Dalam Iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
Disusun Oleh:
NADYA
0543010007
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan Rahmat, Nikmat serta
Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi yang berjudul “REPRESENTASI
MASKULINITAS DALAM IKLAN TELEVISI (Studi Semiotik Tentang Representasi
Maskulinitas Dalam Iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica)”.
Penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pembimbing, Ibu
Dyva Clarreta yang telah berjasa besar dalam memberikan bantuan, dukungan dan motivasi
kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
Ucapan terima kasih yang dalam juga penulis ungkapkan kepada banyak pihak yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan do’a, saran, bimbingan dan
semangat kepada penulis, sehingga laporan ini dapat terselesaikan. Ungkapan tersebut penulis
persembahkan kepada:
1.
Ir.Didiek Tranggono, MS.i selaku Dosen Wali Penulis.
2.
Bpk. Juwito, S.sos, M.si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3.
Mama, Papa dan Kakak-kakakku tercinta (Sunil, Farisol, Mas Hud, Mbak Ela), untuk
semua motivasi, semangat dan dukungan yang tidak pernah putus.
4.
Especially for Hunney untuk support yang nggak pernah berhenti, pengertian,cinta,
semua pertengkaran dan permasalahan yang terjadi waktu pengerjaan skripsi ini.
Semoga kita bisa menjadi orang yang lebih dewasa dalam segala hal dan menjadikan
semua pengalaman ini menjadi pelajaran berharga yang nggak akan terjadi lagi
seumur hidup kita. Dan kita bisa menjadi pasangan yang lebih baik lagi. Amiinnn....
5.
Calon keluargakuu di masa depan (Amin Ya Allah!!) Papa Hardo, Mba Ranti dan
bahwa tante terus melihat dan mendoakan kami semua disini. Kelulusan Nadya sama
Ikrar ini pasti juga berkat doa tante. Terima kasih tante... I love U so much!
6.
Binta, sodara sekaligus sahabat tempat curhat. Beserta Indra……
7.
Sahabat-sahabatQuw….. Ela, Putri, Komo, Alfian, SampanQ……teman hura-hura
terasyik yang pernah dan selalu ada. Thank’s a lot….. The Most fun things I ever had
in my life are because of you guys…….
8.
Teman-teman kampus yang selalu support dan akan amat sangat penulis rindukan.
Peni, Andra, Juwita, Dhona, Theo, Jemblung, Luthung, Fikar, dan masih banyak yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga semua kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam
penyusunan proposal skripsi ini dibalas oleh ALLAH SWT. Penulis berharap semoga Skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………
i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI …. ii
KATA PENGANTAR ……….
iii
DAFTAR ISI ………
v
DAFTAR LAMPIRAN ………
vii
ABSTRAKSI ………
viii
BAB I PENDAHULUAN………
1
1.1.
Latar Belakang Masalah ………...
1
1.2. Perumusan
Masalah
………..
9
1.3.
Tujuan Penelitian ………...
9
1.4.
Manfaat Penelitian ………
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………..
10
2.1.
Landasan Teori ………..
10
2.1.1.
Periklanan Sebagai Bentuk Komunikasi Massa ……...
10
2.1.2.
Iklan Televisi ………..
11
2.1.3.
Representasi
………....
14
2.1.4.
Pendekatan Semiotik John Fiske Dalam Iklan Televisi ….
15
2.1.5.
Komunikasi Non Verbal ………..
26
2.1.6.
Penggunaan Warna Dalam Iklan ………..
29
2.1.8.
Identitas
Maskulinitas
……….
35
2.2.
Kerangka Berpikir ………..
39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Metode Penelitian ………...
40
3.2.
Kerangka Konseptual ……...
41
3.2.1.
Maskulinitas
………
41
3.2.2.
Korpus Penelitian ………
42
3.2.3.
Teknik Pengumpulan Data ………
42
3.2.4.
Teknik Analisis Data ………..
42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ………
44
4.1.1.
Gambaran Umum Objek Penelitian Iklan Shampo Zinc
Versi Agnes Monica di Televisi ……….
44
4.1.2.
Penyajian Data ………..
45
4.2.
Analisis Data ………
46
4.3. Interpretasi
Keseluruhan
………
65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
………
67
5.2. Saran
………..
68
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan dan Gagah ……
73
Lampiran 2. Sejarah Panjang Celana Panjang ………..
75
Lampiran 3. Sepatu Hak Tinggi Berawal Dari Pelindung Lumpur …………
78
Lampiran 4. A Short History of Modern Dance ……….
80
Lampiran 5. Superman : The Appeal of a 60 Year Legend ………...
84
Lampiran 6. Properti : Memilih Warna untuk Rumah Idaman ………
86
Lampiran 7. Warna Arti ………...
88
Semiotik Tentang Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Shampo Zinc versi Agnes
Monica).
Penelitian ini didasarkan pada kurangnya pemahaman tentang makna maskulinitas di
masyarakat Indonesia khususnya maskulinitas dalam hubungannya dengan citra perempuan
dalam iklan. Iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica ini merupakan sebuah iklan yang
dengan berani menampilkan citra serta sisi berbeda dari seorang perempuan yaitu sisi
maskulinitas dan menyajikannya ke dalam sebuah iklan. Iklan merupakan salah satu media
komunikasi massa yang efektif dalam menyampaikan pesan kepada komunikannya.
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan representasi maskulinitas dalam iklan
tersebut.
Maskulinitas merupakan kualitas untuk menjadi maskulin (menjadi atau seperti
laki-laki). Dimana maskulinitas selama ini identik dengan penggambaran fisik yang besar serta
sifat kelelakian lainnya. Sebagai landasan teori, penelitian ini menggunakan pendekatan
Semiotika John Fiske dalam iklan Televisi, Iklan Televisi, Periklanan dalam bentuk
Komunikasi Massa, Penggunaan warna dalam Iklan, Citra Perempuan dalam Iklan, Identitas
Maskulinitas, Representasi dan Komunikasi Non-verbal.
Penelitian ini, merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode
semiotika. Korpus penelitian adalah iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica menjadi 2 scene
dalam format FLV. Data analisis dalam penelitian ini melalui 3 level yakni level realitas
menekankan pada unsur penampilan, kostum, dan make-up, setting serta gerak tubuh. Level
Representasi fokus kepada teknik kamera, editing, pencahayaan dan suara. Level ideology
merupakan pengorganisasian ke dalam kesatuan (coherence) dan penerimaan sosial (social
acceptability) seperti individualism, kelas patriarki, pluralisme, umur, ras, dan sebagainya.
Dari data yang dianalisa, peneliti menarik kesimpulan bahwa iklan ini sarat akan
muatan representasi maskulinitas pada seorang perempuan tidak hanya dapat dilihat dari
ciri-ciri fisik namun lebih menonjolkan pada sisi kepribadian. Peneliti menemukan berbagai
macam karakteristik maskulinitas dalam diri seorang perempuan baik secara fisik maupun
psikis. Maskulinitas dalam diri seorang perempuan dapat ditunjukkan dengan tampilnya
seorang perempuan di wilayah publik yang selama ini di dominasi oleh laki-laki.
Karakteristik perempuan yang berkarier, aktif dalam masyarakat, penuh dengan semangat
dalam hidup, bersikap agresif, kompetitif dan suka berargumen dalam setiap kesempatan,
pantang menyerah dan tidak takut dalam menghadapi tantangan yang diberikan, serta berani
menunjukkan jati diri yang sebenarnya dengan tegas kepada masyarakat dapat dikategorikan
sebagai seorang perempuan yang memilih gender maskulin. Namun dibalik semua
karakteristik maskulinitas yang ditunjukkan, perempuan selamanya akan tetap menjadi
seorang perempuan yang penuh dengan keanggunan dan cinta kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, dunia periklanan Indonesia makin terus berkembang. Pesatnya laju
pertumbuhan tersebut tampaknya juga dipicu dengan adanya proliferasi media. Yaitu,
bertambahnya jumlah media yang diakibatkan reformasi pemerintah di bidang
komunikasi, dimana pendirian media baru, baik media cetak maupun elektronik televisi
dan radio sangat dipermudah dibanding ketika Orde Baru (Widyatama, 2007 : 5).
