• Tidak ada hasil yang ditemukan

Andi Rahman Kualitas Hadis dlm Tafsir alQuran Depag RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Andi Rahman Kualitas Hadis dlm Tafsir alQuran Depag RI"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS HADIS DALAM

TAFSIR AL-QUR

AN DEPAG RI

Tesis Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Magister Dalam Agama Islam

Disusun Oleh:

Andi Rahman

(NIM: 04.2.00.1.05.01.0047)

Dibimbing Oleh:

Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Penulis, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Andi Rahman

TTL : Jakarta, 7 April 1980

NIM : 04.2.00.1.05.01.0047

Alamat : Komplek SMP Bina Amal jl. Bungur Utara 77 Pejuang Bekasi

Menyatakan bahwa tesis yang berjudul KUALITAS HADIS DALAM

TAFSIR AL-QUR’AN DEPAG RI adalah karya penulis sendiri dan bukan

merupakan jiplakan, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila

di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, penulis bersedia menerima

sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Ciputat, 7 April 2008

(3)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG

RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi

Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang ujian.

Ciputat, 7 April 2008

Pembimbing,

(4)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG

RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi

Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada

hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para

penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister

dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Ketua Sidang/Penguji

Dr. Udjang Tholib, MA.

(5)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG

RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi

Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada

hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para

penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister

dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Sekretaris Sidang,

Fita Fathurokhmah

(6)

v

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG

RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi

Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada

hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para

penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister

dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Penguji I,

Dr. H. Sahabuddin, MA.

(7)

vi

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG

RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi

Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada

hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para

penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister

dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Penguji II,

Dr. J.M. Muslimin, MA

(8)

vii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS

Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG

RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi

Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada

hari Rabu, 11 Juni 2008.

Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para

penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister

dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2008

Pembimbing,

Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA

(9)

viii

ABSTRAK

Sebagai sebuah kitab suci, Alquran adalah korpus terbuka yang siap dikaji, dianalisa dan diintepretasi sepanjang masa. Ada banyak ayat yang memerintahkan kita untuk mencermati (tadabbur) Alquran, misalnya ayat 82 surah al-Nisâ’ dan ayat 24 surah Muhammad. Dan dari sekian banyak penafsir Alquran, Rasulullah adalah satu-satunya sosok manusia yang secara langsung mendapatkan otoritas dan mandat penuh dari Allah untuk menafsirkan Alquran (QS. Âlu ’Imrân 3:164, al-Nahl 16:44 dan 64, al-Jumu’ah 62: 2). Penafsiran Rasulullah ini terabadikan dalam hadis (Tafsîr bi al-ma’tsûr).

Departemen Agama RI menerbitkan Tafsir yang di dalamnya memuat riwayat-riwayat hadis dan yang diindikasikan sebagai hadis. Tesis ini menjawab dua pertanyaan yang muncul: Pertama, apa kualitas hadis-hadis yang disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini terkait penisbatannya (penyandarannya kepada Rasulullah atau selainnya) dan jenis periwayatannya?

Ada 115 riwayat dikaji, dan ini merupakan kajian ilmiah pertama terkait kualitas hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qur’an Depag RI.

Penulis merujuk sumber-sumber hadis yang primer (masâdir asliyyah) untuk melacak keberadaan hadis beserta sanadnya. Kemudian untuk meneliti kualitas sanadnya, penulis merujuk ke kitab tarâjum al-ruwât yang memuat biografi para perawi hadis, dan kitab al-jarh wa ta’dîl yang memuat penilaian ulama atas masing-masing perawi itu. Sementara dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis mempertimbangkan pendapat ulama yang telah memberikan penilaian atas hadis itu.

Tesis ini menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang ada dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI bervariasi dilihat dari nisbat atau penyandaran periwayatan (marfû’, mawqûf, dan maqtû’), jenis periwayatan (hadis dan asbâb al-nuzûl), dan kualitasnya (sahîh dan da’îf).

Berdasarkan nisbatnya, sebanyak 90 riwayat (78% dari total riwayat yang dikaji) masuk kategori marfû’, 23 riwayat (20%) mawqûf, 1 riwayat (1%) maqtû’, dan 1 riwayat (1%) tidak diketahui penisbatannya. Berdasarkan jenis periwayatannya, sebanyak 84 riwayat (73%) merupakan hadis, dan sisanya

sebanyak 31 riwayat (27%) masuk kategori sabab al-nuzûl. Sementara

berdasarkan kualitasnya, sebanyak 77 riwayat (67%) sahîh, 12 riwayat (10%) hasan, 23 riwayat (20%) da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu, dan 3 riwayat (3%) tidak diberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj.

(10)

ix

(11)
(12)

xi

ﺎﻣ

ﺔﺒﺴﻧ

ﻜﻌﻟﺎﺑﻭ

ﺮﺧ

ﻥﻭﺩ

ﺎﻤﻬﻨﻣ

ﺪﺣﺍﻭ

ﱃﺇ

ﻥﺎ

ﻴﺸﻟﺍ

ﻪﺟﺮﺧﺃ

ﺎﻣ

ﺔﺒﺴﻧﻭ

ﻴﺸﻟﺍ

ﺪﺣﺃ

ﻪﺟﺮﺧﺃ

ﺎﻌﻴﲨ

ﺎﻤﻬﻴﻟﺇ

.

ﻩﺬﻫ

ﻦﻤﺿ

ﻦﻣﻭ

ﺀﺎﻄﺧﻷﺍ

ﺩﺍﺮﻳﺇ

ﺮﳌﺍ

ﺩﻮﺟﻭ

ﻑﺎﻌ

ﻟﺍ

ﺕﺎﻳﻭﺮﳌ

ﺮﺧﻷﺍ

ﺕﺎﻳ

ﺔﺟﺭﺩ

ﻮﻗﺃ

ﲎﻌﳌﺍ

ﻔﻧ

.

(13)

xii

ABSTRACT

Alquran is an open corpus which is available to be studied, analyzed, and interpreted for centuries. Indeed, some verses of Alquran inform us to study

Alquran, e.g. al-Nisâ`: 82 andMuhammad: 24. However, some verses of Alquran

clearly inform us that Prophet Muhammad PBUH was the only person who was appointed by Allah to interpret Alquran (Âlu ’Imrân:164, al-Nahl: 44 and 64, as well as al-Jumu’ah: 2). The interpretation to the Alquran preserved in traditions or hadiths (Tafsîr bi al-ma’tsûr)

One of the latest exegesis of Alquran was published by Ministry of Religious Affairs, Republic of Indonesia. The Exegesis contains some information considered as hadiths. Taking the facts into account, this thesis analyzes two points in relation to the Exegesis: Firstly, what is the quality of hadiths? Secondly, what is the orientation of the usage of the hadiths according to nisbat (association or affiliation) of the hadiths, and what is the kind or the narrations? One hundred and fifteen narrations (riwâyat) have been studied, and this thesis is the first research ever made that analyzes the quality of hadiths in the Exegesis

This research employs primary hadith sources (masâdir asliyyah) as a tool to locate the hadiths, including their sanad (chain of hadith narrators). The study also uses a set collection of tarâjum al-ruwât and al-jarh wa ta’dîl books to identify the quality of hadiths. In addition, the research also considers the opinions of 'ulamâ (Moslem scholars) who have given invaluable explanations about certain hadiths.

The research then concludes that the narrations which are included in the Exegesis (Tafsir Al-Qur`an Depag RI) indicate some considerations. In terms of nisbat, the narrations was categorized into marfû’, mawqûf, or maqtû’. In terms of the kind of narrations, it’s grouped as hadîth or asbâb al-nuzûl. Based on the quality of narrations, it’s classified as sahîh or da’îf.

The research shows that according to the nisbat, 78% are marfû’, 20% are mawqûf, 1% are maqtû’, and 1% are unknown. According to the kind of narrations, 73% are hadîths, whereas 27% are classified as asbâb al-nuzûl. In terms of the quality of narrations 67% are sahîh, 10% are hasan, 20% da’îf (2 narrations of the da’îf are mawdû’), and 3% are undefined due to the lack of sanad.

