2.1 Kualitas
2.1.1 Sejarah Perkembangan kualitas
Kualitas telah dikenal sejak empat ribu tahun yang lalu, ketika bangsa mesir kuno mengukur dimensi batu-batu yang digunakan untuk membangun piramida. Pada zaman modern kualitas berkembang melalui beberapa tahap:
1. Inspeksi (Inspection)
Konsep kualitas modern dimulai pada tahun 1920-an. Kelompok kualitas yang utama adalah bagian inspeksi. Selama proses produksi, para inspector mengukur hasil produksi berdasarkan spesifikasi. Bagian inspeksi tidak berdiri sendiri, biasanya mereka melapor ke pabrik. Hal ini menyebabkan perbedaan kepentingan. Seandainya inspeksi menolak hasil satu alur produksi yang tidak sesuai maka bagian pabrik berusaha meloloskannya tanpa memperhatikan kualitas produk tersebut.
2. Pengendalian kualitas (Quality Control)
Pada tahun 1940-an, kelompok inspeksi berkembang menjadi bagian
pengendalian kualitas. Adanya Perang Dunia II mengharuskan produk
militer yang bebas cacat. Kualitas produk militer menjadi salah satu faktor
yang menentukan kemenangan atas peperangan. Hal ini harus diantisipasi
melalui pengendalian selama proses produksi. Tanggung jawab kualitas dialihkan ke bagian quality control yang independen. Bagian ini memiliki otonomi penuh dan terpisah dari bagian pabrik. Para pemeriksa kualitas dibekali dengan perangkat statistika seperti diagram kendali dan penarikan sampel.
3. Pemastian Kualitas (Quality Assurance)
Rekomendasi yang dihasilkan dari teknik-teknik statistika seringkali tidak dapat dilayani oleh struktur pengambilan keputusan yang ada.
Pengendalian kualitas (Quality Control) berkembang menjadi pemastian kualitas (Quality Assurance). Bagian pemastian kualitas difokuskan untuk memastikan proses dan kualitas produk melalui pelaksanaan audit operasi, pelatihan, analisis kerja teknis, dan petunjuk operasi untuk peningkatan kualitas. Pemastian kualitas bekerjasama dengan bagian-bagian lain yang bertanggung jawab penuh terhadap kualitas kinerja bagian masing-masing.
4. Manajemen Kualitas (Quality Management)
Pemastian kualitas bekerja berdasarkan status quo, sehingga upaya yang
dilakukan hanyalah memastikan pelaksanaan pengendalian kualitas, tapi
sangat sedikit pengaruh untuk meningkatkannya. Karena itu untuk
mengantisipasi persaingan, aspek kualitas perlu selalu dievaluasi dan
direncanakan perbaikannya melalui penerapan fungsi-fungsi manajemen
kualitas.
5. Manajemen Kualitas Terpadu (Total Quality Management)
Dalam perkembangan manajemen kualitas, ternyata bukan hanya fungsi produksi yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap kualitas.
Dalam hal ini tanggung jawab terhadap kualitas tidak cukup hanya dibebankan kepada suatu bagian tertentu, tetapi sudah menjadi tanggung jawab seluruh individu diperusahaan. (Ariani,1999,p.10-11)
2.1.2 Definisi Kualitas
Kualitas merupakan topik hangat di dunia bisnis dan akademik.
Namun demikian istilah tersebut memerlukan tanggapan secara hati-hati dan perlu mendapat penafsiran secara cermat. Faktor utama yang menentukan suatu perusahaan adalah kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Produk dan jasa yang berkualitas adalah produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumennya. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengenal konsumen atau pelanggannya dan mengetahui kebutuhan dan keinginannya.
Ada banyak sekali definisi dan pengertian kualitas, yang sebenarnya pengertian yang satu hampir sama dengan pengertian yang lain. Berikut pengertian kualitas kualitas menurut beberapa ahli yang banyak dikenal antara lain:
Juran (1962) “ kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya.”
Crosby (1982) “ kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness.”
Deming (1982) “ kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan dimasa datang.”
Feigenbaum (1991) “ kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, dalam mana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.”
Scherkenbach (1991) “ kualitas ditentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukan nilai dari produk tersebut.”
Elliot (1993) “ kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan.”
Goetch dan Davis (1995) “ kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang
berkaitan dengan produk, pelayanan,orang, proses, dan lingkungan
yang memnuhi atau melebihi apa yang diharapkan.”
Dari beberapa pengertian kualitas diatas, dapat dikatakan secara garis besar sebagai keseluruhan ciri atau karakteristik produk dan jasa dalam tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
Selanjutnya, ada beberapa dimensi kualitas untuk industri manufaktur. Dimensi ini digunakan untuk melihat dari sisi manakah kualitas dinilai. Berikut ini 8 dimensi kualitas manufaktur yang dikemukakan oleh David A. Garvin, yaitu:
1. Performance, yaitu kesesuaian produk dengan fungsi utama produk itu sendiri atau karakteristik operasi suatu produk.
2. Feature, yaitu ciri khas produk yang membedakan produk tersebut dengan produk lain yang merupakan karakteristik pelengkap dan mampu menimbulkan kesan yang baik bagi pelanggan.
3. Reliability, yaitu kepercayaan pelanggan terhadap produk karena kehandalannya atau karena kemungkinan rusaknya rendah.
4. Conformance, yaitu kesesuaian produk dengan syarat atau ukuran tertentu atau sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar yang telah ditetapkan.
5. Durability, yaitu tingkat keawetan produk atau lama usia produk.
6. Serviceability, yaitu kemudahan produk itu untuk diperbaiki atau kemudahan meperoleh komponen produk tersebut.
7. Aesthetic, yaitu keindahan atau daya tarik produk tersebut.
8. Perception, yaitu fanatisme konsumen akan merek suatu produk tertentu karena citra atau reputasi produk itu sendiri. (Ariani,2004,p.3-7)
2.1.3 Variasi
Menurut Gaspersz (1998,p.28-29), variasi adalah ketidakseragaman dalam sistem produksi atau operasional sehingga menimbulkan perbedaan dalam kualitas pada output (barang atau jasa) yang dihasilkan. Pada dasarnya dikenal dua sumber atau penyebab timbulnya variasi, yang diklasifikasikan sebagai berikut:
• Variasi Penyebab Khusus (Special-Causes Variation)
Kejadian-kejadian di luar sistem yang mempengaruhi variasi di dalam
sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor; manusia,
peralatan, material, lingkungan, metode kerja, dan lain-lain. Penyebab
khusus ini mengambil pola-pola non-acak (non-random patterns)
sehingga dapat didefinisikan atau ditemukan, sebab mereka tidak selalu
aktif dalam proses tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses
sehingga menimbulkan variasi. Dalam konteks pengendalian proses
statistikal menggunakan peta-peta kendali atau kontrol (control chart),
jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang
melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang didefinisikan
(defined control limits).
