• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. di tegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. di tegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana di tegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum.” Demikian pula dalam Undang-Undang lainnya yang pernah berlaku di Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dinyatakan dengan tegas di dalamnya bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang dan tidak boleh melanggar hak rakyat yang sudah diberikan.

Penyelenggaraan Pemeritahan Negara Indonesia meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerrintahan Daerah. Pemerintahan Pusat dijalankan oleh Presiden, sedangkan Pemerintahan Daerah diberikan wewenang untuk mengatur untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana tertuang dalam pasal 18 Ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa

“Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Kekuasaan pemerintahan berdasarkan asas otonomi disebut sebagai otonomi daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Angka (6) Undang-

(2)

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sebagaimana dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Sakinah Nadir menerangkan bahwa:

Otonomi daerah sendiri yang mempunyai pengertian sebagai sebuah konsep dasar merupakan sebuah penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya secara mandiri tanpa ada campur tangan urusan pemerintahan pusat didalamnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1

Hak, wewenang dan kewajiban pemerintahan daerah dalam otonomi daerah melahirkan kekuasaan pemerintahan di daerah-daerah yaitu dalam kekuasaaan Pemerintahan Provinsi, Kekuasaan Pemerintahan Kabupaten/Kota, hingga pada kekuasaaan Pemerintahan Desa, yang kemudian kekuasaan pemerintahan tersebut diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan.

Tujuan otonomi daerah, sebagaimana dikutip dari Widjaja menerangkan bahwa:

Otonomi daerah sebagai hak yang dimiliki oleh daerah Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri merupakan pernyataan tentang derajat kebebasan didalam pengelolaan sumber daya alam yang bermanfaat dan sumber daya manusia yang ikut serta membangun daerah, dengan pemberian otonomi kepada daerah diharapkan supaya daerah dapat mengurus dan mengelola sumberdaya yang ada di daerah tersebut, baik itu sumber daya alam yang dipunyai daerah dan juga sumber daya manusia yang dimiliki oleh pemerintah derah.2

Selanjutnya tujuan dilaksanakan otonomi daerah, sebagaimana dikutip dari

1 Sakinah Nadir, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa, Jurnal politik Volum 1 Nomor 1 Tahun 2013 hal. 4.

2Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.17.

(3)

Rozali Abdullah menerangkan bahwa:

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.3

Pembagian kekuasaan pemerintahan di daerah dalam berbagai urusan pemerintahan dalam asas otonom dilaksanakan dalam berbagai asas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan”.

Sebagaimana ketentuan di atas bahwa salah satu asas dalam penyelenggaran urusan pemerintahan di daerah disebut dengan asas tugas pembantuan. Pengertian asas tugas pembantuan mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa:

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Berdasarkan pengaturan di atas sebagaimana dinyatakan oleh Hinca Panjaitan menyatakan yang pada intinya menerangkan bahwa tugas pembantuan dapat juga diartikan sebagai tugas pemerintah daerah untuk mengurusi urusan

3Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Daerah Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2005, hal. 54.

(4)

pemerintahan pusat atau pemerintah yang lebih tinggi, dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya, lebih lanjut maksud diadakan asas tugas pembantuan dalam pembangunan di daerah bertujuan agar keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat dapat ditanggulangi melalui kewe nangan aparatur daerah4.

Sebagaimana dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Rahyunir Rauf menerangkan bahwa:

Pada hakekatnya suatu tugas pembantuan tidak beralih menjadi urusan yang diberi tugas, akan tetapi tetap merupakan urusan pusat atau pemerintah tingkat atasnya yang memberi tugas. Pemerintah di bawahnya sebagai penerima tugas bertanggungjawab kepada yang memberi tugas dan turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan bersangkutan. Tugas pembantuan tidak diberikan kepada pejabat di daerah, melainkan kepada pemerintah daerah, karena bukanlah suatu dekonsentrasi, tetapi bukan pula suatu desentralisasi5.

Urusan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah diklasifikasi menjadi 3 (tiga) urusan Pemerintahan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa

“Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum”. Klasifikasi urusan pemerintahan ini kewenangannnya dibagi atas kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pelaksanaan otonomi daerah dalam pelaksanan urusan pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah Pusat, penyelenggaraanya dapat

4https://www.hukumonline.com/, diakses pada tanggal 11 November 2020, Pukul 21.00 WIB

5Rahyunir Rauf, Perkembangan Asas Tugas Pembantuan Di Indonesia, Jurnal Wedana, Volume IV No 1 April 2018, hal. 1.

