• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PROGRAM TUBERKULOSIS (TB) DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PROGRAM TUBERKULOSIS (TB) DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA UTARA"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PROGRAM TUBERKULOSIS (TB) DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN

PROVINSI SUMATERA UTARA

OLEH:

APRIL SABRI NASUTION NIM: 177014036

PROGRAM MAGISTER ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PROGRAM TUBERKULOSIS (TB) DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

APRIL SABRI NASUTION NIM: 177014036

PROGRAM MAGISTER ILMU FARMASI

(3)
(4)

PERSETUJUAN TESIS

Nama Mahasiswa : April Sabri Nasution Nomor Induk Mahasiswa : 177014036

Program Studi : Magister Ilmu Farmasi

Judul Tesis : Evaluasi Pengelolaan Obat Program Tuberkulosis (TB) di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Utara

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Komisi Penguji Tesis pada hari Senin tanggal dua puluh tiga bulan Desember tahun dua ribu sembilan belas.

Menyetujui:

Komisi Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Wiryanto, M. S., Apt.

Sekretaris : Khairunnisa, M. Pham., Ph. D., Apt.

Anggota : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

: Dr. Aminah Dalimunthe, M.Si., Apt

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia kepada penulis, sehingga dapat meyelesaikan Tesis yang berjudul

“Evaluasi Pengelolaan Obat Program Tuberkulosis (TB) di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Prof. Dr. Wiryanto, M. S., Apt.

dan Ibu Khairunnisa, M. Pham., Ph. D., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan tesis ini berlangsung. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Aminah Dalimunthe, M. Si., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini, kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada keluarga tercinta, Ayahanda Japijor Nasution, S. Pd.I.,

(7)

bagi kesuksesan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepadaseluruh teman-teman Magister ilmu farmasi yang selalu memberikan dorongan dan motivasi selama penulis melakukan penelitian.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaannya. Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi.

Medan, Januari 2020

Penulis,

April Sabri Nasution

NIM 177014036

(8)

EVALUASI PENGELOLAAN OBAT PROGRAM TUBERKULOSIS (TB) DI INSTALASI FARMASI DINAS KESEHATAN

PROVINSI SUMATERA UTARA ABSTRAK

Pengelolaan obat meliputi perencanaan, penyimpanan dan distribusi merupakan salah satu tugas Dinas kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang penting. Pengelolaan obat yang buruk akan memberikan dampak negatif terhadap mutu pelayanan.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengelolaan obat program untuk tuberkulosis (TB) tahun 2017, 2018 dan 2019 di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Juli - September 2019.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan data kuantitatif yang diperoleh secara retrospektif dan concurrent, data kualitatif yang diperoleh melalui observasi dan wawancara terhadap narasumber. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan indikator dan dibandingkan dengan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan, penyimpanan dan distribusi obat program TB di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara belum sepenuhnya memenuhi standar indikator. Hal ini ditunjukkan dengan 6 indikator belum memenuhi standar, yaitu ketepatan perencanan; penyimpangan perencanaan; tingkat ketersediaan obat; persentase obat kadaluarsa; Inventory Turn Over Ratio (ITOR); rata-rata waktu kekosongan obat dan persentase stok obat mati dan 3 indikator sudah memenuhi standar, yaitu persentase obat kadaluarsa, sistem penataan obat dan kecocokan jumlah barang nyata dengan stok.

Kesimpulan penelitian ini adalah perencanaan obat di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan metode konsumsi periode sebelumnya. Penyimpanan obat menggunakan sistem First In First Out (FIFO)/

First Expired First Out (FEFO). Pendistribusian obat di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan permintaan dari Kabupaten/Kota.

Kata kunci: Evaluasi, perencanaan, penyimpanan, distribusi, obat program.

(9)

EVALUATION OF PROGRAM TUBERCULOSIS (TB) DRUG MANAGEMENT IN PHARMACI INSTALLATION OF NORTH

SUMATRA PROVINCE HEALTH OFFICE ABSTRAK

Drug management includes planning, storage and distributionis one of important task at the North Sumatra ProvinceHealth Office. Poor drug management can give negative result to quality of heath service.

This study aims to evaluate the management of drug program for tuberculosis in 2017, 2018 and 2019 at the North Sumatra Provincial Health Office. This study was conducted in July – September 2019.

This is a descriptive research with quantitative data obtained retrospectively and concurrent, qualitative data obtained through observations and interviews with interviewees. The data was analyzed using indicators and then compared with the research results.

The results showed that the planning, storage and distribution of the TB drugs had not been fully in accordance with the standard. It was indicated that there were 6 indicators had not meet the standards, namely the accuracy of planning; planning irregularities; level of drug availability; Inventory Turn Over Ratio (ITOR); average time of drug emptiness and the percentage of dead drug stock, and there were 3 indicators which had met the standard, namely the percentage of drugs expired; the drug structuring system and the matching number of real goods with stock.

The conclusion of the research was that drug planning in North Sumatra Province Health Office by using the previous period consumption method.

Storage of drugs using the First In First Out (FIFO)/First Expired First Out (FEFO) system. Distribution of drugs inNorth Sumatra Province Health based on requests from the Regency/City.

Keywords: Evaluation, planning, storage, distribution, drug programs.