(14)

xiii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâh wa al-salâh wa al-salâm ’alâ al-habîb Rasûlillâh, sebuah

kalimat yang tepat untuk diungkapkan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah

Ta’ala atas segala anugerah dan kerunia-Nya. Tesis ini dapat diselesaikan dengan

bantuan banyak pihak, utamanya:

1. Ummî Siti Zubaydah binti Muhammad Natsir, dan almarhum Abî, Abdul

Kohar bin Muhammad Anwar, sebagai guru sepanjang hidup bagi penulis.

2. Keluarga dan kerabat penulis, khususnya khâlî Djunaedi bin Muhammad

Natsir yang membiayai penulis pada pendidikan menengah hingga strata

satu

3. Dr. KH. Ahmad Lutfi Fathullah, MA. hafizahullâh, selaku pembimbing

penulisan Tesis ini

4. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. hafizahullâh, yang membimbing

penulis selama belajar di pesantren Darus-Sunnah

5. Dr. Udjang Tholib MA, Dr. Sahabuddin MA, Dr. J.M. Muslimin MA,

selaku penguji Tesis

6. Firdaus Wajdi MA, Prof. Dr. Amany Lubis MA, Prof. Dr. Suwito, MA,

dan Dra. Latifah Farray

7. Segenap sivitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, sivitas akademika pesantren Darus-Sunnah, keluarga besar

Lembaga Pengembangan Insani (LPI), dan Departemen Agama RI c.q..

Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an.

Kepada seluruh pihak yang membantu penulisan tesis ini, penulis ucapkan

terima kasih yang disertai untaian doa: ”Anda layak mendapat pahala dari Allah

Ta’ala, amin”.

Ciputat, 7 April 2008

(15)

xiv

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan ... i

Persetujuan Pembimbing ... ii

Pengesahan Panitia Ujian Tesis... iii

Abstrak ... viii

ﺺﻴﺨﻠﺘﻟﺍ

... x

Abstract ... xii

Kata Pengantar ... xiii

Daftar Isi ... xiv

Pedoman Transliterasi ... xx

Bab I: Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Signifikansi Penelitian ... 6

F. Kajian Pustaka ... 7

G. Metodologi Penelitian ………. 8

H. Sistematika Penulisan ………. 11

Bab II: Takhrîj Hadis………... 13

A. Sejarah Perkembangan KajianMatan dan Sanad Hadis ... 17

B. Definisi dan Sejarah Perkembangan Takhrîj Hadis... 22

C. Metode Takhrîj Hadis... 25

1. Metode Penelusuran Hadis Berdasarkan Perawi Sahabatnya... 25

2. Metode Ungkapan Pertama Dalam Matan ... 28

3. Metode Indeks Kata ... 29

(16)

xv

5. Metode Penelusuran Berdasarkan Kondisi Matan atau Sanad... 30

D. Prinsip-prinsip Dasar Takhrîj Hadis... 31

E. Manfaat Takhrîj Hadis... 33

Bab III: Tafsir Depag RI ... 37

A. Profil Tafsir.………...………... 38

B. Metodologi Penulisan... 41

C. Bentuk dan Corak Tafsir …...………... 43

D. Hadis-hadis Dalam Tafsir... 44

Bab IV: Takhrîj Hadis-hadis Dalam Tafsir ... 49

A. Surah al-Fâtihah... 49

Hadis Nomor 1 Urutan Ayat Alquran Berdasarkan Tawfîqî”... 49

Hadis Nomor 2 ”Lâ Salâh Li Man Lam Yaqra’ Bi Fâtihah al-Kitâb”... 51 Hadis Nomor 3 Di Sekitar Ka’bah Terdapat 360 Patung... 52

Hadis Nomor 4 Rasulullah Memulai Dengan al-Hamd lillâh”... 53

Hadis Nomor 5 Rasulullah Mengeraskan Bacaan Basmalah”... 54

Hadis Nomor 6 Bacaan al-Fâtihah Rasulullah Menurut Umm Salamah”... 57 Hadis Nomor 7 Abû Hurayrah Mengeraskan Bacaan... 59

Hadis Nomor 8 Mu’awiyah Mengeraskan Bacaan Basmalah”... 61

Hadis Nomor 9 Larangan Menulis Yang Bukan Alquran... 63

Hadis Nomor 10 Kebaikan Yang Tidak Dimulai Dengan Basmalah”... 64 Hadis Nomor 11 Allah Merahmati Orang Yang Kasih... 65

Hadis Nomor 12 Rahmatilah Orang-orang Yang Ada di Bumi... 66

Hadis Nomor 13 Merahmati Seekor Burung... 68

Hadis Nomor 14 Menyembah Allah Seakan Engkau Melihat-Nya... . 69 B. Surah al-Baqarah... 70

Hadis Nomor 15 Sebaik-baik Sedekah... 70

(17)

xvi

Hadis Nomor 17 Perumpamaan Orang Munafik ... 73

Hadis Nomor 18 Tuduhan Yahudi Terhadap Perumpamaan... 73

Hadis Nomor 19 Kebaikan Menghapus Keburukan... 75

Hadis Nomor 20 Orang Mukmin Bagaikan Bangunan... 77

Hadis Nomor 21 Keutamaan Shalat Berjamaah... 77

Hadis Nomor 22 Orang Yahudi Menasihati Keluarganya... 78

Hadis Nomor 23 Rasulullah Shalat Ketika Hatinya Resah... 79

Hadis Nomor 24 Kesejukan Mata Dalam Shalat... 81

Hadis Nomor 25 Rukun Iman... 82

Hadis Nomor 26 Penyembelihan Sapi... 83

Hadis Nomor 27 Korban Bersaksi Atas Kematiannya... 85

Hadis Nomor 28 Berimanlah Kemudian Istiqamahlah... 87

Hadis Nomor 29 Pahala Orang Yang Merawat Janda... 88

Hadis Nomor 30 Kisah Yahudi dan Musyrik di Madinah... 88

Hadis Nomor 31 Permusuhan Yahudi Kepada Jibril... 90

Hadis Nomor 32 Diskusi ’Umar Dengan Yahudi Tentang Jibril. 92 Hadis Nomor 33 Hasad Yang Diperbolehkan... 94

Hadis Nomor 34 Shalat Tidak Menghadap Kiblat... 94

Hadis Nomor 35 ’Umar Mencium Hajar Aswad... 96

Hadis Nomor 36 Rasulullah Mencium Hajar Aswad... 96

Hadis Nomor 37 Rasulullah Adalah Jawaban Atas Doa Nabi Ibrahim... 98 Hadis Nomor 38 Klaim Yahudi Terhadap Wasiat Ya’qûb... 99

Hadis Nomor 39 Tentangan Yahudi Madinah Terhadap Islam... 100

Hadis Nomor 40 Pembaptisan Anak... 102

Hadis Nomor 41 Dakwah Yahudi dan Nasrani... 103

Hadis Nomor 42 Pemindahan Kiblat... 104

Hadis Nomor 43 Sa’i Antara Safâ dan Marwah... 105

Hadis Nomor 44 Menyembunyikan Ilmu (1)... 106

Hadis Nomor 45 Menyembunyikan Ilmu (2)... 107

(18)

xvii

Hadis Nomor 47 Qisâs Yang Berkeadilan... 109

Hadis Nomor 48 Orang Mukmin Yang Membunuh Orang Kafir 111 Hadis Nomor 49 Bapak Yang Membunuh Anaknya... 111

Hadis Nomor 50 Tidak Ada Wasiat Bagi Ahli Waris... 113

Hadis Nomor 51 Berwasiat Dengan Sepertiga Harta Pusaka... 115

Hadis Nomor 52 ”Laylah al-Qadr di Sepuluh Malam Terakhir.... 116

Hadis Nomor 53 Berpuasa Karena Melihat Hilal... 117

Hadis Nomor 54 Berdoa Dengan Suara Keras dan Lamat-lamat... 117 Hadis Nomor 55 Berdoa Dengan Suara Yang Keras... 119

