• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KONTRIBUSI LITERASI SAINS DAN KORELASINYA TERHADAP PERILAKU SEHAT SISWA SEKOLAH LANJUTAN ATAS KELAS X

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan analisis deskriptif korelasional yang bertujuan untuk menjelaskan gambaran literasi sains siswa kelas X di Bandung dan kontribusinya terhadap perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari. Sebanyak 322 siswa Sekolah Lanjutan Atas yang terdiri dari kelompok SMA dan SMK diambil melalui metode stratified random sampling, diuji dengan menggunakan instrumen sains PISA tahun 2006 dengan tema kesehatan dilanjutkan dengan mengisi angket perilaku sehat. Semua variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Spearman, uji Mann Whitney, uji Chi Square, uji Kruskall Wallis, Anova, dan analisis regresi melalui program SPSS versi 17.0. Hasil penelitian menemukan bahwa capaian literasi sains siswa termasuk dalam kategori “rendah” dengan rata-rata nilai 47,86 dan sikap ilmiah cenderung positif sebesar 60,05. Perilaku sehat siswa termasuk dalam kategori baik dengan rata-rata skor 72,34. Penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan sains siswa tidak berkorelasi secara parsial terhadap perilaku sehat siswa, namun secara simultan memberikan kontribusi sebesar 2,8% bersama sikap ilmiah terhadap perilaku sehat siswa, namun secara parsial berpengaruh signifikan terhadap perilaku sehat siswa sebesar 17,7%.

(2)

CONTRIBUTION OF SCIENTIFIC LITERACY AND ITS CORRELATION TO HEALTHY BEHAVIOR OF 10th GRADE

STUDENTS IN BANDUNG

ABSTRACT

This study was a descriptive correlational analysis studies which aimed to describe scientific literacy of 10th grade students in Bandung and its correlation to student’s healthy behavior in their daily life. The samples of this research were 322 students consist of high school and vocational school groups which were taken through stratified random sampling method, and tested by using science instruments of the PISA 2006 which contained some health topics and continued by completing the questionnaires related to healthy behaviors. All variables were tested by using Rank Spearman’s test, Mann Whitney test, Chi Square test, and the Kruskall Wallis test, Anova, and Regression Analysis through SPSS version 17.0. The results showed that the students’s scientific literacy was categorized “low” with the average scores 47,86 and the scientific attitudes tends to be positive with the average scores 60,05. Student’s healthy behaviour was categorized “good” with the average scores 72,34. This study found that student’s science knowledge are not partially correlated to the students’ healthy behviour, but simultaneously contribute 2,8% together with scientific attitude to their healthy behaviour. Thus, scientific attitude partially affects to the students’ healthy behaviour significantly abou t17,7%.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dampak globalisasi dan kemajuan teknologi telah mengubah pandangan

pendidikan dan menyebabkan semakin terbukanya peluang di skala internasional

melahirkan sebuah dinamika dalam kehidupan masyarakat yang semakin lama

berkembang semakin pesat. Untuk menghadapi tantangan masa depan, tuntutan

kompetensi menjadi standar yang harus diupayakan melalui sebuah rancangan

kurikulum yang handal sehingga mampu mencetak generasi-generasi penerus

yang unggul di segala bidang. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan untuk

mengedepankan kualitas sumber daya manusia di semua sektor kehidupan.

Badan Pembangunan-Persatuan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengembangkan

sebuah ukuran untuk menilai kualitas sumber daya manusia berupa Indeks

Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang meliputi tiga indikator,

yaitu: pendidikan (education), kesehatan (health), dan ekonomi (economy). Hal

ini bermakna, jika ketiga indikator tersebut masih rendah maka mencerminkan

bahwa kualitas hidup bangsa tersebut masih belum memenuhi standar

(Notoatmodjo, 2012:7).

Kegiatan pembangunan selama dua dekade terakhir telah melahirkan sebuah

paradigma baru yang memandang aspek kesehatan sebagai sebuah modal

investasi yang berharga (human capital). Penekanan masalah kesehatan ini karena

dilatarbelakangi oleh masalah tingginya angka kematian serta quality of life yang

masih rendah yang secara tidak langsung berdampak pada laju pembangunan

ekonomi negara. Studi mengenai hubungan antara pendidikan dan kesehatan

mulai diperkenalkan oleh Grossman, seorang ahli ekonomi pada tahun 1972

(Becker, 2007: 379) yang memandang kedua hal tersebut sebagai modal investasi

bagi manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang cukup besar. Konsep

ini berkembang sebagai implikasi dari korelasinya terhadap sektor ekonomi

berdasarkan analisis investasi individu terhadap pertumbuhan perusahaan obat

(4)

Notoatmojo (2012: 8) menyatakan bahwa masalah-masalah yang biasa terjadi

pada negara-negara berkembang umumnya terdapat tiga macam masalah sosial,

yakni: kebodohan (akibat rendahnya pendidikan); berbagai macam penyakit

(akibat rendahnya derajat kesehatan); dan kemiskinan (akibat rendahnya

ekonomi). Ketiga hal ini membentuk sebuah mata rantai yang saling

mempengaruhi satu sama lain. Maka salah satu upaya sebagai solusinya adalah

dengan memutus mata rantainya melalui upaya penguatan dalam ketiga aspek

secara bersama sehingga permasalahan dapat teratasi.

Derajat kesehatan dapat terbangun pada saat masyarakat sudah memiliki

pengetahuan dan kesadaran yang tinggi untuk dapat berperilaku sehat. Melalui

pencapaian derajat kesehatan yang tinggi maka akan berimplikasi terhadap

meningkatnya produktivitas yang selanjutnya akan berimbas terhadap perbaikan

ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat, maka

akses terhadap pendidikan pun akan meningkat. Dengan demikian, peran

pendidikan dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakat memiliki hubungan

erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sebuah studi di Jerman menemukan

bahwa prevalensi masalah kesehatan dan negara-negara industri lainnya lebih

banyak terjadi pada anak dan remaja dengan latar belakang status sosial rendah

(Schmidt, dkk., 2010).

Potensi demografi yang dimiliki Indonesia berimplikasi terhadap potensi

Sumber Daya Manusia usia produktif yang berlimpah. Antara sistem pendidikan

dan masyarakat memiliki hubungan timbal balik satu sama lain. Dalam

perjalanannya, sebuah sistem pendidikan banyak dipengaruhi oleh perkembangan,

bentuk dan budaya masyarakat yang selanjutnya akan berdampak terhadap

kurikulum. Kurikulum merupakan motor bagi terlaksananya sebuah sistem

pendidikan sehingga menjadi alat yang penting untuk mentransformasikan potensi

ini menjadi modal bagi pembangunan sehingga dapat menunjang terwujudnya

kesejahteraan dan kemajuan bangsa (Kemdikbud, 2013a). Perubahan masyarakat

dan sistem pendidikan (kurikulum) akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan

tuntutan yang ada, sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliva (1992: 28) bahwa

salah satu faktor yang berperan dalam pengembangan kurikulum diantaranya

(5)

3

Saat kita bicara mengenai pendidikan kesehatan, maka sekolah merupakan

media dan lingkungan yang paling strategis untuk memberikan intervensi

langsung kepada siswa pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya.