(10)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGESAHAN TESIS ... iii

PERSETUJUAN TESIS ... iv

PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Hipotesis Penelitian ... 9

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Obat ... 12

2.2 Pengelolaan Obat ... 12

2.2.1 Perencanaan obat ... 14

2.2.2 Pengadaan obat... 17

2.2.3 Penyimpanan obat ... 19

2.2.4 Pendistribusian obat ... 23

2.3 Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat ... 24

2.4 Indikator Pengelolaan Obat ... 26

2.5 Tuberkulosis (TB) ... 31

2.5.1 Defenisi ... 31

2.5.2 Patofisiologi tuberkulosis ... 32

2.5.3 Klasifikasi tuberkulosis ... 33

2.5.4 Tanda-tanda dan gejala klinis tuberkulosis ... 35

2.5.5 Diagnosis tuberkulosis ... 35

2.5.6 Terapi tuberkulosis ... 36

2.6 Kerangka Teori Penelitian... 36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

(11)

3.6 Analisis Data ... 40

3.7 Analisis Parameter ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4.2 Hasil Wawancara ... 45

4.3 Perencanaan ... 46

4.3.1 Hasil ketepatan perencanaan ... 48

4.3.2 Hasil penyimpangan perencanaan ... 53

4.4 Penyimpanan dan Pendistribusian ... 58

4.4.1 Hasil tingkat ketersediaan obat ... 58

4.4.2 Hasil persentase jumlah dan nilai obat yang kadaluarsa/rusak ... 63

4.4.3 Hasil persentase rata-rata waktu kekosongan obat ... 63

4.4.4 Hasil persentase stok obat mati ... 66

4.4.5 Hasil ITOR ( Inventory Turn Over Ratio)... 68

4.4.6 Hasil hasil sistem penyimpanan obat ... 72

4.4.7 Hasil persentase kecocokan jumlah barang nyata dengan kartu stok ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(12)

DAFTAR TABEL

2.1 Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat ... 31

3.1 Defenisi Operasional Penelitian ... 41

4.1 Data ketepatan perencanaan pada tahun 2017 ... 49

4.2 Data persentase ketepatan perencanaan pada tahun 2017 ... 49

4.3 Data ketepatan perencanaan pada tahun 2018 ... 50

4.4 Data persentase ketepatan perencanaan pada tahun 2018 ... 50

4.5 Data ketepatan perencanaan pada tahun 2019 ... 51

4.6 Data persentase ketepatan perencanaan pada tahun 2019 ... 51

4.7 Data penyimpangan perencanaan pada tahun 2017 ... 54

4.8 Data persentase penyimpangan perencanaan pada tahun 2017 ... 54

4.9 Data penyimpangan perencanaan pada tahun 2018 ... 55

4.10 Data persentase penyimpangan perencanaan pada tahun 2018 ... 55

4.11 Data penyimpangan perencanaan pada tahun 2019 ... 56

4.12 Data persentase penyimpangan perencanaan pada tahun 2019 ... 56

4.13 Data tingkat ketersediaan obat tahun 2017 ... 59

4.14 Data persentase tingkat ketersediaan obat tahun 2017 ... 59

4.15 Data tingkat ketersediaan obat tahun 2018 ... 60

4.16 Data persentase tingkat ketersediaan obat tahun 2018 ... 60

4.17 Data tingkat ketersediaan obat tahun 2019 ... 61

4.18 Data persentase tingkat ketersediaan obat tahun 2019 ... 61

4.19 Data jumlah dan nilai obat yang kadaluarsa/rusak tahun 2017, 2018 dan 2019 ... 63

4.20 Data rata-rata waktu kekosongan obat tahun 2017 ... 64

4.21 Data rata-rata waktu kekosongan obat tahun 2018 ... 64

4.22 Data rata-rata waktu kekosongan obat tahun 2019 ... 65

4.23 Data stok obat mati tahun 2017 ... 67

4.24 Data stok obat mati tahun 2018 ... 67

4.25 Data stok obat mati tahun 2019 ... 67

4.26 Data ITOR (Inventory Turn Over Ratio) tahun 2017 ... 69

4.27 Data ITOR (Inventory Turn Over Ratio) tahun 2018 ... 70

4.28 Data ITOR (Inventory Turn Over Ratio) tahun 2019 ... 71

4.29 Data penyimpanan obat ... 73

4.30 Data kecocokan jumlah barang dengan kartu stok ... 74

(13)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka Pikir Penelitian….. ... 11

2.1 Kerangka Teori Penelitian…... 37

4.1 Grafik ketepatan perencanaan tahun 2017, 2018 dan 2019….. ... 52

4.2 Grafik penyimpangan perencanaan tahun 2017, 2018 dan 2019…. ... 57

4.3 Grafik tingkat ketersediaan obat tahun 2017, 2018 dan 2019… ... 62

4.4 Grafik kekosongan obat tahun 2017, 2018 dan 2019….. ... 65

4.5 Grafik persentase obat mati pada tahun 2017, 2018 dan 2019….. ... 68

4.6 Grafik Inventory Turn Over Ratio (ITOR) pada tahun 2017, 2018 dan 2019….. ... 72

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Panduan Wawancara ... 79 2. Surat Izin Penelitian ... 80 3. Persetujuan Komisi Etik Penelitian ... 81

(15)

DAFTAR SINGKATAN

BTA : Basil Tahan Asam CD : Cluster Diffrentiated

DOEN : Daftar Obat Esensial Nasional FIFO : First In First Out

FIFO : First Expired First Out

HIV : Human Immunodeficiency Virus ITOR : Inventory Turn Over Ratio

LPLPO : Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PKD : Pelayanan Kesehatan Dasar PPK : Pejabat Pembuat Komitmen RKO : Rencana Kebutuhan Obat SBBK : Surat Bukti Barang Keluar TB : Tuberkulosis

TNF : Tumor Necrotizing Factor ULP : Unit Layanan Pengadaan

UPOPPK : Unit Pengelola Obat Pulik Dan Perbekalan Kesehatan WHO : World Health Organizatio

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dan Direktorat Bina Obat Publik Tahun 2010 tentang materi manajemen kefarmasian di Instalasi Farmasi, disebutkan bahwa obat merupakan komponen esensial dari suatu pelayanan kesehatan, selain itu karena obat sudah merupakan kebutuhan masyarakat, maka persepsi masyarakat tentang hasil dari pelayanan kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke sarana kesehatan. Oleh karena vitalnya obat dalam pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang benar, efisien dan efektif sangat diperlukan oleh petugas di Pusat/ Provinsi/ Kabupaten/ Kota.

Sesuai amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, dan pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Dengan demikian, ketersediaan obat merupakan tanggung jawab pemerintah di semua level mulai dari tingkat pusat, Provinsi, sampai dengan Kabupaten/Kota (Kemenkes RI, 2017).

