• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN TANAH MAGERSARI KERATON YOGYAKARTA TAHUN 1984 – 2013 DAN RELEVANSINYA DALAM PENGAYAAN MATERI MATA KULIAH SEJARAH LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGELOLAAN TANAH MAGERSARI KERATON YOGYAKARTA TAHUN 1984 – 2013 DAN RELEVANSINYA DALAM PENGAYAAN MATERI MATA KULIAH SEJARAH LOKAL"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN TANAH MAGERSARI KERATON YOGYAKARTA TAHUN 1984 – 2013 DAN RELEVANSINYA DALAM PENGAYAAN MATERI MATA

KULIAH SEJARAH LOKAL1 magersari land of Yogyakarta Palace on the period 1984 – 2013, (2) The impact of the

full implementation of Basic Agrarian Law 1960 on Special Region of Yogyakarta on

the management of magersari land of Yogyakarta Palace, and (3) The relevance of management of magersari land of Yogyakarta on the period 1984 – 2013 in the enrichment of local history course material.

This research used historical method. There is four stage in process of historical research; heuristics, criticsm, interpretation, and historiography. Technique of analyzing the data used historical analysis, give priority to criticsm sharpness and data interpretation. The source of the research used primary resource and secondary resource.

The results of this research are : (1) The management of magersari land of Yogyakarta Palace on the period 1984 – 2013 is done by several parties, they includes royal servants, common people (non royal servant), and legal entity or institution equpped with serat kekancingan issued by Tepas Panitikismo, (2) The full implementation of Basic Agrarian Law 1960 on Special Region of Yogyakarta is not significantly affected on the management of magersari land of Yogyakarta Palace, because the status of magersari land is categorized as sultan ground which is under the autonom authority of Yogyakarta Palace. The magersari land is managed with custom rule of palace and it’s optionally registered on agrarian office. Magersari concept in the past was a traditional housing and settlement around the palace. In the present, the right to occupy of sultan ground is known as magersari (3) The relevance of the

management of magersari land of Yogyakarta Palace on the period 1984 – 2013 in the

enrichment of local history course material can be seen as the facility to extend the

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS Surakarta

(2)

PENDAHULUAN

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan propinsi yang dibentuk dengan

Undang – Undang No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan menggabungkan wilayah kekuasaan Keraton Kasultanan

Yogyakarta dan Kadipaten Pura Pakualaman. Berdasarkan sejarah penguasaan tanah di

Yogyakarta, tanah – tanah dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, tanah –

tanah bekas hak barat (eigendom dan opstal) yang diberikan kepada orang – orang non

pribumi. Kedua, tanah kasultanan dan pakualaman yang telah diberikan kepada

perseorangan dan pemerintah desa. Ketiga, tanah kasultanan (sultan ground) dan

pakualaman (pakualaman ground) yang belum diberikan kepada siapapun, berada di

bawah otonomi Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman (Anggraeni, 2012).

Pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah Republik Indonesia

mengeluarkan Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –

Pokok Agraria (UUPA) sebagai pedoman hukum tanah nasional. Ketentuan pasal 4

Undang – Undang No. 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta yang memberikan keistimewaan (otonomi) dalam bidang agraria

(pertanahan), mengakibatkan pemberlakuan UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta

harus dilakukan secara bertahap. Konversi dan pendaftaran tanah dilakukan terhadap

tanah – tanah bekas hak barat (eigendom, opstal) yang telah diberikan kepada orang –

orang non pribumi. Tahun 1984, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan

Keputusan Presiden No. 33 tahun 1984 juncto. Keputusan Menteri Dalam Negeri No.

66 tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Tanah kasultanan dan pakualaman yang telah diberikan kepada

perseorangan dengan hak milik perseorangan turun – temurun, dikonversi dan tunduk

pada ketentuan UUPA. Sedangkan tanah kasultanan (sultan ground) maupun

pakualaman (pakualaman ground) yang belum diberikan kepada siapapun, tetap berada

di bawah otonomi Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Sultan ground

(3)

milik orang lain. Penghuni tanah magersari Keraton Yogyakarta tidak mempunyai

sertifikat tanah, tetapi mendapat serat kekancingan (keputusan) yang dikeluarkan oleh

