• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih bersifat pluralistik, artinya beraneka ragam sistem hukum waris di Indonesia berlaku di wilayah yang sama pula. Contohnya bagi masyarakat yang beragama Islam berlaku hukum waris Islam, bagi masyarakat adat yang masih tunduk pada hukum adat berlaku hukum waris adat dan bagi warga Negara keturunan Tionghoa, Eropa dan Timur Asing berlaku hukum waris perdata barat (Burgerlijk Wetboek/BW). Hal ini terbukti dengan masih berlakunya hukum waris perdata secara bersama-sama, berdampingan dengan para subyek Hukum yang tunduk pada masing-masing hukum waris tersebut.

Dalam Negara Indonesia, hukum waris yang berlaku mengakibatkan timbulnya praktek-praktek penyelesaian kewarisan yang dipergunakan oleh masyarakat, seperti hukum waris adat, hukum waris Islam, hukum waris perdata barat (BW)

Pada prinsipnya secara umum pengertian hukum waris adalah kumpulan

peraturan, yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan, karena wafatnya

seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati

(2)

dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

1

Di Indonesia hukum waris yang berlaku bagi warga Negara Indonesia dikenal ada tiga macam,yaitu :

1. Hukum waris Eropa atau sistem hukum barat, yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek),

2

tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa yang berlaku bagi :

a. Warga Negara Hindia Belanda keturunan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan Eropa,

b. Warga Negara Timur Asing Tioghoa,

c. Warga Negara Timur asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa.

Hal ini disebabkan oleh politik hukum Belanda yang menggolongkan penduduk menjadi 3 (tiga) golongan sesuai dengan pasal 163 IS (Indiesche Staatsregeling ) yaitu :

1. Golongan Eropa : a. Orang Belanda

b. Orang Eropa lainnya yang mempunyai hukum kekeluargaan yang serupa dengan Belanda

c. Orang Jepang dengan maksud mempermudah perdagangan dengan Jepang pada saat itu.

2. Golongan Timur Asing : a. Tionghoa

b. India c. Pakistan

3. Golongan Pribumi (Orang Indonesia asli/disebut dengan Bumiputra)

1Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama,Bandung, 2005, h.4

2Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Palu, 2008, h.83

(3)

Pemerintah Belanda membedakan berlakunya hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut berdasarkan pasal 131 IS yaitu :

a. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum dagang Barat berdasar asas Konkordansi

b. Bagi golongan Bumiputera dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka.

c. Bagi golongan Timur Asing berlaku hukum mereka masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumiputera dan Timur Asing diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa/Barat.

3

2. Hukum waris Islam yang bersumber dari Alquran, Hadist, dan Ijtihad yang berlaku dan wajib ditaati oleh umat Islam dari dulu, sekarang dan di masa yang akan datang.

4

3. Hukum waris adat yang beraneka ragam bentuknya tergantung pada daerah, hal ini dipengaruhi adanya perbedaan kekerabatan di setiap daerah lingkungan hukum adat seperti :

a. Dalam sistem kekerabatan patrilineal, kedudukan laki-laki lebih diutamakan daripada kedudukan perempuan karena kedudukan laki-laki sebagai penerus keturunan, penerus marga dan ahli waris dari orangtuanya (ayah). Hal ini disebabkan bentuk perkawinan dengan pemberian uang jujur dari pihak pria kepada pihak perempuan untuk mempertahankan garis keturunan lelaki, sehingga setelah perkawinan isteri melepaskan kedudukan kewargaan adat

3http.www.Pustaka Dasar Ilmu Hukum : Pengantar Hukum Indonesia.com

4Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, Surabaya, 2010, h.67

(4)

bapaknya masuk ke dalam kesatuan kekerabatan suaminya, seperti terdapat di Batak, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur.

b. Dalam sistem kekerabatan matrilineal, kedudukan perempuan lebih diutamakan daripada kedudukan laki-laki, karena kedudukan perempuan sebagai penerus keturunan dan ahli waris dari pihak ibu, meskipun pada masyarakat matrilineal anak laki-laki juga sebagai ahli waris dari ibunya. Hal ini disebabkan bentuk perkawinan semenda tanpa membayar uang jujur untuk mempertahankan garis keturunan perempuan sehingga pihak suami tetap berada dalam kekerabatannya semula seperti yang terjadi di daerah Minangkabau, Enggano dan Bengkulu.