Meningkatnya geliat iklan tersebut membuat optimis berbagai kalangan,
terutama industri. Dalam ilmu komunikasi pemasaran, iklan merupakan investasi untuk
menjaga hubungan yang berkesinambungan antara perusahaan dan konsumennya.
Bahkan menurut Bedjo Riyanto, iklan sama pentingnya dengan investasi di bidang
pengemasan (packaging), distribusi maupun penelitian pasar (market research) yang
sasaran akhirnya mencapai perolehan laba penjualan secara maksimal (Riyanto, 2001 :
18).
Seorang ahli pemasaran, Kotler (1991 :237) mengartikan iklan sebagai semua
bentuk penyajian non personal, promosi ide-ide, promosi barang produk atau jasa yang
dilakukan oleh sponsor tertentu yang dibayar. Artinya, dalam menyampaikan pesan
tersebut, komunikator memang secara khusus melakukannya dengan cara membayar
kepada pemilik media atau membayar orang yang mengupayakannya. Sedangkan
Masyarakat Periklanan Indonesia mengartikan iklan sebagai segala bentuk pesan
tentang suatu produk atau jasa yang disampaikan lewat suatu media dan ditujukan
Masih ada beberapa ahli memaknai iklan dalam beberapa pengertian. Ada yang
mengartikan dalam sudut pandang komunikasi, murni periklanan, pemasaran, dan ada
pula yang memaknai dalam perspektif psikologi. Namun secara prinsip, iklan adalah
bentuk penyajian pesan yang dilakukan oleh komunikator secara non personal melalui
media untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar (Widyatama, 2007 :
13).
Iklan dianggap sebagai teknik penyampaian pesan yang efektif dalam menjual
dan menawarkan suatu produk. Hal ini menyebabkan berbagai produk dengan
bermacam merek berlomba-lomba memenangkan pasar. Semua produk menghendaki
dirinya bisa menjadi market leader. Akibatnya muncul persaingan yang ketat. Para
kreator iklan dituntut untuk lebih kreatif dalam menghadirkan konsep iklan dan
mengemas pesan-pesan iklan tersebut dengan semaksimal mungkin guna menarik
perhatian calon konsumen.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan banyak digunakan dalam iklan.
Keterlibatan tersebut didasari dua faktor utama, yaitu ; pertama bahwa perempuan
adalah pasar yang sangat besar dalam industri. Faktanya lebih banyak produk industri
diciptakan bagi perempuan. Ribuan kosmetik diciptakan untuk perempuan. Karena
keinginan untuk cantik, perempuan membutuhkan lipstick, bedak, pemerah pipi,
maskara dan sebagainya. Termasuk karena fisiknya yang khusus, perempuan
membutuhkan pembalut yang jelas akan digunakan setiap bulan. Di samping itu masih
banyak lagi produk-produk kebutuhan perempuan yang tidak dibutuhkan oleh laki-laki.
Oleh karena itu, tidak heran bila perempuan selalu menjadi target iklan.
Faktor kedua adalah bahwa perempuan luas dipercaya mampu menguatkan
pesan iklan. Perempuan merupakan elemen agar iklan mempunyai unsur menjual.
kehadiran perempuan merupakan syarat penting bagi kemapanannya. Sementara bila
target marketnya perempuan, kehadiran perempuan merupakan wajah aktualisasi yang
mewakili jati diri atau eksistensinya (Widyatama, 2007 : 42).
Dalam desertasinya yang menganalisa 300-an iklan cetak, Tamrin Amal
Tomagolan menyimpulkan bahwa perempuan dalam iklan Indonesia lebih banyak
digambarkan dalam sosok tradisional. Iklan yang mengetengahkan kesetaraan gender
masih terlalu sedikit. Bias gender masih lebih mendominasi. Dalam penelitiannya,
Tomagola menyimpulkan bahwa perempuan dalam iklan cetak dikelompokkan dalam 5
kategori citra, yaitu citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, citra pergaulan dan citra
pigura.
Menurut Tamagola menyebutkan bahwa wanita dalam iklan terkadang
ditempatkan dalam citra peraduan yakni sebagai objek seks, pemuas laki-laki. Dia juga
mengungkapkan bahwa ideologi perempuan dalam iklan adalah ideologi yang bias
gender. Perempuan dikonstruksi sebagai pemuas laki-laki belaka, dan disebut sebagai
citra pigura, yakni perempuan kelas menengah dan atas perlu tampil memikat untuk
mempertegas keperempuannya secara biologis seperti kulit halus, rambut panjang,
badan ramping, kaki indah, wajah menarik dan seterusnya.
Berkait dengan penggambaran perempuan dalam iklan, sebuah penelitian
menarik yang dilakukan Rendra (2003) yang lebih spesifik pada iklan televisi juga
membuktikan bahwa perempuan cenderung diperlihatkan secara stereotipe bias gender.
Bias gender dalam iklan sebagaimana terlihat dalam iklan televisi Indonesia terlihat
dalam 3 hal, yaitu karakter yang diperlihatkan, wilayah peran, dan hubungan yang
diperlihatkan antara laki-laki dan perempuan. Secara spesifik, representasi bias gender
dalam aspek karakter yang diperlihatkan tersebut meliputi aspek psikologis dan aspek
Secara psikologis, bias gender perempuan cenderung direpresentasikan lebih
emosional, sementara laki-laki digambarkan dalam sosok yang lebih rasional.
Sedangkan dalam aspek fisik, perempuan lebih direpresentasikan atas kecantikan tubuh,
sementara laki-laki diperlihatkan dalam aspek kekuatan fisik. Yang dimaksud dengan
kecantikan tubuh termasuk di dalamnya adalah kecantikan wajah dan keindahan tubuh
perempuan.
Umumnya perempuan ditampilkan dalam iklan televisi berambut panjang,
menggunakan make-up, dan mengenakan pakaian yang lebih feminin. Di sisi lain,
laki-laki cenderung ditampilkan secara lebih “natural” tidak terlalu menghiraukan
penampilan fisik, namun tetap menampilkan steriotipenya sebagai sosok yang
machoistik.
Penampilan fisik laki-laki dan perempuan tersebut sekaligus digunakan untuk
menunjukkan identitas mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Karakter fisik
perempuan akan direpresentasikan dalam karakter lemah, lembut gemulai, wajah
menggunakan make-up, cantik, rambut panjang, tidak gesit, dan menampilkan pakaian
yang memperlihatkan lekuk tubuh. Sedangkan seorang laki-laki direpresentasikan
memiliki tubuh dan stamina yang kuat, atletis, terampil, gesit, berambut pendek, tidak
mengenakan make-up atau perhiasan dan sebagainya. Dengan kata lain, dari segi fisik
laki-laki dan perempuan lebih diperlihatkan dalam stereotipe tradisional mereka
masing-masing (Widyatama, 2007 : 46-47).
Berdasarkan atas penjabaran tersebut maka dalam kebanyakan iklan, karakter
feminin selalu melekat pada sosok perempuan, begitu pula maskulinitas yang identik
dengan sosok laki-laki. Maskulinitas identik dengan penggambaran fisik yang besar,
agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan dimitoskan sebagai pelindung; kuat,
Karakteristik sifat yang ada pada peran gender maskulin berdasar atas
stereotipe tradisional laki-laki dikemukakan Sahrah (1996) meliputi tiga komponen,
yaitu kemampuan memimpin, maskulin dan rasionalitas. Kemampuan memimpin
dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin,
optimistic, pemberani dan sportif. Sifat maskulin dijabarkan bersifat melindungi,
mandiri, matang atau dewasa dan percaya diri. Komponen rasionalitas terdiri dari sifat
suka mencari pengalaman baru, rasional dan tenang saat menghadapi krisis. Sehingga
pekerjaan yang cocok adalah di wilayah publik, mencari nafkah, sebagai kepala
rumah tangga, menjadi decision maker, dan sebagainya. (Widyatama, 2006 : 6)
Wacana maskulinitas pemberani, tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis,
tidak boleh bersifat pengecut, adalah nilai-nilai dan kode-kode sifat kejantanan yang
identik dengan laki-laki. Laki-laki harus kelihatan berani dan konsep berani disini
berarti sikap membela dan menjaga pasangan perempuannya, berani menjadi diri
sendiri dan berani bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya. Laki-laki
juga dianggap lebih berani dari perempuan. Kegiatan-kegiatan keras dan cenderung
menyerempet bahaya seperti panjat tebing, tinju, arung jeram, tampak lebih lazim jika
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang kegiatan olah raganya tinju dan sepak bola
misalnya, akan dianggap seperti anak laki-laki dan berbeda dari perempuan lain pada
umumnya. Simbol maskulinitas tidak berhenti pada sifat yang melekat pada diri
manusia, ia juga ikut dilekatkan pada aksesoris kulit, metal, motor besar dan pilihan
musik tertentu. Musik rock sempat menjadi jenis musik yang identik dengan laki-laki,
meskipun kemudian banyak juga perempuan yang menggemari jenis musik ini
(www.kunci.or.id, di akses 2 Januari 2010 : 20.02)
Dalam teori sosiologi gender, Connel seperti dikutip oleh Wajcman
atau ‘maskulinitas hegemonik’ dan bentuk maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang
dimaksud dengan hegemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena
kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya.
Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat
berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita atau kekuasaan bagi maskulinitas
tersebut (Wajcman, 2001 : 160-161).
Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan
perempuan, erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmerman yang
dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang
memenuhi harapan sosial untuk laki-laki atau perempuan) tidak melekat dalam diri
seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu. Dalam arti seseorang
melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku
sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya (Ritzer &
Goodman, 2003 : 413 - 414).
Senada dengan itu menurut Mosse yang dikutip oleh Handoko mengungkapkan
secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin (seks) biologis yang merupakan
pemberian dimana kita dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan. Namun yang
menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok
bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita
mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan masyarakat bagi kita untuk
menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakan sebagai kostum dan topeng
teater, dimana kita berperan sebagai feminin dan maskulin.
Melihat pernyataan Mosse serta Zimmerman di atas bahwa konsepsi individu
tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan
dan berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja
perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki, dia tidak lagi
feminin seperti anggapan umumnya seperti lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah
hati, bersikap manis dan sejenisnya. Namun maskulin : rasional, cerdas, pengambil
keputusan yang baik, tegas dan perkasa (Handoko, dalam jurnal Diskomvis, 2005).
Dalam gencarnya penggambaran citra perempuan berdasarkan stereotipe
tradisional di televisi, terdapat sedikit iklan yang menonjolkan sisi maskulinitas dari
perempuan. Salah satunya adalah Iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai representasi maskulinitas pada iklan shampoo zinc versi Agnes Monica.
Layaknya iklan produk kecantikan lainnya, iklan shampoo selama ini juga
membombardir masyarakat khususnya perempuan dengan membangun standar-standar
baru kecantikan rambut. Dahulu, rambut yang indah adalah rambut yang sehat, bebas
ketombe. Ketika standar sehat dan bebas ketombe sudah “terasa usang”, para produsen
dan pengiklan membangun konstruksi baru atas rambut. Disebutkan bahwa rambut
indah adalah rambut yang bebas ketombe, hitam berkilau disamping rambut yang tidak
mudah rontok. Tidak peduli pada bentuk rambut yang dimiliki, apakah keriting kecil,
berombak atau lurus. Sekarang melalui iklan, konstruksi keindahan rambut tidak lagi
hanya menekankan kesehatan rambut, tetapi juga bentuk rambut. Bila dahulu bentuk
rambut tidak diarahkan pada model tertentu, tetapi kini diarahkan pada model rambut
yang lurus, sehingga bagi mereka yang memiliki rambut berombak atau keriting kecil,
terpengaruh untuk menyegerakan diri melakukan reblonding (meluruskkan rambut).
Mereka yang tetap bertahan dengan rambut berombak atau keriting akan merasa bukan
Hal-hal itulah yang membuat peneliti tertarik dengan objek penelitian ini karena
iklan ini menampilkan sosok perempuan yang memiliki ciri-ciri fisik berbeda dengan
stereotipe citra perempuan tradisional dalam iklan kebanyakan terutama pada iklan
shampoo yang biasanya mengidentikan rambut sehat adalah rambut panjang, lurus,
hitam dan tebal, dengan menampilkan sosok perempuan yang lemah lembut, gemulai
dan menggunakan baju yang feminin. Perempuan-perempuan seperti itulah yang dapat
dikategorikan sebagai perempuan cantik menurut iklan yang akhirnya mempengaruhi
penilaian masyarakat terhadap definisi perempuan cantik pula.
Iklan Shampo Zinc ini menggambarkan Agnes Monica sebagai sosok
perempuan yang mandiri, memiliki kepercayaan diri yang teguh, lincah, perkasa serta
memiliki kepribadian yang kuat, ditampilkan dalam sosok berambut pendek,
menggunakan kemeja kerja laki-laki yang besar pada satu scene, dan menggunakan
kaos tanpa lengan dengan celana panjang yang digulung pada scene lainnya. Iklan ini
menampilkan sosok perempuan yang bertolak belakang dengan stereotipe citra
perempuan tradisional terutama yang bersinggungan dengan citra pilar, dimana
perempuan dilekatkan pada fisik perempuan sebagai sosok yang cantik, berambut
panjang, keibuan, lembut, dan berbagai sifat feminin lainnya. Iklan ini menonjolkan sisi
maskulinitas perempuan tanpa menghilangkan sisi feminin yang ditampilkan pada
detail-detail kecil dalam iklan.
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
pendekatan semiotik yaitu studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya,
cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan
penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, maka penelitian ini mencoba
untuk menginterpretasikan dan menafsirkan pesan, makna, tanda dan gambar yang
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah “Bagaimana Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Shampo Zinc versi Agnes
Monica di Televisi?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk
mengetahui Bagaimana Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Shampo Zinc versi
Agnes Monica di Televisi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat praktis, yaitu membantu pemirsa dalam memahami makna tentang
representasi maskulinitas dalam iklan shampoo zinc versi Agnes Monica di televisi.
2. Manfaat akademis, yaitu menambah khasanah wawasan dalam subjek periklanan
dan mengetahui sifat maskulinitas dalam iklan serta menambah pengetahuan
tentang kreatifitas dalam pembuatan suatu iklan.
3. Manfaat metodologis, yaitu memberikan referensi bagi penelitian lain sebagai
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Periklanan sebagai Bentuk Komunikasi Massa
Menurut Harold Lasswell, unsur-unsur komunikasi massa terdiri dari sumber
(source), pesan (message), saluran (channel), penerima (receiver), dan efek (effect).
Dalam sudut pandang periklanan, sumber disini tidak lain adalah komunikator atau
sponsor tertentu secara jelas. Komunikator dalam iklan dapat datang dari
perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi, bahkan negara. Yang
kedua adalah pesan. Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Pesan yang
disampaikan oleh sebuah iklan, dapat berbentuk perpaduan antara pesan verbal dan
non verbal. Pesan verbal adalah pesan yang disampaikan baik secara lisan maupun
tulisan. Semua pesan yang bukan pesan verbal adalah pesan non verbal. Sepanjang
bentuk non verbal tersebut mengandung arti, maka ia dapat disebut sebagai pesan
komunikasi (Widyatama, 2007 : 17).
Unsur saluran menyangkut media yang dipakai untuk menyebarluaskan
pesan-pesan baik itu media cetak, elektronik maupun internet. Selanjutnya adalah unsur
penerima. Iklan diciptakan karena ingin ditujukan kepada khalayak tertentu. Sifat-sifat
dari khalayak sasaran ini antara lain : luas dan banyak (large), beragam (heterogen)
dan antara audience dengan komunikator tidak saling mengenal (anonim) Oleh karena
itu, dalam dunia periklanan khalayak sasaran cenderung bersifat khusus. Pesan yang
kelompok target audience tertentu. Dengan demikian, pesan yang diberikan harus
dirancang khusus sesuai dengan target khalayak (Widyatama, 2007 : 22).
Yang terakhir adalah unsur efek. Semua iklan yang dibuat oleh pengiklan
dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu di tengah
khalayak. Dampak tertentu yang diharapkan oleh pengiklan dapat berupa pengaruh
ekonomis maupun dampak sosial. Pengaruh ekonomis adalah dampak yang
diharapkan dapat dieujudkan oleh iklan untuk maksud mendapatkan keuntungan
ekonomi. Misalnya, bertambahnya penjualan produk sehingga mendapat keuntungan
materi. Sementara dampak sosial adalah keuntungan non ekonomi, yaitu terbangunya
citra baik berupa penerimaan sosial oleh masyarakat (Widyatama, 2007 : 24).
Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi
fungsi pemasaran. Untuk dapat menjalankan fungsi pemasaran, maka apa yang harus
dilakukan dalam kegiatan periklanan tentu saja harus lebih dari sekedar memberikan
informasi kepada khalayak. Periklanan harus mampu membujuk khalayak ramai agar
berperilaku sedemikian rupa sesuai dengan strategi pemasaran perusahaan untuk
mencetak penjualan dan keuntungan. Periklanan harus mampu mengarahkan
konsumen membeli produk-produk yang oleh departemen pemasaran dirancang
sedemikian rupa, sehingga diyakini dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
pembeli. Singkatnya, periklanan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan keputusan
pembeli (Jefkins, 1996 : 15).
2.1.2 Iklan Televisi
Iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari bahasa Prancis, yaitu
re-clame yang berarti “meneriakkan berulang-ulang”. Terdapat berbagai macam
disampaikan dari komunikator pada komunikan. Oleh karena itu iklan adalah bentuk
kegiatan komunikasi.
Komunikasi iklan pada dasarnya sama, yakni bentuk komunikasi persuasi
terhadap komoditi atau produk dan jasa yang errat kaitannya dengan masalah-masalah
pemasaran. Iklan merupakan ‘media’ pemilik produk yang diciptakan oleh biro iklan
untuk disebarluaskan kepada khalayak dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai
informasi produk dan mendorong penjualan. Karena mendorong penjualan, maka
iklan merupakan bagian dari pemasaran produk (Widyatama, 2006 : 13).
Tujuan dasar iklan adalah pemberian informasi tentang suatu produk layanan
dengan cara dan strategi persuasif. Menurut medianya iklan dibagi dalam dua
kategori besar, yaitu iklan above the line advertising (lini atas) dan bellow the line
advertising (lini bawah). Above the line advertising adalah jenis-jenis iklan yang
disebarluaskan melalui media massa, misalnya surat kabar, majalah, radio dan televisi.
Sementara bellow the line advertising adalah kegiatan periklanan yang tidak
melibatkan pemasangan iklan di media massa dan tidak memberikan komisi terhadap
perusahaan. Umumnya, kegiatan periklanan lini bawah ini bersifat penjualan promosi,
yaitu kegiatan pemasaran yang dilakukan di tempat penjualan (Widyatama, 2006 :
13-14).
Sesuai medianya, iklan televisi (television commercial) adalah iklan yang
ditayangkan melalui televisi. Melalui media ini, pesan dapat disampaikan dalam
bentuk audio, visual, dan gerak. Sejalan dengan itu menurut Wells, Burnet &
Mariarty terdapat beberapa bagian dalam iklan yang ditayangkan di televisi, terdiri
dari video, suara (audio), model (talent), peraga (props), latar (settings), pencahayaan
(lighting), grafik (grapich), kecepatan (pacing) (Wells, Burnet & Mariarty, 1999 :
1. Video yaitu segala sesuatu yang ditampilkan di layar yang bisa dilihat pada iklan
di televisi merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak atau
dijadikan perhatian karena pada dasarnya manusia secara visual tertarik pada
obyek yang bergerak. Dengan kata lain manusia lebih tertarik pada iklan display
yang bergerak.
2. Suara atau audio dalam iklan televisi, pada dasarnya sama dengan di radio, yaitu
dengan memanfaatkan musik, lagu-lagu singkat (jingle), atau suara orang (voice).
Misalnya, seorang model iklan menyampaikan pesan, langsung kepada khalayak
melalui dialog yang terekan pada kamera.
3. Aktor atau model iklan (talent) juga menjadi bagian penting dalam iklan.
Sebagaimana banyak studi yang menunjukkan bahwa keefektifan komunikasi
juga ditentukan oleh ciri-ciri dari komunikator, seperti kredibilitas dan daya tarik.
4. Alat peraga (props) adalah peralatan-peralatan lain yang digunakan untuk
mendukung pengiklan sebuah produk. Unsur utama alat peraga ini harus
merefleksikan karakter, kegunaan, dan keuntungan produk, seperti logo, kemasan
dan cara penggunaan suatu produk.
5. Latar atau suasana (setting) adalah tempat atau lokasi dimana pengambilan
gambar (shooting) ketika adegan itu berlangsung. Lokasi tersebut dipilih
berdasarkan tema iklan.
6. Pencahayaan (lighting) sangat penting untuk menarik perhatian khalayak dalam
menerima suatu obyek tentang kejelasan gambar.
7. Gambar atau tampilan yang bisa dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus
yang merangsang perhatian khalayak dalam menerima kehadiran sebuah obyek,
yang disampaikan. Unsur gambar ini misalnya mengandalkan komposisi warna
atau bahasa tubuh (gesture) dari pemeran iklan.
8. Kecepatan atau pengulangan merupakan unsur yang sering dipakai, yaitu dengan
melakukan pengulangan slogan-slogan atau kata-kata. Sebagai contoh misalnya
pengulangan nama merk atau keunggulan produk dibandingkan yang lain.
Sebagaimana teori dalam gaya bahasa bahwa sesuatu yang disampaikan
bekali-kali bila disertai variasi akan menarik perhatian orang.
2.1.3 Representasi
Terdapat dua proses representasi, yang pertama adalah representasi mental.
Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta
konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua
adalah Representasi ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna.
Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang
lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu
dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ‘peta
konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai
korespondensi antara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi
mempresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta
konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna kewat bahasa.
Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang
Tanda visual dan gambar, walaupun mereka secara jelas persamaan yang dekat
pada benda yang mereka tunjuk, tetap merupakan tanda-tanda: mereka membawa
makna dan kemudian harus dapat diinterpretasikan. Dalam menginterpretasikannya,
kita harus memiliki akses kepada kedua sistem representasi yang telah dijelaskan tadi.
Jadi walaupun dalam kasus bahasa visual dimana hubungan antara konsep dan tanda
tampaknya langsung pada ntinya, persoalannya jauh dari sederhana. Tanda visual
disebut sebagai tanda ikonik. Sebuah foto dari pohon memproduksi beberapa kondisi
sesungguhnya dari persepsi visual kita dalam sebuah tanda visual. Tanda yang tertulis
atau terucap, pada sisi lainnya, adalah yang disebut indeksikal (Hall, 1997).
2.1.4 Pendekatan Semiotik John Fiske Dalam Iklan Televisi
Menurut John Fiske pada intinya semua model yang membahas mengenai
makna dalam studi semiotika memiliki benruk yang sama, yaitu membahas tiga
elemen antara lain :
1. Sign atau tanda itu sendiri
Pada wilayah ini akan dipelajari tentang macam-macam tanda. Cara
seseorang dalam memproduksi tanda, macam-macam makna yang
terkandung di dalamnya dan juga bagaimana mereka saling terhubung
dengan orang-orang yang menggunakannya. Dalam hal ini tanda
dipahami sebagai konstruksi makna dan hanya bisa dimaknai oleh
orang-orang yang telah menciptakannya.
2. Codesi atau kode
Sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam tanda yang
budaya untuk mengeksploitasi media komunikasi yang sesuai dengan
transmisi pesan mereka
3. Budaya
Lingkungan dimana tanda dan kode itu berada. Kode dan lambang
tersebut segala sesuatunya tidak dapat lepas dari latar belakang budaya
dimana tanda dan lambang itu digunakan.
Menurut John Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske,
2006 : 69) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun
hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mmpelajari komunikasi kita dapat
membaginya dalam dua perspektif, yaitu : segi proses, serta sisi produk dan
pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan
menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna.
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasannya pada
bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya
untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks
tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan
berkomunikasi karena pemahaman yang berbesa antara pengirim pesan dan penerima
pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya san bukan
kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari
perspektif tentang teks (iklan) dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. (Chandler,
2002 : www.aber.ac.uk, diakses 2 Januari 2010 : 20.30) Studi ini tidak hanya
mengarah pada ‘tanda’ dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya
tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, gambar
tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian dibuat sistem tanda.
Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk
sebuah makna. Menurut John Fiske, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang
timbul antara sebuah tanda dan makna yang terkandung di dalamnya, juga bagaimana
tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode.
