KUALITAS HADIS DALAM
TAFSIR AL-QUR
’
AN DEPAG RI
Tesis Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Magister Dalam Agama Islam
Disusun Oleh:
Andi Rahman
(NIM: 04.2.00.1.05.01.0047)
Dibimbing Oleh:
Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
LEMBAR PERNYATAAN
Penulis, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Andi Rahman
TTL : Jakarta, 7 April 1980
NIM : 04.2.00.1.05.01.0047
Alamat : Komplek SMP Bina Amal jl. Bungur Utara 77 Pejuang Bekasi
Menyatakan bahwa tesis yang berjudul KUALITAS HADIS DALAM
TAFSIR AL-QUR’AN DEPAG RI adalah karya penulis sendiri dan bukan
merupakan jiplakan, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila
di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, penulis bersedia menerima
sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.
Ciputat, 7 April 2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG
RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi
Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan ke sidang ujian.
Ciputat, 7 April 2008
Pembimbing,
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS
Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG
RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi
Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada
hari Rabu, 11 Juni 2008.
Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para
penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister
dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2008
Ketua Sidang/Penguji
Dr. Udjang Tholib, MA.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS
Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG
RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi
Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada
hari Rabu, 11 Juni 2008.
Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para
penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister
dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2008
Sekretaris Sidang,
Fita Fathurokhmah
v
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS
Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG
RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi
Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada
hari Rabu, 11 Juni 2008.
Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para
penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister
dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2008
Penguji I,
Dr. H. Sahabuddin, MA.
vi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS
Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG
RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi
Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada
hari Rabu, 11 Juni 2008.
Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para
penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister
dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2008
Penguji II,
Dr. J.M. Muslimin, MA
vii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN TESIS
Tesis berjudul KUALITAS HADIS DALAM TAFSIR Al-QUR’AN DEPAG
RI yang ditulis oleh Andi Rahman, NIM 04.2.00.1.05.01.0047 pada konsentrasi
Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta telah diajukan dalam sidang/munaqasyah tesis yang dilaksanakan pada
hari Rabu, 11 Juni 2008.
Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan para
penguji, serta diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister
dalam Agama Islam pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Juni 2008
Pembimbing,
Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA
viii
ABSTRAK
Sebagai sebuah kitab suci, Alquran adalah korpus terbuka yang siap dikaji, dianalisa dan diintepretasi sepanjang masa. Ada banyak ayat yang memerintahkan kita untuk mencermati (tadabbur) Alquran, misalnya ayat 82 surah al-Nisâ’ dan ayat 24 surah Muhammad. Dan dari sekian banyak penafsir Alquran, Rasulullah adalah satu-satunya sosok manusia yang secara langsung mendapatkan otoritas dan mandat penuh dari Allah untuk menafsirkan Alquran (QS. Âlu ’Imrân 3:164, al-Nahl 16:44 dan 64, al-Jumu’ah 62: 2). Penafsiran Rasulullah ini terabadikan dalam hadis (Tafsîr bi al-ma’tsûr).
Departemen Agama RI menerbitkan Tafsir yang di dalamnya memuat riwayat-riwayat hadis dan yang diindikasikan sebagai hadis. Tesis ini menjawab dua pertanyaan yang muncul: Pertama, apa kualitas hadis-hadis yang disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini terkait penisbatannya (penyandarannya kepada Rasulullah atau selainnya) dan jenis periwayatannya?
Ada 115 riwayat dikaji, dan ini merupakan kajian ilmiah pertama terkait kualitas hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qur’an Depag RI.
Penulis merujuk sumber-sumber hadis yang primer (masâdir asliyyah) untuk melacak keberadaan hadis beserta sanadnya. Kemudian untuk meneliti kualitas sanadnya, penulis merujuk ke kitab tarâjum al-ruwât yang memuat biografi para perawi hadis, dan kitab al-jarh wa ta’dîl yang memuat penilaian ulama atas masing-masing perawi itu. Sementara dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis mempertimbangkan pendapat ulama yang telah memberikan penilaian atas hadis itu.
Tesis ini menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang ada dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI bervariasi dilihat dari nisbat atau penyandaran periwayatan (marfû’, mawqûf, dan maqtû’), jenis periwayatan (hadis dan asbâb al-nuzûl), dan kualitasnya (sahîh dan da’îf).