(5)

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dengan cara berdasarkan asas tugas pembantuan, hal ini mengacu pada ketentuan dalam Pasal 19 Ayat (1) Huruf (c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa “Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan”.

Dari pengaturan di atas dapat dikatakan bahwa penyelenggaran urusan pemerintahan oleh daerah yang berdasarkan asas tugas pembantuan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, sehingga dalam menetapkan kebijakan terkait urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat berwenang untuk menetapkan segala sesuatu terkait pelaksanaan urusan pemerintah konkuren tersebut yang didasarkan pada ketentuan Dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa “Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (3) berwenang untuk”:

a. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan; dan

b. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Dalam hal pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

(6)

Pemerintahan Daerah sejatinya merupakan tanggung jawab pemerintahan urusan pemerintahan tertinggi kepada pemerintahan di bawahnya. Pemerintaha Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembentukan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sesuai dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan pengaturan di atas dipahami bahwa terkait dengan pelaksaaan urusan pemerintahan berdasarkan asas pembantuan merupakan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pemerintahan tertinggi kepada pemerintahan di bawahnya, misalnya urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan berdasarkan asas tugas pembantuan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dengan kata lain bahwa asas pembantuan berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah yang memberi penugasan, akan tetapi yang menjadi permasalahan bahwa bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah dalam pelaksanaan tugas pembantuan, karena tugas pembantuan bukan merupakan urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah.

daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah, namun disisi lain dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan asas tugas pembantuan, pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa “Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas Pembantuan”.

Selanjutnya dalam Pasal 22 Ayat (2) ditentukan bahwa “Kebijakan Daerah

(7)

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pembantuan di daerahnya”.

Berdasarkan pengaturan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa adanya isu hukum dalam skripsi ini adalah kekaburan norma hukum terkait dengan pelaksanaan asas tugas pembantuan, kekaburan yang dimaksud penulis yaitu terhadap ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu kebijakan yang dapat diambil Pemerintah Daerah atas tugas yang minta bantukan kepadanya oleh pemerintahan yang lebih tinggi, kekaburan hukum yang dimaksud yaitu bahwa ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Pemerintahan Daerah tersebut tidak ada ketegasan karena tidak adanya kewajiban yang jelas kepada daerah untuk melaksanakan tugas pembantuan tersebut.

Termasuk dalam menetapkan aturan terhadap pelaksanaan asas tugas pembantuan tidak ada ketegasan akan hal tersebut, karena dalam ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah hanya menentukan bisa saja dibentuk peraturan lanjutan namun bisa saja tidak.

Adapun fakta hukum terkati pelaksanaan asas tugas pembantuan yaitu terkait dengan urusan kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Wali Kota Jambi Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) Di Area Publik/Dilingkungan Usaha Dan Masyarakat Dalam Pemberlakuan Relaksasi Ekonomi Dan Sosial Kemasyarakatan Pada Masa Pandemi.

Dipahami penulis bahwa pembentukan Peraturan Wali Kota Jambi Nomor

(8)

21 Tahun 2020 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan asas tugas pembantuan karena terkait penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) memenuhi unsur urusan pemerintahan konkuren yang merupakan urusan pemerintahan wajib pemerintah pusat karena terpenuhinya kriteria kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagimana ketentuan dalam Pasal 13 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa “kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau

e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

Dari penyataan di atas, maka sejatinya ada keharusan pertangung jawaban kepala daerah, hal ini didasarkan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum dimana salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap

(9)

tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan bersandar pada asas legalitas itulah pemerintah melakukan berbagai tindakan hukum. Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna pengunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggung jawaban.6

penulis berpendapat bahwa, telah adanya kekaburan hukum mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan asas tugas pembantuan, kekaburan hukum tersebut terkait salah satunya mengenai tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan, karena jika dilihat bahwa tugas pembantuan berarti menjadi tanggung jawab pemerintahan yang memberi penugasan, seperti Pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, namun dalam hal penugasan tersebut berdasarkan asas tugas pembantuan, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan kebijakan dalam bentuk pembentukan peraturan di daerah mengenai pelaksanaan tugas pembantuan di daerahnya, sehingga menurut penulis dengan adanya kebijakan daerah untuk membentuk peraturan daerah, maka dengan kata lain dapat pula daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan pemerintahan berdasarkan asas tugas pembantuan tersebut.