• Variasi Penyebab-Umum (Common-Causes Variation)
Faktor-faktor di dalam sistem atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem serta hasil-hasilnya.
Penyebab umum sering disebut juga sebagai penyebab acak (random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena penyebab umum ini selalu melekat pada item, untuk menghilangkannya kita harus menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak manajemen yang dapat memperbaikinya, karena pihak manajemenlah yang mengendalikan sistem itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dengan menggunakan peta-peta kendali atau kontrol (control charts), jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam batas-batas pengendalian yang didefinisikan (defined control limits).
2.2 Six sigma
2.2.1 Sejarah Six sigma
Sejarah six sigma dimulai oleh perusahaan Motorola pada tahun
1980-an dan awal 1990-an. Motorola merupakan salah satu dari banyak
perusahaan Amerika dan Eropa yang pasarnya diambil oleh para pesaing dari
Jepang. Manajemen puncak Motorola mengakui bahwa kualitas produk yang
mereka hasilkan “mengerikan” karena tidak terdapat satu standar kualitas
yang baku untuk mengontrol produk mereka. Akhirnya pada tahun 1987,
sebuah pendekatan baru muncul dari sektor komunikasi Motorola yang saat
itu dipimpin oleh George Fisher. Konsep perbaikan yang inovatif tersebut kemudian diberi nama “Six sigma”.
Six sigma yang diperkenalkan oleh Motorola merupakan cara yang sederhana dan konsisten untuk melacak dan membandingkan kinerja perusahaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan atau harapan pelanggan dan juga merupakan sebuah target yang ambisius untuk memenuhi kesempurnaan kualitas yang ditetapkan.
Six sigma kemudian menyebar ke seluruh bagian yang ada di perusahaan Motorola, dengan dukungan penuh dari Bob Galvin (Chairman Motorola) Six sigma memberikan “Otot Ekstra” kepada Motorola untuk mencapai tujuan-tujuan perbaikan yang pada saat itu sebenarnya tidak mungkin, dimana pada awal 1980-an targetnya 10 kali perbaikan selama lima tahun menjadi 10 kali setiap dua tahun atau 100 kali dalam empat tahun.
(Pande, 2000,p.6-7)
2.2.2 Definisi Six sigma
Kata Sigma berasal dari alfabet Yunani yang dilambangkan dengan
“σ ”. Sigma merupakan sebuah simbol yang digunakan dalam notasi statistik
untuk menunjukan standar deviasi, adapun yang dimaksud standar deviasi
adalah seberapa jauh variasi proses dari nilai rata-ratanya dalam arah positif
dan negatif. Hubungan antara sigma dengan kualitas proses manufaktur
adalah bahwa standar deviasi dapat digunakan untuk menekan jumlah produk yang tidak sesuai dalam proses proses produksinya. (Pande,2000,p.23)
Six sigma adalah sebuah sistem yang komprehensip dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan dan memaksimalkan kesuksesan bisnis. Six sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, kedisiplinan dari penggunaan data, fakta dan analisisnya secara statistik, serta memberikan perhatian yang cermat dalam pengelolaan, peningkatan dan pengkajian kembali proses bisnis untuk mencapai target 6 sigma. (Pande,2000,p.xi)
Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu metodologi yang menyediakan alat-alat untuk peningkatan proses bisnis dengan tujuan menurunkan variasi proses dan meningkatkan kualitas produk. Elemen elemen yang penting dalam six sigma, adalah:
1. Memproduksi hanya 3,4 cacat untuk setiap satu juta kesempatan atau 3,4 DPMO (Defects Per Million Opportunities).
2. Inisiatif-inisiatif peningkatan proses untuk mencapai target enam sigma
(Gaspersz,2007,p.90).
2.3 Peran-Peran Kunci Organisasi Six Sigma
Salah satu tugas utama ketika memulai program peningkatan kualitas Six Sigma adalah menentukan peran-peran yang tepat untuk organisasi dan mendefinisikan secara jelas mengenai tugas dan tanggung jawab mereka.
Menurut Gasperzs (2007,p.208-216), secara umum peran kunci yang ada di organisasi Six Sigma adalah:
A. Dewan Kepemimpinan Kualitas
Dewan Kepemimpinan Kualitas, dikenal juga sebagai dewan Kualitas (Quality Council), Komite Pengarah Six Sigma, Senior Champions atau berbagai nama lainnya, merupakan orang-orang yang berada pada posisi manajemen puncak dari suatu organisasi. Peranan orang-orang yang ada pada posisi ini adalah:
1. Menetapkan visi, peran, dan infrastruktur Six Sigma.
2. Menciptakan Master Improvement Story organisasi.
3. Memilih program-program spesifik Six Sigma dan mengalokasikan sumber-sumber daya.
4. Meninjau ulang secara periodik tentang kemajuan berbagai program Six Sigma serta menawarkan ide-ide dan bantuan untuk menghindarkan terjadinya overlapping program-program Six Sigma.
5. Berperan secara individual sebagai “sponsor” proyek Six Sigma.
6. Membantu mengkuantifikasikan dampak usaha-usaha Six Sigma kepada orang-orang ditingkat bawah dari organisasi.
7. Menilai kemajuan serta mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam usaha-usaha peningkatan kualitas Six Sigma.
8. Membagi atau menyebarluaskan praktik-praktik terbaik Six Sigma keseluruh organisasi serta kepada pemasok utama dan pelanggan utama.
9. Membantu mengatasi hambatan-hambatan dalam organisasi yang berdampak negatif pada program-program Six Sigma.
10. Menerapkan praktik-praktik terbaik yang dipelajari dan implementasi program Six Sigma pada gaya manajemen organisasi.
B. Champions
Champions merupakan individu-individu yang akan memastikan bahwa semua fungsi-fungsi utama dalam organisasi selaras dengan program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat dua jenis Champions, yaitu Deployment Champions dan Project Champions.
