts Al-Islam Gunungpati; nilai terbesar = 83; nilai terkecil: 60, maka panjang kelas intervalnya dihitung dengan rumus: dibulatkan menjadi 4.
d. Menyusun ke dalam table distribusi frekuensi, sekaligus membuat table penolong dalam menghitung Chi Kuadrat.
e. Menghitung frekuensi yang diharapkan (fh), dengan cara mengalikan prosentase luas tiap bidang kurva normal dengan jumlah anggota sample.
f. Memasukkan harga-harga fh ke dalam tabel kolom fh sekaligus menghitung harga- harga (fo – fh) dan serta menjumlahkannya. Harga adalah merupakan harga Chi Kuadrat () hitung.
g. Membandingkan harga Chi Kuadrat dengan Chi Kuadrat table. Bila Chi kuadrat hitung lebih kecil atau sama dengan Chi kuadrat table ( ≤ ), maka distribusi data dinyatakan normal, dan bila lebih besar dinyatakan tidak normal. Rekapitulasi dan table penolong pengujian normalitas data tersebut adalah:
Tabel 2 Tabel Penolong untuk Pengujian Normalitas Data hasil belajar Fiqih Siswa Mts Al-Islam Gunungpati
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Interva
l fo fh (fo-fh) (fo-fh)2
60-64 2 0.9 1.1 1.21 1.34
65-69 5 4.8 0.2 0.04 0.00
70-74 16 12.2 3.8 14.44 1.18
75-80 8 12.2 -4.2 17.64 1.44
81-85 3 4.8 -1.8 3.24 0.67
86-90 2 0.9 1.1 1.21 1.34
Jumlah 36 35.8 1.5 37.78 5.97
Harga fh = 2,7% x 36 = 0.9; 13,34% x 36 = 4.8; 33,96% x 36 = 12.2; 33,96% x 36 = 12.2; 13,34% x 36 = 4.8; 2,7% x 36 = 0.9 (Sugiyono, 2007: 174)
Berdasarkan perhitungan, ditemukan Harga Chi hitung = 5.97. harga tersebut selanjutnya dibandingkan dengan harga Chi tabel, dengan dk (derajat kebebasan) 6-1
= 5. bila dk 5 dan taraf kesalahan 5%, maka harga Chi Kuadrat tabel = 11.070. karena harga Chi Kuadrat hitung lebih kecil dari harga Chi kuadrat tabel (5.97 < 11.070) maka distribusi prestasi belajar Fiqih siswa Mts Al-Islam Gunungpati(X1) tersebut normal.
Tabel 3 Tabel Penolong untuk Pengujian Normalitas Data hasil belajar Fiqih Siswa MTs N Koto Nan Gadang
Interval Fo fh (fo-fh) (fo-fh)2
60-63 1 0.9 0.1 1.21 0
64-67 7 4.8 2.2 4.84 1.00
68-71 15 12.2 2.8 7.84 0.64
72-75 10 12.2 -2.2 4.84 0.39
76-79 2 4.8 -2.8 7.84 1.63
80-83 1 0.9 0.1 0.01 0.01
36 35.1 0.2 39.6 3.67
Harga fh = 2,7% x 36 = 0.9; 13,34% x 36 = 4.8; 33,96% x 36
= 12.2; 33,96% x 36 = 12.2; 13,34% x 36 = 4.8; 2,7% x 36 = 0.9 (Sugiyono, 2007: 174)
Berdasarkan perhitungan, ditemukan Harga Chi hitung = 3.67. harga tersebut selanjutnya dibandingkan dengan harga Chi tabel, dengan dk (derajat kebebasan) 6-1
= 5. bila dk 5 dan taraf kesalahan 5%, maka harga Chi Kuadrat tabel = 11.070. karena harga Chi Kuadrat hitung lebih kecil dari harga Chi kuadrat tabel (3.67 < 11.070)
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
maka distribusi prestasi belajar Fiqih siswa Mts Al-Islam Gunungpati(X2) tersebut normal.
2. Uji Hipotesis Penelitian
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan Uji t atau t-test. Adapun hipotesis yang diajukan adalah berbunyi ‘apakah terdapat perbedaan perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpati. Uji t atau t-test yang digunakan adalah uji t dependen dengan variable X1 = nilai fiqih ranah/aspek kognitif siswa Mts Al-Islam Gunungpatidan X2 = nilai Fiqih ranah/aspek kognitif Mts Al-Islam Gunungpati
Berdasarkan hasil analisis data tentang perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung dan model pembelajaran konvensional diperoleh hasil sebagai berikut. Kelas yang diajar dengan menggunakan pendekatan kontekstual dengan jumlah siswa (n) = 36 diperoleh nilai maksimum 90 nilai minimum 60, rata-rata ( X ) = 73.67, simpangan baku (S) = 6.76, dan varians (S2) = 45.71. Sedangkan kelas yang diajar dengan metode ceramah/pembelajaran konvensional dengan jumlah siswa (n)
= 36 diperoleh nilai maksimum 83, nilai minimum 60, rata-rata ( X ) = 70.06, simpangan baku (S) = 4.17 dan varians (S2) = 17.43.