Hadis Nomor 56 Tiga Doa Yang Tidak Ditolak... 120

Hadis Nomor 57 Terburu-buru Dalam Berdoa... 121

Hadis Nomor 58 Bersetubuh di Malam Hari Ramadân... 122

Hadis Nomor 59 Sumpah Dalam Pengadilan... 124

Hadis Nomor 60 Berdebat di Pengadilan... 125

Hadis Nomor 61 Berperang Fî Sabîl Allâh... 126

Hadis Nomor 62 Khutbah Rasulullah Saat Fath Makkah”... 127

Hadis Nomor 63 Mengemis Sambil Berhaji... 128

Hadis Nomor 64 Pasar di Masa Jahiliyyah... 129

Hadis Nomor 65 Khutbah Rasulullah Saat Haji Wada’”... 129

Hadis Nomor 66 Allah Tidak Melihat Fisik (1)... 131

Hadis Nomor 67 Doa Rasulullah... 132

Hadis Nomor 68 Memohon Diperlihatkan Kebaikan... 133

Hadis Nomor 69 Ini Adalah Amalmu... 135

Hadis Nomor 70 Jangan Menikahi Wanita Karena Kecantikan.. 136

Hadis Nomor 71 Daya Tarik Wanita... 137

Hadis Nomor 72 Wanita Haid Dalam Pandangan Yahudi... 138

Hadis Nomor 73 Bersumpah Untuk Tidak Menolong... 139

Hadis Nomor 74 ”Khul’Atau Gugatan Cerai Dari Wanita... 140

Hadis Nomor 75 Merujuk Untuk Menyakiti (1)... 141

(19)

xviii

Hadis Nomor 77 Tiga Hal Yang Tidak Bisa Dibuat Canda... 144

Hadis Nomor 78 Melarang Rujuk... 145

Hadis Nomor 79 Kufur Orang Yang Meninggalkan Shalat... 146

Hadis Nomor 80 Pahala Menjaga Shalat... 147

Hadis Nomor 81 Pahala Dilipatgandakan... 147

Hadis Nomor 82 Tafsir al-Kursî (1)... 150

Hadis Nomor 83 Tafsir al-Kursî (2)... 151

Hadis Nomor 84 Pihak-pihak Yang Bisa Memberi Syafaat... 151

Hadis Nomor 85 Kebebasan Beragama... 152

Hadis Nomor 86 Pahala Sedekah Unta... 154

Hadis Nomor 87 Amal Berdasarkan Niat... 155

Hadis Nomor 88 Tiga Golongan Yang Tidak Disucikan... 155

Hadis Nomor 89 Ancaman Bagi Peminum Khamar... 156

Hadis Nomor 90 Bersedekah Dengan Yang Buruk... 157

Hadis Nomor 91 Dakwah Bertahap... 159

Hadis Nomor 92 Doa Dua Malaikat... 160

Hadis Nomor 93 Tujuh Golongan Yang Dinaungi Allah... 160

Hadis Nomor 94 Sedekah Yang Paling Utama... 161

Hadis Nomor 95 Bersedekah Kepada Orang Islam... 162

Hadis Nomor 96 Kriteria Miskin... 163

Hadis Nomor 97 Kebolehan Meminta Pada Tiga Kondisi... 164

Hadis Nomor 98 Keutamaan Mandiri... 165

Hadis Nomor 99 Tangan Yang di Atas Lebih Utama... 165

Hadis Nomor 100 Berpegang Pada al-Qurân dan al-Sunnah... 166

Hadis Nomor 101 Transaksi Yang Riba... 167

Hadis Nomor 102 Dosa Yang Tidak Terampuni... 168

Hadis Nomor 103 Allah Tidak Melihat Fisik (2)... 168

Hadis Nomor 104 Orang Yang Berzina Tidak Beriman... 169

Hadis Nomor 105 Sisa Riba... 170

Hadis Nomor 106 Enggan Membayar Riba... 171

(20)

xix

Hadis Nomor 108 Ayat Yang Terakhir Turun... 172

Hadis Nomor 109 Indahnya Harta Yang Baik Bagi Orang Shalih... 173 Hadis Nomor 110 Celakalah Orang Yang Menuhankan Harta.... 174

Hadis Nomor 111 Enggan Menjadi Saksi... 175

Hadis Nomor 112 Beban Yang Sanggup Diemban... 176

Hadis Nomor 113 Akhlak Rasulullah Adalah Alquran... 178

Hadis Nomor 114 Definisi Kebaikan... 178

Hadis Nomor 115 Pahala Yang Terus Mengalir... 179

c. Orientasi Penggunaan Hadis Dalam Tafsir... 180

Bab V: Penutup ... 184

a. Kesimpulan ... 184

b. Saran-saran ... 184

Daftar Bacaan... 186

Lampiran... 193

(21)

xx

PEDOMAN TRANSLITERASI

a. Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

- Tidak dilambangkan

B Huruf “Be”

T Huruf “Te”

Ts Huruf “Te” dan “Es” digabung dengan garis bawah

J Huruf “Je”

H Huruf “Ha” dengan garis bawah

Kh Huruf “Ka” dan “Ha” dengan garis bawah

D Huruf “De”

Dz Huruf “De” dan “Zet” dengan garis bawah

R Huruf “Er”

Z Huruf “Zet”

S Huruf “Es”

Sy Huruf “Es” dan Ye” dengan garis bawah

S Huruf “Es” dengan garis bawah

D Huruf “De” dengan garis bawah

T Huruf “Te” dengan garis bawah

Z Huruf “Zet” dengan garis bawah

‘ Tanda koma terbalik di atas menghadap kanan

(Apostrophe)

G Huruf “Ge” dengan garis bawah

(22)

xxi

Q Huruf “Qi”

K Huruf “Ka”

L Huruf “El”

M Huruf “Em”

N Huruf “En”

W Huruf “We”

ـ

H Huruf “Ha”

` Accent Grave

Y Huruf “Ye”

b. Huruf Vokal Tunggal (Monoftong)

Tanda Vocal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ـَـ

A Harakat Fathah

ـِـ

I Harakat Kasrah

ـُـ

U Harakat Dammah

c. Huruf Vokal Rangkap (Diftong)

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ـَـ

Ai Huruf “A” dan “I”

َـ

(23)

xxii

d. Huruf Vokal Panjang (Madd) Tanda

Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ـَـ

 Huruf “A” dengan topi di atas/caret (accent

circonflexe)

ـِـ

Î Huruf “I” dengan topi di atas/caret (accent

circonflexe)

ـُـ

Û Huruf “U” dengan topi di atas/caret (accent

(24)

١

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya penafsiran, serta banyaknya metode dan pendekatan guna

memahami Alquran merupakan bukti bahwa kitab suci ini adalah korpus terbuka

yang siap dikaji, dianalisa dan diintepretasi sepanjang masa. Alquran ibarat

sumber mata air yang tidak akan pernah kering di mana semakin banyak orang

mengambil air dari sumber itu, pancaran airnya justru semakin deras.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah menamakan Alquran

sebagai “jamuan Allah” atau ma`dubah Allâh (HR. Hâkim, Dârimî, dan

al-Bazzâr)1. Semua orang diundang untuk mendatangi jamuan itu dan menikmati

hidangannya. Banyak orang yang mendatangi jamuan itu dengan hati lapang.

Banyak pula orang yang mau menghadiri jamuan dengan mengendapkan syak

wasangka dan tuduhan buruk. Tidak sedikit di antara mereka tidak mau

menghadiri bahkan bersikap apriori terhadap undangan itu.

Para penikmat Alquran memiliki sifat dan tingkat intelektualitas yang

berbeda sehingga mengakibatkan “cita rasa” masing-masing orang juga berbeda.