Tepas Panitikismo selaku lembaga adat Keraton Yogyakarta yang berwenang mengurus

sultan ground. Penghuni tanah magersari Keraton Yogyakarta harus mematuhi aturan

adat yang telah ditetapkan oleh Keraton Yogyakarta. Pengelolaan tanah magersari

Keraton Yogyakarta yang menjadi ciri khas pertanahan di Daerah Istimewa

Yogyakarta, merupakan kajian yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pengelolaan

tanah magersari Keraton Yogyakarta, dapat dikaitkan dengan materi mata kuliah

sejarah lokal. Penelitian difokuskan antara tahun 1984 sampai 2013 dengan

pertimbangan bahwa tahun 1984 adalah awal pemberlakuan UUPA secara penuh di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan tahun 2013 merupakan batasan awal

penerapan kebijakan penghentian sementara permohonan izin penggunaan sultan

ground dengan status magersari.

Permasalahan yang dapat dirumuskan dari latar belakang masalah di atas,

antara lain : (1) Bagaimanakah pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta tahun

1984 – 2013 ?; (2) Bagaimanakah dampak pemberlakuan Undang – Undang No. 5

tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) secara penuh di

Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pengelolaan tanah magersari Keraton

Yogyakarta ?; (3) Bagaimanakah relevansi pengelolaan tanah magersari Keraton

Yogyakarta tahun 1984 – 2013 dalam pengayaan materi mata kuliah sejarah lokal ?.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah

(historis). Notosusanto menyatakan bahwa metode sejarah merupakan proses

mengumpulkan, menguji, serta menganalisis secara kritis rekaman – rekaman dan

penggalian – penggalian masa lampau menjadi sebuah kisah sejarah yang dapat

dipercaya (1971). Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

Naskah Sumber Arsip Ngindung di Tanah Keraton Yogyakarta (2007), Keputusan

Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 66 tahun 1984 tentang Pemberlakuan

Sepenuhnya Undang – Undang No. 5 tahun 1960 (UUPA) di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat (1991), Kompas (2008), Bernas (2008), Radar Jogja

(4)

Yogyakarta, dan sejarah lisan yang berasal dari hasil wawancara dengan beberapa

narasumber yang menjadi pelaku atau saksi sejarah pengelolaan tanah magersari

Keraton Yogyakarta selama tahun 1984 sampai 2013, seperti Mas Wedana

Tjitromardowo (Bapak Joko) selaku abdi dalem Keraton Yogyakarta, Pariyah selaku

penghuni tanah magersari Keraton Yogyakarta, serta Dian Lakhsmi Pratiwi selaku

Kepala Seksi Purbakala Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku – buku literatur yang relevan dengan masalah penelitian, antara lain : buku karya Gatut

Murniatmo, dkk. (1989) berjudul Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah

secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, buku karya Mochammad Tauchid

(2009) berjudul Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran

Rakyat Indonesia, buku karya Ni’matul Huda (2013) berjudul Daerah Istimewa

Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang – Undangan di Indonesia,

dan buku karya Ahmad Nashih Luthfi, dkk. (2014) berjudul Keistimewaan Yogyakarta

yang Diingat dan yang Dilupakan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah pemberlakuan Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) secara penuh di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, tanah – tanah kasultanan (sultan ground) dan pakualaman (pakualaman

ground) yang belum diberikan kepada siapapun, tidak mengalami konversi dan tetap

berada di bawah kewenangan Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Sultan

ground adalah aset keraton yang dapat digunakan oleh masyarakat dengan status

magersari. Penggunaan sultan ground dengan status magersari (menumpang), berada di

bawah koordinasi Tepas Panitikismo selaku lembaga adat Keraton Yogyakarta yang

berwenang mengurus sultan ground. Tepas Panitikismo memiliki beberapa tugas,

sebagai berikut :

1. Mendapat kuasa dari Keraton Yogyakarta untuk mengikat perjanjian dengan

masyarakat secara perorangan, badan hukum, maupun lembaga pemerintahan yang

mengajukan permohonan hak atas tanah yang berasal dari tanah kasultanan (sultan

(5)

2. Penerima uang penanggalan sebagai kompensasi atas permohonan hak di atas

tanah keraton, sesuai dengan jangka waktu berlakunya kekancingan hak atas tanah

di atas sultan ground.

3. Menerima dan memberikan persetujuan atas peralihan hak karena waris di atas

tanah kasultanan (Munsyarif, 2013).