Dilihat dari rerata masing-masing-masing-masing variable, yaitu variable X1 dan X2 dapat dibandingkan bahwa rerata Kelas yang diajar dengan menggunakan pendekatan kontekstual (X1) jauh lebih tinggi nilai yang didapat dibanding dengan Kelas yang diajar dengan menggunakan metode ceramah (X2) dengan selisih rerata 3.61. Dan selisih simpangan baku antara X1 dengan X2 adalah 2.59, serta selisih angka varians antara X1
dengan X2 adalah 28.28.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
selanjutnya, untuk menguji hipotesis yang ditetapkan di atas, digunakan rumus/uji t dengan rumus. Kemudian hasil indek perbedaan/t hitung (to) dibandingkan dengan t table. Jika t hitung (to) lebih kecil dibanding dengan t table (tt) dengan d.k = n-1 = 35, maka kesimpulan pengujian tersebut adalah signifikan. Dan sebaliknya jika hasil t hitung (to) lebih besar dari t table (tt), maka kesimpulan dari pengujian tersebut adalah tidak signifikan.
Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan rumus di atas diperoleh nilai . Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan t table untuk taraf 5% dengan d.k = 36-1 = 35 adalah 2.042.
Setelah thitung (to) dibandingkan dengan ttable tersebut didapatkan hasil bahwa thitung lebih besar dari ttable, yaitu to > tt (0,5; 35), maka kesimpulan dari perhitungan tersebut adalah signifikan.
Terkait dengan hasil perhitungan atau pengujian hipotesis di atas, maka dapat digeneralisasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpati, dengan indek perbedaan 3.51. hal ini berarti bahwa pembelajaran Fiqih siswa dengan pendekatan kontekstual pada materi Haji dan Umrah dari ranah kognitif lebih tinggi nilainya daripada hasil pembelajaran Fiqih siswa dengan metode ceramah, dengan selisih/indek perbedaan 3.51.
Berdasarkan dialog terbuka dengan beberapa siswa kelas VIII Mts Al-Islam Gunungpati, kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa mereka merasa lebih senang, nyaman, konsentrasi, dapat bekerjasama dan berkolaborasi positif dengan temannya sehingga dapat mengalami sesuatu yang sementara diajarkan oleh guru hanya bersifat abstrak, ini terjawab sudah melalui CTL pada pembelajaran fiqih materi Haji dan Umroh.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Lain halnya dengan siswa Mts Al-Islam Gunungpatibahwa pembelajaran fiqih dengan metode ceramah menjadi menu mereka sehari-hari sehingga kejenuhan, kemalasan dan keengganan serta rendahnya motivasi mereka mengikuti pembelajaran dengan metode yang disampaikan guru fiqihnya.
3. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian dasar-dasar analisis diperoleh, yaitu data hasil belajar fiqih siswa dari ranah kognitif yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual di Mts Al-Islam Gunungpati dan siswa yang diajar dengan metode ceramah di Mts Al-Islam Gunungpati berdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen maka pengujian hipotesis menggunakan uji-t . Hasil yang diperoleh adalah thitung = 3.51 dan ttabel diperoleh = 2,042 pada α = 0,05. Karena thitung (3.51) > ttabel (2,042), sehingga berdasarkan kriteria pengujian berarti H0 ditolak dan H1 diterima, hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara rata-rata hasil belajar Fiqih siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual dengan rata-rata hasil belajar Fiqih siswa yang diajar dengan metode ceramah.
Dilihat dari hasil penelitian nampak bahwa siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual setelah diberikan tes ranah kognitif diperoleh nilai minimumnya 60 dan nilai maksimumnya 90 serta nilai rata-rata kelas 73.67, sedangkan siswa yang diajar dengan metode ceramah setelah diberikan tes yang sama dengan siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual diperoleh nilai minimumnya 60 dan nilai maksimumnya 83 serta nilai rata-rata kelas 70.06.
