22
BE BE RAPA PE RSPE KTIF TE NTANG KE ADILAN SAHABAT
Ja’far
Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan E state, 20371
e-mail: farja1984@ yahoo.co.id
Abstrak: Perspectives on the Integrity of the Companions of the Prophet. Diskusi tentang keadilan sahabat Nabi Muhammad SAW. telah banyak dilakukan oleh para sarjana Islam, namun tampaknya lebih bernuansa apologetik, normatif dan tidak kritis, sebagai akibat dari penilaian bahwa periode kehidupan sahabat sebagai periode sakral. Pandangan umum menyatakan tentang keadilan semua sahabat. Sedikit sekali uraian kritis dan komprehensif tentang kepribadian para sahabat dari perspektif mazhab-mazhab. Tulisan ini akan menguraikan konsep keadilan sahabat secara kritis, komprehensif dan seimbang. Dengan menggunakan metode komparatif, keadilan sahabat dilihat dari perspektif Sunni dan Syi‘ah. Penulis menyimpulkan bahwa para ulama tidak memiliki konsensus tentang keadilan sahabat. Ulama Sunni meyakini bahwa semua sahabat bersifat adil, sedangkan ulama Syi‘ah mengklaim bahwa hanya segelintir sahabat Nabi saja yang adil. Perbedaan pandangan ini sangat memengaruhi sikap kedua aliran tersebut terhadap status hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Abstract: Beberapa Perspektif Tentang Keadilan Sahabat. A large number
of researches onthe integrity of the companions of the Prophet pbuh. has been
done by Muslim scholars but at some degree seem to be apologetic, normative an uncritical as consequence of perception that the period of the companions’ lives is regarded to be sacred. The prevailing view insists on the integrity of all companions. There were only very few critical and comprehensive discussion on the integrity of the companions as far as the schools of thought are concerned. This essay attempts to critically and impartially discuss the integrity of the companions. By approaching the issue comparatively, the author analyzes the integrity of the companion from the Sunni and Syi’ahs’ perspective. The author concludes that there is no consensus amongst scholars on the integrity of the companions, by which for the Sunni scholars all of them are honest, whereas for the Syiah they constitute only a limited number. Such divergence of opinion influences the attitude of the two mainstreams towards the status of the prophetic traditions.
Kata Kunci: keadilan, sahabat, hadis, Sunni, Syi`ah
Pendahuluan
Pembahasan tentang hadis sangat terkait erat dengan pembahasan tentang
23
pertama di dunia Islam. Dari mereka, umat Islam mengetahui dan memahami
hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, tanpa mereka, sangat mustahil
umat Islam belakangan dapat mengetahui ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan
taqrir Nabi Muhammad SAW.
Artikel ini akan mencoba untuk membahas masalah kedudukan sahabat dan
keadilannya. Secara khusus makalah ini memfokuskan kajian terhadap sejumlah
persoalan, yakni pengertian sahabat, cara mengetahui sahabat, ‘A dalah al-Shahabah
(keadilan sahabat), pandangan Sunni dan Syi‘ah tentang keadilan sahabat dan
argumentasinya, dan jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis.
Dalam uraiannya, makalah ini akan menggunakan metode deskriptif dan
komparatif. Metode deskriptif yakni menguraikan pandangan para ‘ulama tentang
masalah yang akan dikaji tulisan ini secara apa adanya. Sementara itu metode
komparatif yakni membandingkan antara pandangan ulama Sunni dengan ulama
Syi‘ah Imamiyah tentang masalah yang akan dikaji tersebut. Komparasi ini
dimaksudkan agar diketahui secara luas tentang tema yang dikaji perspektif
Sunni-Syi‘ah.
Pengertian Sahabat
Secara lebih spesifik, istilah ‘sahabat’ berasal dari bahasa Arab, yakni al-ashhab,
al-shahabah, shahaba, yashhubu, shuhbatan, shahabatan, dan shahibûn, yang artinya teman
bergaul, sahabat, teman duduk, penolong, dan pengikut. A l-Shahib diartikan sebagai
kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang
melakukan dan menjaga sesuatu’. Di dalam al-Qur’an, ditemukan derivasi dari kata
ini seperti tushahibni, shahibahunâ, shahibahu, shahibatahu, ashhab, dan ashhabûn. Kata ini
diulang-ulang sebanyak 97 kali. Namun kata shahabah dan shuhbah tidak ada di dalam
al-Qur’an al-Karim. Berdasarkan penelaahan atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an,
kata-kata tersebut memiliki beberapa makna, baik bermakna positif maupun bermakna
negatif. Kata al-shuhbah dapat diterapkan kepada hubungan antara seorang mukmin
dengan mukmin lain, antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang berbeda
24
pengikut dengan orang yang diikuti, antara seorang mukmin dengan orang kafir,
antara orang kafir dengan orang kafir lainnya, antara seorang nabi dengan kaumnya
yang kafir yang berusaha menghalangi dari kebaikan dan mengembalikannya pada
kesesatan. Kata al-shuhbah terkadang terjadi karena ada unsur keterpaksaan. Kata ini
pun bermakna memiliki pengaruh, misalnya seseorang dapat terpengaruh
perangainya setelah berteman dengan orang yang berprilaku buruk. Kata ini pun
berarti ketundukan pada akidah Ilahi atau kesetiaan mutlak kepada pemimpin
politik, seperti ketundukan keluarga nabi terhadap akidah Ilahi atau pengorbanan
mereka serta kesetiaan para sahabat pada kepemimpinan Rasulullah SAW.1
Menurut bahasa, kata ‘sahabat’ adalah musytaq (pecahan) dari kata shuhbah,
artinya orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah.2 Kata
ini digunakan untuk menyatakan kegiatan persahabatan itu, baik terjadi dalam
frekuensi minimal maupun maksimal. Jadi, jika seseorang menemani seseorang
selama sepanjang masa, atau satu tahun, atau satu bulan, atau satu hari, atau bahkan
satu jam, maka mereka telah dianggap saling bersahabat.3 Konsep ini dipegang oleh
mayoritas ulama sebagai sarana untuk mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara
terminologi.
Secara terminologi, banyak sekali pandangan ulama tentang definisi sahabat.
Mengenai batasan tentang siapa sahabat itu sampai saat ini masih diperselisihkan.
Bagian ini akan menulis pandangan mayoritas ulama dan minoritas ulama tentang
definisi sahabat.
Mayoritas ulama mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara umum. Misalnya,
seperti dilaporkan oleh al-Syahrazurî,4 dan ‘Ajaj al-Khatib,5 para ahli hadis menulis bahwa “sahabat adalah setiap Muslim yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW”.
Imam Bukharî menyatakan bahwa “Di antara kaum Muslimin yang pernah
menyertai Nabi Muhammad SAW. atau pernah melihat beliau, maka sudah termasuk
1Ahmad Husein Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah (Qom: Ansariyan Publication, 1996), h. 9-10.
2Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, A l-Sunnah Qabl al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 387. 3Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 377.
