i
RELEVANSI, KEJENUHAN DAN EFEKTIVITAS DAK KESEHATAN
© 2020, Kementerian PPN/Bappenas
Penanggung Jawab
Dr. Ir. Subandi Sardjoko , M.Sc dan Pungkas Bahjuri Ali, STP, M.S., Ph.D.
Penulis
Dewi Amila Solikha, SKM, MSc Muhammad Dzulfikar Arifi, SKM
Khoirunurrofik, S.Si, MA, MPM, IMRI, Ph.D
Editor
Pungkas Bahjuri Ali, STP, M.S., Ph.D.
Kontributor
Inti Wikanestri, SKM, MPA; Renova GM Siahaan, SE, M.Sc; Ardhiantie, SKM, MPH; Muhammad Zaki Firdaus, S. Farm, Apt; & Bahagiati Maghfiroh, S.Si.
Pengolah Data
Setya Agung Riyadi, ME; Assyifa Szami Ilman, SE; dan Hana Taqiyah, STP
Tim Layout Hafid Ramadhan
Diterbitkan dan dicetak oleh
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310
Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603, Email: [email protected]
Cetakan pertama: Mei 2020 ISBN: 978-623-93153-9-9
Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.
KATA PENGANTAR
Upaya pemerataan pembangunan kesehatan salah satunya dengan pemerataan supply side pelayanan kesehatan. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan salah satu skema pendanaan transfer ke daerah untuk pemerataan pembangunan kesehatan dan menjadi salah satu instrumen untuk mencapai target pembangunan nasional. Peningkatan alokasi anggaran DAK kesehatan setiap tahun memperbesar potensi DAK kesehatan dalam mendukung pencapaian target pembangunan nasional dan meningkatkan peran daerah dalam pembangunan kesehatan melalui pemanfaatan DAK yang terarah. Pada implementasinya, menu DAK kesehatan dipertanyakan efektivitasnya karena dinilai masih kurang terfokus pada pencapaian prioritas nasional. Dengan jumlah rincian menu yang mencapai 400, perlu ditinjau ulang relevansinya dengan prioritas nasional, tingkat kejenuhan dan efektivitas menu DAK kesehatan tersebut.
Studi ini mencoba mengurai relevansi berbagai menu DAK kesehatan dengan prioritas nasional pembangunan kesehatan, tingkat kejenuhan dari menu DAK yang diusulkan oleh daerah, dan efektivitas pemanfaatan DAK kesehatan. Harapannya, rekomendasi studi dapat memberikan masukan untuk penyusunan menu DAK pada periode selanjutnya.
Jakarta, Mei 2020
Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas
iii UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN
Buku ini diperuntukkan bagi para pemangku kepentingan yang berkontribusi pada perumusan perencanaan, penganggaran, dan pengelolaan DAK kesehatan. Buku ini sekaligus dapat diacu oleh akademisi sebagai bahan ajar untuk dapat lebih memahami mekanisme pemanfaatan dana transfer dalam pembangunan kesehatan. Buku ini memberikan analisis yang komprehensif mengenai DAK kesehatan dan mencoba menganalisis dari sisi relevansi, kejenuhan dan efektivitas DAK kesehatan.
Proses penyusunan buku ini melibatkan sejumlah pemangku kepentingan dari kementerian/lembaga, para pakar, akademisi, dan pemerintah daerah.
Penghargaan dan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kami sampaikan kepada seluruh pihak yang membantu dan memberikan kontribusi atas kerja kerasnya sehingga buku ini dapat disusun dengan baik.
Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada :
▪ Kontributor K/L: Kementerian Keuangan (Direktorat Dana Transfer Khusus), Kementerian Kesehatan (Biro Perencanaan dan Anggaran, Setditjen Yankes, Setditjen Kesmas, Setdijten Farmalkes, Setditjen P2P, Dit. Fasyankes), dan Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan).
▪ Para informan dalam focus group discussion dan diskusi tingkat pusat (Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri) dan para informan di tingkat daerah (Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, RSUD Dr.M Yunus Bengkulu, dan Puskesmas Pasar Ikan Kota Bengkulu).
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR SINGKATAN ... vii
RINGKASAN EKSEKUTIF ...viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Metodologi ... 2
1.4 Keterbatasan Studi ... 3
BAB II TINJAUAN LITERATUR ... 6
2.1 Relevansi Program dan Kebijakan Publik ... 6
2.2 Kejenuhan Kebijakan dan Program ... 7
2.3 Efektivitas Kebijakan/Program ... 8
2.4 Mereformasi Transfer Dana ke Daerah ... 10
BAB III ANALISIS RELEVANSI ... 12
3.1 Pendekatan Analisis Relevansi ... 12
3.2 Temuan Analisis Relevansi ... 13
BAB IV ANALISIS KEJENUHAN ... 19
4.1 Pendekatan Analisis Kejenuhan ... 19
4.2 Hasil Analisis Kejenuhan ... 20
BAB V ANALISIS EFEKTIVITAS ... 33
5.1 Pendekatan Analisis Efektivitas ... 33
5.2 Temuan Analisis Efektivitas ... 34
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 38
5.1 Kesimpulan ... 38
5.2 Lessons Learned dan Rekomendasi ... 40
LAMPIRAN ... 44
DAFTAR PUSTAKA ... 66
v DAFTAR TABEL
Tabel 1. Relevansi Menu DAK Kesehatan dengan Indikator RPJMN ... 14
Tabel 2. Persebaran Relevansi Indikator per Menu DAK Spesifik ... 15
Tabel 3. Kejenuhan Kelengkapan Sarana Puskesmas ... 21
Tabel 4. Kejenuhan Kelengkapan Prasarana Puskesmas ... 24
Tabel 5. Kejenuhan Pengadaan Ambulans ... 25
Tabel 6. Kejenuhan Pengadaan Genset ... 26
Tabel 7. Kejenuhan Pengadaan IPAL ... 27
Tabel 8. Kejenuhan Pengadaan Puskesmas Keliling Roda 2 ... 28
Tabel 9. Kejenuhan Pengadaan Puskesmas Keliling Perairan ... 29
Tabel 10. Kejenuhan Pengadaan Puskesmas Keliling Roda 4 Double Gardan ... 30
Tabel 11. Daftar Relevansi Menu Keseluruhan ... 44
Tabel 12. Jumlah Kelengkapan Ambulans Kondisi Baik, Tingkat Provinsi . 56 Tabel 13. Jumlah Kelengkapan Genset, Tingkat Provinsi ... 57
Tabel 14. Jumlah Kelengkapan IPAL, Tingkat Provinsi ... 58
Tabel 15. Jumlah Kelengkapan Puskesmas Keliling Segala Jenis dengan Kondisi Baik, Tingkat Provinsi ... 59
Tabel 16. Kejenuhan Pengadaan Puskesmas Keliling Roda 4 ... 63
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses Siklus Kebijakan ... 9
Gambar 2. Relevansi Indikator per Menu DAK Kesehatan ... 15