c. Dalam sistem kekerabatan bilateral/parental, pada prinsipnya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk mewarisi harta peninggalan dari orangtuanya. Hal ini disebabkan bentuk perkawinan bebas dengan kehidupan yang mandiri, masing-masing suami dan isteri berhak melakukan perbuatan hukum seperti yang dikehendaki perundangan nasional, seperti di daerah Jawa dan Kalimantan.

5

Dalam pewarisan perdata Barat ada hal-hal yang perlu diperhatikan jika seseorang meninggal dunia adalah pewaris semasa hidupnya telah mengadakan ketentuan-ketentuan tentang harta warisannya. Kalau tidak pernah mengadakan ketentuan-ketentuan tentang harta warisan yang ditinggalkan, maka segala sesuatu jatuh kepada ahli warisnya yang berhak yaitu ahli waris Ab-Intestato,

5Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandar Lampung, 1992, h.207

(5)

sehingga dengan demikian pembagian warisan akan mudah pengurusannya karena telah jelas ahli warisnya adalah keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama dan bagian-bagian harta warisannya.

Namun sebaliknya jika seseorang meninggal dunia dan dalam hal ada warisan terbuka dan tidak ada seorangpun yang berhak menerima warisan sebagai ahli waris atau semua ahli waris menolak warisan, maka harta warisan akan dianggap sebagai tak terurus (pasal 1126 BW). Jadi, dapat diartikan bahwa apabila suatu ketika kemungkinan terjadi suatu warisan terbuka itu ternyata tidak ada ahli warisnya atau tidak ada seorangpun memajukan diri untuk menuntut haknya atas warisan tersebut, sehingga dengan demikian harta warisan menjadi tidak terurus dan Balai Harta Peninggalan yang berhak mengelola atas harta warisan yang tak terurus tersebut.

Balai Harta Peninggalan (disingkat BHP) merupakan unit pelaksana teknis instansi pemerintah yang secara struktural berada di bawah Direktorat Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pada hekekatnya tugas Balai Harta Peninggalan yaitu mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang (Badan Hukum) yang karena hukum atau putusan hakim tidak dapat menjalankan kepentingannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam BW (Burgerlijk Wetboek) mengenal konsep penolakan warisan

sebab jika seseorang meninggal dunia, ia meninggalkan harta yang juga disebut

(6)

harta peninggalan, warisan atau budel. Harta peninggalan itu jatuh kepada ahli waris menurut undang-undang atau menurut penetapan surat wasiat, meskipun si ahli waris menerimanya dengan senang hati atau tidak mengetahuinya. Sehingga oleh BW diberikan hak mempertimbangkan (Pasal 1042 BW). Ahli waris dapat mempertimbangkan apakah akan menerima atau menolak warisan. Pihak yang memperoleh harta peninggalan dan sebagai akibatnya mengganti orang yang meninggal dunia dalam hak dan kewajibannya menurut hukum, tidak perlu harus menerimanya dan dapat meniadakan kedudukannya sebagai ahli waris, sehingga dapat membebaskan diri dari hak serta kewajiban tersebut dengan jalan menolak.

Dalam Hukum perdata Barat dimungkinkan adanya penolakan warisan sehingga harta peninggalan si pewaris akan disebut sebagai harta warisan tak terurus dan akan dikelola oleh Balai Harta Peninggalan, namun dalam Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat tidak diketahui apakah terdapat dasar filosofis penolakan warisan sehingga dimungkinkan adanya penolakan warisan oleh ahli waris. Apabila ada penolakan warisan dalam hukum Islam dan hukum Adat maka adakah lembaga yang mengurus harta warisan si pewaris apabila ada penolakan warisan oleh ahli warisnya.

Dalam konteks penulisan ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Penolakan Warisan Dalam Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat.

Oleh karena selama ini yang dikenal dalam penolakan warisan tersebut hanya

diatur dalam BW.