Lebih dari pada itu, karakteristik bahasa Arab yang menjadi bahasa Alquran,2

cenderung multi intepretasi. Sebuah kata dalam bahasa Arab dapat memiliki

makna lebih dari satu (musytarâk), dan satu ungkapan dapat memiliki pengertian

yang beragam bahkan terkadang bertolak belakang. Dari sini, timbulnya

keragaman tafsir Alquran menjadi sebuah keniscayaan.

1

Muhammad bin ‘Abdillâh al-Hâkim, al-Mustadrak ‘Âlâ al-Sahîhayn, (Beirut: Dâr Kutub

al-‘Ilmiyah, 1990), cet. I, vol. I, h. 741; ’Abdullâh bin ’Abdurrahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1407 H), cet. I, vol. II. h. 521 dan 523; Ahmad bin ’Amr al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, (Beirut: Muassasah ’Ulûm al-Qurân, 1409 H), cet. I, vol. V, h. 423. Semuanya dari sahabat ’Abdullâh bin Mas’ûd. Al-Haytsamî mengomentari hadis ini yang melalui jalur sanad al-Bazzâr bahwa seluruh perawinya tsiqat.

Lihat: ’Alî bin Abû Bakar al-Haytsamî, Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1407 H), vol. I, h. 129.

2

(25)

٢

Keragaman penafsiran ini tidak mendapat hambatan normatis dari Agama.

Bahkan lebih dari sekedar kebolehan, penafsiran Alquran merupakan sebuah

perintah. Dalam Alquran kita dapati banyak ayat yang memerintahkan kita

mencermati (tadabbur) Alquran, misalnya ayat 82 surah al-Nisâ’ dan ayat 24

surah Muhammad.3

Dalam pemaknaan yang luas, penafsiran Alquran termasuk dalam kategori

ijtihad yang juga memiliki asas legalitasnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah

menyebutkan jika seseorang berijtihad dan tepat, maka ia mendapat dua pahala.

Sementara jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (Muttafaq ’alayh

dari ’Amr bin al-’Âsh)4. Kata “ijtihad” dalam hadis ini mengisyaratkan kriteria

kelayakan orang yang akan menafsirkan Alquran, yaitu orang yang memiliki

ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kegiatan penafsiran Alquran. Sementara orang

yang tidak memiliki ilmu yang cukup, tidak berhak menafsirkan Alquran.

Rasulullah bersabda,

ﻝﺎﻗ

ﻘﻟﺍ

ِ

ﻥﺁﺮ

ﻐ

ِ

ـ

ـ

ِ

ﻩﺪ

ﻨﻟﺍ

ﺭﺎ

Siapa yang menafsirkan Alquran tanpa ilmu, maka hendaknya ia

menentukan tempatnya di neraka”. (HR. Al-Tirmidzî dari Ibn ’Abbâs)5

Penafsiran adalah upaya memahami maksud sebuah ucapan yang tidak

lugas. Dalam banyak kasus, ucapan yang lugas dan sederhanapun masih perlu

penafsiran ketika pihak yang mengucapkannya memiliki ucapan atau pendapat

lain yang bertolak belakang. Dalam konteks ucapan yang belum jelas atau adanya

lebih dari dua ucapan dari satu pengucap yang substansinya berbeda, diperlukan

kejelasan maksud dari si pengucap. Untuk menghindari kerancuan dan

3

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisâ` 4:82)

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?!”

(QS. Muhammad 47:24) 4

Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Kitab al-I’tisâm Bi al-Kitâb wa al-Sunnah Bab Ajr al-Hâkim Idzâ Ijtahad Fa Asâb aw Akhtaa, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), cet. III, vol. VI, hal. 2676; Muslim, Sahîh Muslim, Kitab al-Aqdiyah Bab Bayân Ajr al-Hâkim Idzâ Ijtahad Fa Asâb aw Akhtaa, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-’Arabî), tth., vol. III, hal. 1342

5

(26)

٣

ambiguitas, kita dapat melakukan konfirmasi dan bertanya langsung kepada pihak

yang mengucapkannya, atau kepada pihak lain yang diberikan otoritas untuk

menjelaskan maksud ucapan tadi.

Pihak yang paling mengatahui maksud dari sebuah ucapan, tentulah

pengucapnya. Oleh karena itu, pihak yang paling mengatahui maksud dan

penafsiran Alquran adalah Allah Ta’ala. Dari sini, penafsiran sebuah ayat Alquran

dengan ayat Alquran lain, merupakan penafsiran yang—menurut penulis—paling

tepat. Namun demikian, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Allah tidak

menghalangi manusia menafsirkan firman-Nya, Ia bahkan memerintahkan

hamba-hamba-Nya untuk mengkaji dan menafsirkan ayat-ayat-Nya.6 Dan dari sekian

banyak penafsir Alquran, Rasulullah adalah satu-satunya sosok manusia yang

secara langsung mendapatkan otoritas dan mandat penuh dari Allah untuk

menafsirkan Alquran.7 Penafsiran Rasulullah ini terabadikan dalam hadis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa penafsiran ayat-ayat Alquran dengan

berdasarkan ayat-ayat Alquran lainnya, dan penafsiran ayat dengan hadis adalah

penafsiran—masih menurut pendapat penulis—yang paling baik. Model

penafsiran ini dikenal dengan Tafsir bi al-Ma`tsûr (tafsir ayat Alquran

berdasarkan ayat Alquran lain dan hadis).

Dari sekian banyak kitab tafsir yang beredar di masyarakat luas, sebagian

menggunakan metode bi al-ma`tsûr. Salah satu tafsir yang menggunakan metode

6

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran?! Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisâ` 4:82) 7

Berikut beberapa ayat yang menyatakan Rasulullah mendapatkan mandat untuk menyampaikan wahyu Ilahi, dan menerangkannya kepada manusia:

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Âlu ’Imrân 3:164)

“Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl 16:44)

”Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Alquran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. al-Nahl 16:64)

(27)

٤

ini adalah tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI.8 Tafsir ini memiliki

sisi kelebihan dan kekurangannya. Hal ini bersifat relatif melihat siapa yang

menilai dan standar apa yang dijadikan alat ukurnya. Lepas dari penilaian

subyektivitas kita, kehadiran Tafsir Depag RI perlu diapresiasi, terutama karena ia

hadir di masyarakat yang masih sedikit mampu membaca tafsir-tafsir klasik

berbahasa Arab. Bahwa isinya memiliki kesesuaian dengan konteks waktu dan

masyarakat Indonesia kontemporer, Tafsir ini akan menjadibacaan yang akan

banyak dikaji masyarakat luas.

Sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, metode yang digunakan

Tafsir Depag RI adalah bi al-ma`tsûr. Namun, sebagaimana tafsir-tafsir yang lain,

pendekatan dan metode yang digunakan pastilah tidak satu. Ungkapan bahwa

tafsir ini menggunakan metode bi al-ma`tsûr tidak menafikan penggunaan metode

lain (yang dikenal sebagai tafsir bi al-ra`y). Ungkapan bahwa sebuah tafsir

menggunakan metode bi al-ma`tsûr atau bi al-ra`y menerangkan bahwa metode

atau pendekatan itu yang paling dominan digunakan. Terkait dengan Tafsir Depag

RI, metode bi al-ra`y tetap digunakan dengan proporsional.

Metode bi al-ma`tsûr yang digunakan menjadikan Tafsir ini menyebutkan

banyak hadis dan riwayat-riwayat sebagai dasar penafsiran dan argumentasinya.

Dalam tesis ini penulis menyoroti hadis-hadis itu, di mana sebagian besarnya

tidak disebutkan kualitas kesahîhannya (validitas nisbat hadis kepada Rasulullah).

Ketiadaan penyebutan kualitas hadis ini menimbulkan keraguan atas validitasnya

sebagai hadis.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tidak semua ungkapan yang

dinyatakan sebagai hadis, adalah benar-benar hadis. Hadis da’îf dan bahkan palsu,

banyak beredar luas di tengah masyarakat yang secara common sense tidak

mengetahui cara memverifikasi dan menilai kesahîhan hadis. Sementara ketika

kualitas sebuah hadis belum dipastikan kesahîhannya, maka argumentasi dan

penafsiran yang berdasarkan hadis itu juga tidak dapat dipastikan kebenarannya.