Gambar 3. Relevansi Indikator per Menu Spesifik ... 17
Gambar 4. Kejenuhan Kelengkapan Sarana Puskesmas ... 21
Gambar 5. Kejenuhan Kelengkapan Prasarana Puskesmas ... 23
Gambar 6. Kejenuhan Kelengkapan Alat di Puskesmas ... 31
Gambar 7. Hasil Regresi Hubungan RS Akreditasi dan DAK Reguler Rujukan ... 34
Gambar 8. Hasil Regresi Hubungan DAK Reguler Dasar dan Akreditasi Puskesmas ... 35
Gambar 9. Hasil Regresi Hubungan DAK Alat Kesehatan dan Rasio Tempat Tidur Puskesmas ... 35
Gambar 10. Hasil Regresi Hubungan antara DAK Reguler Sarana dan Jumlah Puskesmas Rawat Inap ... 36
Gambar 11. Rekomendasi Alur Simplifikasi Menu DAK Kesehatan ... 41
vii DAFTAR SINGKATAN
ASPAK : Aplikasi Sarana dan Prasarana Kesehatan Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional DAK : Dana Alokasi Khusus
Dinkes : Dinas Kesehatan Dit. : Direktorat
E-Katalog : Elektronik Katalog
Farmalkes : Kefarmasian dan Alat Kesehatan Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
K/L : Kementerian/Lembaga
Kab. : Kabupaten
Kemkes : Kementerian Kesehatan
IPAL : Instalasi Pembuangan Air Limbah Kesmas : Kesehatan Masyarakat
P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit PPN : Perencanaan Pembangunan Nasional PSC : Public Service Center
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RI : Republik Indonesia
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RS : Rumah Sakit
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SDM : Sumber Daya Manusia
Sesditjen : Sekretaris Direktorat Jenderal SPA : Sarana, Prasarana, dan Alat
SPPN : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional TFC : Therapeutic Feeding Center
UU : Undang-Undang
Yankes : Pelayanan Masyarakat
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan salah satu mekanisme pembiayaan pembangunan strategis dalam pencapaian sasaran dan target prioritas nasional dalam pembangunan kesehatan. Kebijakan pengusulan kegiatan DAK melalui proposal oleh daerah menunjukkan peningkatan peran dari daerah dalam desain kebijakan dan program di sektor kesehatan serta peningkatan ketepatan DAK dengan kebutuhan daerah. Banyaknya pilihan menu yang ditawarkan oleh pemerintah pusat saat ini menimbulkan pertanyaan apakah menu DAK kesehatan tersebut relevan dengan pencapaian target nasional, apakah masih dibutuhkan di daerah, dan apakah DAK kesehatan dimanfaatkan secara efektif. Studi ini bertujuan untuk melakukan evaluasi menu-menu DAK saat ini dengan melihat aspek relevansi menu tersebut dengan sasaran RPJMN, tingkat kejenuhan menu dalam pengusulan, serta tingkat efektivitas menu dalam memberikan daya ungkit bagi tercapainya output di bidang kesehatan.
Hasil analisis relevansi menunjukkan bahwa menu yang memiliki tingkat relevansi tertinggi didominasi oleh menu penguatan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Menu yang memiliki relevansi rendah di antaranya penyediaan sarana untuk fasilitas kesehatan lain seperti laboratorium kesehatan daerah dan regional maintenance center. Khusus DAK Penugasan, menu memiliki relevansi yang spesifik terhadap indikator prioritas nasional tertentu seperti menu Therapeutic Feeding Center (TFC) dan alat antropometri yang sangat relevan hanya terhadap indikator stunting.
Hal ini sesuai dengan skema penugasan yang bertujuan untuk mendukung daerah dalam dukungan pencapaian prioritas nasional tertentu.
Dalam analisis kejenuhan didasarkan pada data ASPAK Kementerian Kesehatan (September 2019), hasil studi menunjukkan 96% daerah di seluruh Indonesia sudah memiliki kelengkapan sarana Puskesmas di atas 70%. Untuk menu alat Puskesmas, terdapat 78% daerah di Indonesia dengan kelengkapan Puskesmas dibawah 50%, namun daerah-daerah tersebut cenderung tidak mendapatkan pagu dan/atau mendapatkan pagu yang bernilai rendah. Sementara itu, 75% Puskesmas daerah di Indonesia memiliki kelengkapan prasarana dibawah 50% dan cenderung tidak mengajukan proposal. Analisis kejenuhan diperdalam dengan mengambil contoh kasus pada 4 jenis prasarana Puskesmas, yaitu ambulans, genset, instalasi pembuangan air limbah (IPAL), dan puskesmas keliling. Studi menemukan
ix bahwa daerah dengan kapasitas fiskal rendah cenderung tidak mengajukan usulan DAK meskipun daerah tersebut memiliki kelengkapan prasarana dimaksud yang rendah. Di sisi lain, daerah-daerah yang memiliki kelengkapan genset dan IPAL yang relatif cukup tinggi, ternyata masih mendapatkan pagu pengadaan fasilitas tersebut. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa terdapat menu-menu kegiatan yang belum tepat sasaran dan berpotensi memberikan kesempatan bagi daerah yang memiliki kelengkapan tinggi untuk mendapatkan alokasi menu tersebut.
Hasil analisis efektivitas menunjukkan bahwa peningkatan alokasi DAK reguler efektif meningkatkan jumlah RS terakreditasi dan puskesmas terakreditasi. Di sisi lain, peningkatan alokasi alat kesehatan berpengaruh pada peningkatan rasio tempat tidur puskesmas dan peningkatan sarana puskesmas berpengaruh pada peningkatan puskesmas rawat inap.
Rekomendasi kebijakan dari hasil studi ini yaitu 1) penilaian ketiga aspek relevansi, kejenuhan, dan efektivitas menu DAK kesehatan dapat dijadikan metode dalam penentuan menu DAK kesehatan ke depan; 2) penilaian kejenuhan yang multi-kriteria dapat dilakukan dengan memformulasikan kejenuhan dengan memperhatikan tata kelola dan manajemen pelaksanaan menu DAK Kesehatan; 3) indikator kinerja sebagai dasar akuntabilitas dan pengukuran efektivitas pemanfaatan DAK kesehatan perlu ditetapkan; dan 4) peningkatan kualitas data aplikasi ASPAK (verifikasi dan validasi kondisi) sebagai basis data pemetaan ketersediaan sarana, prasarana, dan alat kesehatan di rumah sakit dan puskesmas, sehingga dapat meningkatkan kualitas pemanfaatan DAK kesehatan ke depan.
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi World Bank (2006) menemukan bahwa peran Kementerian Kesehatan mengalami pergeseran pada era otonomi daerah yang lebih berperan sebagai pembina dan pengawasan daripada sebagai pelaksana.
Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan karena lebih memahami permasalahan di daerah. Di sisi lain, perbedaan kapasitas pemerintah daerah menyebabkan masih belum sinkronnya pembangunan kesehatan antara pusat dan daerah serta belum terpenuhinya target yang ditetapkan. DAK merupakan salah satu instrumen transfer ke daerah yang diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk intervensi pemerintah pusat untuk mendukung daerah dalam melakukan pembangunan yang selaras dengan prioritas nasional dan pembangunan yang merata antardaerah.
Implementasi penyaluran DAK masih belum sempurna karena banyaknya menu dan rincian menu DAK yang menyebabkan peran DAK menjadi kurang terfokus dalam pencapaian prioritas nasional. Dengan jumlah menu DAK kesehatan lebih dari 400, pemerintah daerah selaku pengguna DAK Kesehatan dihadapkan pada banyak pilihan yang menyebabkan pembiayaan tidak diarahkan pada pembangunan prioritas.
Kemampuan daerah dalam melakukan assessment terhadap kebutuhan pemenuhan sarana prasarana kesehatan yang ada dan prioritisasi usulan menu DAK masih perlu dipertanyakan. Hal ini ditunjukkan oleh laporan DAK kesehatan yang seringkali terlambat dan inefisiensi anggaran, akibatnya sistem pelaporan belum dapat memberikan informasi penyerapan DAK secara valid dan tepat waktu. Selain itu, terdapat ketidakcocokan antara proses pengadaan alat dan sarana melalui e-katalog alat kesehatan yang dijadikan panduan dalam penggunaan DAK dengan kebutuhan daerah. Hal ini menunjukkan perlunya upaya simplifikasi menu DAK.
1.2 Tujuan
Studi ini diharapkan dapat menghasilkan informasi mengenai relevansi, kejenuhan, dan efektivitas DAK kesehatan. Studi ini mengevaluasi seluruh menu-menu DAK (DAK Reguler, Penugasan, dan Afirmasi) untuk mengetahui penilaian kinerja menu DAK dalam pembangunan prioritas.
1.3 Metodologi
Analisis dalam studi ini mencakup analisis relevansi, kejenuhan, dan efektivitas DAK kesehatan. Analisis relevansi dilakukan dengan mengevaluasi keterkaitan menu DAK Kesehatan dengan RPJMN. Sementara itu, analisis kejenuhan dilakukan untuk memastikan menu yang tersedia tidak jenuh. Analisis efektivitas bertujuan memastikan menu yang dirancang dan sudah relevan dengan tujuan RPJMN dan terbukti memberikan dampak keluaran.
Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu : 1. Desk Study dan literature review
Evaluasi awal dilaksanakan dengan analisis terhadap data sekunder yang berkaitan rencana, alokasi, dan realisasi kegiatan DAK Kesehatan.
Data yang digunakan bersumber dari aplikasi ASPAK Kemkes. Selain itu, dilakukan pula literature review sebagai bahan pertimbangan pengembangan kerangka berpikir dan analisis hasil studi.
Relevansi menu DAK terhadap
RPJMN RELEVANSI
Analisis Studi
Tingkat pengusulan daerah terhadap suatu menu/ rincian
menu SATURASI
Korelasi menu terhadap indikator
output EFEKTIVITAS
3 2. Diskusi
Diskusi dalam forum focus grup discussion dan wawancara mendalam guna mendapatkan informasi yang komprehensif melibatkan Kemkes, pakar, organisasi profesi, dan pemerintah daerah.
3. Kunjungan Daerah
Kunjungan ke daerah dilakukan untuk menggali informasi di lapangan.
Diskusi di daerah dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah daerah dan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan terpilih. Selain itu, kunjungan daerah juga digunakan untuk memverifikasi temuan dari hasil desk study dengan pelaksanaan di tingkat pelayanan kesehatan.
Kunjungan studi ini dilakukan ke Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, dan Puskesmas Pasar Ikan Kota Bengkulu.
1.4 Keterbatasan Studi
Studi ini memiliki keterbatasan sebagai berikut:
1. Ketidaklengkapan data pagu dan proposal. Data pagu dan proposal yang lengkap hanya pada tahun 2019, sehingga analisis yang memperhitungkan rasio pagu dan proposal hanya bisa dilakukan pada tahun tersebut.
2. Data ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di ASPAK bersifat kumulatif/stock, self report, dan belum divalidasi. Data ASPAK tidak mengukur perubahan jumlah fasilitas dalam rentang waktu tertentu sehingga mengakibatkan sulitnya identifikasi data time-series. Selain itu, terdapat inkonsistensi satuan dalam database ASPAK. Pelaporan data ASPAK yang dilakukan secara mandiri oleh Pemerintah Daerah menyebabkan beragamnya cara pelaporan ketersediaan suatu fasilitas pelayanan kesehatan, misal fasilitas genset bisa dilaporkan dalam bentuk unit KvA atau unit jumlah barang. Meskipun salah satu prasyarat dalam pengajuan proposal DAK Kesehatan adalah melengkapi database ASPAK, namun fakta di lapangan menemukan bahwa proses validasi data ASPAK sulit dilakukan. Hal ini berkaitan dengan seringnya pergantian SDM penginput data ASPAK di Puskesmas dan lemahnya transfer of knowledge dari penginput data di daerah sehingga rentan terjadi perbedaan dalam proses pengisian ASPAK.
3. Keterbatasan data output kesehatan di tingkat kabupaten/kota.
Dalam mengukur efektivitas, analisis hanya dilakukan di tingkat provinsi karena keterbatasan data di tingkat kabupaten/kota. Hal tersebut berdampak pada modifikasi menu DAK tertentu yang harus dijumlahkan dan indeks kapasitas fiskal yang perlu disesuaikan. Keterbatasan data
juga menyebabkan analisis efektivitas hanya dilakukan pada beberapa menu DAK serta belum dilakukan pembobotan dalam analisis kejenuhan.
4. Analisis relevansi belum dilakukan untuk keterkaitan tidak langsung dan belum melibatkan stakeholder yang luas dalam menilai relevansi. Derajat relevansi perlu ditelaah dalam studi lanjutan.