(7)

Berdasarkan uraian di atas,maka yang dipermasalahkan dalam tesis ini adalah :

a. Apakah dasar filosofis penolakan warisan oleh ahli waris dalam hukum waris serta apa akibat hukumnya?

b. Apakah terdapat lembaga yang mengurus harta warisan yang ditolak oleh ahli waris dalam hukum waris?

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar filosofis, yang memungkinkan bila si ahli waris hendak menolak harta warisan dalam hukum waris serta akibat hukumnya.

b. Untuk menganalisis lembaga yang mengurus harta warisan yang ditolak oleh ahli waris dalam hukum waris di Indonesia.

3. Manfaat Penelitian

a. Bagi penulis, menambah perbendaharaan pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan dasar filosofis penolakan warisan dalam hukum waris di Indonesia bila hal tersebut dimungkinkan serta akibat hukum yang ditimbulkan.

b. Bagi institusi, memberikan sumbangan pemikiran apakah perlu lembaga

yang mengurus penolakan harta warisan dalam Hukum Waris di

Indonesia.

(8)

4. Tinjauan Pustaka.

4.1 Sistem pewarisan dalam Hukum Waris (BW, Islam, dan Adat).

4.1.1 Prinsip Hukum waris dalam BW Menurut Pitlo, merumuskan bahwa :

“Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.

6

Menurut R.Santoso Podjosubroto, mengemukakan : “ yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

7

Jadi, hukum waris dalam BW dapat dirumuskan bahwa serangkaian peraturan yang mengatur mengenai peralihan kekayaan oleh ahli waris kepada pewarisnya, baik karena hubungan darah ataupun karena testament.

Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan,yaitu :

6 Eman Suparman, op.cit., h. 25 7 Ibid, h. 4

(9)

a. Ada seseorang yang meninggal dunia;

b. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

8

Warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan pewaris ke ahli warisnya.

9

Ahli Waris menurut sistem BW terdiri atas :

a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling lama.

b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orangtua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka.

c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.

8Eman Suparman, loc.cit., 9Ibid, h.28

(10)

d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.

4.1.2 Penolakan Warisan dalam hukum waris BW

Pada dasarnya menurut hukum perdata Barat, seseorang dapat menerima maupun menolak warisan yang jatuh kepadanya sebagaimana dikatakan dalam pasal 1045 Burgerlijk Wetboek (BW) yang berbunyi :

“ Tiada seorang pun diwajibkan menerima suatu warisan yang jatuh padanya”

Dalam hal seseorang menolak warisan yang jatuh kepadanya,orang tersebut harus menolaknya secara tegas, dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka (Pasal 1057 BW). Penolakan warisan ini tidak ada daluwarsanya (Pasal 1062 BW). Namun dalam pasal 1055 BW dijelaskan bahwa terdapat daluwarsa dalam hal menerima warisan yaitu 30 (tiga puluh) tahun apabila dalam masa tersebut si ahli waris tidak menerima warisan maka secara otomatis, setelah 30 (tigapuluh) tahun berlalu, orang tersebut sama kedudukannya dengan orang yang menolak warisan.

Penolakan warisan tidak dapat dilakukan hanya untuk sebagian harta

warisan, ini karena penolakan warisan tersebut mengakibatkan orang

tersebut dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (Pasal 1058 BW).

(11)

Dengan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, maka orang tersebut tidak berhak atas harta warisan. Seseorang yang menolak warisan, dapat diminta untuk menerima warisan atas permohonan kreditur dari orang yang menolak warisan tersebut. Akan tetapi, permohonan menerima warisan tersebut hanya sebesar utang debitur saja, dan penerimaan tersebut diwakilkan oleh kreditur, sebagaimana terdapat dalam pasal 1061 BW :

Semua pemegang piutang terhadap seseorang yang menolak suatu warisan untuk kerugian mereka, dapat meminta dikuasakan oleh Hakim untuk atas nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu, menerima warisannya. Dalam hal yang demikian maka penolakan warisan tidak dibatalkan lebih lanjut selainnya untuk keuntungan para berpiutang dan untuk sejumlah piutang-piutang mereka;

penolakan itu tidak sekali-kali batal untuk keuntungan si waris yang menolak.