Berdasarkan nisbatnya, sebanyak 90 riwayat (78% dari total riwayat yang dikaji) masuk kategori marfû’, 23 riwayat (20%) mawqûf, 1 riwayat (1%) maqtû’, dan 1 riwayat (1%) tidak diketahui penisbatannya. Berdasarkan jenis periwayatannya, sebanyak 84 riwayat (73%) merupakan hadis, dan sisanya
sebanyak 31 riwayat (27%) masuk kategori sabab al-nuzûl. Sementara
berdasarkan kualitasnya, sebanyak 77 riwayat (67%) sahîh, 12 riwayat (10%) hasan, 23 riwayat (20%) da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu, dan 3 riwayat (3%) tidak diberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj.
ix
xi
ﺎﻣ
ﺔﺒﺴﻧ
ﺲ
ﻜﻌﻟﺎﺑﻭ
ﺮﺧ
ﻵ
ﺍ
ﻥﻭﺩ
ﺎﻤﻬﻨﻣ
ﺪﺣﺍﻭ
ﱃﺇ
ﻥﺎ
ﺨ
ﻴﺸﻟﺍ
ﻪﺟﺮﺧﺃ
ﺎﻣ
ﺔﺒﺴﻧﻭ
ﲔ
ﺨ
ﻴﺸﻟﺍ
ﺪﺣﺃ
ﻪﺟﺮﺧﺃ
ﺎﻌﻴﲨ
ﺎﻤﻬﻴﻟﺇ
.
ﻩﺬﻫ
ﻦﻤﺿ
ﻦﻣﻭ
ﺀﺎﻄﺧﻷﺍ
ﺍ
ﺩﺍﺮﻳﺇ
ﺮﳌﺍ
ﺩﻮﺟﻭ
ﻊ
ﻣ
ﻑﺎﻌ
ﻀ
ﻟﺍ
ﺕﺎﻳﻭﺮﳌ
ﻭ
ﻯ
ﺮﺧﻷﺍ
ﺕﺎﻳ
ﰲ
ﺔﺟﺭﺩ
ﻯ
ﻮﻗﺃ
ﲎﻌﳌﺍ
ﺲ
ﻔﻧ
.
xii
ABSTRACT
Alquran is an open corpus which is available to be studied, analyzed, and interpreted for centuries. Indeed, some verses of Alquran inform us to study
Alquran, e.g. al-Nisâ`: 82 andMuhammad: 24. However, some verses of Alquran
clearly inform us that Prophet Muhammad PBUH was the only person who was appointed by Allah to interpret Alquran (Âlu ’Imrân:164, al-Nahl: 44 and 64, as well as al-Jumu’ah: 2). The interpretation to the Alquran preserved in traditions or hadiths (Tafsîr bi al-ma’tsûr)
One of the latest exegesis of Alquran was published by Ministry of Religious Affairs, Republic of Indonesia. The Exegesis contains some information considered as hadiths. Taking the facts into account, this thesis analyzes two points in relation to the Exegesis: Firstly, what is the quality of hadiths? Secondly, what is the orientation of the usage of the hadiths according to nisbat (association or affiliation) of the hadiths, and what is the kind or the narrations? One hundred and fifteen narrations (riwâyat) have been studied, and this thesis is the first research ever made that analyzes the quality of hadiths in the Exegesis
This research employs primary hadith sources (masâdir asliyyah) as a tool to locate the hadiths, including their sanad (chain of hadith narrators). The study also uses a set collection of tarâjum al-ruwât and al-jarh wa ta’dîl books to identify the quality of hadiths. In addition, the research also considers the opinions of 'ulamâ (Moslem scholars) who have given invaluable explanations about certain hadiths.
The research then concludes that the narrations which are included in the Exegesis (Tafsir Al-Qur`an Depag RI) indicate some considerations. In terms of nisbat, the narrations was categorized into marfû’, mawqûf, or maqtû’. In terms of the kind of narrations, it’s grouped as hadîth or asbâb al-nuzûl. Based on the quality of narrations, it’s classified as sahîh or da’îf.
