• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG KEADILAN SAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BEBERAPA PERSPEKTIF TENTANG KEADILAN SAH"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

22

BE BE RAPA PE RSPE KTIF TE NTANG KE ADILAN SAHABAT

Ja’far

Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan E state, 20371

e-mail: farja1984@ yahoo.co.id

Abstrak: Perspectives on the Integrity of the Companions of the Prophet. Diskusi tentang keadilan sahabat Nabi Muhammad SAW. telah banyak dilakukan oleh para sarjana Islam, namun tampaknya lebih bernuansa apologetik, normatif dan tidak kritis, sebagai akibat dari penilaian bahwa periode kehidupan sahabat sebagai periode sakral. Pandangan umum menyatakan tentang keadilan semua sahabat. Sedikit sekali uraian kritis dan komprehensif tentang kepribadian para sahabat dari perspektif mazhab-mazhab. Tulisan ini akan menguraikan konsep keadilan sahabat secara kritis, komprehensif dan seimbang. Dengan menggunakan metode komparatif, keadilan sahabat dilihat dari perspektif Sunni dan Syi‘ah. Penulis menyimpulkan bahwa para ulama tidak memiliki konsensus tentang keadilan sahabat. Ulama Sunni meyakini bahwa semua sahabat bersifat adil, sedangkan ulama Syi‘ah mengklaim bahwa hanya segelintir sahabat Nabi saja yang adil. Perbedaan pandangan ini sangat memengaruhi sikap kedua aliran tersebut terhadap status hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Abstract: Beberapa Perspektif Tentang Keadilan Sahabat. A large number

of researches onthe integrity of the companions of the Prophet pbuh. has been

done by Muslim scholars but at some degree seem to be apologetic, normative an uncritical as consequence of perception that the period of the companions’ lives is regarded to be sacred. The prevailing view insists on the integrity of all companions. There were only very few critical and comprehensive discussion on the integrity of the companions as far as the schools of thought are concerned. This essay attempts to critically and impartially discuss the integrity of the companions. By approaching the issue comparatively, the author analyzes the integrity of the companion from the Sunni and Syi’ahs’ perspective. The author concludes that there is no consensus amongst scholars on the integrity of the companions, by which for the Sunni scholars all of them are honest, whereas for the Syiah they constitute only a limited number. Such divergence of opinion influences the attitude of the two mainstreams towards the status of the prophetic traditions.

Kata Kunci: keadilan, sahabat, hadis, Sunni, Syi`ah

Pendahuluan

Pembahasan tentang hadis sangat terkait erat dengan pembahasan tentang

(2)

23

pertama di dunia Islam. Dari mereka, umat Islam mengetahui dan memahami

hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, tanpa mereka, sangat mustahil

umat Islam belakangan dapat mengetahui ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan

taqrir Nabi Muhammad SAW.

Artikel ini akan mencoba untuk membahas masalah kedudukan sahabat dan

keadilannya. Secara khusus makalah ini memfokuskan kajian terhadap sejumlah

persoalan, yakni pengertian sahabat, cara mengetahui sahabat, ‘A dalah al-Shahabah

(keadilan sahabat), pandangan Sunni dan Syi‘ah tentang keadilan sahabat dan

argumentasinya, dan jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis.

Dalam uraiannya, makalah ini akan menggunakan metode deskriptif dan

komparatif. Metode deskriptif yakni menguraikan pandangan para ‘ulama tentang

masalah yang akan dikaji tulisan ini secara apa adanya. Sementara itu metode

komparatif yakni membandingkan antara pandangan ulama Sunni dengan ulama

Syi‘ah Imamiyah tentang masalah yang akan dikaji tersebut. Komparasi ini

dimaksudkan agar diketahui secara luas tentang tema yang dikaji perspektif

Sunni-Syi‘ah.

Pengertian Sahabat

Secara lebih spesifik, istilah ‘sahabat’ berasal dari bahasa Arab, yakni al-ashhab,

al-shahabah, shahaba, yashhubu, shuhbatan, shahabatan, dan shahibûn, yang artinya teman

bergaul, sahabat, teman duduk, penolong, dan pengikut. A l-Shahib diartikan sebagai

kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang

melakukan dan menjaga sesuatu’. Di dalam al-Qur’an, ditemukan derivasi dari kata

ini seperti tushahibni, shahibahunâ, shahibahu, shahibatahu, ashhab, dan ashhabûn. Kata ini

diulang-ulang sebanyak 97 kali. Namun kata shahabah dan shuhbah tidak ada di dalam

al-Qur’an al-Karim. Berdasarkan penelaahan atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an,

kata-kata tersebut memiliki beberapa makna, baik bermakna positif maupun bermakna

negatif. Kata al-shuhbah dapat diterapkan kepada hubungan antara seorang mukmin

dengan mukmin lain, antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang berbeda

(3)

24

pengikut dengan orang yang diikuti, antara seorang mukmin dengan orang kafir,

antara orang kafir dengan orang kafir lainnya, antara seorang nabi dengan kaumnya

yang kafir yang berusaha menghalangi dari kebaikan dan mengembalikannya pada

kesesatan. Kata al-shuhbah terkadang terjadi karena ada unsur keterpaksaan. Kata ini

pun bermakna memiliki pengaruh, misalnya seseorang dapat terpengaruh

perangainya setelah berteman dengan orang yang berprilaku buruk. Kata ini pun

berarti ketundukan pada akidah Ilahi atau kesetiaan mutlak kepada pemimpin

politik, seperti ketundukan keluarga nabi terhadap akidah Ilahi atau pengorbanan

mereka serta kesetiaan para sahabat pada kepemimpinan Rasulullah SAW.1

Menurut bahasa, kata ‘sahabat’ adalah musytaq (pecahan) dari kata shuhbah,

artinya orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah.2 Kata

ini digunakan untuk menyatakan kegiatan persahabatan itu, baik terjadi dalam

frekuensi minimal maupun maksimal. Jadi, jika seseorang menemani seseorang

selama sepanjang masa, atau satu tahun, atau satu bulan, atau satu hari, atau bahkan

satu jam, maka mereka telah dianggap saling bersahabat.3 Konsep ini dipegang oleh

mayoritas ulama sebagai sarana untuk mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara

terminologi.

Secara terminologi, banyak sekali pandangan ulama tentang definisi sahabat.

Mengenai batasan tentang siapa sahabat itu sampai saat ini masih diperselisihkan.

Bagian ini akan menulis pandangan mayoritas ulama dan minoritas ulama tentang

definisi sahabat.

Mayoritas ulama mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara umum. Misalnya,

seperti dilaporkan oleh al-Syahrazurî,4 dan ‘Ajaj al-Khatib,5 para ahli hadis menulis bahwa “sahabat adalah setiap Muslim yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW”.

Imam Bukharî menyatakan bahwa “Di antara kaum Muslimin yang pernah

menyertai Nabi Muhammad SAW. atau pernah melihat beliau, maka sudah termasuk

1Ahmad Husein Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah (Qom: Ansariyan Publication, 1996), h. 9-10.

2Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, A l-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 387. 3Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 377.

