BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG
HARAJUKU
2.1 Sejarah Harajuku
Jepang adalah tempat dimana setiap orang bersifat individu tapi suka
berada dalam kelompok. Jika kita mengunjungi taman pada jam tertentu di setiap
hari sabtu, kita akan melihat ratusan anak laki-laki berpakaian seperti penyanyi
rock dan skater, menari dengan alunan musik rock and roll, mereka sangat serius.
Jadi tidak mengherankan juga jika anak perempuan ingin menampilkan mode
inovatif yang tidak ada atau belum pernah terlihat sebelumnya, mereka ingin
melakukannya di tempat yang sama, pada waktu yang sama dan tempat itu adalah
distrik.
Ada sebuah tempat yang sangat populer di sekitar stasiun JR, Distrik
Shibuya Tokyo. Lokasinya mencakup sekitar Kuil Meiji, Taman Yoyogi,
pusat perbelanjaan Jalan Takeshita, department store Laforet dan Gimnasium
Nasional Yoyogi. Sekitar tahun 1980-an, merupakan tempat berkembangnya
subkultur Takenoko-zoku yaitu lokasi dimana anak-anak muda berdandan atau
berbusana aneh dan menari-nari di jalanan.
Kelompok remaja ataupun anak muda berbusana bisa dijumpai di kawasan
ini. Selain itu, anak-anak sekolah dari berbagai pelosok di Jepang sering menjadikan
Sebelum zaman Edo, Harajuku merupakan salah satu kota penginapan
bagi orang yang bepergian melalui rute jalan utama Kamakura. Tokugawa leyasu
menghadiahkan sebuah tanah kosong kepada ninja yang membantu melarikan diri
dari Sakai setelah terjadi insiden Honji. Di zaman Edo, kelompok ninja dari Iga
mendirikan markas di tanah itu untuk melindungi kota Edo karena letaknya yang
strategis yaitu di bagian selatan jalan utama Keshi.
Di zaman Meiji, tanah kosong itu dibangun sebagai kawasan penting yang
menghubungkan kota Tokyo dengan wilayah sekelilingnya. Pada tahun 1906
stasiun JR dibuka sebagai bagian dari perluasan jalur kereta api, setelah itu
OMOTESANDO (jalan utama menuju ke kuil) di bangun pada tahun 1919,
setelah kuil Meiji didirikan dibuka beberapa department store pada tahun 1970
dan menjadi terkenal diseluruh Jepang setelah diliput majalah fashion ANAN dan
NON-NO. Pada waktu itu, kelompok gadis-gadis yang disebut anon-zoku sering
dijumpai berjalan-jalan di kawasan dan gaya busana mereka meniru busana yang
dikenakan model majalah anan dan non-no. Setelah makin ramai banyak butik
yang menjual barang dari merek-merek terkenal dan mulai berkembang di
OMOTESANDO tahun 1990-an, Omotesando adalah jalan yang sangat panjang
dengan kafe dan butik fashion kelas atas dan sangat populer bagi penduduk sekitar
dan turis. Berjalan kaki di hari minggu dan merupakan tempat yang sempurna
2.2 Perkembangan Gaya Busana Harajuku
Street Fashion di Jepang Fashion selalu menarik untuk dijadikan topik
pembicaraan, karena fashion selalu bersifat dinamis merepresentasikan suatu
zaman dan masyarakat yang hidup di masa tersebut. Fashion juga bisa
merepresentasikan identitas seseorang; hal pertama yang dinilai oleh orang lain
sebelum mengenal kita lebih jauh, mau tak mau, adalah gaya penampilan kita.