Menurut James Monaco, seseorang ahli yang lebih berafiliasi dengan
gramatika (tata bahasa) mengatakan bahwa film (iklan) tidak mempunyai gramatika
(film has no grammar). Untuk itu ia menawarkan kritik bahwa teknik yang digunakan
dalam film (iklan) dan gramatika pada sifat kebahasaannya adalah tidak sama. Akan
sangat beresiko apabila memaksa dengan menggunakan kajian linguistik untuk
menganalisa sebuah film (iklan), karena film (iklan) terdiri dari kode-kode yang
beraneka ragam.
“There is no ‘language’ or photographs of film, no single significant of system (as
supposed to technical apparatus) upon which all photographs or film depend (in
sense in which all texts in English depend upon the English language) : there is a
rather a heterogenous complex of codes which photographs or film may draw”
(Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk, diakses 2 Januari 2010 : 20.30)
Kritik yang paling tajam menurut Barthes adalah yang diajukan oleh Don
Slater, terhadap semiotik milik Saussure :
“… describe the internal structure of system of meaning, and in answer to a rather
new kind of kind of question, not ‘why she say that?’, ‘why are BMW’s status
‘how does the structure of sign on system make possible, offer certain resources for,
state mark, meaning are associations, and in reliable ways?’,’ how is orders and
intelligible meaning sustained?”.
Menurut Chandler pada tahun 2002 (www.aber.ac.uk, diakses 2 Januari 2010 :
20.30) model linguistik seringkali mengarahkan unit analisis sebuah media audio
visual pada analogi-analogi linguistik. Pada semiotika film (iklan), model ini
menggeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film (iklan) sama dengan
bahasa tulis, seperti : frame sebagai morfem atau kata, shot sebagai kalimat, scene
sebagai paragraph, dan sequence sebagai bab.
Penerapan Semiotik pada iklan televisi, berari kita harus memperhatikan aspek
medium televisi yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini jenis
ambilan kamera (selanjutnya disebut shot saja) dan kerja kamera (camera work).
Dengan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana
maknanya. Misalnya, Close-Up (CU) shot berarti pengambilan kamera dai leher ke
atas atau menekankan bagian wajah, makna dari CU shot adalah keintiman dan
sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu
bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning-up atau pan-up yaitu
gerak kamera mendingak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke
atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil
(Berger, 1987 : 37).
Lebih jauh yang harus diperhatikan tidak hanya shot dan camera work tetapi
juga suara. Suara meliputi sound effect dan musik. Televisi sebagai media audio visual
aspek kenyataan hidup. Suara yang keras, menghentak, lemah, memiliki makna yang
berbeda-beda. Setiap suara mengekspresikan sesuatu yang unik (Sumarno, 1996 : 71).
Diasumsikan pembuatan iklan televisi sama dengan pembuatan film cerita.
Analisis semiotik yang dilakukan pada cinema atau film layar lebar menurut John
Fiske disetarakan dengan analisi film (iklan) yang ditayangkan di televisi. Sehingga
yang dilakukan pada iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica, menurut John Fiske
dibagi menjadi tiga level, yaitu :
1. Level Realitas
Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian, dan make-up yang
digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gerak tubuh (gesture),
ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang
ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis. Kode-kode sosial yang
merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat berupa :
a) Penampilan, kostum, dan make-up yang digunakan oleh tokoh di iklan
Shampo Zinc versi Agnes Monica. Dalam penelitian ini tokoh yang menjadi
objek penelitian adalah satu orang, yaitu Agnes Monica. Bagaimana pakaian
dan tata rias yang ia gunakan, serta apakah kostum dan make-up yang
ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial
dan kultural.
b) Lingkungan atau setting yang ditampilkan dari cerita masing-masing tokoh
tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna
didalamnya. Setting mengacu kepada tempat di mana sebuah aksi film
berlangsung. Tempat-tempat yang dipilih sifatnya beragam, bisa jadi tempat
yang ditayangkan merupakan imaginary places (bersifat khayalan) ataupun
untuk mengenalkan ide dan tema, dan untuk menciptakan mood
(Prammagiore, 2005 : 62).
c) Gesture atau gerak tubuh, apa makna dari gerak tubuh dari masing-masing
tokoh iklan tersebut.
2. Level Representasi
Meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara, yang
ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional.
Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog,
setting, casting, dan sebagainya.
Level Representasi meliputi :
a) Teknik Kamera
Teknik-teknik kamera diuraikan sebagai berikut :
1) Camerawork
Penggunaan kamera dalam pembuatan film (iklan) tidak saja
berfungsi untuk menangkap gambar, akan tetapi hasil dari tangkapan
kamera dapat menciptakan makna. Unsur-unsur yang difungsikan dalam
penggunaan kamera adalah sebagai berikut :
a. Scene : Naratif yang lengkap dalam sebuah film (iklan),
termasuk awal, pertengahan hingga akhir film. Biasanya scene
adalah sebuah rangkaian yang dibedakan melalui waktu dan
setting (Pramaggiore, 2005 : 103).
b. Take : Istilah penggunaan kamera yang digunakan dalam sebuah
produksi film yang menandai kapan sebuah rangkaian frame
yang berisi gambar bergerak. Pembuat film biasanya melakukan
akan memilih salah satu take yang terbaik untuk dipergunakan
(Pramaggiore, 2005 : 104)
2) Ada beberapa jenis shot gambar yaitu meliputi :
a. Eye-Level Shot : Pengambilan gambar yang dilakukan dari jarak
kamera 5’ hingga 6’ dari dasar (ground). Teknik ini
menggambarkan figure pemeran sebelum melakukan action
(Pramaggiore, 2005 : 109).
b. High-angle Shot : Shot yang diambil pada posisi kamera berada di
atas atau lebih tinggi dari pada subjek, sehingga penonton melihat
ke arah bawah dan juga berfungsi memperkecil tampilan subjek
(Pramaggiore, 2005 : 110).
c. Low-angle Shot : Pengambilan gambar dengan menempatkan
kamera diposisi lebih rendah dari pada subjek. Biasanya menjadikan
subjek menjadi lebih besar (Pramaggiore, 2005 : 110)
d. Zoom Shot : teknik memindahkan lensa dari wide-angle position
menuju telephoto position, yang menghasilkan pembesaran objek
dalam frame, dan menjaga objek dalam focus, biasa disebut zoom in.
Sedangkan kebalikannya adalah zoom out, yaitu teknik untuk
memindahkan lensa dari telephoto position menuju wide-angle
position, sehingga objek yang besar menjasi lebih kecil dalam frame
tetapi tetap dalam fokus.
e. Long Shot (LS) : Shot yang menghasilkan gambar dimana objek
menjadi berukuran kecil atau hampir sama tinggi dengan layar.
Teknik ini sangat dapat menampilkan pergerakan yang dilakukan
f. Medium Long Shot (MLS) : Shot yang menampilkan objek / figure
manusia lutut kaki ke atas (Pramaggiore, 2005 : 112).
g. Extreme Long Shot : Pengambilan framing dimana skala dari objek
diperlihatkan sangat kecil; gedung, landscape atau kerumunan orang
akan mengisi layar. Dapat juga berfungsi sebagai establishing shot
yaitu berguna untuk mengenalkan environment (setting).
h. Medium Shot (MS) : Pengambilan gambar yang menampilkan
objek/figure manusia dari bagian bahu ke atas (Pramaggiore, 2005 :
112).
i. Close-Up (CU) : Shot yamg menghasilkan gambar objek menjadi
besar dan memenuhi frame dan dekat dengan tubuh objek seperti
dada, wajah, kaki ataupun tangan (Pramaggiore, 2005 : 104).
j. Medium Close-Up : Shot yang diambil dari bagian dada manusia
hingga ke atas (Pramaggiore, 2005 : 113).
k. Extreme Close-Up : Pengambilan shot dengan skala objek yang
ditunjukkan amat besar dan berfokus pada bagian tubuh tertentu.