4Al-Imâm ‘Amr ‘Usman bin ‘Abd Rahmân al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm

(4)

25

sahabat Nabi Muhammad SAW”. Imam Ahmad mengungkapkan bahwa “setiap

orang yang pernah menyertai Nabi Muhammad SAW.. selama satu tahun atau

beberapa bulan, sehari atau satu jam, bahkan sekedar pernah melihat beliau

termasuk sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki status sahabat sesuai dengan

kadar kesertaan yang dilakukannya, dan sebelumnya pernah bersama, mendengar

dari dan memperhatikan beliau”. Sementara itu, Ibn Hazm menulis bahwa “sahabat

adalah setiap orang yang pernah ber-mujalasah dengan Nabi Muhammad SAW.,

meski hanya sesaat, mendengar dari beliau meski hanya satu kata, menyaksikan

beliau menangani suatu masalah dan tidak termasuk orang-orang munafik yang

kemunafikannya berlanjut sampai populer dan meninggal dalam keadaan seperti

itu”. Kemudian Abû al-Muzaffar al-Sam’ani pernah berkata bahwa “para pakar hadis

menyebut istilah sahabat untuk orang yang meriwayatkan dari Nabi Muhammad

SAW., satu hadis atau satu kata. Lalu mereka melonggarkan pengertian itu, sehingga

mereka menganggap orang yang pernah melihat sekali saja kepada Nabi Muhammad

SAW. sebagai sahabat. Ini tidak lain karena kemuliaan status Nabi Muhammad

SAW. Mereka memberikan status sahabat kepada siapa saja yang pernah melihat

Nabi Muhammad SAW.”. Berdasarkan keterangan al-Wâqidî, para ahli ilmu berkata

“setiap orang yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW., telah baligh, lalu masuk

Islam, memahami persoalan agama, dan rela kepada beliau, maka ia dapat disebut

sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. meski hanya sesaat di siang hari”. Ibn Hajar

al-Asqalânî menulis “sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi

Muhammad SAW. dengan ketentuan ia beriman dan hidup bersamanya baik lama

atau sebentar, meriwayatkan hadis dari beliau atau tidak. Demikian pula orang yang

pernah melihat Nabi Muhammad SAW. walaupun sebentar, atau pernah bertemu

dengan beliau namun tidak melihat beliau karena buta.”6 Sementara Muhammad

Jamal al-Dîn al-Qasimî menulis bahwa “sahabat adalah orang yang pernah bertemu

dengan Nabi Muhammad SAW. walaupun sesaat, dalam keadaan beriman

(5)

26

kepadanya, baik meriwayatkan hadis dari beliau atau tidak.7 Demikianlah pandangan

mayoritas ‘ulama Sunni tentang sahabat.

Sementara segelintir ulama mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara ketat dan

khusus. Misalnya, seperti dilaporkan oleh Syahrazurî8 dan ‘Ajaj al-Khatib,9 Anas bin Malik menyatakan bahwa melihat Nabi Muhammad SAW. belum cukup menjadikan

seseorang masuk dalam kategori sahabat. Pandangannya ini berdasarkan riwayat dari

Syu’bah dari Musa al-Subulanî, katanya “saya bertanya kepada Anas bin Malik,

apakah masih ada sahabat Nabi Muhammad SAW. selain tuan?. Beliau menjawab

“orang-orang pedalaman Arab melihat beliau, tetapi yang berstatus sahabat tidak ada

lagi”. Sementara Abû Bakar al-Baqillânî menyatakan bahwa tidak disebut sahabat

kecuali untuk orang yang banyak bergaul dan sering bertemu dengan orang lain.

Tidak digunakan kata sahabat untuk orang yang bertemu hanya sesaat dengan orang

lain atau berjalan satu langkah dengannya serta mendengar satu pembicaraan saja

darinya”. Para ahli Ushûl Fiqih menulis bahwa “sahabat adalah orang yang lama

bergaul bersama Nabi Muhammad SAW”. Sa’id bin al-Musayyab mengatakan bahwa

“tidak dianggap sebagai seorang sahabat kecuali orang yang bertemu Nabi

Muhammad SAW. selama satu atau dua tahun. Atau ia pernah berperang bersama

Nabi Muhammad SAW. dalam satu atau dua kali peperangan.”10 Demikianlah

sepintas pandangan-pandangan ‘ulama Sunni tentang definisi sahabat.

Mazhab Syi‘ah Imamiyah memberikan definisi lain yang agak berbeda dengan

definisi-definisi sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan Ahmad Husain Ya’kub bahwa

sahabat adalah setiap orang yang semasa dengan Nabi yang mereka mematuhi

Rasulullah SAW., melindungi, memberikan pertolongan, dan mengikuti cahaya yang

diturunkan kepada beliau. Mereka adalah orang-orang pilihan yang turut berjasa

menegakkan daulah Islam dan selalu bersabar terhadap berbagai bentuk cerca dan

hinaan orang-orang kafir, hingga Allah memberikan kemenangan. Mereka selalu

berpegang teguh kepada Allah, dan menampakkan kesetiaan kepada Rasulullah

7Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 108-109. 8Al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm al-Hadits, h. 175.

9Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 379-380.

(6)

27

SAW. dan kepada orang yang ditunjuk sebagai wali (yakni ‘Alî bin Abî Thâlib) oleh

beliau, hingga akhirnya mereka meninggal dalam keadaan berpegang teguh kepada

agama Allah.11 Orang-orang yang masuk dalam definisi ini sangat sedikit, antara lain

‘Alî bin Abî Thâlib, Abû Dzar al-Ghiffarî, Salman al-Fârisî, Miqdad bin Amr, Malik

Asytar, Maitsam Tammar, Kumail bin Ziyad, Said bin Jubair, Mukhtar

al-Tsaqafî, Abû Thâlib, Ja’far bin Abî Thâlib, Hamzah, Mus’ab al-Khair, Ammar bin

Yassir, dan Habib bin Mazhahir.12 Kesemuanya adalah sahabat-sahabat istimewa

Nabi Muhammad SAW. Para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah menilai bahwa para sahabat

semacam Abû Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Amr

bin Ash, dan Muawiyah kurang istimewa. Mereka dinilai oleh ulama Syi‘ah Imamiyah

sebagai orang-orang yang memiliki bermacam-macam watak di mana hanya Allah

SWT. saja yang mengetahuinya. Bahkan di antara mereka adalah kaum munafik,

meskipun mereka menampakkan keislaman mereka. Mereka akan ditempatkan oleh

Allah SWT. ke neraka. Mereka tidak layak disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad

SAW. Jika mereka tetap ingin disebut sebagai sahabat, mereka hanya bisa disebut

sebagai sahabat yang tidak istimewa.13 Demikianlah pandangan Syi‘ah Imamiyah

tentang sahabat.

Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, mendukung pernyataan Nawir

Yuslem, bahwa para prinsipnya, ada dua unsur yang disepakati oleh para ahli yang

harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa disebut sebagai sahabat. Pertama, pernah

bertemu dengan Rasulullah SAW. Kedua, dalam keadaan beriman dan Islam sampai

meninggal dunia.14 Alhasil, jika seseorang memang tidak pernah bertemu Nabi

Muhammad SAW., atau pernah bertemu beliau, tetapi tidak dalam keadaan beriman,

atau bertemu dalam keadaan beriman, tetapi meninggal dalam keadaan tidak

beriman, maka ia tidak bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.

Satu hal yang mesti dipahami pula bahwa para sahabat itu bertingkat-tingkat

kedudukannya. Mengenai jumlah peringkat (Thabaqah) di kalangan sahabat sampai

11Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah, h. 20, 23-24.

12Kamal al-Sayyid, The Companions of the Prophet and Their Followers (Qom: Ansariyan Publications, 2000).

(7)

28

saat ini memang masih diperselisihkan. Al-Hakîm mengkualifikasikan mereka

menjadi 12 peringkat.15 Kedua belas peringkat sahabat itu, seperti ditulis ‘Ajaj al-Khatib,16 dan Subhi al-Shalih17 adalah sebagai berikut: Pertama, mereka yang mula-mula masuk Islam seperti 10 orang sahabat yang mendapat kabar akan masuk surga,

yakni para Khulafâ’ al-Rasyidîn, Sa’ad bin Abî Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin

Ubaid Allâh, Zubair bin Awwam, ‘Abd Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr

bin al-Jarrah, plus Khadîjah dan Bilâl. Kedua, mereka yang masuk Islam sebelum

musyawarah ahli Makkah di Dâr al-Nadwah. Ketiga, mereka yang berhijrah ke

Habasyah. Mereka seperti ‘Utsmân bin ‘Affân, Zubair bin Awwam, Ja’far bin Abî

Thâlib, Ruqayyah, istri ‘Utsman dan puteri Nabi Muhammad SAW., Sahlah binti

Sahl, istri Abû Huzaifah. Keempat, mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Ulâ seperti

Jabîr bin ‘Abd Allâh, ‘Uqbah bin Amîr, As’ad bin Zurarah, dan ‘Ubadah bin

al-Shamit. Kelima, mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Tsaniah (mayoritas kaum

Anshar) seperti al-Barra bin Ma’rur, Sa’ad bin ‘Ubadah, dan Ka’ab bin Malik. Keenam,

kaum Muhajirin yang mula-mula bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. di Quba

sebelum beliau memasuki Madinah. Ketujuh, ahli Badr. Kedelapan, mereka yang

berhijrah di antara Badar dan al-Hudaibiyah. Kesembilan, para peserta Bai’at

al-Ridwân di Hudaibiyah. Kesepuluh, mereka yang berhijrah antara Hudaibiyah dan Fath

al-Makkah, seperti Khâlid bin Walîd, Ibn al-‘Ash, dan Abû Hurairah. Kesebelas,

orang-orang yang masuk Islam saat Fath al-Makkah seperti Mu’awiyah bin Harb dan

Hakîm bin Hizam. Kedua belas, kalangan anak-anak yang menyaksikan Nabi

15Al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir, h. 127. Para ‘ulama berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat sahabat. Ibn Sa‘ad menjadikan para sahabat menjadi lima tingkat. Sementara ‘ulama lain malah lebih banyak lagi.

16Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 380-381.

(8)

29

Muhammad SAW. saat Fath al-Makkah, dan Haji Wada’ seperti Hasan bin ‘Alî dan

Husain bin ‘Alî, al-Sa’ib bin Yazid al-Kalabî dan ‘Abd Allâh al-Zubair.18

Selain bertingkat-tingkat, para sahabat pun memiliki keutamaan yang tidak

sama. ‘Ulama Sunni sepakat bahwa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khattab sebagai

sahabat paling utama. Setelah keduanya, baru ‘Utsmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî

Thâlib. Setelah Khulafâ’ al-Rasyidîn itu, sahabat yang memiliki keutamaan adalah

sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, ahli Badar, ahli Uhud, peserta Bai’ah

al-Ridwan, kaum Anshar yang mengikuti dua ‘Aqabah, al-Sabiqûn al-A wwalûn, dan

mereka yang pernah melakukan shalat menghadap dua kiblat.19 Inilah pandangan Sunni tentang tingkatan-tingkatan sahabat Nabi Muhammad SAW.

Seluruh ulama Syi‘ah Imamiyah sepakat bahwa para sahabat Nabi

Muhammad SAW. memiliki keutamaan yang tidak sama. Berbeda dengan ulama

Sunni, para ulama Syi‘ah Imamiyah menilai para sahabat seperti Abû Bakar, ‘Umar

bin Khatab, ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Aisyah, Thalhah, Jubair, Mu’awiyah bin Abî

Sufyan, Amr bin ‘Ash, dan lainnya sebagai sahabat yang tidak memiliki sifat adil.

Menurut mereka, para sahabat Nabi Muhammad SAW. yang bersifat adil adalah

seperti ‘Alî bin Abî Thâlib, Abû Thâlib, Ja’far bin Abî Thâlib, Hamzah, Mus’ab

al-Khair, Abû Dzar, Miqdâd, Salman al-Farisî, Ammar bin Yassir, Malik al-Asytar,

Habib bin Madzahir, Maitsam al-Tammar, al-Mukhtar, Kumail bin Ziyad, Sa’id bin

Jubair,20 dan masih banyak lagi. Inilah pandangan Syi‘ah Imamiyah tentang nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki sifat adil. Mereka lebih utama

dan adil dari pada para sahabat yang dianggap kaum Sunni sebagai sahabat-sahabat

yang utama.

Cara Mengetahui Sahabat

Ada sejumlah cara mengetahui para sahabat Nabi Muhammad SAW. Umat

Islam bisa mengetahui para sahabat itu melalui sejumlah cara tersebut. Berikut ini

18Imâm al-Hakîm Abî ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Hafidz al-Naisaburî, Kitab

Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah bi al-Madinah al-Munawwarah, 1977), h. 22-24.

(9)

30

adalah sejumlah cara mengetahuinya, sebagaimana ditulis oleh Ibn Hajar

al-Asqalanî,21 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib22 dan Teungku Muhammad Hasbi

Ash-Shiddieqy:23

Pertama, Khabar Mutawatir. Khabar Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan

oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk

berbuat dusta. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa Abû Bakar, ‘Umar bin

Khattab, ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib, serta sejumlah sahabat telah

mendapat jaminan masuk surga secara tegas, yaitu para Khulafâ’ Rasyidîn, Sa’ad bin

Abî Waqqâs, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin ‘Ubaid Allâh, Zubair bin Awwâm, ‘Abd

Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah. Jaminan masuk surga bagi

sejumlah sahabat itu ditegaskan oleh khabar yang mutawatir.

Kedua, Khabar Masyhur (Mustafidh), khabar ini berada di bawah status

Mutawatir. Khabar Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau

lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.

Misalnya hadis yang menyatakan bahwa seseorang itu sahabat Nabi Muhammad

SAW. seperti ‘Akasyah bin Muhshan dan Dhammam bin Tsa’labah.

Ketiga, salah seorang sahabat memberikan k habar bahwa seseorang berstatus

sahabat. Misalnya, Hamamah bin Abû Hamamah al-Dausî yang meninggal di

Ashbahan karena sakit perut, lalu Abû Musa al-Asy’arî memberikan kesaksian bahwa

ia seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.

Keempat, seseorang mengk habarkan diri sebagai sahabat setelah diakui keadilan

dan kesezamanannya dengan Nabi Muhammad SAW. Asal saja k habar ini dilakukan

sebelum berlalu 100 tahun (sebelum tahun 110 H) dari kewafatan Nabi Muhammad

SAW., sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukharî dari Ibn ‘Umar.

Kelima, seorang dari tabi’in yang terpercaya mengk habarkan bahwa seseorang

berstatus sebagai sahabat.

Sedikit berbeda secara redaksi dengan metode dari Ibn Hajar al-Asqalânî,

‘Ajaj al-Khatib dan al-Shiddieqy di atas, Subhi al-Shalih24 menyatakan bahwa para

21Al-‘Asqalânî, A l-Ishabah, h. 8. 22Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 381.