Sekolah merupakan pintu masuk dunia untuk mencapai tujuan kesehatan terkait

dengan komitmen pendidikan. Sekolah merupakan institusi dasar dalam

membangun kesejahteraan dan kesehatan sebuah negara. Pendidikan menjadi

faktor kunci yang dapat menghilangkan kesenjangan antara yang kaya dan yang

miskin. WHO (1993 dalam Leger, 2001) menemukan bahwa terdapat korelasi

yang kuat antara kemiskinan dan rendahnya tingkat kesehatan.

Kemajuan teknologi telah banyak membawa dampak terhadap perubahan

gaya hidup masyarakat. Edberg (2010: 8) membuat sebuah pemodelan ekologi

yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi penentu terjadinya

masalah kesehatan tersebut adalah dari faktor perilaku manusia itu sendiri. Hal ini

menjadi sebuah masalah manakala perilaku seseorang sudah menyentuh terhadap

kepentingan publik, terutama lingkungan di sekitarnya. Guru Biologi dalam hal

ini memiliki peran penting dalam hal mengenalkan konsep-konsep biologi,

terutama yang terkait dengan masalah kesehatan sehingga diharapkan dapat

meningkatkan penghayatan siswa terhadap materi tersebut dan mewujudkannya

dalam perilaku sehat. Jika bekal pengetahuan yang diberikan sekolah memadai,

maka diharapkan akan berdampak terhadap proses pengambilan keputusan,

misalnya mempertimbangkan resiko-manfaat kebiasaan merokok, memilih jenis

makanan yang akan dimakan, dan lain-lain sebagai wujud implementasi literasi

kesehatan (health literacy) individu.

Kindig (2014), seorang direktur Institute of Medicine di Washington DC

menegaskan dalam laporan Tempo bahwa ia meyakini bahwa pengembangan

health literacy adalah salah satu upaya dalam pendidikan untuk mencapai derajat

kesehatan. Oleh karenanya menjadi penting untuk mengetahui sekolah seperti apa

yang dapat membekali generasi muda untuk dapat berpartisipasi aktif untuk

mendukung kebijakan dan mempraktifkkan program kesehatan yang selanjutnya

akan berdampak untuk dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.

Sekolah-sekolah di seluruh dunia telah berhasil meraih prestasi dalam aspek kesehatan

(6)

Literasi kesehatan merupakan sebuah konsep yang sangat sesuai dengan

konsep promosi kesehatan dan dapat memberikan hasil yang dapat diterima

melalui penilaian terhadap program promosi kesehatannya itu sendiri. Meskipun

tidak cukup banyak kasus yang dapat mengubah struktur dan praktik dalam

promosi kesehatan karena dalam situasi dan kondisi yang berbeda, namun dengan

semakin banyaknya sekolah yang melakukan perubahan, maka akan semakin

mendorong pemerintah untuk meningkatkan investasinya dalam tiga area, yaitu:

peningkatan profesionalitas guru, framework penelitian kesehatan sekolah dan

dampaknya, serta diseminasi mengenai sekolah-sekolah yang telah efektif dalam

program kesehatan berbasis audience (Leger, 2001).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama negara-negara maju seperti

Amerika, Canada, Inggris, dan negara-negara Eropa sejak 1983 telah mengadakan

sebuah studi komparatif secara international pada kesehatan remaja melalui

program Health Behaviour in School-Age Children (HBSC) di bawah manajemen

The International Coordinating Centre (ICC). Mereka menyusun protokol baku

untuk mendata berbagai perilaku terkait masalah kesehatan remaja, meliputi

kebiasaan membuli, merokok, mengkonsumsi alkohol dan minuman keras, dan

lain sebagainya. Misi dari diadakannya studi ini adalah untuk memonitor perilaku

kesehatan remaja, seiring dengan peningkatan pengetahuannya mengenai

kesehatan dan sosial untuk menjadi informasi bagi para stakeholder (HBSC,

2014).

Penelitian dua dekade terakhir dalam pendidikan banyak memberikan

informasi tentang sekolah seperti apa yang dapat secara efektif berkontribusi

melalui pendidikan kesehatan sehingga mampu mencapai status kesehatan yang

lebih baik. Sekolah memiliki peran yang potensial dalam menciptakan suasana

pembelajaran yang kondusif dalam rangka penyelenggaraan pendidikan kesehatan

Bagaimanapun sekolah dan sistem pendidikan lambat laun akan berubah sejalan

dengan adanya tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Menghasilkan perubahan

dengan menampilkan praktik kesehatan yang terbaik masih menjadi sebuah

tantangan yang besar hingga saat ini. Literasi kesehatan menjadi konsep yang

penting karena menunjukkan pada kita bagaimana pendidikan dan kesehatan dapat

(7)

5

dan pengetahuan yang tinggi pada siswa. Peningkatan pemberdayaan siswa secara

luas melalui konsep literasi kesehatan sangat dimungkinkan apabila mereka mau

berupaya untuk mendukung program sekolahnya (Leger, 2001). Intervensi nyata

yang diberikan sekolah dapat terintegrasi dalam kurikulum dan

diimplementasikan dalam berbagai program dan kegiatan sekolah, termasuk

dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).

Salah satu permasalahan negara-negara berkembang termasuk Indonesia

dalam bidang pendidikan pada umumnya, yaitu masih tingginya angka putus

sekolah, dimana setelah menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, maka

tidak semua peserta didik tersebut langsung mau meneruskan pendidikannya ke

jenjang pendidikan menengah. Berdasarkan data BPS (2013) tahun 2011, Jawa

Barat sendiri masuk ke dalam 18 provinsi yang berada di bawah rata-rata Nasional

untuk angka masuk pendidikan menengah. Angka putus sekolah Jawa Barat

untuk usia 13-15 tahun mencapai 2,58%, sedangkan angka Nasional mencapai

2,21% (BPS, 2013 dalam Kemdikbud, 2012). Hal ini dilihat oleh sebuah

organisasi internasional Organization for Economic Co-Operation and

Development (OECD) yang menganggap bahwa pada usia tersebut merupakan

usia kritis dimana seorang individu akan memutuskan untuk meneruskan

pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi ataukah berhenti dan mulai menapaki

kehidupan nyata. Penilaian kapasitas individu ini digulirkan dalam bentuk

peluncuran Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah studi

komparasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat literasi siswa usia 15 tahun.

OECD sendiri merupakan sebuah forum internasional yang dibentuk oleh

pemerintah dari 30 negara yang bekerja sama dalam mengatasi tantangan

ekonomi, sosial dan lingkungan globalisasi. Program ini juga merupakan satu

bentuk kesepakatan internasional terhadap sebuah kerangka kerja sebagai bukti

komitmen pemerintah untuk memantau seberapa baik hasil sistem pendidikan

mereka dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi kehidupannya.

Menurut PISA, suatu kapasitas penggunaan pengetahuan ilmiah untuk

mengidentifikasi persoalan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti

sebagai upaya untuk memahami dan membantu pembuatan keputusan terkait

(8)

alam disebut dengan istilah scientific literacy (melek sains) (OECD, 2007). Hasil

dari PISA memberikan dasar baru bagi dialog kebijakan dan kerjasama dalam

menetapkan dan mengimplementasikan tujuan pendidikan, melalui cara-cara

inovatif yang mencerminkan penilaian tentang keterampilan yang relevan dengan

kehidupan, dimana aspek kesehatan sebagai salah satu konten di dalamnya.

Dian (2013) dalam ulasan tempo interaktif, berdasarkan laporan “Royal

Society” Inggris tahun 1985, menyatakan beberapa argumen yang diajukan untuk

menjawab pertanyaan mengapa literasi sains dipandang sedemikian penting bagi

banyak bangsa berdasarkan pengalaman dan upaya-upaya yang dilakukan

berbagai bangsa, antara lain:

1. Argumen praktis. Bahwa untuk menjalani kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang kehidupannya diwarnai oleh sains dan teknologi tentunya

orang akan membutuhkan pemahaman mengenai sains dan teknologi.

2. Argumen demokratis. Untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai isu yang terkait sains-kompleks yang dihadapi oleh warga demokrasi modern, maka

orang akan memerlukan pemahaman mengenai sains dan teknologi.

3. Argumen kultural. Sains adalah bagian dari warisan kultural manusia dan sangat mempengaruhi pandangan kita tentang dunia dan tempat manusia di

dalamnya. Dengan menguasai sains, maka kita akan dapat berkontribusi bagi

pengembangan pengetahuan maupun bagi pemeliharan alam tempat kita hidup.

4. Argumen ekonomi. Untuk mengembangkan ekonomi dibutuhkan tenaga kerja yang literat secara keilmuan, maka sains dan teknologi memiliki peran

penting dalam kemajuan ekonomi dan pembangunan.

Indonesia telah mengikuti survei OECD sejak pertama kali PISA diadakan.

Untuk tahun 2000, Indonesia menempati urutan 39 untuk matematika dan

ke-38 untuk sains dengan jumlah negara peserta studi sebanyak 41 (artinya, kedua

dan ketiga dari bawah). Tahun 2003, dari 40 negara peserta, Indonesia menempati

posisi ke-38 untuk kedua bidang pengetahuan. Tahun 2006, dari 57 negara

peserta, Indonesia berada di urutan ke-50. Pada tahun 2009, Indonesia menempati

posisi ke-61 untuk matematika dan 57 untuk sains dari 65 negara. Pada

(9)

7

urutan ke-63 dari 65 negara peserta. Posisi Indonesia tertinggal jauh dari

negara-negara Asia. Korea Selatan, dan kemudian China, menempati posisi teratas dalam

beberapa kesempatan survei PISA. Hasil studi ini menunjukkan perlu adanya

perubahan orientasi kurikulum yang tidak membebani peserta didik dengan

konten namun lebih kepada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua

warga negara untuk berperan serta dalam membangun negara di masa yang akan

datang (Kemdikbud, 2012; OECD, 2009).

Beberapa hasil-hasil penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa tingkat

literasi sains di kalangan pelajar hingga mahasiswa Indonesia masih berada pada

level rendah (Rifqiyati, 2013; Sariyati, 2013; Rohayati, 2013). Berbagai metode

dan model pembelajaran dicoba diterapkan dalam rangka meningkatkan capaian

literasi sains peserta didik. Terkait dengan aplikasi perilaku sehat beberapa

penelitian sebelumnya dilakukan oleh Luthviatin dkk. (2011) yang menemukan

bahwa terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan siswa dengan perilaku bersih

dan sehat pada siswa SD dan dominasi peran guru dalam perilaku sehatnya serta

penelitian dari Smith (2012) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi perilaku

hidup sehat dengan prestasi belajar, semakin baik perilaku sehat siswa maka akan

semakin baik prestasi belajarnya. Brunello, dkk. (2011) meneliti mengenai

hubungan antara pendidikan dan kesehatan, yang dinyatakan dalam bentuk

“gradien pendidikan”. Terdapat hubungan saling mempengaruhi antara

pendidikan dan perilaku sehat. Pendidikan berperan sebagai fungsi protektif

dalam pencapaian status kesehatan, baik pada pria maupun wanita. Demikian pula

hasil penelitian Lochner (2011 dalam Brunello, dkk., 2011: 4) yang

mengemukakan bahwa banyak cara yang memungkinkan melalui pendidikan

dapat meningkatkan derajat kesehatan, diantaranya melalui pengurangan stres,

pengambilan keputusan dan pengumpulan informasi yang lebih baik terkait

kesehatannya, kecenderungan untuk memiliki asuransi kesehatan, menciptakan

lingkungan yang lebih sehat, dan mempraktikkan perilaku sehat. Brunello

menemukan bahwa peran pendidikan kesehatan berkontribusi sebesar 7,1% pada

wanita dan 3,1% pada pria dalam mempraktikkan perilaku sehat. Peningkatan

status kesehatan yang dicapai diantaranya berupa penurunan tingkat stres dan

(10)

merokok, tidak minum minuman keras, aktivitas fisik, dan Indeks Massa Tubuh

(IMT). Jurges (2009) meneliti mengenai faktor latar belakang jurusan terhadap

praktik perilaku sehat berupa kebiasaan merokok dan obesitas. Dia menemukan

bahwa tidak ada efek kausal pendidikan dalam mengurangi kasus overweight dan

obesitas, namun terdapat efek negatif terhadap kebiasaan merokok.

Berdasarkan uraian di atas, mengingat pentingnya penguasaan terhadap

konten sains khususnya yang terkait masalah kesehatan dan peran sekolah dalam

upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia, maka dalam penelitian ini,

penulis ingin memperoleh gambaran tingkat literasi sains pada siswa SMA dan

siswa SMK kelas X sebagai kelompok usia yang merupakan calon-calon generasi

penerus pembangunan serta pengaruhnya terhadap perilaku sehatnya.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Siswa sekolah menengah pada jenjang Sekolah Lanjutan Atas (SLA)

merupakan kelompok usia yang merupakan calon-calon angkatan kerja dan akan

berperan sebagai modal pembangunan. Secara formal, siswa SLA dapat

dikelompokkan atas dua kelompok besar yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA)

dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Aspek kesehatan sebagai salah satu indikator kualitas manusia membuat hal

ini menjadi penting untuk diperhatikan. Individu yang produktif dapat terwujud

dari individu yang sehat. Dengan demikian, faktor kesehatan dapat menjadi faktor

yang mendukung produktivitas yang tinggi, sehingga akan dicapai peningkatan

taraf ekonomi yang baik bagi pembangunan masyarakat.

