• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RESEPSI PENONTON PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN DI FILM Analisis Resepsi Penonton Perempuan Yan Sudah Menikah Terhadap Kekerasan Pada Perempuan Di Film Die Fremde (When We Leave).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS RESEPSI PENONTON PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN DI FILM Analisis Resepsi Penonton Perempuan Yan Sudah Menikah Terhadap Kekerasan Pada Perempuan Di Film Die Fremde (When We Leave)."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESEPSI PENONTON PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN DI FILM

DIE FREMDE (WHEN WE LEAVE)

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1 Ilmu Komunikasi

Oleh : AISYAH FATIN

L 100 080 074

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)

ANALISIS RESEPSI PENONTON PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP KEKERASAN PADA PEREMPUAN DI FILM

DIE FREMDE (WHEN WE LEAVE)

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana S-1 Komunikasi

Diajukan oleh : AISYAH FATIN

L 100 080 074

(3)
(4)
(5)
(6)

PENDAHULUAN

Peran film dalam masyarakat sebagai salah satu media komunikasi saat ini berpengaruh besar, karena film juga mempunyai banyak andil dalam pembentukan pola pikir masyarakat. Berbagai macam cerita yang ditampilkan di dalamnya, sedikit banyak dan secara tidak langsung bisa mengubah pola pikir masyarakat atau penonton setelah menonton film tersebut. Hal ini juga bisa dikatakan kekuatan film sebagai salah satu media komunikasi. Content film sendiri bisa terdiri dari berbagai macam tema, antara lain kriminalitas, heroik, seks, kekerasan, percintaan, budaya, gender dan lain sebagainya.

Isu gender sendiri telah banyak diperbincangkan dan menjadi topik utama dalam masyarakat yang juga diangkat ke dalam film, seperti beberapa film Indonesia, antara lain Ayat-ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Jamila dan Sang Presiden, Arisan!, dan masih banyak lagi. Bahasan gender pun juga berbagai macam, mulai dari kekuasaan laki-laki atau perempuan, serta ketidak-adilan atau diskriminasi yang diterima perempuan itu sendiri. Diskriminasi muncul dalam berbagai aspek; seperti pendidikan, kehidupan sosial, budaya, agama, bahkan sampai kepada aspek rumah tangga. Diskriminasi ini juga mencakup perbedaan peran dan hak antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.

Disinilah peran film sebagai reflektor sangat berpengaruh di dalam masyarakat. Terkadang di dalam film, hal-hal yang dimunculkan seolah-olah adalah suatu kewajaran atau mereka menganggap hal

itu biasa terjadi. Tetapi di sisi lain, penonton atau masyarakat juga harus pintar memaknai film yang ada. Adapun jika kita bisa menilik lebih dalam film bertema gender saat ini, tak sedikit juga dari film-film tersebut merupakan film yang menggambarkan keadaan sosial realitas masyarakat.

Seperti halnya kekerasan dalam rumah tangga, dimana hal tersebut masih sangat sering kita temui dalam kehidupan masyarakat kita. Banyak perempuan dalam kesehariannya masih mendapat diskriminasi dalam berbagai hal, walau tak sedikit juga dari mereka yang telah mendapatkan haknya atau sedang berjuang dan mempertahankan haknya dalam kehidupan masyarakat. Memang seharusnya perempuan di era modern seperti sekarang berhak menentukan dan mendapatkan hak dalam pendidikan dan juga pekerjaan.

Sedangkan dalam rumah tangga sendiri, sering terjadi kekerasan fisik maupun mental terhadap perempuan yang berujung perceraian. Hak pengasuhan anak pun menjadi permasalahan baru yang muncul setelahnya. Tak sedikit juga kaum laki-laki yang menginginkan hak asuh anaknya jatuh ke tangan mereka, Walaupun dalam beberapa aturan sudah disebutkan bahwa anak di bawah umur hak asuh diberikan kepada ibunya. Masalah pengasuhan anak pun menjadi ancaman tersendiri bagi perempuan.

