BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Transportasi
2.1.1 Pengertian Transportasi
Transportasi berasal dari kata Latin yaitu transportare, dimana trans berarti seberang/ lokasi/ tempat lain sedangkan portare memiliki arti mengangkut atau membawa. Terdapat beberapa pengertian transportasi menurut para ahli, yaitu:
1. Munawar (2005: 1), transportasi adalah kegiatan pemindahan penumpang dan
barang dari satu tempat ke tempat lain.
2. Kamaluddin (2003: 13), transportasi dapat diartikan sebagai suatu proses
kegiatan yang mengangkut atau membawa sesuatu dari suatu tempat ke tempat
lainnya.
3. Simbolon (2003: 1), transportasi adalah suatu proses pemindahan manusia atau
barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan suatu alat bantu
kendaaraan.
4. Miro (2002: 4), transportasi adalah proses pindah, gerak, mengangkut dan
mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain, dimana objek
menjadi lebih bermanfaat dan hal ini tidak terlepas dari alat pendukung.
Jadi, transportasi adalah sebuah proses kegiatan yang membawa sesuatu
(penumpang maupun barang) dan adanya pergerakan yang memindahkan dari
suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan yang didasarkan
2.1.2 Unsur Transportasi
Secara umum, penggolongan moda transportasi didasarkan pada empat
unsur transportasi berikut (Kamaluddin, 2003: 17-18), yaitu:
1. Jalan
Jalan merupakan kebutuhan yang paling penting dalam transportasi. Tanpa
adanya jalan tidak mungkin tersedia jasa transportasi bagi pemakainya. Jalan
ditujukan dan disediakan sebagai dasar alat angkutan untuk bergerak dari suatu
tempat asal ke tempat tujuan. Unsur jalan dapat berupa jalan raya, jalan kereta
api, jalan air dan jalan udara.
2. Alat Angkutan
Perkembangan dan kemajuan jalan atau alat angkutan merupakan dua unsur
yang saling berkaitan satu sama lainnya. Alat angkutan dapat digolongkan
dalam angkutan jalan darat, angkutan jalan air dan angkutan udara.
3. Tenaga Penggerak
Tenaga penggerak yang dimaksudkan adalah tenaga atau energi yang
dipergunakan untuk menarik, mendorong atau menggerakkan alat angkutan,
seperti tenaga manusia, binatang, tenaga uap, batu bara, BBM, tenaga diesel,
tenaga listrik, tenaga atom dan tenaga nuklir. Penggunaan tenaga penggerak
berkembang sesuai kemajuan dan pemakaian teknologi di daerah bersangkutan.
4. Tempat Pemberhentian
Tempat pemberhentian dapat berupa terminal, stasiun, pelabuhan, bandara
yaitu tempat dimana suatu perjalanan transportasi dimulai maupun
Sedikit berbeda dengan Kamaluddin, menurut Munawar (2005: 2) terdapat
lima unsur pokok transportasi, yaitu:
1. Orang yang membutuhkan,
2. Barang yang dibutuhkan,
3. Kendaraan sebagai alat angkut,
4. Jalan sebagai prasarana angkutan,
5. Organisasi yaitu pengelola angkutan.
2.1.3 Jenis Transportasi
Berdasarkan unsur-unsur transportasi maka dapat dibedakan beberapa moda
transportasi sebagai berikut (Kamaluddin, 2003: 18-19):
1. Transportasi Darat (Land Transport)
Transportasi darat ini terdiri atas transportasi jalan raya (road transport) dan transportasi jalan rel (rail transport).
a. Transportasi jalan raya
Dalam transportasi jalan raya, alat transportasi yang digunakan berupa
manusia, binatang, sepeda, sepeda motor, becak, bus, truk, dan kendaraan
bermotor lainnya. Jalan yang digunakan berupa jalan setapak, jalan tanah,
jalan kerikil dan jalan aspal. Tenaga penggerak yang digunakan adalah
tenaga manusia, tenaga binatang, tenaga uap, BBM dan diesel.
b. Transportasi jalan rel
Sedangkan dalam transportasi jalan rel, alat angkut yang digunakan berupa
kereta api. Jalan yang dipergunakan berupa jalan rel baja. Tenaga
2. Transportasi Air (Water Transport)
Transportasi melalui air terdiri dari transportasi air di pedalaman (inland transport) dan transportasi laut (ocean transport).
