16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Hukum Perikatan Pada Umumnya
1. Pengertian Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan
tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa
dalam ilmu pengetahuan hukum. Pengertian perikatan itu sendiri oleh para ahli
hukum diartikan bermacam-macam. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua
pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur)
berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi
prestasi itu. Perikatan itu sifatnya abstrak.
Berdasarkan pengertian perikatan di atas, dalam satu perikatan terdapat
hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Hak dan kewajiban tersebut
merupakan akibat hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum.18
2. Sumber-Sumber Perikatan
Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari
perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang
menurut Pasal 1352 KUH Perdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari
undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena
perbuatan manusia. Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena
18
perbuatan manusia menurut Pasal 1353 KUH Perdata dibedakan lagi atas
perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang melawan hukum.19
Namun, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan
melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala
macam perikatan.
Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum
Perikatan mengatakan bahwa :
“Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang-undang.”
Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang
menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang
bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang.
Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun
yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada
keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUH Perdata.
Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber
perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 KUH Perdata yaitu perjanjian dan
undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim.
20
Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya
memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan
perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian. Perjanjian lebih konkret
19
Ibid.,hal 201
20
daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar, sedangkan
perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam pikiran).
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan yang
lahir dari :
a. Undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya
peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum
(perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari
kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat
bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin
mendapatkan haknya atas sesuatu.
b. Undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya
serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan
akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut.
Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan yang
sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUH Perdata tentang zaak warneming
atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam keadaan
darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan hukum
adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak berhati-hati
sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu
harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.21
Pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa suatu perikatan bersumber
dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena
21
undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak
para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si
pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun
perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum (perikatan) yang
muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan
bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum
seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini
lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada
akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya
perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian
yang mereka tutup.22
3. Sistem Terbuka Dalam Hukum Perikatan
Buku III KUH Perdata mengenai hukum perikatan dibagi dalam dua
bagian yaitu bagian umum dan bagian khusus. Ketentuan khusus mengatur
mengenai perjanjian-perjanjian khusus yaitu perjanjian yang dikenal secara luas
dalam masyarakat sperti perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian
tukar-menukar dan sebagainya, sedangkan ketentuan umum tersebut berlaku
untuk semua perikatan pada umumnya, baik yang bernama maupun yang tidak
bernama.
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa hukum
perjanjian memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membuat perjanjian
yang berisi apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan
22
hukum pelengkap, berarti bahwa pasal-pasal itu boleh tidak dipakai apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Pihak yang
membuat perjanjian diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Para pihak diperbolehkan
mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang dibuat tersebut.
Apabila para pihak tidak mengatur sendiri mengenai sesuatu hal terkait dengan
perjanjian tersebut, maka mereka tunduk kepada undang-undang.23
Adanya kebebasan berkontrak itu atau sistem terbuka,
perjanjian-perjanjian dengan sebutan perjanjian-perjanjian-perjanjian-perjanjian bernama itu hanyalah sebagai Sistem terbuka mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan :
“Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III KUH Perdata ini
merupakan sistem terbuka sebagai lawan sistem tertutup yang dianut Buku II
KUH Perdata yaitu hukum benda. Adanya kebebasan membuat perjanjian tersebut
berarti orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam
Buku III KUH Perdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, seperti yang
dijelaskan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata diatas. Namun, kebebasan
berkontrak bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, tetapi perjanjian
harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat sahnya perjanjian, baik
syarat umum sebagimana disebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata maupun syarat
khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
23
contoh belaka. Karena itu, masyarakat boleh membuat perjanjian lain daripada
contoh tersebut atau membuatnya secara sama dengan salah satu daripadanya
sesuai dengan kebutuhan untuk apa perjanjian termaksud dibuat.24
B. Pengaturan Mengenai Perjanjian
1. Syarat Sahnya Perjanjian
Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui
perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan. Perjanjian yang
sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Berikut ini akan diuraikan secara garis besar dari keempat syarat sahnya
perjanjian itu.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan
atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.25
24
Ibid., hal 204
25
Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya
perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam
teori/ajaran, yaitu :
a. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak
yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
Kelemahannya adalah karena dianggap terjadinya kesepakatan secara
otomatis.
b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja
walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang
menawarkan.
c. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
seharusnya sudah menegetahui bahwa tawarannya sudah diterima
(walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara
langsung). Kelemahannya adalah bagaimana bisa mengetahui isi
penerimaan itu apabila pihak tersebut belum menerimanya.
d. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Permasalahan lain tentang kesepakatan, yaitu apabila terjadi pernyataan
yang keluar tidak sama dengan kemauan yang sebenarnya. Untuk menjawab
permasalahan ini ada beberapa teori yaitu :
a. Teori kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi
b. Teori pernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi
perjanjian atau belum adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara
kehendak dengan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
c. Teori kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi
perjanjian atau belum adalah pernyataan seseorang secara objektif dan
dapat dipercaya. Kelemahannya adalah kepercayaan itu sulit dinilai.