Seperti yang digambarkan dalam film

Die Fremde (When We Leave) yang

(7)

sendiri di Jerman serta melawan tekanan dari keluarganya. Memulai perjuangannya yang dinamis, yang menghasilkan situasi yang mengancam jiwa.

Dari film ini, diharapkan masyarakat bisa menilai dan memaknai isi film tersebut. Apakah bisa disebut wajar ketika kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan terjadi, di tengah-tengah masyarakat kita yang telah mengenal adanya emansipasi wanita. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi dari perempuan oleh suaminya, tetapi juga terdapat beberapa kasus yang menjadikan pacar, kerabat bahkan keluarga seperti ayah atau kakak laki-laki sebagai pelaku kekerasan tersebut. Seperti yang diceritakan dalam film, seorang wanita Turki yang memilih pergi dari suaminya yang berlaku kasar dikatakan sebagai wanita yang tidak baik oleh masyarakat Turki yang tinggal di Jerman. Selain mendapatkan tekanan dari suami, wanita ini juga mendapatkan tekanan dan teror dari keluarganya sendiri. Sedangkan, dalam lingkungan barunya di Jerman, dia mendapat dukungan dari teman-temannya untuk membebaskan diri dari kekangan dan kekerasan yang dialaminya.

TINJAUAN PUSTAKA

Kekerasan Terhadap Perempuan

Kajian tentang kekerasan yang berperspektif juga memasuki komunitas yang paling privacy, yakni keluarga yang selama ini dianggap tempat yang paling aman dan bebas dari tindakan kekerasan, ternayata tak terbukti. Domestic violence, yakni kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, dilakukan antar anggota keluarga seperti abuse of wife, child abuse, marital

rape dan tindak kekerasan antar-anggota keluarga lainnya kerap terjadi dalam rumah tangga (Sihite, 2007: 234).

Diantara kasus kekerasan dalam rumah tangga, sebagian besar korban atau pihak yang dirugikan adalah perempuan. Tidak hanya kekerasan fisik yang menyebabkan luka pada tubuh yang biasa mereka alami, tetapi juga kekerasan secara verbal dan atau penyiksaan secara batin, yang bisa menyebabkan pengaruh kepada psikologi kejiwaan dari korban tersebut.

Pelaku kekerasan berbasis gender yang kebanyakan dialami perempuan ini biasanya tidak jauh dari orang-orang terdekat yang ada. Paling banyak adalah dilakukan oleh suami, ayah atau saudara kandung sendiri. Bahkan pacar yang belum mempunyai ikatan pun bisa melakukan kekerasan tersebut.

Gender Dalam Media

Bias gender sering kali ditampilkan dalam media. Banyak film atau acara yang memberikan sebuah hiburan yang menyinggung atau merendahkan salah satu gender. Seperti dengan menampilkan laki-laki dengan dandan wanita beserta sikap yang menyerupai wanita. Atau yang banyak dialami wanita, banyak dari mereka hanya menjadi bahan eksploitasi oleh media. Media menampilkan seksualitas wanita atau menampilkan wanita sebagai sosok teraniaya atas pria, tak jarang wanita ditampilkan sebagai sosok yang lemah.

(8)

dan kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih, 1996: 8-9)

Media mencerminkan tiga tema yang berkaitan dengan gender. Pertama, perempuan dan minoritas kurang terwakili. Kedua, laki-laki dan perempuan digambarkan terutama dalam cara yang mencerminkan stereotip dan mereproduksi pandangan konvensional gender. Ketiga, hubungan antara pria dan wanita biasanya digambarkan sebagai konsisten dengan peran gender dalam hubungannya kekuasaan (Wood, 2007: 258)

Media yang paling sering mewakili anak laki-laki dan laki-laki sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak terlibat dalam hubungan manusia, dan mewakili anak perempuan dan perempuan sebagai muda, tipis, indah, pasif, tergantung, dan sering tidak kompeten (Wood, 2007: 259).