Deployment Champions pada umumnya dipilih dari orang-orang
yang berada pada pemimpin Unit Bisnis Strategis (SBU). Deployment
Champions bertanggung jawab mengembangkan dan mengeksekusi
rencana-rencana implementasi dan penyebarluasan Six Sigma pada unit-
unit bisnis strategis atau pada area tanggung jawab didefinisikan.
Deployment Champions juga bertanggung jawab meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem-sistem pendukung Six Sigma. Pada tahap-tahap awal penerapan program Six Sigma, posisi Deployment Champions membutuhkan dedikasi penuh. Setelah program Six Sigma berjalan, peran Deployment Champions menjadi berkurang atau mengecil.
Project Champions pada umumnya dipilih dari orang-orang yang
berada pada posisi tingkat unit bisnis taktikal yang umumnya bertanggung
jawab atas keberhasilan dan keberlangsungan proyek berjangka waktu
tertentu, secara spesifik, orang yang ditunjuk sebagai Project Champions
bertanggung jawab mengidentifikasi, memilih, mengeksekusi, dan
menindaklanjuti proyek-proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black
Belts. Seorang Project Champions mengembangkan dan mengawasi
sampai hal-hal terperinci yang berkaitan dengan rencana-rencana
implementasi dan penyebarluasan. Fungsi utama Project Champions pada
tingkat unit bisnis adalah mengawasi Black Belts dam memfokuskan Six
Sigma pada tingkat proyek. Mereka harus mampu mengatasi atau
menyelesaikan hambatan-hambatan kultural organisasi, menciptakan
sistem-sistem pendukung, menjamin sumber daya finansial cukup
tersedia, dan mengidentifikasi proyek-proyek peningkatan kualitas. Secara
umum, seorang Champions bertanggung jawab:
1. Mendefinisikan jalur implementasi program Six Sigma ke seluruh organisasi.
2. Menetapkan dan memelihara atau mempertahankan sasaran yang luas untuk program peningkatan kualitas Six Sigma yang berada dibawah tanggung jawab dan wewenangnya.
3. Menyetujui perubahan-perubahan arah atau lingkup proyek Six Sigma apabila diperlukan.
4. Mengembangkan rencana pelatihan komprehensif untuk implementasi Six Sigma.
5. Menemukan dan menegoisasikan sumber-sumber daya untuk proyek Six Sigma.
6. Memberikan reward dan recognition kepada tim pelaksana Six Sigma.
7. Mewakili Dewan Kualitas sebagai penasehat tim.
8. Membantu mengatasi isu-isu yang berkembang diantara anggota tim.
9. Bekerjasama dengan pemilik proses untuk menjamin konsistensi perhatian kepada proyek Six Sigma.
10. Menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui peningkatan proses
tugas-tugas manajemen.
C. Master Black Belts
Master Black Belts merupakan individu-individu yang dipilih oleh Champions untuk bertindak sebagai tenaga ahli atau konsultan dalam perusahaan untuk menumbuhkembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan-pengetahuan strategis yang bersifat sebagi terobosan- terobosan Six Sigma ke seluruh organisasi. Serupa dengan Champions, terdapat dua Master Black Belts, yaitu Deployment Master Black Belts dan Project Master Black Belts.
Deployment Master Black Belts merupakan posisi strategis dengan orientasi teknikal yang tinggi serta membutuhkan dedikasi penuh, yang pada umumnya ditempatkan pada tingkat unit bisnis. Deployment Master Black Belts bertanggung jawab atas operasional visi Six Sigma perusahaan dalam bentuk teknikal yang bersifat jangka panjang. Mereka bertanggung jawab atas pengembangan RoadMap teknologi dan bekerja secara teknikal melintasi area fungsional dan bisnis. Mereka juga mencari dan mentransfer teknologi, metode, prosedur, dan alat-alat lanjutan Six Sigma serta menjamin bahwa pengetahuan-pengetahuan ini diterjemahkan ke dalam materi pelatihan, buku manual, dan dokumen operasional Six Sigma.
Project Master Black Belts merupakan posisi taktikal dengan
orientasi teknikal yang tinggi serta membutuhkan dedikasi penuh. Project
Master Black Belts bertanggungjawab mentransfer pengetahuan Six Sigma kepada Black Belts. Mereka juga menjadi guru Six Sigma dan mentor dari orang-orang yang berada dalam proyek Six Sigma. Mereka membutuhkan keterampilan teknikal, kepribadian yang kuat, dan kemampuan kepemimpinan yang dapat dipercaya.
Secara umum, seorang Master Black Belts bertanggung jawab:
1. Bekerjasama dengan Champions.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan bahan-bahan pelatihan tentang Six Sigma kepada berbagai tingkat dalam organisasi.
3. Membantu dalam mengidentifikasi proyek-proyek Six Sigma.
4. Melatih dan mendukung Black Belts dalam pekerjaan-pekerjaan proyek Six Sigma.
5. Berpartisipasi dalam peninjauan ulang proyek-proyek Six Sigma serta memberikan bantuan-bantuan berupa keahlian teknikal (analisis dan metode Six Sigma).
6. Mengambil tanggung jawab kepemimpinan program-program Six Sigma yang telah diumumkan senior Champions dan menjadi program ofisial yang utama.
7. Menyediakan fasilitas untuk menyebarluaskan praktik-praktik terbaik
berdasarkan prinsip-prinsip Six Sigma keseluruh organisasi.
D. Black Belts
Black Belts merupakan individu-individu yang menerapkan dan menyebarluaskan konsep-konsep Six Sigma dari satu proyek ke proyek lain yang membutuhkan ketahanan fisik dan mental. Black Belts mendedikasikan diri dan mengalokasikan waktu kerja mereka 100% pada proyek-proyek Six Sigma. Mereka bertanggung jawab mengeksekusi proyek Six Sigma dan merealisasikan manfaat-manfaat yang telah menjadi target dalam Six Sigma project charter.
Secara umum, seorang Black Belts bertanggung jawab:
1. Merangsang pemikiran Champions.
2. Mengidentifikasikan hambatan-hambatan yang ada dalam proses Six Sigma.
3. Memimpin dan mengarahkan tim dalam mengeksekusi proyek Six Sigma.
4. Melaporkan kemajuan-kemajuan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Membantu Champions, apabila diperlukan.
6. Mendefinisikan dan membantu orang lain dalam penggunaan alat-alat
Six Sigma yang sesuai, teknik-teknik manajemen tim dan pertemuan
(management meeting).