Selanjutnya, menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat harus
diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.
Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni yang disebut cacat
kehendak. Tiga unsur cacat kehendak yaitu :
Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan (Pasal 1321 KUH Perdata). Sesat
dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tetapi kemauan itu
didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya.
Cirinya, yakni tidak ada pengaruh dari pihak lain.
Paksaan (Pasal 1323-1327 KUH Perdata). Paksaan bukan karena
kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi oleh pihak lain. Paksaan telah terjadi
apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang
berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada
orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian
yang terang dan nyata. Berdasarkan hal itu, maka pengertian paksaan adalah
kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang
diperbolehkan oleh hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang
Penipuan (Pasal 1328 KUH Perdata). Pihak yang menipu dengan daya
akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya
sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.26
2. Cakap untuk membuat perjanjian
Cakap merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh
suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.27
Sebelum adanya SEMA No.3 Tahun 1963, perempuan termasuk orang
yang tidak cakap berbuat, tetapi hal ini sudah dicabut dengan adanya SEMA No.3
Tahun 1963. Dengan demikian maka orang yang tidak cakap atau tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum dapat dibagi menjadi mereka yang belum
cukup umur, menurut Pasal 1330 KUH Perdata adalah mereka yang belum genap
berusia 21 tahun dan belum menikah, serta mereka yang diletakkan dibawah
pengampuan. Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang
pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang yang disebut
curandus karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala
hal tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum, karena orang
tersebut oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak
cakap bertindak dan lantas diberi seseorang wakil menurut undang-undang yang
disebut curator. Sedangkan pengampuannya disebut curatele.28
Dilihat dari sudut rasa keadilan, memang perlu bahwa orang yang
membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus
benar-benar mempunyai kemampuan untuk memahami segala tanggung jawab yang
26
Handri Raharjo, op. cit, hal 47-50.
27
Riduan Syahrani, op. cit, hal 208
28
akan dipikulnya karena perbuatannya itu. Sedangkan dilihat dari ketertiban
umum, karena orang yang membuat perjanjian itu mempertaruhkan kekayaannya,
sehingga sudah seharusnya orang tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas
terhadap harta kekayaannya.
Jadi, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung
kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam
hubungannya dengan keselamatan keluarganya.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata barang yang menjadi obyek
suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan dapat ditentukan dan
diperhitungkan.
Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) yang menyebutkan :
“Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok
suatu perjanjian.”
Kemudian, dalam Pasal 1332 KUH Perdata ditentukan bahwa
barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang-barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan
umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa
dijadikan obyek perjanjian.29
29
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat keempat untuk sahnya
perjanjian. Sebab yang dimaksud adalah isi suatu perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang
yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat
membahayakan kepentingan umum.30
Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas disebut syarat subjektif,
yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian ini dapat
dibatalkan, untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari
salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya. Syarat suatu hal
tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai
objeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, yakni
sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu
pembatalan.31
2. Asas-Asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas, namun menurut Handri
Raharjo terdapat 5 (lima) asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik,
dan asas kepribadian.
Penjelasan mengenai kelima asas tersebut dapat diuraikan sebagi berikut :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
30
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cetakan kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal 99.
31
Asas ini mengandung pengerian bahwa setiap orang dapat mengadakan
perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun
yang belum diatur oleh undang-undang. Tetapi kebebasan ini ada batasnya,
selama kebebasan itu tidak melanggar hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian,pelaksanaannya,dan
persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.32
b. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berarti kesepakatan, perjanjian lahir atau terjadi
dengan kata sepakat. Konsensualisme artinya perjanjian sudah mengikat para
pihak yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal
yang diperjanjikan. Perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak tanpa perlu
suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah
dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu
perjanjian, seperti jual-beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat
secara tertulis dengan akta otentik notaris.33
c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
32
Ibid., hal 44.