4Al-Imâm ‘Amr ‘Usman bin ‘Abd Rahmân al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm
25
sahabat Nabi Muhammad SAW”. Imam Ahmad mengungkapkan bahwa “setiap
orang yang pernah menyertai Nabi Muhammad SAW.. selama satu tahun atau
beberapa bulan, sehari atau satu jam, bahkan sekedar pernah melihat beliau
termasuk sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki status sahabat sesuai dengan
kadar kesertaan yang dilakukannya, dan sebelumnya pernah bersama, mendengar
dari dan memperhatikan beliau”. Sementara itu, Ibn Hazm menulis bahwa “sahabat
adalah setiap orang yang pernah ber-mujalasah dengan Nabi Muhammad SAW.,
meski hanya sesaat, mendengar dari beliau meski hanya satu kata, menyaksikan
beliau menangani suatu masalah dan tidak termasuk orang-orang munafik yang
kemunafikannya berlanjut sampai populer dan meninggal dalam keadaan seperti
itu”. Kemudian Abû al-Muzaffar al-Sam’ani pernah berkata bahwa “para pakar hadis
menyebut istilah sahabat untuk orang yang meriwayatkan dari Nabi Muhammad
SAW., satu hadis atau satu kata. Lalu mereka melonggarkan pengertian itu, sehingga
mereka menganggap orang yang pernah melihat sekali saja kepada Nabi Muhammad
SAW. sebagai sahabat. Ini tidak lain karena kemuliaan status Nabi Muhammad
SAW. Mereka memberikan status sahabat kepada siapa saja yang pernah melihat
Nabi Muhammad SAW.”. Berdasarkan keterangan al-Wâqidî, para ahli ilmu berkata
“setiap orang yang pernah melihat Nabi Muhammad SAW., telah baligh, lalu masuk
Islam, memahami persoalan agama, dan rela kepada beliau, maka ia dapat disebut
sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. meski hanya sesaat di siang hari”. Ibn Hajar
al-Asqalânî menulis “sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW. dengan ketentuan ia beriman dan hidup bersamanya baik lama
atau sebentar, meriwayatkan hadis dari beliau atau tidak. Demikian pula orang yang
pernah melihat Nabi Muhammad SAW. walaupun sebentar, atau pernah bertemu
dengan beliau namun tidak melihat beliau karena buta.”6 Sementara Muhammad
Jamal al-Dîn al-Qasimî menulis bahwa “sahabat adalah orang yang pernah bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW. walaupun sesaat, dalam keadaan beriman
26
kepadanya, baik meriwayatkan hadis dari beliau atau tidak.7 Demikianlah pandangan
mayoritas ‘ulama Sunni tentang sahabat.
Sementara segelintir ulama mendefinisikan kata ‘sahabat’ secara ketat dan
khusus. Misalnya, seperti dilaporkan oleh Syahrazurî8 dan ‘Ajaj al-Khatib,9 Anas bin Malik menyatakan bahwa melihat Nabi Muhammad SAW. belum cukup menjadikan
seseorang masuk dalam kategori sahabat. Pandangannya ini berdasarkan riwayat dari
Syu’bah dari Musa al-Subulanî, katanya “saya bertanya kepada Anas bin Malik,
apakah masih ada sahabat Nabi Muhammad SAW. selain tuan?. Beliau menjawab
“orang-orang pedalaman Arab melihat beliau, tetapi yang berstatus sahabat tidak ada
lagi”. Sementara Abû Bakar al-Baqillânî menyatakan bahwa tidak disebut sahabat
kecuali untuk orang yang banyak bergaul dan sering bertemu dengan orang lain.
Tidak digunakan kata sahabat untuk orang yang bertemu hanya sesaat dengan orang
lain atau berjalan satu langkah dengannya serta mendengar satu pembicaraan saja
darinya”. Para ahli Ushûl Fiqih menulis bahwa “sahabat adalah orang yang lama
bergaul bersama Nabi Muhammad SAW”. Sa’id bin al-Musayyab mengatakan bahwa
“tidak dianggap sebagai seorang sahabat kecuali orang yang bertemu Nabi
Muhammad SAW. selama satu atau dua tahun. Atau ia pernah berperang bersama
Nabi Muhammad SAW. dalam satu atau dua kali peperangan.”10 Demikianlah
sepintas pandangan-pandangan ‘ulama Sunni tentang definisi sahabat.
Mazhab Syi‘ah Imamiyah memberikan definisi lain yang agak berbeda dengan
definisi-definisi sebelumnya. Sebagaimana dinyatakan Ahmad Husain Ya’kub bahwa
sahabat adalah setiap orang yang semasa dengan Nabi yang mereka mematuhi
Rasulullah SAW., melindungi, memberikan pertolongan, dan mengikuti cahaya yang
diturunkan kepada beliau. Mereka adalah orang-orang pilihan yang turut berjasa
menegakkan daulah Islam dan selalu bersabar terhadap berbagai bentuk cerca dan
hinaan orang-orang kafir, hingga Allah memberikan kemenangan. Mereka selalu
berpegang teguh kepada Allah, dan menampakkan kesetiaan kepada Rasulullah
7Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 108-109. 8Al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm al-Hadits, h. 175.
9Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 379-380.
27
SAW. dan kepada orang yang ditunjuk sebagai wali (yakni ‘Alî bin Abî Thâlib) oleh
beliau, hingga akhirnya mereka meninggal dalam keadaan berpegang teguh kepada
agama Allah.11 Orang-orang yang masuk dalam definisi ini sangat sedikit, antara lain
‘Alî bin Abî Thâlib, Abû Dzar al-Ghiffarî, Salman al-Fârisî, Miqdad bin Amr, Malik
Asytar, Maitsam Tammar, Kumail bin Ziyad, Said bin Jubair, Mukhtar
al-Tsaqafî, Abû Thâlib, Ja’far bin Abî Thâlib, Hamzah, Mus’ab al-Khair, Ammar bin
Yassir, dan Habib bin Mazhahir.12 Kesemuanya adalah sahabat-sahabat istimewa
Nabi Muhammad SAW. Para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah menilai bahwa para sahabat
semacam Abû Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Amr
bin Ash, dan Muawiyah kurang istimewa. Mereka dinilai oleh ulama Syi‘ah Imamiyah
sebagai orang-orang yang memiliki bermacam-macam watak di mana hanya Allah
SWT. saja yang mengetahuinya. Bahkan di antara mereka adalah kaum munafik,
meskipun mereka menampakkan keislaman mereka. Mereka akan ditempatkan oleh
Allah SWT. ke neraka. Mereka tidak layak disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad
SAW. Jika mereka tetap ingin disebut sebagai sahabat, mereka hanya bisa disebut
sebagai sahabat yang tidak istimewa.13 Demikianlah pandangan Syi‘ah Imamiyah
tentang sahabat.
Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, mendukung pernyataan Nawir
Yuslem, bahwa para prinsipnya, ada dua unsur yang disepakati oleh para ahli yang
harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa disebut sebagai sahabat. Pertama, pernah
bertemu dengan Rasulullah SAW. Kedua, dalam keadaan beriman dan Islam sampai
meninggal dunia.14 Alhasil, jika seseorang memang tidak pernah bertemu Nabi
Muhammad SAW., atau pernah bertemu beliau, tetapi tidak dalam keadaan beriman,
atau bertemu dalam keadaan beriman, tetapi meninggal dalam keadaan tidak
beriman, maka ia tidak bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.
Satu hal yang mesti dipahami pula bahwa para sahabat itu bertingkat-tingkat
kedudukannya. Mengenai jumlah peringkat (Thabaqah) di kalangan sahabat sampai
11Ya’qub, Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah, h. 20, 23-24.
12Kamal al-Sayyid, The Companions of the Prophet and Their Followers (Qom: Ansariyan Publications, 2000).