7. Menyiapkan penilaian proyek Six Sigma secara terperinci selama tahap pengukuran.
8. Mempertahankan jadwal proyek dan menjaga kemajuan proyek Six Sigma menuju solusi akhir dan hasil-hasil.
9. Memperoleh masukan-masukan dari operator, supervisor lini pertama, dan pemimpin-pemimpin tim.
10. Mengelola risiko proyek Six Sigma.
11. Mendukung transformasi baru atau proses-proses baru menuju operasional yang berlangsung terus menerus, serta bekerjasama dengan manajer-manajer fungsional atau pemilik proses.
12. Mendokumentasikan hasil-hasil akhir dan menciptakan Story Board (Peta-peta kemajuan) proyek Six Sigma.
E. Green Belts
Green Belts merupakan individu-individu yang bekerja paruh
waktu (part time) dalam area yang spesifik atau mengambil tanggung
jawab pada proyek-proyek kecil dalam lingkup proyek Six Sigma yang
ditangani oleh Black Belts. Green Belts merupakan karyawan diseluruh
organisasi yang mengeksekusi Six Sigma sebagai bagian dari pekerjaan
mereka secara keseluruhan. Mereka hanya mempunyai tanggung jawab
yang kecil pada proyek Six Sigma serta waktu kerja mereka terfokus hanya
pada proyek Six Sigma yang berkaitan secara lagsung dengan pekerjaan
rutin mereka sehari-hari. Pekerjaan Green Belts berkaitan dengan pengumpulan data dan melaksanakan percobaan-percobaan guna mendukung proyek-proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black Belts.
Apabila keterampilan dan pengetahuan Green Belts itu telah meningkat dan dianggap perlu, maka dapat dipromosikan sebagai Black Belts. Secara umum, seorang Green Belts bertanggung jawab:
1. Berpartisipasi pada proyek Six Sigma yang ditangani oleh Black Belts dalam konteks tanggung jawab mereka.
2. Mempelajari metodologi Six Sigma untuk diaplikasikan pada proyek- proyek tertentu berskala kecil yang akan mereka tangani.
3. Melanjutkan mempelajari dan mempraktikkan metode-metode dan
alat-alat Six Sigma setelah proyek Six Sigma itu berakhir.
2.4 Model Perbaikan DMAIC Six Sigma
Menurut Haftl, Lawrence (2007), ada dua metodologi utama Six Sigma. Yang pertama, DMAIC, yang singkatan dari Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control, Digunakan untuk memperbaiki proses bisnis yang ada. Metode kedua adalah DMADV, yaitu Define, Measure, Analyze, Design, dan Verify, digunakan untuk membuat produk atau proses baru dengan kinerja bebas cacat. Berhubung tujuan dari penelitian ini adalah memperbaiki proses yang sudah ada maka digunakan metodologi DMAIC, berikut ini penjelasan metodologi DMAIC:
1. Define adalah mendefinisikan secara formal sasaran peningkatan proses yang konsisten dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan.
2. Measure adalah mengukur kinerja proses pada saat sekarang (baseline mesurements) agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
Lakukan pemetaan proses dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan KPI (Key Performance Index).
3. Analyze adalah menganalisis hubungan sebab-akibat berbagai faktor yang
dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu
dikendalikan.
4. Improve adalah mengoptimalisasikan proses menggunakan metode- metode analisis masalah untuk mengetahui dan mengendalikan kondisi optimum proses.
5. Control adalah melakukan pengendalian terhadap proses secara terus- menerus untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target six sigma (Gaspersz, 2007,p. 50).
Gambar 2.1 Siklus DMAIC
2.4.1 Define
Define merupakan langkah operasional pertama dalam usaha peningkatan kualitas proses metode DMAIC. Pada fase define yang dilakukan adalah:
• Membuat Project Charter
• Memetakan elemen kunci dari Proses (Diagram SIPOC)
• Memetakan aliran proses (Peta Aliran Proses)
2.4.1.1 Project Charter
Langkah pertama yang harus dilakukan sebelum memulai program DMAIC adalah membuat Project Charter. Project Charter merupakan deskripsi yang tepat dan terfokus mengenai permasalahan yang harus diperhatikan. Pada Project Charter terdapat informasi-informasi penting yang menjadi pedoman pelaksanaan program perbaikan kualitas. Adapun informasi yang terdapat pada Project Charter adalah:
• Bussines Case yang berisikan latar belakang umum dari permasalahan yang terjadi.
• Problem Statement yang merupakan deskripsi masalah yang akan dibahas dalam penelitian.
• Goal Statement yang berisikan deskripsi mengenai target yang akan
dicapai.
• Project Scope yang menunjukan objek dan ruang lingkup penelitian.
• Milestone yang menunjukan perencanaan jangka waktu penelitian (Pande,2000,p.240-241).
2.4.1.2 Diagram SIPOC
Menurut Sanders, Janet H. (2010), diagram SIPOC adalah peta proses tingkat tinggi yang mengidentifikasi elemen-elemen utama suatu proses.
Diagram ini berisikan daftar proses, orang, organisasi, sumber bahan, dan informasi yang dipergunakan dalam suatu proses.
Menurut Pande (2000,p.168)
,nama SIPOC berasal dari kelima elemen yang ada dalam diagram yaitu:
1. Supplier (pemasok) yaitu orang atau kelompok yang menyediakan informasi, material atau sumber-sumber lain yang dibutuhkan oleh proses.
2. Input (masukan) yaitu sesuatu yang diberikan untuk diproses, misalnya material, modal, tenaga kerja, energi, dan informasi.
3. Process (proses) yaitu sekumpulan langkah yang mengubah atau idealnya menambah nilai dari masukan.
4. Output (keluaran) yaitu produk akhir dari proses yang terjadi.
5. Customer (pelanggan) yaitu orang, kelompok, atau proses selanjutnya
yang membutuhkan produk akhir.
S I P O C
suppliers Inputs Process Outputs Customers
Provider
Input requirements and measures
High-level process description
Output requirements
and measures Receiver
start:
End:
Diagram 2.1 Contoh Diagram SIPOC
Sumber: Sanders, Janet H. (2010)
2.4.1.3 Peta Aliran Proses
Menurut Sutalaksana (1979,p.28-30)
,peta aliran proses adalah suatu diagram yang menunjukan urutan-urutan dari operasi, pemeriksaan, transportasi, menunggu, dan penyimpanan yang terjadi selama satu proses atau prosedur berlangsung, serta didalamnya memuat pula informasi- informasi yang diperlukan untuk analisa seperti waktu yang dibutuhkan dan jarak perpindahan. Waktu biasanya dinyatakan dalam jam dan jarak dinyatakan dalam meter, walaupun hal ini tidak terlampau mengikat.