Salah satu hal penting dalam pelayanan kesehatan adalah pengelolaan obat. Tujuannya adalah tersedianya obat dan dapat diakses oleh seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi dan pemerataan

(17)

Pengelolaan obat publik di Dinas Kesehatan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi, pencatatan, pelaporan, supervisi dan evaluasi (Depkes RI, 2010).

Pengelolaan obat pada tahap perencanaan merupakan proses kegiatan dalam mewujudkan ketersediaan obat untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu. Instalasi farmasi sering menghadapi permasalahan pada tahap perencanaan yaitu dalam pemilihan obat yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, adanya ketidaksesuaian antara perencanaan obat tahunan dengan pembelian, fluktuasi pemakaian obat dan kebijakan pemerintah yang mengalami perubahan. Pengelolaan obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang, terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat tidak sesuainya perencanaan obat (Depkes RI, 2010).

Permasalahan yang sering dijumpai dalam perencanaan obat adalah membeli terlalu banyak, membeli obat yang tidak diperlukan, tidak memperhitungkan umur obat sehingga mengakibatkan pemborosan karena terjadi obat-obat kadaluwarsa (Siregar, 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rumbay, dkk., (2015) bahwa proses perencanaan kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Tenggara masih belum tepat disebabkan kurangnya pengetahuan tentang langkah- langkah yang harus diambil untuk proses perencanaan pengadaan obat yang tepat, tidak adanya pelatihan petugas obat tentang tahap perencanaan obat yang menyebabkan kekosongan baik di Dinas Kesehatan maupun di Puskesmas. Sukses atau gagalnya pengelolaan logistik ditentukan oleh kegiatan di dalam perencanaan misalnya dalam menentukan barang yang dalam pengadaannya melebihi

(18)

kebutuhan maka mengacaukan siklus manajemen logistik secara keseluruhan (Seto, 2004).

Penyimpanan merupakan bagian dalam fungsi pengelolaan obat yang penting guna menjamin mutu obat yang akan digunakan untuk pelayanan kesehatan. Sistem penyimpanan bertujuan untuk penyimpanan obat aman, penyimpanan dalam kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang efektif, dan pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan pencurian.

Penyimpanan harus terletak di dalam gedung yang tahan cuaca kering. Obat harus diatur dan mudah diakses, sebagian besar disimpan di rak-rak. Ruang dan peralatan pendingin harus disediakan. Suhu dan tingkat kelembaban harus dikontrol dalam batas-batas yang tepat, dan ruang harus memiliki ventilasi yang baik sehingga mutu dan khasiat obat terjaga (Sallet, 2012).

Permasalahan yang paling sering ditemukan pada sistem penyimpanan dan pendistribusian obat diantaranya yaitu tidak menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan First expired First Out (FEFO), sistem alfabetis, sistem kelas terapi obat, sarana dan prasarana penyimpanan dan pendistribusian yang tidak memadai (Ibrahim, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lukmana, (2006) dan Puslitbang, (2006) yang dilakukan dibeberapa sarana kesehatan Jabodetabek menunjukkan bahwa sistem penyimpanan barang-barang logistik farmasi terutama obat belum memenuhi ketentuan yang dibuat oleh Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. Diantaranya tidak menggunakan sistem First In First Out (FIFO) atau

(19)

pendukung dan sarana prasarana penyimpanan yang tidak memadai. Penyimpanan perbekalan farmasi yang tidak tepat dapat berakibat pada kerusakan obat, terganggunya distribusi obat dan terdapatnya obat yang kadaluarsa (Sheina, dkk., 2010).

Tahap distribusi merupakan tahapan dari siklus manajemen obat yang sangat penting dan komplek, bahkan pada distribusi dapat menghabiskan komponen biaya yang signifikan dalam anggaran kesehatan (Quick, et al., 1997).

Tujuan utama pelaksanaan distribusi obat yang baik adalah mencakup terjamin penyebaran obat secara merata dan teratur agar dapat diperoleh saat diperlukan, penggunaan obat tepat sampai kepada pihak yang membutuhkan secara sah untuk melindungi masyarakat dari kesalahan penggunaan atau penyalahgunaan, terjamin keabsahan dan mutu obat agar obat yang sampai ke tangan masyarakat adalah obat yang efektif, aman dan dapat digunakan sesuai tujuan penggunaannya, terjamin penyimpanan obat yang aman dan sesuai kondisi yang dipersyarakan, termasuk selama transportasi (BPOM RI., 2012).

Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau distributor, dan berakhir pada saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit pengadaan. Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen yang baik dengan cara antara lain: menjaga suplai obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang tidak terpakai karena rusak atau kadaluwarsa dengan perencanaan yang tepat sesuai kebutuhan masing-masing daerah, memiliki catatan penyimpanan yang akurat, rasionalisasi depo obat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat (Clark, 2012).

(20)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pramukantoro dan Sunarti, (2018) diperoleh kesimpulan bahwa distribusi yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta belum sesuai dikarenakan sistem pendistribusian di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta berbeda dengan indikator yang seharusnya. Pada indikator standar dari Kementerian Kesehatan disebutkan bahwa Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota seharusnya melakukan perencanaan distribusi dan pendistribusian ke tiap – tiap Puskesmas di wilayahnya. Tetapi Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta tidak melakukan sesuai dengan indikator standar tersebut, melainkan menunggu adanya surat pesanan dari Puskesmas – Puskesmas yang ada di Kota Surakarta. Surat Pesanan ini kemudian disiapkan terlebih dahulu oleh petugas dan setelah semuanya siap maka Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta menghubungi pihak Puskesmas yang melakukan pesanan untuk mengambil obat tersebut.

Pengelolaan obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang, terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat tidak sesuainya perencanaan obat, serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak akibat sistem distribusi yang kurang baik (Pramukantoro, 2015).

Mengingat pentingnya pengelolaan obat dalam rangka mencapai pelayanan yang bermutu, mencegah permasalahan yang sering terjadi terutama pada aspek perencaan, penyimpanan dan pendistribuan maka perlu dilakukan

(21)

selanjutnya dapat dilakukan tindakan perbaikan untuk meningkatkan pelayanan.

Pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia dan bertanggung jawab menyelengarakan program-program pemerintah dalam hal kesehatan di wilayah kerjanya termasuk menjamin ketersediaan obat. Salah satu aspek pelayanan kesehatan dalam mewujudkan program kesehatan adalah pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang masih menjadi masalah dunia termasuk Indonesia adalah infeksi tuberkulosis. Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 22 negara di dunia yang memiliki beban penyakit tuberkulosis tertinggi (WHO, 2015).

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.

Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit

(22)

ditembus zat kimia. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain (Depkes RI, 2005).

Tingginya angka prevalensi jumlah kasus TB paru tidak terlepas dari tingginya tingkat resiko penularan TB paru yang terjadi. Sumber penularan pasien TB paru terletak pada waktu batuk atau bersin sehingga pasien menyebarkan bakteri Mycrobacterium tuberculosis ke udara dalam bentuk percikan dahak dimana jika penderita TB paru sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Pasien yang suspek TB paru dengan batuk lebih dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien.

Sementara pasien yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari kontaknya (Depkes, 2009).

Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar bakteri Mycrobacterium tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri Mycrobacterium tuberculosis. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri Mycrobacterium tuberculosis yang dikeluarkan dari paru nya.

Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut (Depkes, 2009).

Pada panduan pengelolaan logistik Obat Anti Tuberkulosis “No OAT, No

(23)

utama dalam meningkatkan keberhasilan program pengendalian TB (Depkes, 2010).

OAT merupakan salah satu obat program yang pengadaannya dilakukan oleh pemerintah pusat, yang kemudian akan didistribusikan ke tingkat Provinsi dan daerah. Sehingga untuk menjamin ketersediaan OAT pada pelaksanaan logistiknya, tergantung pada perencanaan kebutuhan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Depkes, 2010).

Pengelolaan logistik OAT meliputi: tahap perencanaan, permintaan obat ke pusat, penyimpanan dan pendistribusian, dengan tujuan untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat OAT secara efektif.

Pada penelitian sebelumnya, disimpulkan bahwa manajemen pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe belum berjalan maksimal, diantaranya sering terjadi keterlambatan dalam laporan pemakaian obat, pencatatan dan pelaporan belum lengkap dan masih terdapat obat kadaluwarsa (Mukhlis, 2016). Sama hal nya dengan penelitian yang dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara menyimpulkan bahwa perencanaan dan distribusi obat program belum sepenuhnya memenuhi standar (Boku, dkk., 2019).

Permasalahannya adalah ketersediaan obat dan ketidakefektifan pengelolaan obat, dapat memberi dampak negatif terhadap pelayanan di fasilitas kesehatan. Berdasarkan hal tersebut peneliti terdorong untuk melakukan evaluasi pengelolaan obat program TB agar dapat diketahui permasalahan dan kelemahan dalam pelaksanaannya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, maka perlu dilakukan

(24)

penelitian tentang evaluasi pengelolaan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Apakah perencanaan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sudah sesuai dengan standar?

b. Apakah penyimpanan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sudah sesuai dengan standar?

c. Apakah pendistribusian obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sudah sesuai dengan standar?

1.3 Hipotesis Penelitian

Dengan hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Perencanaan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara belum sesuai standar

b. Penyimpanan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara belum sesuai standar

c. Pendistribusian obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara belum sesuai standar

(25)

1.4 Tujuan Penelitian

Dengan tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Mengetahui perencanaan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

b. Mengetahui penyimpanan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

c. Mengetahui pendistribusian obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam rangka penentuan arah kebijakan dan perbaikan dalam hal sistem pengelolaan obat program TB.

b. Bahan masukan bagi Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dalam sistem pengelolaan obat secara efektif.

c. Bagi program studi Magister Farmasi Univeristas Sumatera Utara dapat menambah referensi tentang evaluasi sistem pengelolaan obat program TB di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan.

(26)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel bebas adalah yang mempengaruhi variabel terikat. Pada penelitian ini variabel bebas adalah pengelolaan obat program TB (perencanaan, penyimpanan dan distribusi ). Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh varibael bebas. Dalam hal ini variabel terikat yaitu kesesuaian. Kerangka pikir penelitian ini ditunjukan pada Gambar 1.1 dibawah ini.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Perencanaan

nn

Kesesuaian

- Ketepatan perencanaan - Persentase penyimpangan

perencanaan

Pengelolaan Obat Program TB (Tuberkulosis)

Penyimpanan Kesesuaian

- Persentase tingkat ketersediaan obat

- Persentase jumlah dan nilai obat yang kadaluarsa/rusak - Persentase stok obat yang

mati

Inventory Turn OverRatio (ITOR)

- Persentase sistem penataan obat

- Persentase kecocokan jumlah barang nyata dengan kartu stok - Persentase waktu

kekosongan obat Kesesuaian

Distribusi

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Obat

Obat merupakan salah satu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi sebagian populasi yang harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau serta memiliki kemanfaatan yang tinggi baik untuk keperluan diagnostik, profilaksis terapetik dan rehabilitasi. Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/137/2016, penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu (Kristin, 2002).

Menurut Kemenkes RI bekerja sama dengan Japan International Coorperation Agency (2010) obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi termasuk produk biologi.

2.2 Pengelolaan Obat

Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta

(28)

penggunaan obat secara rasional. Pengelolaan obat yang efektif terletak pada kebijakan dan kerangka hukum yang membangun dan mendukung komitmen publik untuk pasokan obat esensial dan dipengaruhi oleh isu-isu ekonomi (Embrey, 2012).

Tujuan pengelolaan obat adalah tersedianya obat dan dapat diakses oleh seluruh penduduk, menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat yang diproduksi dan pemerataan distribusi, meningkatkan kehadiran obat esensial di fasilitas kesehatan, penggunaan obat rasional oleh masyarakat (Embrey, 2012).