33
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) yang
menegaskan:
“Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 34
d. Asas Itikad baik
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan
keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, bahkan hakim dapat memerintahkan
pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan
bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum,
secara pasti memiliki perlindungan hukum.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang terkandung
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan :
“ Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin
para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu
daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Itikad baik dalam perjanjian
34
mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian
disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik.35
e. Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.
Asas tersebut dinamakan asas kepribadian. Berdasarkan asas ini suatu perjanjian
hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang
membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian
tersebut tidak terikat.
Terhadap asas kepribadian ini terdapat suatu pengecualian yaitu dalam
bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Dalam janji untuk pihak ketiga
ini, seorang membuat suatu perjanjian, dimana perjanjian ini memperjanjikan
hak-hak bagi orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang
menyebutkan sebagai berikut:
“Lagi pun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya.”36
3. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Menurut R. Setiawan, hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan
hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat terhapus sedangkan perjanjian
yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Contoh, pada perjanjian jual beli,
dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi terhapus,
35
Ibid.
36
sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan tentang penyerahan barang
belum dilaksanakan. Selain itu, dapat juga terjadi bahwa perjanjiannya sendiri
telah berakhir, tetapi perikatannya masih ada, misalnya dalam sewa-menyewa,
dimana perjanjian sewa-menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk
membayar uang sewa belum berakhir karena belum dibayar. Walaupun pada
umumnya jika perjanjian terhapus maka perikatannya pun terhapus, begitu juga
sebaliknya.
Terdapat sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1381 KUH Perdata sebagai berikut :
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan utang (novasi)
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran utang (konfisio)
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Kebatalan dan pembatalan
9. Berlakunya syarat batal
10.Lewatnya waktu
Berikut ini akan dijelaskan mengenai berakhirnya suatu perikatan tersebut:
1. Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela, artinya
dimana dengan dilakukannya pembayaran ini tercapailah tujuan
perikatan/perjanjian yang diadakan.
Siapa saja boleh melakukan pembayaran kepada kreditur dan si kreditur
harus menerimanya, hal ini sesuai dengan Pasal 1382 KUH Perdata yang
menjelaskan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga
yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga tersebut bertindak atas
nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau dapat juga pihak ketiga
bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Pada dasarnya suatu perikatan dapat berakhir hanya jika hal tersebut
dilaksanakan atau dipenuhi sendiri oleh debitur dalam perikatan, walau demikian
tidak menutup kemungkinan bahwa dalam hal-hal tertentu, suatu kewajiban dalam
perikatan dapat dipenuhi oleh seorang pihak ketiga, apabila hal tersebut
dimungkinkan dan dikehendaki oleh kreditur, berdasarkan pada sifat dan jenis
perikatannya.37
Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau kepada orang yang telah
diberikan kuasa olehnya, atau orang yang telah diberikan kuasa oleh hakim atau
undang-undang untuk menerima pembayaran tersebut. Pembayaran yang
dilakukan kepada orang yang tidak berkuasa menerima pembayaran bagi kreditur Pengecualian pembayaran oleh pihak ketiga disebutkan di dalam Pasal
1383 KUH Perdata yang menentukan bahwa pada perikatan untuk berbuat
sesuatu, tidak dapat dipenuhi oleh pihak ketiga berlawanan dengan kemauan
kreditur, jika kreditur berkehendak supaya perbuatan tersebut dilakukan sendiri
oleh debitur.
37
adalah sah apabila kreditur menyetujuinya atau telah mendapat manfaat karenanya
seperti yang disebutkan dalam Pasal 1385 KUH Perdata. Berdasarkan pasal 1385
KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran yaitu kreditur
sendiri, seorang yang diberi kuasa oleh kreditur, seorang yang diberi kuasa oleh
hakim atau undang-undang.38
Suatu masalah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah
subrogasi. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga,
berdasarkan pasal 1400 KUH Perdata penggantian ini terjadi dengan pembayaran
yang diperjanjikan atau ditetapkan oleh undang-undang. Subrogasi ini dibedakan
menjadi dua, yaitu subrogasi karena perjanjian yang diatur dalam pasal 1401
KUH Perdata, dan subrogasi karena undang-undang yang diatur dalam pasal 1402
KUH Perdata.39
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Jika kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, maka
debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang kemudian diikuti dengan
penitipan. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan hanya berlaku
bagi perikatan untuk membayar sejumlah uang dan penyerahan barang bergerak.