(10)

31

‘ulama telah membuat sejumlah ketentuan, apabila salah satu telah dipenuhi, maka

seseorang sudah bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW., antara lain:

Pertama, sudah diketahui secara luas kesahabatannya, seperti 10 orang sahabat

yang mendapat kabar akan masuk surga, yakni para Khulafâ’ al-Rasyidîn, Sa’ad bin

Abî Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin ‘Ubaid Allâh, Zubair bin Awwam, ‘Abd

Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah.

Kedua, dikenal kesahabatannya, meskipun tidak begitu luas, seperti Dhimam

bin Tsa’labah dan ‘Akasyah bin Muhashshin.

Ketiga, pengukuhan sahabat terkenal bahwa seseorang adalah sahabat Nabi

Muhammad SAW. Misalnya, pengukuhan Abû Musa al-Asy’arî terhadap Humamah

bin Abî Humamah al-Dausî.

Keempat, pengakuan seseorang yang terkenal adil, terpercaya dan melingkupi

batas waktu yang mungkin. Para ‘ulama menentukan batas waktu yang mungkin itu

tidak melewati tahun 110 H. Sahabat Nabi Muhammad SAW. yang wafat paling

akhir bernama Abû Thufail Amîr bin Wa’ilah al-Laitsî. Beliau wafat pada tahun 110

H. di kota Makkah.25

Agaknya metode-metode ini diterima oleh semua ‘ulama, tidak saja ulama

dari kelompok Sunni, namun pula para ‘ulama dari ‘ulama Syi‘ah Imamiyah.26

Keadilan Sahabat (

‘Adalah al-Shahabah

)

Kata ‘adalat berasal dari kata al-‘adl. Secara etimologis kata ini bermakna

sesuatu yang menjadikan seseorang benar atau baik, yaitu lawan dari buruk. Orang

yang al-‘adl berarti orang yang diterima kesaksiannya dan menilainya secara positif.

24Al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 326.

25Al-Khatib merinci sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang wafat sebelum tahun 110 H ini, yakni sebagai berikut. Abû Thufail Amîr bin Wa’ilah Laitsiy (w. 110 H) di Makkah. al-Sa’ib bin Yazid al-Kindî (w. 91 H) di Madinah. Salamah bin al-Akwa’ al-Aslamî (w. 74 H) di Badiyah. Anas bin Malik (w. 92 H) di Basrah. ‘Abd Allâh bin Abû Aufa (w. 87 H) di Kufah. ‘Abd Allâh bin Bisyr al-Mazani (w. 88 H) di Syam. al-‘Ara bin Umairah al-Kindî (w. ? H) di Jazirah. ‘Abd Allâh bin al-Harits bin Juz’ al-Zubaidî (w. 86 H) di Mesir. Ruwaifi’ bin Tsabit al-Ansharî al-Madanî (w. 56 H) di Barqah. Harmas bin Ziyad (w. 102 H) di Yamamah. Abû Abî ‘Abd Allâh bin Amr (w. ? H) di Palestina. Buraidah bin al-Hasib al-Aslamî (w. 63 H) di Khurasan dan Abû Barzah Nadhlah bin Ubaid al-Aslamî (w. 65 H) di Khurasan. Al-‘Ida bin Khalid bin Haudzah al-‘Amirî (w. 100 H) di Sijistan. Lihat, al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 394-396.

(11)

32

Secara terminologis, kata al-‘adl bermakna orang yang tidak memiliki sifat yang bisa

mencacatkan atau bahkan merusak keagamaan dan kepribadiannya, sehingga k habar

dan kesaksiaannya bisa diterima, namun bila syarat-syarat lain yang berkaitan dengan

keduanya terpenuhi.27 Sifat adil seorang sahabat diindikasikan oleh bahwa mereka seorang muslim, baligh, berakal, tidak syaz, teguh, setia, memiliki ingatan kuat,

dhabit, tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak sering berbuat dosa kecil. Sebab

itulah seseorang disebut sebagai sahabat yang adil.

Secara terminologis, para ‘ulama Sunni mendefinisikan adilnya seorang

sahabat ialah sebagaimana yang dimaksud dalam arti keadilan sahabat itu sendiri,

yakni sebagai setiap orang yang sezaman dengan Rasulullah SAW., dilahirkan pada

zaman Rasulullah SAW., tidak pernah berdusta atau menipu, sehingga umat Islam

tidak diperbolehkan menyakiti mereka.28 Pandangan para ulama Sunni ini ditolak oleh para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, sebab bagi, mereka tidak semua orang yang

sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, dan bukan berarti sahabat

nabi itu tidak boleh dikritik. Mereka boleh dikritik, sebab kebenaran meski diungkap.

Bagi mereka, keadilan seorang sahabat dimaknai sebagai setiap orang yang semasa

dengan nabi yang mereka mematuhi Rasulullah SAW., melindungi, memberikan

pertolongan, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepada beliau. Mereka adalah

orang-orang pilihan yang turut berjasa menegakkan daulah Islam dan selalu bersabar

terhadap berbagai bentuk cercaan dan hinaan orang-orang kafir, hingga Allah SWT.

memberikan kemenangan. Mereka selalu berpegang teguh kepada kepada Allah, dan

menampakkan kesetiaan kepada Rasulullah SAW. dan kepada orang yang ditunjuk

sebagai wali (yakni ‘Alî bin Abî Thâlib) oleh Nabi Muhammad SAW., hingga

akhirnya mereka meninggal dalam keadaan berpegang teguh kepada agama Allah.29

Pandangan para ‘ulama tentang keadilan sahabat agaknya bisa dibagi menjadi

dua pandangan. Pertama, seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, baik

yang mengalami masa terjadinya fitnah atau tidak. Pandangan ini didukung oleh

27Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 233; Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 171.

(12)

33

mayoritas ‘ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah.30 Sementara k edua, bahwa tidak semua

sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, sehingga sahabat dibagi menjadi dua,

sahabat yang adil atau sahabat istimewa, dan sahabat yang tidak bersifat adil atau

sahabat yang memiliki watak yang bervariasi yang hanya Allah SWT. semata yang

mengetahuinya. Jadi, tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil

secara mutlak, dan tidak berarti mereka tidak bisa dikritik. Mereka semua bisa

dikritik. Pandangan ini dipegang oleh mayoritas ‘ulama Syi‘ah Imamiyah.31

Sementara kaum Mu’tazilah meyakini pula pandangan Syi‘ah Imamiyah ini. Bagi

kaum Mu’tazilah, orang yang turut serta dalam pembunuhan atas diri ‘Alî bin Abî

Thâlib secara sadar disebut fasik. Seluruh riwayat dan kesaksiannya ditolak.32 Berdasarkan konsep ini, berarti kaum Mu’tazilah meyakini bahwa tidak semua

sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil.

Bagi kelompok Syi‘ah Imamiyah, tidak semua sahabat Nabi Muhammad

SAW. memiliki sifat adil, karena sifat adil mempunyai syarat-syarat syar’i dan

sifat-sifat tertentu. Siapa saja yang memiliki syarat-syarat dan sifat-sifat tersebut, maka ia bisa

disebut sebagai orang yang adil. Sebaliknya, bagi siapa yang tidak memilikinya, maka

ia bukan orang yang adil. Beranjak dari sini, kelompok minoritas Islam ini membuat

lima rukun sebagai timbangan dan ukuran dalam menentukan kedudukan,

keistimewaan, dan keadilan seorang sahabat. Kelima rukun dimaksud sebagai

berikut. Pertama, kekerabatan dan keturunan suci Nabi Muhammad SAW. Kedua,

yang lebih dahulu menyatakan keimanan. Ketiga, tingkat ketakwaan. Keempat, tingkat

keilmuan. Kelima, mereka yang mengakui kekhilafahan atas orang yang ditunjuk oleh

Rasulullah SAW. sebagai pemimpin syar’i pengganti Nabi Muhammad SAW. tanpa

disertai rasa benci dan terpaksa.33

30Al-‘Asqalânî, A l-Ishabah, h. 8-14; Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382.