Meskipun media terkadang menghadirkan wanita dalam peran tradisional atau dengan kualitas non-tradisional, sebagian besar media mencerminkan terbentuknya stereotype budaya perempuan dan feminitas. Stereotype yang paling banyak adalah perempuan sebagai objek seks, dan itu terus mendominasi media (Wood, 2007: 262) . Encoding Decoding

Dalam model komunikasi televisual

Hall (1973), sirkulasi ‘makna’ dalam

wacana televisual melewati tiga momen

yang berbeda: ‘masing-masing punya

kondisi eksistensi dan modalitasnya yang

spesifik’. Pertama-tama para professional media memaknai wacana televisual dengan suatu laporan khusus mereka tentang, misalnya, sebuah peristiwa sosial yang

‘mentah’. Pada momen dalam sirkuit ini,

serangkaian cara melihat dunia

(ideologi-ideologi) berada ‘dalam kekuasaan’

(Storey, 2006: 12).

Momen produksi media dibingkai seluruhnya oleh makna-makna dan ide-ide; praktik pengetahuan yang menyangkut rutinitas produksi, secara historis mendefinisikan keahlian teknis, ideologi profesional, pengetahuan institutional, definisi dan asumsi, asumsi tentang khalayak dan seterusnya membingkai komposisi program melalui struktur produksi ini. Lebih lanjut, meskipun struktur produksi televisilah yang memulai wacana televisi, ia bukan merupakan sistem tertutup (Storey, 2006: 12)

Dengan demikian, para profesional media yang terlibat didalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial

‘mentah’ di-encoding dalam wacana. Akan tetapi, pada momen kedua, segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni, segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan

wacana ‘bebas dikendalikan’ (Storey, 2006:

13)

Akhirnya, pada momen ketiga, momen decoding yang dilakukan khalayak, serangkaian cara lain dalam melihat dunia (ideologi) bisa dilakukan dengan bebas. Seorang khalayak tidak dihadapkan dengan

peristiwa sosial ‘mentah’ melainkan dengan

terjemahan diskursif dari suatu peristiwa.

Jika suatu peristiwa menjadi ‘bermakna’

bagi khalayak, pastilah peristiwa itu menyertakan interpretasi dan pemahaman

terhadap wacana. Jika tidak ada ‘makna’

yang diambil, maka boleh jadi tidak ada

‘konsumsi’. Jika makna tidak

(9)

ada efek. Jika seorang khalayak bertindak atas dasar decoding-nya, maka tindakan ini menjadi praktik sosial itu sendiri, sebuah

peristiwa sosial ’mentah’, yang siap untuk

di-encoding dalam wacana lainnya. Jadi, melalui sirkulasi wacana, produksi menjadi reproduksi untuk menjadi produksi lagi. Sirkuit bermula dalam yang sosial dan berakhir, untuk selanjutnya memulai lagi, dalam yang sosial (Storey, 2006: 14).

Tahapan decoding yaitu pada proses memproduksi makna dan membagikan kepada orang lain. Hall menurunkan dan mengelaborasi gagasan Parkin mengenai 3 sistem pemaknaan dasar yang digunakan individu untuk menafsirkan atau memberi respon terhadap persepsinya mengenai kondisi dalam masyarakat. Ia menunjukkan bahwa 3 sistem tersebut terkait dengan cara pembaca men-decode teks media. Ketiga sosial yang mengelilingi pembaca menyerupai preferred readings.

2. Sistem Subordinat (Negotiated Readings), merupakan sistem atau kode yang dinegosiasikan. Dalam hal ini, nilai-nilai dominan dan struktur yang ada dalam preferred readings diterima, namun nilai-nilai tersebut digunakan sebagai penegasan bahwa situasi sosial yang ada perlu diperbaiki

3. Sistem Oposisional (Oppositional Readings), merupakan sistem atau kode yang menolak versi dominan dan nilai-nilai sosial dari preferred readings. Pembaca menempatkan pesan dalam sistem makna

yang secara radikal berlawanan dengan makna dominan.’

Reception Studies

Reception Analysis adalah sebuah metode yang membandingkan antara analisis tekstual wacana dan media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan konteks atas isi media lain (Jensen, 1993: 139)

Reception Analysis merupakan

pengkajian atas makna isi media berdasarkan persepsi khalayak, bagaimana proses persepsi tersebut dilakukan oleh khalayak, bagaimana penggunaan media tersebut oleh khalayak, dan bagaimana peranan persepsi khalayak terhadap isi media tersebut. Reception Analysis memandang khalayak sebagai khalayak aktif dan dikaji menggunakan metode kualitatif mendalam berdasarkan isi media dan perilaku khalayak yang dijadikan informan (McQuail. 1997: 19-20)

Analisis resepsi memfokuskan perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atau teks media, dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran dalam Hadi, 2008: 3)

Penggunaan metode penelitian

reception analysis digunakan dalam

melakuakan penelitian ini, yang dimana data didapat dari mengembangkan pertanyaan-pertanyaan (wawancara) kepada objek melalui in-depth interview.

(10)

bukunya mengatakan, “In two words, reception analysis assumes that there can

be no „effect‟ without „meaning‟”. Yaitu pesan yang dikonstruksikan oleh pengirim pada dasarnya telah mengharapkan adanya efek yang diterima oleh penerima pesan, akan tetapi pada konteks reception. Pesan yang diterima oleh khalayak tidak selalu linier seperti apa yang diharapkan oleh produsen pesan tersebut (Jensen & Jankowski, 2003: 135)

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis resepsi. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggali pemaknaan khalayak atau informan mengenai film Die Fremde (When We Leave). Reception

Analysis adalah sebuah metode yang

membandingkan antara analisis tekstual wacana dan media dan wacana khalayak yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan konteks atas isi media lain (Jensen, 1993: 139).

Penelitian dengan menggunakan analisis resepsi dapat melihat bagaimana khalayak atau informan memaknai isi dari film Die Fremde (When We Leave), dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda. Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian analisis resepsi ini adalah khalayak yang telah menonton objeknya, yakni film Die Fremde (When

We Leave), yang selanjutnya disebut

sebagai informan.

Wanita yang sudah menikah dianggap tepat untuk menjadi informan dalam

penelitian ini, karena film ini yang menceritakan tentang seorang perempuan yang telah menikah. Latar belakang yang berbeda-beda dari para informan bisa memberikan pemaknaan tersendiri dari setiap informan yang telah menonton film tersebut.

Adapun kriteria dalam menentukan sampling ini adalah penonton wanita yang sudah menikah. Infroman berasal dari latar belakang, yaitu ibu rumah tangga, wanita pekerja kelas menengah dan juga mahasiswi dengan usia rata-rata 20-30, karena pada film tersebut diceritakan seorang ibu muda berusia 25 tahun. Pada khususnya, ibu rumah tangga warga Rt.01/Rw.14 Mlinjon Tonggalan Klaten, wanita pekerja yang bekerja pada bagian pelayanan dan administrasi PT. PLN (Persero) Area Klaten, sedangkan untuk mahasiswi adalah mahasiswi Program Studi Komunikasi UMS.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara: a). Wawancara kepada informan dilakukan secara mendalam

(in-depth interview) dengan

pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan keterkaitan dengan objek penelitian. b). Peneliti menulis hasil wawancara mendalam itu dan menulis hasil analisis, bagaimana penerimaan khalayak terhadap film Die Fremde (When We Leave).

Teknik Analisis Data

(11)

posisi reception informan (accepting,

negotiated, oppositional dan aspek

perbedaan latar belakang (mahasiswi, wanita pekerja, ibu rumah tangga). Menganalisis, selanjutnya, peneliti akan menganalisis adegan-adegan tersebut dengan analisis penerimaan serta hasil wawancara dan penerimaan para informan yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan tertulis. Dari hasil analisis akan didapatkan para informan tersebut termasuk dalam jenis yang mana dalam memahami kekerasan dalam rumah tangga.

HASIL PENELITIAN Encoding

Dalam film Die Fremde (When We

Leave) perbedaan gender dimunculkan,

utamanya dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Perempuan mendapatkan diskriminasi ketika dia memilih untuk pergi dari suaminya yang melakukan tindak kekerasan. Di usianya yang masih muda namun sudah memiliki anak, ibunya melarang untuk melanjutkan pendidikan sesuai keinginannya.

Di film tersebut juga dimunculkan adegan ketika Umay diminta ayahnya untuk kembali ke suaminya. Pada saat itu Umay berbalik meminta kepada ayahnya untuk memberika dia kebebasan dalam menentukan hidupnya sendiri, namun ayah Umay tetap tidak setuju dengan keinginan Umay tersebut.

Yang berikutnya adalah ketika Ayah dan Ibu Umay berharap Umay terlahir sebagai seorang anak laki-laki. Mereka pikir dengn begitu Umay tidak akan mempermalukan keluarganya karena meninggalkan suami

yang memberikan perlakuan kasar kepada Umay, serta membawa anaknya ikut bersama Umay.

Tindakan kekerasan lainnya juga dimunculkan dalam film tersebut, seperti ketika suami dan kakaknya memperlakukan Umay dengan kasar, mendorong dan lain sebagainya. Serta ketika keluarganya sendiri mulai memusuhi Umay karena Umay dianggap sebagai pembawa malu bagi keluarga. Ancaman dari keluarganya sendiri pun terus didapatkan oleh Umay, mulai dari teror sampai upaya kakak dan adiknya untuk membunuh Umay.

Decoding

Pendapat informan I tentang posisi keluarga Umay sendiri adalah penuh dengan konflik. Di satu pihak ibu Umay sangat mendukung Umay, tetapi di lain sisi ayahnya juga menentang keputusan Umay yang ingin berpisah dengan suaminya. Disini ayahnya tetap berpegang pada prinsipnya sendiri. Sedangkan adik-adiknya juga salah jika harus mengikuti ayah mereka, dimana seharusnya Umay mendapatkan perhatian lebih dari masalah keluarga yang dia hadapi.

Film ini menurut informan I, tidak secara umum menggambarkan situasi dan kondisi di lingkungan sekitar informan. Menurutnya, orang tua seringnya membela anak-anaknya, apalagi dari suami yang tidak baik. Jadi kondisi seperti film ini tidak pernah ditemui sendiri oleh informan.

(12)

bertahan dengan kondisinya, juga saat dia mempertahankan anaknya untuk tetap bersama dia.

Informan II menganggap, hal-hal yang dilakukan keluarga Umay adalah hal yang tidak benar. Menurut informan, jika memang keluarganya tidak mau menerima Umay karena Umay dianggap mempermalukan nama baik keluarga, lebih baik langsung saja melepaskan Umay dari kehidupan keluarga. Jadi kekerasan tidak perlu dialami dan dilakukan oleh keluarga Umay, lebih baik membebaskan Umay, biarkan masalah tersebut menjadi masalah Umay dan suaminya saja.

Untuk film Die Fremde (When We Leave), bagi informan III mempunyai kesan yang sangat mendalam, apalagi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Anak disini menjadi korban dari permasalahan orang tuanya. Tidak hanya menyangkut orang tua saja, tetapi sudah dua rumah tangga, dari keluarga Umay sendiri dan keluarga suaminya. Jadi semua itu bermasalah dan mengganggu mentalitas dari anak itu sendiri. Menurut informan, perbedaan gender dalam film ini sangat terlihat sekali, dimana ketika keluarga Umay mengalami masalah tersebut, seperti hanya anak laki-laki yang pegang kendali, dan terkesan kalau anak perempuan kurang di dengarkan dalam keluarga. Seharusnya sebagai orang tua kan mengerti, membantu, bukan mengintimidasi dan seakan-akan tidak peduli dengan anak perempuannya. Padahal Umay sedang membutuhkan bantuan, apalagi dia memiliki seorang anak. Bagi informan, film ini sangat menyedihkan.