Caranya adalah barang atau uang yang dibayarkan itu ditawarkan secara resmi
oleh seorang notaris atau seorang jurusita pengadilan. Notaris atau jusita ini
membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan tersebut
dan pergi ke tempat dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan
jika tidak ada perjanjian khusus mengenai hal ini, kepada kreditur pribadi atau
tempat tinggalnya. Notaris atau jurusita kemudian memberitahukan bahwa ia atas
38
Riduan Syahrani, op. cit, hal 268.
39
permintaan debitur datang untuk membayar utang debitur tersebut, pembayaran
mana dilakukan dengan menyerahkan barang atau uang yang dirinci itu.
Notaris atau jurusita telah menyediakan proses verbal. Apabila kreditur
menerima barang atau uang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran
itu. Apabila kreditur menolak maka notaris atau jurusita akan mempersilahkan
kreditur untuk menandatangani proses verbal tersebut, dan jika kreditur tidak
maumemberikan tandatangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris atau jurusita di
atas surat proses verbal tersebut. Dengan demikian terdapat surat bukti yang
resmi si berpiutang telah menolak pembayaran.
Selanjutnya debitur di muka pengadilan negeri mengajukan permohonan
kepada pengadilan supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang
telah dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka barang
atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada panitera
pengadilan negeri dan dengan demikian perikatan antara debitur dan kreditur
berakhir.40
3. Pembaharuan utang (novasi)
Pembaharuan utang atau novasi adalah salah satu bentuk hapusnya
perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru. Pembaharuan
utang atau novasi terjadi jika seorang kreditur membebaskan debitur dari
kewajiban membayar utang sehingga perikatan antara kreditur dan debitur
terhapus, akan tetapi dibuat suatu perjanjian baru antara kreditur dan debitur untuk
menggantikan perikatan yang dihapuskan.
40
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata, ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan utang yaitu :
a. Apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama,
yang dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur yang
lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa debitur
dibebaskan dari perikatannya.41
Novasi yang dijelaskan dalam ayat (1) di atas dinamakan novasi obyektif,
karena disitu yang diperbaharui adalah obyek perjanjian, sedangkan yang
disebutkan dalam ayat (2) dan ayat (3) dinamakan novasi subyektif, karena yang
diperbaharui adalah subyek-subyeknya atau orang-orang yang terdapat di dalam
perjanjian. Jika yang diganti adalah debiturnya sebagaimana yang terdapat dalam
ayat (2) maka novasi itu dinamakan novasi subyektif pasif, sedangkan apabila
yang diganti adalah krediturnya sebagaimana dalam ayat (3) maka novasi itu
dinamakan novasi subyektif aktif.42
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
Perjumpaan utang atau kompensasi adalah penghapusan masing-masing
utang dengan jalan saling memperhitungkan utang secara timbal-balik antara
debitur dengan kreditur.43
41
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 80
42
H. Riduan Syahrani, op. cit, hal 276.
43
Menurut Pasal 1425 KUH Pedata yang menetapkan bahwa bagi kedua
belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadi penghapusan
utang-utang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara memperjumpakan
utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain.44
Selanjutnya, menurut pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1426 KUH
Perdata bahwa perjumpaan utang terjadi demi hukum, bahkan tanpa
sepengetahuan orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang itu yang satu
menghapuskan yang lain pada saat utang-utang itu bersama-sama ada , bertimbal
balik untuk jumlah yang sama.45
5. Percampuran utang (konfisio)
Percampuran utang terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur
berkumpul pada satu orang. Pasal 1436 KUH Perdata mengatakan bahwa :
“Apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang
berutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran utang, dengan mana piutang dihapuskan.”
Misalnya,kreditur meninggal sedangkan debitur merupakan satu-satunya
ahli waris, atau debitur kawin dengan krediturnya dalam persatuan harta
perkawinan. Berakhirnya perikatan karena percampuran utang ini adalah demi
hukum artinya secara otomatis.46
6. Pembebasan utang
44
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 103
45
Riduan Syahrani, op. cit , hal 278.
46
Pembebasan utang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditur
yang membebaskan debitur dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi atau
utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditur tersebut.47
Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada
debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap
orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.
Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidak
cukup dijadikan persangkaan tentang dibebaskan utang karena perjanjian gadai
adalah suatu perjanjian accessoir, artinya suatu perjanjian yang terjadi akibat dari
perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.48
7. Musnahnya barang yang terutang
Pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 KUH Perdata bahwa apabila
barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak dapat lagi
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka terhapuslah perikatannya, asalkan musnahnya atau hilangnya
barang tersebut bukan karena kesalahan debitur dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Bahkan, seandainya debitur lalai menyerahkan barang tersebut,
misalnya terlambat, perikatan juga terhapus apabila debitur dapat membuktikan
bahwa musnahnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian yang merupakan
keadaan memaksa dan barang tersebut akan mengalami nasib yang sama
meskipun sudah berada di tangan kreditur.49
47
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, op. cit, hal 171.