31Sayyid ‘Abd al-Rahîm al-Musawî, Nazhariyah ‘A dilah al-Shahabah (Qom: Markaz al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 1422 H), h. 40; Ja’far al-Hadi, A l-Haqîqatu Kamâ Hiya (Qom: Markaz al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 2000), h. 31-32; Idem, Syi‘ah: A -Z, terj. Husein Haddad (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 35-36; Ya’qub,

Nazhariyyah ‘A dalah A sh-Shahabah, 23-24. 32Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382.

(13)

34

Tiap-tiap pandangan di atas didukung oleh para ‘ulama terkemuka

masing-masing madzhab tersebut, dan mereka mengabsahkan pandangannya dengan

menggunakan dalil-dalil naqliyah. Masing-masing pandangan dilandasi oleh dalil-dalil

keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis. Hal ini akan dibahas pada bagian

selanjutnya.

Lepas dari perdebatan antara mazhab Sunni dan Syi‘ah Imamiyah tentang

keadilan sahabat, bahwa dalam konteks periwayatan hadis, harus diyakini bahwa

semua sahabat itu bersifat adil. Para penyampai hadis (sahabat) itu memiliki sifat

adil. Sebab para sahabat ini berfungsi sebagai penyampai, pembawa, pemindah, dan

penafsir syari’at kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jika mereka dikatakan tidak

adil, maka pernyataan ini bisa meruntuhkan fondasi ajaran Islam oleh sebab

merekalah penyampai dan penafsir ajaran Islam dari Nabi Muhammad SAW. kepada

umat Islam sampai detik ini. Sifat adil seorang sahabat, seperti telah disebut

terdahulu, diindikasikan oleh bahwa mereka muslim, baligh, berakal, tidak syaz,

teguh, setia, memiliki ingatan kuat, dhabit, tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak

sering berbuat dosa kecil. Sebab itulah, seseorang disebut sebagai sahabat yang adil.

Pandangan Sunni dan Syi‘ah tentang Keadilan Sahabat dan Argumentasinya

Sebagaimana telah disinggung di atas, mayoritas ‘ulama Sunni meyakini

bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, baik yang pernah

mengalami masa terjadinya fitnah maupun tidak. Ibn ‘Abd al-Barr, Ibn al-Shalah,

dan al-Nawâwî, seperti ditulis Subhi al-Shalih, mengemukakan kesepakatan ulama

tentang keadilan semua sahabat Nabi Muhammad SAW.34 Ibn Hazm, seperti ditulis

‘Ajaj al-Khatib, menyatakan bahwa “kami menyatakan keutamaan kaum Muhajirin

awal setelah ‘Umar bin Khatab, lalu A hl al-‘A qabah, lalu A hl al-Badar, lalu A hl

Masyhad, lalu A hl Hudaibiyah. Saya berani mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan

kaum Anshar sampai peserta Bai’ah al-Ridwan, meski saya tidak mengetahui hati

mereka, semuanya adalah mukmin yang saleh dan meninggal dalam keadaan

beriman, mendapatkan petunjuk dan berada dalam kebaikan. Semuanya merupakan

(14)

35

penghuni surga dan tidak seorang pun dari mereka yang masuk neraka”. Inilah

pandangan mayoritas ulama Sunni.

Sementara Syarih Muslim al-Tsabut menyatakan bahwa “keadilan para

sahabat adalah sesuatu yang pasti, terlebih lagi para peserta perang Badar dan peserta

Bai’ah al-Ridwan. Bagaimana tidak, karena Allah SWT. memuji mereka di beberapa

tempat dalam al-Qur’an, dan Rasulullah SAW. menjelaskan pula akan keutamaan

mereka berkali-kali”. Al-Tsabut pun mengatakan “keadilan sahabat-sahabat yang

mengikuti Bai’ah al-Ridwan dan perang Badar telah pasti. Tidak sepatutnya seorang

Mukmin meragukan hal itu. Bahkan mereka yang telah memeluk Islam sebelum Fath

al-Mak k ah pasti bersifat adil, baik dari kaum Muhajirin maupun kaum Anshar. Yang

masih perlu diteliti adalah mereka yang masuk Islam saat F ath al-Mak k ah, karena

sebagiannya masih mu’allaf. Mereka ini memang masih menjadi objek silang

pendapat di kalangan ulama. Namun kita hanya bisa mengatakan bahwa mereka

muslim yang bersifat baik”.35

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila

seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. masuk Islam sebelum Fath al-Mak k ah,

maka sahabat itu bersifat adil. Sementara jika sahabat itu masuk Islam pasca Fath

al-Mak k ah, maka sahabat itu masih perlu diteliti lagi. Ia belum bisa dipastikan bersifat

adil sampai ada dalil yang menunjukkan keadilan mereka. Mereka hanya bisa disebut

sebagai sahabat yang baik.

Para ‘ulama yang meyakini bahwa semua sahabat Nabi Muhammad SAW.

bersifat adil mengajukan sejumlah dalil, baik al-Qur’an maupun Hadis, sebagaimana

disebutkan di bawah ini.36 Harus dicatat bahwa inilah argumentasi mayoritas ulama Sunni tentang semua sahabat bersifat adil.

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Fath: 29:



35Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382-383.

36Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 383-391; al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm

(15)

36

A rtinya: Muhammad itu adalah utusan A llah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah k eras terhadap orang-orang k afir, tetapi berk asih sayang sesama merek a. Kamu lihat merek a ruk u' dan sujud mencari k arunia A llah dan k eridhaan-N ya, tanda-tanda merek a tampak pada muk a merek a dari bek as sujud. Demik ianlah sifat-sifat merek a dalam Taurat dan sifat-sifat merek a dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluark an tunasnya Mak a tunas itu menjadik an tanaman itu k uat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pok ok nya; tanaman itu menyenangk an hati penanam-penanamnya Karena A llah hendak menjengk elk an hati orang-orang k afir (dengan k ek uatan orang-orang muk min). A llah menjanjik an k epada orang-orang yang beriman dan mengerjak an amal yang saleh di antara merek a ampunan dan pahala yang besar.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Tawbah: 100.



menyediak an bagi merek a surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Merek a k ek al di dalamnya. Itulah k emenangan yang besar.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Anfâl: 74.









(16)

37 (k epada orang-orang Muhajirin), merek a itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Merek a memperoleh ampunan dan rezk i (nik mat) yang mulia.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Hasyr: 8-10.

(17)

38

dirinya, merek a itulah orang orang yang beruntung.[] Dan orang-orang yang datang sesudah merek a (Muhajirin dan A nshor), merek a berdoa: "Ya Rabb k ami, beri ampunlah k ami dan saudara-saudara k ami yang telah beriman lebih dulu dari k ami, dan janganlah E ngk au membiark an k edengk ian dalam hati k ami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb k ami, sesungguhnya E ngk au Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Fath: 18.

