• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan - Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan - Analisis Yuridis Terhadap Batas Waktu Di Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah (Studi Kasus Putusan Perkara Perdata No.577/Pdt.G/2013/ Pn-Mdn)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Hukum Perikatan Pada Umumnya

1. Pengertian Perikatan

Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan

tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

dalam ilmu pengetahuan hukum. Pengertian perikatan itu sendiri oleh para ahli

hukum diartikan bermacam-macam. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua

pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur)

berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi

prestasi itu. Perikatan itu sifatnya abstrak.

Berdasarkan pengertian perikatan di atas, dalam satu perikatan terdapat

hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Hak dan kewajiban tersebut

merupakan akibat hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum.18

2. Sumber-Sumber Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari

perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang

menurut Pasal 1352 KUH Perdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari

undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena

perbuatan manusia. Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena

18

(2)

perbuatan manusia menurut Pasal 1353 KUH Perdata dibedakan lagi atas

perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang melawan hukum.19

Namun, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan

melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala

macam perikatan.

Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum

Perikatan mengatakan bahwa :

“Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang-undang.”

Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang

menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang

bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang.

Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun

yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada

keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUH Perdata.

Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber

perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 KUH Perdata yaitu perjanjian dan

undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu

Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.

20

Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya

memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan

perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian. Perjanjian lebih konkret

19

Ibid.,hal 201

20

(3)

daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar, sedangkan

perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam pikiran).

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan yang

lahir dari :

a. Undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya

peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum

(perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari

kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat

bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin

mendapatkan haknya atas sesuatu.

b. Undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya

serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan

akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.

Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan yang

sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUH Perdata tentang zaak warneming

atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam keadaan

darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan hukum

adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak berhati-hati

sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu

harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan itu harus

menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.21

Pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa suatu perikatan bersumber

dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena

21

(4)

undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak

para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si

pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun

perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum (perikatan) yang

muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan

bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum

seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini

lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada

akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya

perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian

yang mereka tutup.22

3. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perikatan

Buku III KUH Perdata mengenai hukum perikatan dibagi dalam dua

bagian yaitu bagian umum dan bagian khusus. Ketentuan khusus mengatur

mengenai perjanjian-perjanjian khusus yaitu perjanjian yang dikenal secara luas

dalam masyarakat sperti perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian

tukar-menukar dan sebagainya, sedangkan ketentuan umum tersebut berlaku

untuk semua perikatan pada umumnya, baik yang bernama maupun yang tidak

bernama.

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa hukum

perjanjian memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membuat perjanjian

yang berisi apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan

22

(5)

hukum pelengkap, berarti bahwa pasal-pasal itu boleh tidak dipakai apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Pihak yang

membuat perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang

menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Para pihak diperbolehkan

mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang dibuat tersebut.

Apabila para pihak tidak mengatur sendiri mengenai sesuatu hal terkait dengan

perjanjian tersebut, maka mereka tunduk kepada undang-undang.23

Adanya kebebasan berkontrak itu atau sistem terbuka,

perjanjian-perjanjian dengan sebutan perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian bernama itu hanyalah sebagai Sistem terbuka mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan :

“Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III KUH Perdata ini

merupakan sistem terbuka sebagai lawan sistem tertutup yang dianut Buku II

KUH Perdata yaitu hukum benda. Adanya kebebasan membuat perjanjian tersebut

berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam

Buku III KUH Perdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, seperti yang

dijelaskan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata diatas. Namun, kebebasan

berkontrak bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, tetapi perjanjian

harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat sahnya perjanjian, baik

syarat umum sebagimana disebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata maupun syarat

khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

23

(6)

contoh belaka. Karena itu, masyarakat boleh membuat perjanjian lain daripada

contoh tersebut atau membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya

sesuai dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat.24

B. Pengaturan Mengenai Perjanjian

1. Syarat Sahnya Perjanjian

Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui

perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan. Perjanjian yang

sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Berikut ini akan diuraikan secara garis besar dari keempat syarat sahnya

perjanjian itu.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa

para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan

atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak

dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.25

24

Ibid., hal 204

25

(7)

Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya

perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam

teori/ajaran, yaitu :

a. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak

yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

Kelemahannya adalah karena dianggap terjadinya kesepakatan secara

otomatis.

b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak

yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja

walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang

menawarkan.

c. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan

seharusnya sudah menegetahui bahwa tawarannya sudah diterima

(walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara

langsung). Kelemahannya adalah bagaimana bisa mengetahui isi

penerimaan itu apabila pihak tersebut belum menerimanya.

d. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Permasalahan lain tentang kesepakatan, yaitu apabila terjadi pernyataan

yang keluar tidak sama dengan kemauan yang sebenarnya. Untuk menjawab

permasalahan ini ada beberapa teori yaitu :

a. Teori kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi

(8)

b. Teori pernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi

perjanjian atau belum adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara

kehendak dengan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

c. Teori kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi

perjanjian atau belum adalah pernyataan seseorang secara objektif dan

dapat dipercaya. Kelemahannya adalah kepercayaan itu sulit dinilai.

Selanjutnya, menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat harus

diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.

Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni yang disebut cacat

kehendak. Tiga unsur cacat kehendak yaitu :

Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan (Pasal 1321 KUH Perdata). Sesat

dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tetapi kemauan itu

didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya.

Cirinya, yakni tidak ada pengaruh dari pihak lain.

Paksaan (Pasal 1323-1327 KUH Perdata). Paksaan bukan karena

kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi oleh pihak lain. Paksaan telah terjadi

apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang

berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada

orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian

yang terang dan nyata. Berdasarkan hal itu, maka pengertian paksaan adalah

kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang

diperbolehkan oleh hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang

(9)

Penipuan (Pasal 1328 KUH Perdata). Pihak yang menipu dengan daya

akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya

sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.26

2. Cakap untuk membuat perjanjian

Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum

secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh

suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.27

Sebelum adanya SEMA No.3 Tahun 1963, perempuan termasuk orang

yang tidak cakap berbuat, tetapi hal ini sudah dicabut dengan adanya SEMA No.3

Tahun 1963. Dengan demikian maka orang yang tidak cakap atau tidak

berwenang melakukan perbuatan hukum dapat dibagi menjadi mereka yang belum

cukup umur, menurut Pasal 1330 KUH Perdata adalah mereka yang belum genap

berusia 21 tahun dan belum menikah, serta mereka yang diletakkan dibawah

pengampuan. Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang

pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang yang disebut

curandus karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala

hal tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum, karena orang

tersebut oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak

cakap bertindak dan lantas diberi seseorang wakil menurut undang-undang yang

disebut curator. Sedangkan pengampuannya disebut curatele.28

Dilihat dari sudut rasa keadilan, memang perlu bahwa orang yang

membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus

benar-benar mempunyai kemampuan untuk memahami segala tanggung jawab yang

26

Handri Raharjo, op. cit, hal 47-50.

27

Riduan Syahrani, op. cit, hal 208

28

(10)

akan dipikulnya karena perbuatannya itu. Sedangkan dilihat dari ketertiban

umum, karena orang yang membuat perjanjian itu mempertaruhkan kekayaannya,

sehingga sudah seharusnya orang tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas

terhadap harta kekayaannya.

Jadi, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung

kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam

hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek

suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang menjadi obyek

suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan dapat ditentukan dan

diperhitungkan.

Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) yang menyebutkan :

“Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok

suatu perjanjian.”

Kemudian, dalam Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa

barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang-barang-barang yang dapat

diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan

umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa

dijadikan obyek perjanjian.29

29

(11)

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat keempat untuk sahnya

perjanjian. Sebab yang dimaksud adalah isi suatu perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang

yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat

membahayakan kepentingan umum.30

Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas disebut syarat subjektif,

yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian ini dapat

dibatalkan, untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari

salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya. Syarat suatu hal

tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai

objeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, yakni

sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu

pembatalan.31

2. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas, namun menurut Handri

Raharjo terdapat 5 (lima) asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas

konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik,

dan asas kepribadian.