48
Riduan Syahrani, op. cit , hal 280.
49
8. Kebatalan dan pembatalan
Meskipun disini disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang benar
adalah pembatalan saja. Perkataan batal demi hukum pada Pasal 1446 KUH
Perdata yang dimaksudkan sebenarnya adalah dapat dibatalkan. Suatu
perjanjianbatal demi hukum, maka dianggap perikatan hukum belum lahir, oleh
karena itu tidak ada perikatan hukum yang dihapus.
Permintaan pembatalan dilakukan oleh orang tua/wali dari pihak yang
tidak cakap atau oleh pihak yang menyatakan kesepakatan karena paksaan,
kekhilafan, dan penipuan. Permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian itu di muka hakim
2. Secara pasif yaitu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi
perjanjian itu dan disitu baru mengajukan kekurangan persyaratan
perjanjian itu.
Mengajukan penuntutan pembatalan secara aktif diadakan batas waktu
selama 5 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 1454 KUH Perdata, sedangkan
untuk penuntutan pembatalan secara pasif tidak ada batas waktunya.50
9. Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya
digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan masih belum terjadi.
Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa itu
dinamakan perikatan dengan syarat tangguh, sedangkan apabila suatu perikatan
50
yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa itu, peristiwa itu dinamakan
perikatan dengan syarat batal.
Perikatan dengan syarat tangguh adalah perikatan yang dilahirkan hanya
apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Misalnya seseorang berjanji
akanmenyewakan rumahnya kalau dia dipindahkan keluar negeri, maka timbul
suatu perjanjian dan perikatan dengan syarat tangguh.
Perikatan dengan syarat batal adalah perikatan yang sudah dilahirkan
justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.51
10. Lewat waktu (daluwarsa)
Misalnya seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dengan syarat
bahwa persewaan itu akan berakhir kalau anak dari yang menyewakan tersebut
yang sedang berada di luar negeri pulang ke tanah air. Persewaan itu adalah suatu
persewaan dengan syarat batal. Maka dapat disimpulkan bahwa salah satu cara
hapusnya perikatan adalah apabila ketentuan dalam perikatan dengan syarat batal
telah terjadi.
Daluwarsa atau lewat waktu diatur dalam Pasal 1946 KUH Perdata yang
menyebutkan :
“Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentudan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.” 52
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan
daluwarsaacquisitif,sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dinamakan daluwarsaextinctif. Lewat waktu untuk memperoleh hak hal ini
51
Ibid., hal 283.
52
dibahas dalam hukum benda, sedangkan dalam hukum perikatan yang penting
adalah lewat waktu yang menghapuskan perikatan.
Berdasarkan daluwarsa atau lewatnya waktu maka kreditur kehilangan
hak untuk menuntut prestasi yang menjadi kewajiban debitur sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan :
“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun,sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan pada itikadnya yang buruk.”53
Berdasarkan hal tersebut maka terhapuslah setiap perikatan hukum dan
tinggal perikatan bebas yang artinya debitur tidak ada kewajiban untuk memenuhi
prestasinya, sehingga prestasi itu tergantung kepada debitur akan melaksanakan
atau tidak, tetapi yang jelas sudah menghilangkan hak kreditur untuk melakukan
penuntutan dan tidak dapat dituntut melalui pengadilan.54
a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu
tertentu.
Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat berkahir atau terhapus
karena:
b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian
(pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata).
c. Salah satu pihak meninggal dunia.
d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bilah salah satu pihak lalai
melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat
53
Ibid., Pasal 1967
54
terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah
pihak menyatakan menghentikan perjanjian.
e. Karena putusan hakim.
f. Tujuan perjanjian telah tercapai dengan kata lain dilaksanakannya
objek perjanjian atau prestasi.
g. Dengan persetujuan para pihak.
Berakhirnya suatu perjanjian yang disampaikan R. Setiawan di atas adalah
cara lain yang dibuat para pihak sesuai dengan perkembangan zaman. Cara
terhapusnya perjanjian dapat berlaku atau digunakan untuk cara terhapusnya
perikatan begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan Buku III Bab IV KUH
Perdata ini mengatur berbagai cara tentang hapusnya atau berkahirnya suatu
perikatan yang muncul baik karena perjanjian ataupun undang-undang.55
55