Tantangan yang ditemukan dalam pengukuran relevansi yaitu apakah menu DAK dikatakan relevan apabila memiliki keterkaitan tidak langsung dengan RPJMN. Analisis studi ini berfokus pada pengukuran relevansi dengan keterkaitan langsung, namun mengingat perlu juga mempertimbangkan daya ungkit dari menu DAK dengan keterkaitan tidak langsung. Proses pengukuran relevansi perlu dipertajam dengan melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas dan tepat untuk membantu menilai relevansi Menu DAK Kesehatan dengan Program RPJMN, menimbang analisis relevansi pada studi ini didasarkan pada penilaian yang cukup subjektif.
BAB II TINJAUAN LITERATUR
Bentuk transfer dengan tujuan khusus seperti DAK sebagai implikasi dari pergeseran peran dari pusat ke daerah diharapkan memiliki daya ungkit dalam pencapaian target nasional. Balaguer-Coll et al. (2009) menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya menjadi lebih efisien apabila pemerintah daerah mendapatkan wewenang lebih. Munoz et al. (2017) dalam studinya menemukan bahwa skema desentralisasi seperti yang dilakukan melalui DAK telah berhasil menunjukkan dampak positif secara keseluruhan, namun disertai dengan tingginya tantangan dalam pengelolaan SDM. Selain itu, optimalisasi dapat dilakukan dengan melakukan realokasi sumber anggaran ke menu kegiatan yang memang dibutuhkan. Menu DAK yang minim penggunaannya dapat mengakibatkan pola belanja yang tidak mempertimbangkan skala keekonomian dan perlu ditinjau ulang.
2.1 Relevansi Program dan Kebijakan Publik
Secara spesifik di Indonesia, Heywood dan Choi (2010) melakukan studi mengenai performa/kinerja sistem kesehatan di Indonesia setelah desentralisasi. Mereka menemukan bahwa hanya terdapat sedikit peningkatan dalam hal performa/kinerja sistem kesehatan setelah desentralisasi seiring dengan semakin banyak dana yang ditransfer. Lebih lanjut, studi ini juga menekankan problematika yang muncul dalam hal pengelolaan dana yang ditransfer dari pusat untuk belanja kesehatan dan diperberat dengan belum adanya upaya yang signifikan untuk mengintegrasikan program di tingkat daerah dan nasional agar selaras satu sama lain.
Di Indonesia, kebijakan serupa juga telah diterapkan melalui penetapan UU Nomor 25 Tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN memandu Pemerintah untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, maupun antarfungsi pemerintah di pusat dan daerah. Mengingat tantangan yang ditemukan seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, juga tantangan lainnya seperti inkonsistensi peraturan perundangan, belum tertata dengan baik kelembagaan yang menjalankan fungsi tertentu, hingga penyesuaian dengan visi misi dan janji politik kepala daerah terpilih membuat capaian strategis yang dijabarkan melalui target prioritas nasional menjadi lebih sulit
7 dicapai. Kementerian PPN/Bappenas RI bersama dengan K/L terkait telah
menerbitkan modul sinkronisasi RPJMD-RPJMN sebagai bentuk respon untuk mengatasi permasalahan tersebut yang selanjutnya dapat dijadikan acuan.
2.2 Kejenuhan Kebijakan dan Program
Belum banyak literatur yang menguraikan teknik atau pengukuran yang secara spesifik untuk menilai tingkat kejenuhan suatu kebijakan. Kejenuhan belum memiliki definisi resmi dan cenderung diartikan dalam dua hal.
Anderson dan Winarno (2012) cenderung menggambarkan kejenuhan sebagai suatu kondisi dimana kegiatan memiliki kemiripan atau nilai/fungsi yang tumpang tindih (duplikasi) dengan program lain, sehingga dianggap tidak sepenuhnya otentik dan tidak memberi daya ungkit yang tinggi dibandingkan dengan program lainnya. Di sisi lain, Bardach (1976) cenderung menitikberatkan pada terminologi “penghapusan kebijakan”, dimana ia juga menyatakan bahwa studi mengenai penghapusan suatu kegiatan jarang dilakukan apabila dibandingkan dengan studi implementasi dan studi evaluasi suatu program.
Berdasarkan penjabaran studi tersebut, pemahaman mengenai tingkat kejenuhan suatu program/kebijakan sepatutnya didasari oleh gabungan antara kedua aspek studi tersebut. Informasi mengenai kejenuhan suatu program diharapkan dapat membantu mengurangi menu kegiatan DAK yang terlalu banyak dan selanjutnya penggunaan DAK dapat dialokasikan ke menu DAK yang berpotensi memberikan daya ungkit lebih. Untuk itu, pemetaan mengenai menu kegiatan yang cenderung memiliki unsur duplikasi dan sedikit diminati oleh pemerintah daerah patut ditinjau kembali. Selain itu, menu kegiatan yang telah tersaring selanjutnya dapat dianalisis kejenuhannya dengan mempertimbangkan komponen yang telah dijabarkan sebelumnya.
2.3 Efektivitas Kebijakan/Program
Efektivitas suatu program didefinisikan sebagai tingkat signifikansi pelaksanaan suatu kegiatan dalam pencapaian indikator tujuan. Pengukuran efektivitas biasanya dilakukan dengan tujuan: (i) memahami dampak dari kebijakan/program yang telah dilakukan, (ii) mengidentifikasi tindakan yang perlu diambil di masa depan agar dapat meningkatkan kualitas kegiatan yang dijalankan, dan (iii) meningkatkan kapasitas dalam pembuatan suatu kebijakan yang dilandaskan dengan bukti empiris yang didapatkan dari proses pengukuran efektivitas. Dengan memahami tingkat efektivitas suatu program, diharapkan dapat mampu meningkatkan kemampuan untuk memformulasikan kebijakan dan strategi implementasi yang lebih baik.
Jacob (2019) menjabarkan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas suatu kebijakan. Pertama, rendahnya pengawasan terhadap tindakan penyimpangan dalam pelaksanaan program. Kedua, adanya spillover atau tambahan manfaat atau biaya berlebih yang tidak dapat ditangkap atau dibebankan oleh pemangku kepentingan yang ditargetkan.
Ketiga, rendahnya pemahaman kontekstual mengenai sumber daya yang mendukung jalannya program/kebijakan. Keempat, adanya disinsentif biaya yang dikeluarkan dengan berjalannya program/kebijakan, namun tidak diiringi dengan gains yang mencukupi.