Penjelasan mengenai kelima asas tersebut dapat diuraikan sebagi berikut :

a. Asas Kebebasan Berkontrak

30

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cetakan kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal 99.

31

(12)

Asas ini mengandung pengerian bahwa setiap orang dapat mengadakan

perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun

yang belum diatur oleh undang-undang. Tetapi kebebasan ini ada batasnya,

selama kebebasan itu tidak melanggar hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata, yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan

perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian,pelaksanaannya,dan

persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.32

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme berarti kesepakatan, perjanjian lahir atau terjadi

dengan kata sepakat. Konsensualisme artinya perjanjian sudah mengikat para

pihak yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal

yang diperjanjikan. Perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak tanpa perlu

suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah

dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu

perjanjian, seperti jual-beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat

secara tertulis dengan akta otentik notaris.33

c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

32

Ibid., hal 44.

33

(13)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.

Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) yang

menegaskan:

“Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 34

d. Asas Itikad baik

Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan

keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak

dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, bahkan hakim dapat memerintahkan

pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan

bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum,

secara pasti memiliki perlindungan hukum.

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang terkandung

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan :

“ Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan

melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin

para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu

daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Itikad baik dalam perjanjian

34

(14)

mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian

disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik.35

e. Asas Kepribadian

Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.

Asas tersebut dinamakan asas kepribadian. Berdasarkan asas ini suatu perjanjian

hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang

membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian

tersebut tidak terikat.

Terhadap asas kepribadian ini terdapat suatu pengecualian yaitu dalam

bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Dalam janji untuk pihak ketiga

ini, seorang membuat suatu perjanjian, dimana perjanjian ini memperjanjikan

hak-hak bagi orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang

menyebutkan sebagai berikut:

“Lagi pun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya.”36

3. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Menurut R. Setiawan, hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan

hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat terhapus sedangkan perjanjian

yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Contoh, pada perjanjian jual beli,

dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi terhapus,

35

Ibid.

36

(15)

sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan tentang penyerahan barang

belum dilaksanakan. Selain itu, dapat juga terjadi bahwa perjanjiannya sendiri

telah berakhir, tetapi perikatannya masih ada, misalnya dalam sewa-menyewa,

dimana perjanjian sewa-menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk

membayar uang sewa belum berakhir karena belum dibayar. Walaupun pada

umumnya jika perjanjian terhapus maka perikatannya pun terhapus, begitu juga

sebaliknya.

Terdapat sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 1381 KUH Perdata sebagai berikut :

1. Pembayaran

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

3. Pembaharuan utang (novasi)

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

5. Percampuran utang (konfisio)

6. Pembebasan utang

7. Musnahnya barang yang terutang

8. Kebatalan dan pembatalan

9. Berlakunya syarat batal

10.Lewatnya waktu

Berikut ini akan dijelaskan mengenai berakhirnya suatu perikatan tersebut:

1. Pembayaran

Pembayaran adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela, artinya

(16)

dimana dengan dilakukannya pembayaran ini tercapailah tujuan

perikatan/perjanjian yang diadakan.

Siapa saja boleh melakukan pembayaran kepada kreditur dan si kreditur

harus menerimanya, hal ini sesuai dengan Pasal 1382 KUH Perdata yang

menjelaskan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga

yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga tersebut bertindak atas

nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau dapat juga pihak ketiga

bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.

Pada dasarnya suatu perikatan dapat berakhir hanya jika hal tersebut

dilaksanakan atau dipenuhi sendiri oleh debitur dalam perikatan, walau demikian

tidak menutup kemungkinan bahwa dalam hal-hal tertentu, suatu kewajiban dalam

perikatan dapat dipenuhi oleh seorang pihak ketiga, apabila hal tersebut

dimungkinkan dan dikehendaki oleh kreditur, berdasarkan pada sifat dan jenis

perikatannya.37

Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau kepada orang yang telah

diberikan kuasa olehnya, atau orang yang telah diberikan kuasa oleh hakim atau

undang-undang untuk menerima pembayaran tersebut. Pembayaran yang

dilakukan kepada orang yang tidak berkuasa menerima pembayaran bagi kreditur Pengecualian pembayaran oleh pihak ketiga disebutkan di dalam Pasal

1383 KUH Perdata yang menentukan bahwa pada perikatan untuk berbuat

sesuatu, tidak dapat dipenuhi oleh pihak ketiga berlawanan dengan kemauan

kreditur, jika kreditur berkehendak supaya perbuatan tersebut dilakukan sendiri

oleh debitur.