28
saat ini memang masih diperselisihkan. Al-Hakîm mengkualifikasikan mereka
menjadi 12 peringkat.15 Kedua belas peringkat sahabat itu, seperti ditulis ‘Ajaj al-Khatib,16 dan Subhi al-Shalih17 adalah sebagai berikut: Pertama, mereka yang mula-mula masuk Islam seperti 10 orang sahabat yang mendapat kabar akan masuk surga,
yakni para Khulafâ’ al-Rasyidîn, Sa’ad bin Abî Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin
Ubaid Allâh, Zubair bin Awwam, ‘Abd Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr
bin al-Jarrah, plus Khadîjah dan Bilâl. Kedua, mereka yang masuk Islam sebelum
musyawarah ahli Makkah di Dâr al-Nadwah. Ketiga, mereka yang berhijrah ke
Habasyah. Mereka seperti ‘Utsmân bin ‘Affân, Zubair bin Awwam, Ja’far bin Abî
Thâlib, Ruqayyah, istri ‘Utsman dan puteri Nabi Muhammad SAW., Sahlah binti
Sahl, istri Abû Huzaifah. Keempat, mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Ulâ seperti
Jabîr bin ‘Abd Allâh, ‘Uqbah bin Amîr, As’ad bin Zurarah, dan ‘Ubadah bin
al-Shamit. Kelima, mereka yang mengikuti al-‘Aqabah al-Tsaniah (mayoritas kaum
Anshar) seperti al-Barra bin Ma’rur, Sa’ad bin ‘Ubadah, dan Ka’ab bin Malik. Keenam,
kaum Muhajirin yang mula-mula bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. di Quba
sebelum beliau memasuki Madinah. Ketujuh, ahli Badr. Kedelapan, mereka yang
berhijrah di antara Badar dan al-Hudaibiyah. Kesembilan, para peserta Bai’at
al-Ridwân di Hudaibiyah. Kesepuluh, mereka yang berhijrah antara Hudaibiyah dan Fath
al-Makkah, seperti Khâlid bin Walîd, Ibn al-‘Ash, dan Abû Hurairah. Kesebelas,
orang-orang yang masuk Islam saat Fath al-Makkah seperti Mu’awiyah bin Harb dan
Hakîm bin Hizam. Kedua belas, kalangan anak-anak yang menyaksikan Nabi
15Al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir, h. 127. Para ‘ulama berbeda-beda dalam menyebut tingkat-tingkat sahabat. Ibn Sa‘ad menjadikan para sahabat menjadi lima tingkat. Sementara ‘ulama lain malah lebih banyak lagi.
16Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 380-381.
29
Muhammad SAW. saat Fath al-Makkah, dan Haji Wada’ seperti Hasan bin ‘Alî dan
Husain bin ‘Alî, al-Sa’ib bin Yazid al-Kalabî dan ‘Abd Allâh al-Zubair.18
Selain bertingkat-tingkat, para sahabat pun memiliki keutamaan yang tidak
sama. ‘Ulama Sunni sepakat bahwa Abû Bakar dan ‘Umar bin Khattab sebagai
sahabat paling utama. Setelah keduanya, baru ‘Utsmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî
Thâlib. Setelah Khulafâ’ al-Rasyidîn itu, sahabat yang memiliki keutamaan adalah
sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, ahli Badar, ahli Uhud, peserta Bai’ah
al-Ridwan, kaum Anshar yang mengikuti dua ‘Aqabah, al-Sabiqûn al-A wwalûn, dan
mereka yang pernah melakukan shalat menghadap dua kiblat.19 Inilah pandangan Sunni tentang tingkatan-tingkatan sahabat Nabi Muhammad SAW.
Seluruh ulama Syi‘ah Imamiyah sepakat bahwa para sahabat Nabi
Muhammad SAW. memiliki keutamaan yang tidak sama. Berbeda dengan ulama
Sunni, para ulama Syi‘ah Imamiyah menilai para sahabat seperti Abû Bakar, ‘Umar
bin Khatab, ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Aisyah, Thalhah, Jubair, Mu’awiyah bin Abî
Sufyan, Amr bin ‘Ash, dan lainnya sebagai sahabat yang tidak memiliki sifat adil.
Menurut mereka, para sahabat Nabi Muhammad SAW. yang bersifat adil adalah
seperti ‘Alî bin Abî Thâlib, Abû Thâlib, Ja’far bin Abî Thâlib, Hamzah, Mus’ab
al-Khair, Abû Dzar, Miqdâd, Salman al-Farisî, Ammar bin Yassir, Malik al-Asytar,
Habib bin Madzahir, Maitsam al-Tammar, al-Mukhtar, Kumail bin Ziyad, Sa’id bin
Jubair,20 dan masih banyak lagi. Inilah pandangan Syi‘ah Imamiyah tentang nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW. yang memiliki sifat adil. Mereka lebih utama
dan adil dari pada para sahabat yang dianggap kaum Sunni sebagai sahabat-sahabat
yang utama.
Cara Mengetahui Sahabat
Ada sejumlah cara mengetahui para sahabat Nabi Muhammad SAW. Umat
Islam bisa mengetahui para sahabat itu melalui sejumlah cara tersebut. Berikut ini
18Imâm al-Hakîm Abî ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Hafidz al-Naisaburî, Kitab
Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah bi al-Madinah al-Munawwarah, 1977), h. 22-24.
30
adalah sejumlah cara mengetahuinya, sebagaimana ditulis oleh Ibn Hajar
al-Asqalanî,21 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib22 dan Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy:23
Pertama, Khabar Mutawatir. Khabar Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk
berbuat dusta. Misalnya hadis yang menyatakan bahwa Abû Bakar, ‘Umar bin
Khattab, ‘Utsmân bin ‘Affân, ‘Alî bin Abî Thâlib, serta sejumlah sahabat telah
mendapat jaminan masuk surga secara tegas, yaitu para Khulafâ’ Rasyidîn, Sa’ad bin
Abî Waqqâs, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin ‘Ubaid Allâh, Zubair bin Awwâm, ‘Abd
Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah. Jaminan masuk surga bagi
sejumlah sahabat itu ditegaskan oleh khabar yang mutawatir.
Kedua, Khabar Masyhur (Mustafidh), khabar ini berada di bawah status
Mutawatir. Khabar Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau
lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.
Misalnya hadis yang menyatakan bahwa seseorang itu sahabat Nabi Muhammad
SAW. seperti ‘Akasyah bin Muhshan dan Dhammam bin Tsa’labah.
Ketiga, salah seorang sahabat memberikan k habar bahwa seseorang berstatus
sahabat. Misalnya, Hamamah bin Abû Hamamah al-Dausî yang meninggal di
Ashbahan karena sakit perut, lalu Abû Musa al-Asy’arî memberikan kesaksian bahwa
ia seorang sahabat Nabi Muhammad SAW.
Keempat, seseorang mengk habarkan diri sebagai sahabat setelah diakui keadilan
dan kesezamanannya dengan Nabi Muhammad SAW. Asal saja k habar ini dilakukan
sebelum berlalu 100 tahun (sebelum tahun 110 H) dari kewafatan Nabi Muhammad
SAW., sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukharî dari Ibn ‘Umar.
Kelima, seorang dari tabi’in yang terpercaya mengk habarkan bahwa seseorang
berstatus sebagai sahabat.