a. Transportasi air pedalaman
Alat angkutan yang digunakan pada transportasi air pedalaman berupa
sampan, kano, motor boat dan kapal. Jalan yang dilaluinya adalah sungai,
kanal dan danau. Tenaga penggerak yang digunakan adalah pendayung,
layar, tenaga uap, BBM, dan diesel.
b. Transportasi laut
Alat angkutan di dalam transportasi laut adalah perahu, kapal api/uap, dan
kapal mesin. Jalan yang dilalui adalah laut, samudera, dan teluk. Sedangkan
tenaga penggerak yang digunakan antara lain adalah tenaga uap, BBM dan
diesel.
3. Transportasi Udara (Air Transport)
Transportasi udara merupakan alat angkutan yang mutakhir dan tercepat.
Transportasi udara ini menggunakan pesawat udara (dengan segala jenisnya)
sebagai alat transportasi dan udara atau ruang angkasa sebagai jalannya.
Tenaga penggerak yang digunakan adalah BBM dengan berbagai rupa alat
yang digerakkannya.
2.1.4 Jasa Transportasi
Jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan oleh suatu
dengan produk fisik atau tidak. (Kotler dan Keller, 2009: 36). Jasa sebagai produk
hasil aktivitas ekonomi berada pada kelompok tersier dalam klasifikasi produk
sebagai berikut (Simbolon, 2003: 15):
1. Kelompok primer atau ekstraktif : pertanian, pertambangan, perikanan, dan
kehutanan.
2. Kelompok sekunder : manufaktur atau industri pengolahan.
3. Kelompok tersier : jasa transportasi, restoran, bank, hotel, salon, asuransi, dan
lain-lain.
2.1.5 Karakteristik Jasa
Pada umumnya jasa memiliki empat karakteristik yaitu tidak berwujud
(intangible), tidak terpisahkan (inseparability), beragam (variability) dan mudah lenyap (perishability). Berikut ini merupakan penjelasan karakteristik jasa menurut Simbolon (2003: 18-25):
1. Tidak Berwujud (Intangible)
Jasa bersifat intangible / tidak berwujud sehingga hanya dapat dirasakan tetapi tidak dapat dilihat, diraba, dicium ataupun didengar sebelum dibeli. Karena
sifat jasa yang demikian, maka sulit untuk menetapkan harga jasa sehingga
penilaian terhadap tingkat harga bergantung pada mutu pelayanannya.
2. Tidak Terpisahkan (Inseparability)
Produksi dan konsumsi jasa tidak dapat dipisahkan. Barang biasanya
diproduksi terlebih dahulu baru kemudian dijual dan dikonsumsi. Sedangkan,
dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi penyedia dan pengguna jasa
merupakan ciri khusus dari penawaran jasa.
3. Beragam (Variability)
Jasa tidak memiliki standar karena sangat beragam. Hal ini disebabkan
keinginan atau harapan akan jasa yang berbeda-beda antara satu individu
dengan individu lainnya. Kualitas jasa tergantung kepada siapa, kapan, dan
dimana jasa tersebut dihasilkan. Contoh : salon yang memberikan potongan
rambut yang berbeda kepada dua konsumen karena keduanya memiliki
keinginan dan kecocokan potongan rambut yang berbeda.
4. Mudah Lenyap (Perishability)
Jasa tidak bisa disimpan, dijual lagi atau dikembalikan. Contoh: kursi bioskop
yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau jam tertentu tanpa klien yang
tidak dapat dikembalikan atau digunakan kembali di waktu lain. Dengan
demikian, setiap jasa yang tidak terjual akan hilang atau lenyap begitu saja.
2.1.6 Kualitas Jasa dan Kepuasan Pelanggan
Pelanggan merupakan fokus utama dalam pembahasan mengenai kepuasan
dan kualitas jasa dimana konsumen memegang peran penting dalam mengukur
kepuasan dan kualitas terhadap produk yang diberikan. Dalam bukunya,
Lupiyoadi (2001: 143) memaparkan beberapa definisi pelanggan, diantaranya:
1. Menurut Cambridge International Dictionaries (1999), pelanggan adalah seseorang yang membeli suatu barang atau jasa.
suatu barang atau peralatan atau seseorang yang beberapa kali datang ke
tempat yang sama untuk memenuhi apa yang diinginkan.