Sehingga penulis ingin mengkaji terkait dengan tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan, karena kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

6Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Reflika Aditama, Bandung, 2011, hal. 132.

(10)

daerah otonom, sehingga kepala daerahlah yang berwenang menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pembantuan di daerahnya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan yang dituangkan dalam proposal ini dengan judul “Analisis terhadap tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah?

2. Bagaimana tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan terhadap urusan pemerintahan pusat?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelenggaraan asas tugas pembantuan kepada daerah terhadap urusan pemerintahan pusat berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan terhadap urusan pemerintahan pusat.

(11)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan penelitian secara teoritis dapat memberikan informasi dan masukan yang berguna serta bermanfaat bagi pengembangan ilmu Hukum Tata Negara sekaligus menjadi bahan referensi atau acuan dalam penulisan bidang yang sama.

2. Kegunaan penelitian secara praktis dapat menambah referensi bahan keperpustakaan dan bahan bacaan mengenai analisis terhadap tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

E. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari adanya salah penafsiran terhadap skripsi ini, haruslah diketahui terlebih dahulu pengertian dari judul skripsi ini terutama kata-kata yang masih kabur pengertiannya, maka penulis menjelaskan beberapa konsepsi yang berkaitan dengan penulisan ini yaitu sebagai berikut:

1. Analisis

Menurut KBBI, menerangkan bahwa analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya dan pemecahan

(12)

persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya.7

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan analisis adalah serangkaian penguraian suatu pokok permasalahan terhadap unsur-unsur yang ada di dalamnya untuk memperoleh pengertian serta maksud dan tujuan yang tepat.

2. Tanggung jawab

Arti tanggung jawab sebagaimana dikutip dari KBBI menerangkan bahwa tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya), fungsi menerima pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.8

3. Kepala Daerah

Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom”.

Berdasarkan pengaturan di atas dapat dikemukakan bahwa kepala daerah adalah sebagai pemimpin dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang selanjutnya kepala daerah memiliki tugas, wewenang, kewajiban dan hak sebagai kepala pemerintahan di daerah.

4. Asas tugas pembantuan

7https://kbbi.web.id/, diakses pada tanggal 14 November 2020, Pukul 22.20 WIB

8https://kbbi.web.id/, diakses pada tanggal 14 November 2020, Pukul 22.25 WIB

(13)

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa:

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

5. Pemerintahan Daerah

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa:

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dalam penulisan ini yaitu mengenai analisis terhadap tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berarti serangkaian penguraian suatu pokok permasalahan sikap tanggung jawab kepala daerah sebagai pemimpin pemerintahan dalam pemerintahan daerah terhadap pelaksanaan penugasan untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan lebih tinggi.

F. Landasan Teoritis

Dalam penyusunan proposal ini mengenai analisis terhadap tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, penulis

(14)

mengacu kepada teori-teori yaitu:

1. Teori Kewenangan

Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi.9

Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-atura yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.

Penyelenggaraan Negara baik eksekutif dan juga legislatif harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang.

Pemerintah dalam melakukan suatu tindakan harus berdasarkan hukum yang ada, dan hukum tersebut merupakan pembatas bagi setiap tindakan pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Berdasarkan definisi kewenangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seorang pejabat atau institusi yang beritindak menjalankan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

Menurut Indroharto dikutip dari Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara mengemukakan tiga macam kewenangan yang bersumber dan peraturan

9Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 71

10 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Sketsa Bayang-Bayang Konflik dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah, Sinar Mulia, Jakarta, 2002, hal. 65

(15)

perundang-undangan. Kewenangan itu, meliputi: atribusi, delegasi dan mandat.11

Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu, dibedakan antara:

1. Yang berkedudukan sebagai original legislator di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah;

2. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.12

Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.13

Mandat diartikan sebagai tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dan Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.14

11 Ibid hal. 85

12 Ibid hal 90

13 Ibid hal. 110

14Ibid

(16)

2. Otonomi Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 angka 6 ditentukan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan sesuai dengan prinsip pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini sebagaimana dikutip dari Ni’matul Huda yang menerangkan bahwa:

Otonomi daerah sejalan pula apabila kita merujuk kepada sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandung pengertian bahwa, pertama, keberadaan daerah otonomi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi. Kedua, satuan pemerintahan tingkat daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan “memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara”.