Alasan dibalik ketentuan pasal 1061 BW tersebut adalah dalam hal

seorang ahli waris menolak warisan yang positif jatuh padanya, maka

tindakannya tersebut bisa merugikan kreditur, artinya menempatkan

kreditur dalam kedudukan yang tidak menguntungkan daripada kalau

warisan diterima. Dengan diterimanya warisan yang positif, maka warisan

tersebut bercampur dengan harta si debitur, sehingga aktiva harta debitur

bertambah. Namun, kalau saldo aktiva harta debitur sendiri jumlahnya

cukup untuk memenuhi utang-utangnya terhadap kreditur yang

bersangkutan, maka tidak ada masalah.

(12)

Dalam hal warisan yang ditolak oleh ahli waris maka dapat dianggap sebagai harta tidak terurus. Maka Balai Harta Peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menunggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan.

4.2.1 Prinsip Hukum Waris menurut Hukum Islam

Menurut pasal 171 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa :

“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.

Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing- masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.

Asas kewarisan dalam Hukum Islam terdiri dari :

a. Ijbari mengandung arti pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.

10

10Zainuddin ali, Op.cit., h.53

(13)

b. Bilateral berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.

11

c. Individual berarti harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing- masing.

12

d. Keadilan berimbang berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban.

13

e. Akibat kematian berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. Pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia.

14

Warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah

11Ibid, h.54

12Ibid, h.56 13Ibid, h.57

14Ibid, h.58

(14)

sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris.

15

Dalam hukum kewarisan Islam terdapat ketentuan mengenai beberapa hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian harta warisan, seperti penyelesaian urusan jenazah, pembayaran utang dan wasiat pewaris. Selain itu perlu diketahui bahwa warisan yang berupa hak-hak tidak berarti bendanya dapat diwarisi.

Sebagai contoh, hak manfaat penggunaan sebuah rumah kontrak dapat diwariskan kepada ahli waris, tetapi rumahnya tetap menjadi hak bagi pemiliknya.

16

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebut ada tiga macam ahli waris yaitu :

1. Dzawil Furud, sebagaimana yang disebut dalam pasal 192 KHI. Ahli waris ini antara lain : ayah, ibu, janda, duda, anak perempuan. Bagian warisan mereka masing-masing sudah ditentukan menurut Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

2. Ashabah, disebut di dalam pasal 193 KHI, ahli waris ini antara lain : anak laki-laki, baik sendiri maupun bersama-sama anak perempuan, dan kalau tidak ada anak laki-laki maka ayah sebagai ashabah. Ahli waris ashabah mendapat semua harta waris ketika ia sebagai satu-satunya ahli waris, dan memperoleh sebesar sisa sesudah bagian-bagian harta waris diberikan kepada dzawil furud.

3. Mawali atau ahli waris pengganti, terdapat di dalam pasal 185 KHI. Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang

15Ibid, h.13

16 Zainuddin Ali, Op cit.,h. 47

(15)

digantikan itu seandainya ia masih hidup. Orang yang digantikan itu ialah penghubung antara ahli waris pengganti dengan pewaris.

4.2.2 Penolakan warisan dalam sistem Hukum Waris Islam

Penolakan warisan dalam Hukum Waris Islam tidak dikenal, sebab dalam pasal 187 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa : “sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”. Selain itu dalam sistem hukum waris Islam juga terdapat asas Ijbari yaitu pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang belaku menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan pada kehendak siapapun.

Dalam hal wasiat yang merupakan amanah dari pewaris yang mewariskan sebagian harta benda miliknya kepada si penerima wasiat, namun dalam pasal 197 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa orang yang ditunjuk sebagai penerima wasiat dapat menolak wasiat yang diberikan kepadanya.

4.3.1 Prinsip Hukum Waris menurut Hukum Adat

Menurut pendapat Betrand Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-

aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan

(16)

dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.

17

Menurut Soepomo, hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.