Dalam melakukan pengukuran efektivitas, terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan. Pradhan et al. (2017) mendefinisikan kebijakan, praktik dan kinerja, serta umpan balik dari suatu kebijakan untuk menelusuri efektivitas suatu kebijakan. Waddington dan Snilstveit (2010) memberikan pendapat lain dengan hanya fokus pada pendekatan evaluasi dampak sebagai bentuk pengukuran efektivitas suatu kebijakan. Evaluasi dampak merupakan metodologi yang mengukur seberapa besar capaian keluaran yang diamati dapat dikaitkan dengan program/kebijakan. Pinter et al. (2004) menjabarkan pendekatan indikator sebagai pendekatan yang ideal dalam memberikan wawasan kepada pembuat kebijakan mengenai ilustrasi suatu konsep ideal suatu capaian yang juga digunakan sebagai instrumen untuk mengukur efektivitas dan lebih lanjut mempertimbangkan perubahan suatu kebijakan.
Berdasarkan beberapa studi tersebut, dapat dikatakan bahwa pengukuran efektivitas suatu kegiatan/kebijakan tidak dapat terlepas dari berbagai proses yang sudah disebutkan. Boyle et al. (1996) melakukan penggabungan siklus
9 kebijakan sebagai bentuk amalgamasi dari konsep-konsep tersebut yang
dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah.
Gambar 1. Proses Siklus Kebijakan
Sumber: Boyle et al. (1996)
Policy Intent merupakan tujuan yang diadopsi pemerintah dan diformulasikan dalam bentuk pernyataan kebijakan (yang selanjutnya dikemas dalam bentuk dokumen perencanaan strategis). Pernyataan ini selanjutnya diterjemahkan menjadi kerangka kebijakan dan diaplikasikan ke berbagai sasaran kelompok. Kekuatan dan kelemahan suatu kebijakan, yang pada akhirnya berpengaruh pada efektivitas suatu kebijakan, salah satunya didasari pada tingkat pemahaman eksekutor terhadap program/kebijakan yang sedang dijalankan. Dampak yang dihasilkan dari pelaksanaan program tersebut kemudian dianalisis tingkat efektivitasnya dengan mempertimbangkan indikator-indikator yang telah ditetapkan di awal perencanaan kebijakan.
2.4 Mereformasi Transfer Dana ke Daerah
Dalam menganalisis peran DAK Kesehatan, beberapa opsi reformasi transfer yang sudah dilakukan dapat menjadi acuan dalam Brennas dan Pincs (1999) mendorong pentingnya suatu dana yang ditransfer memberikan dampak keluaran sesuai yang diharapkan. Dalam studinya, mereka menyarankan perlunya melengkapi transfer dana ke daerah dengan kontrak implisit atau eksplisit antara pemerintah pusat dan daerah penerima sebagai alat untuk mengontrol perilaku penerima. Beberapa tindakan lain yang dapat dilakukan adalah meningkatkan koordinasi antarprogram dalam rangka mengurangi inkonsistensi dan tumpang tindih kegiatan, serta memperkuat kerja sama antar pemerintah daerah.
Beberapa reformasi kebijakan DAK Kesehatan dapat dilakukan. Pertama, mengurangi jumlah daerah penerima program DAK yang berskala kecil. Hal ini menimbang daya ungkitnya terhadap prioritas nasional yang tidak signifikan, namun memiliki beban biaya yang berat. Kedua, DAK Kesehatan dapat diintervensi agar dapat menumbuhkan kompetisi antardaerah dalam penggunaannya. Kompetisi antardaerah diperlukan agar setiap daerah dapat menggunakan dana dengan sebaik-baiknya. Ketiga, membentuk komposisi plafon alokasi DAK Kesehatan agar dapat dikelompokkan untuk program yang sifatnya tugas wajib dan tambahan. Hal ini ditujukan untuk menjamin kepastian bahwa setiap daerah akan mengutamakan pelaksanaan tugas wajib yang selanjutnya dapat dikaitkan menu DAK dengan prioritas nasional.
Keempat, melakukan penyederhanaan cakupan pemberian DAK agar program yang didanai lebih efektif dan mendorong capaian prioritas nasional.
Kelima, pembentukan kriteria seleksi yang lebih ketat. Kriteria seleksi ditujukan bagi program-program yang akan dirancang untuk masuk pendanaan DAK Kesehatan. Adapun indikator yang dapat dipertimbangkan diantaranya adalah prioritas di bidang pelayanan dasar dan pemberian dampak ekonomi (nilai tambah ekonomi dan kualitas SDM).
BAB III ANALISIS RELEVANSI
3.1 Pendekatan Analisis Relevansi
Analisis relevansi bertujuan mengevaluasi apakah menu DAK kesehatan memiliki daya ungkit terhadap pencapaian prioritas nasional. Analisis dilakukan terhadap daftar menu DAK kesehatan yang mengalami perkembangan dari tahun ke tahun dari sisi jumlah dan jenis menu.
Perkembangan menu DAK berpotensi menyebabkan pergeseran peran DAK sebagai pendukung ketercapaian prioritas nasional di daerah (komplementer) menjadi pendanaan operasional di bidang kesehatan yang seharusnya dapat dipenuhi APBD (substitusi).
Pengukuran relevansi dilakukan terhadap menu DAK Kesehatan tahun 2019 baik dengan RPJMN 2015-2019 maupun RPJMN 2020-2024. Hal ini karena mempertimbangkan hasil simplifikasi menu DAK akan menjadi referensi dalam perumusan menu DAK Kesehatan periode pembangunan berikutnya.
Secara umum, tahapan pengukuran relevansi adalah sebagai berikut.
3.1.1 Pemetaan RPJMN
a. Pemetaan Sasaran Kegiatan
Bertujuan mengidentifikasi sasaran kegiatan dalam matriks RPJMN untuk menentukan sasaran mana yang dapat menjadi representasi indikator ketercapaian menu DAK Kesehatan.
b. Pemetaan Indikator dan Sasaran
Indikator perlu diselaraskan dengan sasaran, sehingga membantu memetakan posisi indikator tersebut terhadap sasaran yang ingin dicapai, dan mengkaitkan dengan kegiatan dan program prioritas yang ada.
c. Identifikasi Kategori Indikator
Tahapan terakhir adalah kategorisasi indikator dengan kode karakter yang memudahkan proses pemetaan dengan menu. Selain itu, indikator juga dikategorikan menjadi: (i) baru, (ii) turunan, (iii) lama/sama untuk mengidentifikasi konsistensi indikator tersebut dalam RPJMN 2020- 2024. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa suatu indikator bisa dianggap turunan jika secara nomenklatur merupakan pecahan dari indikator yang ada di RPJMN periode sebelumnya (2015-2019).