37

(17)

adalah sah apabila kreditur menyetujuinya atau telah mendapat manfaat karenanya

seperti yang disebutkan dalam Pasal 1385 KUH Perdata. Berdasarkan pasal 1385

KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran yaitu kreditur

sendiri, seorang yang diberi kuasa oleh kreditur, seorang yang diberi kuasa oleh

hakim atau undang-undang.38

Suatu masalah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah

subrogasi. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga,

berdasarkan pasal 1400 KUH Perdata penggantian ini terjadi dengan pembayaran

yang diperjanjikan atau ditetapkan oleh undang-undang. Subrogasi ini dibedakan

menjadi dua, yaitu subrogasi karena perjanjian yang diatur dalam pasal 1401

KUH Perdata, dan subrogasi karena undang-undang yang diatur dalam pasal 1402

KUH Perdata.39

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Jika kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, maka

debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang kemudian diikuti dengan

penitipan. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan hanya berlaku

bagi perikatan untuk membayar sejumlah uang dan penyerahan barang bergerak.

Caranya adalah barang atau uang yang dibayarkan itu ditawarkan secara resmi

oleh seorang notaris atau seorang jurusita pengadilan. Notaris atau jusita ini

membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan tersebut

dan pergi ke tempat dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan

jika tidak ada perjanjian khusus mengenai hal ini, kepada kreditur pribadi atau

tempat tinggalnya. Notaris atau jurusita kemudian memberitahukan bahwa ia atas

38

Riduan Syahrani, op. cit, hal 268.

39

(18)

permintaan debitur datang untuk membayar utang debitur tersebut, pembayaran

mana dilakukan dengan menyerahkan barang atau uang yang dirinci itu.

Notaris atau jurusita telah menyediakan proses verbal. Apabila kreditur

menerima barang atau uang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran

itu. Apabila kreditur menolak maka notaris atau jurusita akan mempersilahkan

kreditur untuk menandatangani proses verbal tersebut, dan jika kreditur tidak

maumemberikan tandatangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris atau jurusita di

atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapat surat bukti yang

resmi si berpiutang telah menolak pembayaran.

Selanjutnya debitur di muka pengadilan negeri mengajukan permohonan

kepada pengadilan supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang

telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka barang

atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada panitera

pengadilan negeri dan dengan demikian perikatan antara debitur dan kreditur

berakhir.40

3. Pembaharuan utang (novasi)

Pembaharuan utang atau novasi adalah salah satu bentuk hapusnya

perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru. Pembaharuan

utang atau novasi terjadi jika seorang kreditur membebaskan debitur dari

kewajiban membayar utang sehingga perikatan antara kreditur dan debitur

terhapus, akan tetapi dibuat suatu perjanjian baru antara kreditur dan debitur untuk

menggantikan perikatan yang dihapuskan.

40

(19)

Menurut Pasal 1413 KUH Perdata, ada tiga macam jalan untuk

melaksanakan suatu pembaharuan utang yaitu :

a. Apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru guna orang

yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama,

yang dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur yang

lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa debitur

dibebaskan dari perikatannya.41

Novasi yang dijelaskan dalam ayat (1) di atas dinamakan novasi obyektif,

karena disitu yang diperbaharui adalah obyek perjanjian, sedangkan yang

disebutkan dalam ayat (2) dan ayat (3) dinamakan novasi subyektif, karena yang

diperbaharui adalah subyek-subyeknya atau orang-orang yang terdapat di dalam

perjanjian. Jika yang diganti adalah debiturnya sebagaimana yang terdapat dalam

ayat (2) maka novasi itu dinamakan novasi subyektif pasif, sedangkan apabila

yang diganti adalah krediturnya sebagaimana dalam ayat (3) maka novasi itu

dinamakan novasi subyektif aktif.42

4. Perjumpaan utang (kompensasi)

Perjumpaan utang atau kompensasi adalah penghapusan masing-masing

utang dengan jalan saling memperhitungkan utang secara timbal-balik antara

debitur dengan kreditur.43

41

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 80

42

H. Riduan Syahrani, op. cit, hal 276.

43

(20)