Informan menganggap, apa yg dilakukan keluarga Umay terhadap Umay itu adalah hal yang kurang tepat. Keluarga

seharusnya tetap mengayomi anaknya, menuntun anaknya ke arah yang lebih baik, berempati, lebih mengerti dengan kondisi anaknya, dan mengerti mengapa Umay bisa menjadi keras seperti itu. Ada latar belakang di balik sikap Umay yang seperti itu. Jadi keluarga harus lebih mengerti, bukan malah memperlakukan kasar dan menghakimi.

Informan IV kali ini mempunyai hobi menonton film dengan genre action. Untuk film gender sendiri, informan mengaku belum pernah melihat tetapi juga tertarik dengn film bertema gender. Karena sebelumnya informan belum pernah melihat film dengan tema gender, jadi informan belum bisa membandingkan atau membedakan antara film Die Fremde (When We Leave) dengan film bertema gender lainnya.

Sedangkan dalam film ini, banyak sekali adegan yang juga membuat informan ikut terbawa emosi, yaitu setiap adegan kekerasan yang ada. Kekerasan yang sering di dapat Umay mulai dari suami, keluarga, adik-adiknya. Menurut informan, kekerasan yang ada dalam film tersebut sudah tidak wajar.

Untuk film Die Fremde (When We Leave) ini sendiri menurut informan V hampir sama dengan cerita film gender lainnya. Karena disini wanita selalu diposisikan sebagai makhluk yang lemah, yang padahal sebenarnya perempuan bisa melakukan hal-hal yang lebih daripada laki-laki.

(13)

Umay berada di pernikahan adiknya, yang ditarik paksa keluar dari pesta pernikahan adiknya tersebut.

Untuk keluarga Umay sendiri, informan menganggap bahwa apa yang dilakukan mereka adalah hal yang kurang tepat. Bagaimanapun juga tidak pantas jika anak sendiri dianiaya oleh keluarganya. Seharusnya keluarga Umay memberikan pengertian kepada suami Umay dan membela Umay. Bukan salah Umay jika sampai Umay meninggalkan suaminya karena diperlakukan kasar. Untuk kejadian seperti yang dialami Umay di lingkungan sekitar informan, menurut informan belum pernah ada cerita seperti itu. Tetapi menurut informan, mungkin kejadian seperti itu di daerah lain masih saja bisa terjadi.

Sedangkan menurut informan VI, film Die Fremde (When we Leave) ini lebih terlihat pada kekerasan terhadap perempuan. Dimana perempuan itu mendapatkan perlakuan yang tidak adil, baik dari suami maupun keluarganya. Disaat suami melakukan kekerasan, dan akhirnya Umay mengadu kepada orang tuanya, dan orang tua Umay berbalik meminta Umay untuk kembali ke suaminya. Sehingga menjadi sebuah polemik yang membuat Umay ini bingung. Di satu sisi dia ingin safe, merasa aman di dalam keluarganya sendiri, tetapi dia tidak di dukung oleh keluarganya. Adegan terakhir, membuat informan satu ini juga ikut terbawa emosi. Dan ternyata dalam sebuah konflik pasti selalu ada korban, yang di film ini korban itu adalah anaknya sendiri. Sebenarnya konflik ini terjadi antara dua orang dewasa, dan yang menjadi korban ini bukan satu diantara mereka

tetapi anaknya sendiri. Lalu adegan saat Umay datang ke pernikahan adiknya, yang sesampainya disana Umay di usir dengan cara yang sangat kasar dan di depan umum. Lalu adegan yang saat diperlihatkan bekas luka Umay saat dia selesai mandi dan mengobrol dengan ibunya. Ternyata ibunya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.