Pengelolaan obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang, terjadi kekosongan obat, banyaknya obat yang menumpuk akibat tidak sesuainya perencanaan obat, serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak (Pramukantoro, 2015).

Menurut Quick (1997), bahwa dalam sistem manajemen obat, masing- masing fungsi utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi selanjutnya. Seleksi seharusnya didasarkan pada pengalaman aktual terhadap kebutuhan untuk melakukan pelayanan kesehatan dan obat yang digunakan, perencanaan dan pengadaan memerlukan keputusan seleksi dan seterusnya. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi, keuangan, atau finansial, sumber daya manusia (SDM), dan sistem informasi manajemen (SIM).

Setiap tahap siklus manajemen obat yang baik harus didukung oleh keempat faktor tersebut sehingga pengelolaan dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

(29)

2.2.1 Perencanaan obat

Perencanaan yaitu sebagai dasar pemikiran dari tujuan dan penyusunan langkah-langkah yang akan dipakai untuk mencapai tujuan. Merencanakan berarti mempersiapkan segala kebutuhan, memperhitungkan matang-matang apa saja yang menjadi kendala, dan merumuskan bentuk pelaksanaan kegiatan yang bermaksud untuk mencapai tujuan (Terry dan Leslie, 2010).

Perencanaan di bidang kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses untuk merumuskan masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan kebutuhan dan sumber daya yang harus disediakan, menetapkan tujuan yang paling pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Perencanaan menurut ilmu administrasi kesehatan terdapat 3 aspek pokok yang harus diperhatikan meliputi: hasil kerja perencanaan, perangkat perencanaan, dan proses perencanaan (process ofplanning).

Pengelolaan obat pada tahap perencanaan merupakan proses kegiatan dalam mewujudkan ketersediaan obat untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu. Instalasi farmasi sering menghadapi permasalahan pada tahap seleksi yaitu dalam pemilihan obat yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat yang ada di daerah, sedangkan pada tahap perencanaan dan pengadaan adanya ketidaksesuaian antara perencanaan obat tahunan dengan pembelian, fluktuasi pemakaian obat-obat dan kebijakan pemerintah yang mengalami perubahan. Pengelolaan obat yang tidak efisien menyebabkan tingkat ketersediaan obat menjadi berkurang , terjadi kekosongan obat , banyaknya obat yang menumpuk akibat tidak sesuainya perencanaan obat, serta banyaknya obat yang kadaluwarsa/rusak (Pramukantoro, 2015).

(30)

Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat antara lain : 2.2.1.1. Tahap pmilihan obat

Fungsi seleksi/pemilihan obat adalah untuk menentukkan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Untuk mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi: (Kemenkes, 2010).

a. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan ditimbulkan

b. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi dan kesamaan jenis

c. Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih baik

d. Hindari penggunaan kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek yang lebih baik dibanding obat tunggal

e. Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drugof choice) dari penyakit yang prevalensinya

2.2.2.2. Tahap perhitungan kebutuhan obat

Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan sebagai pembanding bagi stok optimum (Kemenkes, 2010).

Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:

(31)

b. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh unit pelayanan kesehatan/Puskesmas

c. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/Kota

Tahap perhitungan kebutuhan obat menurut Kemenkes (2010), merupakan tantangan yang berat yang harus dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di Unit Pengelola Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) Kabupaten/Kota maupun Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi apabila informasi semata-mata hanya berdasarkan informasi teoritis terhadap kebutuhan pengobatan. Proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu serta melalui tahapan seperti di atas, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan. Metode yang lazim digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan obat ditiap unit pelayanan kesehatan adalah:

1. Metode konsumsi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis data komsumsi obat tahun sebelumnya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Pengumpulan data dan pengolahan data b. Analisis data untuk informasi dan evaluasi c. Perhitungan perkiraan kebutuhan obat

2. Metode epidemiologi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit, perkiraan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah- langkah dalam metode ini antara lain:

(32)

1. Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani

2. Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit 3. Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan

4. Menghitung perkiraan kebutuhan obat

5. Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia 2.2.2 Pengadaan obat

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Kemenkes, 2010).

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara epurchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Pembelian obat secara elektronik (E- Purchasing) berdasarkan sistem Katalog Elektronik (E-Catalogue) obat dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat Pengadaan melalui aplikasi E-Purchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sesuai

(33)

Purchasing, PPK dan Pokja ULP atau Pejabat Pengadaan harus memiliki kode akses (user ID dan password) dengan cara melakukan pendaftaran sebagai pengguna kepada LPSE setempat.

Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-Purchasing adalah sebagai berikut: (Perpres, 2015).

a. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi E-Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat. Paket pembelian obat dikelompokkan berdasarkan penyedia.

b. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam kelompok paket pengadaan.

c. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/Pedagang Besar Farmasi (PBF). Apabila menyetujui, penyedia obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada distributor/PBF untuk ditindak lanjuti.

Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus menyampaikan alasan penolakan.

d. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindak lanjuti.

Dalam hal permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri Farmasi, maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden No.4 Tahun 2015.

(34)

e. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi.

f. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi perjanjian/kontrak jual beli.

g. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi riwayat pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing.

h. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh penyedia obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan Sistem Katalog, tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja. Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/offline (gangguan daya listrik, gangguan jaringan, atau gangguan aplikasi), maka pembelian dapat dilaksanakan secara manual.

2.2.3 Penyimpanan obat

Sistem penyimpanan bertujuan untuk memastikan penyimpanan aman, penyimpanan dalam kondisi lingkungan yang benar, pencatatan akurat, penataan yang efektif, dan pemantauan obat yang kadaluwarsa, serta pencegahan

(35)

Menurut Yogaswara (2001), bahwa penyimpanan adalah kegiatan dan usaha untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan di dalam ruang penyimpanan.

a. Tujuan Penyimpanan Obat

Penyimpanan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tujuan dari penyimpanan tercapai. Menurut Warman (1997), tujuan dari penyimpanan obat antara lain:

1. Mempertahankan mutu obat dari kerusakan akibat penyimpanan yang tidak baik

2. Mempermudah pencarian di gudang/kamar penyimpanan 3. Mencegah kehilangan

4. Mempermudah stok opname dan pengawasan 5. Mencegah bahaya penyimpanan yang salah b. Prosedur Penyimpanan Obat

Prosedur penyimpanan obat antara lain: mencakup sarana penyimpanan, pengaturan persediaan berdasarkan bentuk/jenis obat yang disimpan, serta sistem penyimpanan.

c. Sarana Penyimpanan Obat

Obat harus selalu disimpan di ruang penyimpanan yang layak. Bila obat rusak, mutu obat menurun dan memberi pengaruh buruk bagi penderita.