3. Jadi dapat dikatakan bahwa pelanggan adalah seseorang yang secara kontinu
dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan
keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan
membayar produk atau jasa tersebut.
Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul
setelah membandingkan kinerja yang diharapkan pelanggan (expected) dan yang diterima pelanggan (perceived). Apabila harapan lebih tinggi daripada yang diterima maka kepuasan tidak tercapai. Apabila yang diterima lebih tinggi atau
sama dengan yang diharapkan maka kepuasan tercapai atau meningkat (Kotler
dan Keller, 2009: 138-139).
Dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor utama
yang harus diperhatikan (Lupiyoadi, 2001: 158), yaitu:
1. Kualitas produk
Pelanggan akan merasa puas apabila hasil penilaian mereka menunjukkan
bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
2. Kualitas pelayanan
Pelanggan akan merasa puas apabila mereka mendapatkan layanan yang baik
atau sesuai dengan yang diharapkan, khususnya untuk industri jasa.
3. Emosional
Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain
yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan
diperoleh karena nilai sosial atau self-esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu.
4. Harga
Produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang
relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggan.
5. Biaya
Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas
terhadap produk atau jasa tersebut.
Kebanyakan pelanggan sering menentukan pilihannya berdasarkan pada
besarnya nilai tambah yang diberikan dibandingkan perusahaan lain. Sehingga
pelanggan akan selalu mencari nilai yang dianggap paling tinggi dari beberapa
pilihan yang ada (Kotler, 1997: 186). Dalam pendekatan yang digunakan oleh
Bunting (2004: 46) dalam menyelesaikan masalah transportasi publik memberikan
gambaran bahwa pelanggan memiliki alasan tertentu untuk membuat pilihan.
Perusahaan yang menawarkan barang atau jasa tidak dapat memaksa pelanggan
menggunakannya. Tetapi perusahaan dapat meningkatkan keunggulan agar
pelanggan lebih memilih produknya dibandingkan perusahaan lain.
Menurut American Society for Quality Control (Kotler dan Keller, 2009: 143), kualitas adalah keseluruhan ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa
yang bergantung pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang telah
ditentukan oleh pelanggan, pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai
dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang
menunjukkan nilai produk tersebut (dikutip dalam Dorothea, 2002: 10).
Sementara, Elliot (1993) mendefinisikan kualitas sebagai suatu kondisi yang
berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat atau
dikatakan sesuai dengan tujuan (dikutip dalam Dorothea, 2002: 10).
Kualitas jasa adalah suatu ukuran yang menggambarkan sebaik apa
penyediaan jasa dilakukan. Penyampaian kualitas jasa berarti pemberian kualitas
jasa yang disesuaikan pada harapan pelanggan secara konsisten (Lewis dan
Booms, 1983: 433). Kualitas layanan diketahui dalam proses pelayanan, dalam
banyak pertemuan layanan dan karena pelanggan adalah hakim tertinggi layanan,
orientasi pelanggan harus menjadi titik pusat dalam memulai semua
pengembangan layanan (Edvardsson, 1997: 33)
2.1.7 Dimensi Kualitas Jasa
.
Dalam mengukur persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa dapat digunakan
pendekatan SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry. SERVQUAL terdiri atas lima item kualitas
jasa. Pengetahuan tentang kebutuhan pelanggan diperoleh dari item kualitas jasa
dan tanggapan pelanggan berdasarkan pengalaman mereka dapat dijadikan alat
dalam mengukur persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa.