Menurut Soerojo Wignjodipoero, hukum adat waris meliputi norma- norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang bersifat materiil maupun yang immaterial dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:

a. Sistem waris dalam kekerabatan Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak laki-laki, dimana laki-laki sebagai penerus keturunan, penerus marga, dan ahli waris.

b. Sistem waris dalam kekerabatan Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak perempuan, dimana perempuan

17Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung, Juni 1999, h.7

(17)

sebagai penerus keturunan dan ahli waris dari pihak ibunya walaupun pihak laki-laki juga ikut mewaris dari harta ibunya.

c. Sistem waris dalam kekerabatan Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

18

Harta warisan dalam sistem Hukum Waris Adat terdiri dari : a. Dalam sistem kekerabatan Patrilineal

Harta warisan adalah harta yang diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat berlaku keturunan patrilineal maka orangtua merupakan pewaris bagi anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orangtuanya misalnya dalam hukum adat waris di tanah Karo. Dalam system kekerabatan patrilineal, harta warisan terdiri atas :

1. Harta perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan 2. Harta bawaan yaitu harta suami atau harta istri, baik harta benda yang

diperoleh suami dan istri masing-masing melalui usahanya sendiri sebelum perkawinan maupun harta yang diperoleh melalui warisan.

b. Dalam sistem kekerabatan Matrilineal

Harta warisan dalam hukum adat sistem kekerabatan matrilineal terdiri atas :

18Eman Suparman, Op.cit., h.41

(18)

1. Harta pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi;

2. Harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu generasi;

3. Harta Pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko;

4. Harta Suarang yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami isteri selama masa perkawinan.

c. Dalam sistem Parental

Harta warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia yang terdiri atas :

a. Harta Asal adalah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun temurun.

b. Harta Bersama, atau gono-gini adalah harta yang dikuasai bersama untuk kepentingan bersama

Ahli Waris menurut sistem Hukum waris Adat terdiri dari :

a. Dalam sistem Patrilineal, terdiri atas :

1. Anak laki-laki yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan.

2. Anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama

seperti halnya anak sah, namun anak angkat hanya menjadi ahli

(19)

waris terhadap harta pencarian/harta bersama orangtua angkatnya.

3. Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.

4. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

5. Persekutuan adat.

b. Dalam sistem Matrilinieal, dapat dibedakan antara :

1. Waris bertali darah yaitu ali waris kandung atau ahli waris

sedarah yang terdiri atas waris satampok (waris setumpuk), waris sejangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta).

2. Waris bertali adat yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.

c. Dalam sistem Parental, terdiri atas : 1. Sedarah dan tidak sedarah

Ahli waris sedarah terdiri atas anak kandung, orangtua, saudara, dan cucu. Ahli waris tidak sedarah yaitu anak angkat, janda/duda.

2. Kepunahan

Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah), barang atau harta peninggalan akan diserahkan kepada desa.

4.3.2 Penolakan warisan dalam Hukum Waris Adat

Hukum waris adat tidak mengenal sistem penolakan warisan baik sistem

patrilineal, matrilineal dan parental melainkan pembagian harta peninggalan

diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama dari para

(20)

ahli waris. Apabila harta peninggalan dibagi-bagi antara para ahli waris, maka pembagian itu biasanya serjalan secara rukun, di dalam suasana ramah-tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris.

5. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum.

Dikatakan penelitian hukum karena yang dijadikan obyek penelitian adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan konsep penolakan warisan dalam Hukum Waris Islam yang dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan dibahas.

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah pendekatan secara statute approach, conceptual approach dan case study. Statute approach merupakan pendekatan yang mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) dan Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana yang termuat di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991. Statute Approach digunakan dalam menganalisis penolakan warisan dalam hukum waris BW dan Hukum Waris Islam. Conceptual approach merupakan pendekatan dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana yang memahami permasalahan yang sedang dibahas.

Conceptual Approach digunakan untuk menganalisis penolakan warisan dalam

(21)

Hukum Waris Adat. Penambahan studi kasus (Case Study) juga diperlukan dalam analisis ini. Studi kasus (Case Study) yaitu suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum.