Sedikit berbeda secara redaksi dengan metode dari Ibn Hajar al-Asqalânî,
‘Ajaj al-Khatib dan al-Shiddieqy di atas, Subhi al-Shalih24 menyatakan bahwa para
21Al-‘Asqalânî, A l-Ishabah, h. 8. 22Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 381.
31
‘ulama telah membuat sejumlah ketentuan, apabila salah satu telah dipenuhi, maka
seseorang sudah bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW., antara lain:
Pertama, sudah diketahui secara luas kesahabatannya, seperti 10 orang sahabat
yang mendapat kabar akan masuk surga, yakni para Khulafâ’ al-Rasyidîn, Sa’ad bin
Abî Waqqas, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin ‘Ubaid Allâh, Zubair bin Awwam, ‘Abd
Rahman bin ‘Auf, dan Abû Ubaidah Amîr bin al-Jarrah.
Kedua, dikenal kesahabatannya, meskipun tidak begitu luas, seperti Dhimam
bin Tsa’labah dan ‘Akasyah bin Muhashshin.
Ketiga, pengukuhan sahabat terkenal bahwa seseorang adalah sahabat Nabi
Muhammad SAW. Misalnya, pengukuhan Abû Musa al-Asy’arî terhadap Humamah
bin Abî Humamah al-Dausî.
Keempat, pengakuan seseorang yang terkenal adil, terpercaya dan melingkupi
batas waktu yang mungkin. Para ‘ulama menentukan batas waktu yang mungkin itu
tidak melewati tahun 110 H. Sahabat Nabi Muhammad SAW. yang wafat paling
akhir bernama Abû Thufail Amîr bin Wa’ilah al-Laitsî. Beliau wafat pada tahun 110
H. di kota Makkah.25
Agaknya metode-metode ini diterima oleh semua ‘ulama, tidak saja ulama
dari kelompok Sunni, namun pula para ‘ulama dari ‘ulama Syi‘ah Imamiyah.26
Keadilan Sahabat (
‘Adalah al-Shahabah
)
Kata ‘adalat berasal dari kata al-‘adl. Secara etimologis kata ini bermakna
sesuatu yang menjadikan seseorang benar atau baik, yaitu lawan dari buruk. Orang
yang al-‘adl berarti orang yang diterima kesaksiannya dan menilainya secara positif.
24Al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 326.
25Al-Khatib merinci sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. yang wafat sebelum tahun 110 H ini, yakni sebagai berikut. Abû Thufail Amîr bin Wa’ilah Laitsiy (w. 110 H) di Makkah. al-Sa’ib bin Yazid al-Kindî (w. 91 H) di Madinah. Salamah bin al-Akwa’ al-Aslamî (w. 74 H) di Badiyah. Anas bin Malik (w. 92 H) di Basrah. ‘Abd Allâh bin Abû Aufa (w. 87 H) di Kufah. ‘Abd Allâh bin Bisyr al-Mazani (w. 88 H) di Syam. al-‘Ara bin Umairah al-Kindî (w. ? H) di Jazirah. ‘Abd Allâh bin al-Harits bin Juz’ al-Zubaidî (w. 86 H) di Mesir. Ruwaifi’ bin Tsabit al-Ansharî al-Madanî (w. 56 H) di Barqah. Harmas bin Ziyad (w. 102 H) di Yamamah. Abû Abî ‘Abd Allâh bin Amr (w. ? H) di Palestina. Buraidah bin al-Hasib al-Aslamî (w. 63 H) di Khurasan dan Abû Barzah Nadhlah bin Ubaid al-Aslamî (w. 65 H) di Khurasan. Al-‘Ida bin Khalid bin Haudzah al-‘Amirî (w. 100 H) di Sijistan. Lihat, al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 394-396.
32
Secara terminologis, kata al-‘adl bermakna orang yang tidak memiliki sifat yang bisa
mencacatkan atau bahkan merusak keagamaan dan kepribadiannya, sehingga k habar
dan kesaksiaannya bisa diterima, namun bila syarat-syarat lain yang berkaitan dengan
keduanya terpenuhi.27 Sifat adil seorang sahabat diindikasikan oleh bahwa mereka seorang muslim, baligh, berakal, tidak syaz, teguh, setia, memiliki ingatan kuat,
dhabit, tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak sering berbuat dosa kecil. Sebab
itulah seseorang disebut sebagai sahabat yang adil.
Secara terminologis, para ‘ulama Sunni mendefinisikan adilnya seorang
sahabat ialah sebagaimana yang dimaksud dalam arti keadilan sahabat itu sendiri,
yakni sebagai setiap orang yang sezaman dengan Rasulullah SAW., dilahirkan pada
zaman Rasulullah SAW., tidak pernah berdusta atau menipu, sehingga umat Islam
tidak diperbolehkan menyakiti mereka.28 Pandangan para ulama Sunni ini ditolak oleh para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, sebab bagi, mereka tidak semua orang yang
sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, dan bukan berarti sahabat
nabi itu tidak boleh dikritik. Mereka boleh dikritik, sebab kebenaran meski diungkap.
Bagi mereka, keadilan seorang sahabat dimaknai sebagai setiap orang yang semasa
dengan nabi yang mereka mematuhi Rasulullah SAW., melindungi, memberikan
pertolongan, dan mengikuti cahaya yang diturunkan kepada beliau. Mereka adalah
orang-orang pilihan yang turut berjasa menegakkan daulah Islam dan selalu bersabar
terhadap berbagai bentuk cercaan dan hinaan orang-orang kafir, hingga Allah SWT.
memberikan kemenangan. Mereka selalu berpegang teguh kepada kepada Allah, dan
menampakkan kesetiaan kepada Rasulullah SAW. dan kepada orang yang ditunjuk
sebagai wali (yakni ‘Alî bin Abî Thâlib) oleh Nabi Muhammad SAW., hingga
akhirnya mereka meninggal dalam keadaan berpegang teguh kepada agama Allah.29
Pandangan para ‘ulama tentang keadilan sahabat agaknya bisa dibagi menjadi
dua pandangan. Pertama, seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, baik
yang mengalami masa terjadinya fitnah atau tidak. Pandangan ini didukung oleh
27Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 233; Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 171.
33
mayoritas ‘ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah.30 Sementara k edua, bahwa tidak semua
sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, sehingga sahabat dibagi menjadi dua,
sahabat yang adil atau sahabat istimewa, dan sahabat yang tidak bersifat adil atau
sahabat yang memiliki watak yang bervariasi yang hanya Allah SWT. semata yang
mengetahuinya. Jadi, tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil
secara mutlak, dan tidak berarti mereka tidak bisa dikritik. Mereka semua bisa
dikritik. Pandangan ini dipegang oleh mayoritas ‘ulama Syi‘ah Imamiyah.31
Sementara kaum Mu’tazilah meyakini pula pandangan Syi‘ah Imamiyah ini. Bagi
kaum Mu’tazilah, orang yang turut serta dalam pembunuhan atas diri ‘Alî bin Abî
Thâlib secara sadar disebut fasik. Seluruh riwayat dan kesaksiannya ditolak.32 Berdasarkan konsep ini, berarti kaum Mu’tazilah meyakini bahwa tidak semua
sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil.