A rtinya: Sesungguhnya A llah telah ridha terhadap orang-orang muk min k etik a merek a berjanji setia k epadamu di bawah pohon, mak a A llah mengetahui apa yang ada dalam hati merek a lalu menurunk an k etenangan atas merek a dan memberi balasan k epada merek a dengan k emenangan yang dek at (wak tunya).

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Alî ‘Imrân: 110



merek a ada yang beriman, dan k ebanyak an merek a adalah orang-orang yang fasik .

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 143

(18)

39 umat yang adil dan pilihan agar k amu menjadi sak si atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi sak si atas (perbuatan) k amu. Dan k ami tidak menetapk an k iblat yang menjadi k iblatmu (sek arang) melaink an agar k ami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengik uti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan k iblat) itu terasa amat berat, k ecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh A llah; Dan A llah tidak ak an menyia-nyiak an imanmu. Sesungguhnya A llah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang k epada manusia.

Diriwayatkan oleh Abû Sa’id al-Khudrî bahwa Nabi Muhammad SAW.

bersabda “janganlah kalian mencaci salah seorang di antara sahabatku, karena salah

seorang di antara kalian, seandainya menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud,

maka tidak akan dapat menyamai satu mud yang dinafkahkan oleh salah seorang di

antara mereka dan tidak pula separuhnya”.

Diriwayatkan oleh Imam Tirmizî dan Ibn Hibban, Nabi Muhammad SAW.

bersabda “bertaqwalah kalian kepada Allah dalam masalah sahabat-sahabatku.

Jangan kalian menjadikan mereka sasaran kritik sesudah aku wafat. Barangsiapa

mencintai mereka, maka dengan kecintaanku aku mencintai mereka. Barang siapa

membenci mereka, maka dengan segenap kebencianku aku membenci mereka.

Barangsiapa menyakiti mereka, maka berarti telah menyakiti aku. Barangsiapa

menyakiti aku, maka berarti telah menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah,

maka kemungkinan besar Dia akan menyiksanya”.

Dari Abû Musa, Nabi Muhammad SAW telah bersabda “bintang-bintang

adalah amanat bagi langit. Bila bintang-bintang itu sirna, maka langit akan menemui

apa yang dinanjikan kepadanya. Aku adalah amanat bagi sahabat-sahabatku. Bila aku

telah tiada, maka sahabat-sahabatku akan menemui apa yang dijanjikan kepada

mereka. Sahabat-sahabatku adalah amanat bagi umatku. Apabila sahabat-sahabatku

(19)

40

Bukharî dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda

“bahwa sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka,

kemudian generasi sesudah mereka, dan kemudian mereka menebarkan kedustaan”.

Bagi ulama yang menyatakan bahwa setiap sahabat Nabi Muhammad SAW.

bersifat adil menganggap bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis di atas jelas memberikan

kesaksian tentang keutamaan seluruh sahabat yang berada bersama Nabi

Muhammad SAW. sejak awal dakwah Islam sampai perang Hudaibiyah. Mereka

semua bersifat adil.

Sementara itu, para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa

tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil. Sebagian sahabat memang

memiliki sifat adil, namun sebagian lagi bersifat tidak adil. Jadi, ada sahabat yang

istimewa dan ada sahabat yang memiliki watak buruk. Pendeknya, bagi mereka,

bahwa pernyataan bahwa semua sahabat itu bersifat adil adalah pendapat yang

bathil. Sebagaimana dikemukakan Ahmad Husein Ya’qûb, seorang ‘ulama Syi‘ah

Imamiyah, ada empat hal yang menimbulkan kebatilan dari pernyataan tersebut,

yaitu karena pendapat tersebut bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an yang qath’i,

bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW., tidak adanya kesesuaian

antara pendapat yang dimaksud dengan kenyataan yang berlaku, dan terakhir,

pernyataan tersebut bertentangan dengan ruh Islam secara umum, dari aspek

ke-husnul k hatimah-an dan tujuan hidup seseorang.37 Berikut penjelasan Syi‘ah Imamiyah secara umum tentang keempat hal itu.

Pertama. Pernyataan bahwa seluruh sahabat adalah adil sangat bertentangan

dengan nash-nash al-Qur’an yang qath’i. Ketika pemerintahan Rasulullah SAW,

wujud kemunafikan tersebar secara luas. Para munafikin menampakkan keimanan,

lisannya bersyahadat dan ucapan-ucapannya serupa dengan ucapan kaum Muslim

meskipun sebagai bentuk tipu daya dan hinaan mereka terhadap Islam. Hal ini

seperti tergambar dalam Q.S. al-Baqarah/2: 9.

(20)

41

A rtinya: Merek a hendak menipu A llah dan orang-orang yang beriman, padahal merek a hanya menipu dirinya sendiri sedang merek a tidak sadar.

Mereka menampakkan keimanan dan berusaha keras membuat Rasulullah

SAW. percaya bahwa mereka termasuk orang-orang yang beriman. Hal ini seperti

telah ditegaskan Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah/2: 14.



Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Tawbah: 75-77.

(21)

42

terhadap A llah apa yang telah merek a ik rark an k epada-Nya dan juga k arena merek a selalu berdusta.

Ayat ini, bagi para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, menunjuk kepada kisah

Tsa’labah, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. yang miskin, kemudian

dido’akan oleh nabi supaya dikaruniai kekayaan. Namun setelah kaya, Tsa’labah

enggan membayar zakat kepada nabi sampai nabi wafat. Ia telah ingkar terhadap

Nabi Muhammad SAW. Bahkan Abû Bakar dan Umar bin Khattab tidak menerima

zakat darinya.

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Sajdah: 18-20.



A rtinya: A pak ah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik ? Merek a tidak sama. A dapun orang-orang yang beriman dan mengerjak an amal saleh, mak a bagi merek a jannah tempat k ediaman, sebagai pahala terhadap apa yang merek a k erjak an.[] Dan adapun orang-orang yang fasik (k afir) mak a tempat merek a adalah jahannam. Setiap k ali merek a hendak k eluar daripadanya, merek a dik embalik an k e dalamnya dan dik atak an k epada merek a: "Rasak anlah sik sa nerak a yang dahulu k amu mendustak annya."

Orang mukmin yang disebut ayat tersebut di atas adalah ‘Alî bin Abî Thâlib.

Sementara orang yang fasik adalah Walid bin ‘Uqbah, salah seorang sahabat nabi.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Shaff: 7.

(22)

43















A rtinya: Dan siapak ah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adak an dusta terhadap A llah sedang dia diajak k epada Islam?. Dan A llah tidak memberi petunjuk k epada orang-orang zalim.

Ayat ini diturunkan untuk menceritakan ‘Abd Allâh bin Abi Sarh, salah

seorang sahabat Nabi. Ia telah mengada-ada dan berdusta kepada Allah. Nabi

Muhammad SAW. sendiri menghalalkan darahnya meski ia sedang bergelantung

pada kain penutup Ka’bah.

Kedua. Pendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil bertentangan dengan

hadis nabi Muhammad SAW. Dalam Sirah Ibn Hisyam disebutkan bahwa suatu masa

sejumlah sahabat pernah berkumpul di kediaman salah seorang dari mereka. Mereka

mempengaruhi orang-orang untuk menghalangi jalan Rasulullah SAW., dan beliau

kemudian memerintahkan sahabat yang lain untuk membakar rumah tersebut.