Secara lebih terperinci, berikut diuraikan kegunaan umum dari suatu peta aliran proses:
1. Mengetahui aliran bahan atau aktivitas orang mulai dari awal masuk
dalam suatu proses sampai aktivitas terakhir.
3. Mengetahui jumlah kegiatan yang dialami bahan atau dilakukan orang selama proses berlangsung.
4. Sebagai alat untuk melakukan perbaikan-perbaikan proses atau metode kerja.
5. Khusus untuk peta yang hanya menggambarkan aliran yang dialami oleh suatu komponen atau seseorang, secara lebih lengkap, maka peta ini merupakan suatu alat yang akan mempermudah proses analisa untuk mengetahui tempat-tempat dimana terjadi ketidakefisienan atau terjadi ketidaksempurnaan pekerjaan, sehingga dengan sendirinya dapat digunakan untuk menghilangkan ongkos-ongkos yang tersembunyi.
Ada beberapa prinsip yang bisa digunakan untuk membuat suatu peta aliran proses yang lengkap, yaitu:
1. Pada bagian paling atas ditulis kepalanya “PETA ALIRAN PROSES”, yang kemudian diikuti dengan pencacatan beberapa identifikasi, seperti:
nomor atau nama komponen yang dipetakan, nomor gambar, peta orang atau peta bahan, cara sekarang atau usulan, tanggal pembuatan, dan nama pembuat peta. Semua informasi dicatat disebelah kanan atas kertas.
2. Di sebelah kiri kertas, berdampingan pada informasi yang dicatat pada
poin 1 di atas dicatat mengenai ringkasan yang yang memuat jumlah total
dan waktu total dari setiap kegiatan yang terjadi dan juga mengenai total
jarak yang dialami bahan atau orang selama proses berlangsung.
3. Uraikan proses yang terjadi secara lengkap beserta lambang-lambang dan informasi-informasi mengenai jarak perpindahan, jumlah yang dilayani, waktu yang dibutuhkan dan kecepatan produksi, tambahkan juga kolom analisa, catatan serta tindakan yang diambil berdasarkan analisa tersebut.
2.4.2 Measure
Setelah mendefinisikan sasaran peningkatan dan memetakan informasi kunci proses, langkah operasional kedua yang dilakukan dalam usaha peningkatan kualitas proses adalah measure atau pengukuran kinerja proses saat sekarang. Dalam mengukur kinerja proses hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi karakteristik kualitas kritis (CTQ) dari produk yang dihasilkan, setelah itu dilakukan pengukuran. Pada metode DMAIC dikenal dua macam pengukuran, yaitu:
• Pengukuran kinerja proses
− Membuat Peta Kontrol
− Menghitung Kapabilitas Proses
• Pengukuran Kinerja produk
− Menghitung DPMO (Defect Per Million Opportunity)
− Menghitung tingkat sigma
2.4.2.1 Peta Kontrol
Peta kontrol pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924 dengan maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special-causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (common- causes variation). Pada dasarnya semua proses menampilkan variasi, namun manajemen harus mampu mengendalikan proses dengan cara menghilangkan variasi penyebab-khusus dari proses itu, sehingga variasi yang melekat pada proses hanya disebabkan oleh variasi penyebab-umum. Peta-peta kontrol merupakan alat ampuh dalam mengendalikan proses, asalkan penggunaannya dipahami secara benar (Gaspersz,1998,p.107-108). Pada dasarnya peta-peta kontrol dipergunakan untuk:
• Menentukan apakah suatu proses berada dalam pengendalian batas statistikal, dimana semua nilai rata-rata dan range dari sub-sub kelompok (subgroups) contoh berada dalam batas-batas pengendalian (Control limits), oleh karena itu variasi penyebab-khusus menjadi tidak ada lagi dalam proses.
• Memantau proses terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil
secara statistikal dan hanya mengandung variasi penyebab umum.
• Menentukan kemampuan proses (process capability), setelah proses berada dalam pengendalian statistikal, batas-batas dari variasi proses dapat dikendalikan.
Pada dasarnya setiap peta kontrol memiliki :
• Garis tengah (Central Line), yang dinotasikan sebagai CL.
• Sepasang batas kontrol (Control Limits), dimana satu batas kontrol ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol atas (Upper Control Limit), biasa dinotasikan sebagai UCL, dan yang satu lagi ditempatkan dibawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol bawah (Lower Control Limit), biasa dinotasikan sebagai LCL.
• Tebaran nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Jika nilai yang di-plot di peta kontrol masih berada dalam batas kontrol maka proses yang berlangsung dianggap terkontrol, sedangkan jika nilai di-plot berada di luar batas kontrol maka proses dianggap di luar kontrol sehingga perlu diambil tindakan perbaikan.
Grafik 2.1 Contoh Peta Kontrol
2.3.2.1.1 Jenis-Jenis Data
Menurut Gaspersz (1998,p.43), data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. Berdasarkan data, kita mempelajari fakta-fakta yang ada dan kemudian mengambil tindakan yang tepat berdasarkan fakta itu.
Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu:
• Data Atribut (Attributes Data), yaitu data kulitatif yang dapat dihitung untuk pencatatan dan analisis. Contoh dari data atribut karakteristik kualitas adalah: ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk. Data atribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit nonkonformans atau ketidaksesuaian dengan spesifikasi atribut yang ditetapkan.
•
Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur untuk keperluan analisis. Contoh dari data variabel karakteristik kualitas adalah: diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, banyaknya kertas setiap rim.
Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume
biasanya merupakan data variabel.
2.3.2.1.2 Jenis Peta Kontrol Menurut Jenis Data
Berdasarkan jenis-jenis data data peta kontrol dibagi menjadi dua yaitu peta kendali data variabel dan data atribut (Ariani,1999,p.109-130).
Berikut ini adalah penjelasannya secara lebih rinci:
• Peta kendali Rata-rata dan Range untuk data variabel
Peta pengendali rata-rata merupakan peta pengendali untuk melihat apakah proses masih berada dalam batas pengendalian atau tidak.