Bagi kelompok Syi‘ah Imamiyah, tidak semua sahabat Nabi Muhammad
SAW. memiliki sifat adil, karena sifat adil mempunyai syarat-syarat syar’i dan
sifat-sifat tertentu. Siapa saja yang memiliki syarat-syarat dan sifat-sifat tersebut, maka ia bisa
disebut sebagai orang yang adil. Sebaliknya, bagi siapa yang tidak memilikinya, maka
ia bukan orang yang adil. Beranjak dari sini, kelompok minoritas Islam ini membuat
lima rukun sebagai timbangan dan ukuran dalam menentukan kedudukan,
keistimewaan, dan keadilan seorang sahabat. Kelima rukun dimaksud sebagai
berikut. Pertama, kekerabatan dan keturunan suci Nabi Muhammad SAW. Kedua,
yang lebih dahulu menyatakan keimanan. Ketiga, tingkat ketakwaan. Keempat, tingkat
keilmuan. Kelima, mereka yang mengakui kekhilafahan atas orang yang ditunjuk oleh
Rasulullah SAW. sebagai pemimpin syar’i pengganti Nabi Muhammad SAW. tanpa
disertai rasa benci dan terpaksa.33
30Al-‘Asqalânî, A l-Ishabah, h. 8-14; Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382.
31Sayyid ‘Abd al-Rahîm al-Musawî, Nazhariyah ‘A dilah al-Shahabah (Qom: Markaz al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 1422 H), h. 40; Ja’far al-Hadi, A l-Haqîqatu Kamâ Hiya (Qom: Markaz al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 2000), h. 31-32; Idem, Syi‘ah: A -Z, terj. Husein Haddad (Jakarta: Al-Huda, 2007), h. 35-36; Ya’qub,
Nazhariyyah ‘A dalah A sh-Shahabah, 23-24. 32Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382.
34
Tiap-tiap pandangan di atas didukung oleh para ‘ulama terkemuka
masing-masing madzhab tersebut, dan mereka mengabsahkan pandangannya dengan
menggunakan dalil-dalil naqliyah. Masing-masing pandangan dilandasi oleh dalil-dalil
keagamaan, baik al-Qur’an maupun hadis. Hal ini akan dibahas pada bagian
selanjutnya.
Lepas dari perdebatan antara mazhab Sunni dan Syi‘ah Imamiyah tentang
keadilan sahabat, bahwa dalam konteks periwayatan hadis, harus diyakini bahwa
semua sahabat itu bersifat adil. Para penyampai hadis (sahabat) itu memiliki sifat
adil. Sebab para sahabat ini berfungsi sebagai penyampai, pembawa, pemindah, dan
penafsir syari’at kepada umat Nabi Muhammad SAW. Jika mereka dikatakan tidak
adil, maka pernyataan ini bisa meruntuhkan fondasi ajaran Islam oleh sebab
merekalah penyampai dan penafsir ajaran Islam dari Nabi Muhammad SAW. kepada
umat Islam sampai detik ini. Sifat adil seorang sahabat, seperti telah disebut
terdahulu, diindikasikan oleh bahwa mereka muslim, baligh, berakal, tidak syaz,
teguh, setia, memiliki ingatan kuat, dhabit, tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak
sering berbuat dosa kecil. Sebab itulah, seseorang disebut sebagai sahabat yang adil.
Pandangan Sunni dan Syi‘ah tentang Keadilan Sahabat dan Argumentasinya
Sebagaimana telah disinggung di atas, mayoritas ‘ulama Sunni meyakini
bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil, baik yang pernah
mengalami masa terjadinya fitnah maupun tidak. Ibn ‘Abd al-Barr, Ibn al-Shalah,
dan al-Nawâwî, seperti ditulis Subhi al-Shalih, mengemukakan kesepakatan ulama
tentang keadilan semua sahabat Nabi Muhammad SAW.34 Ibn Hazm, seperti ditulis
‘Ajaj al-Khatib, menyatakan bahwa “kami menyatakan keutamaan kaum Muhajirin
awal setelah ‘Umar bin Khatab, lalu A hl al-‘A qabah, lalu A hl al-Badar, lalu A hl
Masyhad, lalu A hl Hudaibiyah. Saya berani mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan
kaum Anshar sampai peserta Bai’ah al-Ridwan, meski saya tidak mengetahui hati
mereka, semuanya adalah mukmin yang saleh dan meninggal dalam keadaan
beriman, mendapatkan petunjuk dan berada dalam kebaikan. Semuanya merupakan
35
penghuni surga dan tidak seorang pun dari mereka yang masuk neraka”. Inilah
pandangan mayoritas ulama Sunni.
Sementara Syarih Muslim al-Tsabut menyatakan bahwa “keadilan para
sahabat adalah sesuatu yang pasti, terlebih lagi para peserta perang Badar dan peserta
Bai’ah al-Ridwan. Bagaimana tidak, karena Allah SWT. memuji mereka di beberapa
tempat dalam al-Qur’an, dan Rasulullah SAW. menjelaskan pula akan keutamaan
mereka berkali-kali”. Al-Tsabut pun mengatakan “keadilan sahabat-sahabat yang
mengikuti Bai’ah al-Ridwan dan perang Badar telah pasti. Tidak sepatutnya seorang
Mukmin meragukan hal itu. Bahkan mereka yang telah memeluk Islam sebelum Fath
al-Mak k ah pasti bersifat adil, baik dari kaum Muhajirin maupun kaum Anshar. Yang
masih perlu diteliti adalah mereka yang masuk Islam saat F ath al-Mak k ah, karena
sebagiannya masih mu’allaf. Mereka ini memang masih menjadi objek silang
pendapat di kalangan ulama. Namun kita hanya bisa mengatakan bahwa mereka
muslim yang bersifat baik”.35
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila
seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. masuk Islam sebelum Fath al-Mak k ah,
maka sahabat itu bersifat adil. Sementara jika sahabat itu masuk Islam pasca Fath
al-Mak k ah, maka sahabat itu masih perlu diteliti lagi. Ia belum bisa dipastikan bersifat
adil sampai ada dalil yang menunjukkan keadilan mereka. Mereka hanya bisa disebut
sebagai sahabat yang baik.
Para ‘ulama yang meyakini bahwa semua sahabat Nabi Muhammad SAW.
bersifat adil mengajukan sejumlah dalil, baik al-Qur’an maupun Hadis, sebagaimana
disebutkan di bawah ini.36 Harus dicatat bahwa inilah argumentasi mayoritas ulama Sunni tentang semua sahabat bersifat adil.
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Fath: 29:
35Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 382-383.
36Al-Khatib, Ushûl al-Hadits, h. 383-391; al-Syahrazurî, Muqaddimah Ibn Shalah fî ‘Ulûm
36
A rtinya: Muhammad itu adalah utusan A llah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah k eras terhadap orang-orang k afir, tetapi berk asih sayang sesama merek a. Kamu lihat merek a ruk u' dan sujud mencari k arunia A llah dan k eridhaan-N ya, tanda-tanda merek a tampak pada muk a merek a dari bek as sujud. Demik ianlah sifat-sifat merek a dalam Taurat dan sifat-sifat merek a dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluark an tunasnya Mak a tunas itu menjadik an tanaman itu k uat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pok ok nya; tanaman itu menyenangk an hati penanam-penanamnya Karena A llah hendak menjengk elk an hati orang-orang k afir (dengan k ek uatan orang-orang muk min). A llah menjanjik an k epada orang-orang yang beriman dan mengerjak an amal yang saleh di antara merek a ampunan dan pahala yang besar.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Tawbah: 100.
menyediak an bagi merek a surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Merek a k ek al di dalamnya. Itulah k emenangan yang besar.Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Anfâl: 74.