13 3.1.2 Pemetaan Menu DAK Kesehatan
a. Penjabaran Menu DAK Kesehatan
Menu DAK Kesehatan setiap tahun tidak hanya mengalami perubahan secara jumlah namun juga cakupan. Menu DAK Kesehatan dapat mengalami perpindahan tingkat seperti dari menu menjadi rincian menu atau meningkat menjadi sub-bidang. Untuk itu, menu DAK selama lima tahun perlu dikategorisasikan status tingkatannya dan berdasarkan jenis DAK Kesehatan (DAK Fisik: Reguler, Afirmasi, Penugasan, dan DAK Non Fisik).
b. Klasifikasi Konsistensi dan Pergeseran Menu DAK Kesehatan
Setelah status tingkatan menu dikategorisasi, menu tersebut diukur konsistensinya setiap tahun. Pengelompokkan ini diharapkan dapat menunjukkan karakteristik dari masing-masing menu. Menu juga perlu dianalisis untuk melihat adanya peleburan/pemekaran menu dan/atau naik/turunnya status tingkatan menu tersebut.
3.1.3 Pengukuran Relevansi Menu DAK Kesehatan dengan Program Prioritas RPJMN
Pengukuran relevansi dilakukan dengan pemetaan menggunakan tabel matriks menu DAK Kesehatan dan Program Prioritas RPJMN lalu dinilai relevansinya. Menu DAK digolongkan memiliki relevansi dengan program prioritas RPJMN apabila ada keterkaitan relevansi langsung, artinya menu DAK tersebut memiliki kegiatan spesifik dan mendukung ketercapaian indikator RPJMN. Menu DAK yang memiliki relevansi tidak langsung dicirikan dengan hubungan yang relatif terlalu jauh antara dua variabel, misalnya pembangunan call center PSC 119 dan capaian eliminasi kusta.
3.2 Temuan Analisis Relevansi
Bagian ini membahas seberapa banyak menu DAK yang dianggap relevan dalam pencapaian indikator RPJMN. Sebaran capaian relevansi menu dan indikator terletak pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Relevansi Menu DAK Kesehatan dengan Indikator RPJMN (10 Teratas dan 10 Terbawah)
Menu DAK Kesehatan (10 teratas) % Relevansi
Pembangunan Baru Puskesmas 52,25
Renovasi Puskesmas 49,55
Rumah Sakit Pratama 34,23
Penyediaan Puskesmas Keliling 32,43
Ruang Rawat Inap RS 32,43
Set Alat Pemeriksaan Umum 32,43
Peralatan UKM Puskesmas 31,53
Alat Kesehatan Rawat Jalan 31,53
Set Pemeriksaan KIA dan Imunisasi 31,53 Menu DAK Kesehatan (10 Terbawah) % Relevansi
Kendaraan Pemeliharaan 3,60
Hiperbaric Chambers 3,60
Pengendali Vektor Schistosomiasis 3,60
BHP DBD 2,70
Pembangunan Regional Maintenance Center 1,80
Kendaraan Lab Kesehatan Daerah 1,80
Rehabilitasi Lab Kesehatan Daerah 1,80
Alat Lab Kesehatan Daerah 1,80
Prasarana Lab Kesehatan Daerah 1,80
Sumber: Dit. KGM Bappenas, 2019
Dari Tabel 1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa menu yang dianggap paling relevan dengan indikator RPJMN adalah menu-menu yang didominasi oleh penyediaan sarana, prasarana, dan alat kesehatan. Sebaliknya, menu-menu yang ada di peringkat terbawah adalah menu DAK yang bersifat komplementer (pelengkap). Secara umum, tingkat relevansi menu DAK reguler mencapai 52,25% dari seluruh indikator dalam RPJMN dan apabila dirata-rata tingkat relevansi seluruh menu adalah 28%. Gambar 2 menunjukkan capaian relevansi indikator untuk setiap menu. Secara garis besar, terdapat 119 menu yang memiliki tingkat relevansi diatas rata-rata dan terdapat 194 menu yang memiliki relevansi dibawah rata-rata. Untuk mengetahui lebih lanjut, daftar keseluruhan relevansi menu DAK dapat dilihat pada Tabel Appendix.
15 Gambar 2. Relevansi Indikator per Menu DAK Kesehatan
Sumber: Dit. KGM Bappenas, 2019 | Catatan: Kode Menu merujuk pada Tabel Appendix 8
Dari sisi persentase relevansi indikator RPJMN terhadap Menu DAK Spesifik, analisis ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Persebaran Relevansi Indikator per Menu DAK Spesifik (10 Teratas dan 10 Terbawah)
Menu Indikator RPJMN
yang Relevan % 10 TERATAS
Pembangunan Baru Puskesmas 58 52.25
Pembangunan/Renovasi PKM PONED 58 52.25
Renovasi/Rehabilitasi Puskesmas 55 49.55
Pembangunan Rumah Sakit Pratama 38 34.23
Pusling Single Gardan 36 32.43
Rawat Inap Kelas I, II dan III 36 32.43
Penyediaan Set Pemeriksaan Umum 35 31.53
Penyediaan Peralatan UKM (Pustu Set, PHN Kit, Imunisasi Kit, UKS Kit, UKGS Kit, Bidan Kit, Posyandu Kit, Kesling Kit)
35 31.53
Alat Kesehatan Instalasi Rawat Jalan 35 31.53
Pusling perairan 35 31.53
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 20 40 60 80 100 120
Afirmasi_A Afirmasi_D-J Afirmasi_K Afirmasi_T Baru_Penugasan_A Baru_Penugasan_AI Baru_Penugasan_AR Baru_Penugasan_F Baru_Penugasan_O Baru_Penugasan_X Baru_Reguler_AG Baru_Reguler_AP Baru_Reguler_H Baru_Reguler_Q Baru_Reguler_Z Dasar_AH Dasar_AQ Dasar_AZ Dasar_C Dasar_K-L Dasar_T Farmasi_A-F Farmasi_G-L Farmasi_P-Q Penugasan_AB Penugasan_AK Penugasan_D Penugasan_M Penugasan_V Rujukan_AC Rujukan_AL Rujukan_AU Rujukan_C Rujukan_L Rujukan_U Persentase Relevansi
Jumlah Indikator
Jumlah Indikator Persentase Indikator Relevan
Average: 28.1%
Tabel 2. Persebaran Relevansi Indikator per Menu DAK Spesifik (10 Teratas dan 10 Terbawah) (Tabel Lanjutan)
Menu Indikator RPJMN
yang Relevan % 10 TERBAWAH
Rehabilitasi Laboratorium Schistosomiasis 4 3.60
Alat Pengendalian Vektor Schistosomiasis (Perangkap Tikus)
4 3.60
Hiperbaric Chambers (Khusus RS Daerah Pariwisata Pantai/Selam)
4 3.60
Penyediaan Bahan Habis Pakai Lab Schistosomiasis 4 3.60
Pengadaan BHP Pengendalian DBD 3 2.70
Prasarana (limbah dan listrik) Labkes/Labkesda 2 1.80
Set Laboratorium (Labkesda) 2 1.80
Renovasi/Rehabilitasi Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda)
2 1.80
Kendaraan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda)
2 1.80
Pembangunan Regional Maintenance Center (RMC) 2 1.80
Sumber: Dit. KGM Bappenas, 2019
Dari Tabel 2 tersebut, dapat ditemukan bahwa menu yang memiliki relevansi dengan banyak indikator RPJMN banyak yang bersifat fisik (pembangunan/renovasi gedung) serta pengadaan peralatan fisik (pusling, set alat kesehatan). Selain itu, menu DAK Penugasan bersifat relevan terhadap indikator RPJMN tertentu yang bersifat spesifik contohnya yaitu menu pengendalian vektor schistosomiasis. Untuk mengetahui lebih lanjut, daftar keseluruhan relevansi menu DAK dapat dilihat pada Tabel Appendix.