3) Sedangkan untuk teknik pergerakan kamera (camera movement) antara
lain :
a. Pan : Pergerakan kamera ke kanan dan ke kiri dalam pengambilan
gambar. Pan berfungsi untuk menghubungkan dua tempat atau
karakter dan menimbulkan kesadaran penonton pada hubungan
antara keduanya (Pramaggiore, 2005 : 116)
b. Swish Pan : Pergeseran kamera yang dilakukan secara cepat
sehingga menghasilkan gambar buram pada beberapa bagian
c. Tilt : Pergerakan kamera pada pengambilan gambar mengayun ke
arah atas atau ke bawah dengan tumpuan yang kuat (Pramaggiore,
2005 : 116).
d. Tracking Shot : Pergerakan kamera yang menghasilkan tampilan
bergerak maju, mundur atau menyamping. Tracking shot mengikuti
pergerakan karakter secara utuh sehingga seolah-olah penonton ikut
bergerak bersama karakter (Pramaggiore, 2005 : 117).
e. Follow Shot : Pengambilan gambar dengan kamera bergerak
berputar untuk mengikuti pemeran dalam adegan (Effendy, 2002 :
138).
b) Teknik Editing
Editing merupakan proses pemilihan potongan film yang telah dihasilkan dan
digunakan sehingga membentuk urutan kesatuan cerita yang koheran.
Beberapa teknik editing yaitu :
1) Cut, adalah transisi instant dari suatu gambar ke gambar lainnya.
Menunjukkan bahwa tidak ada jeda waktu.
2) Cut Back, adalah mengubah gambar dalam film secara cepat dari adegan
saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. Pemotongan ini
dilakukan tanpa ada transisi.
3) Cut to …, adalah secara cepat mengubah gambar dalam film dari adegan
masa kini ke adegan lainnya, tanpa ada transisi. (Effendy, 2002 : 133)
4) Jump Cut, adalah melakukan pemotongan dari suatu pengambilan
gambar ke gambar lainnya pada sebuah film tanpa ada penyesuaian.
(Effendy, 2002 : 140) Biasanya cut ini bertujuan membuat adegan
c) Pencahayaan (Lighting)
Pencahayaan (Lighting) merupakan kebutuhan yang bersifat penting
dalam pembuatan sebuah film (iklan). Tanpa adanya cahaya yang masuk ke
lensa kamera, maka tidak akan ada gambar yang terekam ke dalamnya.
Lighting memiliki kemampuan menerangi bagian set dan actor, pencahayaan
juga bisa didesain sedemikian rupa untuk membentuk mood dan efek
tertentu. Lighting berfungsi untuk menimbulkan pengertian penonton
terhadap sebuah karakter, memberikan perhatian terhadap action tertentu,
mengembangkan tema dan juga membantu mood.
Beberapa jenis lighting yang bisa dipergunakan dalam pembuatan
film (iklan) adalah sebagai berikut :
1) Three-Point Lighting : Sebuah sistem pencahayaan efisien yang
digunakan untuk pembuatan film (iklan). Three-Point Lighting terdiri
atas 3 pencahayaan, yaitu key-light, fill-light dan back-light. Pada set-up
standart pencahayaan, key-light berfungsi menerangi subjek dari adegan,
biasanya diletakkan tepat disebelah kanan atau kiri kamera, kira-kira 45º
dari poros kamera. Fill-light berfungsi menghilangkan bayangan yang
dihasilkan dari terpaan key-light, sedangkan back-light berfungsi untuk
memisahkan antara subjek dengan latar belakang yang digunakan
(Pramaggiore, 2005 : 79).
2) High-Key Lighting : Jenis pencahayaan dimana fungsi fill-light hampir
menyamai level key-light. Gambar yang dihasilkan menjadi sangat
terang dan hanya menghasilkan sedikit bayangan dari subjek adegan.
Biasanya digunakan dalam adegan yang menggambarkan keceriaan atau
3) Natural-Key Lighting : Pada sistem pencahayaan ini, key-light sedikit
banyak digunakan lebih terang dibandingkan fill-light sehingga fill-light
tidak lagi perlu menghilangkan bayangan. Gambar yang dihasilkan
mejadi lebih ceria dibandingkan High-Key Light. Biasanya digunakan
untuk pengambilan gambar di luar ruangan (Pramaggiore, 2005 : 81).
4) Low-Key Light : Pencahayaan dengan menggunakan fill-light yang
sangat sedikit, sehingga menghasilkan kontras yang sangat kuat antara
bagian gambar yang paling terang dan yang gelap. Biasanya digunakan
untuk film yang bertema menegangkan atau film noir (Pramaggiore,
2005 : 81).
d) Sound
Sound mempunyai fungsi integral dalam perannya untuk turut
mengkonstruksi gambar-gambar sistematis. Suara atau sound memegang
peranan yang kritis dalam menjelaskan bagaimana pemirsa bereaksi ketika
menyaksikan image di layar. Oleh sebab itu, pendalaman tentang bagaimana
berpikir, berbicara dan menulis tentang sound menggunakan bahasa analisis
yang konkritdiperlukan dalam pemaknaan sebuah film (iklan).
1) Direct Sound : adalah suara yang direkam dalam set, dalam lokasi, atau
jika untuk keperluan film documenter, direkam dalam kejadian yang
sesungguhnya (Pramaggiore, 2005 : 207)
2) Looping : sebuah teknik yang digunakan untuk merekam dialog
menggunakan mesin yang difungsikan merekam maju dan mundur
(Pramaggiore, 2005 : 207).
3) Offscreen space : suara yang datang dari sumber asli berada dalam
shot/reverse shot ketika seorang karakter mendengarkan suara lawan
bicaranya – karakter tersebut terlihat, tetapi suara lawan bicaranya hanya
terdengar (Pramaggiore, 2005 : 209)
4) Diegetic / Non-Diegetic : Diegetic membantu penempatan musik atau
sound effect yang dipresentasikan secara langsung dalam dunia di dalam
film, sedangkan pada Non-Diegetic, suara berasal dari dunia di luar film
(Pramaggiore, 2005 : 210).
5) Voice-Over : Apabila suara yang biasanya berasal dari karakter film,
terdengar ketika pemirsa melihat image dalam ruang dan waktu yang
pada saat tersebut sebenarnya karakter tersebut tidak berbicara disebut
voice over. Suara karakter ketika suaranya terdengar, tetapi sebenarnya
berada di tempat yang lain juga (Pramaggiore, 2005 : 218).
6) Music : Hampir semua film naratif menambahkan unsur musik untuk
menarik perhatian penontonnya, walau begitu musik juga mampu
memanipulasi kenyataan dengan cara tertentu (Pramaggiore, 2005 : 226).
3. Level Ideologi
Level ini diorganisasikan ke dalam kesatuan (coherence) dan penerimaan sosial
(social acceptability) seperti individualism, kelas patriarki, pluralisme, umur, ras,
dan sebagainya.
2.1.5 Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah proses mengirim dan menerima informasi
secara interpersonal, baik dengan disengaja maupun tidak disengaja, tanpa
menggunakan bahasa tertulis atau lisan. Sinyal non verbal memainkan tiga peran
dapat dmemperkuat pesan verbal (saat sinyal non verbal sesuai dengan kata-kata yang
digunakan), sinyal non verbal jugadapat memperlemah pesan verbal (saat sinyal non
verbal tidak sesuai dengan kata-kata yang digunakan).
Peran kedua sinyal non verbal adalah mengemukakan yang sebenarnya.
Orang-orang berpendapat bahwa berbohong dengan sinyal nonverbal akan jauh lebih
susah. Sesungguhnya, komunikasi non verbal sering kali menyampaikan lebih banyak
hal pada para pendengar daripada kata-kata yang diucapkan. Peran ketiga sinyal non
verbal adalah menyampaikan informasi dengan efisien. Sinyal non verbal dapat
menyampaikan nuansa dan banyak sekali informasi secara instan (Bovee & Thill,
2007 : 72).
Secara umum terdapat lima fungsi pesan non verbal menurut Mark L. Knapp,
Pertama, repetisi yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikan secara
verbal. Contohnya anak kecil yang menjawab mau diajak ke dufan akan mengiyakan
sambil melompat-lompat senang. Kedua, subsitusi yaitu menggantikan simbol atau
lambang verbal. Contohnya, tanpa mengatakan sepatah katapun di Indonesia bila
seseorang menggelang maka lawan bicaranya akan tahu bahwa itu sebagai tanda
ketidak setujuan. Ketiga, kontradiksi yaitu menolak sebuah pesan verbal dengan
memberikan makna lain menggunakan pesan non verbal. Contohnya, seseorang
mengiyakan dan menganggukkan kepala saat diminta mendekat namun lalu
mengambil langkah seribu dan lari secepat-cepatnya. Bahasa tubuhnya yang
menghindari kontak dengan melarikan diri menandakan bahwa ia takut, kontradiktif
dengan awal pesan verbalnya saat ia mengiyakan. Keempat, pelengkap (complement)
yaitu melengkapi dan memperkaya pesan non verbal. Contohnya, air muka yang
aksentuasi atau menegaskan pesan nonverbal. Contohnya, kekesalan diungkapkan
dengan memukul lemari.
Rentang yang luas dan berbagai variasi sinyal non verbal hampir tidak ada
batasnya, tetapi menurut Courtland L. Bovee dan John V. Thill dalam bukunya yang
berjudul “Komunikasi Bisnis” (2007 : 73-74), kita dapat dengan mudah memahami
dasar-dasarnya dengan mempelajari enam kategori umum :
1. Ekspresi Wajah. Wajah merupakan tempat utama yang mengekspresikan emosi.
Wajah mengungkapkan tipe dan intensitas perasaan. Mata terutama sangat efektif
dalam menunjukkan perhatian dan minat, mempengaruhi orang lain, mengatur
interaksi, dan membangun sifat dominan.
2. Gerak isyarat dan sikap tubuh. Dengan menggerakkan atau tidak menggerakkan
badan, kita mengekspresikan pesan-pesan spesifik dan umum, beberapa dengan
sengaja dan beberapa dengan tidak sengaja. Banyak gerak isyarat – misalnya
lambaian tangan – mempunyai maksud khusus dan di sengaja. Tipe lain gerakan
tubuh biasanya tidak disengaja dan mengekspresikan pesan yang lebih umum.
Membungkukkan badan, miring ke depan, perasaan gelisah, dan berjalan dengan
cepat semuanya adalah sinyal yang tidak disadari yang menunjukkan apakah anda
merasa percaya diri atau gugup, bersahabat atau bermusuhan, tegas atau pasif,
penuh kekuatan atau tanpa kekuatan.
3. Karakteristik vocal. Suara juga membawa pesan-pesan yang disampaikan dengan
sengaja atau tidak sengaja. Suara juga dapat mengatakan hal-hal yang tidak anda
sadari. Nada dan volume suara, aksen dan kecepatan berbicara, dan semua
gumaman kecil yang keluar ketika berbicara mengatakan banyak hal tentang
siapa diri anda, hubungan anda dengan audiens, dan emosi yang mendasari
4. Penampilan Pribadi. Orang merespons orang lain atas dasar penampilan fisik
mereka, kadang-kadang dengan adil dan di waktu lain dengan tidak adil.
Walaupun tipe badan dan fitur wajah seseorang individu mempunyai
keterbatasan, kebanyakan orang mampu mengendalikan penampilan mereka
sampai tingkat tertentu.
5. Sentuhan. Sentuhan merupakan cara penting untuk menyatakan kehangatan,
kenyamanan dan penentraman hati. Sentuhan, sebenarnya, mempunyai arti yang
begitu kuat sehingga sentuhan di atur oleh kebiasaan budaya yang menentukan
siapa dapat menyentuh siapa dan dengan cara bagaimana dalam berbagai
keadaan.
6. Waktu dan tempat. Seperti sentuhan, waktu dan tempat dapat digunakan untuk
menegaskan kekuasaan, menunjukkan keintiman, dan mengirim pesan nonverbal
lainnya.
2.1.6 Penggunaan Warna dalam Iklan
Warna yang digunakan secara artistic sebagai alat ekspresi manusia memunyai
latar belakang sejarah tersendiri yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
sejarah seni, sejak zaman prasejarah, hingga zaman modern kini. Sejak lama para
ilmuwan telah memfokuskan perhatian besar terhadap warna yang kemudian bersama
dengan seniman mencoba memperhitungkan semua aspek dan mempelajari
bagaimana warna saling berpengaruh dalam pencampuran maupun dalam penggunaan
lainnya.
Saat ini, pemilihan warna pada diri seseorang tidak hanya sekedar mengikuti
selera pribadi berdasarkan perasaannya saja, tetapi telah memilihnyadengan penuh
yang disebut sebagai warna utama psikologis, yaitu merah, kuning, hijau, biru, hitam
dan putih. Saat ini ilmuwan memperkenalkan keterlibatan warna terhadap cara otak
menerima serta menginterpretasikan warna (Darmaprawira, 2002 : 31).
Dalam konteks warna dan hubungannya dengan kepribadian seseorang,
berikut adalah warna-warna yang mempunyai asosiasi dengan pribadi seseorang
menurut Marian L. David :
1. Merah : Cinta, nafsu, kekuatan, berani, primitif, menarik, bahaya, dosa,
pengorbanan dan vitalitas.
2. Merah Jingga : Semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat dan gairah.
3. Jingga : Hangat, semangat muda, ekstrimis dan menarik.
4. Kuning Jingga : Kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimism dan
terbuka.
5. Kuning : Cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, pengecut dan pengkhianatan.
6. Kuning Hijau : Persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah dan berseri.
7. Hijau Muda : Kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya, segar,
istirahat dan tenang.
8. Hijau Biru : Tenang, santai, diam, lembut serta kepercayaan.
9. Biru : Damai, setia, konservatif, pasif, terhormat, depresi, lembut, menahan diri,
dan ikhlas.
10.Biru Ungu : Spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, kematangan, sederhana,
rendah hati, keterasingan, tersisih, tenang dan sentosa.
11.Ungu : Misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam dan mulia.
12.Merah Ungu : Tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, teka-teki.
13.Coklat : Hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa dan
14.Hitam : Kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian dan tidak menentu.
15.Putih :, Senang harapan, murni, lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta dan terang.
(Darmaprawira, 2002 : 38)
Berikut ini adalah beberapa warna yang mempunyai arti perlambangan secara umum:
1. Merah
Dibandingkan dengan warna lainnya, merah adalah warna terkuat dan
paling menarik perhatian, bersifat agresif dan lambang primitif. Warna merah
diasosiasikan sebagai darah, marah, berani, seks, bahaya, kekuatan, kejantanan,
cinta dan kebahagiaan.
2. Merah Keunguan
Warna merah keunguan mempunyai karakteristik mulia, agung, kaya,
bangga atau sombong, dan mengesankan. Lambang serta asosiasinya merupakan
kombinasi warna merah dan biru. Sifatnya juga merupakan kombinasi dari kedua
warna tersebut.
3. Ungu
Karakteristik warna ungu adalah sejuk, negative, atau mundur. Hampir
sama dengan biru, tetapi lebih tenggelam dan khidmat dan mempunyai karakter
murung dan menyerah. Warna ini melambangkan dukacita, kontemplatif, suci
atau lambang agama.
4. Biru
Warna biru mempunyai karakteristik sejuk, pasif, tenang dan damai.
Goethe menyebutnya sebagai warna yang mempesona, spiritual, monoteis,
kesepian, saat ini memikirkan masa lalu dan masa mendatang. Biru merupakan
warna perspektif, menarik kita kepada kesendirian, dingin, membuat jarak dan
5. Hijau
Karakter warna ini hampir sama dengan biru. Dibandingkan dengan warna
lain, hijau relatif lebih netral. Pengaruh terhadap emosi hampir mendekati pasif
dan lebih bersifat istirahat. Hijau melambangkan perenungan, kepercayaan, dan
keabadian. Dalam penggunaan sehari-hari, warna hijau mengungkapkan
kesegaran, mentah, muda, belum dewasa, pertumbuhan, kehidupan, harapan,
kelahiran kembali dan kesuburan. Sifat negative dari warna hijau adalah warna
yang tidak disukai anak-anak, karena diasosiasikan warna penyakit, rasa benci,
racun dan cemburu.
6. Kuning
Warna kuning adalah kumpulan dua fenomena penting dalam kehidupan
manusia, yaitu kehidupan yang diberikan oleh matahari di angkasa dan emas
sebagai kekayaan bumi. Kuning adalah warna cerah, karena itu sering
dilambangkan jantung dan roh, maka kuning adalah lambang intelektual. Kuning
adalah warna paling terang setelah putih, tetapi tidak semurni putih. Kuning
memaknakan kemuliaan cinta serta pengertian yang mendalam dalam hubungan
manusia.
7. Putih
Warna putih memiliki karakter positif, merangsang, cemerlang, ringan
dan sederhana. Putih melambangkan kesucian, polos, jujur dan murni. Putih juga
melambangkan kekuatan Maha Tinggi, lambang cahaya dan kemenangan yang
mengalahkan kegelapan.
Warna putih juga mengimajinasikan kebalikan dari warna hitam, seperti
pada ungkapan “hati yang putih” yang berarti menandakan bersihnya hati dari
ilmu hitam. Bila ilmu hitam dimaksudkan untuk mencelakakan seseorang, maka
ilmu putih dimaksudkan untuk menangkal dan membersihkan seseorang dari
pengaruh ilmu hitam.
8. Abu-abu
Berbagai macam warna abu-abu dengan berbagai tingkatan
melambangkan ketenangan, sopan, dan sederhana. Karena itu warna abu-abu
sering melambangkan oranh yang telah berumur dengan kepasifannya, sabar dan
rendah hati. Warna ini juga melambangkan intelegensia, tetapi juga mempunyai
lambang negative yaitu keragu-raguan serta tidak dapat membedakan mana yang
lebih penting dan mana yang kurang penting. Karena sifatnya yang netral, warna
abu-abu sering dilambangkan sebagai penengah dalam pertentangan.
9. Hitam
Warna hitam melambangkan kegelapan dan ketidakhadiran cahaya. Hitam
menandakan kekuatan yang gelap, lambang misteri, warna malam dan selalu
diindikasikan dengan kebaliakan dari sifat warna putih atau berlawanan dengan
cahaya terang. Warna ini juga sering dilambangkan sebagai warna kehancuran
atau kekeliruan. Umumnya warna hitam diasosiasikan dengan sifat negative.
Ungkapan-ungkapan seperti kambing hitam, ilmu hitam, daftar hitam, pasar gelap
(black market), atau daerah hitam menunjukkan perlambangan negative dari
warna ini. Tetapi warna hitam juga menunjukkan sifat-sifat positif seperti sikap
tegas, kekeuh, formal, elegan, elit, mempesona dan struktur yang kuat.
Dari uraian perlambangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa warna memiliki
arti perlambangan yang tidak dapat dikesampingkan dalam hubungan dengan
menggunakan warna tetap dipergunakan, bahkan kadang bergeser dalam nilai
simbolisnya (Darmaprawira, 2002 : 49).
2.1.7 Citra Perempuan dalam Iklan
Menurut Herbert Rittlinger (1972) fisik perempuan memiliki daya tarik
tersendiri. Tidak heran bila manusia jenis kelamin ini menjadi sasaran favorit berbagai
pihak dan profesi, baik fotografer, cameramen, pengiklan, pemasar dan sebagainya.
Sedemikian menariknya sehingga menurut Laura Mulvey, perempuan telah menjadi
“ikon” di media massa. Karakter menarik perempuan itu juga disadari oleh para
pembuat iklan, termasuk iklan televisi. Dengan menggunakan perempuan, pesan iklan
diyakini jadi lebih menarik (Widyatama, 2006 : 1-2).
Dalam penelitian-penelitian pertama pada awal 70-an menurut catatan Sita
Van Bammelen (1992), khususnya terhadap iklan-iklan di Barat telah membuktikan
bahwa wanita digambarkan secara seragam; tempat wanita ada di rumah, tergantung
pria, diperlihatkan dalam sedikit profesi, dan ditampilkan dalam objek seksual.
Pendek kata, perempuan banyak digambarkan dalam stereotipe tradisional yang
cenderung merendahkan posisi perempuan di hadapan laki-laki.
Lima belas tahun kemudian, ketika diteliti kembali atas hal yang sama,
ternyata tidak ada perubahan kesimpulan yang berarti. Perempuan masih banyak
diperlihatkan dalam sosok subordinasi pria, terbatas, lemah, lebih banyak
diperlihatkan sisi fisik dan objek seksual, serta ada dalam dunia domestic
(Widyatama, 2007 : 43).
Kesimpulan tersebut ternyata senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tamrin Amal Tomagola (1990) dalam desertasinya yang menganalisa iklan-iklan
lebih banyak digambarkan dalam sosok tradisional. Iklan yang mengetengahkan
kesetaraan gender masih terlalu sedikit.
Dalam penelitiannya, Tamagola menyimpulkan bahwa perempuan dalam iklan
dikelompokkan dalam 5 kategori citra, yaitu :
1. Citra Pigura, yaitu citra dimana perempuan dilekatkan pada fisik perempuan
sebagai sosok yang cantik, berambut panjang, keibuan, lembut, berbagai sifat
feminin lainnya.
2. Citra Pilar, adalah citra dimana perempuan menjadi penopang utama dalam
urusan domestik, setelah pria di wilayah publik.
3. Citra Peraduan, adalah citra dimana perempuan ditonjolkan dalam aspek seks dan
seksualitasnya.
4. Citra Pinggan, adalah gambaran perempuan yang diperlihatkan dalam wilayah
domestic, khususnya menyangkut urusan masak-memasak.
5. Citra Pergaulan, adalah citra yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang
cantik dan anggun sehingga pantas sebagai sosok yang dihormati dalam
pergaulan.
2.1.8 Identitas Maskulinitas
Jika kita ingin membahas tentang maskulinitas, maka pertama-tama kita harus
membicarakan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki terlebih dahulu, perlu
dipahami dua aspek pokok, sekaligus dilakukan pembedaan antara keduanya. Dua
aspek itu adalah seks (jenis kelamin) dan gender. Pengertian seks sebagai jenis
kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia. Perbedaan secara
fisik itu melekat sejak lahir dan bersifat permanen. Contohnya yaitu menurut
perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi sel telur, serta memiliki alat menyusui. Perbedaan fisik tersebut jelas
tidak dapat dipertukarkan begitu saja dan melekat secara permanen, kecuali melalui
operasi.
Pembedaan kedua adalah berdasarkan gender. Bila konsep seks didasarkan
fisik, maka gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural manusia.
Perbedaan fisik itu akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis. Perbedaan
itu disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan. Pembelajaran
tersebut dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial
atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara (Widyatama, 2006 : 3).
Inti pembelajaran sosial itu adalah menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam wilayah yang berbeda, sehingga dicitrakan dalam penampilan berbeda pula.
Pria dicitrakan dalam sifat maskulin sementara perempuan dalam penampilan feminin.
Menurut Judith Waters dan Gorge Ellis (1996) dalam Widyatama (2006 : 4),
gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan
identifikasi tidak hanya orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan
perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti ‘maskulinitas’ atau ‘feminitas’.
Dalam teori sosiologi gender, Connel seperti dikutip oleh Wajcman
mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulin secara budaya
atau ‘maskulinitas hegemonik’ dan bentuk maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang
dimaksud dengan hegemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena
kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya.
Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat
berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita atau kekuasaan bagi maskulinitas
Menurut Oxford Learner’s Pocket Dictionary Third Edition (2003 : 264),
masculine is of or like men, masculinity is quality of being masculine. Dari pengertian
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa maskulinitas merupakan kualitas untuk
menjadi maskulin (menjadi atau seperti laki-laki).
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, maskulinitas adalah
kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksualnya :
masyarakat kita berasumsi bahwa – mempunyai ciri-ciri tertentu
(www.kamusbahasaindonesia.org, diakses 8 Maret 2010 : 14.57)
Maskulinitas identik dengan penggambaran fisik yang besar, agresif, prestatif,
dominan-superior, asertif dan dimitoskan sebagai pelindung; kuat, rasional, jantan dan
perkasa (Widyatama, 2006 : 6).
Karakteristik sifat yang ada pada peran gender maskulin berdasar atas
stereotipe tradisional laki-laki dikemukakan Sahrah (1996) meliputi tiga komponen,
yaitu kemampuan memimpin, maskulin dan rasionalitas. Kemampuan memimpin
dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin,
optimistic, pemberani dan sportif. Sifat maskulin dijabarkan bersifat melindungi,
mandiri, matang atau dewasa dan percaya diri. Komponen rasionalitas terdiri dari sifat
suka mencari pengalaman baru, rasional dan tenang saat menghadapi krisis. Sehingga
pekerjaan yang cocok adalah di wilayah publik, men