Dalam kitab al-Dur al-Mansur karya al-Suyuthî, beliau mengatakan bahwa Ahmad bin

Hanbal, Bukharî, Tirmizî, Nasai, Ibn Jarir, dan Baihaqî men-tak hrij dalam kitab

al-Dalail riwayat dari Ibn ‘Umar. Ia berkata “Rasulullah berdo’a pada hari Uhud, Ya

Allah, berilah laknat kepada Abû Sufyan, yang Allah berilah laknat kepada Harts bin

Hisyam, yang Allah berilah laknat kepada Shafwan bin Umayyah”. Ketiganya akrab

dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ketiga. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan

kenyataan yang ada. Alasannya, misalnya, Mu’awiyah, salah seorang sahabat Nabi,

mendapatkan bai’at dari kaum Muslimin setelah melakukan pembunuhan,

pengrusakan, pembakaran, dan mendapat kecaman dari para pembantu Rasulullah

SAW. Ia kemudian merampas harta kaum Muslimin yang telah dikumpulkannya

selama dua puluh tahun ketika ia menjadi gubernur Syam. Hal ini ia lakukan demi

memperkuat kekuasaan. Mu’awiyah kemudian memberi kepada kaum Muslimin

yang ia namakan ‘rezeki pembaiatan’ untuk diberikannya kepada pasukan-pasukan

yang berjasa dalam pemilihan khalifah yang baru. Ini adalah salah satu contoh bahwa

(23)

44

ada, sebab Mu’awiyah yang merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW. memiliki

sifat sangat tercela.

Keempat. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan

ajaran Islam secara umum. Alasannya, bahwa sudah menjadi ruh ajaran Islam bahwa

Allah SWT. menciptakan kematian dan kehidupan, dan tidak menciptakan bumi

kecuali untuk mengetahui siapa di antara makhluknya yang paling baik amalnya.

Kehidupan ini diciptakan sebagai sarana untuk menguji makhluk-Nya. Setiap apa

yang ada di kehidupan ini merupakan sarana untuk menguji. Proses ujian dalam

hidup ini dimulai ketika mulai diberikan beban menjalankan syari’at agama yang

dibantu dengan akal dan kemampuan membedakan antara yang baik dengan yang

buruk, hingga akhirnya proses ujian itu berakhir dengan kematian (Q.S. al-Kahfi: 738; dan Q.S. al-Mulk: 239). Jika memang seluruh sahabat adalah adil dan tidak boleh menghukumi mereka sebagai pembohong, dan mereka adalah ahli surga, maka

sesungguhnya mereka tidak termasuk objek dari proses ujian, dan tidak perlu pula

mereka diuji dalam kehidupan ini. Jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan

tujuan hidup mereka, karena mereka berarti menghentikan proses ujian yang telah

menjadi ketentuan Allah terhadap para makhluknya.

Bukhari telah meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, bahwa Rasulullah SAW

bersabda bahwa “sesungguhnya kalian bangkit dari lubang yang dalam, dan

sesungguhnya beberapa orang dari sahabatku ada yang berjalan ke arah kanan, dan

ada yang berjalan ke arah kiri. Aku lalu berkata “sahabatku, sahabatku!”. Allah

kemudian berkata “sesungguhnya mereka masih dalam keadaan murtad sejak engkau

meninggalkan mereka”. Aku lalu berkata seperti apa yang dikatakan oleh hamba

yang saleh, “Aku menjadi saksi bagi mereka selama aku berada di antara mereka”.

Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda “beberapa

orang dari sahabatku akan berpaling dariku, sehingga aku mengetahuinya. Mereka

akan goyah karena aku tiada”. Aku berkata “wahai sahabatku!”. Allah berkata

“tidakkah kau tahu apa yang mereka bicarakan setelah engkau tiada.”

38Allah SWT. berfirman “Sesungguhnya Kami telah menjadik an apa yang di bumi sebagai perhiasan

baginya, agar Kami menguji merek a siapak ah di antara merek a yang terbaik perbuatannya”.

39Allah SWT. berfirman “Yang menjadik an mati dan hidup, supaya Dia menguji k amu, siapa di

(24)

45

Inilah sejumlah alasan dari para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah tentang kebatilan

pandangan bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil. Dalam

kitab-kitab mereka, banyak sekali argumen diajukan, baik argumen naqli maupun

aqli, guna mendukung klaim mereka bahwa tidak semua sahabat itu bersifat adil.

Jumlah Sahabat yang Meriwayatkan H adis

Para sahabat periwayat hadis dari Nabi Muhammad SAW. sangat banyak

kuantitasnya. Mereka membawa pelbagai data keagamaan yang sangat bermanfaat

bagi umat Islam. Sebagaimana laporan dari ‘Ajjaj al-Khatib, para ulama telah banyak

melakukan penghitungan terhadap jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. Imam

al-Bukharî meriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkenaan dengan kisah

keterlambatannya dari perang Tabuk berkata “sahabat Rasulullah SAW. sangat

banyak, sehingga tidak mungkin bisa dimuat dalam buku”. Sementara itu, dari Ibn

‘Abbâs diriwayatkan bahwa ia berkata “Rasulullah SAW. keluar pada tanggal 10

Ramadhan. Beliau berpuasa dan orang-orang pun berpuasa. Kemudian sesampai

mereka di sumber air al-Kalid, beliau membatalkan puasa. Kemudian beliau

melanjutkan bersama sepuluh ribu kaum Muslimin sampai di jalur Shirar”. Peristiwa

ini terjadi pada tahun penaklukan Makkah (F ath al-Mak k ah). Berdasarkan fakta ini,

jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. berjumlah 10 ribu sahabat. Riwayat lain

menuliskan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. melakukan haji Wada’, turut serta

bersama Nabi sekitar sembilan puluh ribu kaum Muslimin. Berdasarkan fakta ini,

jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. berjumlah 90 ribu sahabat. Dalam riwayat

lain, bahwa seseorang bertanya kepada Abû Zur’ah “Wahai Abû Zur’ah, bukankah

telah dikatakan bahwa jumlah hadis Nabi Muhammad SAW. adalah empat ribu

hadis. Beliau berkata “Siapa yang berkata seperti itu?, semoga Allah SWT.

menghancurkan gigi-giginya. Itu perkataan kaum zindiq. Siapa yang bisa menghitung

hadis Rasulullah SAW.?. Rasulullah SAW. wafat meninggalkan seratus empat belas

ribu sahabat, yang mendengar dan meriwayatkan dari beliau. Ditanyakan lagi “Wahai

Abû Zur’ah, di mana mereka mendengar dari beliau dan siapa mereka?”. Beliau pun

(25)

46

antara keduanya, orang-orang Arab pedalaman, dan orang-orang yang turut serta

dalam haji Wada’ yang beliau lakukan”.40 Laporan ‘Ajaj al-Khatib ini telah ditulis pula oleh Imam al-Nawawî jauh sebelumnya, yang menuliskan bahwa Abû Zur’ah

al-Razî pernah mengatakan “Ketika Rasulullah wafat, ada sekitar 114 ribu sahabat

yang telah meriwayatkan dan menerima hadis dari Rasulullah SAW”.41 Demikian

laporan sejumlah riwayat tentang jumlah para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, sebagian ahli berpandangan bahwa

jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. sebanyak

tidak kurang dari 114 ribu sahabat. Jumlah ini menjadi logis, jika digunakan istilah

‘sahabat’ dalam arti luas, yakni setiap orang yang melihat Nabi Muhammad SAW.