Evaluasi item kualitas jasa menunjukkan prioritas dan kritik dari pelanggan
yang digunakan untuk perbaikan kualitas jasa ke arah yang lebih baik. Pendekatan
kualitas jasa. Untuk memudahkan dalam mengingat kelima item kualitas jasa,
dipergunakan akronim : RATER (Gaspersz, 1997: 15). Lima item kualitas jasa
dari pendekatan SERVQUAL adalah sebagai berikut (Parasuraman, Zeithaml dan
Berry, 1988: 23):
1. Reliability (Kehandalan)
Reliability atau kehandalan adalah kemampuan yang dapat diandalkan, terpercaya, akurat, dan konsisten dalam memberikan pelayanan yang
dijanjikan. Dalam hal ini ketepatan waktu, keteraturan, kecepatan, dan akurasi
yang tinggi menjadi tolak ukur dari kehandalan suatu pelayanan.
2. Assurance (Jaminan)
Assurance atau jaminan diperlukan dalam menumbuhkan rasa kepercayaan pelanggan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Kepercayaan pelanggan
dapat ditingkatkan oleh beberapa hal yang mencakup komunikasi, kredibilitas,
keamanan, kompetensi, dan sopan santun.
3. Tangibles (Bukti Fisik)
Tangible atau bukti fisik merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pelanggan. Penampilan dan kemampuan
sarana dan prasarana serta keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata
dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas fisik,
4. Empathy (Empati)
Empathy atau empati yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan dalam memahami kebutuhan pelanggan. Empati mencakup
kemudahan akses serta pemahaman dan pengenalan kebutuhan pelanggan.
5. Responsiveness (Ketanggapan)
Responsiveness atau ketanggapan merupakan kemauan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan dengan cepat dan tepat kepada
pelanggan dengan informasi yang jelas. Membiarkan pelanggan menunggu
tanpa suatu alasan yang jelas dapat menyebabkan persepsi yang negatif dalam
kualitas pelayanan.
2.2 Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) 2.2.1 Ability To Pay (ATP)
Ability to pay adalah kemampuan seseorang untuk membayar suatu jasa berdasarkan penghasilan yang didapat (Rumiati, Fahmi, dan Edison, 2013: 1).
Ability to pay juga dapat didefinisikan sebagai batas maksimum kemampuan dari penghasilan seseorang yang dialokasikan untuk membayar jasa yang diterimanya.
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis nilai ATP didasarkan pada
alokasi dana untuk transportasi dan intensitas perjalanan. Nilai ATP merupakan
hasil perbandingan antara dana transportasi dan intensitas perjalanan. Nilai ATP
menunjukkan batas maksimum kemampuan seseorang membayar ongkos dalam
sekali perjalanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran nilai ATP adalah
1. Penghasilan Keluarga Per Bulan
Apabila penghasilan total keluarga per bulan semakin besar maka semakin
besar pula dana transportasi yang dapat disediakan.
2. Alokasi Dana Untuk Transportasi
Semakin besar alokasi dana untuk transportasi maka akan semakin besar pula
kemampuan seseorang membayar biaya perjalanannya.
3. Intensitas Perjalanan
Semakin banyak intensitas perjalanan yang dilakukan akan membutuhkan dana
transportasi yang lebih banyak, begitu juga sebaliknya. Apabila alokasi dana
untuk transportasi tetap sedangkan intensitas perjalanan yang berubah-ubah
maka ketika intensitas perjalanan yang meningkat akan menurunkan
kemampuan membayar seseorang untuk sekali perjalanan.
4. Jumlah Anggota Keluarga
Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin banyak total
intensitas perjalanannya. Sehingga semakin banyak alokasi dana dari
penghasilan keluarga per bulan untuk transportasi yang harus disediakan.
2.2.2 Willingness To Pay (WTP)
Willingness to pay pada umumnya diartikan sebagai kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan (dalam bentuk uang) atas jasa yang diperolehnya.
Willingness to pay juga diartikan sebagai jumlah maksimum yang akan dibayarkan konsumen untuk menikmati peningkatan kualitas (Whitehead, 2005:
pelayanan angkutan umum yang dipengaruhi oleh beberapa faktor (Permata,
2012: 33), yaitu:
1. Kuantitas dan kualitas jasa transportasi
Semakin banyak jumlah angkutan yang melayani tentunya akan lebih
menguntungkan konsumen baik dari segi waktu maupun kenyamanan
(pengisian lebih sedikit dan tidak berdesak-desakan). Penambahan kuantitas
angkutan yang diikuti oleh peningkatan kualitas transportasi akan
meningkatkan kesediaan konsumen untuk membayar.