37 (k epada orang-orang Muhajirin), merek a itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Merek a memperoleh ampunan dan rezk i (nik mat) yang mulia.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Hasyr: 8-10.
38
dirinya, merek a itulah orang orang yang beruntung.[] Dan orang-orang yang datang sesudah merek a (Muhajirin dan A nshor), merek a berdoa: "Ya Rabb k ami, beri ampunlah k ami dan saudara-saudara k ami yang telah beriman lebih dulu dari k ami, dan janganlah E ngk au membiark an k edengk ian dalam hati k ami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb k ami, sesungguhnya E ngk au Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Fath: 18.
A rtinya: Sesungguhnya A llah telah ridha terhadap orang-orang muk min k etik a merek a berjanji setia k epadamu di bawah pohon, mak a A llah mengetahui apa yang ada dalam hati merek a lalu menurunk an k etenangan atas merek a dan memberi balasan k epada merek a dengan k emenangan yang dek at (wak tunya).
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Alî ‘Imrân: 110
merek a ada yang beriman, dan k ebanyak an merek a adalah orang-orang yang fasik .Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2: 143
39 umat yang adil dan pilihan agar k amu menjadi sak si atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi sak si atas (perbuatan) k amu. Dan k ami tidak menetapk an k iblat yang menjadi k iblatmu (sek arang) melaink an agar k ami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengik uti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan k iblat) itu terasa amat berat, k ecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh A llah; Dan A llah tidak ak an menyia-nyiak an imanmu. Sesungguhnya A llah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang k epada manusia.
Diriwayatkan oleh Abû Sa’id al-Khudrî bahwa Nabi Muhammad SAW.
bersabda “janganlah kalian mencaci salah seorang di antara sahabatku, karena salah
seorang di antara kalian, seandainya menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud,
maka tidak akan dapat menyamai satu mud yang dinafkahkan oleh salah seorang di
antara mereka dan tidak pula separuhnya”.
Diriwayatkan oleh Imam Tirmizî dan Ibn Hibban, Nabi Muhammad SAW.
bersabda “bertaqwalah kalian kepada Allah dalam masalah sahabat-sahabatku.
Jangan kalian menjadikan mereka sasaran kritik sesudah aku wafat. Barangsiapa
mencintai mereka, maka dengan kecintaanku aku mencintai mereka. Barang siapa
membenci mereka, maka dengan segenap kebencianku aku membenci mereka.
Barangsiapa menyakiti mereka, maka berarti telah menyakiti aku. Barangsiapa
menyakiti aku, maka berarti telah menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah,
maka kemungkinan besar Dia akan menyiksanya”.
Dari Abû Musa, Nabi Muhammad SAW telah bersabda “bintang-bintang
adalah amanat bagi langit. Bila bintang-bintang itu sirna, maka langit akan menemui
apa yang dinanjikan kepadanya. Aku adalah amanat bagi sahabat-sahabatku. Bila aku
telah tiada, maka sahabat-sahabatku akan menemui apa yang dijanjikan kepada
mereka. Sahabat-sahabatku adalah amanat bagi umatku. Apabila sahabat-sahabatku
40
Bukharî dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda
“bahwa sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudah mereka,
kemudian generasi sesudah mereka, dan kemudian mereka menebarkan kedustaan”.
Bagi ulama yang menyatakan bahwa setiap sahabat Nabi Muhammad SAW.
bersifat adil menganggap bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis di atas jelas memberikan
kesaksian tentang keutamaan seluruh sahabat yang berada bersama Nabi
Muhammad SAW. sejak awal dakwah Islam sampai perang Hudaibiyah. Mereka
semua bersifat adil.
Sementara itu, para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah dan Mu’tazilah meyakini bahwa
tidak semua sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil. Sebagian sahabat memang
memiliki sifat adil, namun sebagian lagi bersifat tidak adil. Jadi, ada sahabat yang
istimewa dan ada sahabat yang memiliki watak buruk. Pendeknya, bagi mereka,
bahwa pernyataan bahwa semua sahabat itu bersifat adil adalah pendapat yang
bathil. Sebagaimana dikemukakan Ahmad Husein Ya’qûb, seorang ‘ulama Syi‘ah
Imamiyah, ada empat hal yang menimbulkan kebatilan dari pernyataan tersebut,
yaitu karena pendapat tersebut bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an yang qath’i,
bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW., tidak adanya kesesuaian
antara pendapat yang dimaksud dengan kenyataan yang berlaku, dan terakhir,
pernyataan tersebut bertentangan dengan ruh Islam secara umum, dari aspek
ke-husnul k hatimah-an dan tujuan hidup seseorang.37 Berikut penjelasan Syi‘ah Imamiyah secara umum tentang keempat hal itu.
Pertama. Pernyataan bahwa seluruh sahabat adalah adil sangat bertentangan
dengan nash-nash al-Qur’an yang qath’i. Ketika pemerintahan Rasulullah SAW,
wujud kemunafikan tersebar secara luas. Para munafikin menampakkan keimanan,
lisannya bersyahadat dan ucapan-ucapannya serupa dengan ucapan kaum Muslim
meskipun sebagai bentuk tipu daya dan hinaan mereka terhadap Islam. Hal ini
seperti tergambar dalam Q.S. al-Baqarah/2: 9.
41
A rtinya: Merek a hendak menipu A llah dan orang-orang yang beriman, padahal merek a hanya menipu dirinya sendiri sedang merek a tidak sadar.
Mereka menampakkan keimanan dan berusaha keras membuat Rasulullah
SAW. percaya bahwa mereka termasuk orang-orang yang beriman. Hal ini seperti
telah ditegaskan Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah/2: 14.
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Tawbah: 75-77.
42
terhadap A llah apa yang telah merek a ik rark an k epada-Nya dan juga k arena merek a selalu berdusta.
Ayat ini, bagi para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, menunjuk kepada kisah
Tsa’labah, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. yang miskin, kemudian
dido’akan oleh nabi supaya dikaruniai kekayaan. Namun setelah kaya, Tsa’labah
enggan membayar zakat kepada nabi sampai nabi wafat. Ia telah ingkar terhadap
Nabi Muhammad SAW. Bahkan Abû Bakar dan Umar bin Khattab tidak menerima
zakat darinya.
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Sajdah: 18-20.
A rtinya: A pak ah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik ? Merek a tidak sama. A dapun orang-orang yang beriman dan mengerjak an amal saleh, mak a bagi merek a jannah tempat k ediaman, sebagai pahala terhadap apa yang merek a k erjak an.[] Dan adapun orang-orang yang fasik (k afir) mak a tempat merek a adalah jahannam. Setiap k ali merek a hendak k eluar daripadanya, merek a dik embalik an k e dalamnya dan dik atak an k epada merek a: "Rasak anlah sik sa nerak a yang dahulu k amu mendustak annya."
Orang mukmin yang disebut ayat tersebut di atas adalah ‘Alî bin Abî Thâlib.
Sementara orang yang fasik adalah Walid bin ‘Uqbah, salah seorang sahabat nabi.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Shaff: 7.
43
A rtinya: Dan siapak ah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adak an dusta terhadap A llah sedang dia diajak k epada Islam?. Dan A llah tidak memberi petunjuk k epada orang-orang zalim.