8

(28)

٥

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana di paparkan di atas,

muncul permasalahan mendasar yang menjadi pokok penelitian ini: Apakah

hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Qur`an Depag RI kualitasnya sahîh?

Dari permasalahan pokok tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan khusus

(minor research questions) yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana metodologi penulisan Tafsir Al-Qur`an Depag RI?

2. Apa definisi hadis?

3. Apa kriteria (syarat) hadis sahîh?

4. Apa hukum penggunaan hadis yang tidak sahîh dalam menafsirkan

Alquran dan dalam penetapan hukum?

5. Apa kualitas hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir

Al-Qur`an Depag RI?

6. Bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag

RI?

Point pertama penulis paparkan dalam bab III sub bab b. Point kedua

hingga keempat telah dibahas oleh ulama hadis, dan penulis singgung sekilas

dalam bab II. Penulis membatasi penelitian ini pada dua pertanyaan: Pertama, apa

kualitas hadis-hadis yang disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI? Kedua,

bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, terkait

penisbatan dan jenis periwayatannya?

Mengingat besarnya Tafsir yang menjadi objek penelitian dan banyaknya

hadis yang terdapat dalam Tafsir itu, penulis membatasi penelitiannya pada surah

al-Fâtihah, dan al-Baqarah. Dalam dua surah ini, penulis mengkaji 115 (seratus

lima belas) riwayat hadis atau yang diindikasikan sebagai hadis.

Kedua surah yang penulis jadikan sample, kurang lebih merupakan

sepersepuluh dari total seluruh ayat Alquran. Kajian terhadap dua surah ini

diharap dapat memberikan gambaran singkat yang akurat terkait kualitas hadis

yang ada dalam Tafsir ini. Pemilihan dua surah ini, juga berdasarkan pendekatan

klasifikatif, di mana surah Fâtihah termasuk kategori Makkiyah, sementara

(29)

٦

surah ini memuat seluruh aspek kandungan Alquran, mulai dari akidah, syariah,

akhlak, sejarah, dan lain sebagainya, sehingga hadis yang dicantumkan juga

beragam dan bervariasi.

C. Rumusan Masalah

Dengan beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas, maka

penulis merumuskan permasalahan yang akan menjadi pokok penelitian dalam

dua pertanyaan: Pertama, apa kualitas hadis yang disebutkan dalam Tafsir

Al-Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir

Al-Qur`an Depag RI, terkait penisbatan dan jenis periwayatannya?

D. Tujuan Penelitian

Penulis menyebutkan literatur yang dijadikan sumber rujukan bagi

hadis-hadis yang tidak disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, serta memberikan

analisa kualitas kesahîhannya. Hal ini diharapkan dapat memberikan gambaran

kepada pembaca tentang orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini.

Tesis ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah dalam

kajian-kajian keislaman terutama yang berhubungan dengan tafsir dan hadis. Tesis

ini juga diharapkan dapat mendorong dan menyemarakkan kajian hadis dan Ilmu

hadis.

E. Signifikansi Penelitian

Maraknya penyimpangan ajaran agama Islam, seringkali disebabkan

kesalahan penafsiran atas Alquran yang dilakukan individu penafsir. Dengan

berdasarkan hadis da’îf atau bahkan palsu, penyimpangan-penyimpangan itu

mendapatkan justifikasi. Takhrîj hadis adalah mekanisme untuk menyeleksi hadis

yang beredar di tengah masyarakat, dan untuk memilah antara hadis yang sahîh

dan yang da’îf (termasuk yang palsu).

Tesis ini bermanfaat untuk menjelaskan kualitas hadis yang tercantum

dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, sehingga pembaca dapat mengetahui

(30)

٧

F. Kajian Pustaka

Buku-buku atau kitab keislaman yang diterbitkan dan dicetak pada

tahun-tahun belakangan kebanyakan sudah mencantumkan tahqîq (kajian dan penjelasan

yang terkadang bersifat anotatif) yang ditulis dalam catatan kaki. Tahqîq ini berisi

penjelasan hal-hal yang ada dalam buku atau kitab itu yang dianggap perlu

mendapat penjelasan lebih, misalnya kata atau ungkapan yang sulit dipahami atau

kekhilafan penulis yang salah dalam menyampaikan data, atau penulisan hadis

dan ucapan orang yang oleh penulis tidak disebutkan sumber rujukannya. Takhrîj

hadis adalah salah satu bentuk tahqîq.

Upaya menakhrîj hadis yang ada dalam karya tulis tertentu, terutama buku

atau kitab yang menjadi bacaan masyarakat luas, bukanlah merupakan hal yang

baru. Tidak sedikit dari para ulama dan sarjana yang menulis karya ilmiah yang

khusus berkaitan dengan takhrîj hadis dalam buku atau kitab tertentu.

Takhrîj hadis mendapatkan perhatian yang besar sebagai sebuah respon

atas maraknya kegiatan pemalsuan hadis dan penyebaran hadis palsu yang

menjadi fenomena umum di setiap kurun waktu. Sadar akan pentingnya memilah

dan membedakan antara hadis yang sahîh dan yang da’îf, para ulama menakhrîj

hadis yang tertulis dalam kitab-kitab yang beredar di masyarakat.

Sebagai sebuah buku yang akan dibaca dan dijadikan rujukan masyarakat

umum, upaya menakhrîj hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qurân Depag RI menjadi

sebuah keharusan.

Ada beberapa kajian atas Tafsir Al-Qur’an Depag RI baik yang berbentuk

artikel lepas maupun tesis, misalnya Pluralisme Agama Dalam Al-Qur`an: Telaah

Terhadap Tafsir Departemen Agama yang ditulis oleh Jauhar Azizy (tesis UIN

Jakarta, 2007), ”Telaah Tentang Tafsir Al-Qur`an Departemen Agama RI” yang

ditulis oleh M. Shohib Tahar dalam jurnal Lektur Keagamaan (Jakarta, 2003),

”Menimbang Tafsir Depag RI: Telaah Penafsiran Surah Al-Fatihah” dalam

www.stainsalatiga.ac.id yang ditulis oleh Adang Kuswaya, ”Pengamatan Sekilas

(31)

٨

M. Quraish Shihab, dan ”Al-Qur`[a]n al-Karim wa Tafsiruh (Al-Qur`an Dan

Tafsirnya Depag RI)” sebuah artikel yang ditulis Nurul Huda.9

Masing-masing penulis tersebut di atas mengulas isi dan profil Tafsir

dengan bobot kajian yang berbeda. Jauhar Azizy dan Adang Kuswaya

menitikberatkan kajiannya pada isi dan tema yang dibahas dalam Tafsir. M.

Shohib Tahar mengulas profil dan metodologi Tafsir. Sementara Nurul Huda dan

M. Quraish Shihab mengulas isi dan metodologinya.

M. Shohib Tahar menyatakan bahwa hingga kini belum ada buku atau

karya tulis ilmiah yang mengkaji kesahîhan hadis yang ada dalam Tafsir

Al-Qur`an Depag RI, baik yang menggunakan pendekatan takhrîj maupun lainnya.10

Dengan demikian, kiranya tesis ini merupakan karya ilmiah pertama yang meneliti

kualitas hadis yang ada dalam Tafsir Depag RI.

G. Metodologi Penelitian

Objek kajian dalam tesis ini bervariasi, mulai dari hadis yang disebutkan

secara lengkap dan telah dinilai kualitasnya, hingga ungkapan yang tidak secara

lugas dinyatakan sebagai hadis namun diindikasikan sebagai hadis. Ada juga

riwayat yang dinyatakan sebagai hadis namun tanpa dijelaskan secara eksplisit

matan hadisnya, sanad, mukharrij (kitab sumber), dan kualitasnya.