Kesehatan merupakan salah satu bagian dari bidang kajian sains yang telah

dikembangkan menjadi ilmu terapan tersendiri. Penguasaan sains yang memadai

dapat menjadi salah satu bekal dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dengan

bekal pengetahuan yang cukup diharapkan usia angkatan kerja ini diantaranya

dapat berperilaku sehat sehingga dapat tercapai derajat kesehatan yang pada

akhirnya menjadi generasi yang produktif bagi kemajuan pembangunan.

Pemberlakuan kurikulum baru 2013 diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan

pengetahuan sains dasar dengan adanya kesamaan muatan dalam mata pelajaran

(11)

9

Untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa jauh hubungan tingkat

literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa Sekolah Lanjutan Atas (SLA)

dan perilaku sehatnya, maka rumusan masalah yang ingin dikaji dalam penelitian

ini adalah : “Bagaimana tingkat literasi sains siswa SLA dan korelasinya terhadap perilaku sehatnya?”

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka selanjutnya dapat dijabarkan

beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tingkat literasi sains terkait masalah kesehatan pada

siswa SLA kelas X?

2. Bagaimana gambaran perilaku sehat siswa SLA kelas X?

3. Bagaimana hubungan tingkat literasi sains siswa SLA kelas X terkait masalah

kesehatan dan kontribusinya terhadap perilaku sehatnya?

C. Batasan Masalah Penelitian

Untuk memfokuskan kajian dalam penelitian ini maka penulis membatasi masalah

yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Literasi sains yang dinilai merupakan kapasitas individu untuk

memperoleh, memproses dan memahami informasi terkait sains khususnya

dalam konteks kesehatan mencakup pengetahuan dan sikap ilmiah yang

selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan

dan memelihara kesehatannya, baik secara individu, masyarakat (sosial),

maupun global.

2. Perilaku sehat yang diukur dalam penelitian ini adalah segala aktivitas

yang dilakukan individu baik dalam bentuk sikap maupun tingkah laku

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya berdasarkan

pengakuan siswa pada saat pengambilan data.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini

bertujuan antara lain untuk memperoleh analisis tentang:

1. Tingkat literasi sains terkait kesehatan pada siswa SLA kelas X baik yang

(12)

2. Perilaku sehat pada siswa SLA kelas X baik yang berlatar belakang SMA

maupun SMK.

3. Tingkat hubungan antara penguasaan literasi sains terkait masalah kesehatan

pada siswa SLA kelas X dan kontribusinya terhadap perilaku sehatnya.

E. Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi

dalam beberapa hal, yaitu:

1. Memberikan informasi mengenai gambaran tingkat literasi sains khususnya

terkait masalah kesehatan yang dimiliki oleh siswa SLA kelas X sebagai

produk awal kurikulum 2013 dan korelasinya dalam berperilaku sehat.

2. Memberikan informasi sebagai dasar pemikiran bagi guru sebagai praktisi

pendidikan dan evaluasi terhadap awal pelaksanaan kurikulum 2013 dalam

merencanakan strategi pembelajaran terutama dalam menumbuhkan sikap

kepedulian dan kesadaran siswa terhadap kesehatannya baik dalam konteks

diri pribadi, sosial maupun secara global.

3. Memberikan informasi seputar muatan kurikulum di tingkat sekolah

(13)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai desain dan metode yang digunakan

dalam memperoleh data hingga sampai pada tahap pengolahan data.

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

dengan analisis korelasional. Metode deskriptif bertujuan untuk memberikan

gambaran secara sistematis dan faktual tanpa adanya manipulasi tentang subjek

yang diteliti (Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 331). Penelitian korelasional

bertujuan untuk menjelaskan pemahaman mengenai suatu fenomena dengan

cara mengidentifikasi hubungan antar variabel yang terkait dengan

menggunakan koefisien korelasi, tanpa ada usaha untuk mempengaruhinya.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat pada bulan Mei 2014

dengan populasi siswa SMA dan SMK kelas X tahun ajaran 2013-2014.

Kelompok usia ini dipilih menjadi subjek penelitian karena pada usia ini seorang

anak dapat memilih untuk meninggalkan sistem pendidikan untuk mulai

memasuki dunia kerja, sehingga dianggap perlu untuk mengukur kapasitas dan

kesiapan siswa agar dapat menjalani kehidupannya secara mandiri (OECD,

2009b).

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode stratified

random sampling. Teknik pengambilan sampel ini dilakukan mengingat jumlah

populasi yang besar namun data yang diambil harus tetap dapat representatif dan

dapat digeneralisasi (Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 97). Pengambilan sampel

dilakukan menurut rumus:

= �

(14)

Keterangan :

ni = jumlah sampel menurut stratum n = jumlah sampel seluruhnya

Ni= jumlah populasi menurut stratum

N= jumlah populasi seluruhnya (Sugiyono, 1999: 67)

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bandung dan

Direktorat Pembinaan SMK tahun 2013 bahwa di wilayah Bandung terdapat siswa

kelas X sebanyak 79.199 orang siswa yang terdiri atas 43.852 siswa SMK dan

35.347 siswa SMA. Sehingga diperoleh jumlah sampel keseluruhan yang harus

ditarik :

= . . , + = , ~ responden pembulatan

Sehingga diperoleh perhitungan jumlah sampel yang ditarik dari tiap kelompok/

kluster adalah :

SMA (negeri & swasta) = = , ~ responden

SMK kesehatan = / = , ~ responden

SMK non kesehatan = / = , ~ responden

Berdasarkan perhitungan di atas, telah diketahui bahwa komposisi jumlah sampel

yang dibutuhkan adalah sekitar 398 responden. Namun untuk mencegah hilangnya

data akibat instrumen yang tidak dikembalikan oleh responden, maka jumlah

instrumen yang disebarkan di lapangan dibuat dalam jumlah yang lebih banyak

sehingga data yang terkumpul tetap dapat memenuhi target. Mekanisme

(15)

43

Gambar 3.1 Pengambilan sampel dengan cara stratified random sampling

Sesuai kondisi di lapangan, selanjutnya sampel dibagi berdasarkan kelompok

sekolah SMA dan SMK. Kelompok siswa SMK dibedakan menjadi dua kelompok

berdasarkan konteks materi yang dikaji, yakni SMK kesehatan dan non kesehatan;

sedangkan kelompok siswa SMA dibedakan berdasarkan jurusan IPA dan non

IPA. Selanjutnya, dari masing-masing kelompok diambil sampel secara acak.