2. Utilitas pengguna
Semakin besar manfaat yang dirasakan oleh konsumen atas jasa transportasi
maka akan semakin besar pula kesediaan konsumen untuk membayar biaya
perjalanan. Begitu juga sebaliknya, apabila konsumen merasakan manfaat yang
rendah maka konsumen akan enggan untuk menggunakannya dan kesediaan
konsumen untuk membayar biaya perjalanan akan semakin rendah.
3. Penghasilan pengguna
Seseorang yang memiliki penghasilan yang besar akan lebih besar
kesediaannya untuk membayar tarif perjalanan. Hal ini karena alokasi dana
untuk transportasi yang lebih besar menimbulkan kemampuan dan kemauan
yang lebih besar pula untuk membayar biaya perjalanan.
2.2.3 Hubungan ATP dan WTP
Dalam penentuan tarif angkutan sering terjadi ketidaksesuaian antara ATP
dan WTP. Ada beberapa kondisi yang mungkin terjadi (Tamin, Rahman,
1. ATP > WTP
Kondisi ini menunjukkan kemampuan membayar lebih besar dari keinginan
membayar jasa transportasi. Hal ini terjadi bila pengguna mempunyai
penghasilan relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah,
pengguna pada kondisi ini disebut pengguna yang bebas memilih (choice riders).
2. ATP = WTP
Menunjukkan kemampuan dan keinginan untuk membayar jasa yang
dikonsumsi pengguna tersebut sama. Pada kondisi ini telah terjadi
keseimbangan antara utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan oleh
pengguna jasa tersebut.
3. ATP < WTP
Kondisi ini menggambarkan keinginan pengguna untuk membayar jasa lebih
besar dari kemampuan yang dimiliki. Sangatlah wajar bagi seseorang yang
memiliki nilai ATP rendah memiliki nilai WTP yang tinggi karena nilai WTP
ditentukan oleh pertimbangan psikologis pengguna (Ajzen, Rosenthal dan
Brown, 2000: 2448). Hal ini dapat terjadi karena pengguna yang
berpenghasilan rendah memiliki utilitas yang tinggi terhadap jasa tersebut.
Keinginan pengguna membayar jasa yang tertahan oleh kemampuan membayar
jasa disebut pengguna tertahan (captive riders).
Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam
hal ini dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan
1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar sehingga nilai tarif yang
diberlakukan sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat
sasaran. Campur tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung, subsidi
silang maupun dukungan pemerintah lainnya dibutuhkan pada kondisi nilai
tarif berlaku lebih besar dari ATP. Hal ini diperlukan agar nilai tarif sama
dengan nilai ATP.
2. WTP merupakan fungsi dari tingkat kepuasan terhadap pelayanan angkutan
umum, sehingga bila nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih
dimungkinkan melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja
pelayanan.
3. Apabila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat
keleluasaan dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru.
2.3 Penelitian Terdahulu
1. Wahyuni dan Wicaksono (2008) mengkaji tentang kemampuan membayar,
kemauan membayar dan kemauan menggunakan kereta api komuter
Malang Raya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi
besaran tarif yang sesuai bagi pengguna jika kereta api komuter Malang
Raya dioperasikan dan untuk mengetahui daya beli calon pengguna kereta
api komuter. Pengkaji menggunakan metode household budget, metode persepsi dan metode stated preference. Rencana tarif yang akan dikenakan adalah Rp 2.000/orang dan hasil kajian menunjukkan tarif tersebut sesuai
dengan kemampuan dan kemauan membayar penumpang. Dari pihak
operasional adalah sebesar Rp 4.500/orang sehingga menurut pengkaji
agar pihak operator tidak dirugikan maka diperlukan subsidi dari
pemerintah sebesar Rp 2.500/orang.
2. Rumiati, Fahmi dan Edison (2013) meneliti kemampuan dan kemauan
membayar tarif angkutan umum mini bus (superben) di kabupaten Rokan
Hulu. Peneliti menganalisis apakah tarif yang berlaku telah sesuai baik
dari pihak pengguna (berdasarkan ATP dan WTP) maupun pihak penyedia
jasa (berdasarkan BOK). Dengan menggunakan metode household budget
didapatkan tarif yang berlaku mampu dibayar oleh 84% responden. Dan
dengan metode stated preference diketahui bahwa 64% responden bersedia untuk membayar tarif lebih asalkan sistem angkutan umum diperbaiki
seperti pengaturan jadwal yang tepat dan kenyamanan responden dalam
menggunakan angkutan umum semakin ditingkatkan.