Selain itu, dari hasil pengujian hipotesis untuk uji beda rata-rata tes hasil belajar ranah kognitif pada kelas dengan pendekatan kontekstual dan rata-rata tes hasil belajar pada kelas dengan metode ceramah diperoleh nilai thitung = 3.51, sedangkan ttabel = 2,042.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
karena thitung > ttabel maka H0 ditolak H1 diterima yang berarti bahwa ada perbedaan antara rata-rata hasil belajar Fiqih siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual (CTL) dengan rata-rata hasil belajar Fiqih siswa yang diajar dengan metode ceramah pada materi Haji dan Umrah di kelas VIII Mts Al-Islam Gunungpati.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar Fiqih siswa yang diajar dengan pendekatan kontekstual (CTL) lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar Fiqih siswa yang diajar dengan metode ceramah atau dengan kata lain bahwa pendekatan kontekstual (CTL) lebih efektif digunakan untuk mengajarkan materi Fiqih pokok bahasan Haji dan Umrah kepada siswa kelas VIII MTs.
Hasil di atas sejalan dengan pendapat Bandura dalam Kardi dan Nur, bahwa belajar akan sangat menghabiskan waktu dan tenaga jika manusia harus menggantungkan diri sepenuhnya pada hasil-hasil kegiatan sendiri.41 Untungnya sebagian besar tingkah laku manusia dapat dipelajari secara observasi melalui pemodelan terhadap tingkah laku orang lain.
Selain itu sejalan dengan pendapat Triyanto, bahwa pemanfaatan pembelajaran kontekstual akan menciptakan suatu pembelajaran yang didalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat yang pasif, dan bertanggung jawab terhadap belajarnya.42 Lebih dari itu, penerapan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual akan sangat membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan mereka sebagai pemeran dalam pembelajaran kontekstual.
41 Soeparman Kardi and Mohammad Nur, Pengajaran Langsung, ed. by Surabaya (Universitas Negeri Surabaya, 2000).
42 Triyanto. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
Sejalan dengan pendapat tersebut, Cecep (2002) dalam Triyanto, berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual akan menjadikan siswa menemui hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata; konsep dipahami melalui proses penemuan, pemberdayaan, dan hubungan sebagaimana hal ini ketika siswa mengalami sendiri dalam pembelajaran Fiqih pada pokok bahasan Haji dan Umrah.43
Adanya perbedaan hasil belajar Fiqih siswa Kelas VIII yang diajar dengan pendekatan kontekstual dibanding dengan hasil belajar Fiqih siswa kelas VIII yang diajar dengan metode ceramah. Hal ini disebabkan kegiatan guru sesuai dengan sintaks pendekatan kontekstual memungkinkan adanya orientasi pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan belajar mengajar sehingga mereka memiliki pengalaman belajar yang lebih banyak.44 Lebih lanjut, hal ini memberikan dampak semakin tingginya kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran.
Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, tampak bahwa pengajaran dengan pendekatan kontekstual memberikan perbedaan hasil belajar siswa dengan siswa yang diajar dengan metode ceramah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengajaran dengan pendekatan kontekstual dapat dioptimalkan dalam upaya meningkatkan hasil belajar fiqih siswa. Untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, faktor utama yang perlu mendapat perhatian adalah ketersediaan alat praktek dan alat peraga (seperti praktek pelatihan mini manasik Haji dan Umrah) di laboratorium/tempat praktek dan kreativitas guru untuk mengatasi kekurangan alat-alat dengan menggunakan alat-alat yang mudah dijangkau dan ekonomis. Oleh karena itu,
43 Triyanto. Op.cit.
44 Kardi and Nur. Op.cit.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
pembelajaran Fiqih yang berorientasi melalui pendekatan kontesktual pada materi Haji dan Umrah terbukti efektif digunakan, dibanding menggunakan metode ceramah.
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
4. Implikasi Penelitian
Dengan dihasilkannya produk pembelajaran kontestual dan penggunaan metode ceramah dalam pembelajaran Fiqih melalui studi komparatif ini, memberikan implikasi praktis dan teoritis bagi pengembangan kurikulum/pengajaran. Implikasi praktis dan teoritis tersebut diharapkan sebagai pengembangan pembelajaran Fiqih di masa yang akan datang.
a. Implikasi Teoritis
Berdasarkan temuan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diungkapkan pada bab IV, dapat dibangun sejumlah prinsip untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif dalam rangka pemaparan implikasi teoritis. Diantara implikasi tersebut adalah:
1) Pembelajaran efektif bila perlakuan/metode (treatment) yang diterapkan dalam proses belajar mengajar sesuai/cocok dengan pemilihan materi, kesiapan, dan kemampuan guru memotivasi, memfasilitasi, dan mendampingi siswa. Prinsip ini relevan dengan: asumsi al-Qardlawi dan al-Ghazali, bahwa sikap pendidik baik/sejati adalah seorang guru yang memahami anak didik dan rekan-rekannya, memperhatikan keadaan mereka, kemampuan mereka, baik yang umum maupun yang khusus (keterampilannya).45 Implikasinya adalah bahwa dalam melaksanakan pembelajaran di kelas, yang harus diperhatikan oleh guru bukan hanya siswa yang pandai atau cerdas, tapi juga siswa yang lambat atau berkemampuan rendah dan sehingga setiap mereka berkembang sesuai dengan kecepatan masing-masing. Secara luas prinsip tersebut memberi implikasi pada
45 Yusuf Al-Qardlawi, Al-Sunnah: Mashdaran Li Al-Ma’rifah Wa Al-Hadlarah, Fiqih Peradaban;
Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, ed. by Faizah Firdaus (Surabaya: Dunia Ilmu. al-Qardlawi, 2005); Imam Al-Ghazali, Ihya Al-‘Ulum Al-Din, 1st edn (Beirut).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
tumbuhnya demokrasi dalam pendidikan dan terbukanya kesamaan kesempatan dalam mendapatkan layanan pembelajaran yang layak.