Menurut Pasal 1425 KUH Pedata yang menetapkan bahwa bagi kedua

belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadi penghapusan

utang-utang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara memperjumpakan

utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain.44

Selanjutnya, menurut pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1426 KUH

Perdata bahwa perjumpaan utang terjadi demi hukum, bahkan tanpa

sepengetahuan orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu

menghapuskan yang lain pada saat utang-utang itu bersama-sama ada , bertimbal

balik untuk jumlah yang sama.45

5. Percampuran utang (konfisio)

Percampuran utang terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur

berkumpul pada satu orang. Pasal 1436 KUH Perdata mengatakan bahwa :

“Apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang

berutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu

percampuran utang, dengan mana piutang dihapuskan.”

Misalnya,kreditur meninggal sedangkan debitur merupakan satu-satunya

ahli waris, atau debitur kawin dengan krediturnya dalam persatuan harta

perkawinan. Berakhirnya perikatan karena percampuran utang ini adalah demi

hukum artinya secara otomatis.46

6. Pembebasan utang

44

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 103

45

Riduan Syahrani, op. cit , hal 278.

46

(21)

Pembebasan utang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditur

yang membebaskan debitur dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi atau

utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditur tersebut.47

Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada

debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap

orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.

Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidak

cukup dijadikan persangkaan tentang dibebaskan utang karena perjanjian gadai

adalah suatu perjanjian accessoir, artinya suatu perjanjian yang terjadi akibat dari

perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.48

7. Musnahnya barang yang terutang

Pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 KUH Perdata bahwa apabila

barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak dapat lagi

diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu

masih ada, maka terhapuslah perikatannya, asalkan musnahnya atau hilangnya

barang tersebut bukan karena kesalahan debitur dan sebelum ia lalai

menyerahkannya. Bahkan, seandainya debitur lalai menyerahkan barang tersebut,

misalnya terlambat, perikatan juga terhapus apabila debitur dapat membuktikan

bahwa musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian yang merupakan

keadaan memaksa dan barang tersebut akan mengalami nasib yang sama

meskipun sudah berada di tangan kreditur.49

47

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 171.

48

Riduan Syahrani, op. cit , hal 280.

49

(22)

8. Kebatalan dan pembatalan

Meskipun disini disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang benar

adalah pembatalan saja. Perkataan batal demi hukum pada Pasal 1446 KUH

Perdata yang dimaksudkan sebenarnya adalah dapat dibatalkan. Suatu

perjanjianbatal demi hukum, maka dianggap perikatan hukum belum lahir, oleh

karena itu tidak ada perikatan hukum yang dihapus.

Permintaan pembatalan dilakukan oleh orang tua/wali dari pihak yang

tidak cakap atau oleh pihak yang menyatakan kesepakatan karena paksaan,

kekhilafan, dan penipuan. Permintaan pembatalan perjanjian yang tidak

memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian itu di muka hakim

2. Secara pasif yaitu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi

perjanjian itu dan disitu baru mengajukan kekurangan persyaratan

perjanjian itu.

Mengajukan penuntutan pembatalan secara aktif diadakan batas waktu

selama 5 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUH Perdata, sedangkan

untuk penuntutan pembatalan secara pasif tidak ada batas waktunya.50

9. Berlakunya syarat batal

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya

digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan masih belum terjadi.

Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa itu

dinamakan perikatan dengan syarat tangguh, sedangkan apabila suatu perikatan

50

(23)

yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa itu, peristiwa itu dinamakan

perikatan dengan syarat batal.