Tanah magersari Keraton Yogyakarta tidak wajib untuk didaftarkan di kantor

pertanahan, karena status tanah magersari adalah sultan ground yang berada di bawah

kewenangan Keraton Yogyakarta. Pemakai tanah magersari tidak mendapat sertifikat

tanah sesuai dengan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961.

Tanda bukti yang didapatkan oleh para penghuni tanah magersari adalah berupa serat

kekancingan yang dikeluarkan oleh Tepas Panitikismo selaku lembaga adat Keraton

Yogyakarta yang berwenang mengurus tanah keraton atau sultan ground (Murniatmo,

G., dkk., 1989). Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Surat Keputusan

Kawedanan Ageng Punakawan Wahana Sarta KriyaNo. 29/W & K/81, sultan ground

dapat digunakan dengan empat alas hak, meliputi :

a. Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan

di atas sultan ground dengan jangka waktu maksimal 20 tahun dan dapat

diperpanjang kembali.

b. Hak Pakai

Hak pakai merupakan hak menggunakan atau memungut hasil dari sultan

ground (SG) yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam

perjanjian antara keraton dengan yang berkepentingan selama jangka waktu

maksimal 10 tahun dan dapat diperpanjang.

c. Hak Ngindung

Hak ngindung adalah hak yang diberikan kepada mereka yang

menggunakan atau menempati sultan ground (SG) dengan membuat suatu

perjanjian antara keraton dengan yang berkepentingan selama jangka waktu yang

disetujui bersama.

d. Hak Magersari

Hak magersari merupakan hak yang diberikan kepada mereka penghuni di

(6)

historis, serta diberikan hanya kepada warga negara Indonesia (WNI) asli atau

orang – orang pribumi dengan jangka waktu selama mereka menghuni (Kantor

Arsip Daerah, 2007 : xii).

Kebijakan pembagian hak atas pemakaian sultan ground, bertujuan untuk

membedakan pihak – pihak yang diberikan hak atas tanah tersebut. Hak ngindung dan

hak magersari diketahui hanya diberikan keraton kepada para abdi dalem atau orang –

orang yang memiliki hubungan khusus dengan sultan dan kerabat sultan. Sedangkan

hak pakai dan hak guna bangunan diberikan kepada masyarakat biasa maupun badan

hukum/instansi. Hak magersari lebih banyak diberikan kepada para abdi dalem karena

hak magersari lebih banyak memberikan hak atas tanah dibandingkan dengan

ngindung. Hak magersari memberikan kewenangan kepada abdi dalem untuk

mengambil manfaat dan mendirikan bangunan di atas tanah sultan. Sedangkan

kewenangan dari hak ngindung hanya mengijinkan abdi dalem atau orang – orang yang

memiliki hubungan khusus dengan sultan dan kerabat sultan, untuk menempati rumah

para kerabat sultan. Pemakaian tanah sultan dengan alas hak ngindung adalah

peminjaman tambahan, sehingga tidak semua ngindung dapat memakai tanah sultan

yang statusnya terpisah dari rumah kerabat sultan (Fachrudin, 2012).

Hak magersari dan hak ngindung tidak memiliki jangka waktu yang pasti.

Setiap orang yang mendapat hak magersari atau hak ngindung atas sultan ground,

memiliki jangka waktu pemakaian yang berbeda – beda. Hak magersari dan ngindung

akan berakhir jika dikembalikan kepada keraton, dicabut oleh keraton, dialihkan kepada

pihak lain (liyeran), atau orang yang mendapat hak magersari maupun ngindung

tersebut meninggal dunia. Hak magersari dan ngindung akan dicabut oleh keraton jika

pengindung/magersari tidak mematuhi butir – butir perjanjian yang telah tercantum di

dalam serat kekancingan yang dikeluarkan oleh Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta

(Murniatmo, G., dkk., 1989). Masyarakat biasa (non abdi dalem) atau badan

hukum/instansi yang menggunakan sultan ground dengan status magersari, diberikan

dua hak atas tanah, yaitu hak pakai dan hak guna bangunan. Hak pakai diberikan

dengan jangka waktu 10 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Sedangkan hak

guna bangunan diberikan dengan jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang

kembali. Proses perpanjangan hak pakai dan hak guna bangunan diurus oleh Tepas

(7)

Pengelolaan tanah magersari yang dilakukan oleh abdi dalem, masyarakat

biasa maupun badan hukum/instansi, didasarkan pada aturan adat keraton yang telah

ditetapkan dalam serat kekancingan yang dikeluarkan oleh Tepas Panitikismo selaku

lembaga adat Keraton Yogyakarta yang berwenang mengurus sultan ground. Prosedur

permohonan hak atas tanah magersari Keraton Yogyakarta adalah sebagai berikut :

1) Mengajukan surat permohonan izin magersari kepada Pengageng Tepas

Panitikismo (Kawedanan Ageng Wahana Sarta Kriya) yang berwenang mengurus

sultan ground.