Beberapa ketentuan mengenai sarana penyimpanan obat antara lain : 1) Gudang/tempat penyimpanan :

a. Gudang penyimpanan terpisah dari ruang pelayanan.

(36)

b. Gudang cukup besar untuk menyimpan semua persediaan obat dan cukup untuk pergerakan petugas, minimal luasnya 3 m x 4 m.

c. Pintu gudang mempunyai kunci pengaman 2 (dua) buah yang terpisah/berbeda.

d. Struktur gudang dalam keadaan baik, tidak ada retakan, lubang atau tanda kerusakan oleh air.

e. Atap gudang dalam keadaan baik dan tidak bocor.

f. Gudang rapi, rak dan lantai tidak berdebu dan dinding bersih.

Gudang bebas hama dan tidak ada tanda infestasi hama.

g. Udara bergerak bebas di gudang; kipas angin dan kawat nyamuk dalam keadaan baik. Tersedia cukup ventilasi, sirkulasi udara dan penerangan.

h. Tersedia alat pengukur dan pengatur suhu ruangan. Jendela dicat putih atau mempunyai gorden serta aman dan mempunyai iteralis.

i. Terdapat rak/lemari penyimpanan. Terdapat lemari pendingin untuk obat tertentu dan dalam keadaan baik. Terdapat lemari khusus yang mempunyai kunci untuk penyimpanan Narkotik dan Psikotropika.

j. Terdapat alat bantu lain untuk pengepakan dan perpindahan barang.

2) Dokumen pencatatan:

a. LPLPO (Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat) b. Kartu stok

c. Buku penerimaan dan pengeluaran obat

(37)

d. Pengaturan Persediaan

1. Obat-obatan dipisahkan dari bahan beracun.

2. Obat luar dipisahkan dari obat dalam.

3. Narkotik dan Psikotropika dipisahkan dari obat-obatan lain dan disimpan dilemari khusus yang mempunyai kunci.

4. Tablet, kapsul dan oralit disimpan dalam kemasan kedap udara dan diletakkan di rak bagian atas.

5. Cairan, salep dan injeksi disimpan di rak bagian tengah.

6. Obat yang membutuhkan suhu dingin disimpan dalam kulkas.

7. Obat rusak atau kadaluarsa dipisahkan dari obat lain yang masih baik dan disimpan di luar gudang.

8. Obat cairan dipisahkan dari obat padatan.

9. Barang/obat ditempatkan menurut kelompok berat dan besarnya:

Untuk barang yang berat ditempatkan pada tempat yang memungkinkan pengangkatannya dilakukan dengan mudah. Antara lain:

a. Untuk barang yang besar harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga apabila barang tersebut dikeluarkan tidak mengganggu barang yang lain.

b. Untuk barang yang kecil sebaiknya dimasukkan kedalam kotak yang ukurannya agak besar dan ditempatkan sedemikian rupa, sehingga mudah dilihat/ditemukan apabila diperlukan.

e. Penyimpanan Khusus

1. Obat, vaksin dan serum memerlukan tempat khusus seperti lemari

(38)

pending khusus (cold chain) dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya arus listrik.

2. Bahan kimia harusnya disimpan dalam bangunan khusus yang terpisah dari gudang induk.

3. Peralatan besar/alat berat memerlukan tempat khusus yang cukup untuk penyimpanan dan pemeliharaannya.

f. Sistem Penyimpanan Obat

1. Obat disusun berdasarkan abjad (alfabetis) atau Nomor.

2. Obat disusun berdasarkan frekuensi penggunaan :

a. FIFO (First In First Out), yang berarti obat yang datang lebih awal harus dikeluarkan lebih dahulu.

b. FEFO (First Expired First Out), yang berarti obat yang lebih awal kadaluarsa harus dikeluarkan lebih dahulu.

3. Obat disusun berdasarkan volume

a. Barang yang jumlahnya banyak ditempatkan sedemikian rupa agar tidak terpisah, sehingga mudah pengawasan dan penanganannya.

b. Barang yang jumlah sedikit harus diberi perhatian/tanda khusus agar mudah ditemukan kembali.

2.2.4 Pendistribusian obat

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat

(39)

kekosongan dan menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat persediaan obat (Clark, 2012).

Distribusi obat bertujuan untuk:

1. Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan.

2. Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian

3. Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan.

4. Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan program kesehatan.

Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :

1. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan

2. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk:

a. Program kesehatan

b. Kejadian Luar Biasa (KLB) c. Bencana (alam dan sosial)

2.3 Dasar Kebijakan Pengelolaan Obat

Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional sebagaimana dirubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.HK.02.02/Menkes/137/2016, untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat esensial pada fasilitas pelayanan kesehatan harus

(40)

disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah ditetapkan, hal ini sangat berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Peraturan Presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Pemilihan pengadaan obat dilakukan melalui pembelian secara e- purchasing dengan sistem e-catalgue. Prinsip pemilihan penyedia barang/jasa secara elektronik bertujuan untuk efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Pengelolaan obat terdiri atas (Depkes, 2002):

1. Pengelola Obat di Dinas Kesehatan

Organisasi Pengelola Obat di Provinsi/Kabupaten/Kota disebut dengan Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) di Provinsi/Kabupaten/Kota. Salah satu tujuan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas).

Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di daerah memiliki tugas dan peran antara lain :

a. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun

(41)

dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi

c. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang tindih

d. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya

e. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Puskesmas

f. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas

g. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota

h. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap pendistribusian obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar

i. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap penanganan obat dan perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa j. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap jaminan

mutu obat yang ada di UPOPPK dan UPK.

2.4 Indikator Pengelolaan Obat

Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan

(42)

atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran yang ditetapkan. Indikator pengelolaan obat di kabupaten kota adalah:

(Kemenkes, 2010).

1. Alokasi dana pengadaan obat

Penyediaan dana yang memadai dari pemerintah sangat menentukan ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial oleh masyarakat. Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai dengan kebutuhan obat untuk populasi merupakan prasyarat terlaksananya penggunaan obat yang rasional yang pada gilirannya akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan indikator ini akan dapat dilihat komitmen Kabupaten/Kota dalam penyediaan dana pengadaan obat sesuai kebutuhan Kabupaten/Kota.

2. Persentase alokasi dana pengadaan obat

Dana pengadaan obat adalah besarnya dana pengadaan obat yang disediakan/dialokasikan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung program kesehatan di daerah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan jumlah alokasi dana untuk bidang kesehatan.

3. Biaya obat perpenduduk

Biaya obat perpenduduk adalah besarnya dana yang tersedia untuk masing-masing penduduk dan besaran dana yang tersedia untuk masing-masing penduduk. Ketersediaan dana pengadaan obat yang sesuai kebutuhan populasi bervariasi untuk masing-masing Kabupaten/Kota untuk itu perlu diketahui

(43)

WHO telah menetapkan alokasi dana obat sektor publik secara nasional adalah US $ 3 perkapita.

4. Ketersediaan obat sesuai kebutuhan

Ketersediaan obat sesuai kebutuhan adalah jumlah obat yang mampu disediakan pemerintah dibandingkan dengan jumlah obat yang dibutuhkan rakyat dalam pelayanan kesehatan dasar yang diselenggarakan pemerintah.

5. Pengadaan obat esensial

Pengadaan obat esensial adalah nilai obat esensial yang diadakan di Kabupaten/Kota yang disimpan di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dibandingkan dengan nilai total yang tersedia di instalasi farmasi Kabupaten/Kota.

6. Pengadaan obat generik

Pengadaan obat generik adalah nilai obat generik yang diadakan di Kabupaten/Kota yang disimpan di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dibandingkan dengan nilai total yang tersedia di Instalasi Kabupaten/Kota.

7. Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN tahun 2013

Penetapan obat yang masuk dalam DOEN telah mempertimbangkan faktor drug of choice, analisis biaya-manfaat dan didukung dengan data ilmiah. Untuk pelayanan kesehatan dasar maka jenis obat yang disediakan berdasarkan DOEN yang terbaru agar tercapai prinsip efektivitas dan efisiensi.

8. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dengan pola penyakit yang ada di Kabupaten/Kota. Kesesuaian ketersediaan obat dengan pola penyakit adalah kesesuaian jenis obat yang tersedia di instalasi farmasi dengan pola

(44)

penyakit yang ada di Kabupaten/Kota adalah jumlah jenis obat yang tersedia dibagi dengan jumlah jenis obat untuk semua kasus penyakit di Kabupaten/Kota.

9. Tingkat ketersediaan obat

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia digudang minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat.

10. Ketepatan perencanaan

Obat yang disediakan untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota harus sesuai dengan kebutuhan populasi berarti harus sesuai dalam jumlah dan jenis obat untuk pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.

11. Persentase dan nilai obat rusak atau kadaluarsa

Terjadinya obat rusak atau kadaluarsa mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, atau kurang baiknya sistem distribusi, dan/atau kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan/atau perubahan pola penyakit.

12. Ketepatan distribusi obat

Kesesuaian waktu antara distribusi dan penggunaan obat di unit pelayanan sangat penting artinya bagi terlaksananya pelayanan kesehatan yang bermutu.

Ketepatan distribusi obat adalah penyimpangan jumlah unit pelayanan kesehatan yang harus dilayani (sesuai rencana distribusi) dengan kenyataan yang terjadi serta selisih waktu antara jadwal pendistribusian obat dengan kenyataan.

13. Persentase penyimpangan jumlah obat yang didistribusikan

Obat yang didistribusikan adalah sebesar stok optimum dikurangi dengan

(45)

14. Rata-rata waktu kekosongan obat

Persentase rata-rata waktu kekosongan obat dari obat indikator menggambarkan kapasitas sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai obat. Waktu kekosongan obat adalah jumlah hari obat kosong dalam waktu satu tahun.

15. Ketepatan waktu LPLPO

LPLPO yang merupakan sumber data pengelolaan obat sangat penting artinya sebagai bahan informasi pengambilan kebijakan pengelolaan obat. Salah satu syarat data yang baik adalah tepat waktu Ketepatan waktu pengiriman LPLPO adalah jumlah LPLPO yang diterima secara tepat waktu dibandingkan dengan jumlah seluruh LPLPO yang seharusnya diterima setiap bulan.

16. Kesesuaian ketersediaan obat program dengan kebutuhan

Obat yang disediakan untuk keperluan program biasanya diadakan oleh pusat dengan tidak memperhitungkan jumlah kebutuhan yang ada didaerah.

Sehingga seringkali jumlahnya tidak sesuai dan menyebabkan terjadi penumpukan yang akan menyebabkan obat menjadi rusak atau kadaluarsa. Kesesuaian ketersediaan obat program dengan jumlah kebutuhan adalah kesesuaian jumlah obat program yang tersedia di Instalasi Farmasi dengan kebutuhan untuk sejumlah pasien yang memerlukan obat program tersebut.

17. Kesesuaian permintaan obat

Sebagian kebutuhan obat-obatan di tingkat Kabupaten/Kota dapat dipenuhi oleh obat dari berbagai sumber. Ada kalanya permintaan dari Kabupaten/Kota tidak sesuai dengan obat yang tersedia. Kesesuaian pemenuhan obat adalah perbandingan antara jumlah permintaan yang diajukan oleh

(46)

Kabupaten/Kota dengan jumlah yang dapat dipenuhi oleh obat dari berbagai sumber.

