• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGGUNG JAWAB Nurkhalis Muchtar (Ketua STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENANGGUNG JAWAB Nurkhalis Muchtar (Ketua STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENANGGUNG JAWAB Nurkhalis Muchtar

(Ketua STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia) Editor In Chief

Dicky Wirianto

(STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia) Managing Editor

Mohammad Haikal

(STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia) Editor

Mujiburrahman (STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia) Nisa Khairuni (STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia)

Zikri Mahyar (STAI Al-Washliyah, Banda Aceh, Indonesia) Alfadhli Tasman (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia)

Edhy Rustan (IAIN Palopo, Sulawesi Selatan, Indonesia) Fauza Andriyadi (SCAD Independent, Aceh, Indonesia) Khairil Akbar (Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia) Shohibul Adib (IAI Nahdlatul Ulama Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia) Yusra Jamali (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia)

Zulfan Taufik (IAIN Bukittinggi, Padang, Indonesia) International Editorial Board

Cut Endang Puspa Sari (Yarmouk University, Jordan)

Ilham Sentosa

(Universiti Kuala Lumpur, Malaysia) Muhammad Hamidi bin Kamaruddin (Linton University College, Malaysia)

Suhaila Salmin Awadh (State University of Zanzibar, Afrika)

Assistant to the Editors Saddam

(3)

DAFTAR ISI

Kontribusi Pengelola Zakat Ummat Terhadap Perkembangan Usaha Mikro di Kabupaten Aceh Barat

Alisman dan Dedi Sufriadi ... 1 -18 Pemanfaatan Barang Gadai Ditinjau Menurut Prinsip Ekonomi Syariah

Safrizal ... 19 - 30

Sanksi Kejahatan Pelecehan Seksual Menurut KUHP dan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat

Sumardi Efendi ... 31 - 49

Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili dan Aktualisasinya Dalam Konteks Kekinian

Akhmad Rizal Amiruddin ... 50 - 63 Dispensasi Kawin Di Mahkamah Syariyah Pasca Lahirnya Perma No 5 Tahun 2019

Fadhilah ... 64 - 83 Strategi Media Radio Dalam Peningkatan Program Dakwah Islamiah (Studi Di Radio

Serambi FM)

Fitria Akmal ... 84 -101 Target Pencapaian Potensi Akademik Dalam Pembelajaran Al-Quran Mahasiswa

Ma’had Al-Jami’ah UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Hendra SH ... 102 -113 Pembelajaran PAI Menyenangkan dengan Penggunaan Strategi Teka-Teki Silang

(Crossword Puzzle): Materi Iman Kepada Malaikat Allah untuk Anak Sekolah Dasar

Nisa Khairuni dan Nurul Hayati ... 114 -128

(4)

Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili dan Aktualisasinya Dalam Konteks Kekinian

Akhmad Rizal Amiruddin STAI Al-Washliyah Banda Aceh

cairo_cts@yahoo.com

Abstrak Ijtihad is a process of legal reasoning to derive Islamic legal law conducted by qualified and trained jurist. The need for ijtihad dates back to the beginning of Islam, especially after the death of Prophet Muhammad SAW. In Islamic jurisprudence, Ijtihad occupies a special place, which can only be practiced by those qualified to do. As a prominent Islamic Scholar, Wahbah Zuhaili offers new methods for conducting ijtihad. This Article relied on some qualitative approaches to provide answers. That means the results of study were not obtained through some statistical calculations or other quantitative means. This was allowed to understand more detailed or more complex into some phenomena being investigated. For this purpose, library research and content analysis were used as methods for data collection and data analysis respectively. The study revealed that Wahbah Zuhaili relied on specific methods in conducting Ijtihad, which differed quite substantially from those used by many other scholars. It was also revealed that the method used found to be quite relevant to the current era/context.

Kata kunci: Wahbah al-Zuhaili, Ijtihad, Current Era/Context

PENDAHULUAN

Pada akhir abad ke-20 yang lalu, pembicaraan tentang aktualisasi hukum Islam (Imam Syaukani, 2006:23) banyak dibicarakan oleh para ahli hukum Islam, bahkan juga oleh non muslim yang ahli hukum Islam. Hal ini disebabkan karena umat Islam dunia disatu pihak memerlukan hukum Islam sebagai hukum agama yang dapat mengayomi kehidupan dunia dan akhirat, tetapi di sisi lain pakar hukum Islam melihat bahwa hukum Islam yang ada dalam kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para mujtahid beberapa abad yang lalu dalam beberapa hal cenderung tidak lagi sesuai dengan konteks kehidupan mereka.

Timbulnya pemikiran baru akibat majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nas, tapi dicari pemecahannya secara ijtihad. Sementara itu nas telah berakhir dan persoalan baru senantiasa muncul secara berkesinambungan, maka untuk memecahkannya diperlukan ijtihad (Abd Salam Arief, 2003:178).

Tanpa ijtihad, fikih tidak akan relevan di setiap zaman dan tempat; ia akan membuat manusia terasa sempit dan akan menimbulkan kekeliruan manusia dalam memandang agamanya (Abdul

(5)

Manan, 2006:257-258). Ijtihad dalam ruang pembaharuan hukum Islam perlu dilaksanakan secara terus-menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak mungkin ijtihad ulama terdahulu dapat mengakomodir semua hal secara mendetail terkait ketentuan hukum masa sekarang.