2) Surat permohonan izin magersari dilengkapi dengan surat keterangan dari

kelurahan tempat lokasi tanah magersari yang akan digunakan, yang menyatakan

bawah tanah tersebut adalah sultan ground, serta fotocopy kartu identitas pemohon

izin magersari. Apabila pemohon adalah badan hukum atau instansi yang

mempunyai struktur organisasi, maka harus melampirkan nama susunan pengurus

dan penanggung jawab.

3) Surat permohonan izin magersari beserta syarat – syarat pelengkapnya (surat

keterangan kelurahan, identitas perseorangan atau badan hukum), diserahkan

kepada Tepas Panitikismo untuk kemudian diproses.

4) Tepas Panitikismo sebagai lembaga adat keraton yang berwenang untuk mengurus

sultan ground akan melakukan pengecekan terhadap sultan ground yang

dimaksud, mengukur luas tanah, dan membuatkan bentuk gambar atau denah

tempat tanah yang akan digunakan tersebut. Apabila semua telah sesuai dan tidak

ada pemilik tanah yang mengakui, maka kemudian Tepas Panitikismo akan

membuatkan serat kekancingan yang akan ditandatangani bersama oleh pemohon

magersari dan Pengageng Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta. Penghuni tanah

magersari yang telah mendapat serat kekancingan, memiliki kewajiban untuk

membayar uang penanggalan atau pajak kepada keraton (Kusumaningrum, 2004;

wawancara peneliti dengan Dian Lakshmi Pratiwi, 26 Maret 2015).

Tanah sultan tidak dapat dialihkan kepada orang lain, hanya hak – hak

sementara di atasnya (hak guna bangunan, pakai, ngindung, magersari) yang dapat

dialihkan kepada orang lain. Pengalihan hak sementara atas tanah sultan yang

digunakan oleh masyarakat dengan alas serat kekancingan atau tanah magersari dapat

(8)

atas sultan ground (tanah magersari) kepada pihak lain, disertai dengan perjanjian.

Proses pengalihan tersebut harus mendapat izin (persetujuan) dari pihak Keraton

Yogyakarta agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Sedangkan lintiran

merupakan turun waris atau pengalihan hak atas sultan ground (tanah magersari)

kepada ahli waris. Proses lintiran juga harus mendapat persetujuan dari pihak Keraton

Yogyakarta. Lintiran dilakukan apabila seorang pemakai tanah magersari ingin

mewariskan hak atas tanahnya kepada salah satu ahli warisnya atau anaknya, disertai

dengan persetujuan dari semua ahli warisnya, sehingga tidak akan menimbulkan

polemik (wawancara peneliti dengan Mas Wedana Tjitromardowo dan Pariyah, 16

Maret 2015).

Pemegang serat kekancingan magersari memiliki kewajiban untuk membayar

uang pisungsung dan penanggalan yang disetorkan kepada Tepas Panitikismo.

Pisungsung adalah biaya suka rela yang wajib disetorkan kepada keraton pada saat

penerbitan serat kekancingan. Pisungsung hanya disetorkan sekali. Sedangkan uang

penanggalan merupakan pajak yang harus disetorkan kepada keraton setiap tahun

sekali. Besarnya uang penanggalan yang harus disetorkan oleh pemakai tanah

magersari, ditetapkan oleh keraton (Marsudi, 2014). Besar uang penanggalan biasanya

disesuaikan dengan letak dari tanah magersari, biasanya berkisar antara Rp. 25,-

permeter/tahun sampai Rp. 100,- permeter/tahun. Abdi dalem yang tinggal di atas tanah

dan bangunan milik sultan atau kerabat sultan biasanya tidak dipungut biaya

penanggalan, tetapi mereka memiliki kewajiban untuk merawat tanah dan bangunan

yang menjadi tempat tinggalnya tersebut (Kusumaningrum, 2004). Meskipun terbebas

dari pembayaran uang penanggalan, abdi dalem yang menempati tanah magersari tetap

dikenakan kewajiban untuk membayar pajak bumi dan bangunan. Hal ini sesuai dengan

simpulan dari Kusuma (2008) bahwa status tanah magersari tidak menyebabkan para

penghuninya kebal terhadap kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (Luthfi,

A.N., dkk., 2014 : 176). Terkait dengan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB),

kewajiban untuk membayar pajak tidak hanya dibebankan kepada pemilik

tanah/bangunan, yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan hukum yang

secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, memperoleh manfaat atas bumi,

(9)

Pemakai tanah sultan (sultan ground) dengan status magersari harus

menyadari bahwa tanah yang digunakannya tersebut tidak menjadi hak milik, sehingga

jika sewaktu – waktu sultan (keraton) membutuhkan, tanah tersebut harus dikembalikan

kepada keraton. Tanah yang digunakan oleh masyarakat dengan status magersari, tidak

akan diambil oleh keraton secara mendadak. Keraton akan terlebih dahulu memberikan

pemberitahuan dan solusi kepada rakyat yang tanahnya akan dipakai untuk kepentingan

keraton, sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut ini :

Pihak Keraton Yogyakarta tetap berpegang pada prinsip untuk melindungi rakyat yang memakai tanah – tanah milik keraton. Dalam hal ini, keraton tak

akan sewenang – wenang dan secara mendadak menggusur rakyat hanya

karena ingin meminta kembali tanah inventaris keraton itu ... Pihak keraton bisa jadi suatu ketika ingin memanfaatkan tanahnya di suatu lokasi tertentu untuk kepentingan keraton. Namun semua itu akan dilakukan secara baik – baik dengan pendekatan jauh – jauh sebelumnya ... Selama belum mendapat tempat bernaung yang baru, tanah – tanah itu tidak akan diminta secara paksa (Kedaulatan Rakyat, 28 September 1991 : 2).

Pemberlakuan UUPA secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta yang

berlangsung sejak tahun 1984, tidak membawa dampak yang signifikan terhadap status

maupun pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta. Status tanah magersari

adalah sultan ground yang berada di bawah otonomi Keraton Yogyakarta. Pengelolaan

tanah magersari dilakukan sesuai dengan aturan adat yang telah ditetapkan oleh

Keraton Yogyakarta. Berdasarkan Surat Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Milik Sri

Sultan Hamengku Buwana Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tanggal 23 Juni 1999,

beberapa hak dan kewajiban dari pemakai tanah magersari adalah sebagai berikut :

1) Pemakai tanah magersari diijinkan untuk mendirikan bangunan/gedung di atas

tanah sultan, baik untuk tempat tinggal maupun tempat usaha.

2) Pemakai tanah magersari diwajibkan memelihara keutuhan dan kebaikan dari tanah

magersari serta tidak dibenarkan menggunakan tanah untuk hal – hal yang

melawan hukum.

3) Pemakai tanah magersari tidak diijinkan untuk mengalihkan hak atas tanah

magersari kepada pihak lain tanpa izin (sepengetahuan) dari pihak Keraton

Yogyakarta.

4) Pemakai tanah magersari menyerahkan uang penanggalan setahun sekali kepada

(10)

5) Apabila masa berlaku perjanjian pemakaian tanah magerari telah habis,

pemakai/penghuni tanah harus mengembalikan tanah magersari tersebut kepada

pihak Keraton Yogyakarta.

Pemakai tanah magersari yang tidak memiliki sertifikat tanah, dapat berpegang

pada serat kekancingan (surat perjanjian) yang dikeluarkan oleh Tepas Panitikismo

selaku lembaga adat Keraton Yogyakarta yang berwenang mengurus sultan ground

(tanah sultan). Tanah magersari memiliki arti penting tersendiri bagi pihak – pihak

yang berada di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta, baik perorangan maupun badan

hukum/instansi. Tanah magersari Keraton Yogyakarta sebagai bentuk perhatian sultan

kepada rakyatnya, memberikan pengaruh yang besar terhadap beberapa bidang

kehidupan masyarakat, meliputi :

a) Kebudayaan (Kultural)

Magersari merupakan transaksi atas tanah yang berasal dari warisan

budaya feodal, berkembang dan menyesuaikan dengan dinamika masyarakat.