Kondisi tersebut dapat dilihat dari produk yang sedang berada dalam proses. Peta pengendali rata-rata juga menunjukan apakah rata-rata produk yang dihasilkan masih baik atau tidak. Peta pengendali ini harus digunakan bersamaan dengan peta pengendali range untuk mengetahui tingkat keakurasian proses.
n =
∑n 1
= i xij
=
X
rata-rata pengukuran untuk setiap kali observasi
g =
∑g 1
= i
Xi
=
X
center line untuk peta pengendali rata-rata
R = X max – X min = range data pada setiap kali observasi
=
= g
∑
g1 - i
Ri
R
center line untuk peta pengendali range
Batas Atas dan Batas Bawah untuk peta pengendali rata-rata adalah
2R A - x X LCL
2R A x X
UCL
= +
=
Batas Atas dan Batas Bawah untuk peta pengendali rata-rata adalah
.D3 R R
LCL
.D4 R R
UCL
=
=
• Peta kendali p dan np untuk data atribut
Peta pengendali p dan np digunakan untuk mengetahui apakah cacat
produk yang dihasilkan masih dalam batas yang disyaratkan. Untuk
peta pengendali p dan np digunakan bila memakai ukuran cacat berupa
proporsi produk cacat dalam setiap sampel yang kita ambil. Bila
sampel yang diambil untuk setiap kali melakukan observasi jumlahnya
sama maka kita dapat menggunakan peta pengendali p (p-chart)
maupun (np-chart). Namun apabila sampel yang diambil bervariasi
untuk setiap kali melakukan observasi berubah-ubah jumlahnya maka
harus menggunakan peta pengendali p (p-chart). Berikut ini rumus-
rumus yang digunakan:
− Peta kendali p (p-chart)
p= xn
Dimana p = proporsi cacat dalam setiap sampel
x = jumlah produk yang cacat dalam setiap sampel n = jumlah sampel yang diambil dalam inspeksi Batas atas dan batas bawah untuk peta pengendali p adalah
ni p) - 3 p(1 p p
UCL = +
CLp = p
ni p) - 3 p(1 - p p LCL =
− Peta kendali np (np-chart)
p) - np(1 3 np np
UCL = +
np CL =
p) - np(1 3 - np np
LCL =
2.4.2.2 Kapabilitas Proses (C
p)
Menurut Gaspersz (1998,p.79-81), kapabilitas adalah kemampuan dari proses dalam menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik maka proses itu akan menghasilkan produk yang berada dalam batas-batas spesifikasi (diantara batas bawah dan batas atas spesifikasi). Sebaliknya, apabila proses memiliki kapabilitas yang buruk, proses tersebut akan menghasilkan banyak produk yang berada diluar batas- batas spesifikasi sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk akan ditolak. Indeks Kapabilitas Proses (C
p) dihitung menggunakan formula berikut:
( )
6s LSL Cp= USL−
Dimana: C
p= indeks kapabilitas proses (process capability index) USL = batas spesifikasi atas (upper specification limit) LSL = batas spesifikasi bawah (lower specification limit) 6s = enam simpangan baku
Jika indeks kapabilitas proses lebih besar atau sama dengan satu
(C
p ≥1), hal itu menunjukan bahwa proses memiliki kapabilitas yang baik,
yang berarti bahwa proses mampu menghasilkan produk yang berada dalam
batas-batas spesifikasi. Sebaliknya, jika nilai indeks kapabilitas proses lebih
kecil dari satu (C
p ≤1), hal itu menunjukan bahwa proses memiliki
kapabilitas yang buruk, yang berarti bahwa proses tidak mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan batas-batas spesifikasi. Untuk keperluan praktek biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut:
• C
p> 1,33 ,berarti proses dianggap mampu (capable).
• C
p= 1,00-1,33 ,berarti proses diangggap mampu namun perlu pengendalian ketat apabila C
ptelah mendekati 1,00 (capable with tight control as C
papproaches 1,00).
• C
p< 1,00 ,berarti proses dianggap tidak mampu.
Biasanya indeks kapabilitas proses (C
p) dipergunakan bersamaan dengan indeks performansi (performance index) atau C
pk, yang dikemukakan oleh Victor E. Kane pada tahun 1986, yang merefleksikan kedekatan nilai rata-rata dari proses sekarang terhadap salah satu batas spesifikasi atas (USL) atau batas spesifikasi bawah (LCL). Indeks performansi kane diduga berdasarkan formula:
C
pk= min (CPL,CPU)
( )
3s LSL CPL= X−
( )
3s X CPU= USL−
Dimana, CPU = indeks kapabilitas atas (upper capability index)
CPL = indeks kapabilitas bawah (lower capability index)
Besaran nilai CPL dan CPU dapat dibandingkan dengan kriteria sebagai berikut:
• Jika CPL > 1,33, maka proses akan mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL). Hal yang sama juga berlaku pada nilai CPU.
• Jika 1,00 < CPL < 1,33, proses masih mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL), namun perlu pengendalian ketat apabila CPL telah mendekati 1,00. Hal yang sama juga berlaku pada nilai CPU.
• Jika CPL < 1,00, proses tidak mampu memenuhi batas spesifikasi bawah (LSL).
Hal yang sama juga berlaku pada nilai CPU.
Menurut Gaspersz (2007,p.296), patut dicatat bahwa angka-angka Cp = 1,0 dan Cp =
1,33 ini adalah berdasarkan referensi pengendalian kualitas 3-sigma, karena
sesungguhnya berdasarkan pengendalian kualitas Six Sigma, angka Cp = 1,0 adalah
sama dengan kemampuan proses pada tingkat 3-sigma, angka Cp = 1,33 adalah sama
dengan kemampuan proses pada tingkat 4-sigma (catatan: 4/3 = 1,33), angka Cp =
1,67 adalah sama dengan kemampuan proses pada tingkat 5-sigma (catatan: 5/3 =
1,67), dan Cp = 2,0 adalah sama dengan kemampuan proses pada tingkat 6-sigma
(catatan: 6/3 = 2,0). Dengan demikian apabila kita konsisten dengan pengendalian
proses 6-sigma, maka angka Cp yang diharapkan adalah sama dengan 2,0; JANGAN
hanya puas di angka Cp = 1,33; karena pada angka Cp = 1,33 hanya menunjukkan
kemampuan proses 4-sigma, yang dalam konsep six sigma Motorola berarti bahwa
proses yang dikendalikan itu masih memiliki 6210 DPMO (Defects Per Million
Opportunities).