Ketiga, pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingati hak-hak asal usul dalam daerah- daerah yang bersifat istimewa”.15

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian otonomi daerah di Indonesia adalah, hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

15Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Cet ke-2, hal. 3

(17)

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.16 Menurut Hanif Nurcholis menyatakan bahwa:

“Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku melalui pemerintahan daerah dengan kewenangannya yang memungkinkan mereka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri.”17

Dalam pelaksanaan otonomi daerah salah satunya dilaksanakan dalam bentuk desentralisasi. Dalam Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Jadi pemerintahan daerah mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku.

Joeniarto mengatakan bahwa, desentralisasi adalah memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.18

Pelaksanan pemerintahan daerah dengan desentralisasai merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya

16Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, Cet.1, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005, hal. 52.

17Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 30

18 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.

311.

(18)

dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka munculkan otonomi bagi suatu pemerintah daerah.19

Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas tertib penyelenggara negara, asas proporsionalitas, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas efektivitas, asas profesionalitas, dan asas efisiensi.

Adapun asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan”. Yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Asas Desentralisasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa

“Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi”.

2. Asas Dekonsentrasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (9) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa

“Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil

19Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan otonomi daerah, LIPPI pres, Jakarta, 2007, hal. 52.

(19)

Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum”.

3. Asas Tugas Pembantuan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi”

Mengenai asas pembantuan sebagaimana dalam penulisan ini dalam penyelenggaran urusan pemeritahan daerah yang dikutip dari Siswanto Sunarmo menerangkan bahwa:

Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal.20

Mengenai tugas pembantuan sebagaimana dikutip dari buku yang ditulis oleh Sadu Wasistiono, Etin Indrayani, Andi Pitono menerangkan bahwa:

Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah maupun teori tentang pemerintahan daerah dapat dirumuskan hakekat tugas pembantuan yaitu sebagai berikut:

1. Tugas pembantuan adalah tugas membantu menjalankan urusan pemeritnahan dalam tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional baik bersifat fisik maupun non fisik

20Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 55

(20)

2. Urusan pemerintah yang tugas bantuankan adalah yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya

3. Kewenangan yang dapat ditugas bantuankan adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak ditugaspembantuankan kepada institusi lain

4. Urusan pemerintah atau pemerintah daerah yang ditugasbantuankan tetap menajdi kewenangan dari institusi yang menugaskannya sesuai kebutuhan

5. Kebijakan, strategi, pembiayaan, saran dan prasarana serta sumber daya manusia disediakan oleh institusi yang menugaskannya

6. Kegiatan operasional diserahkan sepenuhnya pada institusi yang diberik penugasan, sesuai dengan situasi, kondisi serta kemampuannya 7. Institusi yang menerima penugasan diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan mengenai urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan.21

Akan tetapi, dalam pemberian tugas pembantuan, Pemerintah daerah atau penerima tugas pembantuan berhak menolak untuk melaksanakan tugas pembantuan tersebut22, hal ini diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan, yaitu :

a. Daerah atau Desa dapat menolak pemberian Tugas Pembantuan sebagian atau seluruhnya apabila tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan, dan b. Penolakan disampaikan secara tertulis kepada pemberi tugas

pembantuan.

G. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan memahami secara terperinci metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, berikut penulis uraikan tentang metodologi dalam penelitian dan penulisan skrips ini:

21Sadu Wasistiono, Etin Indrayani, Andi Pitono, Memahami Asas Tugas Pembantuan, Pandangan Legalistik, Teoretik dan Implementatif, Fokusmedia, Bandung, 2006, hal. 21-22

22Billy Rompas, Kajian Yuridis Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Oleh Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Lex Administratum, Vol.

V/No. 5/Jul/2017, hal. 7

(21)

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yaitu pengkajian hukum terhadap aturan-aturan hukum meliputi

pengkajian asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan atau sejarah hukum dengan tujuan untuk menjelaskan hukum sesuai dengan kasus tertentu.23 Maka penelitian hukum normatif pada penelitian ini dilakukan terhadap tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Pendekatan yang digunakan

Dalam pendekatan penelitian normatif terdapat beberapa pendekatan, yaitu, pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis pendekatan komparatif, pendekatan konseptual, pendekatan politis dan pendekatan kefilsafatan.24

Dilihat dari kajian hukum yang diangkat dari penelitian ini, yaitu mengenai tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka metode pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang atau penelitian terhadap produk-produk hukum25. dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan konseptual (conceptual

86-87.

23Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008 hal.

24Ibid, hal. 92.

25Ibid

(22)

approach). Pendekatan konseptual yaitu penelitian terhadap konsep-konsep

hukum seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya serta pendekatan konseptual dilakukan sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknik yuridis, tataran teori hukum konsep hukummnya konsep umum dan tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep dasar yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti26.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang bersumber dari kepustakaan (penelitian kepustakaan). Adapun penelitian bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini antara lain adalah:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yakni dengan mempelajari peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan masalah yang akan ditulis yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas

Pembantuan.

4. Peraturan Pemerintahan Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Asas Dekosentrasi Dan Asas Tugas Pembantuan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

26Ibid

(23)

mengenai bahan hukum primer, diantaranya diperoleh dengan mempelajari literatur, berupa publikasi yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku hukum, hasil penelitian, jurnal hukum, berbagai website alamat di internet, majalah/koran, skripsi, thesis, dan disertasi.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan yang memberikan definisi, petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus umum dan kamus hukum.

4. Analisis Bahan Hukum

Adapun analisis yang dilakukan dalam penulisan ini sesuai dengan penelitian hukum normatif yang berarti juga penelitian hukum positif yaitu dengan mengkaji sebagai berikut:

a. Mendeskripsi hukum positif, yaitu memaparkan isi dan struktur hukum positif

b. Mensistematisasi hukum positif, yaitu mensistematisasi isi dan struktur hukum positif yang dideskrifsikan

c. Menginterpretasikan hukum positif, yaitu berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam aturan

d. Menilai hukum positif, yaitu merupakan sifat normatif murni dari ilmu hukum, dimana obyeknya bukan hanya norma akan tetapi juga menyangkut dengan dimensi penormaan

e. Menganalisis hukum positif yang maksudnya antara aturan hukum dan kepatutan harus difikirkan dalam suatu hubungan, oleh karena itu norma

(24)

hukum harus bertumpu pada asas-asas hukum dan dibalik asas hukum itu dapat disistematisasi gejala-gejala lain.27

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini ditulis dalam rangkaian yang sistematis, antara bagian- bagian di dalamnya satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat. Guna memberikan gambaran umum hasil proposal skripsi ini maka penulis membagi empat bagian yang terdiri atas empat bab yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini disajikan mengenai latar belakang yang merupakan dasar pemikiran yang melatar belakangi pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM. Bab ini merupakan tinjauan umum, dalam bab ini penulis menyajikan tinjauan umum tentang kewenangan, tinjauan umum tentang pemerintahan daerah dan tinjauan umum tentang asas tugas pembantuan.

BAB III PEMBAHASAN. Bab ini merupakan pembahasan, pada bab ini penulis menguraikan mengenai penyelenggaraan asas tugas pembantuan kepada daerah terhadap urusan pemerintahan pusat

27Ibid, hal. 80-81.

(25)

berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan tanggung jawab kepala daerah dalam pelaksanaan asas tugas pembantuan terhadap urusan pemerintahan pusat.

BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran yang berkenaan dengan permasalahan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Sekarang, bila menu tidak ditampilkan, Anda dapat menekan tombol Select untuk mengganti pengaturan pembesaran (Magnify Level, Magnify Horizontal Position dan Magnify

Merujuk pada hasil analisis hidrometeorologis dan analisis kondisi resapan air dari data karakteristik DAS bahwa akumulasi infiltrasi yang mempengaruhi perubahan cadangan

Beberapa sumber risiko yang bisa mempengaruhi besarnya suatu investasi menurut Zubir (2011:20-23), antara lain. 1) Risiko suku bunga, yaitu risiko yang disebabkan

7 Fed u svojem djelovanju koristi standardne instrumente poput operacija na otvorenom tržištu, kamatne stope te obvezne rezerve, točnije, Odbor guvernera

Berpijak dari teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Solow tentang fungsi produksi agregat (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2004) menyatakan bahwa ouput

convergence pada sisi VRF yang telah dikonfigurasi antara Customer Edge router dan mengetahui bahwa VRF sudah berjalan dengan baik. Gambar 4.39 Pengecekan modularitas

Pada tahun 2004, jumlah pekerja migran perempuan di Malaysia sebanyak 49%, dan di Arab Saudi sebanyak 94% dari total pekerja migran Indonesia yang tercatat.. • Malaysia merupakan