The research shows that according to the nisbat, 78% are marfû’, 20% are mawqûf, 1% are maqtû’, and 1% are unknown. According to the kind of narrations, 73% are hadîths, whereas 27% are classified as asbâb al-nuzûl. In terms of the quality of narrations 67% are sahîh, 10% are hasan, 20% da’îf (2 narrations of the da’îf are mawdû’), and 3% are undefined due to the lack of sanad.
xiii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâh wa al-salâh wa al-salâm ’alâ al-habîb Rasûlillâh, sebuah
kalimat yang tepat untuk diungkapkan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah
Ta’ala atas segala anugerah dan kerunia-Nya. Tesis ini dapat diselesaikan dengan
bantuan banyak pihak, utamanya:
1. Ummî Siti Zubaydah binti Muhammad Natsir, dan almarhum Abî, Abdul
Kohar bin Muhammad Anwar, sebagai guru sepanjang hidup bagi penulis.
2. Keluarga dan kerabat penulis, khususnya khâlî Djunaedi bin Muhammad
Natsir yang membiayai penulis pada pendidikan menengah hingga strata
satu
3. Dr. KH. Ahmad Lutfi Fathullah, MA. hafizahullâh, selaku pembimbing
penulisan Tesis ini
4. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. hafizahullâh, yang membimbing
penulis selama belajar di pesantren Darus-Sunnah
5. Dr. Udjang Tholib MA, Dr. Sahabuddin MA, Dr. J.M. Muslimin MA,
selaku penguji Tesis
6. Firdaus Wajdi MA, Prof. Dr. Amany Lubis MA, Prof. Dr. Suwito, MA,
dan Dra. Latifah Farray
7. Segenap sivitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, sivitas akademika pesantren Darus-Sunnah, keluarga besar
Lembaga Pengembangan Insani (LPI), dan Departemen Agama RI c.q..
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an.
Kepada seluruh pihak yang membantu penulisan tesis ini, penulis ucapkan
terima kasih yang disertai untaian doa: ”Anda layak mendapat pahala dari Allah
Ta’ala, amin”.
Ciputat, 7 April 2008
xiv
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ... i
Persetujuan Pembimbing ... ii
Pengesahan Panitia Ujian Tesis... iii
Abstrak ... viii
ﺺﻴﺨﻠﺘﻟﺍ
... xAbstract ... xii
Kata Pengantar ... xiii
Daftar Isi ... xiv
Pedoman Transliterasi ... xx
Bab I: Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Signifikansi Penelitian ... 6
F. Kajian Pustaka ... 7
G. Metodologi Penelitian ………. 8
H. Sistematika Penulisan ………. 11
Bab II: Takhrîj Hadis………... 13
A. Sejarah Perkembangan KajianMatan dan Sanad Hadis ... 17
B. Definisi dan Sejarah Perkembangan Takhrîj Hadis... 22
C. Metode Takhrîj Hadis... 25
1. Metode Penelusuran Hadis Berdasarkan Perawi Sahabatnya... 25
2. Metode Ungkapan Pertama Dalam Matan ... 28
3. Metode Indeks Kata ... 29
xv
5. Metode Penelusuran Berdasarkan Kondisi Matan atau Sanad... 30
D. Prinsip-prinsip Dasar Takhrîj Hadis... 31
E. Manfaat Takhrîj Hadis... 33
Bab III: Tafsir Depag RI ... 37
A. Profil Tafsir.………...………... 38
B. Metodologi Penulisan... 41
C. Bentuk dan Corak Tafsir …...………... 43
D. Hadis-hadis Dalam Tafsir... 44