Meskipun jumlah responden cukup banyak, namun tidak semua responden

memiliki data yang lengkap. Oleh karena itu, untuk menghindari bias dalam

pengambilan kesimpulan, maka data yang tidak valid tidak diikutsertakan dalam

analisis. Data yang terkumpul dari kelompok Jurusan Kesehatan diwakili oleh

kelompok jurusan Farmasi sebanyak 51 orang sedangkan kelompok jurusan non

kesehatan terdiri dari: teknik penerbangan, teknik mesin, listrik, teknik komputer

jaringan, dan aplikasi perkantoran yang berjumlah 113 orang. Jurusan IPA terdiri

dari 115 orang sedangkan jurusan non IPA dalam hal ini diwakili oleh jurusan IPS

(16)

r

1

Tabel 3.1 Distribusi sebaran sampel

Siswa SMA Siswa SMK

158 orang 164 orang

Jur. IPA Jur. Non IPA Jur. Kesehatan Jur. Non Kesehatan

115 orang 43 orang 51 orang 113 orang

Jumlah total sampel = 322 orang

C. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini pengambilan data dilakukan secara cross sectional,

yaitu pengukuran kedua variabel dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Data

dan informasi yang diambil dari sampel dapat menggambarkan karakteristik dari

suatu populasi yang telah ditentukan sebelumnya (Fraenkel, Wallen & Hyun,

2012: 394). Pemilihan desain ini didasarkan pada tujuan penelitian yaitu untuk

mengetahui gambaran literasi sains dan perilaku sehat siswa kelas X di Bandung.

Berdasarkan tujuan tersebut, maka variabel yang diteliti berupa literasi sains siswa

berupa capaian Skor PISA (X) sebagai variabel prediktor dan variabel perilaku

sehat siswa (Y) sebagai variabel terikat yang selanjutnya akan dilihat apakah

kedua variabel berkorelasi satu sama lain yang nilainya dinyatakan dalam suatu

nilai r. Untuk lebih jelasnya, desain penelitian dapat dilihat dalam Gambar 3.2.

variabel Prediktor variabel terikat

Literasi Sains Perilaku Sehat

(X) (Y)

(Sumber : Fraenkel, Wallen & Hyun, 2012: 80)

(17)

45

D. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang istilah-istilah yang

digunakan, maka akan dijelaskan beberapa istilah sebagai kata kunci pada

penelitian ini.

1. Literasi sains adalah capaian skor pengetahuan dan sikap siswa pada

butir-butir soal PISA yang menggambarkan kapasitas dan minat siswa dalam

menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik

kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu

membuat keputusan dalam mempraktekkan perilaku sehat dalam

kehidupannya sehari-hari. Materi yang diujikan untuk mengukur literasi sains

terdiri atas sembilan topik kesehatan terpilih disertai respon sikap siswa

terhadap masalah-masalah sains dan teknologi yang relevan dengan topik

perilaku sehat.

2. Sikap ilmiah adalah capaian skor sikap yang diungkap dengan menggunakan skala sikap dalam instrumen PISA terkait respon yang diberikan oleh siswa

terhadap isu-isu yang melibatkan sains, mencakup minat dan dukungan

terhadap inkuiri ilmiah.

3. Perilaku sehat adalah skor yang diperoleh pada pengukuran praktek perilaku sehat berdasarkan pengakuan siswa pada saat pengisian instrumen dalam

bentuk angket skala diferensiasi semantik, sesuai indikator perilaku sehat

yang diteliti.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

terdiri dari dua buah instrumen yaitu tes berupa butir soal literasi sains dan non tes

berupa angket perilaku sehat. Untuk lebih jelasnya ringkasan instrumen dan

(18)

Tabel 3.2 Variabel Penelitian dan Instrumen

3 Perilaku sehat Angket perilaku sehat Skala diferensiasi semantik (%)

30 butir

1. Butir soal Tes Literasi Sains

Berdasarkan fokus penelitian berupa perilaku sehat maka materi

pengetahuan yang diujikan diambil dari instrumen soal bertemakan masalah

kesehatan, terdiri atas sepuluh topik yang diadaptasi dari soal-soal PISA yang

dipublikasikan oleh OECD tahun 2006. Soal-soal PISA tahun 2006 lebih banyak

menekankan pada bidang sains sehingga memiliki komposisi soal terkait masalah

sains yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan versi tahun yang lainnya.

Berdasarkan framework PISA 2006, soal-soal sains ini dibagi atas aspek konten,

proses, dan konteks (OECD, 2006; Bybee, McCrae, dan Laurie, 2009; Hatzinikita,

Dimopoulos, dan Christidou, 2008).

Butir soal literasi sains dikembangkan berdasarkan kompetensi yang telah

dirumuskan oleh PISA (2006) dengan tipe soal multiple choice (Pilihan Ganda),

complex multiple choice (Pilihan Ganda kompleks), dan soal uraian singkat

(essay). Komposisi soal untuk masing-masing kompetensi dapat dilihat pada

Tabel. 3.3.

Tabel 3.3 Kisi-kisi Soal Literasi Sains

No Kompetensi/Proses Jumlah

1 Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah 4

2 Menjelaskan fenomena ilmiah 17

3 Menggunakan bukti ilmiah 4

Jumlah 25

Pedoman penilaian :

Skor (raw score) = jumlah jawaban benar

Nilai (derived score) = � � ℎ

(19)

47

2. Skala Sikap

Penilaian skala sikap dilakukan mempergunakan skala diferensiasi semantik

dengan 5 skala. Namun dalam pengolahan data, skor mentah dari 5 skala

dikonversi ke dalam skala 100 agar memperoleh kesetaraan data sehingga

menghindari bias pada saat pengolahan data dengan mengacu pada rumus seperti

halnya pada skor PISA, maka rumus konversi datanya menjadi:

Nilai (derived score) =

3. Angket Perilaku Sehat

Lembar angket yang digunakan berupa daftar pernyataan perilaku yang

sesuai dengan indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang

dikeluarkan oleh Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia (2006) dalam Modul Field Lab PHBS dari tim Fakultas Kedokteran

Universitas Negeri Solo yang disesuaikan dengan kondisi usia siswa sebagai

responden. Pedoman PHBS ini dipilih untuk digunakan karena sudah dijadikan

standar acuan bagi praktek perilaku sehat di Indonesia. Adapun daftar perilaku

sehat dibagi kedalam empat domain, yaitu:

a. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Gizi, meliputi materi gizi dan

makanan.

b. Kesehatan Lingkungan, terdiri dari materi: air bersih dan sampah

c. Gaya hidup, meliputi materi: aktivitas fisik, merokok, mencuci tangan,

kesehatan gigi, dan narkoba/miras.

d. Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM), meliputi materi Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) yang terdiri dari 3M (Menguras, Menutup,

Mengubur).