Dalam melakukan kajian, penulis menggunakan kajian perpustakaan

(library research) dengan menetapkan hal-hal berikut:

1. Jika dalam Tafsir disebutkan bahwa “Rasulullah bersabda,” atau bahwa

“dalam sebuah riwayat disebutkan begini atau begitu", tanpa secara

eksplisit menjelaskan matan hadisnya, maka penulis mencari matan hadis

itu beserta mukharrijnya.

2. Jika disebutkan matan hadisnya saja, maka penulis mencari mukharrijnya

9

www.nuhamaarif.blogspot.com, tanggal 23 Agustus 2006 10

(32)

٩

3. Hadis yang telah disebutkan mukharrijnya akan dilakukan pengecekan ke

kitab yang disebutkan untuk memastikan bahwa hadis yang dimaksud

tersebut benar-benar ada dalam kitab itu.

4. Setelah hadis diketahui mukharrijnya dan didapatkan sanadnya, penulis

melakukan kajian untuk mengetahui kualitas sanadnya.

5. Jika mukharrij hadisnya al-Bukhâri dan atau Muslim, maka penulis

menilainya sahîh karena adanya kesepakatan ulama yang menyatakan

bahwa seluruh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim atau

salah satu di antara keduanya kualitasnya sahîh.11

6. Jika hadisnya terdapat dalam sunan arba’ah (Abû Dâwud, Nasâî,

al-Tirmidzî, dan Ibn Mâjah) atau kitab hadis lainnya yang sudah masyhur

seperti Musnad Ahmad, Sahîh Ibn Hibbân, Sahîh Ibn Khuzaimah,

Mustadrak al-Hâkim, dan Sunan al-Dâruqutnî, maka kualitas hadisnya

sesuai dengan kekuatan hadis tersebut dilihat dari hasil kajian sanad dan

matan mengikuti kaedah umum kritik hadis.

7. Jika ada ulama hadis yang telah memberikan penilaian atas kualitas hadis,

maka penulis menyebutkan penilaian itu sebagai pembanding dan bahan

pertimbangan.12

11

Mahmûd al-Tahhân berkata, "Terdapatnya hadis dalam salah satu al-Sahîhayn (Sahîh al-Bukhâri dan Sahîh Muslim) dapat dipastikan bahwa hadis itu sahîh. Tidak perlu dilakukan kajian atas sanadnya"

Mahmûd al-Tahhan, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Beirut: Dâr Qurân al-Karîm, 1979), cet. ll, hal. 210.

Ibn al-Salâh berkata, "Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî atau Muslim termasuk hal-hal yang dipastikan kesahîhannya…"

Ibn Salâh, 'Ulûm al-Hadîts, (Aleppo: al-Maktabah al-'Ilmiyah), tth., hal. 25 Ibn Katsîr berkata, "Aku sependapat dengan Ibn al-Salâh dalam hal ini"

Mahmûd al-Tahhan, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Beirut: Dâr Qurân al-Karîm, 1979), cet. ll, hal. 211

12

Al-Suyûtî berkata, “Ambillah penilaian hadis berdasarkan penetapan dari seorang hâfiz (pakar hadis), atau dari penilaian koletor hadis yang memiliki kualifikasi dan berkompeten”.

Muhammad Mahfûz al-Termasî, Manhaj Dzawî al-Nazar Syarh Manzûmah ’Ilm al-Atsar, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H), hal. 19

(33)

١٠

8. Jika hadisnya ada di dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis da’îf

seperti Târîkh Bagdâd dan Târîkh Ibn ‘Asâkir, maka penulis mengkaji

sanadnya dengan mencoba menganalisa argumentasi keda’îfan hadis itu

9. Terkait dengan riwayat yang masuk kategori Asbâb al-Nuzûl (peristiwa

atau kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran), penulis

menggunakan riwayat-riwayat yang dikumpulkan al-Wâhidî dalam kitab

Asbâb al-Nuzûl. Penulis memilih riwayat asbab nuzul yang akan ditakhrîj

dengan pertimbangan ketersediaan informasi terkait sanad hadisnya.

10.Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis menukil

pendapat-pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî,

Ibn Hibbân, al-Bayhaqî, dan Ibn al-Jawzî, dan pendapat ulama

mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zayla’î Haytsamî, Ibn Hajar,

al-Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Penulis juga mengutip pendapat

ulama kontemporer seperti al-Albânî, Ahmad Syâkir, dan al-Arna’ût.

11.Penulis melakukan kajian kritik sanad dan matan dengan menggunakan

kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan oleh

al-Tahhân dan ulama lain.

12.Dalam melakukan kajian terhadap seorang rawi, penulis mendasarkan

penilaian kepada data-data yang terdapat dalam kitab tarâjum (biografi)

seperti Tahdzîb al-Kamâl dan Mîzân al-I’tidâl.

13.Jika ada perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa ta’dîl mengenai

kualitas seorang rawi, maka penulis melakukan ijtihad dan komparasi

pendapat-pendapat itu.

14.Setelah menentukan kualitas sebuah hadis, jika diperlukan penulis akan

mencoba mencarikan mutâbi’ dan syawâhid-nya (hadis yang substansi

matannya sama namun sanadnya berbeda dengan hadis yang sedang

dikaji)

(34)

١١

15.Jika ada hadis atau perawi hadis yang terulang, penulis tidak melakukan

kajian ulang, dan cukup memberikan rujukan tempat pembahasannya di

halaman yang telah memuat kajian itu.

16.Dalam melakukan penukilan dan penulisan ulang hadis atau ungkapan

yang disinyalir sebagai hadis dari Tafsir Depag RI, penulis akan

menuliskannya sebagaimana tertulis dalam Tafsir itu, tanpa melakukan

penyesuaian dengan transliterasi yang penulis tetapkan.

H. Sistematika Penulisan

Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif

tentang isi tesis ini, penulis menganggap perlu mengungkapkan sistematika

penulisan tesis ini sebagaimana berikut:

Bab I berupa Pendahuluan yang mengungkap beberapa permasalahan yang

melatarbelakangi penulisan tesis ini. Permasalahan-permasalahan itu diidentifikasi

dan dirumuskan serta diberi batasan agar penulisan tesis terarah dan sesuai tujuan.

Dan untuk menghindari adanya tumpang tindih antara tesis ini dengan karya tulis

ilmiah lain, diperlukan sebuah kajian pustaka yang berisi penjelasan apakah kajian

yang ada dalam tesis ini sudah pernah ditulis oleh orang lain. Kemudian demi

tercapainya tujuan dan signifikansi tesis ini, diperlukan metodologi penulisan

yang sesuai dengan kaedah penulisan karya ilmiah. Pendahuluan ini diakhiri

dengan uraian sistematika penulisan tesis yang dimaksudkan memberikan

gambaran umum dari isi Tesis.

Bab II tentang Takhrîj hadis yang berisi hal-hal terkait dengan kegiatan

penakhrîjan hadis. Penulis memberikan gambaran singkat dan signifikan seputar

sejarah dan perkembangan kajian matan dan sanad hadis, definisi dan sejarah

perkembangan takhrîj hadis, metode yang digunakan dalam penakhrîjan hadis,

beberapa prinsip dasar takhrîj, dan manfaat takhrîj hadis.

Bab III memberikan gambaran singkat dan komprehensif tentang profil

Tafsir al-Qur`an Depag RI, metodologi penulisannya, dan gambaran umum terkait

(35)

١٢

Bab IV yang merupakan inti dari tesis ini berisi takhrîj hadis-hadis yang

ada dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, sebagaimana batasan dan rumusan yang

telah disebutkan sebelumnya, dengan disertai analisa yang pada akhirnya dapat

memberikan gambaran orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini.

Bab V yang menjadi penutup tesis ini berisi kesimpulan berupa

jawaban-jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang telah disebutkan dalam sub Bab

Perumusan dan Pembatasan masalah pada Bab I. Perlu juga disampaikan

saran-saran yang dapat menyempurnakan hasil dari tesis ini. Dan sebagai pelengkap

penulisan Tesis, pada bagian akhir disebutkan lampiran yang berkaitan dengan

(36)

١٣

BAB II

TAKHRÎJ HADIS

Diskursus yang berkembang selama ini terkait dengan kajian hadis adalah

seputar keotentikan hadis, dan kajian atas kesahîhan atau keda’îfan hadis.