3. Waty dan Suarjana (2013) melakukan penelitian deskriptif untuk
menggambarkan kemampuan dan keinginan membayar pasien rawat inap
di rumah sakit Kapal Bandung. Menurut peneliti, rumah sakit Kapal
Bandung yang saat ini masih disubsidi oleh pemerintah dapat melakukan
perubahan harga sehingga perlu diteliti besaran kemampuan dan keinginan
membayar pasien tersebut. Pengumpulan data mengenai kemampuan
membayar responden dikumpulkan melalui daftar pertanyaan mengenai
kebutuhan non makanan, dan pengeluaran lainnya. Sedangkan data
mengenai kemauan membayar responden menggunakan pendekatan
method) yaitu peneliti memberikan penawaran berupa alternatif pilihan daftar harga yang sanggup dibayar oleh responden. Kemampuan
membayar pasien dihitung per kelas rawat inap lalu dianalisa dengan
menghitung rata-rata kemampuan membayar pasien per kelas rawat inap.
Sedangkan data kemauan membayar pasien dianalisa dengan menghitung
rata-rata tarif yang diinginkan oleh pasien per kelas rawat inap (kelas I, II,
III, VIP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membayar
lebih besar daripada tarif yang berlaku namun keinginan membayar berada
dibawah tarif (kecuali untuk kelas I).
4. Permata (2012) menganalisis Ability To Pay dan Willingness To Pay
Pengguna Jasa Kereta Api Bandara Soekarno Hatta – Manggarai. Kereta
Soekarno Hatta - Manggarai merupakan kereta api yang akan dibangun
untuk mengurangi kemacetan pada jalan akses menuju bandara. Dalam
penetapan tarifnya perlu didasarkan pada kemampuan dan kemauan
membayar pengguna jasa kereta api sehingga survei dilakukan pada
penumpang di bandara. Pengukuran Ability To Pay (ATP) menggunakan metode household budget dan Willingness to Pay (WTP) menggunakan metode state preference. Hasil penelitian yaitu estimasi nilai rata-rata ATP sebesar Rp.128.986,- dan nilai rata-rata WTP sebesar Rp.23.195,- dengan
80% responden bersedia membayar lebih untuk peningkatan keselamatan.
5. Eboli dan Mazzulla (2008) meneliti tentang kesediaan membayar
pengguna transportasi publik untuk peningkatan kualitas jasa. Transportasi
kesediaan membayar didasarkan pada aspek kualitas jasa bukan kuantitas
(biaya dan waktu). Metode yang digunakan didasarkan pada pilihan
pengguna (user choices). Nilai WTP didapatkan sebagai tingkat perubahan dari substitusi antara kualitas jasa dengan biaya perjalanan. Hasil
menunjukkan adanya keragaman yang perlu diperhatikan dalam persepsi
pengguna terhadap aspek-aspek yang digunakan dalam kualitas jasa.
Kesediaan untuk membayar yang diukur melalui aspek kualitas jasa
merupakan ukuran kuantitatif yang akan dibayar pengguna untuk
memperbaiki beberapa aspek kualitas jasa seperti kenyamanan dan
keamanan perjalanan. Hal ini merupakan sebuah investasi bagi pihak
operator untuk memulai perbaikan kualitas jasa berdasarkan besaran yang
pengguna bersedia untuk membayar.
6. Sunarto (2009) melakukan penelitian atas kualitas jasa transportasi publik
yang belum tersampaikan pada kasus kereta api komuter di Jabodetabek.