17 Gambar 3. Relevansi Indikator per Menu Spesifik
Sumber: Dit. KGM Bappenas, 2019 | Catatan: Kode Menu merujuk pada Tabel Appendix 9
0 20 40 60 80 100 120 140
0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00
0 10 20 30 40 50 60 70
Afirmasi_N Penugasan_Z Afirmasi_Q Afirmasi_X Penugasan_AA Penugasan_AB Penugasan_AE Dasar_AJ Penugasan_X Afirmasi_AA Penugasan_AP Baru_Penugasan_B Baru_Penugasan_U Baru_Penugasan_N Baru_Penugasan_AL Afirmasi_D-J Baru_Reguler_AF Dasar_AN Baru_Penugasan_Z Dasar_T Farmasi_N-O Afirmasi_B Penugasan_I Penugasan_C Penugasan_M Penugasan_P Persentase Relevansi
Jumlah Indikator yang Relevan
Program Relevan Persentase
Average: 16.5%
19 BAB IV ANALISIS KEJENUHAN
4.1 Pendekatan Analisis Kejenuhan
Tujuan dari analisis ini adalah memetakan menu kegiatan DAK yang memiliki tingkat kejenuhan yang cukup tinggi sebagai bahan pertimbangan untuk menghilangkan opsi menu kegiatan di DAK tahun berikutnya. Tingkat kejenuhan didefinisikan sebagai menu/kegiatan yang memiliki tingkat pengusulan daerah yang rendah dan tingkat pengalokasian anggaran terhadap usulan tersebut juga rendah.
Indikator dalam mengukur kejenuhan antara lain jumlah dan frekuensi pengusulan menu DAK yang diukur dengan dua variabel, yaitu nilai proposal DAK yang diajukan dan nilai pagu DAK Kesehatan yang didapatkan. Kedua, dilihat dari tingkat pemanfaatan menu DAK dengan melihat persebaran secara spesifik daerah yang memanfaatkan menu DAK tertentu. Ketiga, berdasarkan realisasi anggaran DAK Kesehatan yang tidak berhasil diserap secara optimal, sehingga mengindikasikan kejenuhan dari menu tersebut di daerah tertentu.
Analisis kejenuhan dibatasi pada menu DAK yang terkait dengan pelayanan kesehatan di Puskesmas dengan fokus pada sarana, prasarana, dan alat kesehatan. Analisis lebih detail hingga tingkat rincian menu diterapkan dengan mengambil sampel pada menu prasarana pelayanan kesehatan yaitu Ambulans, Genset, Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL), dan Puskesmas Keliling (Pusling) Roda 2, Roda 4, Roda 4 Double Gardan, dan Perairan. Data analisis bersumber dari Aplikasi Sarana, Prasarana dan Alat Kesehatan (ASPAK) Kementerian Kesehatan yang mencakup laporan tingkat kelengkapan sarana, prasarana, dan alat kesehatan dari setiap Puskesmas di seluruh Indonesia.
Salah satu tantangan dalam analisis kejenuhan yaitu keterbatasan data.
Meskipun salah satu prasyarat dalam pengajuan proposal DAK Kesehatan adalah melengkapi database ASPAK, namun fakta di lapangan menunjukkan proses validasi data ASPAK sulit dilakukan. Hal ini berkaitan dengan seringnya pergantian SDM penginput data ASPAK di Puskesmas, sehingga menghambat proses validasi yang dilakukan oleh Dinkes setempat. Proses inventarisasi di puskesmas daerah juga terhambat oleh keterbatasan kemampuan pengelolaan inventarisasi, contoh kasusnya yaitu terdapat beberapa dokumen kelengkapan yang tidak diupdate sejak tahun 1995.
Dalam pengisian ASPAK terdapat perbedaan persepsi antara Dinkes dengan penginput data. Penginput data (Puskesmas) didorong untuk mengisi data selengkap mungkin, sehingga berpotensi terjadinya overestimate kelengkapan fasilitas layanan kesehatan. Sistem ASPAK juga memiliki keterbatasan yaitu hanya menggambarkan data ketersediaan dan kondisi prasarana namun belum menggambarkan kondisi kebutuhan (masih bersifat kumulatif). Hal ini mengindikasikan pencatatan dilakukan tanpa mempertimbangkan perubahan periodik. Pengisian yang dilakukan oleh setiap RS dan Puskesmas tidak terjadwal secara formal, sehingga sulit untuk mengukur dampak dari perubahan tahunan. Selain itu, masih banyak RS dan Puskesmas yang tidak melengkapi seluruh informasi kelengkapan sarana, prasarana, dan alat kesehatan. Studi ini menggunakan data ASPAK yang dikemas dalam Format SQL dengan mengambil dataset terkini pada September 2019.
Permasalahan lainnya yaitu beberapa pemerintah daerah belum memperhitungkan aspek penyusutan dari suatu kebutuhan yang diajukan di dalam proposal DAK. Beberapa fasilitas kesehatan seperti ambulans yang mengalami penyusutan setiap tahunnya tentu perlu diukur nilai penyusutannya agar proposal DAK yang diajukan memiliki nilai yang realistis.
Sebagai contoh, perwakilan Puskesmas Kota Bengkulu menyatakan bahwa dalam mengajukan kebutuhan yang benar-benar diperlukan, ada kalanya informasi tersebut tidak tersampaikan ke pusat. Semua jenis usulan yang diajukan oleh puskesmas akan di-review terlebih dahulu oleh Dinas Kesehatan setempat. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi antara puskesmas dan dinas kesehatan dalam pendataan rincian kebutuhan yang akan diajukan ke pusat.
