• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.7. Citra Perempuan Dalam Iklan

Menurut Herbert Rittlinger (1972) fisik perempuan memiliki daya tarik tersendiri. Tidak heran bila manusia jenis kelamin ini menjadi sasaran favorit berbagai pihak dan profesi, baik fotografer, cameramen, pengiklan, pemasar dan sebagainya. Sedemikian menariknya sehingga menurut Laura Mulvey, perempuan telah menjadi “ikon” di media massa. Karakter menarik perempuan itu juga disadari oleh para pembuat iklan, termasuk iklan televisi. Dengan menggunakan perempuan, pesan iklan diyakini jadi lebih menarik (Widyatama, 2006 : 1-2).

Dalam penelitian-penelitian pertama pada awal 70-an menurut catatan Sita Van Bammelen (1992), khususnya terhadap iklan-iklan di Barat telah membuktikan bahwa wanita digambarkan secara seragam; tempat wanita ada di rumah, tergantung pria, diperlihatkan dalam sedikit profesi, dan ditampilkan dalam objek seksual. Pendek kata, perempuan banyak digambarkan dalam stereotipe tradisional yang cenderung merendahkan posisi perempuan di hadapan laki-laki.

Lima belas tahun kemudian, ketika diteliti kembali atas hal yang sama, ternyata tidak ada perubahan kesimpulan yang berarti. Perempuan masih banyak diperlihatkan dalam sosok subordinasi pria, terbatas, lemah, lebih banyak diperlihatkan sisi fisik dan objek seksual, serta ada dalam dunia domestic (Widyatama, 2007 : 43).

Kesimpulan tersebut ternyata senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Tamrin Amal Tomagola (1990) dalam desertasinya yang menganalisa iklan-iklan dalam negeri. Tamagola menyimpulkan bahwa perempuan dalam iklan Indonesia

lebih banyak digambarkan dalam sosok tradisional. Iklan yang mengetengahkan kesetaraan gender masih terlalu sedikit.

Dalam penelitiannya, Tamagola menyimpulkan bahwa perempuan dalam iklan dikelompokkan dalam 5 kategori citra, yaitu :

1. Citra Pigura, yaitu citra dimana perempuan dilekatkan pada fisik perempuan sebagai sosok yang cantik, berambut panjang, keibuan, lembut, berbagai sifat feminin lainnya.

2. Citra Pilar, adalah citra dimana perempuan menjadi penopang utama dalam urusan domestik, setelah pria di wilayah publik.

3. Citra Peraduan, adalah citra dimana perempuan ditonjolkan dalam aspek seks dan seksualitasnya.

4. Citra Pinggan, adalah gambaran perempuan yang diperlihatkan dalam wilayah domestic, khususnya menyangkut urusan masak-memasak.

5. Citra Pergaulan, adalah citra yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang cantik dan anggun sehingga pantas sebagai sosok yang dihormati dalam pergaulan.

2.1.8 Identitas Maskulinitas

Jika kita ingin membahas tentang maskulinitas, maka pertama-tama kita harus membicarakan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki terlebih dahulu, perlu dipahami dua aspek pokok, sekaligus dilakukan pembedaan antara keduanya. Dua aspek itu adalah seks (jenis kelamin) dan gender. Pengertian seks sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia. Perbedaan secara fisik itu melekat sejak lahir dan bersifat permanen. Contohnya yaitu menurut kodratnya pria mempunyai penis, jakun, dan memproduksi sperma. Sedangkan

perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, serta memiliki alat menyusui. Perbedaan fisik tersebut jelas tidak dapat dipertukarkan begitu saja dan melekat secara permanen, kecuali melalui operasi.

Pembedaan kedua adalah berdasarkan gender. Bila konsep seks didasarkan fisik, maka gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural manusia. Perbedaan fisik itu akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis. Perbedaan itu disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan. Pembelajaran tersebut dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara (Widyatama, 2006 : 3).

Inti pembelajaran sosial itu adalah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam wilayah yang berbeda, sehingga dicitrakan dalam penampilan berbeda pula. Pria dicitrakan dalam sifat maskulin sementara perempuan dalam penampilan feminin.