Bab IV: Takhrîj Hadis-hadis Dalam Tafsir ... 49
A. Surah al-Fâtihah... 49
Hadis Nomor 1 ”Urutan Ayat Alquran Berdasarkan Tawfîqî”... 49
Hadis Nomor 2 ”Lâ Salâh Li Man Lam Yaqra’ Bi Fâtihah al-Kitâb”... 51 Hadis Nomor 3 ”Di Sekitar Ka’bah Terdapat 360 Patung”... 52
Hadis Nomor 4 ”Rasulullah Memulai Dengan al-Hamd lillâh”... 53
Hadis Nomor 5 ”Rasulullah Mengeraskan Bacaan Basmalah”... 54
Hadis Nomor 6 ”Bacaan al-Fâtihah Rasulullah Menurut Umm Salamah”... 57 Hadis Nomor 7 ”Abû Hurayrah Mengeraskan Bacaan”... 59
Hadis Nomor 8 ”Mu’awiyah Mengeraskan Bacaan Basmalah”... 61
Hadis Nomor 9 ”Larangan Menulis Yang Bukan Alquran”... 63
Hadis Nomor 10 ”Kebaikan Yang Tidak Dimulai Dengan Basmalah”... 64 Hadis Nomor 11 ”Allah Merahmati Orang Yang Kasih”... 65
Hadis Nomor 12 ”Rahmatilah Orang-orang Yang Ada di Bumi”... 66
Hadis Nomor 13 ”Merahmati Seekor Burung”... 68
Hadis Nomor 14 ”Menyembah Allah Seakan Engkau Melihat-Nya”... . 69 B. Surah al-Baqarah... 70
Hadis Nomor 15 ”Sebaik-baik Sedekah”... 70
xvi
Hadis Nomor 17 ”Perumpamaan Orang Munafik” ... 73
Hadis Nomor 18 ”Tuduhan Yahudi Terhadap Perumpamaan”... 73
Hadis Nomor 19 ”Kebaikan Menghapus Keburukan”... 75
Hadis Nomor 20 ”Orang Mukmin Bagaikan Bangunan”... 77
Hadis Nomor 21 ”Keutamaan Shalat Berjamaah”... 77
Hadis Nomor 22 ”Orang Yahudi Menasihati Keluarganya”... 78
Hadis Nomor 23 ”Rasulullah Shalat Ketika Hatinya Resah”... 79
Hadis Nomor 24 ”Kesejukan Mata Dalam Shalat”... 81
Hadis Nomor 25 ”Rukun Iman”... 82
Hadis Nomor 26 ”Penyembelihan Sapi”... 83
Hadis Nomor 27 ”Korban Bersaksi Atas Kematiannya”... 85
Hadis Nomor 28 ”Berimanlah Kemudian Istiqamahlah”... 87
Hadis Nomor 29 ”Pahala Orang Yang Merawat Janda”... 88
Hadis Nomor 30 ”Kisah Yahudi dan Musyrik di Madinah”... 88
Hadis Nomor 31 ”Permusuhan Yahudi Kepada Jibril”... 90
Hadis Nomor 32 ”Diskusi ’Umar Dengan Yahudi Tentang Jibril”. 92 Hadis Nomor 33 ”Hasad Yang Diperbolehkan”... 94
Hadis Nomor 34 ”Shalat Tidak Menghadap Kiblat”... 94
Hadis Nomor 35 ”’Umar Mencium Hajar Aswad”... 96
Hadis Nomor 36 ”Rasulullah Mencium Hajar Aswad”... 96
Hadis Nomor 37 ”Rasulullah Adalah Jawaban Atas Doa Nabi Ibrahim”... 98 Hadis Nomor 38 ”Klaim Yahudi Terhadap Wasiat Ya’qûb”... 99
Hadis Nomor 39 ”Tentangan Yahudi Madinah Terhadap Islam”... 100
Hadis Nomor 40 ”Pembaptisan Anak”... 102
Hadis Nomor 41 ”Dakwah Yahudi dan Nasrani”... 103
Hadis Nomor 42 ”Pemindahan Kiblat”... 104
Hadis Nomor 43 ”Sa’i Antara Safâ dan Marwah”... 105
Hadis Nomor 44 ”Menyembunyikan Ilmu (1)”... 106
Hadis Nomor 45 ”Menyembunyikan Ilmu (2)”... 107
xvii
Hadis Nomor 47 ”Qisâs Yang Berkeadilan”... 109
Hadis Nomor 48 ”Orang Mukmin Yang Membunuh Orang Kafir” 111 Hadis Nomor 49 ”Bapak Yang Membunuh Anaknya”... 111
Hadis Nomor 50 ”Tidak Ada Wasiat Bagi Ahli Waris”... 113
Hadis Nomor 51 ”Berwasiat Dengan Sepertiga Harta Pusaka”... 115
Hadis Nomor 52 ”Laylah al-Qadr di Sepuluh Malam Terakhir”.... 116