Namun jika digunakan istilah ‘sahabat’ dalam arti sempit, barangkali jumlahnya tidak

sebanyak itu. Misalnya, para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah menggunakan makna sahabat

dalam arti sempit, sehingga sahabat Nabi Muhammad SAW. menurut mereka tidak

terlalu banyak jumlahnya.

Pandangan lain mengutarakan bahwa kendati jumlah sahabat Nabi

Muhammad SAW. berjumlah 114 ribu orang, namun tidak semua meriwayatkan

hadis. Sebagian ahli menyatakan bahwa hanya 369 sahabat yang meriwayatkan hadis

dari Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, semua sahabat itu tidak

meriwayatkan hadis dalam jumlah yang sama. Sebagian sahabat meriwayatkan hadis

dalam jumlah yang sangat banyak. Sementara sebagian sahabat lainnya hanya

meriwayatkan hadis dalam jumlah yang sedikit. Ada tujuh sahabat yang paling

banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW sebanyak lebih dari seribu

hadis adalah42: Pertama. Abû Hurairah, sebanyak 5374 buah hadis. Kedua. ‘Abd Allâh

bin ‘Umar bin Khattab, sebanyak 2630 buah hadis. Ketiga. Anas bin Malik, sebanyak

2286 buah hadis. Keempat.. ‘Aisyah binti Abû Bakar, sebanyak 2210 buah hadis.

Kelima. ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs bin ‘Abd al-Muthâlib, sebanyak 1660 buah hadis.

Keenam. Jabîr bin ‘Abd Allâh, sebanyak 1540 buah hadis. Ketujuh. Abû Sa’id

40Al-Khatib, Ushûl al-Hadits,h. 391-392. 41Al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir, h. 127.

(26)

47

Khudrî, sebanyak 1170 buah hadis.43 Karena banyak meriwayatkan hadis, maka

mereka digelari sebagai al-Muk tsirûn fî al-Hadits.44

Selain ketujuh sahabat di atas, sejumlah sahabat lain pun meriwayatkan hadis

Nabi Muhammad SAW. kendati tidak sebanyak jumlah hadis yang telah

diriwayatkan oleh sahabat yang digelari sebagai al-Muk tsirûn fî al-Hadits di atas. Para

sahabat itu antara lain ‘Abd Allâh bin Mas’ûd, sebanyak 848 buah hadis, ‘Abd Allâh

bin Amr bin Ash, sebanyak 700 buah hadis, Abû Dzar al-Ghiffarî, sebanyak 281

buah hadis, dan Abû Darda’, sebanyak 179 buah hadis45, Abû Bakar, sebanyak 500 buah hadis,46 ‘Umar bin Khattab, sebanyak 537 buah hadis, Abû Musa al-Asy’arî,

sebanyak 360 buah hadis, dan al-Barra bin Azib, sebanyak 305 buah hadis.47

Penutup

Demikian pembahasan secara umum tentang masalah kedudukan sahabat

nabi Muhammad SAW. dan keadilan mereka. Sepanjang sejarahnya, persoalan ini

telah mengundang perdebatan di kalangan ‘ulama. Sebagian ‘ulama mendefinisikan

istilah sahabat secara luas, sementara sebagian lainnya secara sempit. Sebagian ‘ulama

menegaskan bahwa seluruh sahabat bersifat adil, sementara sebagian ‘ulama lainnya

membagi sahabat menjadi dua, yaitu sahabat yang adil dan sahabat yang tidak

bersifat adil. Mereka pun mengajukan sejumlah dalil, baik dari al-Qur’an maupun

hadis, guna mendukung pandangan mereka masing-masing tentang masalah keadilan

sahabat tersebut. Para ‘ulama pun memberikan teknik bagaimana cara mengenali

sahabat. Terakhir, bahwa sedikitnya ada 114 ribu jumlah sahabat nabi Muhammad

SAW. yang telah meriwayatkan hadis. Sedikitnya ada tujuh sahabat Nabi

Muhammad SAW. yang paling banyak meriwayatkan hadis, sementara sahabat

43Al-Khatib, Ushûl al-Hadits,h. 394; Lihat biodata singkatnya dalam al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 332-343.

44Lihat Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 197-205; Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 437-457.

45Al-Shalih, ‘Ulum Hadits, h. 344-348. 46Yuslem, Ulumul Hadis, h. 119.

(27)

48

lainnya hanya sedikit meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Wa A llâh

A ’lam bi al-Shawab.

Pustaka Acuan

Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. A l-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah. Beirut: t.p., 1992.

Azami, M. M. Studies in Hadith Methodology and L iterature. Indiana Polis: American

Trust Publications, 1978.

Al-Hadi, Ja’far. A l-Haqîqat Kamâ Hiya. Qom: Markaz Thaba’ah wa Nasyr li

al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 2000.

Al-Hadi, Ja’far. Syi‘ah: A -Z. terjemahan Husein Haddad. Jakarta: Al-Huda, 2007.

Imâm al-Nawâwî. A l-Taqrib wa al-Taisir lî Ma’rifat Sunan al-Basyir al-N adzir. Beirut:

Dâr al-Fikr, 1988.

Al-Khatib. Muhammad ‘Ajjaj. A l-Sunnah Qabl al-Tadwin. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.

Al-Khatib. Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl al-Hadis. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Al-Musawî, Sayyid ‘Abd al-Rahîm. Nazhariyah ‘A dilah al-Shahabah. Qom: Markaz

al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 1422 H.

Al-Naisaburî, Imâm al-Hakîm Abî ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Hafidz.

Kitab Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadits. Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah bi al-Madinah

al-Munawwarah, 1977.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Al-Sayyid, Kamal. The Companions of the Prophet and Their Followers. Qom: Ansariyan

Publications, 2000.

Al-Shalih, Subhi. ‘Ulûm Hadits wa Musthalahuhu. Beirut: Dâr al-Ilm lî al-Malayin,

1977.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Al-Syahrazurî, al-Imâm ‘Amr ‘Usman bin ‘Abd al-Rahman. Muqaddimah Ibn Shalah fî

‘Ulûm al-Hadits. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1995.

Ya’qûb, Ahmad Husein. Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah. Qom: Ansariyan

(28)

49

Ya’qûb, Ahmad Husein. Keadilan Sahabat: Sk etsa Politik Islam A wal. terjemahan.

Nashirul Haq dan Salman al-Farisi. Jakarta: Al-Huda, 2003.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pertanian masa panen sekitar empat bulan antara bulan agustus sampai november, sedangkan masa tanam antara bulan januari sampai maret, jadi masyarakat muara

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap karakteristik kompon karet dengan menggunakan bahan pengisi arang aktif tempurung

Dengan tidak melepas sekejap pun nikmat yang selalu Allah berikan kepada penulis sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik walau harus melewati banyak tantangan

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menentukan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam kecambah kayu kapur dengan uji fitokimia dan uji

Itikad baik juga dibuktikan dengan cara mengesampingkan penyelesaian sengketa dalam bentuk pranata lain maupun penyelesaian sengketa di pengadilan negeri dan mengutamakan

 Belum adanya usaha lain dari olahan jagung dalam rangka diversifikasi pangan untuk memberikan nilai tambah produk sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih

Indikator kinerja me rupakan suatu indikator yang diharapkan pada penelitian tindakan kelas, guru untuk menunjang keberhasilan suatu penelitian dan indikator yang

Kedua komponen tersebut adalah (1) komponen fisik padi yang terdiri atas faktor umur tanaman, tinggi tanaman, rasa padi, bobot bulir, potensi hasil, dan (2)