Menurut Judith Waters dan Gorge Ellis (1996) dalam Widyatama (2006 : 4), gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti ‘maskulinitas’ atau ‘feminitas’.

Dalam teori sosiologi gender, Connel seperti dikutip oleh Wajcman mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulin secara budaya atau ‘maskulinitas hegemonik’ dan bentuk maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang dimaksud dengan hegemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita atau kekuasaan bagi maskulinitas tersebut (Wajcman, 2001 : 160-161).

Menurut Oxford Learner’s Pocket Dictionary Third Edition (2003 : 264), masculine is of or like men, masculinity is quality of being masculine. Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa maskulinitas merupakan kualitas untuk menjadi maskulin (menjadi atau seperti laki-laki).

Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia Online, maskulinitas adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksualnya : masyarakat kita berasumsi bahwa – mempunyai ciri-ciri tertentu (www.kamusbahasaindonesia.org, diakses 8 Maret 2010 : 14.57)

Maskulinitas identik dengan penggambaran fisik yang besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan dimitoskan sebagai pelindung; kuat, rasional, jantan dan perkasa (Widyatama, 2006 : 6).

Karakteristik sifat yang ada pada peran gender maskulin berdasar atas stereotipe tradisional laki-laki dikemukakan Sahrah (1996) meliputi tiga komponen, yaitu kemampuan memimpin, maskulin dan rasionalitas. Kemampuan memimpin dijabarkan dalam sifat aktif, berkemauan keras, konsisten, mampu memimpin, optimistic, pemberani dan sportif. Sifat maskulin dijabarkan bersifat melindungi, mandiri, matang atau dewasa dan percaya diri. Komponen rasionalitas terdiri dari sifat suka mencari pengalaman baru, rasional dan tenang saat menghadapi krisis. Sehingga pekerjaan yang cocok adalah di wilayah publik, mencari nafkah, sebagai kepala rumah tangga, menjadi decision maker, dan sebagainya. (Widyatama, 2006 : 6)

Wacana maskulinitas pemberani, tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis, tidak boleh bersifat pengecut, adalah nilai-nilai dan kode-kode sifat kejantanan yang identik dengan laki-laki. Laki-laki harus kelihatan berani dan konsep berani disini berarti sikap membela dan menjaga pasangan perempuannya, berani menjadi diri sendiri dan berani bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya. Laki-laki

juga dianggap lebih berani dari perempuan. Kegiatan-kegiatan keras dan cenderung menyerempet bahaya seperti panjat tebing, tinju, arung jeram, tampak lebih lazim jika dilakukan oleh laki-laki. Perempuan yang kegiatan olah raganya tinju dan sepak bola misalnya, akan dianggap seperti anak laki-laki dan berbeda dari perempuan lain pada umumnya. Simbol maskulinitas tidak berhenti pada sifat yang melekat pada diri manusia, ia juga ikut dilekatkan pada aksesoris kulit, metal, motor besar dan pilihan musik tertentu. Musik rock sempat menjadi jenis musik yang identik dengan laki-laki, meskipun kemudian banyak juga perempuan yang menggemari jenis musik ini (www.kunci.co.id, di akses 2 Januari 2010 : 20.02).

Namun dalam perspektif gender, maskulin maupun feminin sebenarnya merupakan pilihan. Artinya pria dan wanita dapat secara bebas memilih penampilannya sendiri sesuai dengan yang disukainya. Tidak ada kewajiban bahwa pria harus menampilkan dirinya sebagai sosok maskulin, dan feminin bagi perempuan. Sifat-sifat sebagaimana tersebut di atas dapat dipertukarkan satu dengan lainnya. Pria dapat berpenampilan feminin sementara wanita dapat memilih penampilan sebagai sosok yang maskulin.

Senada dengan penjabaran di atas, pernyataan Mosse serta Zimmerman bahwa konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin dalam artian gender dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki- laki, dia tidak lagi feminin seperti anggapan umumnya seperti lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah hati, bersikap manis dan sejenisnya. Namun maskulin : rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik, tegas dan perkasa (Handoko, dalam jurnal Diskomvis, 2005).

Dokumen terkait