• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIKROORGANISME LOKAL (MOL) SEBAGAI PAKAN TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI DAN ANTINUTRISI ASAM SIANIDA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MIKROORGANISME LOKAL (MOL) SEBAGAI PAKAN TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI DAN ANTINUTRISI ASAM SIANIDA SKRIPSI"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) DENGAN MIKROORGANISME LOKAL (MOL) SEBAGAI PAKAN

TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI DAN ANTINUTRISI ASAM SIANIDA

SKRIPSI Oleh:

INDRA S. SIBURIAN 150306059

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)

ANTINUTRISI ASAM SIANIDA

SKRIPSI Oleh:

INDRA S. SIBURIAN 150306059

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(3)
(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi PENGARUH FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) MENGGUNAKAN MIKROORGANISME LOKAL (MOL) SEBAGAI PAKAN TERHADAP KANDUNGAN NUTRISI DAN ANTINUTRISI ASAM SIANIDA adalah benar merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri di bawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan dalam skripsi ini telah dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi serta dapat diperiksa kebenarannya. Skripsi ini juga belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis perguruan tinggi lain.

Medan, April 2019

Indra S. Siburian NIM 150306059

(5)

INDRA S. SIBURIAN: Pengaruh Fermentasi Kulit Singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan Mikroorganisme Lokal Sebagai Pakan Terhadap Kandungan Nutrisi dan Antinutrisi Asam Sianida. Dibimbing oleh R. EDHY MIRWANDHONO dan YUNILAS.

Kulit singkong merupakan limbah pengolahan singkong yang cukup menjanjikan untuk dijadikan alternatif pakan ternak. Masalah utama kulit singkong adalah protein kasar rendah, serat kasar tinggi, dan antinutrisi asam sianida tinggi. Fermentasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas kulit singkong. Fermentasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) dengan bahan utama kulit singkong itu sendiri.

Penelitian ini berlangsung selama 3 bulan mulai dari Desember 2018 sampai Februari 2019 di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pengolahan Pakan Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Agrokimia dan Sumber Daya Alam di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan, adapun faktor I adalah berbagai dosis MOL dan faktor II adalah lama fermentasi, dengan parameter yang diteliti adalah kadar air/bahan kering, lemak kasar, protein kasar, serat kasar, abu, BETN menggunakan analisis proksimat dan kadar asam sianida menggunakan metode titrimetri. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan MOL dengan dosis 3 % (D2) dan lama fermentasi 5 hari (L2) adalah perlakuan yang optimal dan efisien untuk meningkatkan kadar air, protein kasar, dan BETN serta menurunkan kadar bahan kering, lemak kasar, serat kasar, abu, dan asam sianida.

Kata kunci: kulit singkong, mikroorganisme lokal (MOL), kandungan nutrisi, asam sianida

(6)

INDRA S. SIBURIAN: The Effects of Fermentation of Cassava Peel (Manihot esculenta Crantz) by Indigenous Microorganisms (IMO) As Animal Feed Against Nutrient Content and Antinutrient Cyanide Acid. Guided by R.

EDHY MIRWANDHONO and YUNILAS.

Cassava peel was the waste of processing cassava which is promising enough to be used as alternative animal feed. The main problem of cassava peel were low crude protein, high crude fibre, and high cyanide acid. Fermentation was one of the way to increase the quality of cassava peel. Fermentation used in this research utilized Indigenous Microorganisms (IMO) with the main substance was the cassava peel itself. This research lasted for 3 months started from December 2018 to February 2019 at the Laboratory of Microbiology and Laboratory of Feed Processing Science and Technology Department of Animal Science Faculty of Agriculture University of Sumatera Utara and Laboratory of Agrichemists and Natural Resources at the Industrial Research and Standardization Office of Medan. This research was designed using Completely Randomized Design (CRD) factorial pattern of 3 x 3 with 3 replications, as factor I was the dose of Indigenous Microorganisms (IMO) and factor II was the duration of fermentation. The parameters measured were water content/dry matter, crude fat, crude protein, crude fibre, ash, Non Nitrogen Free Extract (NNFE) using proximate analysis and cyanide acid using titrimetry method.

Based on the results known that fermentation of cassava peel by Indigenous Microorganisms (IMO) with dose 3 % (D2) and length of fermentation 5 days (L2) were optimal and efficien treatments to increase water content, crude protein, and non nitrogen free extract (NNFE) and decrease dry matter, crude fat, crude fibre, ash, and cyanide acid.

Keywords: cassava peel, indigenous microorganisms (IMO), nutrient content, cyanide acid

(7)

RIWAYAT HIDUP

Indra Satria Siburian, dilahirkan di Pematangsiantar pada 24 Juni 1997.

Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Jonni Parlinggoman Siburian dan Ibu Lidia Naiborhu, A.M.Keb.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SD Swasta RK 7 Pematangsiantar pada tahun 2009, pendidikan menengah pertama dari SMP Swasta RK Bintang Timur Pematangsiantar pada tahun 2012, dan pendidikan menengah atas dari SMA Negeri 4 Medan pada tahun 2015. Di tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMBPTN.

Penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan, baik intra maupun ekstra kampus selama masa perkuliahan, di antaranya Biro Kerohanian Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Pertanian USU masa bakti 2016/2017, Koordinator Bidang Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (Imakrip) USU masa bakti 2016/2017, Wakil Sekretaris Bidang Kerohanian Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Pertanian USU masa bakti 2017/2018, dan Sekretaris Umum Ikatan Mahasiswa Peternakan (Imapet) USU masa bakti 2018/2019.

Pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2017, penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata – Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN – PPM) bersama kelompok II yang ditempatkan di Desa Rimokayu, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Pada bulan Desember tahun 2017,

(8)

penulis menjadi finalis Lomba Debat Peternakan Nasional di Institut Pertanian Bogor.

Di awal tahun 2018, penulis mengikuti Kursus dan Workshop Quality Management System ISO 9001:2015, Environment Management System ISO 14001:2015, serta ISPO dan RSPO yang diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Komisariat Fakultas Pertanian USU dan

“de Guru Consulting”.

Penulis juga merupakan asisten Laboratorium Ransum Non Ruminansia tahun 2018, asisten Laboratorium Genetika Ternak tahun 2018, asisten Laboratorium Bahan Pakan dan Formulasi Ransum tahun 2018, asisten Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak tahun 2018, dan asisten Laboratorium Teknologi Pengolahan Pakan tahun 2019.

Penulis tergabung dalam Kelompok IV yang melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Kelompok Ternak Rinta, Dusun Kutalepar, Desa Durin Tonggal, Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli sampai Agustus 2018.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala pujian, syukur, serta pengagungan penulis persembahkan ke hadirat Allah, Bapa yang begitu luar biasa atas segala penyertaan-Nya dalam Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus yang memberikan kekuatan kepada penulis sehingga penulis dimampukan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Fermentasi Kulit Singkong (Manihot esculenta Crantz) dengan Mikroorganisme Lokal (MOL) Sebagai Pakan Terhadap Kandungan Nutrisi dan Antinutrisi Asam Sianida”.

Ucapan terimakasih penulis haturkan dengan segala kerendahan hati kepada ketua dan anggota komisi pembimbing, yang terhormat Ir. R. Edhy Mirwandhono, M.Si. dan Dr. Ir. Yunilas, MP yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing penulis hingga menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua sivitas akademika di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara atas peranannya kepada penulis. Penulis mengucapkan terimakasih dengan penuh kebanggaan kepada orangtua dan seluruh anggota keluarga yang dengan penuh kasih sayang telah memelihara, mendidik, dan mendukung penulis dalam segala hal, baik moral dan materi. Tak lupa ucapan terimakasih kepada teman-teman yang menjadi bagian dalam perjalanan perkuliahan, penulisan proposal, penelitian, dan turut serta membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis mempersembahkan karya tulis sederhana ini yang masih perlu mendapat perbaikan dari para pembaca. Dengan harapan kiranya skripsi ini memiliki nilai guna bagi masyarakat, pengembangan ilmu pengetahuan, dan bernilai ibadah di hadapan Tuhan Allah, Bapa.