Wahbah Zuhaili adalah seorang ulama modern yang berpandangan luas dan memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan pendapat yang berkembang di kalangan mazhab. Dalam masalah fikih kontemporer, ijtihad yang dilakukan oleh Wahbah Zuhaili masih berpegang kepada metode yang digunakan oleh ulama klasik dalam berijtihad, hanya saja ia sangat menghindari sikap fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab, disamping juga mempertimbangkan ilmu-ilmu kekinian dalam ijtihad yang dilakukannya. Intinya Wahbah Zuhaili tidak mau hanya terikat dengan metode ijtihad seorang imam mazhab tertentu, tetapi mengambil dari berbagai imam yang dirasa sesuai dan cocok dengan situasi dan kondisi ketika dia berada serta juga melakukan pembaruan terhadap dinamika hukum Islam.

Dalam menjawab persoalan hukum Islam terutama permasalahan yang timbul dewasa ini yang sedang dihadapi oleh umat Islam, sering hanya dirujuk ijtihad klasik dan fatwa hukum yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan ulama terdahulu, tanpa melihat kondisi dan keadaan masyarakat sekarang. Padahal setiap rumusan hukum yang ada semestinya harus relevan dengan konteks kekinian. Seiring perkembangan masa dan perbedaan tempat, fikih dan kitab-kitab klasik (Ali Jumuah, 2007:7) tempo dulu tidak mampu mengakomodir secara keseluruhan setiap persoalan terkini yang timbul, misalnya berbagai persoalan dalam bidang ekonomi dan kedokteran. Oleh karena itu, perlu dikaji sebuah metode baru dalam berijthad yang mampu berdialektika dengan konteks kekinian dan bisa menjadi panduan hukum modern.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Menurut Louis Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja (fi‘il): jahada-yajhadu bentuk masdarnya: jahdan yang berarti: pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit; atau bisa juga bermakna: bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan.

Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama merumuskan pengertian menurut istilah.

Mereka berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian istilah tersebut. Bagi ulama yang mendekatinya melaluli pemikiran holistik dan integral, ijtihad diartikan dengan “segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti bidang fikih, teologi, filsafat dan tasawuf”.

Sementara itu para ulama ushul fikih melihat bahwa ijtihad sebagai aktivitas nalar yang berkaitan dengan masalah fikih. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa upaya memahami nas tentang

(6)

masalah-masalah teologi, filsafat dan tasawuf tidak dikategorikan dalam ijtihad (Abdul Aziz Dahlan, 1997:669).

Adapun definisi-definisi yang dirumuskan oleh para ulama mengenai ijtihad antara lain:

1. Definisi yang dikemukakan al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), sebagai berikut :

Artinya: “Upaya maksimal seorang mujtahid dalam memperoleh pengetahuan tentang hukum- hukum syara’.”

Definisi yang dikemukakan al-Ghazali di atas lebih bersifat umum, dan ditekankan pada adanya upaya yang maksimal bagi seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum syara’.

2. Definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi (w. 632 H/1234 M), sebagai berikut:

(Saif al-Din al-Amidi, 1983: 218)

Artinya : “Mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.”

Definisi yang dikemukakan oleh al-Amidi ini mengindikasikan bahwa objek ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat zhanni, sehingga hasilnyapun bisa dianalisa kembali.

3. Definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sebagai berikut :

Artinya : “Usaha seorang ahli fikih menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci”.

B. Rukun Ijtihad

Pembahasan mengenai rukun merupakan pembahasan penting dalam ijtihad, karena adanya rukun merupakan syarat adanya ijtihad. Dalam menetapkan rukun ijtihad, terjadi perbedaan antara para ulama. Namun perbedaan tersebut hanya secara lafaz, sedangkan substansi yang mereka sampaikan adalah serupa. Menurut al-Asnawi, rukun ijtihad adalah dua; pertama, orang yang berijtihad disebut dengan mujtahid. Kedua, hukum yang dihasilkan disebut dengan mujtahad fihi.

Sedangkan al-Ghazali menyatakan bahwa rukun ijtihad ada tiga macam, di mana ia menambahkan rukun ketiga adalah mengerahkan segenap kemampuan yang ada dalam berijtihad. Adapula ulama lain yang menambahkan unsur keempat yaitu peristiwa yang terjadi. Akan tetapi menurut pendapat yang

(Muhammad Abu Zahrah, 2003:379)

(Abu Hamid al-Ghazali, 1983:350)

(7)

paling kuat bahwa rukun ijtihad ada dua; mujtahid dan mujtahad fihi. Sedangkan dua rukun yang lain telah masuk dibawah rukun pertama dan rukun kedua.

C. Syarat-syarat Mujtahid

Wahbah Zuhaili mengemukakan beberapa persyaratan bagi mereka yang ingin melakukan ijtihad, antara lain: pertama, menguasai Alquran dan hadis. Kedua, mengetahui ijma’, sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma’. Ketiga, mengusai bahasa Arab yang memungkinkannya menggali hukum dari Alquran dan hadis secara baik dan benar. Keempat, menguasai ilmu ushul fikih, karena melalui ilmu inilah diketahui dasar-dasar dan cara berijtihad dengan benar. Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan).