Ayat ini diturunkan untuk menceritakan ‘Abd Allâh bin Abi Sarh, salah
seorang sahabat Nabi. Ia telah mengada-ada dan berdusta kepada Allah. Nabi
Muhammad SAW. sendiri menghalalkan darahnya meski ia sedang bergelantung
pada kain penutup Ka’bah.
Kedua. Pendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil bertentangan dengan
hadis nabi Muhammad SAW. Dalam Sirah Ibn Hisyam disebutkan bahwa suatu masa
sejumlah sahabat pernah berkumpul di kediaman salah seorang dari mereka. Mereka
mempengaruhi orang-orang untuk menghalangi jalan Rasulullah SAW., dan beliau
kemudian memerintahkan sahabat yang lain untuk membakar rumah tersebut.
Dalam kitab al-Dur al-Mansur karya al-Suyuthî, beliau mengatakan bahwa Ahmad bin
Hanbal, Bukharî, Tirmizî, Nasai, Ibn Jarir, dan Baihaqî men-tak hrij dalam kitab
al-Dalail riwayat dari Ibn ‘Umar. Ia berkata “Rasulullah berdo’a pada hari Uhud, Ya
Allah, berilah laknat kepada Abû Sufyan, yang Allah berilah laknat kepada Harts bin
Hisyam, yang Allah berilah laknat kepada Shafwan bin Umayyah”. Ketiganya akrab
dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan
kenyataan yang ada. Alasannya, misalnya, Mu’awiyah, salah seorang sahabat Nabi,
mendapatkan bai’at dari kaum Muslimin setelah melakukan pembunuhan,
pengrusakan, pembakaran, dan mendapat kecaman dari para pembantu Rasulullah
SAW. Ia kemudian merampas harta kaum Muslimin yang telah dikumpulkannya
selama dua puluh tahun ketika ia menjadi gubernur Syam. Hal ini ia lakukan demi
memperkuat kekuasaan. Mu’awiyah kemudian memberi kepada kaum Muslimin
yang ia namakan ‘rezeki pembaiatan’ untuk diberikannya kepada pasukan-pasukan
yang berjasa dalam pemilihan khalifah yang baru. Ini adalah salah satu contoh bahwa
44
ada, sebab Mu’awiyah yang merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW. memiliki
sifat sangat tercela.
Keempat. Pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan
ajaran Islam secara umum. Alasannya, bahwa sudah menjadi ruh ajaran Islam bahwa
Allah SWT. menciptakan kematian dan kehidupan, dan tidak menciptakan bumi
kecuali untuk mengetahui siapa di antara makhluknya yang paling baik amalnya.
Kehidupan ini diciptakan sebagai sarana untuk menguji makhluk-Nya. Setiap apa
yang ada di kehidupan ini merupakan sarana untuk menguji. Proses ujian dalam
hidup ini dimulai ketika mulai diberikan beban menjalankan syari’at agama yang
dibantu dengan akal dan kemampuan membedakan antara yang baik dengan yang
buruk, hingga akhirnya proses ujian itu berakhir dengan kematian (Q.S. al-Kahfi: 738; dan Q.S. al-Mulk: 239). Jika memang seluruh sahabat adalah adil dan tidak boleh menghukumi mereka sebagai pembohong, dan mereka adalah ahli surga, maka
sesungguhnya mereka tidak termasuk objek dari proses ujian, dan tidak perlu pula
mereka diuji dalam kehidupan ini. Jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan
tujuan hidup mereka, karena mereka berarti menghentikan proses ujian yang telah
menjadi ketentuan Allah terhadap para makhluknya.
Bukhari telah meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, bahwa Rasulullah SAW
bersabda bahwa “sesungguhnya kalian bangkit dari lubang yang dalam, dan
sesungguhnya beberapa orang dari sahabatku ada yang berjalan ke arah kanan, dan
ada yang berjalan ke arah kiri. Aku lalu berkata “sahabatku, sahabatku!”. Allah
kemudian berkata “sesungguhnya mereka masih dalam keadaan murtad sejak engkau
meninggalkan mereka”. Aku lalu berkata seperti apa yang dikatakan oleh hamba
yang saleh, “Aku menjadi saksi bagi mereka selama aku berada di antara mereka”.
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda “beberapa
orang dari sahabatku akan berpaling dariku, sehingga aku mengetahuinya. Mereka
akan goyah karena aku tiada”. Aku berkata “wahai sahabatku!”. Allah berkata
“tidakkah kau tahu apa yang mereka bicarakan setelah engkau tiada.”
38Allah SWT. berfirman “Sesungguhnya Kami telah menjadik an apa yang di bumi sebagai perhiasan
baginya, agar Kami menguji merek a siapak ah di antara merek a yang terbaik perbuatannya”.
39Allah SWT. berfirman “Yang menjadik an mati dan hidup, supaya Dia menguji k amu, siapa di
45
Inilah sejumlah alasan dari para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah tentang kebatilan
pandangan bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil. Dalam
kitab-kitab mereka, banyak sekali argumen diajukan, baik argumen naqli maupun
aqli, guna mendukung klaim mereka bahwa tidak semua sahabat itu bersifat adil.
Jumlah Sahabat yang Meriwayatkan H adis
Para sahabat periwayat hadis dari Nabi Muhammad SAW. sangat banyak
kuantitasnya. Mereka membawa pelbagai data keagamaan yang sangat bermanfaat
bagi umat Islam. Sebagaimana laporan dari ‘Ajjaj al-Khatib, para ulama telah banyak
melakukan penghitungan terhadap jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. Imam
al-Bukharî meriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkenaan dengan kisah
keterlambatannya dari perang Tabuk berkata “sahabat Rasulullah SAW. sangat
banyak, sehingga tidak mungkin bisa dimuat dalam buku”. Sementara itu, dari Ibn
‘Abbâs diriwayatkan bahwa ia berkata “Rasulullah SAW. keluar pada tanggal 10
Ramadhan. Beliau berpuasa dan orang-orang pun berpuasa. Kemudian sesampai
mereka di sumber air al-Kalid, beliau membatalkan puasa. Kemudian beliau
melanjutkan bersama sepuluh ribu kaum Muslimin sampai di jalur Shirar”. Peristiwa
ini terjadi pada tahun penaklukan Makkah (F ath al-Mak k ah). Berdasarkan fakta ini,
jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. berjumlah 10 ribu sahabat. Riwayat lain
menuliskan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. melakukan haji Wada’, turut serta
bersama Nabi sekitar sembilan puluh ribu kaum Muslimin. Berdasarkan fakta ini,
jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. berjumlah 90 ribu sahabat. Dalam riwayat
lain, bahwa seseorang bertanya kepada Abû Zur’ah “Wahai Abû Zur’ah, bukankah
telah dikatakan bahwa jumlah hadis Nabi Muhammad SAW. adalah empat ribu
hadis. Beliau berkata “Siapa yang berkata seperti itu?, semoga Allah SWT.
menghancurkan gigi-giginya. Itu perkataan kaum zindiq. Siapa yang bisa menghitung
hadis Rasulullah SAW.?. Rasulullah SAW. wafat meninggalkan seratus empat belas
ribu sahabat, yang mendengar dan meriwayatkan dari beliau. Ditanyakan lagi “Wahai
Abû Zur’ah, di mana mereka mendengar dari beliau dan siapa mereka?”. Beliau pun
46
antara keduanya, orang-orang Arab pedalaman, dan orang-orang yang turut serta
dalam haji Wada’ yang beliau lakukan”.40 Laporan ‘Ajaj al-Khatib ini telah ditulis pula oleh Imam al-Nawawî jauh sebelumnya, yang menuliskan bahwa Abû Zur’ah
al-Razî pernah mengatakan “Ketika Rasulullah wafat, ada sekitar 114 ribu sahabat
yang telah meriwayatkan dan menerima hadis dari Rasulullah SAW”.41 Demikian
laporan sejumlah riwayat tentang jumlah para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, sebagian ahli berpandangan bahwa
jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. sebanyak
tidak kurang dari 114 ribu sahabat. Jumlah ini menjadi logis, jika digunakan istilah
‘sahabat’ dalam arti luas, yakni setiap orang yang melihat Nabi Muhammad SAW.