Sependek pembacaan penulis, sejarah hanya mencatat sedikit sekali polemik yang

mengarah pada keraguan atas kehujjahan hadis, atau isu penolakan terhadap

otoritas hadis dalam hukum dan syariat Islam. Penolakan beberapa orang terhadap

otoritas hadis secara keseluruhan, sama sekali tidak berpengaruh terhadap

eksistensi hadis dan khazanah keilmuan Islam lainnya.13 Hal ini dikarenakan

lemahnya argumentasi yang digunakan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai

sebuah kekonyolan.

Dengan mengurut kronologis sejarah, kita akan dapati adanya klaim

penolakan hadis sebagai hujjah dari beberapa golongan atau sekte pada abad ke I

hingga III H, dan masa kontemporer sekarang ini. Namun klaim itu beserta

argumentasinya terbantahkan.

Dalam sejarah kita dapati fakta bahwa pada masa sahabat sudah ada

orang-orang yang dipersangkakan menolak kehujjahan hadis. Namun sebenarnya

mispersepsi terkait data sejarah terkait adanya sikap penerimaan kabar yang

diasosiasikan kepada Rasulullah, dan perbedaan penetapan kriteria hadis yang

diterima menurut masing-masing kelompok, telah menimbulkan kesan adanya

penolakan terhadap hadis sebagai hujjah.

Misalnya pada pertengahan abad I Hijriah, kita dapati klaim yang

menyatakan bahwa golongan Khawârij menolak hadis yang diriwayatkan oleh

mayoritas sahabat yang menyetujui proses arbitrase antara ’Alî bin Abû Tâlib

dengan Mu’âwiyah. Namun di waktu yang sama, mereka masih menerima hadis

yang diriwayatkan oleh sahabat yang menurut penilaian mereka masih ”belum

murtad”.

Al-Sibâ’î menuturkan bahwa Khawârij—dengan berbagai kelompoknya

yang berbeda-beda itu—sebelum terjadinya perang saudara antar sahabat, mereka

13

(37)

١٤

menganggap semua sahabat Nabi sebagai orang-orang yang dapat dipercaya.

Mereka kemudian mengafirkan ‘Alî, ‘Utsmân, orang-orang yang mengikuti

‘Perang Unta’, dua utusan perdamaian, orang-orang yang menerima keputusan

perdamaian (tahkîm), dan orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua

orang utusan perdamaian tadi. Dengan demikian mereka menolak hadis yang

diriwayatkan oleh mayoritas sahabat setelah terjadinya fitnah.

Namun pendapat al-Sibâ’î ini perlu ditinjau kembali, sebab yang jelas

kitab-kitab tulisan orang Khawârij telah punah bersamaan dengan punahnya

golongan itu, kecuali golongan ‘Ibâdiyah yang masih termasuk golongan

Khawârij. Berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh kelompok ini (‘Ibâdiyah), kita

dapati bahwa mereka menerima hadis Nabi, dan mereka meriwayatkan hadis yang

diriwayatkan melalui sahabat ‘Alî, ‘Utsmân’ ’Âisyah, Abû Hurayrah, Anas bin

Mâlik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa seluruh

golongan Khawârij menolak Hadis yang diriwayatkan para sahabat Nabi, baik

sebelum maupun sesudah peristiwa tahkîm, adalah tidak benar.14

Berdasarkan tulisan-tulisan al-Sya’fi’î, al-Khudarî menarik kesimpulan

bahwa golongan yang menolak hadis secara keseluruhan adalah Mu’tazilah.

Al-Sibâ’i tampaknya juga cenderung kepada pendapat ini. Namun sebenarnya—

seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Sibâ’i—ada kesimpangsiuran dalam

keterangan para ulama tentang sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah, apakah mereka

menerimanya secara keseluruhan, atau malah menolaknya secara keseluruhan,

atau hanya menerima yang mutawâtir dan menolak yang âhâd.15

“Menurut pendapat saya—setelah melihat sumber-sumber tadi—golongan Mu’tazilah juga seperti umumnya umat Islam, menerima hadis Nabi. Memang mereka mungkin mengkritik sejumlah hadis yang berlawanan dengan teori madzhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan”.

Demikian ujar M.M. Azami.16

Golongan Syî’ah yang masih eksis di dunia sekarang ini umumnya

kelompok Itsnâ ‘Asyariyah yang merupakan madzhab resmi negara Iran hingga

14

M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 42-43 15

M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 43-44 16

(38)

١٥

sekarang. Mereka menerima dan memakai hadis Nabi. Hanya saja ada anggapan

bahwa mayoritas sahabat—setelah Nabi wafat—sudah murtad, kecuali sekitar tiga

sampai sebelas orang saja. Maka timbul dugaan mereka tidak mau menerima

hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat tadi. Mereka hanya menerima

hadis yang diriwayatkan oleh Ahl al-Bayt (keturunan Rasulullah).17 Walau al-Suyûti sempat mencatat pengingkaran ekstrimis Syi’âh (al-Râfidah) dan kaum

zindiq terhadap kehujjahan hadis secara totalitas.18

Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa sejak masa lalu umat Islam

sepakat untuk menerima hadis dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam

yang wajib dipatuhi. Hanya saja di antara mereka ada yang menerimanya dengan

beberapa syarat, seperti tiga kelompok yang telah disebutkan di atas.

Pensyaratan terhadap penerimaan hadis juga ada dalam madzhab Mâlikî

yang mensyaratkan tidak adanya pertentangan hadis dengan ‘amal ahl al-Madînah

(tradisi penduduk kota Madinah). Demikian juga madzhab Abû Hanîfah yang

mensyaratkan tiga hal: Tidak bertentangan dengan qiyâs, tidak ditentang sendiri

oleh perawinya, dan tidak masuk dalam kategori ta’umm bihî al-balwâ

(menyangkut hal ihwal masyarakat).

Kondisi yang mengesankan adanya penolakan terhadap kehujjahan hadis

ini, lenyap pada akhir abad ketiga. Penolakan ini muncul kembali pada abad

ketiga belas hijriyah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan barat.19

Sesudah abad kedua hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan

kelompok muslim mana yang tidak menerima hadis sebagai hujjah. Sementara

mereka yang menolak hadis tempo dulu, tepatnya pada abad kedua hijriyah, sudah

tidak ada lagi. Sesudah abad kedua itu, sampai kira-kira sebelas abad berikutnya

tidak terdengar adanya orang yang menolak hadis sebagai hujjah. Barulah setelah

negara-negara barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka menyebarkan

benih-benih busuk untuk melumpuhkan kekuatan Islam. pada saat itu di Irak muncul

orang yang menolak hadis.

17

M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 45-46 18

Abdurrahmân bin Abû Bakar al-Suyûtî, Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bî al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,1987), cet. I,hal. 14

19

(39)

١٦

Di Mesir kondisi yang mengesankan adanya penolakan hadis muncul pada

masa Muhammad ‘Abduh. Ini menurut kesimpulan Abû Rayyah, apabila hal itu

benar. Pada tahun 1929, Ahmad Amin menulis buku Fajr al-Islâm di mana ia

membahas hadis Nabi seraya mencampuradukkan antara yang benar dan yang

batil. Sebuah pembahasan yang justru membuat orang ragu terhadap keotentikan

hadis.20

Para orientalis sudah lama mencurahkan perhatian untuk meneliti

ilmu-ilmu keislaman. Pada awalnya kajian mereka berkisar pada sejarah dan sastra

Islam. Mereka mulai meneliti hadis Nabi pada abad XIX, dan barangkali orang

yang pertama kali meneliti hadis adalah Ignaz Goldziher yang pada tahun 1890

mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul Muhammedanische Studien.