Transaksi magersari menjunjung tinggi ikatan patron – klien antara sultan (pemilik

tanah) dengan rakyat atau bawahannya. Ikatan magerari yang terjadi antara sultan

dengan abdi dalemnya menjadi sarana untuk meningkatkan loyalitas abdi dalem

tersebut kepada sultan. Abdi dalem yang telah mendapat izin untuk menempati

tanah sultan secara turun – temurun, akan mengabdikan diri sepenuhya untuk

kepentingan keraton. Perkembangan zaman dan munculnya peraturan pertanahan

yang baru, tidak mampu menghapus aturan adat magersari yang tetap dipatuhi oleh

masyarakat.

b) Sosial

Tanah merupakan objek yang mempunyai fungsi sosial. Hal – hal yang

berkaitan dengan kepentingan umum dan membutuhkan tanah, dapat ditopang

dengan sultan ground, seperti untuk tempat ibadah, pemakaman, kantor instansi

pemerintah, sekolah, dan lain sebagainya. Sultan ground yang dipakai untuk

kepentingan umum ini, dapat digunakan tanpa dikenakan biaya penanggalan atau

pajak yang harus disetorkan kepada keraton.

c) Ekonomi

Masyarakat yang tidak mempunyai tempat tinggal maupun tempat usaha,

(11)

menjadi sarana penopang kehidupan ekonominya. Penanggalan atau pajak yang

disetorkan kepada keraton, relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan biaya

(uang) yang harus dikeluarkan untuk menyewa kepada orang lain atau pihak

swasta.

Setelah pemberlakuan Undang – Undang No. 13 tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, permohonan izin penggunaan sultan

ground dengan status magersari, dihentikan untuk sementara waktu. Kebijakan

penghentian permohonan izin penggunaan sultan ground untuk sementara waktu ini,

dilakukan dalam rangka penertiban sultan ground yang selama ini penggunaannya

tidak menyebutkan batas – batas yang jelas, hanya menyebutkan luasnya saja. Terkait

dengan kebijakan penghentian permohonan izin penggunaan sultan ground untuk

sementara waktu, Sri Sultan Hamengku Buwana X selaku Gubernur Daerah Istimewa

Yogyakarta menjelaskan :

Pemberian hak magersari kepada warga sementara dihentikan dalam rangka penertiban. Pemprov DIJ akan bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendata ulang tanah SG. Selama ini, kepentingan magersari tidak disebut ada batas – batasnya, hanya luasnya saja. Maka dengan penyelesaian melalui pendataan tersebut semoga bisa ditertibkan ... Belum jelasnya batas – batas sultan ground (SG) memicu persoalan di tengah masyarakat. Bagaimanapun akan ada problem mengenai batas antara tanah hak milik warga dengan SG (Radar Jogja, 21 Februari 2013 : 6).

Kebijakan penghentian permohonan izin penggunaan sultan ground dengan

status magersari untuk sementara waktu, memicu reaksi dari berbagai pihak. Keraton

Yogyakarta diminta untuk tidak menghentikan pemberian izin penggunaan sultan

ground dengan status magersari, meskipun hanya untuk sementara waktu. Masyarakat

yang tidak mempunyai tempat tinggal, banyak yang membutuhkan sultan ground,

sehingga permohonan izin penggunaan sultan ground yang berkaitan dengan

penerbitan serat kekancingan, masih sangat dibutuhkan sebagai bukti legalitas

menempati sultan ground (SG) dari keraton. Heniy Astiyanto selaku Direktur Pusat

Konsultan Bantuan Hukum Universitas Ahmad Dahlan, menjelaskan :

Banyak masyarakat di empat kabupaten, dan satu kota yang mengajukan permohonan kekancingan. Bila permohonan itu tak segera diproses justru akan menimbulkan ketidakpastian. Apalagi kebijakan menghentikan sementara itu

tak jelas batasan waktunya ... Mestinya dengan disahkannya Undang – Undang

No. 13/2012 tentang Keistimewaan DIJ, keberadaan tanah – tanah SG makin

(12)

kekancingan harus berjalan sinergi dan paralel (Radar Jogja, 23 Februari 2013 : 11).

Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto selaku Pengageng Tepas

Panitikismo yang berwenang mengurus sultan ground (tanah – tanah sultan),

mengungkapkan, “Kemungkinan izin atas tanah magersari dibuka kembali setelah pembahasan raperdais (rancangan peraturan daerah istimewa) selesai” (Radar Jogja, 22 Februari 2013 : 11). Rancangan peraturan daerah istimewa dipersiapkan untuk

mengatur hal – hal yang disebutkan dalam Undang – Undang (UU) No. 13 tahun 2012

tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Rancangan peraturan daerah yang

dipersiapkan dan akan dirumuskan meliputi peraturan daerah istimewa yang mengatur

masalah pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan, kebudayaan,

pertanahan, dan tata ruang.

Penghentian sementara permohonan izin penggunaan sultan ground dengan

status magersari, tidak berlaku bagi pihak – pihak yang telah memiliki serat

kekancingan. Pengageng Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta tetap melayani

permohonan untuk perpanjangan kekancingan selama jangka waktu 10 tahun.

Sedangkan berkas permohonan baru, akan diproses paska peraturan daerah istimewa

tentang pertanahan resmi dirumuskan. Berkas permohonan baru dapat ditinggal, tetapi

belum akan diproses oleh Tepas Panitikismo. Selama ini, antusiasme masyarakat untuk

mengajukan kekancingan sebagai alas penggunaan sultan ground dengan status

magersari masih sangat tinggi, hingga mencapai 1.000 permohonan setiap tahunnya.

Biaya penanggalan atau pajak yang relatif murah, menjadi salah satu pemicu maraknya

pengajuan permohonan serat kekancingan magersari (Radar Jogja, 28 Februari 2013).

Historiografi pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta tahun 1984 –

2013 yang dilakukan dalam ruang lingkup terbatas secara otonom, dapat dikaitkan

dengan pengayaan materi mata kuliah sejarah lokal. Penelitian yang mengkaji tentang

pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta selama periode tahun 1984 – 2013 ini

merupakan salah satu bentuk pengayaan dari mata kuliah sejarah lokal, khususnya

terkait dengan kompetensi dasar tentang historiografi sejarah lokal. Penelitian dengan

judul Pengelolaan Tanah Magersari Keraton Yogyakarta tahun 1984 – 2013 ini

mencoba menyusun peristiwa sejarah lokal berdasarkan studi tematik, di mana tema

(13)

sultan ground di Yogyakarta dengan status magersari yang telah dikenal sejak masa

kebekelan, dan tetap diakui eksistensinya sampai saat ini.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dari penelitian Pengelolaan Tanah Magersari Keraton

Yogyakarta tahun 1984 – 2013 dan Relevansinya dalam Pengayaan Materi Mata Kuliah

Sejarah Lokal, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta selama periode tahun 1984 –

2013, dilakukan oleh beberapa pihak, baik abdi dalem, masyarakat biasa (non abdi

dalem), maupun badan hukum/instansi dengan mekanisme empat alas hak, yaitu

hak guna bangunan, pakai, ngindung dan magersari. Hak guna bangunan dan pakai

diketahui diberikan untuk masyarakat biasa dan badan hukum/instansi. Sedangkan

hak ngindung dan magersari diberikan untuk para abdi dalem atau orang – orang

yang memiliki hubungan khusus dengan sultan atau kerabat sultan. Tanah

magersari dikelola sesuai dengan aturan adat keraton, di bawah koordinasi Tepas

Panitikismo Keraton Yogyakarta yang berwenang mengurus sultan ground. Tanah

magersari memberikan pengaruh yang besar dalam berbagai bidang kehidupan

masyarakat, meliputi bidang kebudayaan (kultural), sosial dan ekonomi.

2. Pemberlakuan Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

– Pokok Agraria (UUPA) secara penuh di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengelolaan tanah magersari

Keraton Yogyakarta, karena tanah magersari merupakan tanah yang berstatus

sultan ground, di mana segala kewenangannya secara penuh berada di bawah

otonomi Keraton Yogyakarta (kasultanan) sebagai badan hukum pemilik sultan

ground yang dilegitimasi dengan Undang – Undang (UU) No. 13 tahun 2012

tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanah magersari dikelola

sesuai dengan aturan adat keraton dan tidak wajib untuk didaftarkan di kantor

pertanahan.