PEMBAHASAN

Dari fokus permasalahan yang telah diteliti oleh peneliti, yaitu mengenai pemaknaan yang diberikan penonton yang sudah menikah terhadap film Die Fremde

(When We Leave). Pemilihan informan

(14)

untuk dirinya, apalagi ketika mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Pada hasil wawancara, memang ditunjukkan hampir seluruh informan mempunyai tanggapan yang sama. Banyak dari emreka berada pada posisi oppositional dalam banyak hal di film Die

Fremde (When We Leave) ini, dimana

mereka menolak versi dominan yang ditawarkan oleh film ini. Tapi dalam hal tertentu, beberapa dari informan berada pada posisi negotiated untuk hal-hal tertentu, khalayak pada posisi ini bisa menerima apa yang dimunculkan dalam film Die Fremde (When We Leave), tetapi mereka tetap mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan apa yang dimunculkan. Pada perbedaan gender dan kekerasan terhadap perempuan di film Die Fremde (When we Leave) ini informan mempunyai pendapatnya masing-masing tentang apa yang dimunculkan.

Oppositional

Penerimaan makna oleh ibu rumah tangga ini dapat disimpulkan bahwa nilai perbedaan peran berdasarkan film Die Fremde (When We Leave) yang diterima informan I dan informan II berada pada posisi oppositional atau tidak sesuai dengan para informan tersebut. Kedua informan tidak setuju dengan adanya pembedaan dalam menerima hak dan melakukan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

Seperti dalam adegan ketika Umay menginginkan untuk kembali melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan, ibunya yang tidak setuju karena menganggap Umay di usia 25 tahun sudah terlalu tua untuk hal itu, apalagi Umay sudah mempunyai satu orang anak. Walaupun

sekarang hanya sebagai ibu rumah tangga, kedua informan yang pernah menduduki bangku kuliah ini tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibu Umay. Bagi informan I (Cory Helena) sendiri, usia dan anak bukanlah hal yang bisa menghalangi bagi siapapun untuk mendapatkan pendidikan serta pekerjaan. Sedangkan bagi informan II (Rima Muthi), hal wajar jika Umay menginginkan bekerja dan melanjutkan pendidikan, karena posisi Umay sendiri sudah ingin terlepas dari suaminya. Pada adegan ketika Umay mendapatkan perlakukan kasar yang sama seperti yang suami dan kakaknya lakukan, yaitu mendorong Umay dengan kasar, informan I dan II tidak ada yang membenarkan perlakuan tersebut.

(15)

kekuatan, maka dari itu dia berlaku kasar kepada Umay. Sedangkan pada adegan ketika ibu Umay melihat bekas luka di punggung Umay, yang ada di pikiran informan, kekerasan yang dialami Umay sudah parah. Sebenarnya ibunya kasihan dengan Umay, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa pada posisinya yang juga sebagai perempuan di keluarga tersebut.

Yang terakhir bagi informan VI adalah adegan ketika ternyata ada bekas luka di punggung Umay dan ibunya melihat. Ternyata ibunya pun juga tidak bisa berbuat apa-apa karena posisinya sebagai wanita dalam keluarga itu, yang dimana anggapan informan bahwa suara wanita dalam keluarga tersebut tidak di dengar dan harus menurut juga dengan aturan yang mengikat.

Negotiated

Tidak banyak dari seluruh informan berada pada posisi negotiated. Hanya pada adegan tertentu saja yang beberapa dari mereka masih bisa menerima kondisi seperti yang dimunculkan, tetapi dengan kondisi-kondisi tertentu. Adegan pengusiran dan penusukan anak Umay yang dilakukan oleh kakak Umay sendiri menjadi adegan yang paling menguras emosi informan.

Informan III dan IV juga berada pada posisi negotiated untuk beberapa makna yang ditawarkan oleh film Die Fremde (When We Leave), sama seperti informan II. Sedangkan informan IV berada pada posisi negotiated, ketika pada adegan ketika Umay dan suaminya terlibat percek-cokan di depan umum, yang dimana disana ada orang tua Umay juga. Saat suami Umay berusaha mengambil anaknya dari Umay.

Untuk adegan saat ibu Umay melarang Umay kembali melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan, informan III berada pada posisi negotiated karena baginya saat itu tidak ada yang benar atau yang salah.

Selanjutnya bagi Astrid Bunga yang sebagai wanita pekerja, Umay ada benarnya jika dia mendapatkan pekerjaan dan melanjutkan pendidikan walaupun dia sudah mempunyai anak, tetapi Umay juga salah jika dia tidak terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan dengan suami.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari penelitian yang sudah dilakukan, peneliti menemukan bahwa banyak dari informan menerima makna oposisi yang ditawarkan oleh film Die Fremde (When

We Leave), tetapi ada juga yang

memaknainya dengan negosiasi pada situasi tertentu. Dalam kategorisasi encoding-decoding Stuart Hall, mereka termasuk dalam kategori oppositional

readings. Yaitu, penonton film ini

mengambil makna yang mengandung arti dalam film tersebut dan men-decode-nya dengan menolak versi dominan dan nilai-nilai dari preffered readings yang ditawarkan oleh media. Khalayak sudah mempunyai pemahaman yang tidak sama, pandangan komunikator dan komunikan berbeda atas kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada film Die Fremde (When

We Leave). Sedangkan pada posisi

(16)

tersebut, tetapi pada kondisi-kondisi tertentu.

Pengamatan yang telah dilihat para informan sejauh ini menunjukkan apa yang ditampilkan oleh film Die Fremde (When We Leave) ini tidak sesuai dengan apa yang terjadi di sekitar mereka. Menurut para informan, kekerasan terhadap perempuan tidak perlu terjadi hanya karena perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, baik dalam masyarakat atau pun keluarga. Walaupun masing-masing informan mempunyai latar belakang yang berbeda, tetapi mereka semua tidak setuju dengan kekerasan yang ada pada film Die Fremde (When We Leave) ini.

Saran

Pada penelitian lebih lanjut untuk objek film Die Fremde (When We Leave) ini, dapat dilakukan dengan menggunakan perspektif lain seperti metodologi kuantitatif, sehingga diharapkan dapat meneliti konsep-konsep gender dan kekerasan terhadap perempuan secara obyektif dan terukur.

Jika penelitian ini menggunakan analisis resepsi dengan menggunakan penelitian konstruktivis. Dengan orang yang ahli dalam bidangnya dijadikan sebagai subjek, ada kemungkinan hasil penelitian akan lebih mendalam daripada jika khalayak secara umum yang memaknai.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory, and Practice, London : Sage Publications

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Sosial Pustaka Pelajar

Hadi, Ido Prijana. 2008. Penelitian Khalayak

Dalam Perspektif “Reception

Analysis”. Jurnal Ilmiah

SCRIPTURA, vol. 2

Jensen, Klaus Bruhn dan Jankowski, Bicholas W. 1993. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass

Communication Research, London

and New York : Routledge

Jensen, Klaus Bruhn & Jankowski, Nicholas W. 2003. A Handbook of Communication Research, New York : Routledge

McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis, London : Sage Publications

Sihite, Roman. 2007. Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Storey, John. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Yogyakarta : Jalasutra

Wood, Julia T. 2007. Gendered Lives,

Communication, Gender and Culture,

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan terhadap panjang dan lebar stomata pada beberapa somaklon tersebut menunjukkan adanya perubahan menjadi lebih pendek dan lebih sempit dibandingkan tanaman induk

Metode yang digunakan adalah metode sejarah yakni Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik Sumber (intern dan ekstern), Interpretasi sejarah, dan tahap akhir dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel tingkat pelayanan ( Level Of Service ) yang mempengaruhi pengguna angkutan umum bus kota di Surakarta dan

A variety of studies have shown that acute treatment with nicotine or nicotinic agonists can improve working mem- ory function in the radial arm maze in rats (Decker et al 1995;

[r]

At 12 months the group of patients who had received the 24-mg dose of galantamine in the double-blind phase had preserved cognitive function, as indicated by a mean change from

[r]

In considering therapeutic approaches to AD and the use of cholinergic drugs, one is reminded of the great com- plexity of the nicotinic cholinergic system in the CNS, which is due