Karyanya ini yang kemudian menjadi rujukan utama para orientalis dalam

melakukan kajian atas hadis.

Lebih kurang empat puluh tahun kemudian, Prof. Schacht melakukan

penelitian atas sumber-sumber hadis dalam bidang fiqh. Penelitian ini dilakukan

selama sepuluh tahun, yang kemudian dipublikasikan sebagai buku dengan judul

The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Dalam karyanya ini, Schacht

berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang sahîh (otentik) terutama

hadis-hadis fiqh. Buku ini kemudian menjadi rujukan utama kedua bagi para

orientalis. Dan apabila Goldziher ‘berhasil’ membuat orang ragu terhadap

kebenaran hadis Nabi, maka Schacht ‘berhasil’ meyakinkan’ orang bahwa apa

yang sering disebut hadis itu tidak otentik berasal dari Nabi Muhammad.21

Goldziher, Shacht, Juynbol tidak ”mengusik” otoritas hadis dan

kehujjahannya. Goldziher hanya meragukan otentitas hadis dari Rasulullah.

Sementara beberapa pengaji lainnya menafikan otentisitas itu sama sekali. Logika

yang hendak dibangun dari keraguan terhadap keotentikan hadis cukup sederhana:

Jika hadis tidak otentik sebagai ajaran yang bersumber dari Rasulullah, maka

tidak mungkin ia dijadikan sumber ajaran Agama.22

20

M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya,hal. 46-48 21

M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 3-5 22

(40)

١٧

Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa Goldziher dan orientalis

lainnya tidak mengungkit kehujjahan hadis, tetapi lebih pada keotentikannya.

Walaupun jika dilanjutkan, penolakan terhadap keotentikan hadis akan berujung

kepada penolakan terhadap eksistensi hadis itu sendiri. Ketika eksistensi hadis itu

ditolak, maka berhujjah dengannya pun menjadi tertolak.

Sebagai sumber ajaran Agama setelah Alquran, hadis memiliki kedudukan

yang sangat penting dalam Islam. Namun tidak seperti Alquran yang mendapat

penjagaan langsung dari Tuhan (QS. Al-Hijr ayat 9), hadis memang menghadapi

dilema seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah membuktikan bahwa

semenjak era pertama Islam, sudah banyak didapati hadis-hadispalsu.

Sadar akan pentingnya hadis dalam Islam, para ulama klasik bahkan sejak

zaman sebelum pengkodifikasian hadis secara massal, telah melakukan kajian

hadis dengan intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan

pedoman dalam menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal

sebagai ’Ulumul Hadîts (ilmu-ilmu hadis), para pengaji hadis dapat

mengidentifikasi hadis yang benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadis yang

nisbatnya lemah (da’îf) atau yang benar-benar merupakan hadis palsu.

A. Sejarah Perkembangan Kajian Matan dan Sanad Hadis

Saat seseorang mengatakan ”hadis”, maka yang terlintas dalam benak

adalah gabungan antara sanad dan matan. Dalam beberapa literatur hadis kita

dapati ungkapan hadis yang hanya berupa matan tanpa sanadnya. Hal ini lumrah

dilakukan guna menyingkat dan mempermudah penyampaian hadis, bukan karena

pembenaran atas anggapan yang menyatakan bahwa hadis adalah matan saja tanpa

sanad.

Sanad adalah mata rantai atau silsilah keguruan yang menghubungkan

seseorang dengan gurunya hingga sampai kepada Rasulullah (atau dalam kasus

(41)

١٨

terhenti pada tabi’in) yang menjadi pengantar bagi matan hadis. Sementara matan

adalah isi atau kandungan hadis.23

Sanad sering dianggap sebagai anugerah agung yang hanya dimiliki oleh

umat Rasulullah dan tidak dimiliki umat agama lain. Dengan sanad, otentitas kitab

suci Alquran dan hadis dapat dijaga. Di waktu yang sama kitab suci agama lain

ternodai oleh oknum-oknum pimpinan agamanya yang menyisipkan banyak

tambahan, dan mengurangi banyak keterangan dalam kitab suci mereka.

Ketiadaan sanad membuat mustahil penelusuran untuk mengetahui mana ”matan”

yang otentik dan mana ”matan” yang palsu dalam kitab suci mereka. Ibn

al-Mubârak menilai sanad sebagai bagian dari Agama. Tanpa sanad, tiap orang akan

berkata-kata semaunya, dan kemudian mengklaim bahwa perkataan itu adalah

hadis.24 Muhammad bin Sîrîn, al-Dahhâk bin Muzâhim, dan Mâlik bin Anas juga

menyatakan bahwa hadis adalah bagian dari Agama, dan kita harus melihat dari

siapa Agama ini kita ambil.25

Meneliti dari mana ”Agama” diambil, sama dengan meneliti pembawa

Agama itu sendiri. Kajian atas pembawa kabar adalah istilah sederhana dari kajian

sanad.

Kajian kesahîhan hadis biasanya diawali dengan kajian atas sanadnya.

Ketika kualitas sanadnya sudah ditetapkan, penilaian hadis itu linear (sama)

dengan penilaian atas sanadnya itu. Bahkan ada kecenderungan jika sanad hadis

telah ditetapkan sahîh, sementara matannya bermasalah, maka matannya yang

akan ditakwilkan.

Sebagai sebuah alat ukur penilaian kualitas hadis, para ulama merumuskan

kriteria kesahîhan hdis, yaitu ketersambungan sanad, seluruh perawinya bersifat

adil dan dabt (perawi yang memiliki kedua sifat ini disebut tsiqah), tidak ada

syadz dan ’illah. Kelima kriteria ini diterapkan pada kajian sanad, dan hanya

kriteria keempat dan kelima yang digunakan dalam kajian matan.

23

Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 157-158 24

Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 158 25

(42)

١٩

Secara zahir, kajian sanad memang lebih banyak menyita perhatian

orang-orang yang meneliti hadis dari pada kajian atas matan. Hal ini bisa jadi karena

kondisi matan yang jumlahnya statis sementara sanad bersifat dinamis dan

cenderung bertambah banyak sejalan dengan banyaknya jumlah perawi yang

diteliti. Semakin panjang jalur periwayatan sebuah hadis, semakin banyak pula

perawi yang dikaji. Ditambah lagi adanya fakta banyaknya sebuah matan yang

memiliki sanad lebih dari satu.

Sebenarnya, kajian hadis yang dilakukan tidak diprioritaskan pada

sanadnya, sebagaimana yang dipersangkakan beberapa orang, namun juga

dilakukan pada matannya. Hanya saja objek kajian yang lebih banyak memang

ada pada sanad hadis, sehingga timbul kesan bahwa kajian sanad memang lebih

mendominasi dalam kajian hadis.

Kajian atas sanad dan matan sudah ada di masa awal Islam. Beberapa

pakar semisal Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa kajian berupa kritik matan

Hadis muncul lebih dahulu dibanding kritik sanadnya. Menurutnya, kajian atas

matan sudah dilakukan pada zaman Rasulullah, sementara kajian sanad baru

diberlakukan pasca peristiwa terbunuhnya khalifah ’Utsmân bin ’Affân pada

tahun 35 H.26

Pendapat Ali Mustafa ini masih dapat diperdebatkan, di mana kajian sanad

dalam bentuk yang sederhana telah dilakukan oleh Rasulullah. Misalnya pujian

Rasulullah terhadap ’Abdullâh bin ’Umar yang disampaikan kepada Hafsah salah

seorang istri beliau yang juga saudara dari ’Abdullâh bin ’Umar itu sendiri,

ﻥﺇ

ﺒﻋ

ﷲﺍ

ِ

ﻟﺎﺻ

ﺢ

٢٧

Sesungguhnya ’Abdullâh bin ’Umar adalah seorang laki-laki yang

shaleh”.

26

AMY, ”Kata Pengantar” dalam Kritik Matan Hadis, Hasjim Abbas, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004), cet. I, hal. x

27

Referensi

Dokumen terkait