2) Pembelajaran yang dikembangkan dalam suasana yang menyenangkan dan bebas dari tekanan serta indoktrinasi, dapat meningkatkan aktivitas belajar dan mengoptimalkan perolehan hasil belajar siswa dalam hal ini pencapaian ranah kognitif siswa. Prinsip ini sejalan dengan harapan Bobi de Porter Cs yang dikutip Nurdin, yang mendambakan terciptanya Quantum Learning dalam pembelajaran, yaitu “suatu metode yang menjadikan proses belajar sebagai sesuatu yang menyenangkan dan nyaman yang bebas dari tekanan dan indoktrinasi”.46
b. Implikasi Praktis
Pendekatan kontekstual/CTL yang dikembangkan dalam pembelajaran Fiqih di MTs Negeri Payakumbuh tahun pelajaran 2008/2009, terbukti memberi manfaat secara bermakna, yaitu efektif mengoptimalkan hasil belajar semua siswa terutama ranah kognitif siswa. Dari manfaat yang demikian itu terkandung sejumlah implikasi bagi kegiatan pembelajaran.
1) Pendekatan kontekstual memberi implikasi tersendiri pada pengembangan kurikulum yang sedang berlaku saat ini (KTSP). Hal ini terbukti bahwa CTL dapat dijhadikan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran dan inovasi serta improvisasi bagi pengembangan pembelajaran Fiqih, yang disesuaikan dengan materi, jadwal dan jam pelajaran yang sudah ditetapkan.
2) Efektivitas pendekatan konteksual yang dikembangkan dalam pembelajaran Fiqih telah teruji dan relatif mudah diadopsi guru, akan tetapi dalam penerapan oleh
46 Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005).
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
guru diperlukan adanya persiapan yang matang, dukungan positif dari lembaga, keterampilan guru, dan koordiasi yang komprehensip dari semua pihak, yang akan dijadikan dasar dan titik tolak pemberian perlakuan yang relevan.
3) Penggunaan metode ceramah pada pembelajaran Fiqih tetap diperlukan dalam materi dan pokok bahasan tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik dari keharusan materi atau pokok bahasan tersebut harus disampaikan kepada siswa.
Hal ini dapat dijadikan alternatif bagi guru bahwa tidak semua materi atau pokok bahasan harus disampaikan kepada siswa dengan metode ceramah.
C. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, seta pengujian hipotesis, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpati, dengan indek perbedaan 3.51. Artinya data hasil belajar fiqih siswa dari ranah kognitif yang diajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual di Mts Al-Islam Gunungpatidan siswa yang diajar dengan metode ceramah di Mts Al-Islam Gunungpatiberdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen maka pengujian hipotesis menggunakan uji-t . Hasil yang diperoleh adalah thitung = 3.51 dan ttabel diperoleh = 2,030 pada α = 0,05. Karena thitung
(3.51) > ttabel (2,030), sehingga berdasarkan kriteria pengujian berarti H0 (Hipotesis Nol) yang berbunyi ‘tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpatiditolak dan H1 (Hipotesis Alternatif) yang berbunyi ‘terdapat perbedaan yang signifikan antara
Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Wahid Hasyim
pendekatan kontekstual dan metode ceramah terhadap kemampuan ranah kognitif dalam pembelajaran Fiqih materi Haji dan Umrah di Mts Al-Islam Gunungpati diterima.
2. Hasil analisis uji t tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar Fiqih siswa kelas VIII di Mts Al-Islam Gunungpatiyang diajar dengan pendekatan kontekstual (CTL) lebih efektif dibandingkan dengan hasil belajar Fiqih siswa kelas VIII di Mts Al-Islam Gunungpati yang diajar dengan metode ceramah atau dengan kata lain bahwa pendekatan kontekstual (CTL) lebih efektif digunakan untuk mengajarkan materi Fiqih pokok bahasan Haji dan Umrah kepada siswa kelas VIII MTs.