Fashion dapat kita bedakan menjadi high fashion dan street fashion. High fashion
pola penyebarannya dari atas ke bawah, atau dari desainer fashion profesional ke
media lalu ke masyarakat; sedangkan street fashion justru kebalikannya, polanya
dari bawah ke atas; artinya yang memperkenalkan idenya adalah orang awam
(masyarakat), diangkat oleh media lalu disempurnakan idenya oleh desainer
fashion profesional. Beberapa negara lebih dikenal akan high fashionnya, sebut
saja Inggris, Perancis ataupun Itali. Ada juga yang dikenal akan high fashion
maupun street fashionnya seperti Amerika, namun di Jepang uniknya masyarakat
dunia justru lebih familiar dengan gaya street fashionnya ketimbang high
fashionnya, terutama gaya atau style. Hal ini bisa terjadi karena ruang publik di
Jepang sudah sangat baik dan dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat
khususnya anak muda untuk memanfaatkan ruang publik sebagai wadah yang
menampung kreatifitas mereka, jalanan pun dapat dijadikan sebagai “catwalk”
atau “panggung” eksplorasi hobi bersama komunitas masing-masing. Jadilah
Tokyo sebagai pusatnya street style, tidak hanya untuk Jepang, tapi juga untuk
dunia. Surga street style di Tokyo sebenarnya tidak hanya,tapi Shibuya dan
Gaya , Shibuya, dan Akihabara adalah nama sebuah area distrik di Tokyo,
lokasinya berada di antara Shibuya, Aoyama, dan Shinjuku. Sejak tahun 1960-an,
telah menjadi pusat fashion di Jepang. Area tersebut terkenal akan banyaknya
toko-toko yang menjual pakaian, tas, alat make-up dan aksesoris dan toko-toko-toko-toko keren
lainnya. Style sangat beragam dan banyak gaya yang berbeda secara ekstrim,
mulai dari gaya inosen Lolita, gaya cool-casual Ura-Hara Kei hingga penampilan
dark-punk-androginy Visual Kei. menjadi lebih terkenal lagi di era 1980-an, hal
ini dikarenakan maraknya aksi street performance dan kostum yang menarik hasil
imajinasi para anak muda Jepang yang berkumpul bersama disana setiap hari
minggu, saat jalanan dengan butik fashion dan kafe-kafe papan atas di
Omotesando ditutup dari lalu lintas kendaraan. Salah satu ciri style yang paling
menonjol adalah merancang dan/atau re-modifikasi pakaian sesuai karakter diri si
pemakainya. Mereka bisa memodifikasi pakaian lama dengan sesuatu yang unik
sehingga menjadi gaya baru, misalnya dengan menambahkan aksesoris atau
mendekorasi pakaian sesuka imajinasi dan kreatifitas mereka. Dari segi dandanan,
jika dibandingkan dengan Shibuya, riasan wajah anak muda di biasanya lebih
natural, kawaii (manis) dan tidak berkesan seksi. Shibuya merupakan lokasi street
style terkenal di Tokyo setelah . Jika lebih didominasi oleh remaja berusia
belasan tahun, Shibuya lebih didominasi oleh wanita dan pria muda berusia 20-an.
Kelompok wanita muda yang eksis di Shibuya dengan evolusi gaya dan
penampilannya disebut Gals atau Gyaru sedangkan yang prianya disebut Gyaruo.
Dari zaman ke zaman para Gyaru berevolusi dengan gaya busana yang ekstrim
Di tahun1990-an gaya Gyaru yang fenomenal adalah Kogyaru yang inosen
namunseksi dengan seragam sekolahnya, namun di tahun 2000-an gaya Gyaru
yang fenomenal justru gaya slebornya Ganguro gals yang melabrak konsep cantik
di masyarakat Jepang, sedangkan untuk saat ini gaya Gyaru yang sedang trend
adalahOnee Gyaru yang terkesan dewasa dan mempesona dengan keglamorannya.
Ciri khas gaya Shibuya yang paling menonjol adalah riasan wajah dan tubuh
mereka yang nyaris sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki, mereka tak
segan menggunakan wig, bulu mata palsu, nail arts atau kuku palsu hias, dan alat
kosmetik yang selalu lengkap di dalam tas mereka.
Akihabara telah lama dikenal sebagai daerah pusat elektronik berkelas
dunia yang berada di Tokyo, Jepang. Dari barang elektronik baru hingga bekas
pakai dengan kualitas yang masih baik, ada disini. Tak heran jika para pecinta
anime dan video game pun kerap berkumpul dan berburu koleksiannya disini.