2.4.2.3 Pengukuran Kinerja Produk
Berikut ini merupakan langkah-langkah perhitungan DPMO dan tingkat sigma (Pande,2000,p.220-228):
1. Unit (U)
Sebuah item yang sedang diproses, atau produk atau jasa akhir yang diberikan kepada pelanggan.
2. Opportunities (OP)
Merupakan variasi yang timbul dari proses, sehingga akan menghasilkan produk produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan.
3. Defect (Df)
Merupakan jumlah kegagalan untuk memenuhi kebutuhan atau harapan pelanggan atau standar yang telah ditetapkan.
4. Defect Per Unit (DPU)
Merupakan jumlah rata-rata defect terhadap jumlah unit yang diproses.
Defect Per Unit (DPU) =
U Df5. Total Opportunities (TOP) TOP = U x OP
6. Defect Per Opportunities (DPO)
Merupakan proporsi defect terhadap jumlah peluang dalam sebuah
kelompok.
Defect Per Opportunities (DPO) =
TOPDf
7. Defect Per Milion Opportunities (DPMO)
Merupakan jumlah defect yang akan muncul jika ada satu juta peluang.
DPMO = DPO x 1.000.000 8. Level Six sigma
Kemudian nilai DPMO yang didapat dikonversikan kedalam tabel (Lihat Lampiran B)
2.4.3 Analyze
Setelah melakukan pengukuran kinerja proses pada saat sekarang (baseline mesurements). Langkah operasional yang ketiga dalam usaha peningkatan kualitas proses adalah fase Analyze, yaitu menganalisis hubungan sebab-akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan. Dalam fase ini, digunakan metode analisis:
• Diagram Pareto
• Diagram Sebab-Akibat (Fishbone Diagram)
• Diagram Five Whys
• FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
2.4.3.1 Diagram Pareto
Diagram pareto diperkenalkan oleh seorang ahli yaitu Alfredo Pareto (1848-1923). Diagram pareto ini merrupakan suatu gambar yang mengurutkan klasifikasi data dari kiri ke kanan menurut urutan tingkatan tertinggi sampai terendah. Hal ini membantu menemukan permasalahan yang paling penting untuk segera diselesaikan sampai dengan masalah yang tidak harus segera diselesaikan. Diagram pareto juga dapat mengidentifikasi masalah yang paling penting mempengaruhi usaha perbaikan kualitas dan memberikan petunjuk dalam pengalokasian sumber daya yang terbatas untuk menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah langkah-langkah proses penyusunan diagram pareto (Ariani,2004,p.19):
1. Menentukan metode atau arti dari pengklasifikasian data, misalnya berdasarkan masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian, dan sebagainya.
2. Menentukan satuan yang digunakan untuk membuat urutan karakteristik- karakteristik tersebut, misalnya rupiah, frekuensi, unit, dan sebagainya.
3. Mengumpulkan data sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan.
4. Merangkum data dan membuat tingkatan kategori data tersebut mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.
5. Menghitung frekuensi kumulatif atau persentase kumulatif data yang
digunakan.
6. Menggambar diagram batang yang menunjukan tingkat kepentingan relatif masing-masing masalah. Mengidentifikasi beberapa hal yang penting untuk mendapat perhatian.
Count Percent
CountC1
16.7 11.1 5.6
Cum % 38.9 66.7 83.3 94.4 100.0
35 25 15 10 5
Percent 38.9 27.8
Reject E Reject D
Reject C Reject B
Reject A 90
80 70 60 50 40 30 20 10 0
100
80
60
40
20
0 Pareto Chart of Type Reject
Diagram 2.2 Contoh Diagram Pareto
2.4.3.2 Diagram Sebab-Akibat
Diagram sebab-akibat dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa pada tahun 1943, sehingga sering disebut diagram Ishikawa. Diagram sebab-akibat menggambarkan garis dan simbol-simbol yang menunjukan antara akibat dan penyebab suatu masalah. Diagram tersebut memang digunakan untuk mengetahui akibat suatu masalah untuk selanjutnya diambil beberapa tindakan perbaikan. Dari akibat tersebut kemudian dicari beberapa kemungkinan penyebabnya. Penyebab masalah-masalah ini dapat berasal dari berbagai sumber utama, misalnya metode kerja, bahan, pengukuran, karyawan, lingkungan dan seterusnya (Ariani,2004,p.24).
Adapun langkah-langkah pembuatan diagram sebab-akibat adalah sebagai berikut:
1. Pernyataan masalah utama yang penting untuk diselesaikan.
2. Tuliskan pernyataan masalah pada ”kepala ikan” yang merupakan akibat (effect).
3. Tuliskan faktor–faktor penyebab utama (sebab-sebab) yang mempengaruhi masalah kualitas.
4. Tuliskan penyebab–penyebab sekunder yang mempengaruhi penyebab–
penyebab utama.
5. Tuliskan penyebab–penyebab tersier yang mempengaruhi penyebab-
penyebab sekunder.
6. Tentukan item–item yang penting dari setiap faktor dan tandai faktor penting yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas.
7. Catat informasi yang perlu di dalam diagram sebab–akibat tersebut.
Diagram 2.3 Contoh Diagram Sebab-Akibat
2.4.3.3 Diagram Five Whys
Diagram Five Whys adalah teknik yang digunakan dalam tahap Analyze pada metodologi DMAIC Six Sigma. Dengan berulang kali mengajukan pertanyaan "Mengapa”, diagram Five Whys berusaha mengungkapkan gejala yang dapat mengarah pada akar penyebab masalah.
Ketika akar permasalahan diketahui, maka solusi yang tepat untuk
memecahkan masalah tersebut menjadi semakin jelas. Meskipun teknik ini
disebut Five Whys, pertanyaan yang diajukan dapat lebih sedikit atau lebih banyak dari lima sampai pada temuan akar permasalahan.
Langkah – langkah pembuatan diagram Five Whys:
1. Pilih salah satu penyebab masalah yang dapat diambil dari diagram fishbone atau batang tertinggi pada diagram pareto. Pastikan penyebab masalah tersebut telah diketahui dan dimengerti. (Why 1)
2. Membuat pertanyaan “mengapa masalah itu terjadi?” (Why 2)
3. Pilih salah satu alasan pada Why 2 kemudian membuat pertanyaan
“mengapa masalah itu terjadi?” (Why 3)
4. Lanjutkan pertanyaan “mengapa” sampai dirasakan mencapai akar permasalahan tersebut.
Diagram 2.4 Contoh Diagram Five Whys
2.4.3.4 FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
Menurut Sanders, Janet H. (2010), FMEA adalah suatu pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi penyebab kegagalan suatu produk, bagian, proses atau layanan, serta mencari tahu efek yang ditimbulkan dari kegagalan tersebut. Analisis FMEA bertujuan menghasilkan daftar potensial kegagalan, peringkat karakteristik kritis yang perlu dikendalikan dan menghasilkan daftar tindakan yang dapat menghilangkan penyebab kegagalan atau mengurangi tingkat kejadian kegagalan tersebut.