Keenam, mengetahui permasalahan sekitar qiyas, mencakup persyaratan-persyaratannya, ‘illat-‘illat hukum dan metodologi istimbat dari nas. Ketujuh, mengetahui pemahaman mengenai maqasid syari‘ah demi menjaga kemaslahatan manusia dengan jalan mengambil manfaat serta menolak mudharat bagi manusia (Wahbah Zuhaili, 1997: 1044-1049).

Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat berijtihad cukup banyak dan ketat, sehingga hampir tidak mungkin dipenuhi oleh orang-orang di zaman sekarang ini. Namun, dapat dipahami bahwa syarat-syarat tersebut hanya diperlukan oleh seorang mujtahid mutlak yang melakukan ijtihad dalam semua lapangan hukum. Sedangkan bagi orang yang berijtihad pada cabang fikih tertentu tidak mesti baginya menguasai seluruh persyaratan tersebut, cukup mengetahui cabang hukum yang dia geluti saja.

Hal lain yang penting diketahui bahwa aturan dan syarat-syarat yang ditetapkan itu muncul pada masa akhir dari periodesasi fikih, adapun pada masa awal Islam maka para sahabat dan tabi’in tidak memerlukan syarat yang demikian ketat, karena mereka dengan keasliannya telah memiliki kemampuan yang demikian, terlebih lagi sahabat adalah murid yang dididik langsung oleh Rasulullah Saw.

D. Ruang Lingkup Ijtihad

Kesamaan pendapat dalam memahami firman Allah berlaku dalam dalil yang qat‘i, karena sudah jelas dan pasti maksudnya dan tidak mungkin menimbulkan perbedaan pemahaman(Abdul Manan, 2006:7). Perbedaan pemahaman atas suatu firman Allah berlaku dalam dalil zanni atau tidak pasti. Kelompok zanni ini merupakan jumlah terbanyak dalam Alquran. Firman Allah yang bersifat qat‘i yang jumlahnya terbatas itu tidak memiliki daya lentur; sedangkan firman Allah yang bersifat zanni yang jumlahnya begitu banyak memiliki sifat lentur, sehingga memiliki daya hidup sepanjang masa dan mampu mengakomodasi segala perubahan yang terjadi.

(8)

Pembagian di atas adalah pembagian wilayah hukum yang mengacu kepada metode lughawi ulama salaf. Selain itu, masih ada pembagian wilayah ijtihad berdasarkan jenis hukumnya, yaitu

‘ubudiyah dan muamalat. Mayoritas ulama sepakat bahwa secara umum nas-nas ‘ubudiyah bukan merupakan wilayah ijtihad. Sedangkan dalam wilayah mu’amalat mereka sepakat sebagai wilayah ijtihad yang luas karena muamalat merupakan jenis hukum yang berjalan dinamis mengiringi perubahan sosial dan budaya manusia(Abdul Mugist, 2007:113).

Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya lapangan ijtihad ada dua; pertama, adalah peristiwa hukum yang tidak ada ketentuan hukum di dalam nas. Adapun yang kedua adalah peristiwa hukum yang diatur oleh nas yang zanni.

E. Metode Ijtihad Wahbah Zuhaili

Wahbah Zuhaili nama lengkapnya adalah Wahbah Mustafa Zuhaili. Ia dilahirkan di kota Dir Athiyah daerah pinggiran kota Damaskus (Syria) tahun 1932 M/1351 H. ayahnya bernama Mustafa Zuhaili seorang hafiz Alquran, dan bekerja sebagai petani (Wahbah Zuhaili, 1989:1). Sebagai seorang hafiz yang bekerja sebagai petani, dan terkenal dengan kesalihannya, Mustafa Zuhaili mendorong putra-putranya untuk bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu. Itulah salah satu faktor yang menunjang Wahbah Zuhaili mencintai ilmu. Bahkan Wahbah Zuhaili dikenal sebagai ulama yang sangat produktif menulis pada masanya, hingga ada yang menyebutnya al-Suyuthi di abad modern.

Wahbah Zuhaili menyelesaikan sekolah dasar pada tahun 1946, selanjutnya ia memperdalam ilmu keislaman pada tigkat menengah jurusan Syariah di Damaskus selama enam tahun dan memperoleh ijazah pada tahun 1952 dengan predikat lulusan terbaik. Dalam waktu yang sama juga ia menyelesaikan pendidikan sastranya di Tsanawiyah al-‘Ammah (setingkat dengan sekolah menengah umum). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar Kairo dan berhasil memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah pada tahun 1956). Di samping itu pula ia memperoleh sertifikat mengajar di jurusan Bahasa Arab dengan gelar al-‘Alimiyah. Pada tahun 1959 memperoleh gelar magister jurusaan ilmu hukum di Universitas Kairo. Selanjutnya ia memperoleh gelar Doktor pada konsentrasi Syariah Islamiyah di fakultas hukum Universitas Kairo Mesir pada tahun 1963 dengan prediket Summa Cum Laude (Sayyid Muhammad Ali al-Ayazi, 1993:684-685). Wahbah Zuhaili dikenal sebagai ulama dan cendekiawan Islam yang produktif. Terbukti banyaknya tulisan- tulisan yang ia hasilkan, baik dalam bentuk artikel, makalah, maupun buku yang menjadi rujukan di dunia. Kedisiplinan dan keseriusannya dalam menulis menyebabkan ia berhasil menghasilkan tidak kurang dari 133 buku di luar makalah dan artikel yang melebihi 500.