4.2 Hasil Analisis Kejenuhan
4.2.1 Analisis Kejenuhan Sarana Kesehatan
Analisis kejenuhan sarana kesehatan menemukan bahwa 96%
kabupaten/kota di seluruh Indonesia sudah memiliki kelengkapan sarana Puskesmas di atas 70%. Hal ini mengindikasikan bahwa menu-menu yang memiliki keterkaitan dengan sarana berpotensi jenuh yang dapat dipertimbangkan agar menu tersebut hanya dibuka untuk 4% kabupaten/kota dengan kelengkapan sarana Puskesmas di bawah 70% melalui skema penugasan. Menu-menu terkait sarana bertujuan mendorong terciptanya
21 fasilitas yang sudah tersedia secara lengkap di hampir seluruh kota dan
kabupaten di Indonesia.
Gambar 4. Kejenuhan Kelengkapan Sarana Puskesmas
Sumber: Dit KGM Bappenas, 2019i | Catatan: Grafik Pie menggambarkan persentase total kabupaten dan jumlah kabupaten untuk setiap klasifikasi
Tabel 3. Kejenuhan Kelengkapan Sarana Puskesmas
Kabupaten
Status Kapasitas
Fiskal
Kelengkapan Sarana (ASPAK sept
2019) (%)
Nilai Pagu DAK (Juta Rupiah)
Nilai Proposal DAK (Juta Rupiah)
Growth Pagu 2019 (%)
Rasio Pagu terhadap
Proposal 2019 (%)
Growth Proposal 2020 (%)
2018 2019 2019 2020
Kota Jakarta Pusat
Sangat Tinggi
62,60 - - - - - - -
Kota Jakarta Barat
Sangat Tinggi
72,12 - - - - - - -
Kab.
Bekasi Tinggi
92,20 - - - - - - -
Kab. Kutai
Timur Sedang
80,72 4.201 5.125 35.121 46.617 22,0 14,6 32,7
Kab. Berau Rendah
64,32 5.754 4.556 9.170 11.610 -20,8 49,7 26,6
Kab.
Jember Rendah
99,94 6.254 2.123 62.330 2.725 -66,1 3,4 -95,6
Kab.
Bengkulu Selatan
Sangat Rendah
98,03 1.273 2.850 28.000 33.698 124,0 10,2 20,4
Kab.
Bengkulu Utara
Sangat Rendah
95,79 700 2.552 10.988 59.755 264,5 23,2 443,8
Nasional 92,85 3.204.358 4.089.273 16.796.914 47.842.235 27,6 24,3 184,8 Sumber: Dit.KGM Bappenas, 2019i | Catatan: Growth pagu dan growth proposal merupakan perbandingan data tahun yang ada dengan tahun sebelumnya.
5 (1%)
17 (3%)
104 (20%)
388 (76%)
<50% 50%-70% 70%-90% >90%
Tabel 3 di atas merangkum temuan kejenuhan di bidang sarana Puskesmas di beberapa daerah. Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan sangat tinggi1 cenderung tidak mengajukan DAK untuk peningkatan sarana Puskesmas.
Walaupun hal ini mengindikasikan bahwa DAK Kesehatan berfungsi dengan baik yaitu digunakan di daerah-daerah yang mengalami kesulitan pembangunan di bidang kesehatan, namun terdapat daerah kapasitas fiskal rendah yang tidak mengajukan DAK Kesehatan dalam beberapa tahun terakhir walaupun kelengkapan sarananya masih sekitar 60%.
Di sisi lain, daerah-daerah dengan kelengkapan yang cukup tinggi seperti Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Bengkulu Utara tetap mengajukan proposal DAK Kesehatan di bidang sarana Puskesmas dan mendapatkan pagu yang meningkat secara drastis dari tahun sebelumnya, walaupun pagu tersebut memiliki angka yang jauh lebih kecil dari proposal yang diajukan. Sebagai upaya perbaikan ke depan, perlu dilaksanakan proses verifikasi dan validasi terhadap kondisi sarana di Puskesmas, sehingga penilaian usulan daerah melalui DAK dapat lebih tervalidasi dan sesuai dengan kondisi kebutuhan daerah.
Di tingkat nasional, kelengkapan sarana Puskesmas berdasarkan data ASPAK telah mencapai hampir 93%, namun daerah tetap mengajukan proposal sehingga terdapat kenaikan hampir 200% pada proposal pengajuan DAK Kesehatan di bidang Sarana. Dengan meninjau kembali urgensi memasukkan menu DAK di bidang Sarana dalam daftar menu DAK Kesehatan, salah satu nilai positifnya selain potensi penghematan anggaran juga dapat membantu mengarahkan pemerintah daerah untuk mengajukan proposal pada bidang lain yang kelengkapannya lebih rendah. Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam penggunaan menu sarana adalah mengalihkan menu tersebut dari DAK regular menjadi DAK Penugasan yang dapat ditujukan hanya untuk daerah-daerah dengan kelengkapan sarana yang rendah. Studi ini tidak merekomendasikan menu tersebut secara eksplisit dihilangkan dalam menu DAK ke depan, namun diarahkan penggunaannya dengan membatasi pada daerah-daerah tertentu yang membutuhkan menu tersebut.
1 Klasifiksasi Indeks Kapasitas Fiskal Daerah mengacu pada Peraturan Kementerian Keuangan di tahun Indeks Kapasitas Fiskal Daerah berlaku.
23 4.2.2 Analisis Kejenuhan Prasarana Kesehatan
Analisis kejenuhan pada bidang prasarana menunjukkan bahwa 75%
kabupaten/kota di Indonesia memiliki kelengkapan prasarana Puskesmas dibawah 50% (Gambar 5). Walaupun sebagian besar daerah memiliki kelengkapan prasarana rendah, namun daerah-daerah tersebut cenderung tidak mendapatkan pagu dan/atau mendapatkan pagu yang bernilai rendah di tahun 2019. Hal ini ditunjukkan oleh Kota Surabaya dan Kabupaten Bengkulu Utara. Di sisi lain, daerah dengan kelengkapan prasarana yang cukup tinggi seperti Kota Bengkulu, mendapatkan alokasi pagu yang cukup tinggi. Semua temuan ini menunjukkan bahwa menu yang terkait dengan penyediaan prasarana sebenarnya belum jenuh, ditunjukkan oleh kelengkapan prasarana yang rendah. Hal tersebut mengindikasikan menu- menu terkait prasarana belum sepenuhnya diarahkan ke daerah yang membutuhkan, baik dari segi status kapasitas fiskal yang rendah maupun kelengkapan prasarana yang rendah.
Gambar 5. Kejenuhan Kelengkapan Prasarana Puskesmas
Sumber: Dit. KGM Bappenas, 2019 | Catatan: Grafik Pie menggambarkan persentase total kabupaten dan jumlah kabupaten
387 (75%) 113
(22%) 10 (2%)
4 (1%)
<50% 50%-70% 70%-90% >90%