(10)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

RIWAYAT HIDUP ... ...iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA Singkong (Manihot esculenta Crantz) ... 5

Potensi Kulit Singkong Sebagai Pakan Ternak ... 6

Kandungan Antinutrisi Asam Sianida dan Dampak Ketoksikannya ... 9

Teknologi Fermentasi... 13

Perubahan Kandungan Nutrisi Kulit Singkong dengan Fermentasi Air/Bahan Kering ... 17

Ekstrak Eter/Lemak Kasar ... 20

Protein Kasar... 21

Serat Kasar ... 24

Abu ... 26

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) ... 28

Degradasi Anti Nutrisi Asam Sianida dengan Fermentasi ... 29

Mikroorganisme Lokal (MOL) ... 31

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

Alat dan Bahan Alat ... 34

Bahan ... 34

Metode Penelitian... 35

(11)

Parameter Penelitian

Kandungan Nutrisi Kulit Singkong ... 36

Kandungan Antinutrisi Asam Sianida ... 44

Pelaksanaan Penelitian...46

Analisis Data ... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN Air/Bahan Kering ... 48

Lemak Kasar ... 55

Protein Kasar ... 59

Serat Kasar ... 65

Abu ... 70

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) ... 74

Asam Sianida (HCN) ... 77

Rekapitulasi Data Hasil Penelitian...83

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 86

Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN...95

(12)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Penggunaan singkong di Indonesia ... 8

2. Kandungan nutrisi kulit singkong ... 16

3. Rancangan penelitian yang akan digunakan ... 36

4. Kadar air kulit singkong fermentasi (%) berdasarkan bahan kering ... 48

5. Kadar bahan kering kulit singkong fermentasi (%)...52

6. Kadar lemak kasar kulit singkong fermentasi (%) berdasarkan bahan kering...55

7. Kadar protein kasar kulit singkong fermentasi (%) berdasarkan bahan kering...59

8. Kadar serat kasar kulit singkong fermentasi (%) berdasarkan bahan kering. 65 9. Kadar abu kulit singkong fermentasi (%) berdasarkan bahan kering ... 70

10. Kadar BETN kulit singkong fermentasi (%) berdasarkan bahan kering ... 74

11. Kadar asam sianida kulit singkong fermentasi (mg/kg) berdasarkan bahan segar...77

12. Pengaruh dosis MOL dan lama fermentasi terhadap kandungan nutrisi dan antinutrisi asam sianida...84

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Tanaman singkong (a) batang, (b) daun, (c) umbi ... ...6

2. Berbagai olahan dari singkong, seperti (a) tape, (b) keripik, (c) aneka kue dan gorengan...7

3. Pohon industri singkong ... ...8

4. Kulit singkong ... ...9

5. Mekanisme keracunan akibat asam sianida ... ...12

6. Proses pembentukan air oleh metabolisme mikroba ... ...51

7. Proses degradasi lemak oleh enzim lipase yang dihasilkan mikroba ...58

8. Proses degradasi protein oleh enzim protease yang dihasilkan mikroba...63

9. Struktur komponen penyusun serat kasar ... ...67

10. Proses degradasi serat oleh enzim selulase yang dihasilkan mikroba...68

11. Proses degradasi asam sianida oleh enzim linamarase yang dihasilkan mikroba...81

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Hasil analisis kadar air kulit singkong fermentasi (%) ...95

2. Hasil analisis kadar bahan kering kulit singkong fermentasi (%)...98

3. Hasil analisis kadar lemak kasar kulit singkong fermentasi ... 100

4. Hasil analisis kadar protein kasar kulit singkong fermentasi ... 101

5. Hasil analisis kadar serat kasar kulit singkong fermentasi ... 103

6. Hasil analisis kadar abu kulit singkong fermentasi ... 105

7. Hasil analisis kadar BETN kulit singkong fermentasi ... 108

8. Hasil analisis kadar asam sianida singkong fermentasi ... 110

9. Analisis jumlah koloni mikroba pada MOL berdasarkan lama fermentasi...112

10. Bahan-bahan pembuatan MOL ... 113

11. Fermentasi kulit singkong ... 114

12. Analisis proksimat dan analisis kadar asam sianida ... 115

13. Supervisi komisi pembimbing dan presentasi hasil penelitian sementara....117

(15)

Latar Belakang

Pakan menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan bagi produktivitas ternak. Pemberian pakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, membentuk sel-sel baru, menggantikan sel yang rusak (untuk pertumbuhan), dan untuk produksi. Demikian pentingnya keberadaan pakan bagi ternak, sehingga keberadaannya mutlak diperlukan. Namun, biaya pakan atau ransum dapat mencapai 70 % dari total biaya pemeliharaan ternak. Hal ini tentu saja menjadi permasalahan yang cukup pelik untuk dihadapi oleh peternak, khususnya peternak rakyat. Banyak hal yang telah dilakukan sebagai alternatif untuk menekan biaya pakan yang tinggi tersebut, di antaranya adalah pemanfaatan limbah tanaman pangan dan industri pangan. Pemanfaatan limbah ini dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah penyediaan pakan dan juga sebagai salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang diakibatkannya (Akhadiarto, 2010). Salah satu limbah tanaman pangan dan industri pangan yang dapat dimanfaatkan adalah kulit singkong.

Kulit singkong merupakan limbah hasil pengupasan pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong. Badan Pusat Statistik (2018) mencatat di Sumatera Utara terdapat 1.619.495 ton produksi singkong pada tahun 2015. Dari produksi singkong ini dapat dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 259.119,2 ton (konversi 16 % kulit singkong dari berat umbi singkong) (Supriyadi, 1995).

Ketersediaan kulit singkong yang melimpah ini menjadi potensi yang cukup menjanjikan untuk menjadikan kulit singkong sebagai alternatif pakan ternak asal

(16)

limbah. Selain ketersediaannya yang melimpah, banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa nilai nutrisi yang terdapat pada kulit singkong cukup baik.

Rukmana (1997) menyatakan bahwa kandungan nutrisi kulit singkong di antaranya protein kasar sebesar 8,11 %, serat kasar 15,20 %, lemak kasar 1,29 %, kalsium 0,63 %, phospor 0,22 %, dan TDN 74,73 %. Sementara itu, Richana (2013) menyatakan bahwa kadar protein kasar pada kulit singkong adalah 1,5 - 3,7 %, serat kasar 17,5 - 27,4 %, lemak kasar 0,8 - 2,1 %, kalsium 0,42 - 0,77 %, phospor 0,02 - 0,10 %, magnesium 0,12 - 0,24 %, dengan kadar air sebesar 7,9 - 10,32 %, dan kadar abu sebesar 44 - 59 %.

Kandungan protein pada kulit singkong yang terbilang rendah serta serat kasar yang tinggi mengakibatkan kecernaan terhadap kulit singkong rendah menjadi kendala pemanfaatan kulit singkong sebagai pakan, di samping itu terdapat pula kendala lainnya, yaitu keberadaan asam sianida (HCN) yang merupakan zat antinutrisi dan dapat berperan sebagai racun bagi ternak yang mengonsumsinya. Hidrogen sianida (HCN) atau prussic acid atau asam sianida adalah senyawa kimia yang bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit (akut) (Yuningsih, 2012).

Berbagai macam pengolahan dilakukan terhadap bahan pakan dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan nutrisi dan menurunkan zat antinutrisi, seperti pengolahan secara fisik, kimia, dan biologi, atau kombinasinya (fermentasi). Kompiang, et al. (1994) menyatakan bahwa teknologi untuk meningkatkan mutu bahan pakan adalah dengan fermentasi. Dengan fermentasi maka kualitas nutrisi pada bahan pakan akan meningkat. Di samping itu,

(17)

fermentasi juga diketahui dapat menurunkan kandungan antinutrisi, seperti asam sianida (Kompiang, et al., 1993).

Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan melibatkan peran mikroorganisme (Pamungkas, 2011). Selama ini proses fermentasi sudah banyak digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kandungan nutrisi suatu bahan pakan terutama kandungan proteinnya, juga dapat mengurangi atau menghilangkan asam sianida, maka teknik fermentasi adalah salah satu proses yang sangat tepat dalam mengolah kulit singkong sebelum diberikan kepada ternak (Hidayat, 2009).

Mikroorganisme Lokal (MOL) dapat digunakan menjadi starter dalam teknologi fermentasi. Mikroba yang berasal dari substratnya sendiri memiliki kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi substratnya tersebut (Yunilas, et al., 2013).

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian terkait penggunaan Mikroorganisme Lokal (MOL) berbasis kulit singkong pada fermentasi kulit singkong itu sendiri dengan berbagai dosis dan lama fermentasi terhadap kandungan nutrisi dan antinutrisi asam sianida.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Menguji pengaruh tiga taraf dosis mikroorganisme lokal (MOL) dan tiga taraf lama fermentasi terhadap kandungan nutrisi pada kulit singkong fermentasi.

2. Menguji pengaruh tiga taraf dosis mikroorganisme lokal (MOL) dan tiga taraf lama fermentasi terhadap kandungan antinutrisi asam sianida (HCN) pada kulit singkong fermentasi.

(18)

Hipotesis Penelitian

Dosis Mikroorganisme Lokal (MOL) tertinggi dan taraf waktu fermentasi yang paling lama dalam penelitian akan meningkatkan kandungan nutrisi serta menurunkan kandungan antinutrisi asam sianida (HCN) pada kulit singkong fermentasi.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Bagi akademisi; penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi dan menjadi salah satu bahan untuk rujukan dalam penulisan karya tulis ilmiah selanjutnya.

2. Bagi peternak; penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan referensi dalam mengolah kulit singkong sebagai pakan agar kandungan nutrisi dapat meningkat dan antinutrisi asam sianida dapat berkurang.

3. Bagi pemerintah dan pembuat kebijakan; penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi, referensi, dan bahan pertimbangan untuk meningkatkan produksi singkong sebagai bahan pangan dan bahan baku industri melalui pemberdayaan petani mengingat limbahnya sangat berpotensi dijadikan pakan ternak sehingga mendukung pemanfaatan limbah dengan lebih optimal (zero waste).

(19)

Singkong (Manihot esculenta Crantz)

Singkong merupakan produk pertanian yang sangat populer dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Singkong merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia. Secara taksonomi, singkong termasuk dalam Kingdom: Plantae, Sub Kingdom: Tracheobionta, Super Divisi: Spermatophyta, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Sub Kelas: Rosidae, Ordo:

Euphorbiales, Famili: Euphorbiaceae, Genus: Manihot, Spesies: Manihot esculenta Crantz (Bargumono, et al., 2013). Beberapa nama daerah singkong (ketela pohon) antara lain ubi kayu (Sumatera), pohong, budin (Jawa), sampek, boled (Sunda), dan kasepe (Papua) (Sarjiyah, et al., 2016).

Balitkabi (2016) mendeskripsikan bahwa singkong merupakan tanaman berkayu, batang berbentuk silindris dengan diameter 2 - 6 cm, beruas berupa benjolan bekas tangkai daun yang telah gugur yang tersusun secara berselang- seling, tinggi tanaman 1,5 - 5 m. Batang muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna keputihan, kelabu atau hijau kelabu, kemerahan, dan coklat tergantung varietas. Batang berlubang, berisi empulur berwarna putih, lunak dengan struktur seperti gabus. Batang singkong ada yang bercabang dan ada yang tidak bercabang tergantung varietas dan lingkungan. Singkong termasuk berdaun tunggal karena hanya terdapat satu helai daun pada setiap tangkai daun. Ujung daun meruncing, susunan tulang daun menjari dengan cangkap 5 - 9 helai. Bunga singkong termasuk berumah satu (monocious), bunga jantan dan betina terletak pada tangkai bunga yang berbeda dalam satu batang untuk tiap tanaman. Umbi singkong berbeda dengan umbi tanaman umbi-umbian lain. Umbi secara anatomis

(20)

sama dengan akar, tidak mempunyai mata tunas sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat perbanyakan vegetatif. Secara morfologis, bagian umbi dibedakan menjadi tangkai, umbi, dan bagian ekor pada bagian ujung umbi. Tangkai ujung bervariasi dari sangat pendek (kurang dari 1 cm) hingga panjang (lebih dari 6 cm).

Ekor umbi ada yang pendek dan ada yang panjang. Bentuk umbi beragam mulai agak gemuk membulat, lonjong, pendek hingga memanjang. Warna kulit umbi putih, abu-abu, cokelat cerah hingga cokelat tua. Warna kulit bagian dalam umbi terdiri atas putih, kuning, krem, jingga, dan kemerahan hingga ungu. Warna daging umbi pada umumnya putih, namun ada yang berwarna kekuningan.

a b c

Gambar 1. Tanaman singkong (a) batang, (b) daun, (c) umbi

Potensi Kulit Singkong Sebagai Pakan Ternak

Singkong merupakan hasil pertanian yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman pangan dan bahan baku industri pangan. Singkong dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jenis olahan langsung berbahan baku singkong antara lain ubi rebus, ubi goreng, keripik, balung kethek, manggleng, enye-enye, sermier, alen-alen, slondok, tape, peuyeum, gethuk.

Produk intermediate asal singkong di antaranya gaplek, tepung kasava, tapioka, sagu kasbi, dan kasoami, serta teknologi bioproses yang memanfaatkan singkong (Balitbangtan, 2011).

(21)

a b c

Gambar 2. Berbagai olahan dari singkong, seperti (a) tape, (b) keripik, (c) aneka kue dan gorengan

Begitu banyaknya produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan singkong. Badan Pusat Statistik (2018) mencatat produksi singkong di Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2015 adalah 21.801.415 ton. Sementara itu, di Sumatera Utara, pada tahun yang sama produksinya mencapai 1.619.495 ton.

Produksi singkong yang tinggi ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan singkong di Sumatera Utara sangat penting dan krusial, tentunya di bidang pangan dan industri. Pada umumnya, masyarakat memanfaatkan daun singkong sebagai sayuran, batang sebagai stek untuk perbanyakan singkong, daging umbi sebagai makanan pokok dan bahan baku industri, sementara kulit singkong tidak dimanfaatkan dan dibuang sehingga menjadi limbah.

(22)

Gambar 3. Pohon industri singkong (Bantacut dan Saptana, 2014)

Kulit singkong dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak yang potensial.

Pemanfaatan limbah kulit singkong sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah penyediaan pakan dan juga sebagai salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang diakibatkannya (Akhadiarto, 2010). Kulit singkong sebagai bagian dari singkong yang digunakan untuk pakan ternak belum optimal pemanfaatannya. Hal ini dapat dilihat dari penggunaannya hanya 2 % dari total produksi singkong (BPS, 2007). Penggunaan singkong di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penggunaan singkong di Indonesia

Penggunaan Ton % Produksi

Pangan manusia 12,50 53

Pakan ternak 0,34 2

Industri pangan 2,01 8

Industri non pangan 8,93 37

Kebutuhan total 23,78

Produksi total 19,32

Defisit 4,46

Sumber: BPS (2007)

(23)

Gambar 4. Kulit singkong

Kulit singkong terkandung dalam setiap umbi singkong dan keberadaannya mencapai 16 % dari berat umbi singkong tersebut (Supriyadi, 1995), sehingga apabila pada tahun 2015 produksi singkong di Sumatera Utara sebesar 1.619.495 ton, maka jumlah kulit singkong yang dihasilkan adalah sebesar 259.119,2 ton. Jumlah ini tergolong tinggi dan menjadikan ketersediaan kulit singkong melimpah sehingga terbuka peluangnya sebagai pakan ternak.

Kandungan Antinutrisi Asam Sianida dan Dampak Ketoksikannya

Meskipun kulit singkong merupakan limbah potensial yang dapat dijadikan alternatif sebagai pakan ternak, namun terdapat faktor pembatas dalam penggunaannya, yaitu adanya kandungan asam sianida (HCN). Asam sianida adalah senyawa kimia dari kelompok siano, yang terdiri dari tiga buah atom karbon yang berikatan dengan nitrogen (C=N) dan dikombinasi dengan unsur- unsur yang lain, seperti kalium atau hidrogen. Secara spesifik, sianida adalah anion CN-. Senyawa ini ada dalam bentuk gas, liquid (cairan), dan solid (garam) (Cahyawati, et al., 2017).

Asam sianida merupakan gas yang tidak berasa dan memiliki bau pahit seperti bau almond. Dalam bentuk cairan, asam sianida tidak berwarna atau dapat juga berwarna biru pucat pada suhu kamar. Asam sianida bersifat volatil dan

(24)

mudah terbakar serta dapat berdifusi baik dengan udara dan bahan peledak, juga sangat mudah bercampur dengan air (Cahyawati, et al., 2017).

Asam sianida merupakan zat antinutrisi dan dapat berperan sebagai racun bagi ternak yang mengonsumsinya. Asam sianida ada dalam semua bagian tanaman singkong. Asam sianida atau glukosida sianogenat merupakan senyawa berupa linamarin dan lotaustralin. Glukosida ini disintesa pada daun dan kemudian hasilnya dibawa ke umbi dan bagian lain dari tanaman tersebut.

Senyawa linamarin dan lotaustralin akan menghasilkan racun bila senyawa tersebut bereaksi dan dipecah oleh enzim linamarase atau β-glukosidase. Enzim linamarase dan β-glikosidase akan aktif pada saat tanaman singkong mengeluarkan getah akibat perlakuan pematahan, penyayatan, pemotongan, dan pengupasan (Hidayat, 2009). Tingkat bahaya kulit singkong berdasarkan kandungan asam sianidanya menurut WHO (2004) adalah 1) aman dikonsumsi dan tidak berbahaya dengan kadar asam sianida kurang dari 50 mg/kg bahan segar; 2) beracun sedang dan cukup berbahaya dengan kadar asam sianida antara 50 sampai 100 mg/kg bahan segar; 3) sangat berbahaya dengan kadar asam sianida lebih besar dari 100 mg/kg bahan segar.

Diketahui bahwa kandungan asam sianida yang terdapat pada kulit singkong berkisar 150 - 360 mg/kg berat segar (Cuzin dan Labat, 1992). Sandi, et al. (2013) menyatakan bahwa kulit singkong mengandung 109 ppm asam sianida.

Melihat kandungan asam sianida pada kulit singkong lebih besar dari 100 ppm maka kulit singkong dapat membahayakan bagi ternak yang mengonsumsinya.

Asam sianida bersifat sangat letal karena dapat berdifusi dengan cepat pada jaringan dan berikatan dengan organ target dalam beberapa detik. Dosis letal

(25)

pada pemberian pakan tunggal yang mengandung asam sianida untuk sapi dan domba kurang lebih 2 mg/kg berat badan (Clarke dan Clarke, 1975). Dilaporkan bahwa ternak domba mampu mentoleransi asam sianida pada konsentrasi 2,5 - 4,5 ppm per kg bobot hidup (Butler, et al., 1965).

Cahyawati, et al. (2017) menjelaskan mekanisme keracunan akibat asam sianida, di mana asam sianida dapat berikatan dan menginaktifkan beberapa enzim, terutama yang mengandung besi dalam bentuk ferri (Fe3+) dan kobalt (Co).

Asam sianida dapat menyebabkan terjadinya hipoksia intraseluler melalui ikatan yang bersifat irreversible dengan cytochrome oxidase a3 di dalam mitokondria.

Ikatan sianida dengan ion ferri pada cytochrome oxidase a3 akan mengakibatkan terjadinya hambatan pada enzim terminal dalam rantai respirasi, rantai transpor elektron, dan proses fosforilasi oksidasi. Gangguan pada proses ini akan berakibat fatal karena proses tersebut penting untuk mensintesis ATP dan berlangsungnya respirasi seluler. Suplai ATP yang rendah ini mengakibatkan mitokondria tidak mampu untuk mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun kadar oksigen dalam darah normal, tidak mampu digunakan untuk menghasilkan ATP. Akibatnya adalah terjadi pergeseran dalam metabolisme dalam sel, yaitu dari aerob menjadi anaerob. Penghentian respirasi aerobik juga menyebabkan akumulasi oksigen dalam vena. Pada kondisi ini, permasalahannya bukan pada pengiriman oksigen tetapi pada pengeluaran dan pemanfaatan oksigen di tingkat sel. Hasil dari metabolisme anaerob ini berupa penumpukan asam laktat yang pada akhirnya akan menimbulkan kondisi metabolik asidosis.

Penghambatan pada cytochrome oksidase a3 ini bukan merupakan satu- satunya mekanisme yang berperan dalam keracunan sianida. Terdapat beberapa

(26)

mekanisme lain yang terlibat, di antaranya penghambatan pada enzim karbonik anhidrase yang berperan penting untuk memperparah kondisi metabolik asidosis dan ikatan dengan methemoglobin yang terdapat konsentrasinya antara 1 sampai 2

% dari kadar hemoglobin. Ikatan sianida ini menyebabkan jenis hemoglobin ini tidak mampu mengangkut oksigen (Cahyawati, et al., 2017). Mekanisme keracunan akibat asam sianida disajikan pada Gambar 1.

Gambar 5. Mekanisme keracunan akibat asam sianida (Jillian, 2011) Efek toksisitas sianida terhadap ternak bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) ukuran dan jenis hewan, 2) kecepatan hewan mengunyah pakan, 3) jenis sianogen dalam tanaman, 4) keaktifan enzim dalam memecah pakan, dan 5) daya detoksifikasi sianida (Osweiler, et al., 1976). Gejala keracunan sianida adalah susah bernafas, denyut nadi cepat, lemah, tremor, mata terbelalak, kembung dan kadang-kadang terjadi salivasi dan muntah, kejang- kejang, dan lapisan mukosa berwarna merah terang (Osweiler, et al., 1976; Clarke dan Clarke 1977; Robson 2007). Terkadang hewan mati tanpa terlihat gejalanya karena efeknya secara langsung kekurangan oksigen pada otak dan jantung yang dapat mempercepat kematian. Pengamatan gejala intoksikasi sianida kronis dapat

(27)

dilakukan berdasarkan perkembangan fungsi tiroid (Bahri, et al., 1984) dan syaraf (Kwok, 2008) dan biasanya terjadi pada ternak yang mengonsumsi singkong dalam jangka waktu lama dan terus-menerus dengan keadaan nutrisi buruk (Yuningsih, 2012).

Fermentasi

Fermentasi merupakan salah satu bentuk penerapan bioteknologi.

Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Saono, 1976) dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut (Winarno, et al., 1980). Fermentasi mengakibatkan senyawa organik kompleks dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana (Pamungkas, 2011). Fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya starbio, starbioplus, EM-4, dll) (Yunilas, 2009).

Mikroba mampu melaksanakan semua kegiatan atau reaksi‐reaksi biokimia yang sangat kompleks untuk melangsungkan pengembangan generatif dengan kecepatan relatif cepat. Dunia mikroba tidak dapat digolongkan ke dalam dunia hewan atau tumbuhan tetapi masuk ke dalam suatu golongan tersendiri, yaitu protista (Murni, et al., 2008). Mikroba yang termasuk golongan protista adalah bakteri, fungi, protozoa, dan algae (Judoamidjojo, et al., 1989). Peran bakteri dalam bioteknologi pakan ternak antara lain sebagai pencerna serat kasar dalam rumen ternak ruminansia karena mampu menghasilkan enzim selulase dan

(28)

amilase, penghasil asam laktat dalam pembuatan silase untuk menurunkan pH, penghasil asam amino yang dapat dimanfaatkan sebagai feed additive dan penghasil enzim polisakaridase yang dapat diinkubasikan ke dalam pakan untuk meningkatkan kecernaan (Murni, et al., 2008). Fungi atau kapang atau oleh masyarakat Indonesia disebut jamur dalam bioteknologi pakan banyak digunakan karena menghasilkan enzim yang membantu kecernaan pakan seperti enzim lignoselulase, amilase, protease, polimerase, dan menghasilkan protein sel tunggal (PST) (Murni, et al., 2008).

Fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi bahan yang berkualitas rendah serta berfungsi dalam pengawetan bahan dan merupakan suatu cara untuk menghilangkan zat antinutrisi atau racun yang terkandung dalam suatu bahan makanan (Murni, et al., 2008). Berdasarkan kebutuhan oksigennya, fermentasi dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi aerob dan fermentasi anaerob.

Fermentasi aerob adalah fermentasi yang prosesnya memerlukan oksigen karena dengan adanya oksigen maka mikroba dapat mencerna glukosa menghasilkan air, CO2, dan sejumlah energi. Fermentasi anaerob adalah fermentasi yang tidak membutuhkan adanya oksigen karena beberapa mikroba dapat mencerna bahan energi tanpa adanya oksigen. Sehingga hanya sebagian dari bahan energi yang dipecah. Mikroorganisme yang melakukan fermentasi ini adalah yeast, beberapa jenis kapang, dan bakteri (Afrianti, 2005).

Proses fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (Muin, et al., 2015):

(29)

1. Jenis bahan atau substrat

Substrat merupakan sumber energi bagi mikroba. Substrat inilah yang nantinya akan dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana dalam proses fermentasi.

2. Oksigen

Pada umunya proses fermentasi alkoholik berlangsung pada kondisi anaerob atau tanpa oksigen. Namun ada mikroba tertentu yang dapat berkembang dalam kondisi aerob maupun anaerob.

3. Waktu fermentasi

Umumnya waktu yang digunakan untuk proses fermentasi adalah sekitar 1 sampai 6 hari, tergantung dari jumlah mikroba yang digunakan, kondisi operasi, dan konsentrasi substrat.

4. Konsentrasi starter

Penggunaan starter dalam fermentasi tidak boleh terlalu banyak namun juga tidak boleh terlalu sedikit.

5. Temperatur

Umumnya ragi dapat berkembang baik pada suhu ruangan, yaitu suhu sekitar 25 sampai 30 °C dalam proses fermentasi.

6. pH (keasaman)

Untuk proses fermentasi, pH optimal adalah 4 - 5. Jika pH terlalu asam atau terlalu basa mikroba yang digunakan tidak dapat tumbuh optimal atau bahkan mati sehingga proses fermentasi terganggu.

(30)

Perubahan Kandungan Nutrisi Kulit Singkong dengan Fermentasi

Selain jumlahnya yang melimpah, diketahui bahwa kandungan nutrisi yang terdapat pada kulit singkong cukup baik. Kandungan nutrisi pada kulit singkong disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrisi kulit singkong

Komposisi kimia Devendra (1977) Rukmana (1997) Richana (2013)

Protein kasar 4,8 % 8,11 % 1,5 - 3,7 %

Serat kasar 21,2 % 15,20 % 17,5 - 27,4 %

Lemak kasar - 1,29 % 0,8 - 2,1 %

Ekstrak eter 1,22 % - -

Abu 4,2 % - 0,2 - 2,3 %

BETN 68 % - -

Calsium 0,36 % 0,63 % 0,42 - 0,77 %

Phospor 0,112 % 0,22 % 0,02 - 0,10 %

Magnesium 0,227 % - 0,12 - 0,24 %

Energi metabolisme 2.960 kcal/kg - -

Kadar air - - 7,9 - 10,32 %

Pati - - 44 - 59 %

TDN - 74,73 % -

Sumber: Devendra (1977), Rukmana (1997), Richana (2013)

Kandungan nutrisi yang terdapat pada kulit singkong memiliki manfaat bagi ternak, yaitu untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi, dan hidup pokok (Tillman, et al., 1989). Proses fermentasi diketahui mampu mengubah kandungan nutrisi bahan pakan, hal ini disebabkan karena adanya aktivitas mikroorganisme pada fermentasi menghasilkan enzim-enzim tertentu yang berperan dalam perubahan kandungan pakan.

Kandungan nutrisi ini dapat diketahui dengan teknik analisis yang umum dilaksanakan, yaitu analisis proksimat. Analisis proksimat digunakan untuk memperkirakan nilai pakan atau bahan pakan tanpa memberikannya secara langsung pada ternak (Cullison, 1982). Analisis ini membagi pakan ke dalam enam fraksi, yaitu air, abu, protein kasar, ekstrak eter atau lemak kasar, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (McDonald, et al., 2002).

(31)

Air/Bahan Kering

Fermentasi diketahui memengaruhi kadar air pada substrat. Berdasarkan hasil penelitian Akbar, et al., (2014) diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar air pada pakan dengan komposisi 75 % kulit ubi kayu yang difermentasi menggunakan inokulan MEP+ untuk kultur ikan nila Gesit (Oreochromis niloticus L.). Sebelum difermentasi, kadar air pakan adalah sebesar 16,56 % dan setelah difermentasi, kadar air meningkat menjadi 34,14 %. Menurut Steinkrauss (1995) air merupakan salah satu produk hasil fermentasi, hal ini dikarenakan selama fermentasi terjadi proses metabolisme karbohidrat, yakni pemecahan karbohidrat oleh mikroba. Murray, et al. (1995) menyatakan bahwa metabolisme karbohidrat lazimnya dipisahkan menjadi fase aerob dan anaerob. Walaupun begitu perbedaan ini hanya kesepakatan saja, karena reaksi yang terjadi dalam glikolisis – lintasan utama untuk penggunaan glukosa – dalam keadaan dengan atau tanpa oksigen tetap sama, yang berbeda hanya taraf reaksi dan produk akhirnya. Zat gula glukosa merupakan karbohidrat yang paling penting. Lintasan glikolisis merupakan lintasan yang unik, karena lintasan ini dapat menggunakan oksigen bila tersedia (aerob) atau bisa pula dalam keadaan tanpa oksigen (anaerob). Pada proses glikolisis anaerob, laktat merupakan produk akhir yang utama. Sedangkan pada proses glikolisis aerob, piruvat akan menjadi produk utama glikolisis. Senyawa ini mengalami oksidasi lebih lanjut menjadi karbon dioksida dan air.

Harahap, et al. (2018) dalam penelitiannya dinyatakan bahwa dosis inokulum bakteri dan lama fermentasi menyebabkan meningkatnya kadar air pada ampas kelapa yang difermentasi dengan bakteri asal pliek u (isolat YNH11). Kadar

(32)

air pada ampas kelapa sebelum difermentasi sebesar 11,38 %, setelah difermentasi meningkat menjadi sebesar 12,27 - 13,40 %. Hal ini diduga karena dalam proses fermentasi, didapatkan adanya hasil samping berupa uap air dan panas, sehingga semakin tinggi dosis bakteri, uap air yang dihasilkan pun semakin tinggi sehingga menyebabkan kadar air meningkat. Begitu pula dari sisi lama fermentasi, dapat diduga bahwasanya bakteri yang bekerja dalam fermentasi akan semakin meningkat sehingga menghasilkan uap air yang lebih banyak. Hasil penelitian Sahratullah, et al. (2017) dilaporkan adanya peningkatan kadar air pada tape singkong yang difermentasi sebesar 54,22 - 71,12 %. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi ragi terhadap kadar air tape singkong, disebabkan oleh jumlah substrat yang diubah sangat tinggi, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk proses metabolisme. Keadaan ini didukung oleh pernyataan Poedjiadi dan Supriyanti (2005), yaitu suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu akan memiliki kecepatan tertentu pula sesuai dengan batas/titik optimalnya. Sehingga hasil dari proses perombakan tersebut yang berupa air semakin banyak dihasilkan sesuai dengan lama waktu fermentasi yang diberikan.

Sejalan dengan peningkatan kadar air, proses fermentasi juga akan menurunkan kadar bahan kering pada substrat yang difermentasi. Berdasarkan penelitian Harahap, et al. (2018) diketahui terjadi penurunan kadar bahan kering ampas kelapa yang difermentasi dengan bakteri asal pliek u (isolat YNH11).

Diketahui kadar bahan kering pada ampas kelapa sebelum difermentasi adalah sebesar 88,62 %, mengalami penurunan setelah proses fermentasi menjadi sebesar 87,72 - 86,38 %. Hal ini diduga karena adanya substrat yang terhidrolisis menjadi bentuk yang lebih sederhana dan menghasilkan hasil sampingan berupa uap air

(33)

dan karbondioksida sehingga jumlah substrat pada awal fermentasi semakin berkurang. Selain itu, dalam penelitian Styawati, et al. (2013) juga dilaporkan terjadinya penurunan kadar bahan kering pada daun nenas varietas Smooth cayene yang difermentasi dengan Trametes sp. Sebelum difermentasi, kadar bahan kering daun nenas sebesar 12,47 ± 0,47 %, setelah difermentasi terjadi penurunan kadar bahan kering menjadi 8,92 ± 0,69 %. Terjadinya penurunan bahan kering dikarenakan banyaknya air yang keluar dalam proses fermentasi yang mengakibatkan penurunan kandungan kadar bahan kering dalam substrat.

Semakin lama waktu fermentasi, mengakibatkan semakin menurunnya kadar bahan kering.

Air adalah zat makanan yang penting dan ternak akan lebih menderita dengan hilangnya air daripada kekurangan makan (Tillman, et al., 1989). Fungsi air bagi ternak antara lain mengangkut zat-zat makanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain, memuaikan sel-sel dalam tubuh jadi membantu sel-sel tersebut mempertahankan bentuknya, digunakan dalam reaksi biokimia dalam tubuh, mengatur suhu tubuh ternak melalui penguapan dan proses-proses lainnya, serta merupakan pula bagian utama zat-zat dalam tubuh yang meminyaki persendian dan membantu mata untuk melihat dan membantu telinga untuk mendengar (Anggorodi, 1985).

Penentuan kadar air dilakukan dengan pemanasan pada suhu 105 oC secara terus-menerus sampai sampel bahan beratnya tidak berubah lagi. Setelah pemanasan tersebut, sampel makanan disebut sampel bahan kering. Bila telah didapat kadar air, maka dapat membandingkan nilai makanan bahan tersebut atas

(34)

dasar bahan kering, untuk mendapatkan nilai makanan yang sebenarnya untuk kepentingan makanan ternak (Tillman, et al., 1989).

Ekstrak Eter/Lemak Kasar

Pada cara analisis proksimat, lemak termasuk dalam fraksi ekstrak eter.

Lemak adalah lipida sederhana, yaitu ester dari tiga asam-asam lemak dan trihidro alkohol gliserol. Fermentasi diketahui memengaruhi kadar lemak kasar pada substrat. Dalam penelitian Akbar, et al. (2014) diketahui terjadi penurunan kadar lemak kasar pada pakan dengan komposisi 75 % kulit ubi kayu yang difermentasi menggunakan inokulan MEP+ untuk kultur ikan nila Gesit (Oreochromis niloticus L.). Diketahui kadar lemak kasar pada pakan sebelum difermentasi sebesar 2,38 %, kemudian kadar lemak kasar mengalami penurunan setelah pakan difermentasi menjadi sebesar 1,01 %. Penurunan kadar lemak kasar ini disebabkan aktivitas enzim lipase dan amilase yang bekerja dalam memecah lemak dan amilum, sehingga kandungan lemak kasar selama fermentasi mengalami penurunan.

Hal yang sama juga dilaporkan dalam penelitian Harahap, et al. (2018) bahwa terjadi penurunan kadar lemak kasar pada ampas kelapa yang difermentasi dengan bakteri asal pliek u (isolat YNH11). Sebelum difermentasi, kadar lemak kasar pada ampas kelapa adalah sebesar 10,87 %, kemudian terjadi penurunan lemak kasar setelah ampas kelapa difermentasi menjadi sebesar 9,67 - 8,70 %.

Hal ini diduga karena adanya produksi enzim lipase yang meningkat dari substrat ampas kelapa yang mengandung karbohidrat yang merupakan sumber makanan bagi mikroba, sehingga memiliki kemampuan yang tinggi untuk tumbuh berkembang dan berkemampuan menghidrolisis lemak menjadi lebih sederhana.

(35)

Dalam penelitian Zidni, et al. (2016) juga ditunjukkan adanya penurunan kadar lemak kasar pada Lemna sp. fermentasi untuk bahan pakan ikan. Kadar lemak kasar pada Lemna sp. turun dari 3,90 % menjadi 2,86 % setelah difermentasi.

Penurunan kadar lemak kasar dikarenakan adanya enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri pada probiotik saat proses fermentasi pada substrat yang merombak lemak untuk digunakan sebagai energi pertumbuhan kapang.

Lemak sangat penting artinya dalam makanan. Fungsi lemak antara lain sebagai sumber asam-asam lemak esensial, koline, sumber prostaglandin (asam- asam lemak esensial adalah bahan asalnya), sebagai karier vitamin-vitamin yang larut dalam lemak, sebagai sumber energi, dan terdapat kenyataan bahwa penambahan lemak pada makanan mengurangi heat increment, sehingga menaikkan feed efficiency (Tillman, et al., 1989). Namun, perlu diketahui bahwa pakan yang terlalu banyak mengandung lemak tidak baik bagi kesehatan karena akan lebih mudah teroksidasi dan menghasilkan bau yang tidak enak (Mahyuddin, 2008).

Protein Kasar

Protein adalah senyawa organik kompleks yang tersusun atas unsur- unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, tetapi sebagai tambahannya semua protein mengandung nitrogen. Dari beberapa hasil penelitian, diketahui bahwa proses fermentasi mampu mengubah kadar protein kasar pada substrat. Dalam penelitian Akbar, et al. (2014) dinyatakan terjadinya peningkatan kadar protein pada pakan dengan komposisi 75 % kulit ubi kayu yang difermentasi menggunakan inokulan MEP+ untuk kultur ikan nila Gesit (Oreochromis niloticus L.). Sebelum difermentasi, kadar protein kasar pada pakan diketahui sebesar 8,34 %. Setelah

(36)

pakan difermentasi, kadar protein kasar meningkat menjadi sebesar 9,87 %.

Peningkatan kadar protein kasar ini dikarenakan agen pemfermentasi dapat beradaptasi dengan baik pada substrat, sehingga meningkatkan massa mikroba.

Mikroba tersebut merupakan protein sel tunggal yang mengandung protein cukup besar. Indrawan (2005) menyatakan, mikroba merupakan protein sel tunggal yang secara tidak langsung mampu meningkatkan kandungan protein.

Dalam penelitian Wibawa, et al. (2014) dilaporkan terjadinya peningkatan kadar protein kasar pada dedak padi dengan biofermentasi menggunakan kultur khamir Saccharomyces spp. kompleks. Kandungan protein kasar dedak padi yang tidak difermentasi adalah 10,93 %, meningkat menjadi sebesar 19,03 - 21,41 % setelah proses fermentasi. Peningkatan protein dikarenakan adanya proses perubahan N (nitrogen) anorganik dalam bentuk urea maupun amonium sulfat (ZA) oleh khamir menjadi N organik (protein). Hal yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Setiawan (2017) bahwa terjadi peningkatan kadar protein kasar pada dedak padi yang difermentasi dengan menggunakan mikroorganisme lokal. Dedak padi sebelum difermentasi memiliki kandungan protein kasar sebesar 11,17 ± 0,42 %. Protein kasar dedak padi meningkat menjadi sebesar 11,79 ± 0,38 % sampai 12,26 ± 0,51 % setelah difermentasi menggunakan mikroorganisme lokal.

Peningkatan kandungan protein dedak padi yang difermentasi dengan mikroorganisme lokal diduga karena mikroorganisme lokal mengandung mikroba protelitik yang menghasilkan enzim protease yang merombak protein menjadi polipeptida yang selanjutnya menjadi peptida sederhana. Peningkatan kadar protein kasar juga disebabkan karena mikroba dapat memanfaatkan komponen

(37)

substrat (bahan organik) untuk pertumbuhannya, pertumbuhan mikroba yang tinggi akan meningkatkan kandungan protein menjadi tinggi juga, sebab kerangka tubuh mikroba itu sendiri adalah protein, mikroba memanfaatkan substrat sebagai sumber karbon untuk pembentukan sel dan sumber energi serta nitrogen untuk pembentukan protoplasma dan jaringan sel (Yunilas, et al., 2014).

Namun, ada kalanya fermentasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein kasar. Dari hasil penelitian Andarti dan Wardani (2015) diketahui bahwa terjadi penurunan kadar protein miso kedelai hitam (Glycine max L.) yang difermentasi. Penurunan kadar protein disebabkan karena jamur Rhizopus oligosporus bersifat proteolitik dan ini penting dalam pemecahan protein. Jamur ini akan mendegradasi protein selama fermentasi menjadi dipeptida dan seterusnya menjadi senyawa NH3 atau N2 yang hilang melalui penguapan. Dengan semakin lama fermentasi, maka semakin lama kesempatan jamur mendegradasi protein, sehingga protein yang terdegradasi semakin banyak dan mengakibatkan protein miso semakin menurun. Pasaribu, et al. (2001) juga menyatakan penurunan kadar protein kasar dapat terjadi disebabkan oleh aktivitas proteolitik kapang. Mikroba tersebut akan mendegradasi senyawa protein sehingga akan menurunkan kadar protein kasar. Degradasi protein kasar tersebut secara enzimatis oleh mikroba menghasilkan asam amino yang secara cepat teroksidasi menghasilkan amonia yang mudah menguap, sehingga menyebabkan penurunan protein kasar hasil fermentasi.

Fungsi protein antara lain membangun dan menjaga/memelihara protein jaringan dan organ tubuh, menyediakan asam-asam amino makanan, menyediakan energi tubuh, menyediakan sumber lemak badan, menyediakan sumber gula

(38)

darah, glikogen darah, enzim tubuh, beberapa hormon tubuh, menyediakan bangunan dasar untuk setidak-tidaknya satu vitamin B kompleks, menyediakan komponen tertentu dari DNA, RNA, ATP, sumber bulu, wool, tanduk, kuku, dan sebagainya (Tillman, et al., 1989).

Kadar protein kasar dianalisis dengan alat Kjeldhal. Analisis ini menggunakan asam sulfat dengan suatu katalisator dan pemanasan. Zat organik dari sampel lalu dioksidasi oleh asam sulfat tadi dan nitrogen diubah ke dalam bentuk amonium sulfat, sedangkan kelebihan asam sulfat akan dinetralisir oleh NaOH dan sampai larutan menjadi basa. Dari amonium sulfat tadi lalu didestilasi dalam medium asam untuk mendapatkan nitrogen secara kuantitatif. Karena protein kasar rata-rata mengandung 16 % nitrogen, maka faktor 100 % / 16 % = 6,25 harus dipakai untuk mendapatkan nilai protein kasar (protein kasar = N % x 6,25 (Tillman, et al., 1989).

Serat Kasar

Serat kasar adalah bagian dari pakan yang terdiri dari komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Berdasarkan hasil penelitian Akbar, et al.

(2014) diketahui terjadi penurunan kadar serat kasar pada pakan dengan komposisi 75 % kulit ubi kayu yang difermentasi menggunakan inokulan MEP+

untuk kultur ikan nila Gesit (Oreochromis niloticus L.). Kadar serat kasar pada pakan sebelum difermentasi diketahui sebesar 18,37 %, kemudian terjadi penurunan kadar serat kasar menjadi 15,79 % setelah difermentasi. Hal ini disebabkan karena adanya pemecahan hemiselulosa, yang disebabkan oleh bakteri selulolitik dari probiotik untuk sintesis sel. Hasil penelitian Mulia, et al. (2015) yang memfermentasi ampas tahu dengan Rhizopus oligosporus sebagai bahan

(39)

baku pakan ikan diketahui terjadi penurunan kadar serat kasar. Ampas tahu sebelum difermentasi memiliki kandungan serat kasar sebesar 24,03 ± 0,66 %.

Kadar serat kasar pada ampas tahu mengalami penurunan menjadi sebesar 14,33 ± 0,28 % sampai 24,03 ± 0,66 % setelah difermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus. Penurunan kadar serat kasar ini disebabkan karena enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus oligosporus mampu memecah selulosa menjadi glukosa pada proses fermentasi. Selulosa dapat didegradasi oleh enzim selulase yang dapat dihasilkan oleh mikroba. Enzim tersebut mendegradasi molekul selulosa yang tidak larut menjadi mono atau disakarida sederhana larut sehingga dapat digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi (Razie, et al., 2011). Degradasi selulosa merupakan hasil kerja tiga komponen enzim secara sinergis, yaitu endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase (Lymar, et al., 1995). Dari hasil penelitian Lie, et al. (2015) juga diketahui terjadinya penurunan kadar serat kasar pada limbah solid kelapa sawit yang difermentasi dengan Trichoderma reseei. Perlakuan fermentasi dengan Trichoderma reseei pada limbah solid kelapa sawit berhasil menurunkan kadar serat kasar sebesar 35,50 – 27,84 %. Penurunan kandungan serat kasar ini berhubungan dengan enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang Trichoderma reseei. Selulase adalah kelompok enzim fibrolitik yang mampu menghidrolisis serat pada dinding sel tanaman menjadi glukosa.

Yunilas, et al. (2014) menyatakan bahwa selama proses fermentasi mikroba akan bersinergis, sehingga semakin banyak peluang untuk tumbuh dan memproduksi enzim yang akan digunakan untuk mendegradasi komponen serat

(40)

yang terkandung dalam substrat, produk akhir dari degradasi serat kasar dalam bentuk glukosa yang digunakan sebagai sumber energi untuk kehidupan mikroba.

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menganalisa serat kasar adalah H2SO4 dan NaOH. Sampel bahan pakan yang sudah bebas lemak dan telah disaring dipakai untuk mendapatkan serat kasar. Sampel bila ditambah 1,25 % larutan H2SO4 dan dipanaskan ± 30 menit, kemudian residu disaring. Endapan yang didapat ditambah 1,25 % larutan NaOH dan dipanaskan 30 menit kemudian disaring dan kemudian endapan yang didapat dicuci, dikeringkan, dan ditimbang, lalu dibakar dan abunya ditimbang. Perbedaan antara berat endapan sebelum dibakar dan berat abu disebut serat kasar (Tillman, et al., 1989).

Abu

Perlakuan fermentasi diketahui mampu menurunkan kadar abu pada substrat. Hal ini didukung berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dari penelitian Styawati, et al. (2013) diketahui terjadinya penurunan kadar abu pada daun nenas varietas Smooth cayene yang difermentasi dengan Trametes sp. Sebelum difermentasi, kadar abu daun nenas diketahui sebesar 7,25 ± 0,34 %, mengalami penurunan menjadi sebesar 4,14 ± 0,68 setelah difermentasi menggunakan Trametes sp. Hasil penelitian Harahap, et al. (2018) juga diketahui terjadinya penurunan kadar abu pada ampas kelapa yang difermentasi dengan bakteri asal pliek u (isolat YNH11). Kadar abu pada ampas kelapa sebelum difermentasi adalah sebesar 3,93 %, setelah difermentasi terjadi penurunan menjadi sebesar 3,88 - 3,28 %. Penurunan kadar abu ini bisa terjadi karena dalam proses fermentasi akan terjadi peningkatan bahan organik, karena adanya proses degradasi bahan (substrat) oleh mikroba. Semakin sedikit bahan

(41)

organik yang terdegradasi, maka relatif semakin sedikit juga terjadinya penurunan kadar abu secara proporsional, sebaliknya semakin banyak bahan organik yang terdegradasi maka relatif semakin banyak juga terjadinya peningkatan kadar abu secara proporsional (Purwanto, 2012).

Kadar serat kasar juga sangat berpengaruh terhadap kadar abu.

Menurunnya serat kasar berhubungan erat dengan menurunnya kadar abu pada suatu bahan pakan. Wibowo (2010) menunjukkan bahwa kadar serat kasar dan kadar abu mempunyai hubungan yang positif, tingginya serat kasar akan berpengaruh positif terhadap besarnya kadar abu suatu bahan pakan. Dari hasil penelitian Samadi, et al. (2015) juga diketahui bahwa terjadi penurunan kadar abu pada ampas tebu yang difermentasi. Kadar abu pada ampas tebu sebelum difermentasi adalah sebesar 1,85 %, turun menjadi sebesar 1,71 - 1,46 % setelah difermentasi. Penurunan kadar abu mengindentifikasikan terjadi peningkatan kandungan bahan organik substrat. Bahan organik mengandung zat-zat makanan yang cukup penting, yaitu protein, lemak, dan karbohidrat, serta vitamin. Oleh karena itu, kehilangan bahan organik berarti akan kehilangan juga zat-zat nutrien yang cukup penting. Sehingga, keadaan penurunan kadar abu ini sangat diharapkan.

Komponen abu pada analisis proksimat tidak memberikan nilai makanan yang penting. Jumlah abu dalam bahan makanan hanya penting untuk menentukan perhitungan BETN. Kenyataannya, kombinasi unsur-unsur mineral dalam bahan makanan berasal dari tanaman sangat bervariasi sehingga nilai abu tidak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu atau kombinasi unsur-unsur yang penting. Untuk menentukan kadar abu bahan pakan,

(42)

sampel bahan kering dari pakan ditimbang dan dibakar dalam suatu krusibel dengan panas 600 oC selama beberapa jam (Tillman, et al., 1989).

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)

BETN berisi zat-zat mono, di, tri, dan polisakarida terutama pati dan kesemuanya mudah larut dalam larutan asam dan basa dalam analisis serat kasar dan mempunyai daya cerna yang tinggi. Zat tersebut karena mempunyai kandungan energi yang tinggi maka digolongkan ke dalam makanan sumber energi yang tidak berfungsi spesifik. Komponen BETN didapat dari mengurangi sampel bahan kering dengan semua komponen seperti air, serat kasar, lemak, protein, dan abu (Tillman, et al., 1989).

Perlakuan fermentasi diketahui mampu meningkatkan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) pada substrat. Dari hasil penelitian Kusumaningrum, et al. (2012) diketahui terjadi peningkatan kandungan BETN pada ransum sapi potong berbasis limbah pertanian dan hasil samping pertanian yang difermentasi dengan Aspergillus niger. Kandungan BETN pada ransum sapi potong berbasis limbah pertanian dan hasil samping pertanian sebelum difermentasi adalah sebesar 28,80 %, mengalami peningkatan menjadi 31,03 - 44,03 % setelah difermentasi dengan Aspergillus niger. Kandungan BETN semakin meningkat dengan semakin bertambahnya karbohidrat pada substrat serta dengan kemampuan Aspergillus niger dalam memecah selulosa. Selain itu, dari penelitian Kurniati (2016) juga diketahui adanya peningkatan BETN pada fermentasi silase pakan berbahan utama batang pisang. Sebelum difermentasi, kadar BETN pada silase pakan diketahui sebesar 50,06 ± 1,11 %, kemudian meningkat menjadi sebesar 51,72 ± 0,93 % sampai 56,83 ± 1,24 % setelah

(43)

difermentasi. Terjadinya peningkatan BETN tersebut kemungkinan juga disebabkan karena semakin lama inkubasi yang dilakukan, jumlah bakteri semakin meningkat sehingga mendegradasi senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga kandungan bahan organik menjadi semakin meningkat.

Degradasi Antinutrisi Asam Sianida (HCN) dengan Fermentasi

Adamafio, et al., (2010) menyatakan bahwa singkong memproduksi dua jenis senyawa glukosianida, yaitu linamarin dan lotaustralin yang sebagian besar terdapat pada bagian kulit. Kedua senyawa sianogenik di atas dapat didegradasi dengan linamarase, sianida hidratase, dan hidroksinitril lyase. Enzim ini mengkatalis degradasi linamarin menjadi aseton sianohidrin. Aseton sianohidrin secara spontan pada pH di atas 5 menghasilkan asam sianida (HCN) (Askurrahman, 2010). Asam sianida bersifat larut dalam air dan dapat dilepaskan ke udara. Askurrahman (2010) juga menyatakan bahwa pH optimal untuk enzim linamarase mendegradasi linamarin adalah 5 - 6. Apabila pH di atas pH optimal maka aktivitas enzim linamarase menjadi rendah.

Secara alami, singkong sendiri memiliki linamarase, namun tidak dapat menghilangkan asam sianida secara total. Pendekatan yang umum dilakukan untuk mereduksi kandungan senyawa sianida ialah metode fisik dan biologis (Stephanie dan Puwadaria, 2013). Metode fisik yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar asam sianida dalam kulit singkong, yaitu perendaman air mengalir, penjemuran, perebusan, dan kombinasinya (Daulay, et al., 2014).

Sementara itu, metode biologi yang dapat dilaksanakan adalah dengan fermentasi menggunakan mikroorganisme yang dapat menghasilkan linamarase ekstraseluler.

(44)

Kompiang, et al. (1993) juga menyatakan bahwa kandungan asam sianida dalam suatu bahan pakan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan proses fermentasi.

Asam sianida dalam konsentrasi yang kecil dapat didegradasi oleh mikroorganisme tertentu menjadi gas nitrogen. Contoh mikroba yang dapat mendegradasi aam sianida adalah Pseudomonas fluorescens NCIMB11764 dan Pseudomonas pseudoalcaligenes CECT5344 (Luque-Almagro, et al., 2011).

Hastuti (2012) menyatakan dalam penelitiannya bahwa terjadi penurunan kadar asam sianida pada kulit singkong melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi komersil. Kadar asam sianida pada kulit singkong sebelum difermentasi adalah sebesar 0,184 mg/g, mengalami penurunan dengan perlakuan fermentasi menjadi sebesar 0,133 - 0,054 mg/g.

Dalam penelitian Suparman, et al. (2013) diketahui bahwa terjadi penurunan kadar asam sianida limbah singkong pasca produksi bioetanol melalui variasi lama waktu fermentasi dan dosis inokulum konsorsium Saccharomyces cereviseae dan Aspergillus niger yang digunakan sebagai suplemen pakan ternak.

Sebelum difermentasi, kadar asam sianida pada kulit singkong adalah sebesar 13,34 mg/kg, terjadi penurunan menjadi sebesar 4,12 - 0,45 mg/kg. Suparman, et al. (2013) juga menyatakan bahwa terdapat interaksi antara lamanya hari dengan dosis inokulum terhadap penurunan kadar asam sianida. Adapun lama fermentasi sangat nyata menurunkan asam sianida karena fermentasi selain dapat mendegradasi substrat juga bisa menghasilkan panas sehingga asam sianida mudah menguap.

Berdasarkan hasil penelitian Simbolon, et al. (2016) diketahui terjadinya penurunan kadar asam sianida pada kulit singkong dengan perlakuan fermentasi.

(45)

Sebelum difermentasi, kadar asam sianida diketahui sebesar 580,93 ppm, mengalami penurunan setelah difermentasi menjadi sebesar 1,16 ppm. Asam sianida hilang pada saat dicincang dan larut dalam penambahan air pada perlakuannya, enzim pada proses fermentasi juga menjadi faktor hilangnya asam sianida pada kulit singkong. Proses fermentasi menghasilkan enzim yang mampu mendegradasi linamarin. Kadar asam sianida menurun seiring dengan bertambahnya lama fermentasi karena semakin bertambahnya waktu fermentasi maka semakin meningkat pula kemampuan enzim dalam mendegradasi linamarin menjadi senyawa yang tidak membahayakan.

Selama ini proses fermentasi sudah banyak digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kandungan nutrisi suatu bahan pakan terutama kandungan proteinnya, juga dapat mengurangi atau menghilangkan asam sianida, maka teknik fermentasi adalah salah satu proses yang sangat tepat dalam mengolah kulit singkong sebelum diberikan kepada ternak (Hidayat, 2009).

Mikroorganisme Lokal (MOL)

Untuk meningkatkan mutu pakan perlu dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme. MOL (mikroorganisme lokal) adalah kumpulan dari beberapa mikroorganisme yang bisa dikembangbiakkan dan berfungsi untuk starter dalam pembuatan kompos, pupuk cair, ataupun ditambahkan dalam pakan ternak. MOL terbuat dari bahan-bahan alami sebagai media hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik (Syukur, 2017). Bahan utama MOL terdiri dari beberapa komponen, yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme. Bahan dasar untuk fermentasi MOL dapat berasal dari hasil

(46)

pertanian, perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga. Karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari limbah organik seperti air cucian beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan daun gamal.

Sumber glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir, dan air kelapa. Sumber mikroorganisme berasal dari kulit buah yang sudah busuk, terasi, keong, nasi basi, dan urin sapi (Purwasasmita, 2009). Selain itu, pada MOL juga bisa ditambahkan urea sebagai sumber makanan bagi mikroba. Menurut Van Soest (2006) yang diacu oleh Ayunin, et al. (2016), penggunaan urea sebagai sumber nitrogen bertujuan untuk menekan pertumbuhan jamur serta meningkatkan kadar nitrogen untuk mensuplai kebutuhan bagi mikroba. Di sisi lain, urea merupakan sumber non protein nitrogen (NPN) paling sering digunakan sebagai pengganti pakan sejati (Yanuartono, et al., 2017).

Salah satu jenis MOL yang memanfaatkan bonggol pisang sebagai bahan utamanya, yang selanjutnya disebut sebagai MOL bonggol pisang, jenis mikroorganisme yang telah diidentifikasi pada MOL ini antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., Aspergillus niger, Azospirillium, Azotobacter. dan mikroba selulolitik (Budiyani, et al., 2016). Sehingga dapat dikatakan bahwa pada MOL terdapat lebih dari satu jenis mikroba yang dapat hidup saling berdampingan dan untuk kemudian bekerja secara sinergi untuk menjalankan fungsi dekomposisi bahan atau substrat. Mikroba yang berasal dari substratnya sendiri memiliki kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi substratnya tersebut (Yunilas, et al., 2013).

MOL dapat diperbanyak dengan bahan alami yang mengandung karbohidrat seperti air cucian beras serta bahan yang mengandung glukosa,

(47)

misalnya gula merah dan air kelapa sehingga menghasilkan metabolit sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme yang hidup di dalamnya (Mursalim, 2018).

Adapun air cucian beras yang digunakan adalah dari pencucian beras putih non organik. Diketahui bahwa beras putih non organik memiliki kandungan protein dan gula yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras merah non organik dan beras hitam non organik. Hernawan dan Meylani (2016) menyatakan dalam penelitiannya bahwa kandungan protein beras putih non organik adalah 8,1669%

b/b, sedangkan kandungan protein beras merah non organik adalah 6,9325% b/b dan beras hitam non organik adalah 7,9173% b/b. Sementara itu, beras putih non organik memiliki kandungan gula sebesar 0,1395% b/b, lebih tinggi dibandingkan beras merah non organik dengan kandungan gula sebesar 0,1268% b/b dan beras hitam non organik sebesar 0,1032% b/b. Protein dan gula merupakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba dalam proses fermentasi.

Gambar

Gambar 1. Tanaman singkong (a) batang, (b) daun, (c) umbi
Gambar 2.   Berbagai olahan dari singkong, seperti (a) tape, (b) keripik, (c) aneka    kue dan gorengan
Tabel 1. Penggunaan singkong di Indonesia
Gambar 4. Kulit singkong
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kreatifitas budidaya lebah linot merupakan suatu usaha kreatif yang melahirkan kemampuan mengembangkan ide-ide baru dalam pemecahan masalah dan menemukan

Pada Gambar 2 Di atas terlihat jelas bahwa terdapat interaksi atau berasosiasi antara model pembelajaran dengan kemampuan awal matematis siswa, sehingga pada

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan durasi waktu tidur, paparan asap rokok, dan lama pemberian ASI dengan tekanan darah pada ibu menyusui yang memiliki

Rendahnya pemakaian MKJP di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor internal (umur, pendidikan, status bekerja, jumlah anak, tujuan menggunakan

Strategi ini menggunakan pendekatan berbasis hak, yang artinya langkah- langkah strategis yang dijelaskan di dalam dokumen ini bertujuan untuk memastikan terpenuhinya

Lokasi penelitian menjadi perbedaan dari penelitian ini yaitu pada kelas X SMAN 3 Gowa, selanjutnya yang menjadi perbedaan lain adalah pada penelitian sebelumnya

Dengan demikian sumbangan lebih dari 50% yang berarti senam irama pada penelitian ini dapat dikatakan efektif untuk meningkatkan kebugaran jasmani anak di Sekolah Dasar dan

Khusnatul Zulfa Wafirotin, MM., Ak., CA, selaku Ketua Program Studi Akuntansi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Ponorogo sekaligus sebagai Pembimbing I yang