3. Relevansi pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta tahun 1984 – 2013

dalam pengayaan materi mata kuliah sejarah lokal adalah sebagai sarana untuk

memperdalam wawasan tentang historiografi sejarah lokal. Penelitian yang

mengkaji tentang pengelolaan tanah magersari Keraton Yogyakarta selama periode

(14)

kuliah sejarah lokal, khususnya terkait dengan kompetensi dasar tentang

historiografi sejarah lokal. Penelitian dengan judul Pengelolaan tanah magersari

Keraton Yogyakarta tahun 1984 – 2013 ini mencoba menyusun peristiwa sejarah

lokal berdasarkan studi tematik, di mana tema yang diangkat adalah tentang

pertanahan dari waktu – waktu, khususnya penggunaan sultan ground di

Yogyakarta dengan status magersari yang telah dikenal sejak masa kebekelan, dan

tetap diakui eksistensinya sampai saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fachrudin. (2012). Hak Atas Tanah dari Surat Kekancingan Keraton

Yogyakarta Menurut UUPA dan Hukum Islam. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,Yogyakarta.

Boedi Harsono. (2008). Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan.

Bushar Muhammad. (1981). Pokok – Pokok Hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramita.

Gatut Murniatmo., Wiwoho, M., Krisnanto, Poliman, & Suhatno. (1989). Pola Penguasaan, Pemilikan, dan Penggunaan Tanah secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Marsudi. (2014). Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman. Jurnal Spirit Publik, 9 (1), 51 – 76.

Mungki Kusumaningrum. (2004). Status Hak Atas Tanah Magersari di Kota

Yogyakarta. Tesis Tidak Dipublikasikan. Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok.

Munsyarif. (2013). Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman

di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Ombak.

Nugroho Notosusanto. (1971). Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer : Suatu

(15)

Radar Jogja. (2013, 21 Februari). Stop Jual Beli Sultan Ground, hlm. 6.

Radar Jogja. (2013, 22 Februari). Stop Beri Kekancingan SG, hlm. 1 & 11.

Radar Jogja. (2013, 23 Februari). Data Tanah SG Simpang Siru, hlm. 1 & 11.

Radar Jogja. (2013, 28 Februari). Luas Tanah Keraton Belum Diketahui, hlm. 1 & 11.

Surat Perjanjian Pinjam Pakai atas Sebidang Tanah/Pekarangan di Kampung Ambarukmo, Depok, Sleman, Yogyakarta atas nama Hartoyo Sapto Nugroho, tanggal 23 Juni 1999 (turunan).

Tyas Dian Anggraeni. (2012). Interaksi Hukum Lokal dan Hukum Nasional Dalam

Urusan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Rechtsvinding

Media Pembinaan Hukum Nasional, 1 (1), 53 – 73.

Wawancara dengan Dian Lakhsmi Pratiwi (Kepala Seksi Purbakala Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Yogyakarta, tanggal 26 Maret 2015.

Wawancara dengan Mas Wedana Tjitromardowo (abdi dalem Keraton Yogyakarta), Yogyakarta, tanggal 16 Maret 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik (NPK) dosis 300 kg/ha nyata meningkatkan serapan nitrogen pada tanaman, pemberian pupuk organik (pukan

Deteksi molekuler untuk mengidentifikasi deoxyribo nucleid acid (DNA) dari Mtb dapat menggunakan teknik nucleid acid amplification lest (NAAT), antara lain secara

Implementasi yang dilakukan pada tanggal 24 juli 2012 pukul 07.00 WIB adalah memantau TTV, hasilnya TD: 120/80 MmHg, nadi: 64 x/mnt, RR: 28 x/mnt, S: 35,5ºC, membantu klien

Metode SFAE dengan media kliping memiliki peran penting dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, terutama dalam menentukan sikap kewirausahaan siswa. Tujuan

Hasil dari kromatogram uji kualitatif dan nilai Rf standar dari kedua sampel dapat dilihat pada Gambar 6 menunjukkan nilai Rf yang sama yaitu 0,52 maka

Untuk siswa yang mempunyai kecerdasan emosi yang rendah sebaiknya membina hubungan baik seperti bersahabat atau bergaul dengan orang tua, guru dan teman sebaya,

Hasil penelitian yang sudah peneliti lakukan adalah dari 54 responden yang berjenis kelamin laki-laki yang mengalami keluhan MSDs sebanyak 36 orang (66,7%)

Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan pengetahuan mengenai perancangan arsitektur analytical CRM untuk mendukung segmentasi pelanggan (khususnya calon