Budaya manga tidak hanya menghadirkan budaya turunan anime dan video games
saja, sejak tahun 1983 sebenarnya sudah terbentuk budaya turunan lainnya yang
disebut dengan Kosupure atau Cosplay singkatan dari kata “Costume” dan
“Role-play.” Cosplay baru dikenal dunia internasional sebagai salah satu budaya populer
Jepang sekitar tahun 2000-an seiring perkembangan internet dan gambar digital.
Cosplay memang bukan nama sebuah fashion style, namun di dalam budaya
tersebut ada kombinasi antara unsur bermain peran (penjiwaan peran sebagai
karakter dari manga/anime/videogames) dengan proses kreatifitas mendesain,
menciptakan dan mengenakan sebuah kostum yang dibuat sedemikian rupa
bertambah banyaknya komunitas Cosplayer maupun Otaku, Akihabara pun
menjadi salah satu kawasan street style yang unik dan memiliki ciri khas
tersendiri yaitu berkarakter dan memberikan kesan utopia baik itu dalam kostum
Uniform-Cosplay (Uni-Cos), Character Cosplay (Chara-Cos) maupun Cosplay
Doller (Animegao). Tokyo Street Fashion dan Cosplay di Indonesia Konsep
“kawaii-fashion” yang diusung oleh gaya street fashion Jepang pada umumnya,
sudah mulai memberikan pengaruh yang cukup kuat pada gaya berdandan dan
berbusana anak muda di Indonesia. Terbukti dengan makin menjamurnya
beberapa toko aksesoris yang kawaii seperti yang terdapat di dan Shibuya juga
toko-toko kostum bergaya Jepang seperti yang terdapat di Akihabara yang kini
dapat ditemui di kota-kota besar di Indonesia seperti di Bandung dan Jakarta,
bahkan di kota pinggiran Jakarta seperti Depok. Komunitas pecinta street fashion
Jepang dan juga Cosplay pun kini tidak hanya ada di Jakarta, Bandung, atau Jogja.
Di salah satu acara kreatifitas kampus di daerah Sulawesi juga pernah terlihat
booth Cosplayers meramaikan suasana. Saat acara peluncuran buku
HARA-SHIBU-BARA, Tokyo Street Fashion Paradise di toko buku Gramedia Depok 12
Mei 2012 bersama Gramedia Publishers, Gramedia Depok dan Japan Foundation,
saya dibantu oleh teman-teman dari komunitas Makumuro yang berasal dari
Bogor. Enam orang dari mereka yaitu Yudha Aditya (Kaoren), Dimas Denica
(Hiroyuki), M.Agum (Sora), Serena Celline, Eka Priyanti (Igocha), dan
Vincentius Handry Winata, masing-masing menunjukkan penampilan kostum
yang menarik; Uni-cos, Chara-cos, juga gaya Visual Kei yang merepresentasikan
(Mori Gyaru) yang merepresentasikan gayayang sudah diadopsi oleh komunitas
Gyaru di Shibuya. Anak-anak Makumuro tersebut melakukan performance yang
membuat para pengunjung merasakan sensasi utopia dunia fantasi Jepang yang
biasanya hanya mereka saksikan dalam dunia dua dimensi. Salah satu perwakilan
mereka yang juga seorang magician, yaitu Vincent, ikut bersama saya dan Ms.
Hashimoto Ayumi dari Japan Foundation di dalam talk show untuk berbagi
pengetahuan dan pengalaman kami mengenai budaya pop Jepang khususnya
tentang street fashion Jepang baik di Jepang maupun di Indonesia.
Di Indonesia, gaya street fashion Jepang yang paling sering di tampilkan
saat ada acara-acara bertemakan budaya Jepang adalah gaya Lolita khususnya
Gosurori, Visual Kei, Decora, dan kostum Cosplay baik Uni-cos maupun
Characos. Sejauh ini saya belum pernah melihat ada Cosplay Doller di Indonesia.