Dalam mengukur kualitas jasa kereta api komuter di Jabodetabek, peneliti
menggunakan pendekatan SERVQUAL. Hasil penelitian menunjukkan
kualitas jasa kereta api komuter Jabodetabek masih rendah dan bahkan
masih dibawah standar yang ada pada kontrak. Untuk analisis yang lebih
mendalam peneliti menyarankan penelitian ini perlu ditambahkan tentang
analisis kepuasan konsumen dan analisis proses jasa. Hal ini untuk
mengetahui apakah jasa yang telah diberikan kepada konsumen sudah
termasuk kualitas yang baik dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi
proses jasa diantara pemangku kepentingan transportasi publik akan
membantu untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari setiap
peran guna meningkatkan kualitas jasa transportasi publik.
7. Joewono (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Exploring the Willingness and Ability to Pay for Paratransit in Bandung, Indonesia
menggunakan regresi probit ordinal dan binomial logistic untuk mengolah
data yang diperoleh dari survei di Bandung. Peneliti menemukan adanya
perbedaan antara nilai ATP dan WTP serta perbedaan penilaian maupun
keputusan yang dilakukan setiap orang. Perbedaan penilaian dan
keputusan ini tergantung pada persepsi yang dimiliki mengenai kualitas
jasa, karakteristik perjalanan, dan kemampuan finansial.
8. Sukmawati (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh kualitas
layanan, harga dan kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan jasa
transportasi kereta api eksekutif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kualitas layanan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap loyalitas pelayanan. Harga juga memiliki pengaruh terhadap
kepuasan pelanggan dan kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap
loyalitas pelayanan. Peneliti menyarankan agar PT KAI terus menjaga
kesesuaian harga dengan manfaat yang diberikan. Untuk menciptakan
pelanggan yang loyal, PT KAI harus mampu menciptakan kepuasan
pelanggan terlebih dahulu seperti melalui memberikan layanan kinerja
yang berkualitas, menjaga keamanan dan kenyamanan pelanggan, serta
9. Pratiwi dan Sutopo (2012) menganalisis pengaruh kualitas layanan dan
harga tiket terhadap kepuasan pelanggan kelas eksekutif kereta api
Kaligung Mas. Kualitas layanan dan harga tiket masing-masing
mempengaruhi kepuasan pelanggan secara positif. Secara bersamaan
kualitas layanan dan harga tiket mempengaruhi kepuasan pelanggan kelas
eksekutif kereta api Kaligung Mas sebesar 41,1 persen sedangkan 58,9
persen lainnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam
penelitian ini. Dalam meningkatkan kepuasan pelanggan eksekutif kereta
api Kaligung Mas, peneliti memberikan saran untuk lebih meningkatkan
lagi kualitas jasa yang diberikan kepada pelanggan.
10. Reinhard, Hermani dan Wijayanto (2013) meneliti pengaruh kualitas
pelayanan dan harga terhadap kepuasan pelanggan pada penumpang kereta
api kelas argo jurusan Semarang-Jakarta PT.KAI DAOP IV Semarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan dan harga
masing-masing berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan yakni sebesar
69,7 persen dan 51,7 persen. Secara bersamaan kualitas pelayanan dan
harga mempengaruhi kepuasan pelayanan sebesar 70,8 persen. Saran yang
diberikan oleh peneliti dari segi kualitas jasa perusahaan harus melakukan
perbaikan terhadap kualitas pelayanan karena hanya 50 persen penumpang
yang menyatakan kualitas pelayanan yang diberikan baik dan dari sisi
harga perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan adanya moda
2.4 Kerangka Konseptual
Dengan perpindahan bandara kota Medan dari bandara Polonia ke bandara
Kuala Namu, pemerintah menyediakan layanan jasa kereta api bandara (Airport Railink Service) untuk mempermudah akses masyarakat kota Medan ke bandara. Layanan jasa kereta api bandara dikelola oleh PT.Railink (operator). Penetapan
tarif yang berlaku dilakukan oleh pihak operator dan tarif yang berlaku disarankan
tidak melebihi kemampuan membayar pengguna. Oleh karena itu, dari sisi
pengguna perlu dianalisis kemampuan dan keinginan membayar pengguna agar
dapat diperkirakan tarif ideal seyogyanya berlaku. Ringkas kerangka konseptual
penelitian ini dapat dilihat pada diagram berikut, yaitu:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Bandara Polonia
Bandara Kuala Namu
Airport Railink Service
Operator Pengguna
Tarif yang Berlaku
Karakteristik Responden
ATP WTP