Setiap butir perilaku dibuat dalam bentuk diferensiasi semantik dengan

kontinum skala selalu (skor=4) hingga tidak pernah (skor=0) untuk bentuk

perilaku positif dan selalu (skor=0) dan tidak pernah (skor=4) untuk bentuk

(20)

Tabel 3.4 Kisi-kisi Angket Perilaku Sehat

Mencuci tangan memakai sabun 20, 21, 22, 23

Instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai standar adalah alat ukur

yang telah di uji validasi dan reliabilitas data.

1. Uji validitas

Validitas instrumen berkenaan dengan ketetapan alat penilaian terhadap

konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai.

Validitas tidak berlaku universal sebab tergantung pada situasi dan tujuan

penilaian sehingga validasi tetap perlu dilakukan untuk menjaga kevalidan sebuah

instrumen. Ada empat jenis validitas yang sering digunakan, yaitu validitas isi,

(21)

49

(Sudjana, 2011:12). Instrumen diujicobakan pada sampel subyek sejumlah 117

orang dalam satu waktu dan diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Butir soal Tes Literasi Sains

Dalam penelitian ini, uji validitas konstruk diukur melalui judgment oleh ahli

dan diujicobakan pada siswa, sedangkan validitas isi tidak dilakukan mengingat

soal-soal yang dibuat oleh PISA ini telah mengikuti teori dan ketentuan yang ada

dan telah dibakukan secara international (Arikunto, 2013:66).

Validitas butir soal pilihan ganda sebanyak 10 buah, pilihan ganda kompleks

sebanyak tujuh buah dan essay sebanyak delapan buah dilakukan dengan

menggunakan program SPSS versi 17.0. Dengan adanya validasi yang

menyebabkan beberapa soal menjadi gugur dan tidak dapat digunakan, maka

terjadi perubahan jumlah soal dari 30 butir menjadi 19 butir. Hasil validasi butir

soal dapat dilihat pada Lampiran A.1.

Untuk memperoleh kualitas soal yang baik, selain memenuhi validitas dan

reliabilitas, juga diperlukan adanya keseimbangan dari tingkat kesulitan butir soal.

Dalam penelitian ini, tingkat kesukaran soal dihitung dengan menggunakan

rumus:

dimana, (Sudjana, 2011:137)

I =indeks kesulitan untuk setiap butir soal

B= banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal

N= banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang dimaksud

Dari hasil pengolahan program SPSS dapat diketahui komposisi soal

berdasarkan tingkat kesulitannya yang dapat dilihat secara rinci pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Rekapitulasi hasil analisis butir soal

No Kriteria f (%)

1 Mudah 2 8%

2 Sedang 15 60%

3 Sukar 8 32%

Total 25 100%

(22)

Hasil analisis butir soal diperoleh dengan hasil akhir terdiri atas 19 butir

soal PISA dengan nilai Alpha Cronbach = 0,768. Dengan mengacu pada Tabel

3.6, maka reliabilitas instrumen ini termasuk dalam kategori tinggi.

b. Angket Sikap Ilmiah

Dalam penelitian ini, angket sikap Ilmiah sudah termasuk di dalam soal

PISA yang digunakan sehingga uji validitas yang dilakukan hanya melalui ujicoba

pada siswa, yang selanjutnya diolah melalui program SPSS versi 17.0. Dari hasil

analisis diperoleh hasil bahwa keduapuluhdua butir pernyataan dinyatakan valid

dengan nilai Alpha Cronbach 0,745 yang artinya dengan mengacu Tabel 3.6,

maka dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen ini tinggi.

c. Angket Perilaku Sehat

Angket perilaku sehat terdiri atas 30 item perilaku yang dinyatakan dalam

bentuk pernyataan positif dan negatif. Valid atau tidaknya butir menggunakan

patokan angka 0,2 untuk menyatakan bahwa butir telah valid (Nisfiannoor, 2009).

Validasi kriteria dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 17. Hasil

validasi menunjukkan dari 30 butir pernyataan, terdapat 8 butir yang gugur

sehingga hanya terpakai 22 butir pernyataan dengan nilai Alpha Cronbach 0,745.

Dengan mengacu pada Tabel 3.6, maka data ini menunjukkan bahwa reliabilitas

instrumen ini tergolong tinggi.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas menjelaskan seberapa jauh pengukuran yang dilakukan

berkali-kali akan menghasilkan banyak perbedaan informasi yang berarti. Suatu tes dapat

dikatakan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi apabila tes tersebut dapat

mengukur dan memberikan hasil yang konsisten (Sudjana, 2011:16). Instrumen

tes dalam penelitian ini dilakukan Uji Reliabilitas dengan menggunakan program

(23)

51

Uji keterbacaan dilakukan melalui validasi konten oleh dosen ahli untuk

menilai konsistensi makna dari materi yang dialihbahasakan dibandingkan

terhadap versi bahasa aslinya. Selain itu, butir soal juga diujikan keterbacaannya

pada siswa untuk menilai ketersampaian makna butir soal dan dilakukan

judgment oleh ahli bahasa untuk menilai validasi konstruknya setelah proses

penerjemahan.

G. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini mengikuti beberapa tahap, antara lain :

1. Tahap Persiapan

Merupakan tahap penyusunan dan penyiapan instrumen penelitian yang

terdiri atas butir soal literasi sains dan angket siswa.

a. Membuat instrumen soal dan angket. Butir soal literasi sains diadaptasi

dari soal-soal PISA yang diterbitkan oleh OECD tahun 2006 yang

dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia kemudian diuji

keterbacaannya. Angket Perilaku Sehat dibuat berdasarkan kisi-kisi

sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya.

b. Melakukan konsultasi instrumen ke dosen pembimbing yang selanjutnya

dilakukan judgment oleh Dosen Ahli.

c. Menyiapkan perangkat penelitian yang terdiri atas: perizinan,

penggandaan instrumen, dan peralatan dokumentasi.

2. Tahap Pelaksanaan

Merupakan tahap penyiapan sampel hingga pelaksanaan pengambilan data ke

(24)

a. Tahap pemilihan sampel, dilakukan dengan menyebarkan surat

permohonan izin untuk melakukan penelitian ke sekolah-sekolah yang

ada di Bandung, baik SMK maupun SMA yang berstatus negeri ataupun

swasta. Data sekolah diperoleh dari dokumen Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

b. Tahap konfirmasi dan tindak lanjut terhadap sekolah-sekolah yang

memberikan respon. Selanjutnya dilakukan pendekatan personal kepada

guru Biologi untuk diminta bantuannya dalam pengambilan data. Upaya

ini dilakukan untuk mengkondisikan siswa agar mau mengerjakan

soal-soal instrumen dengan lebih serius. Beberapa guru membantu dalam

pengawasan pengisian instrumen, namun ada pula yang memberikan

waktunya kepada peneliti untuk langsung melakukan pengambilan data

di kelas saat jam pelajaran berlangsung.

c. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan sebanyak satu kali pertemuan

yang terdiri dari pelaksanaan tes PISA dan diikuti dengan pengisian

angket perilaku sehat oleh siswa. Teknik pengumpulan data secara

ringkas dapat dilihat pada Tabel 3.10.

3. Tahap Akhir

Merupakan tahap pengumpulan hingga pengolahan terhadap data-data

penelitian.

a. Lembar jawaban yang sudah terkumpul dipilah berdasarkan kelengkapan

data. Lembar jawaban yang digunakan sebagai sumber data adalah

lembar jawaban yang terisi lengkap, mulai dari identitas hingga

kelengkapan jawaban pada kedua instrumen untuk menghindari

terjadinya bias data.

b. Data yang diperoleh dari penelitian ini bersifat kuantitatif berupa skor

literasi sains mencakup skor PISA dan skala sikap ilmiah dengan

mengikuti panduan skor yang dikeluarkan oleh OECD tahun 2006,

sedangkan dari hasil angket diperoleh data kuantitatif berupa skor

(25)

53

c. Semua jawaban responden yang terkumpul diinput dan dianalisis dengan

menggunakan bantuan program SPSS versi 17.0.

Tabel 3.7 Teknik Pengumpulan Data

Angket Butir pernyataan dalam bentuk skala perilaku

H. Analisis Data

Semua data dicatat dalam status penelitian, dikumpulkan dan kemudian

diolah dengan menggunakan program SPSS versi 17.0. Langkah awal dimulai

dengan editing, coding, data entry, dan dilanjutkan dengan tabulasi. Setelah

proses pengambilan data penelitian selesai, maka diperoleh sejumlah data

kuantitatif. Data kuantitatif berupa skor literasi sains siswa dan skor perilaku dari

hasil angket siswa yang kemudian akan diuji secara statistik. Analisis data secara

kuantitatif mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memberi skor tiap lembar jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban.

b. Menjumlahkan skor mentah dari setiap jawaban.

c. Mengubah skor PISA dan skor perilaku ke dalam bentuk prosentase dengan

cara:

� % =∑ � %.

d. Menghitung nilai rata-rata keseluruhan dan nilai rata-rata siswa dengan cara:

� � − = �

(26)

Tabel 3.8 Tafsiran Kategori Kemampuan

Nilai (%) Kategori Kemampuan

80-100 Sangat Baik

68-79 Baik

55-67 Cukup/sedang

45-54 Kurang

< 45 Sangat kurang

(Sumber: Gintings, 2008:196)

1. Analisis Capaian Literasi Sains

Analisis tingkat literasi sains dilakukan terhadap aspek kompetensi ilmiah

dan aspek sikap terhadap sains yang ditunjukkan oleh siswa. Akan dilihat

bagaimana profil tingkat literasi sains siswa secara keseluruhan data serta

pengaruh beberapa faktor lain seperti jenis sekolah dan jurusan. Dalam kajian

literasi sains ini, terdapat beberapa aspek yang menjadi fokus penelitian,

diantaranya :

a. Aspek Kompetensi Ilmiah

Pemberian skor dari soal-soal PISA mengikuti panduan yang

terdapat dalam framework PISA 2006, yang terdiri atas tiga kriteria,

yaitu: “fullcredit”, “partial credit”, dan “no credit”. Skor penuh terdiri

dari skor 2 dan 1 tergantung dari bobot soal sesuai petunjuk di dalam

kunci jawaban, yaitu skor untuk jawaban benar yang menunjukkan

pemahaman ilmiah yang baik terhadap materi. Skor setengah benar

adalah 1, merupakan jawaban benar yang kurang menunjukkan

pemahaman ilmiah terhadap materi yang dibahas dan skor salah adalah

nol, ini diperuntukkan bagi jawaban yang salah atau tidak diisi sama

sekali (OECD, 2007, 2009).

b. Aspek Sikap terhadap Sains

Aspek ini terdiri atas dukungan siswa terhadap inkuiri ilmiah dan

ketertarikan siswa terhadap sains. Pernyataan yang mendukung terhadap

(27)

55

(skor=3), tidak setuju (skor=2), dan sangat tidak setuju (skor=1). Siswa

yang menjawab sangat setuju dan setuju menunjukkan dukungan

terhadap inkuiri ilmiah (OECD, 2007).

Jawaban pernyataan ketertarikan siswa dalam mempelajari topik

sains diukur melalui sangat tertarik (skor=4), tertarik (skor=3), tidak

tertarik (skor=2), dan sangat tidak tertarik (skor=1). Siswa yang

menjawab pernyataan sangat tertarik dan tertarik menunjukkan

ketertarikan dalam mempelajari topik sains, sedangkan siswa yang

menjawab tidak tertarik dan sangat tidak tertarik artinya tidak

menunjukkan ketertarikan terhadap topik sains (OECD, 2007).

2. Analisis Angket Perilaku Sehat

Skor angket dihitung berdasarkan daftar perilaku sehat dalam bentuk

diferensiasi semantik dengan rentang skala 4 dalam bentuk pernyataan positif

dengan pilihan selalu (skor=4) dan tidak pernah sama sekali (skor=0) serta

pernyataan negatif dengan pilihan selalu (skor=0) dan tidak pernah sama sekali

(skor=4). Analisis angket dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi

17.0.

Interpretasi skor terhadap perilaku individual dapat dilihat dari skor yang

diperoleh responden dari keseluruhan butir. Skor individual akan bergerak antara

0 sampai dengan 4. Makin mendekati 4, maka skor individu dapat

diinterpretasikan semakin positif atau semakin favorable. Sebaliknya, semakin

mendekati 0, maka perilaku responden dinilai semakin negatif atau semakin tak

favorable. Intensitas perilaku ditunjukkan oleh seberapa jauh skor yang diperoleh

bergeser dari angka 2 (Azwar, 2013: 175).

3. Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data yang

terkumpul mengikuti atau mendekati hukum sebaran normal baku dari Gauss.

Sebuah data dikatakan normal apabila nilai sig (p) >0,05 dan data tidak normal

(28)

uji normalitas ini akan menentukan langkah analisis selanjutnya apakah

menggunakan analisis parametrik atau non parametrik .

4. Analisis Statistik

Untuk mengetahui sejauhmana hubungan tiap variabel yang diteliti serta

faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap hasil, terlebih dahulu dilakukan

uji normalitas untuk menentukan metode analisis yang sesuai. Berdasarkan hasil

uji normalitas diketahui bahwa sebaran data untuk variabel skor PISA dan sikap

ilmiah tidak berdistribusi normal sehingga analisis data menggunakan statistik

non parametrik, sementara data perilaku sehat mengikuti distribusi normal

sehingga untuk menganalisisnya digunakan uji Parametrik.

Pada variabel skor PISA dan sikap ilmiah, untuk melihat perbedaan antara

kedua kelompok sekolah (SMA dan SMK) analisis dilakukan dengan

menggunakan uji Mann Whitney sebagai pengganti Independent-Sample T Test

dan uji Kruskal-Wallis sebagai pengganti One way Anova untuk melihat pengaruh

faktor jurusan terhadap capaian skor siswa. Adapun untuk variabel Perilaku

sehat, karena distribusi datanya normal, maka analisis yang digunakan adalah uji t

dan One way Anova. Untuk melihat korelasi antar variabel, dilakukan uji korelasi

Rank Spearman (Nisfiannoor, 2009: 145).

Untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel prediktor terhadap variabel

independen digunakan analisis regresi berganda (multivariat) dan analisis logistik.

Sebelum digunakan analisis regresi, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik

untuk memastikan bahwa model persamaan yang digunakan sudah sesuai atau

belum. Jika semua asumsi terpenuhi, maka melalui analisis regresi dapat diketahui

nilai koefisien determinasi yang menggambarkan besaran kontribusi variabel X

(literasi sains) terhadap Y (perilaku sehat). Oleh karena analisis regresi merupakan

analisis parametrik, maka untuk data yang berdistribusi tidak normal harus

dilakukan konversi ke bentuk nilai baku (Z) agar distribusinya menjadi normal

sehingga analisis regresi dapat digunakan.

Ada tidaknya pengaruh interaksi kedua variabel X (literasi sains) terhadap

(29)

57

Selanjutnya, kedua langkah analisis ini dilakukan kembali pada tingkat kelompok

jurusan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variasi jurusan terhadap seluruh

(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Setelah penulis mengadakan pembahasan mengenai seberapa jauh

hubungan tingkat literasi sains terkait masalah kesehatan pada siswa Sekolah

Lanjutan Atas (SLA) dan perilaku sehatnya, maka dalam bab ini penulis mencoba

menarik kesimpulan dan memberikan saran berdasarkan uraian yang telah penulis

kemukakan dalam bab sebelumnya.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji hipotesis komparatif, bahwa terdapat perbedaan

pengetahuan sains yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok

SMK, dimana kelompok SMA jurusan IPA sebagai kelompok yang memiliki

pengetahuan sains yang lebih baik daripada kelompok SMK dan jurusan lainnya.

Terdapat perbedaan sikap ilmiah yang signifikan antara kelompok SMA

dengan kelompok SMK, dimana kelompok SMK jurusan Kesehatan memiliki

sikap ilmiah yang lebih baik daripada kelompok SMA dan jurusan lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis komparatif, maka terdapat perbedaan

perilaku sehat yang signifikan antara kelompok SMA dengan kelompok SMK,

dimana kelompok SMK jurusan Kesehatan memiliki perilaku sehat yang lebih

baik daripada kelompok SMK dan jurusan lainnya.

Berdasarkan hasil uji hipotesis asosiatif, maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Pengetahuan Sains dengan

Perilaku Sehat, dimana tingkat kekuatan hubungan yang terjadi terkategori sangat

lemah. Namun terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap Ilmiah dengan

Perilaku Sehat, dimana tingkat kekuatan hubungan yang terjadi terkategori sangat

lemah. Hal ini berimplikasi pada kenyataan bahwa tingginya tingkat keilmuan

(31)

118

B. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dapat

direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Faktor pembiasaan merupakan faktor yang penting dalam membentuk

perilaku sebagaimana kegiatan melakukan latihan dapat meningkatkan

kemampuan seorang individu. Dalam hal penguasaan soal-soal PISA, siswa

perlu diberikan lebih banyak latihan-latihan soal yang menyerupai agar siswa

menjadi lebih familiar sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam

menyelesaikan soal-soal PISA. Untuk meningkatkan sikap ilmiah, dapat

ditempuh dengan menambah jumlah jam kegiatan praktek dalam

pembelajaran.

2. Lingkungan sekolah dan keluarga sebagai tempat siswa melaksanakan

aktivitas siswa sehari-hari diharapkan memiliki peran kontrol dalam

mengarahkan potensi yang dimiliki oleh siswa akan menjadi poin yang

penting dalam membangun budaya positif yang selanjutnya akan berdampak

terhadap sikap dan perilaku sehat. Dalam usianya, siswa 15 tahun umumnya

masih berada dalam tahap identifikasi sehingga sangat membutuhkan raw

model untuk ditiru. Faktor lingkungan memiliki peran yang besar dalam

membentuk karakter kepribadian dan perilaku sehat individu.

3. Perlu kiranya bagi pihak sekolah untuk mengadakan regulasi yang mampu

mendorong setiap individu untuk melaksanakan gerakan Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) yang disertai pembekalan beserta rasionalisasinya

agar masing-masing dapat menghayati dan bukan sekedar berperilaku seperti

robot. Misalnya melalui program-program seperti: siswa dibiasakan memilah

sampah organik dan non organik, mengadakan program bank sampah, dan

lain-lain. Pada akhirnya siswa dapat memiliki budaya perilaku yang positif,

pemahaman yang komprehensif dan menyadari peran pentingnya berperilaku

sehat sehingga dapat berkontribusi besar dalam pembangunan.

4. Bagi pengembangan kurikulum, hendaknya memperkaya muatan materi

kesehatan yang diintegrasikan dalam setiap aspek pembelajaran yang

(32)

SMK jurusan teknik dapat diperkaya materi konsep keselamatan kerja, bagi

jurusan IPS dapat ditekankan mengenai peran individu sebagai bagian yang

tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat, bagi jurusan administrasi

perkantoran ditekankan pentingnya kebersihan dalam bekerja dan lain

sebagainya.

5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menambahkan indikator-indikator

Gambar

Gambar 3.1 Pengambilan sampel dengan cara stratified random sampling
Tabel 3.1 Distribusi sebaran sampel
Tabel 3.2 Variabel Penelitian dan Instrumen
Tabel 3.4 Kisi-kisi Angket Perilaku Sehat
+5

Referensi

Dokumen terkait

Para  peserta  tinggal  menunggu  pengumuman  kelulusan  resmi  yang  ditetapkan  oleh  panitia  pusat. 

Selain itu, pandangan kedua tokoh juga mempunyai hubungan atau titik temu yang terdapat pada aspek kemampuan dari tiap tahapan yang dilewati dalam tiap proses

In line wit h O’Malley Pierce and Kayi (2006 :1) state that the teaching of speaking is very important part of second language learning because it is clearly and

Penalaran analogi siswa yang memiliki gaya belajar Diverger (Di) dalam memecahkan masalah matematika adalah dengan meuliskan informasi dari soal 1 ( soal sumber),

Sebelum Komisi Kepegawaian Negara dibentuk, pertimbangan, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural Eselon I

PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL KEPALA SEKOLAH TERHADAP MOTIVASI KERJA GURU DI SMK PGRI 2 CIMAHI.. Uni versitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Logam berat yang masuk ke dalam tanaman akan berikatan dengan unsur. hara lain dan mengalami immobilisasi ke bagian tanaman tertentu dan