Sedangkan dalam kesehariannya, anak muda Indonesia kebanyakan bergaya street
fashion Jepang yang cenderung kasual misalnya dengan memakai topi fedora,
kaca mata berbingkai tebal ataupun sunglasses, T-shirt dipadu dengan vest atau
jaket, jeans dan aksesoris yang sederhana namun tetap gaya seperti pashmina atau
scarf berlogo merk-merk terkenal (Gucci, Fendi, LV, dan sebagainya) mirip
dengan gaya di Ura-atau Ura-Hara Kei. Ada juga remaja putri yang berani
berpenampilan kawaii,terlebih yang mengidolakan girlband Indonesia seperti
Cherrybelle dan JKT48, sehari-hari mereka bisa berdandan kasual yang manis
dengan paduan rok pendek mengembang atau celana pendek yang dipadukan
dengan legging atau kaus kaki panjang selutut, menggunakan baju berenda atau
muda dan baby pink mirip gaya-gaya Fairy Kei di . Saat ditanya oleh pengunjung
mengenai perbedaan Cosplay di Jepang dan di Indonesia, Vincent sepakat dengan
saya bahwa Cosplay di Jepang dan di Indonesia hampir sama, namun tidak seperti
di kompetisi Cosplay di Jepang yang membatasi karakter cosplay (hanya boleh
dari manga/anime/games Jepang), di Indonesia kreatifitas Cosplayers lebih
memiliki ruang gerak yang luas dalam berimajinasi dan mengkreasikan karakter
baru yang orisinal, di dalam kompetisi Cosplay, kreasi ini dimasukkan ke dalam
kategori Original Characters. Vincent memberikan contoh karakter Wayangbliz
Legends yang dikreasikan oleh komunitas Skoater Akademi, karakter imajinasi
tersebut memadukan ciri khas wayang Indonesia dengan gaya robot ala Jepang;
sedangkan saya sendiri pernah bertemu cosplay tokusatsu dengan karakter
Gatot-Gundam (paduan robot Gatot-Gundam dan wayang Gatot Kaca) di sebuah festival
budaya Jepang di salah satu mall di Depok, inilah yang membuat cosplay di
Indonesia semakin berwarna dan dapat menjadi wadah kreatifitas anak muda
Indonesia.
Tidak semua komunitas cosplayer merupakan komunitas yang berorientasi
mengikuti berbagai kompetisi, ada komunitas yang dibentuk hanya untuk
bersenang-senang dengan hobi yang sama yaitu berkreasi dan bereksplorasi
dengan kostum bernuansa Jepang. Menurut Adit, Makumuro --berasal dari kata
“Makmur Jaya” yang ‘diplesetkan’ menjadi ke-jepang-jepang-an--merupakan
komunitas cosplayers/pecinta budaya pop Jepang yang dibentuk untuk bergaul
dan bersenang-senang. Mereka rata-rata sudah familiar dengan budaya pop Jepang
acara-acara yang bertemakan Jepang saat SMU, seperti Eka yang awal
ketertarikannya bercosplay karena punya teman yang kenalannya seorang cosplay
costume-maker, atau Serena yang dikenalkan oleh Vincent ke komunitas
Makumuro, dan mengaku baru mencoba bercosplay saat di acara peluncuran buku
HARA-SHIBU-BARA, dan langsung merasa ketagihan. Vincent sendiri
tergabung juga di komunitas Cosplayer yang lebih “serius” mengikuti
kejuaraan-kejuaraan Cosplay bernama Machipot Indonesia. Gaya Gyaru Shibuya masih sulit
ditemukan di Indonesia, namun beberapa artis di Indonesia ada yang gayanya
menyerupai gaya gyaru terkini yang berkesan glamour, manis dan seksi, misalnya
Pinkan Mambo dandanannya mirip gaya Agejo yang seksi dengan rambut panjang
berwarna pirang, atau Syahrini yang selalu bermake-up sempurna dengan bulu
mata palsu, rambut ikal panjang, dan aksesoris yang “blink-blink” mirip gaya