Menurut Wahbah Zuhaili, apabila persoalan hukum yang akan dikaji telah pernah dikaji oleh ulama terdahulu maka bisa saja ia memutuskan dengan hukum yang telah ada dalam karya mereka

(9)

dengan syarat fatwa hukum yang dikeluarkan sesuai dengan tinjauan maslahat, tidak bertentangan dengan nas-nas agama. Adapun bila fatwa tidak relevan dengan konteks kekinian, maka bisa saja mujtahid hanya melihat tata cara kerja dari mujtahid terdahulu, untuk melihat bagaimana proses dan metode dalam dia berijtihad demi terwujudnya fikih yang dinamis. Adapun dalam suatu kasus terdapat perbedaan pendapat ulama yang menimbulkan keraguan dan kebingungan umat, maka ia harus mencarikan solusinya dengan menempuh langkah-langkah berikut:

Pertama hendaklah (mujtahid) meneliti nas-nas Kitabullah, maka jika ia mendapatkan nas dan dhahir hendaknya ia menghukum dengannya. Maka jika ia belum menemukan di dalamnya hendaknya mencari di sunnah, maka jika ia mendapati dalam sunnah amaliyah dan sunnah taqririah hendaknya dia menerapkannya. Kemudian meneliti ijma’, dan qiyas dalam mengistimbatkan illah hendaknya ia mengikuti metode mencari illah, ini adalah rukun ijtihad antara lain ; Alqur’an, sunnah, Ijma’ dan qiyas.

Imam Syafi’i mengkerucutkan pada metode di atas, sedangkan ulama lain, menambahkan hendaknya ijtihad yang dilakukan sesuai dengan ruh syari’at.

Untuk lebih jelas, berikut ini akan diuraikan langkah-langkah dalam berijtihad menurut Wahbah Zuhaili sebagai berikut:

a. Alquran

Kaum muslimin telah sepakat menerima keotentikan Alquran, karena Alquran diiriwayaatkan dengan mutawatir. Oleh karena itu, dari segi riwayat, Alquran dipandang sebagai qath’i al-tsubut (riwayat diterima secara pasti/meyakinkan). Bertolak dari prinsip demikian, semua kaum muslimin sepakat menerima Alquran sebagai sumber hukum yang paling asasi. Alquran sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum atas dasar hukum Allah yang termaktub dalam surat al-Maidah ayat 48.

b. Sunnah

Kaum muslim juga sepakat terhadap sunnah Nabi saw. Hanya ada segelintir kaum khawarij yang tidak memandang sunnah sebagai sumber hukum. Pandangan mereka, kemudian memunculkan kaum inkar sunnah. Selain itu terdapat pula perbedaan dalam melihat pengertian sunnah. Para ulama ushul fikih dari kalangan ahlu sunnah mendefinisikan sunnah dengan segala sesuatu yang bersumber

(Wahbah Zuhaili, 2007:392)

(10)

dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan denga tasyri’ al-ahkam al- amaliyah (Ibn Amir al Hajj, 1996:297).

c. Ijma’

Ijma’ ialah konsensus para mujtahid dari umat Muhammad. Setelah beliau wafat, pada suatu masa, atas suatu hukum syara’. Empat mazhab Sunni memandang ijma’ sebagai hujjah yang berdiri sendiri dan bersifat qath’i. Oleh sebab itu tidak boleh mengingkarinya. Mengenai kemungkinan terjadinya ijma’, para ulama umumnya menyatakan bahwa terjadinya ijma’ hanyalah pada masa sahabat. Sedangkan pada abad modern, sulit terwujudnya, karena sulitnya mengumpulkan mujtahid di abad modern (Nasrun Rusli, 1999:30).

d. Qiyas

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memandang qiyas sebagai dalil hukum. Keempat mazhab Sunni dan Mazhab Zaidi menerima qiyas sebagai dalil hukum. Hanya mereka memakai qiyas dalam volume yang berbeda. Abu Hanifah dan mazhab Zaidi lebih dominan menggunakan qiyas, dibawahnya Syafi’i, kemudian Malik dan Ahmad bin Hanbal. Oleh sebab itu dalam meletakkan qiyas sebagai dalil hukum, Abu Hanifah, mazhab Zaidi, dan Syafi’i meletakkan qiyas dalam urutan keempat.

Sedangkan Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal meletakkannya pada urutan kelima setelah qaul sahabi.

e. Istihsan

Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya, karena terdapat dalil yang menghendakinya dan lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia (Al-Sarakhsi, 1991:200). Dari definisi yang dikemukakan ulama ushul, Wahbah Zuhaili menyimpulkan, kendati terdapat perbedaan redaksional ungkapan ulama dalam mendefinisikan istihsan, sebenarmya subtansinya sama. Wahbah Zuhaili mencoba menganalogikannya dengan pandangan para pakar perundang-undangan yang mendahulukan jiwa atau kaedah-kaedah umum dalam perundang- undangan daripada undang-undang yang dibukukan. Untuk itu, ia mengemukakan bahwa istihsan pada pokoknya mencakup dua bentuk: pertama, mengutkan qiyas khafi atas qiyas jali didasarkan atas dalil; kedua, mengecualikan masalah juz’i (parsial) dari kaidah umum didasarkan atas adanya dalil khusus yang menghendaki demikian (Wahbah Zuhaili, 2007:739).

f. Istishlah

Istishlah atau maslahah mursalah adalah suatu upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan, yang kendati tidak terdapat dalam nas dan ijma’, tidak pula terdapat penolakan secara tegas, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh dasar syariat yang bersifat umum dan pasti, sesuai dengan maksud syariat (Husen Hamid Hasan, 1971:14). Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ulama Hanafiyah tidak menerima istishlah, tetapi mereka menerapkan istihsan (Wahbah Zuhaili, 2007:760).

(11)

Sedangkan Imam Syafi’i terlihat tidak secara tegas menolak atau menerima istishlah, tetapi ia hanya menegaskan bahwa apa saja yang tidak memiliki rujukan nas, tidak bisa diterima sebagai dalil hukum.

Kendati demikian, ulama Syafi’iyah belakangan seumpama al-Ghazali, melihat bahwa istishlah merupakan dalil hukum selama memenuhi tiga kriteria; (1) terdapat kesesuaian mashlahah dengan maksud syara’ dan tidak bertentangan dengan dalil yang qath’i; (2) maslahat tersebut dapat diterima akal sehat; (3) maslahat bersifat dharuri yaitu untuk memelihara salah satu unsur berikut: agama, akal, keturunan, kehormatan, ataupun harta benda.

g. Istishab

Istishab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lalu, hingga ada dalil yang mengubahnya. Mayoritas ulama kalam menolak istishab sebagai hujjah syari’at, karena sesuatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagaimana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama mutaakhirin Hanafiyah berpendapat, istishab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukum yang telah ada pada masa lalu. Tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya. Misalnya, orang yang hilang banyak berhak terhadap hartanya pada masa lalu, tetapi tidak berhak menerimanya setelah ia hilang. Berbeda dengan jumhur ulama yang tidak memandang istishab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak.

h. ‘Urf

Urf ialah sesuatu yang telah dibiasakan oleh manusia dan mereka telah menerapkannya pada kehidupan. Mayoritas ulama menerima urf sebagai dalil hukum, tetapi berbeda pendapat dalam menetapkannya sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri. Para ulama Syafiiyah tidak membolehkan berdalil dengan urf tanpa disertai oleh nas syariah. Jadi, secara implisit mereka mensyaratkan penerimaan urf sebagai dalil hukum, apabila urf tersebut disertai oleh nas syariah dan tidak bertentangan dengan nas. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan urf sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri dalam persoalan yang tidak memiliki nas yang qath’i dan tidak ada larangan syariat. Dalam posisi ini, mereka membolehkan men-takhsis-kan dalil yang umum dan urf lebih diutamakan pemakaiannya daripada qiyas.

Selain metode yang telah dijelaskan diatas, dalam menghadapi berbagai persoalan dalam konteks kekinian, Wahbah Zuhaili juga memakai panduan khusus dalam proses mengijtihadkan hukum dengan benar dan relevan. Di antara metode khusus Wahbah Zuhaili adalah:

1. Menjaga aspek dharurat dan kebutuhan

Maksud aspek dharurat adalah apa saja yang bisa menyebabkan bahaya dan celaka bila tidak bisa menjaganya, bisa juga mengakibatkan kematian. Adapun hajat/kebutuhan adalah sesuatu yang apabila tanpa keberadaannya akan menyebabkan kesulitan dan kesukaran. Salah satu kaedah yang paling masyhur mengenai dharurat adalah “kemudharatan membolehkan hal-hal yang dilarang”.

(12)

Contoh kasus yang bisa diangkat mengenai kaidah ini. Antara lain; kebolehan membuka aurat sekedar yang dibutuhkan ketika seseorang dalam kondisi berobat(Wahbah Zuhaili, 2001:38). Adapun pada saat kondisi normal, membuka aurat tanpa kemudharatan, hukumnya haram. Contoh lainnya, misalnya seseorang yang dalam kondisi kelaparan yang bila ia tidak memakannya maka ia akan mati.

Maka hukum memakan bangkai, daging babi dan benda-benda yang diharamkan dibolehkan karena kondisi dharurat. Akan tetapi ada tiga hal yang menurut Wahbah Zuhaili tidak dibolehkan walaupun dalam kondisi mudharat antara lain adalah; berzina, membunuh dan kufur/murtad (Wahbah Zuhaili, 2001:32).

Contoh lain yang diangkat dalam penerapan kaidah ini adalah dalam persoalan qadha’/peradilan. Para ulama kasik mensyaratkan orang yang memegang posisi qadhi/hakim agama adalah seorang yang mujtahid. Akan tetapi dalam konteks terkini tentu persyaratan tersebut berat untuk dipenuhi, sehingga al-Ghazali dan al-Rafi’i menyatakan bahwa kebolehan menduduki posisi tersebut oleh orang yang berwenang dan memiliki kekuasaan penuh (syaukah) walaupun ia bukan seorang mujathid. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Ibn Hajar al-Haitami (Wahbah Zuhaili, 2001:33).

2. Tinjauan Kemaslahatan

Kemaslahatan menurut bahasa adalah menarik manfaat dan menolak kemudharatan.

Menurut syara’ adalah menjaga manusia sesuai keinginan syara’. Adapun tujuan syara’ ada lima;

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima aspek penjagaan ini menurut al-Ghazali disebut dengan kemaslahatan. Dalam ungkapan yang lain al-Syatibi mengkerucutkan maslahat dengan Mashalih al-Mursalah/maslahat mursalah yang termasuk salah satu dalil dalam penetapan hukum syara’. Maslahat mursalah ditandai dengan sesuatu yang sesuai dengan tujuan syara’ dan tidak ada dalil yang mendukung dan melarangnya. Sehingga hal yang penting adalah menolak kemudharatan, dan mengambil manfaat. Maslahat terbagi tiga; dharuriyah, hajjiat dan tahsiniyat (Wahbah Zuhaili, 2012:111).

Contoh lain mengenai maslahat yang terjadi pada masa sahabat adalah Umar bin Khatab dalam beberapa kasus lebih mendahulukan maslahat dengan pertimbangan yang telah difikirkan secara matang dan mendalam. Umar bin Khatab pernah menghapus bagian shenif zakat para mualaf, ketika umat Islam telah jaya dan tidak membutuhkan jasa para mualaf. Dengan pertimbangan kemaslahatan, Umar bin Khatab tidak memberikan bagian para mualaf. Kasus lainnya pernah terjadi masa paceklik pada masa Umar bin Khatab. Dimana ada salah seorang yang kelaparan melakukan tindakan pencurian. Umar bin Khatab memutuskan dengan pertimbangan maslahat yaitu tidak memotong tangan pencuri karena orang yang mencuri adalah orang yang melarat dan kelaparan (Wahbah Zuhaili, 2001:44).

(13)

3. Tinjauan Istihsan

Ada tiga mazhab yang berpegang dengan istihsan yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.

Istihsan dapat dibagi dalam dua bentuk: Pertama, menguatkan qiyas khafi dari qiyas jali karena adanya dalil. Kedua, pengecualian persoalan juz’i dari asal yang umum atau dari kaidah umum karena adanya dalil yang khusus.

Istihsan berasal dari ahli fikih yang mampu beristimbat sesuai dengan tujuan dari syara’ dan maqashid syar’iyah. Contoh istihsan; kebolehan berwasiat bagi seseorang yang mahjur ‘alaih dari hartanya. Harta yang diwasiatkan akan menjadi miliknya setelah dia meninggal dan wasiat akan terlaksana setelah seseorang meninggal. Kebolehan wasiat ini tentunya selama tidak lebih dari sepertiga dari harta mahjur ‘alaih. Sedangkan persoalan juz’i disini adalah terdapat pahala bagi mahjur

‘alaih dengan sebab wasiatnya kepada yang lain (Wahbah Zuhaili, 2001:48).

4. Pertimbangan ‘urf dan kebiasaan

urf adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dan menjadi tradisi baik berupa perbuatan yang dilakukan, ataupun lafazh yang hanya khusus dipahami oleh masyarakat tertentu dan tidak dipahami oleh masyarakat atau kelompok lain. Oleh para ulama uruf dianggap sebagai dalil dalam penetapan hukum. ‘urf dibagi dua; urf’ umum dan ‘urf khusus.

Urf umum adalah urf yang berlaku umum pada sebuah Negara atau tempat yang lebih besar, sedangkan urf khusus tentu cakupannya lebih kecil dari urf umum. Contoh urf umum; penggunaan fasilitas umum seperti wc, air, lampu dan lainnya yang menjadi kebiasaan pada masyarakat umum tanpa pembatasan waktu. Adapun contoh urf khusus adalah adanya pasar yang dikhususkan pada hari tertentu. Contoh lain dari urf khusus adalah istilah-istilah yang dipergunakan pada berbagai disiplin ilmu, bahkan banyak perubahan fatwa karena perubahan urf (Wahbah Zuhaili, 2001:49).

5. Menolak kerusakan dan kemudharatan

Mempertimbangkan kondisi perubahan zaman dan kerusakan moral, selama tidak berbenturan dengan ushul syariat dan aturan hukum yang berlaku. Perubahan disini berlaku pada qiyas dan maslahat mursalah. Misalnya dengan mengqiyaskan persoalan yang terjadi sekarang dengan peristiwa yang telah terjadi pada masa yang lalu. Atau mungkin kemaslahat yang cocok dalam konteks sekarang, belum tentu relevan dalam konteks klasik (Wahbah Zuhaili, 2001:60).

6. Mempertimbangkan perkembangan terbaru

Begitu banyaknya perkembangan terbaru yang terjadi dalam masyarakat khususnya dalam persoalan aturan-aturan baru. Misalnya; dalam proses jual beli pada masa lalu tidak dibutuhkan adanya akta notaries. Pada masa lalu akad dan selembar surat sederhana sudah mencukupi untuk terjadinya jual beli. Namun pada era sekarang akad yang sesederhana itu tidak bisa diberlakukan mengingat kondisi zaman dan perubahan perkembangan masyarakat.

(14)

7. Memprioritaskan keadilan

Fatwa, putusan hukum, dan putusan peradilan harus berpegang kepada konsep keadilan dalam menyelesaikan berbagai persengketaan, perselisihan, konflik yang berlaku sehingga mampu terwujudnya keadilan, keamanan, stabilitas dalam masyarakat (Wahbah Zuhaili, 2001:6). Dalam kasus persengketaan yang terjadi, bagi seorang hakim hendaklah ia memahami permasalahan yang terjadi secara baik, tidak memiliki kepentingan pribadi dan menjauhi korupsi.

8. Mewujudkan kebenaran

Mewujudkan kebenaran merupakan tujuan dari setiap hukum yang ditetapkan. Perwujudan kebenaran tidak mesti terjadinya persengketaan antara dua individu. Namun ianya lebih bersifat umum yaitu mewujudkan kebenaran dalam segala hal dengan mengembalikan hak kepada pemilik hak, menegah kemungkaran dan menolak setiap kezaliman yang berlaku. Tidak semena-mena dalam merampas dan mengambil hak orang lain, dan menerapkan kaidah kebenaran dalam berbagai level kehidupan.

9. Mencegah permusuhan dan persengketaan

Di antara tugas hakim adalah menyelesaikan persengketaan yang terjadi, mewujudkan kedamainan, ketentraman dan memelihara hak masyarakat terutama dalam persoalan muamalah. Ini termasuk tujuan utama yang ingin dicapai dalam aktifitas muamalah dengan diberlakukannya berbagai syarat demi sahnya akad yang dilakukan. Sehingga ada yang mensyaratkan adanya ijab dan qabul. Ijab dan qabul merupakan gambaran kerelaan dan tanpa adanya pemaksaan atau persengketaan.

Di antara contoh-contoh ijtihad yang mendahulukan maslahah dari nas yang qat‘i dan muhkam adalah:

 Maslahah dalam kebolehan bunga bank konvensional.

Sebagian mereka beragumen mengenai kebolehan bunga bank dengan alasan bahwa bunga bank tidak diharamkan bila tidak berlipat ganda. Akan tetapi alasan yang dikemukakan tersebut batil karena nas mengenai keharaman riba telah jelas. Bahkan hampir seluruh ulama dunia yang terdiri dari berbagai kalangan khususnya mereka yang bergelut dalam bidang ekonomi Islam telah memfatwakan bahwa bunga bank konvensional mutlak keharamannya.

 Menyamakan porsi sama antara laki-laki dan perempuan dalam warisan.

Mereka beralasan bahwa dahulu wanita tidak memiliki kontribusi dalam masyarakat, wanita tidak produktif dan tidak bekerja di luar rumah. Namun hari ini wanita telah memiliki posisi yang sama dengan kaum pria tidak ada lagi deferensiasi sosial. Jadi status antara pria dan wanita sama. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu secara maslahat bagian warisan pria dan wanita adalah satu banding satu. Mufti Mesir membantah argumen-argumen yang

(15)

dikemukakan secara lugas dan ilmiah, karena menurutnya kaum pria harus memberi mahar kepada istri, wajib menanggung nafakah terhadap keluarga serta menanggung beban menafkahi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Ini membuktikan bahwa tanggung jawab laki-laki lebih besar dari perempuan dan dalil tentang kewarisan itupun terang dan jelas (Ali Jumu’ah, 2007:27-28).

Dalam melakukan analisa terhadap rumusan hukum yang beredar dan berkembang dalam masyarakat muslim, seorang ahli hukum harus jeli melihat sebuah hasil ijtihad dan mengkajinya secara mendalam, tidak boleh tergesa-gesa dalam melahirkan rumusan hukum keagamaan, sehingga apapun kesimpulan akhir yang ia ambil tidak berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi belaka. Tapi jauh dari segalanya, kepentingan umat yang harus ia kedepankan.

F. Aktualisasi Ijtihad Wahbah Zuhaili Dalam Konteks Kekinian

Tanpa ijtihad, fikih tidak akan relevan di setiap zaman dan tempat; ia akan membuat manusia terasa sempit dan akan menimbulkan kekeliruan manusia didalam memandang agamanya. Ijtihad dalam ruang pembaharuan hukum Islam perlu dilaksanakan secara terus-menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak mungkin ijtihad ulama terdahulu dapat mencakup semua hal secara mendetail terkait ketentuan hukum masa sekarang (Abdul Manan, 2006:158).

Dengan demikian, terlihat bahwa pembaharuan pemikiran hukum Islam merupakan langkah yang sangat dibutuhkan untuk memberikan solusi hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang selalu berkembang, seiring dengan perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sejak periode awalnya hukum Islam merupakan suatu kajian yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Alquran dan Sunnah sesuai struktur dan konteks perkembangan masyarakat saat itu, sekaligus merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi dimana ia tumbuh dan berkembang (Abd. Salam, 2003:11).

Peranan ijtihad sangat besar pengaruhnya dalam pembaharuan hukum Islam. Pembaharuan tidak dapat dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Antara pembaharuan dan ijtihad ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, saling mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses pembaharuan hukum Islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari hasil ijtihad itu akan benar pula. Oleh karena itu, prinsip yang wajar yang harus dipegang dalam pembaharuan hukum Islam khususnya dalam berijtihad adalah semboyan yang berbunyi “al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih, wa al-Akhdhu bi al-Jadid al- Aslah” (memelihara yang sudah baik dan mengambil yang baru yang jauh lebih baik) (Abdul Manan, 2006:165).

(16)

PENUTUP

Kesimpulan

Wahbah Zuhaili dengan metode ijtihadnya telah menggagas paradigma baru dalam berijtihad, ia mampu menjadikan hukum Islam berdialektika dengan konteks kekinian. Di antara metode ijtihad yang digagas oleh Wahbah Zuhaili adalah; mujtahid dalam melakukan aktivitas ijtihadnya selain memakai metode yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu, juga harus menerapkan metode baru yang dianggap relevan, antara lain: menjaga aspek dharurat dan kebutuhan, tinjauan kemaslahatan, istihsan, pertimbangan uruf dan kebiasaan masyarakat, menolak kerusakan dan kemudharatan, mempertimbangkan kondisi kerusakan zaman, mempertimbangkan perkembangan terbaru, mengutamakan keadilan, mewujudkan kebenaran, dan mencegah permusuhan dan persengketaan.

Bahwa aplikasi metode ijtihad secara komprehensif dengan konteks kekinian sangat dibutuhkan. Ijtihad tidak dapat direalisasikan kecuali melalui rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma hukum Islam. Untuk itu dibutuhkan suatu pola yang eksploratif, diproyeksikan mengelaborasi kerja rekontruksi paradigma ijtihad klasik agar mampu menyesuaikan dengan kebutuhan manusia masa kini. Dalam hal ini metode ijtihad Wahbah Zuhaili kiranya cukup relevan, dikarenakan kondisi sekarang banyak masalah baru yang muncul dan perlu segera diselesaikan dengan ijtihad yang benar.

DAFTAR PUSTAKAAN

Al-Amidi, Saif al-Din. 1983. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jil. 4, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah.

al-Ayazi, Sayyid Muhammad Ali. 1993. al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Cet. I, Iran: Wizarah Tsaqafah wa al Insya’ al-Islam.

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1983. al-Mustasyfa min ‘ilm al-ushul, Jil. 2, Beirut: Dar al Kutub al-

‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali, Muhammad dkk. 1998. Kebangkitan Islam, terj. Moh Nur Hakim, Jakarta: Gema Insani Press.

Al-Ghazali. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Jilid. 2. Mesir: Maktabat al-Fannaniyyat, t.th.

Al-Hajj, Ibn Amir. 1996. al-Taqrir wa al-Tahbir fi ‘Ilm Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr.

Ali Jum’ah. 2007. al-Madkhal ila Dirasat al-Madhahib al-Fiqhiyah. Kairo: Dar al-Salam.

Ali Jum’ah. 2007. al-Mar’ah fi Hadarah Islamiyah, Kairo: Dar al-Salam.

(17)

Al-Sarakhsi. 1991. Ushul al-Sarakhsi, Jil. 2. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyyah.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Fiqh al-Islamy wa Adillatu, Damaskus: Dar al-Fikr.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1978. al-Wasit fi Ushul Fiqh Islami, Damaskus: Dar Fikr.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1989. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami Dirasah Muqaranah, Beirut: Dar al- Fikr.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2000. Kebebasan Dalam Islam, terj. Ahmad Minan. Jakarta: Pustaka al- Kautsar.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2000. Taghyir al-Ijtihad, Suria: Dar Maktabi.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2001. Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-‘Amal Fiqhi fi Tathbiqat al-Mu’asirat. Syria: Dar al-Maktabi.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2007. Ushul Fiqh, Jilid. 2, Damaskus: Dar al-Fikr.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie, dkk., Cet. I, Jakarta:

Gema Insani Press.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2012. Mausu’ah Fiqh al-Islami, Jil. I, Damaskus: Dar Fikr.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2012. Mausu’ah Fiqh Islami, Jil. 1, Beirut: Dar Fikr.

Arief, Abd. Salam. 2003. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: LESFI.

Dahlan, Abdul Azis (ed.). 1997. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid. 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hasan, Husen Hamid. 1971. Nazhariyyah al-Mashlahah fi Fiqh al-Islamy, Beirut: Dar Nahdhah.

Manan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rusli, Nasrun. 1999. Konsep Ijtihad al-Syaukani, Jakarta: Logos.

Syaukani, Imam. 2006. Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.

Zahrah, Muhammad Abu. tth. Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi..

Referensi

Dokumen terkait

Pada kenyataannya, dalam pendugaan kepadatan populasi orangutan menggunakan metode survei sarang, secara keseluruhan sarang yang ditemukan bervariasi mulai dari sarang

Tingkat Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003 : 123) mempunyai 6 tingkat, yakni Tahu, Memahami, Aplikasi, Analisis, Sintesis dan Evaluasi.

asumsi semua faktor lain diangggap konstan. Hasil analisis uji t menunjukkan nilai signifikansi variabel bebas sebesar 0,017 lebih kecil dari 0,05 yang berarti bahwa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan yang terdiri dari variabel daya tanggap, empati, dan bukti fisik baik secara parsial dan

Nilai slope pada metode perhitungan umur simpan ini diperoleh dari nilai b pada persamaan kurva sorpsi isotermis yang terpilih (slope 2) sedangkan slope 1 diperoleh dari

merupakan suatu bagian atau salah satu elemen penting dalam iklan karena dapat menjadi alat persuasi yang mudah melekat di benak konsumen, mengingat adanya kondisi yang disebut

Kategoriler tartışmaya açıldığında toplumsal cinsiyetin gerçek­ liği de krize girer: Gerçeğin nasıl gerçekdışından aynlacağı belir­ sizleşir. İşte bu

Badan POM tidak dapat melakukan pengawalan aspek keamanan obat ini secara sendiri, namun perlu juga dukungan partisipasi semua pemeran kunci (ke y players) yang terlibat