Namun jika digunakan istilah ‘sahabat’ dalam arti sempit, barangkali jumlahnya tidak
sebanyak itu. Misalnya, para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah menggunakan makna sahabat
dalam arti sempit, sehingga sahabat Nabi Muhammad SAW. menurut mereka tidak
terlalu banyak jumlahnya.
Pandangan lain mengutarakan bahwa kendati jumlah sahabat Nabi
Muhammad SAW. berjumlah 114 ribu orang, namun tidak semua meriwayatkan
hadis. Sebagian ahli menyatakan bahwa hanya 369 sahabat yang meriwayatkan hadis
dari Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, semua sahabat itu tidak
meriwayatkan hadis dalam jumlah yang sama. Sebagian sahabat meriwayatkan hadis
dalam jumlah yang sangat banyak. Sementara sebagian sahabat lainnya hanya
meriwayatkan hadis dalam jumlah yang sedikit. Ada tujuh sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW sebanyak lebih dari seribu
hadis adalah42: Pertama. Abû Hurairah, sebanyak 5374 buah hadis. Kedua. ‘Abd Allâh
bin ‘Umar bin Khattab, sebanyak 2630 buah hadis. Ketiga. Anas bin Malik, sebanyak
2286 buah hadis. Keempat.. ‘Aisyah binti Abû Bakar, sebanyak 2210 buah hadis.
Kelima. ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs bin ‘Abd al-Muthâlib, sebanyak 1660 buah hadis.
Keenam. Jabîr bin ‘Abd Allâh, sebanyak 1540 buah hadis. Ketujuh. Abû Sa’id
40Al-Khatib, Ushûl al-Hadits,h. 391-392. 41Al-Nawâwî, A l-Taqrib wa al-Taisir, h. 127.
47
Khudrî, sebanyak 1170 buah hadis.43 Karena banyak meriwayatkan hadis, maka
mereka digelari sebagai al-Muk tsirûn fî al-Hadits.44
Selain ketujuh sahabat di atas, sejumlah sahabat lain pun meriwayatkan hadis
Nabi Muhammad SAW. kendati tidak sebanyak jumlah hadis yang telah
diriwayatkan oleh sahabat yang digelari sebagai al-Muk tsirûn fî al-Hadits di atas. Para
sahabat itu antara lain ‘Abd Allâh bin Mas’ûd, sebanyak 848 buah hadis, ‘Abd Allâh
bin Amr bin Ash, sebanyak 700 buah hadis, Abû Dzar al-Ghiffarî, sebanyak 281
buah hadis, dan Abû Darda’, sebanyak 179 buah hadis45, Abû Bakar, sebanyak 500 buah hadis,46 ‘Umar bin Khattab, sebanyak 537 buah hadis, Abû Musa al-Asy’arî,
sebanyak 360 buah hadis, dan al-Barra bin Azib, sebanyak 305 buah hadis.47
Penutup
Demikian pembahasan secara umum tentang masalah kedudukan sahabat
nabi Muhammad SAW. dan keadilan mereka. Sepanjang sejarahnya, persoalan ini
telah mengundang perdebatan di kalangan ‘ulama. Sebagian ‘ulama mendefinisikan
istilah sahabat secara luas, sementara sebagian lainnya secara sempit. Sebagian ‘ulama
menegaskan bahwa seluruh sahabat bersifat adil, sementara sebagian ‘ulama lainnya
membagi sahabat menjadi dua, yaitu sahabat yang adil dan sahabat yang tidak
bersifat adil. Mereka pun mengajukan sejumlah dalil, baik dari al-Qur’an maupun
hadis, guna mendukung pandangan mereka masing-masing tentang masalah keadilan
sahabat tersebut. Para ‘ulama pun memberikan teknik bagaimana cara mengenali
sahabat. Terakhir, bahwa sedikitnya ada 114 ribu jumlah sahabat nabi Muhammad
SAW. yang telah meriwayatkan hadis. Sedikitnya ada tujuh sahabat Nabi
Muhammad SAW. yang paling banyak meriwayatkan hadis, sementara sahabat
43Al-Khatib, Ushûl al-Hadits,h. 394; Lihat biodata singkatnya dalam al-Shalih, ‘Ulûm Hadits, h. 332-343.
44Lihat Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 197-205; Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003), h. 437-457.
45Al-Shalih, ‘Ulum Hadits, h. 344-348. 46Yuslem, Ulumul Hadis, h. 119.
48
lainnya hanya sedikit meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Wa A llâh
A ’lam bi al-Shawab.
Pustaka Acuan
Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. A l-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah. Beirut: t.p., 1992.
Azami, M. M. Studies in Hadith Methodology and L iterature. Indiana Polis: American
Trust Publications, 1978.
Al-Hadi, Ja’far. A l-Haqîqat Kamâ Hiya. Qom: Markaz Thaba’ah wa Nasyr li
al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 2000.
Al-Hadi, Ja’far. Syi‘ah: A -Z. terjemahan Husein Haddad. Jakarta: Al-Huda, 2007.
Imâm al-Nawâwî. A l-Taqrib wa al-Taisir lî Ma’rifat Sunan al-Basyir al-N adzir. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1988.
Al-Khatib. Muhammad ‘Ajjaj. A l-Sunnah Qabl al-Tadwin. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Al-Khatib. Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl al-Hadis. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.
Al-Musawî, Sayyid ‘Abd al-Rahîm. Nazhariyah ‘A dilah al-Shahabah. Qom: Markaz
al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 1422 H.
Al-Naisaburî, Imâm al-Hakîm Abî ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Abd Allâh al-Hafidz.
Kitab Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadits. Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah bi al-Madinah
al-Munawwarah, 1977.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Al-Sayyid, Kamal. The Companions of the Prophet and Their Followers. Qom: Ansariyan
Publications, 2000.
Al-Shalih, Subhi. ‘Ulûm Hadits wa Musthalahuhu. Beirut: Dâr al-Ilm lî al-Malayin,
1977.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Al-Syahrazurî, al-Imâm ‘Amr ‘Usman bin ‘Abd al-Rahman. Muqaddimah Ibn Shalah fî
‘Ulûm al-Hadits. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1995.
Ya’qûb, Ahmad Husein. Nazhariyyah ‘A dalah al-Shahabah. Qom: Ansariyan
49
Ya’qûb, Ahmad Husein. Keadilan Sahabat: Sk etsa Politik Islam A wal. terjemahan.
Nashirul Haq dan Salman al-Farisi. Jakarta: Al-Huda, 2003.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003.