Kasus yang menjadi acuan yang sehubungan dengan materi tesis ini adalah kasus penolakan warisan oleh salah satu putra mendiang S yang berinisial T terhadap harta warisan yang ditinggalkan beliau. Perlu diketahui karena putra- putri S beragama Islam sehingga diberlakukan hukum waris Islam walaupun dimungkinkan juga bagi Warga Negara beragama Islam untuk memilih hukum Waris Adat sebagai dasar pembagian harta warisan di antara mereka. Putra putri S yang lain memilih untuk menjadi ahli waris dan tidak menolak warisan tersebut kecuali T.

c. Bahan Hukum

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan masalah yang dibahas, dalam hal ini Burgerlijk Wetboek (BW), Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana yang termuat di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan

(22)

bahan hukum primer, berupa buku – buku literatur dari para sarjana atau ahli hukum, wawancara dengan kuasa hukum mendiang S tertanggal 24 Maret 2014 jam 14.00, kamus hukum, jurnal hukum yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.

d. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Langkah pengumpulan bahan hukum yang diawali dengan inventarisasi yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum sesuai dengan obyek penelitian.

Kemudian klasifikasi, yaitu memilah-milah bahan hukum sehingga yang ada hanya bahan hukum yang benar-benar sesuai dengan obyek penelitian. Terakhir adalah sistematisasi, yaitu menyusun secara sistematis bahan hukum yang telah diklasifikasi, bahan mana saja yang harus dibaca terlebih dahulu, tujuannya untuk memudahkan penelitian.

e. Analisis Bahan Hukum

Dalam menjawab permasalahan digunakan metode interpretasi atau

penafsiran yaitu salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan

menyeluruh mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat

ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Bahan hukum yang telah

diperoleh kemudian dianalisa menggunakan interpretasi komparatif yaitu

penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, penulis hendak membandingkan

antara sistem hukum yang terdapat dalam BW mengenai penolakan warisan

dengan sistem hukum yang terdapat dalam sistem Hukum Waris Islam dan

(23)

Sistem Hukum Waris Adat.

6. Sistematika Penulisan

Pendahuluan diletakkan pada Bab I. Pada bab pendahuluan dijelaskan gambaran umum permasalahan sebagai pengantar dalam pembahasan bab berikutnya. Sub babnya terdiri dari Latar Belakang dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, merupakan cara penyusunan agar memenuhi syarat sebagai karya ilmiah.

Sistematika penulisan, berisikan kerangka tesis yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutup.

Bab II, Bab ini diuraikan tentang dasar filosofis penolakan warisan dalam Hukum Waris. Bab ini juga terdiri dari akibat hukum dari penolakan harta warisan ditinjau dari Hukum Waris.

Bab III, menguraikan mengenai ada tidaknya lembaga yang mengurus harta warisan tak terurus sebagai akibat dari penolakan warisan dalam Hukum Waris. Bab ini dikupas dalam bentuk uraian secara teoritis hal yang berkaitan dengan prosedur Balai Harta Peninggalan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dalam mengurus harta warisan tak terurus.

Penutup diletakkan pada bab IV, sebagai akhir seluruh pembahasan.

Sub babnya terdiri dari Kesimpulan sebagai jawaban atas masalah dan Saran

sebagai pemecahannya.

Referensi

Dokumen terkait

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Bedasarkan faktor-faktor tersebut, maka ketiadaan hubungan paparan debu terhirup dengan kapasitas vital paru pada pekerja penyapu pasar Johar kota Semarang, tidak

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Sehubungan hal itu perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan mengkaji dosis substitusi azolla dalam pakan komersil sebagai pakan yang memberikan nilai tinggi

namun memiliki makna yang berbeda. *a *ata ta hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan katakata lainnya. hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan katakata

1. Adanya perasaan senang terhadap belajar. Adanya keinginan yang tinggi terhadap penguasaan dan keterlibatan dengan kegiatan belajar. Adanya perasaan tertarik yang

Pada penelitian ini diperoleh bahwa teknik pencampuran yang pertama, yaitu pencampuran CB dengan NR dilakukan terlebih dahulu dalam Roll-Mill sebelum dicampur dengan

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan