• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Maskulinitas dan Budaya Populer dalam Iklan Pond s Men

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Representasi Maskulinitas dan Budaya Populer dalam Iklan Pond s Men"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN AUDIENS

VOL. 3, NO. 2 (2022): JUNE 2022 https://doi.org/10.18196/jas.v3i2.12000

Representasi Maskulinitas dan Budaya Populer dalam Iklan Pond’s Men

Elvira Rosalia Lawono

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia elvirarosa85@gmail.com

Akmal Dliyaulhaq

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia akmaldliyaulhaq93@gmail.com

Aprianza Bimantara

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia aprianzabiimantara21@gmail.com

Diserahkan: 17 Juni 2021; Direvisi: 28 Juni 2021; Diterima: 9 Juli 2021 Abstract

Advertising is information about a product or service that can be found in various media, such as television media, social media, print ads, etc. This research on the Pond's Men advertisement starring Rio Dewanto aims to find out the meaning of denotation, connotation, and myth in the advertisement. This research uses Roland Barthes' semiotic analysis method. The results of this study are in the Pond's Men Energy Charge advertisement, men was represented as productive, care about facial hygiene, and are confident are the hallmarks of masculine men.

Keywords: Pop Cultur; Masculinity; Pond’s Men; Representation Abstrak

Iklan adalah sebuah informasi mengenai produk atau jasa yang dapat ditemukan di berbagai media, seperti media televisi, medial sosial, media cetak, dll. Penelitian tentang iklan Pond’s Men yang dibintangi oleh Rio Dewanto ini bertujuan untuk mengatahui makna denotasi, konotasi, mitos dalam iklan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes. Hasil dari penelitian ini ialah di dalam iklan Pond’s Men Energy Charge laki-laki ditampilkan dalam representasi yang produktf, peduli akan kebersihan wajah, dan percaya diri ialah ciri khas pria yang maskulin.

Kata Kunci: Budaya Populer; Maskulinitas; Pond’s Men; Representasi

(2)

PENDAHULUAN

Di zaman yang sangat modern ini, berbagai macam produk baru banyak bermunculan dan menimbulkan persaingan antar produk. Hal itu berkaitan juga dengan iklan, berbagai macam produk mulai bersaing menampilkan berbagai macam iklan yang menarik untuk disuguhkan kepada konsumen. Iklan-iklan yang menarik pastinya akan membuat para konsumen tertarik dengan produk tersebut. Liliweri mendefinisikan iklan sebagai suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahawa iklan digunakan sebagai perantara komunikasi sebuah produk kepada konsumen (Ramadhana et al., 2020).

Smiler menjelaskan istilah maskulin berasal dari bahasa inggris, yakni muscle yang dalam bahasa Indonesia berarti otot. Maksud maskulin di sini, yaitu sifat yang didasari pada kekuatan fisik atau otot yang diimplikasikan sebagai hal yang kuat. Istilah tersebut akhirnya dikaitkan kepada pria karena dinilai sebagai makhluk yang memiliki kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan perempuan(Pratami & Prima Hasiholan, 2020). Budaya populer atau budaya massa diartikan oleh McDonald dalam Popular Culture sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan (Vidyarini, 2008).

Berbicara tentang iklan dan budaya populer, keduanya sangatlah berkaitan. Saat iklan produk bermunculan, banyak konsumen yang menggunakan produk tersebut. Maka budaya populer baru pun muncul, dimana banyak konsumen ingin membeli produk karena adanya tren produk baru di kalangan masyarakat. Salah satu iklan yang menarik adalah iklan Pond’s Men. Iklan ini menampilkan Rio Dewanto sebagai brand ambassador iklan Pond’s Men. Dalam iklan tersebut Rio Dewanto terlihat sedang berlatih untuk perform. Pada saat berlatih, wajah Rio Dewanto tampak kusam dan lelah, tetapi Rio Dewanto tidak khawatir karena ada Pond’s Men Energy Charge Face Wash, yang mampu merecovery wajah menjadi lebih cerah dan berenergi.

Beranjak dari hal tersebut, maka penelitian ini akan mencari tahu bagaimana maskulinitas dan budaya populer dalam iklan Pond’s Men? Tujuan penelitian ini sendiri ialah untuk mengatahui tentang maskulinitas dan budaya populer dalam iklan Ponds’ Men. Penelitian mengenai maskulinitas sebelumnya telah menjadi beberapa objek penelitian. Penelitian yang di lakukan oleh Rezki Pratami dan Togi P.

Hasiholan (2020). Penelitian ini menjelaskan ketiga iklan produk Men’s Biore memiliki tujuh mitos representasi maskulinitas yang berbeda dan beragam pada pria, yakni pria sebagai makhluk bebas, pria sebagai makhluk rupawan, pria sebagai makhluk kharismatik, pria sebagai pemimpin, pria sebagai makhluk optimis, pria sebagai makhluk penguasa, dan pria sebagai makhluk narcissist (Pratami & Prima Hasiholan, 2020)

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Herninda Cintia K. Sari (2020). Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan semiotika Roland Barthes terhadap iklan Garnier Men, terdapat beberapa tanda yang merepresentasikan sifat dan ciri-ciri maskulinitas yang terdapat pada iklan Garnier Men versi Joe Taslim dan Chico Jeriko, yaitu makna denotasi dan konotasi, mitos dan ideologi. Selain itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa representasi yang tampak adalah pembentukan makna baru bahwa maskulinitas yang awalnya merupakan gambaran dari laki-laki yang atletis, berani, dan gagah menjadi laki-laki yang juga butuh akan perawatan wajah yang putih, bersih, lembab, dan sehat. Iklan Garnier Men merupakan iklan media televisi yang mengkonstruksi makna baru bahwa produk pembersih wajah tidak hanya dipergunakan oleh wanita saja namun juga oleh laki- laki (Sari, 2020)

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Shania N. Hadiani dan kawan-kawan (2020). Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Representasi

(3)

maskulinitas yang ditampilkan dalam iklan susu L-Men “Gain Mass–Man Guide tahun 2018” terbagi dalam dua representasi yaitu penampilan fisik laki-laki maskulin dan atribut pendukung yang melambangkan maskulin. (2) Representasi penampilan laki-laki ideal dalam iklan susu L-Men “Gain Mass–Man Guide tahun 2018” adalah sick pack, tinggi, gaya rambut model medium length hairstylescissor cut, dan hidung mancung. (3) Representasi pendukung yang melambangkan maskulinitas dalam iklan susu L- men “Gain Mass–Man Guide tahun 2018” yaitu meliputi sifat pemberani, memiliki kekuataan, jenis olah raga yang dilakukan. (4) Penggunaan representasi maskulinitas pada iklan susu L- Men “Gain Mass–Man Guide tahun 2018” ingin menunjukkan bahwa produk L-Men memiliki cita rasa lelaki macho serta ingin menunjukkan image laki-laki yang kuat, berani, dan fashionable (Hadiani et al., 2020).

Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh M. Biondy Ramdhana dan kawan-kawan (2020). Setelah mengkaji dan menginterpretasikan iklan rokok Gudang Garam Internasional versi Monaco Drift Tahun 2016, maka dapat disimpulkan bahwa sifat maskulinitas yang paling dominan dalam iklan rokok Gudang Garam Internasional adalah keberanian, agresi, serta pengambil resiko (risk taker). Dalam iklan rokok tersebut, pemaknaan mengenai laki-laki maskulin sejalan dengan pandangan umum atas laki-laki di dalam masyarakat Indonesia. Hal ini jelas turut melanggengkan mitos laki-laki Indonesia yang sebelumnya juga erat dengan sifat berani, agresif, tegas, dan pengambil resiko (risk taker) (Ramadhana et al., 2020).

Penelitian ini berbeda dengan Penelitian yang sebelumnya yang telah diteliti dan dipublikasikan.

Pembahasan yang sebelumnya memaparakan maskulinitas dan bentuk tubuh lelaki ideal. Sedangkan, Penelitian ini membahas terkait maskulinitas dan budaya populer di iklan Pond’s Men yang di perankan oleh Rio Dewanto.

KAJIANPUSTAKA REPRESENTASI

Christopher Prendergast mendefinisikan beberapa istilah represantasi. Pertama, reprsentasi menghadirkan untuk menghadirkan kembali dengan dua cara yang saling terkait, spasial, dan temporal (Jackson, 2010). Representasi adalah produksi makna konsep-konsep dalam pikiran kita melalui bahasa.

Ini adalah hubungan antara konsep dan bahasa yang memungkinkan kita untuk merujuk ke dunia 'nyata' dari objek, orang, atau peristiwa, atau bahkan ke dunia imajiner objek, orang, dan peristiwa fiksi (Hall, 1997). Stuart Hall juga menggambarkan sebagai pendekatan 'reflektif' terhadap bahasa gagasan bahwa tanda mencerminkan makna atau identitas yang sudah ada. Pendekatan ini telah dituliskan dalam teks- teks yang sangat kuno - dari para filsuf Yunani, misalnya, di mana ia dinamai mimesis, atau kemiripan.

Idenya adalah bahwa tanda sebenarnya menyerupai, dan tidak hanya menandakan, benda itu sendiri.

Meskipun seperti representasi-tepat itu mewakili hal yang asli, ia melakukannya dalam hubungan langsung berdasarkan peniruan, atau kemiripan (Jackson, 2010).

GENDER

Feminisme telah melahirkan banyak hal, tetapi salah satu yang sudah tidak diakui oleh sebagian feminis adalah studi laki-laki. Terlepas dari kekhawatiran Peter Schwenger bahwa bagi seorang pria untuk berpikir tentang maskulinitas berarti mengurangi kejantanannya sendiri. Pria sejati berpikir tentang hal-hal praktis daripada yang abstrak dan tentu saja tidak memikirkan dirinya sendiri atau sifat seksualitasnya, banyak pria berpikir, berbicara dan menulis tentang maskulinitas (Martz et al., 1991).

Conell menawarkan berbagai ide dan perdebatan tertentu yang ada dalam kaitannya dengan tetapi juga pada jarak tertentu dari politik maskulinitas atau 'gerakan laki-laki' (Beasley, 2005). Bagi Connell, maskulinitas dipahami dalam arena reproduktif untuk menjelaskan bahwa tubuh bukanlah sesuatu yang tetap dan ditentukan secara biologis, namun melewati suatu proses historis. Maskulinitas diletakkan pada

(4)

relasi gender, yaitu praktik yang melibatkan laki-laki dan perempuan dan berimplikasi pada pengalaman jasmaniah, sifat, dan kultur (Sokowati, 2017).

Laki-laki dan maskulinitas seolah-olah saling terkait. Hal tersebut tidak lepas dari anggapan bahwa keduanya dipengaruhi oleh asumsi- asumsi biologis sebagai standar menjadi laki-laki. Laki-laki normal, yaitu laki-laki agresif, aktif secara seksual, atau rasional merupakan sesuatu yang natural. Lionel Tiger dalam bukunya yang cukup fenomenal Men in Groups menawarkan teori maskulinitas yang berbasis pada ide bahwa laki-laki berasal dari spesies pemburu. Tubuh laki- laki merupakan pembawa maskulinitas natural yang diproduksi oleh proses evolusi, sehingga laki-laki mewarisi gen-gen maskulinitas, yaitu kecenderungan laki-laki yang agresif, ataupun kompetitif. Akibatnya, jika laki-laki tidak punya karakteristik tertentu, dia dianggap bukan laki-laki yang sesungguhnya. Laki-laki homoseksual dianggap bukan “the real man” karena memiliki penyimpangan hormonal-hormonal tertentu yang membuatnya berbeda dari laki-laki yang dianggap normal(Sokowati, 2017).

BUDAYA POPULER

Menurut Storey, budaya populer merupakan upaya resistensi dan inkorporasi. Budaya dianggap sebagai tempat pergulatan antara usaha perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat. Inkorporasi mengacu pada proses di mana kelas dominan mengambil elemen-elemen resistensi dari kelas yang tersubordinasi dan menggunakannya untuk mempertahankan status-quo, daripada melawannya (Sokowati, 2017).

Mendefinisikan konsep “budaya” dan konsep “pop” atau “populer”, pada dasarnya masih menjadi konsep yang diperdebatkan. Definisi budaya dan pop terus bersaing dan menhasilkan berbagai definisi budaya pop itu sendiri. Menurut John Storey, Budaya pop dapat didefinisikan menjadi sesuatu hal yang telah “diabaikan”, ketika kita telah memutuskan hal yang disebut “budaya luhur”.Storey menjelaskan, budaya pop hadir karena proses urbanisasi yang muncul ketika revolusi industri, identifikasi istilah budaya pop secara umum berkaitan dengan definisi “budaya massa”. Argumen mengenai budaya pop ini memperlihatkan adanya proses pengulangan kepada pertanyaan tradisional, mengenai proses bagaimana industri kebudayaan dapat memalingkan individu kepada sebuah komoditas (Triana, HS, 2017).

Sritanti mendefinisikan budaya populer sebagai budaya yang lahir atas keterkaitan dengan media.

Artinya, media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang dibicarakan disini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen.

Dengan kata lain, budaya populer lahir atas kehendak media (ideologi kapitalistik) dan perilaku konsumsi masyarakat. Media berperan sebagai penyebar informasi yang mempopulerkan suatu produk budaya.

Akibatnya, apapun yang diproduksi oleh media akan diterima oleh publik sebagai suatu nilai (budaya) bahkan menjadi kiblat panutan masyarakat (Hamid, 2012).

Teknologi komunikasi menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production), yang kemudian produk budaya tersebut disebarkan (dissemination). Produksi massa tersebut telah menghasilkan budaya massa yang telah menjadi budaya populer. Budaya pop dengan demikian bisa dikatakan adalah budaya komersial dampak dari produksi massal tersebut. Budaya pop yang lahir sebagai imbas perkembangan teknologi informasi, dengan demikian ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah mengkonstruksi masyarakat yang tak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artifak budaya sebagai produk industri dan menjadi komoditas. Budaya pop merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi popularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Budaya populer lahir karena hegemoni media massa dalam ruang-ruang budaya publik. Ide-ide budaya populer lahir dari segala lini budaya, baik dari budaya tinggi maupun rendah (Hamid, 2012).

(5)

IKLAN

Menurut Durianto kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Y unani yang artinya ku- rang lebih adalah

‘menggiring orang pada gagasan’. Adapun pengertian iklan secara komprehensif adalah “semua bentuk aktivitas untuk meng- hadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu” (Lukitaningsih, 2013). Dunn dan Barban menjelaskan bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membaya ruang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasive) kepada konsumen, oleh perusahaan, lebaga non-komersial, maupun pribadi yang berkepentingan (Watie, 2012).

Widyatama mengatakan iklan memiliki enam prinsip dasar, yaitu : 1) ada pesan tertentu, 2) dilakukan komunikator, 3) dilakukan secara non-personal, 4) disampaikan untuk khalayak tertentu, 5) dilakukan dengan cara membayar, 6) mengharapkan dampak tertentu dari penyampaian pesan yang dilakukan (Watie, 2012).

METODE PENELITIAN

Seperti yang telah dipaparkan di pendahuluan, Penelitian ini akan meneliti tentang iklan Pond’s Men yang diperankan oleh Rio Dewanto. Untuk menjawab rumasan masalah dalam Penelitian ini menggunakan metode semiotika. Semiotika ialah studi tentang produksi sosial makna dari sistem tanda.

Studi semitoka diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa yang berasal dari Swiss.

Semiotika ialah ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat, dalam sebuah buku yang terbit ditahun 1916. Ide tersebut dikembangkan oleh Roland Barthes pemikir asal Prancis, kemudian ia mempoluerkan dan memperluas semuotika ditahun 1960-an.

Saussure menunjukan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Dengan Saussure, semiotika kemudian dielaborasi sebagai hubungan tripartite yakni tanda (sign) yang merupakan gabungan dari penanda (signifier) dan petanda (signified) (Hartley, 2003).

Semiotika sebagai upaya intelektual untuk mengungkpkan dan menganalisis sejauh mana makna yang diperoleh dari hubungan struktural dalam sistem tanda apa oun, dan bukan dari realitas luar yang tampak alami untuk ditunjukan. Karena ia berkomitmen pada ide hubungan sistematis yang berjalan dalam struktur abstrak (yaitu, struktur yang tidak dapat dicermati secara langsung, seperti bahasa), semiotika cenderung mengarah ke abstraksi, formalisme, dan abai terhadap landasan historis. Tetapi, karena ia sama-sama berkomitmen pada produksi makna secara sosial (bahasa dapat diketahui oleh individu), semiotika selalu berupaya menghubungkan produksi makna dengan jenis produksi sosial lain dan dengan relasi sosial (Hartley, 2003).

Jadi semiotika pertama-tama berfokus pada teks, karena ia didedikasikan untuk menganalisis bagaimana makna tersebut menghasilkan makna melalui teks. Tetapi, seiring perkembangannya, peran pembaca dalam merealisasikan atau menghasilkan makna dari sumber teks secara interaktif semakin diperhatikan. Oleh karena itu, semiotika mulai menunjukkan bagaimana teks terstruktur mengerjakan ulang tanda, kode, dan lainnya sebagai sistem tanda khusus mereka dan bagaimana struktur ini menghasilkan mitos, konotasi, dan lainnya (Hartley, 2003).

Oleh karena itu, semiotika berkisar pada studi tentang tanda dalam teks. Tanda (sign) meliputi dua aspek, yaitu penanda (significant), dan petanda (signified). Penanda dapat dipahami sebagai bentuk/wujud fisik. Penanda bisa berupa suara, gambar, huruf, efek visual, dan sebagainya. Sedangkan petanda ialah konsep atau makna dari apa yang ditandai. Hubungan keduanya bersifata “diada-adakan” (arbitrary), artinya tidak ada hubungan yang alamiah antara penanda dan petanda.

Saussure menunjukan bahwa setiap tanda (atau kata) dalam sistem bahasa terkait erat dengan keseluruhan sistem. Sebuah kata ‘konten benar-benar dibuat dengan persetujuan dari semua yang ada

(6)

disekitarnya’. Untuk menggambarkan hal ini, Saussure membedakan antara bahasa (keseluruhan sistem atau struktur) dan pembebasan bersyarat (ucapan khusus dalam sistem ini) dari bahasa tertentu. Ucapan (parole) hanya dapat mengungkapkan makna secara efktif dalam hubungannya dengan semua sistem bahasa (bahasa) (Laughey, 2007). Langue dan parolemenjadi pemikiran Saussure yang melihatkan bahwa tanda berkaitan dengan struktur. Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tatran sosial budaya, sedangkan parole adalah ekspresi ekspresi bahasa pada tataran individu. Untuk membuatnya mudah dipahami, langue juga bisa disebut dengan sistem bahasa yang berlaku, sedangkan parole merupakan bagiman individu berbahsa dalam mekanisme tersebut. Oleh karena itu, parole dengan langue sangtlah berkaitan. Permainan catur bisa menjadi salah satu contoh yang mendefinisikan secara jelas langue dan parole.

Setiap gerakan individu dalam catur dipilih dari seluruh sistem gerakan catur yang memungkinkan.

Maka dari itu, kita dapat menyebut mekanisme catur yang mungkin bergerak sebagai bahasa catur. Setiap tindakan individu dalam permainan catur dapat dibebaskan bersyarat, pemilihan tindakan dari semua rangkaian gerakan yang mungkin dilakukan dalam bahsa catur (Laughey, 2007). Hal ini yang menjadikan semiotika lekat dengan strukturalisme.

Pemikiran Saussure dilajutkan oleh mitos Roland Barthes dengan mempreluas teori Saussure tentang sistem bahasa dengan menerpkannya dalam sistem masyarkat dan budaya dengan mengembangakn

‘mitos’. Masyarakat dan budaya, seperti bahasa, dianggap tersusun oleh sistem ‘keseluruhan’ yang mengelompokkan bagian masing-masing. Tentunya bahasa sebagai mekanisme juga menjadi dasar bagi masyarakat atau budaya untuk bertahan. Namun Barthes menunjukan bahwa makna linguistic murni telah dibuah secara radikal oleh praktik sosial budaya (Laughey, 2007).

Ide yang disampaikan Barthes berkaitan dengan mitos. Mitos yang dimaksud Barthes merupakan pemaknanan secara konotatif dalam teks budaya populer. Ide Barthes adalah kelanjutan dari asumsi Saussure tentang hubungan antara bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Semiotika yang dikembangkan Saussure cenderung menyebutkan bahwa makna apa yang didenotasikan oleh tanda.

Pemikiran ini dikemukakan oleh Berthes dengan menyebutkan bahwa sebenarnya ada makna lain yang bermain pada tingkat penandaan sekunder atau kedua (secondary signification) atau pada level konotasi.

Pada level inilah Barthes memperluas pemikiran Saussure dengan membongkar praktik pertandaan di level konotasi tanda. Menurut Barthes konotasi justru mendenotasikan suatu hal yang disebutnya sebagai mitos dan memiliki konotasi terhadap ideologi tertentu.

Dalam penelitian ini semiotika dengan menelaah tanda-tanda yang terdapat dalam iklan Pond’s Men.

Iklan Pond’s Men yang diteliti diposisikan sebagai teks yang merupakan rajutan berbagai tanda. Tanda- tanda yang berupa gambar, tulisan maupun ucapan yang diambil dari shoot dan scene yang ada dalam iklan Pond’s Men. Pada tahap hasil penelitian, penelitian akan menyuguhkan pemaknaan secara denotatif dan konotatif, kemudian dilanjutkan dengan membahas analisis temuan penelitian dengan intertekstualitas dengan bermacam teori yang relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Pada bagian ini, peneliti menjabarkan hasil analisa semiotika Roland Barthez untuk menjelaskan representasi maskulin yang ditampilkan oleh Iklan Pond’s Men Energy Charge Face Wash Episode Rio Dewanto. Berikut merupakan hasil analisis melalui tiga tahapan semiotika Roland Barthes, yaitu denotasi, konotasi dan mitos atau ideologi.

(7)

Gambar 1. Scene 1 Iklan Versi Rio Dewanto

Makna Denotasi: Petanda yang muncul dari scene di atas adalah seorang laki-laki yang tengah melakukan serangkaian aktivitas akrobatik dengan bantuan tali pengaman yang menempel di punggungnya. Pria tersebut menggunakan pakaian serba hitam, kaus berwarna hitam dengan latar belakang yang cukup terang. Pada adegan ini pula didukung dengan adanya audio yang berbunyi “Aktif Seharian membuat energy wajah cepat habis.” Tanda yang ada di dalam adegan ini cukup jelas, yaitu proses latihan dengan gerakan akrobatik yang melelahkan.

Makna Konotasi: Laki-laki maskulin adalah laki-laki yang Produktif dan Kuat. Potongan adegan di atas menunjukan aktivitas gerakan akrobatik yang sulit. Ditambah lagi dengan keterangan narasi di potongan adegan tersebut yang menunjukkan bahwa pria yang diperankan oleh Rio Dewanto dalam adegan tersebut tengah menjalani aktivitas yang melelahkan. Seorang laki-laki dianggap semakin mendekati figur laki-laki yang maskulin jika memiliki kesibukan dan produktif setiap hari. Apalagi jika kesibukannya berhubungan dengan aktivitas fisik yang lumayan sulit untuk dilakukan oleh setiap orang akan membuat laki-laki tersebut semakin maskulin.

Selain itu, dalam potongan adegan tersebut menunjukkan bahwa laki-laki maskulin adalah laki-laki yang punya fisik yang kuat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gerakan akrobatik tersebut bukanlah sebuah gerakan yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan membutuhkan latihan fisik yang kuat.

Hal tersebut juga diperkuat dengan pengunaan warna baju hitam oleh actor dalam iklan tersebut. Warna hitam menunjukkan kekuatan dan juga penampilan yang elegan.

Mitos: Maskulinitas dekat dengan kekuatan dan Produktif. Seorang laki-laki akan dianggap maskulin jika memiliki sejumlah karakteristik sifat yang memenuhi ‘standar’ kelaki-lakian. Salah satunya terkait dengan kekuatan fisik (SehatQ, 2021). Cornwall (205) menjelaskan bahwa salah satu aspek dari maskulinitas yang sudah dipercaya sejak zaman dahulu adalah kekuatan fisik dari seorang pria. Dalam budaya Barat, kekuatan dan bentuk otot juga sudah dijadikan sebagi ikon dari maskulinitas dan dianggap sebagai bentuk tubub ideal dari laki-laki. Laki-laki produktif juga menjadi symbol dalam maskulinitas.

Laki-laki produktif dipandang sebagai aki-laki yang pintar dengan manajemen waktu yang baik dan memperhatikan hal yang detail.

(8)

Gambar 2. Scene 2 Iklan Versi Rio Dewanto

Makna Denotasi: Petanda yang berada dalam potongan gambar 1 dari iklan di atas ialah seorang laki- laki yang mencuci wajahnya dengan facial foam yang menggunakan t-shirt warna hitam muda, wajah dihiasi kumis dan janggut tipis dan berlatar belakangkan warna hitam yang lebih gelap.

Makna Konotasi: Laki-laki Maskulin adalah Laki-Laki yang Peduli terhadap Kebersihan Wajah.

Dalam Scene ini, ditunjukkan laki-laki yang mencuci muka dengan wajah yang bersih dan juga segar.

Wajah menjadi salah satu penunjang penampilan sebagai seorang laki-laki, untuk zaman sekarang bukan hanya perempuan saja yang memperhatikan penampilan wajah semata. Laki-laki berhak atas hal tersebut karena semakin banyak produk perawatan khusus untuk laki-laki. Bukan hanya memiliki warna kulit yang putih saja namun, harus sehat dan terlihat segar juga. Apalagi menggunakan produk perawatan wajah tidak serta merta membuat laki-laki tersebut kehilangan maskulinitasnya.

Mitos: Kebersihan Diri adalah Simbol Maskulinitas. Semua orang ingat dengan kebersihan diri, termasuk laki-laki yang maskulin. Maskulinitas ini dekat dengan makulinitas di tahun 2000-an di mana timbul jenis maskulinitas baru yang disebut sebagai Metroseksual. Pria Metroseksual dekat dengan penampilan yang rapid bahkan menggunakan produk perawatan wajah agar terlihat cerah. Dalam Scene ini, mencuci muka juga dipercaya dapat meningkatkan rasa percaya diri yang membuat laki-laki tersebut merasa segar untuk bisa tampil di depan umum dan memukau lawan jenisnya.

Gambar 3. Scene 3 Iklan Versi Rio Dewanto

Makna Denotasi: Penanda dalam adegan di penatas menunjukkan bahwa seorang pria melompat ke atas panggung yang dipenuhi oleh penonton yang berteriak menyambut kehadiran pria tersebut. Rambut pria tersebut tampak klimis dan tertata rapi. Pria tersebut memakai jas berawarna hitam dan juga kaos di dalamnya dengan warna serupa. Di belakangnya, tampak lampu sorot yang menyoroti kedatangaan pria tersebut ke atas panggung.

Makna Konotasi: Laki-laki maskulin adalah laki-laki yang percaya diri. Adegan tersebut menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tampil percaya diri dengan gesture yang ia tunjukkan ketika

(9)

memasuki panggung dengan gerakan akrobatik. Senyum yang ditampilkan menunjukkan rasa percaya diri yang mampu memancing teriakan kagum dari penonton. Warna hitam yang dominan dari mulai setting panggung dan juga setelan jas yang ia kenakan menambah kesan elegan dari kedatanggan pria yang penuh rasa percaya diri tersebut.

Mitos. Kepercayaan diri lahir dari penampilan yang rapi dan juga riasan yang tepat. Pria dalam adegan ini menggambarkan maskulinitas yang popular di tahun 2000-an di mana disebut metroseksual. Pria metroseksual adalah sosok dengan penampilan yang terawat meniru dari penampilan gaya dandan pria di media massa. Pria metroseksual memiliki sifat narsistis yang tinggi dan pria di dalam adegan ini menggambarkan sikap tersebut.

PEMBAHASAN

Media merupakan salah satu sarana yang berperan dalam pencitraan maskulinitas. Melalui media berbagai pihak berupaya memberikan gambaran mengenai konsep maskulinitas. Dalam media vidual tubuh laki-laki merupakan sebuah kendaraan yang penuh makna. Melalui visual tubuh laki-laki ditunjukkan melalui fisik dan pakaiannya. Dengan seiringnya zaman berkembang saat ini, banyak sekali produk perawatan laki-laki yang datang ke layar kaca untuk merepresentasikan maskulin sesuai dengan produk yang dipasarkan. Hal tersebut merupakan salah satu fungsi media untuk membentuk sebuah opini baru di tengah-tengah masyarakat (McQuail, 2000).

Salah satu unsure yang menunjukkan Maskulinitas dan Budaya Populer dalam penelitian ini ditunjukkan dari gaya rambut. Gaya rambut di dalam iklan terlihat klimis dan selalu terkesan rapi dan segar. Potongan rambut sisi kanan dan kiri dipotong rapi dan bagian tengahnya dibiarkan kemudian ditata rapi kebelakang dengan belahan samping. Potongan rambut adalah salah satu bagian tubuh yang bisa dimanipulasi untuk bisa memunculkan kesan menarik, terutama bagi lawan jenis. (Sondakh, 2014).

Unsur lain yang ditonjolkan adalah gaya dan warna berpakaian. Warna pakaian di dalam iklan ini didominasi oleh warna hitam yang memberikan kesan elegan dan juga macho. Selain itu, penggunaan pakaian yang simple namun tetap elegan di depan umum menjadi standar pria dalam kehidupan modern.

Hal itu ditunjukkan dengan pria di dalam adegan ini yang mengenakan jas hitam dengan kaus hitam sebagai pakaian dalam jas yang simple namun tetap mencitrakan sebagai pria maskulin.

Laki—laki yang maskulin dalam iklan ini dicitrakan sebagai laki-laki yang produktif, menjaga kebersihan diri, dan tampil percaya diri dengan mengundang decak kagum dari penonton. Laki-laki maskulin di dalam iklan ini dicitrakan sebagaii laki-laki yang sibuk dengan segudan pekerjaannya setiap hari. Aktivitas tersebut memakan banyak energy yang membuat energy di wajahnya menghilang. Di tengh kelelahan yang menyerang, laki-laki maskulin juga masih mengutamakan penampilan dan kebersihan wajahnya dengan menggunakan produk perawata wajah yang membuat kecerahan di wajahnya kembali.

Laki-laki maskulin kemudian ditunjukkan dengan penampilannya yang penuh rasa percaya diri ketika tampil di depan umum.

Maskulinitas dan juga budaya modern di dalam iklan ini kental dengan nuansa aya maskulin bau yang popular di tahun 2000-an, yaitu gaya metroseksual. Gaya hidup metroseksual merupakan salah satu akibat dari pengaruh lingkungan. Adanya keinginan untuk mengutamakan penampilan bagi konsumen pria mendatangkan adanya kelompok gaya hidup metroseksual. Kunto dan Khoe (2007) menyatakan bahwa adanya perkembangan jaman membuat tuntutan untuk memiliki penampilan yang menarik tidak hanya didominasi oleh kaum wanita saja, tetapi juga pria. Hal ini menyebabkan adanya kebutuhan baru yang dimiliki oleh kaum pria untuk menunjang penampilan.

(10)

KESIMPULAN

Dari proses analisa semiotic terhadap representasi maskulinitas dan juga budaya popular dalam iklan Pond’s Men edisi Energy Charge Face Wash adalah 1) Pria maskulin dalam iklan ini identik dengan pria yang produktif, memiliki kekuatan fisik yang mumpuni, memerhatikan kebersihan dan penampilan, serta penuh percaya diri di depan umum, 2) Penampilan Pria Maskulin di dalam iklan ini memilkki gaya rambut klimis dengan potongan rambut sisi kanan dan kiri dipotong rapi dan bagian tengahnya dibiarkan kemudian ditata rapi kebelakang dengan belahan samping. Pakaian pria maskulin juga identik dengan warna hitamy yang elegan dan macho, 3) Budaya popular yang diangkat dalam iklan ini adalah budaya metroseksual yang membuat pria memperhatikan penampilannya dan juga memilki sifat narsistik.

PERSANTUNAN

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Fajar Junaedi selaku dosen pengampu Kajian Kritis Iklan di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yoygakarta yang telah membimbing dan mendukung kami dari awal proses penelitian hingga akhir penelitian dan dipublikasikan.

REFERENSI

Beasley, C. (2005). Gender & sexuality: Critical theories, critical thinkers. Gender and Sexuality: Critical Theories, Critical Thinkers, 1–293. https://doi.org/10.4135/9781446220498

Cornwall, R. W. (2005). Masculinities. Polity Press.

Hadiani, S. N., Alexandra R, S., & Balqis, P. (2020). Representasi Maskulinitas dan Tubuh Lelaki Ideal dalam Iklan Susu L-Men. Penelitian Audiens, 1(2). https://doi.org/10.18196/ja.12027

Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publications.

Hamid, F. (2012). Media dan Budaya Populer. Penelitian Komunika, 15(1).

Hartley, J. (2003). A short history of cultural studies. A Short History of Cultural Studies, 1–189.

https://doi.org/10.4135/9781446216934

Jackson, F. (2010). Understanding, Representation, Information. In Language, Names, and Information.

https://doi.org/10.1002/9781444325362.ch2

Laughey, D. (2007). Key themes in media theory. Key Themes in Media Theory, 1–29.

Lukitaningsih, A. (2013). IKLAN YANG EFEKTIF SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN Ambar Lukitaningsih Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Penelitian Ekonomi Dan Kewirausahaan, 13(2), 116–129.

Martz, J. D., Thompson, M., Ellis, R., & Wildavsky, A. (1991). Cultural Theory. The American Political Science Review. https://doi.org/10.2307/1963874

McQuail, D. (2000). Mass Communication Theories. Sage Publications.

Pratami, R., & Prima Hasiholan, T. (2020). Representasi Maskulinitas Pria dalam Iklan Televisi Men’s Biore Cool Oil Clear. Penelitian Komunikasi, 14(2), 119–138.

https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol14.iss2.art2

Ramadhana, M. B., Firmansyach, T. A., & Fakhri R, M. A. (2020). Representasi Identitas Maskulinitas dalam Iklan Rokok Gudang Garam Pria Punya Selera. Penelitian Audiens, 1(2).

https://doi.org/10.18196/ja.12028

Sari, H. C. K. (2020). Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Garnier Men Versi Joe Taslim Dan Chico Jeriko. Sarasvati, 2(1), 33. https://doi.org/10.30742/sv.v2i1.868

SehatQ. (2021). Mengenal Pengertian Maskulin dan Toxic Masculinity. Sehatq.Com.

https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-pengertian-maskulin-dan-toxic-masculinity

Sokowati, M. E. (2017). WACAN MASKULINITAS DAN SEKSUALITAS REMAJA LAKI-LAKI DALAM ARTIKEL DAN RUBRIK SEKSUALITAS MAJALAH HAI TAHUN 1995-2004.

Triana, HS, Y. (2017). Batu Akik Sebagai Budaya Populer. Penelitian Artefak, 4(1), 1.

https://doi.org/10.25157/ja.v4i1.311

Vidyarini, T. N. (2008). BUDAYA POPULER DALAM KEMASAN PROGRAM TELEVISI Titi Nur

(11)

Vidyarini. Penelitian Ilmiah SCRIPTURA, 2(1), 29–37.

Watie, E. D. S. W. (2012). PERIKLANAN DALAM MEDIA BARU (Advertising In The New Media).

THE MESSENGER, IV, 37–39.

Gambar

Gambar 1. Scene 1 Iklan Versi Rio Dewanto
Gambar 2. Scene 2 Iklan Versi Rio Dewanto

Referensi

Dokumen terkait

Ikon dari iklan Watchout adalah produk watchout itu sendiri dan model pria yang berpenampilan rapi, bersih, dan maskulin, memakai pakaian yang rapi yang identik dengan pria

Representasi Maskulinitas Laki-laki dalam Iklan Produk Bumbu Masak, Deterjen Pakaian, dan Sabun Pencuci Peralatan Makan..

Judul Skripsi : Analisis Fenomenologi Representasi Konsep Pria dalam Iklan Televisi (Studi pada Iklan Televisi Vaseline Men Wash Moisturizer Versi Naik Motor dan

Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ANALISIS FENOMENOLOGI REPRESENTASI KONSEP PRIA DALAM IKLAN TELEVISI (Studi pada Iklan Televisi Vaseline Men

penelitian yang dilakukan maka yang menjadi fokus penelitian adalah untuk mengetahui simbol- simbol atau tanda-tanda maskulinitas yang terdapat pada iklan pembersih

Maskulinitas dalam iklan yang menjadi sebuah indikator seorang pria yang ideal, telah menjadi obyek dalam penelitian beberapa peneliti sebelumnya, seperti penelitian yang

Representasi maskulinitas atau laki-laki yang ditunjukkan dalam iklan rokok Gudang Garam International versi Monaco Drift adalah tipe laki-laki dengan bentuk tubuh yang macho,

Berdasarkan latar belakang yang sudah di jabarkan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana Representasi dan Konsep Maskulinitas Dalam Iklan