Perikatan dengan syarat tangguh adalah perikatan yang dilahirkan hanya

apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Misalnya seseorang berjanji

akanmenyewakan rumahnya kalau dia dipindahkan keluar negeri, maka timbul

suatu perjanjian dan perikatan dengan syarat tangguh.

Perikatan dengan syarat batal adalah perikatan yang sudah dilahirkan

justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.51

10. Lewat waktu (daluwarsa)

Misalnya seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dengan syarat

bahwa persewaan itu akan berakhir kalau anak dari yang menyewakan tersebut

yang sedang berada di luar negeri pulang ke tanah air. Persewaan itu adalah suatu

persewaan dengan syarat batal. Maka dapat disimpulkan bahwa salah satu cara

hapusnya perikatan adalah apabila ketentuan dalam perikatan dengan syarat batal

telah terjadi.

Daluwarsa atau lewat waktu diatur dalam Pasal 1946 KUH Perdata yang

menyebutkan :

“Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu untuk dibebaskan

dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentudan atas

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.” 52

Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan

daluwarsaacquisitif,sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan

dinamakan daluwarsaextinctif. Lewat waktu untuk memperoleh hak hal ini

51

Ibid., hal 283.

52

(24)

dibahas dalam hukum benda, sedangkan dalam hukum perikatan yang penting

adalah lewat waktu yang menghapuskan perikatan.

Berdasarkan daluwarsa atau lewatnya waktu maka kreditur kehilangan

hak untuk menuntut prestasi yang menjadi kewajiban debitur sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan :

“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun,sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan pada itikadnya yang buruk.”53

Berdasarkan hal tersebut maka terhapuslah setiap perikatan hukum dan

tinggal perikatan bebas yang artinya debitur tidak ada kewajiban untuk memenuhi

prestasinya, sehingga prestasi itu tergantung kepada debitur akan melaksanakan

atau tidak, tetapi yang jelas sudah menghilangkan hak kreditur untuk melakukan

penuntutan dan tidak dapat dituntut melalui pengadilan.54

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu

tertentu.

Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat berkahir atau terhapus

karena:

b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian

(pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata).

c. Salah satu pihak meninggal dunia.

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bilah salah satu pihak lalai

melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat

53

Ibid., Pasal 1967

54

(25)

terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah

pihak menyatakan menghentikan perjanjian.

e. Karena putusan hakim.

f. Tujuan perjanjian telah tercapai dengan kata lain dilaksanakannya

objek perjanjian atau prestasi.

g. Dengan persetujuan para pihak.

Berakhirnya suatu perjanjian yang disampaikan R. Setiawan di atas adalah

cara lain yang dibuat para pihak sesuai dengan perkembangan zaman. Cara

terhapusnya perjanjian dapat berlaku atau digunakan untuk cara terhapusnya

perikatan begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan Buku III Bab IV KUH

Perdata ini mengatur berbagai cara tentang hapusnya atau berkahirnya suatu

perikatan yang muncul baik karena perjanjian ataupun undang-undang.55

55

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kehadiran internet di negara manapun di berbagai belahan dunia sudah tidak ada lagi batas dalam memperoleh informasi dalam waktu yang sama di tempat berbeda dengan jarak

NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan

Berdasarkan data pada tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Paviliun Asoka RSUD Jombang tingkat nyeri setelah diberikan murotal qur’an (post test)

Minat membaca berpengaruh besar terhadap kesuksesan anak (siswa) sehingga perlu ditanamkan sejak dini. Perpustakaan berperan dalam menumbuhkan minat baca siswa

The speci®c objectives are: (1) to develop an approach to link easily quanti®able macroscopic measures of a porous medium to an accurate mapping of the pore morphology; (2) to develop

2 Guru menjelas- kan tentang identitas diri dengan memberi contoh dengan gambar serta berupa ciri-ciri yang spesifik.. 3 Guru menugaskan pada anak secara bergantian

We then employ the invasion percolation model of two-phase ¯ow in porous media to study the e€ect of correlated heterogeneity on rate-controlled mercury porosimetry, the

Berdasarkan paparan latar belakang masalah, maka peneliti akan menjabarkan dan menginterpretasikan penggambaran “Bakti Pada Negeri” melalui tiap potongan scene dalam iklan