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, (2010) dan Pudjaningsih, (1996) menetapkan beberapa indikator pengelolaan obat. Sejumlah indikator pengelolaan obat yang dipilih dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat

Tahap Indikator Nilai Standar

Perencanaan

Ketepatan perencanaan 100%-150% (Kemenkes, 2010)

Persentase Penyimpangan perencanaan

20-30% Pudjaningsih (1996)

Penyimpanan

Tingkat ketersediaan obat 12-18 bulan Pudjaningsih (1996)

Persentase jumlah dan nilai obat yang kadaluarsa/ rusak

≤0,2% dalam setahun (Kemenkes, 2010) Persentase stok obat mati 0 % Pudjaningsih (1996) ITOR (Inventory Turn Over

Ratio)

8-12 kali/tahun Pudjaningsih (1996) Sistem penyimpanan obat Sesuai FEFO/ FIFO

(Kemenkes, 2010) Persentase kecocokan jumlah

barang nyata dengan kartu stok 100% Pudjaningsih (1996) Distribusian Persentase waktu kekosongan

obat 10 hari Pudjaningsih (1996)

2.5 Tuberkulosis (TB) 2.5.1 Defenisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.

Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang,

(47)

terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberkulosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit (Depkes RI, 2005).

2.5.2 Patofisiologi tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune response. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) merupakan immunoresponse cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke alveoli, partikel akan melekat di dinding bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari, tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli. Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru dalam 6–8 minggu akan menimbulkan gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD 4 (cluster diffrentiated) agar memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga meningkatkan kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF (tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal. Basil tuberculosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini

(48)

dapat sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer disebut kompleks ghon.

Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB post primer. TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas terutama pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah (Price dan Standridge, 2006).

2.5.3 Klasifikasi tuberkulosis

Penentuan klasifikasi penyakit penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam definisi kasus menurut Depkes RI (2005), yaitu:

a. Organ tubuh yang sakit

b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung: BTA positif atau BTA negatif

c. Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati d. Tingkat keparahan penyakit: ringan-berat.

Ada beberapa klasifikasi TB paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar

(49)

2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchyma paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) ( Depkes RI, 2005).

a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam:

i. Tuberkulosis paru BTA positif adalah sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, 1 spesimen dahak hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

ii. Tuberkulosis paru BTA negatif adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

b. Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe pasien menurut Depkes RI (2011), yaitu:

i. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.

ii. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

(50)

iii. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

iv. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

v. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.

2.5.4 Tanda – tanda dan gejala klinis tuberkulosis

Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2005).

2.5.5 Diagnosis tuberkulosis

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi- Sewaktu (SPS). S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan

(51)

dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang (Depkes RI, 2007).

2.5.6 Terapi tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes RI, 2011).

2.6 Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan teori yang dipaparkan diatas, dapat dirangkum menjadi suatu kerangka teori dan digunakan sebagai dasar melakukan penelitian. Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, serta penggunaan obat secara rasional. Kerangka teori pengelolaan obat program TB dapat dilihat pada Gambar 2.1 .

(52)

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Menjamin Mutu dan

Menjamin Ketersediaan Obat

Perencanaan Penyimpanan

Pengelolaan Obat Program TB

Obat

Indikator/

Parameter

Distribusian

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara concurrent dan retrospektif. Bahan penelitian meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengambilan data concurrent yang dilakukan pada saat penelitian dilaksanakan dengan melakukan observasi dan wawancara dengan pihak yang terkait dalam manajemen obat di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yaitu Kepala Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Apoteker bagian pengelolaan sediaan farmasi. Data sekunder diperoleh dari pengambilan data retrospektif dengan menelaah dokumen-dokumen tahun sebelumnya yaitu tahun 2017 dan 2018 berupa kartu stok gudang, laporan bulanan, laporan tahunan, surat pesanan dan daftar obat dinas kesehatan.

Data yang diperoleh dikelompokkan menjadi data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan dengan analisis isi yaitu pertama identifikasi temuan, kedua dilakukan modifikasi dan hasilnya dikelompokkan menurut kelompok isinya, selanjutnya disajikan dalam bentuk tekstual berupa narasi. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara di bagian Instalasi Farmasi. Pengumpulan data penelitian

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Perencanaannn Kesesuaian  - Ketepatan perencanaan   - Persentase penyimpangan perencanaan  Pengelolaan Obat Program TB (Tuberkulosis) Penyimpanan Kesesuaian - Persentase tingkat ketersediaan obat
Tabel 2.1 Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Menjamin Mutu dan
Tabel 3.1  Defenisi Operasional Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Objek yang digunakan untuk dianalisis adalah cerita pendek berjudul ³)DWDPRUJDQD´ yang dimuat dalam kumpulan cerita pendek Panggung Wayang .Cerita pendek tersebut

nantinya pilot akan menemui banyak masalah seperti medan yang berangin, jarak pandang yang hanya mengandalkan kamera saat Quadcopter sudah terbang jauh dan tidak terlihat lagi

Oleh sebab itu seorang apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam berinteraksi langsung dengan pasien selain ilmu kefarmasiannya, terutama tentang

Menurut Andriani (2003), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap status gizi pada siswa Sekolah Dasar di daerah miskin perkotaan di Bogor, serta menurut Cahyaningrum (2005),

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj banyak kaum muslim dan para sahabat Nabi yang tidak mempercayainya. Namun Sahabat Abu Bakar meyakini bahwa Isra’ Mi’raj tersebut adalah benar,

Nilai wajar dari piutang pembiayaan konsumen - bersih dan piutang lain-lain diestimasi menggunakan diskonto arus kas, dengan mengacu pada rata-rata tertimbang dari

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu bagaimana proses pembuatan bioetanol dari limbah ampas

Berhubung dangan ituf maka beraama ini ka- mi mohon dangan hoxmat, audi apalah kiranya Bapak Kepala Pengadilan Negeri di Surabaja mgcerintah - kan kepada Kantor Tjatatan Sipil