Menurut Stamatis (2003,p.223), Proses FMEA dimulai dengan memberikan bobot kepada setiap tipe modus kegagalan yang potensial menimbulkan cacat pada produk berdasarkan tingkat keparahan (Severity Rate), tingkat kejadian (Occurance Rate) serta kemampuan deteksi (detectability) untuk menentukan skor prioritas (RPN) sebagai suatu indikator terhadap pembuatan solusi-solusi potensial untuk diaplikasikan dalam bentuk tidakan korektif terhadap kecacatan suatu produk. Ada beberapa unsur penting dalam pembuatan FMEA, antara lain yaitu:
• Modus kegagalan potensial, adalah suatu bentuk kesalahan yang mungkin
terjadi selama kegiatan proses produksi baik dari faktor manusia, mesin,
material, lingkungan atau metode yang digunakan, yang dapat
menimbulkan kegagalan dalam proses produksi.
• Efek modus dari kegagalan, adalah akibat atau konsekuensi yang ditimbulkan karena adanya kegagalan dalam proses produksi.
• Penyebab potensial dari modus kegagalan, adalah sebab-sebab potensial yang melatarbelakangi terjadinya kegagalan.
• Kriteria tingkat keparahan (Severity Rate), adalah bobot berupa angka yang mengindikasikan tingkat (Rating) keseriusan atau keparahan dari efek yang ditimbulkan akibat adanya kegagalan.
• Kriteria tingkat kejadian (Occurance Rate), adalah bobot berupa angka yang mengindikasikan rating kemunculan kegagalan.
• Kriteria tingkat deteksi (Detectability), adalah bobot berupa angka yang mengindikasikan rating atau tingkat kemampuan dari sistem pengendalian saat ini untuk mendeteksi atau menemukan setiap modus kegagalan.
• Nomor Resiko Prioritas (Risk Priority Number), adalah bobot berupa angka yang mengindikasikan prioritas utama terhadap risiko yang dihadapi akibat adanya suatu modus kegagalan potensial tertentu.
RPN = O x S x D
Tabel 2.1 Contoh Tabel FMEA
No Fungsi Proses
Jenis Kegagalan
Efek dari
Kegagalan S Penyebab Kegagalan O
Kontrol yang dilakukan
D RPN Penanggulangan
Sumber: Stamatis (2003) p.255
Tabel 2.2 Kriteria Occurance Occurance (O)
Tingkat Kejadian Frekuensi C
pkRating Sangat Kecil 1 dari 1500000 >1,67 1
Rendah 1 dari 150000 1,50 2
1 dari 15000 1,33 3
Sedang 1 dari 2000 1,17 4
1 dari 400 1,00 5
1 dari 80 0,83 6
Tinggi 1 dari 20 0,67 7
1 dari 8 8
Sangat Tinggi 1 dari 3 0,51 9
1 dari 2 0,33 10
Sumber: Stamatis (2003) p.250
Tabel 2.3 Kriteria Severity Severity (S)
Efek Kriteria Rating
Tidak Ada • Tidak ada efek apa-apa buat konsumen 1 Sangat Kecil • Sangat sedikit produk di-rework
• Cacat hanya ditemukan oleh pelanggan tertentu
2 Kecil • Sedikit jumlah (<5%) produk yang di-rework 3 Sangat rendah • Sangat sedikit mengganggu kelancaran lini
produksi
• Sedang jumlah (<10%) produk yang di-rework
4
Rendah • Sedikit mengganggu kelancaran lini produksi
• Sedang jumlah (<15%) produk yang di-rework
5 Sedang • Cukup mengganggu kelancaran lini produksi
• Sedang jumlah (>20%) produk menjadi scrap
6 Tinggi • Mengganggu kelancaran lini produksi 7
• Sedang jumlah (>30%) produk menjadi scrap
• Pelanggan tidak puas
Sangat tinggi • Mengganggu kelancaran lini produksi 8
• Hampir 100 % produk menjadi scrap
• Pelanggan sangat tidak puas Berbahaya dan
ada peringatan
• Dapat membahayakan operator dan peralatan
• Tidak sesuai dengan peraturan pemerintah
9
• Kegagalan akan timbul dengan peringatan Berbahaya
tanpa ada peringatan
• Dapat membahayakan operator dan peralatan
• Tidak sesuai dengan peraturan pemerintah
10
• Kegagalan akan timbul tanpa ada peringatan
Sumber: Stamatis (2003) p.247
Tabel 2.4 Kriteria Detectability Detectability (D)
Tingkat Deteksi Deskripsi Rating
Dapat Terdeteksi • Pengontrolan proses hampir selalu dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Selalu jelas, sangat mudah untuk diketahui.
1
Sangat Tinggi • Sangat tinggi kemungkinan pengontrolan proses dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Jelas bagi indera manusia.
2
Tinggi • Tinggi kemungkinan pengontrolan proses dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Memerlukan inspeksi.
3
Cukup Tinggi • Cukup tinggi kemungkinan pengontrolan proses dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Inspeksi yang hati-hati dengan menggunakan indera manusia.
4
Cukup • Ada kemungkinan pengontrolan proses dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Inspeksi yang sangat hati-hati dengan indera manusia.
5
Rendah • Kecil kemungkinan pengontrolan proses dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Memerlukan bantuan inspeksi dan/ atau pembongkaran sederhana.
6
Sangat Rendah • Sangat kecil kemungkinan pengontrolan proses dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Diperlukan inspeksi dan/ atau pembongkaran.
7
Kecil • Besar kemungkinan pengontrolan proses tidak dapat mendeteksi potensi kegagalan.
• Diperlukan inspeksi dan/ atau pembongkaran yang kompleks.
8
Sangat Kecil • Sangat besar kemungkinan pengontrolan proses tidak dapat mendeteksi potensi kegagalan.
9 Tidak Terdeteksi • Pengontrolan proses tidak dapat mendeteksi potensi kegagalan. 10
Sumber: Stamatis, D. H. (2003). Six Sigma and Beyond. p.253