Hadis Nomor 53 ”Berpuasa Karena Melihat Hilal”... 117
Hadis Nomor 54 ”Berdoa Dengan Suara Keras dan Lamat-lamat”... 117 Hadis Nomor 55 ”Berdoa Dengan Suara Yang Keras”... 119
Hadis Nomor 56 ”Tiga Doa Yang Tidak Ditolak”... 120
Hadis Nomor 57 ”Terburu-buru Dalam Berdoa”... 121
Hadis Nomor 58 ”Bersetubuh di Malam Hari Ramadân”... 122
Hadis Nomor 59 ”Sumpah Dalam Pengadilan”... 124
Hadis Nomor 60 ”Berdebat di Pengadilan”... 125
Hadis Nomor 61 ”Berperang Fî Sabîl Allâh”... 126
Hadis Nomor 62 ”Khutbah Rasulullah Saat Fath Makkah”... 127
Hadis Nomor 63 ”Mengemis Sambil Berhaji”... 128
Hadis Nomor 64 ”Pasar di Masa Jahiliyyah”... 129
Hadis Nomor 65 ”Khutbah Rasulullah Saat Haji Wada’”... 129
Hadis Nomor 66 ”Allah Tidak Melihat Fisik (1)”... 131
Hadis Nomor 67 ”Doa Rasulullah”... 132
Hadis Nomor 68 ”Memohon Diperlihatkan Kebaikan”... 133
Hadis Nomor 69 ”Ini Adalah Amalmu”... 135
Hadis Nomor 70 ”Jangan Menikahi Wanita Karena Kecantikan”.. 136
Hadis Nomor 71 ”Daya Tarik Wanita”... 137
Hadis Nomor 72 ”Wanita Haid Dalam Pandangan Yahudi”... 138
Hadis Nomor 73 ”Bersumpah Untuk Tidak Menolong”... 139
Hadis Nomor 74 ”Khul’Atau Gugatan Cerai Dari Wanita”... 140
Hadis Nomor 75 ”Merujuk Untuk Menyakiti (1)”... 141
xviii
Hadis Nomor 77 ”Tiga Hal Yang Tidak Bisa Dibuat Canda”... 144
Hadis Nomor 78 ”Melarang Rujuk”... 145
Hadis Nomor 79 ”Kufur Orang Yang Meninggalkan Shalat”... 146
Hadis Nomor 80 ”Pahala Menjaga Shalat”... 147
Hadis Nomor 81 ”Pahala Dilipatgandakan”... 147
Hadis Nomor 82 ”Tafsir al-Kursî (1)”... 150
Hadis Nomor 83 ”Tafsir al-Kursî (2)”... 151
Hadis Nomor 84 ”Pihak-pihak Yang Bisa Memberi Syafaat”... 151
Hadis Nomor 85 ”Kebebasan Beragama”... 152
Hadis Nomor 86 ”Pahala Sedekah Unta”... 154
Hadis Nomor 87 ”Amal Berdasarkan Niat”... 155
Hadis Nomor 88 ”Tiga Golongan Yang Tidak Disucikan”... 155
Hadis Nomor 89 ”Ancaman Bagi Peminum Khamar”... 156
Hadis Nomor 90 ”Bersedekah Dengan Yang Buruk”... 157
Hadis Nomor 91 ”Dakwah Bertahap”... 159
Hadis Nomor 92 ”Doa Dua Malaikat”... 160
Hadis Nomor 93 ”Tujuh Golongan Yang Dinaungi Allah”... 160
Hadis Nomor 94 ”Sedekah Yang Paling Utama”... 161
Hadis Nomor 95 ”Bersedekah Kepada Orang Islam”... 162
Hadis Nomor 96 ”Kriteria Miskin”... 163
Hadis Nomor 97 ”Kebolehan Meminta Pada Tiga Kondisi”... 164
Hadis Nomor 98 ”Keutamaan Mandiri”... 165
Hadis Nomor 99 ”Tangan Yang di Atas Lebih Utama”... 165
Hadis Nomor 100 ”Berpegang Pada al-Qurân dan al-Sunnah”... 166
Hadis Nomor 101 ”Transaksi Yang Riba”... 167
Hadis Nomor 102 ”Dosa Yang Tidak Terampuni”... 168
Hadis Nomor 103 ” Allah Tidak Melihat Fisik (2)”... 168
Hadis Nomor 104 ”Orang Yang Berzina Tidak Beriman”... 169
Hadis Nomor 105 ”Sisa Riba”... 170
Hadis Nomor 106 ”Enggan Membayar Riba”... 171
xix
Hadis Nomor 108 ”Ayat Yang Terakhir Turun”... 172
Hadis Nomor 109 ”Indahnya Harta Yang Baik Bagi Orang Shalih”... 173 Hadis Nomor 110 ”Celakalah Orang Yang Menuhankan Harta”.... 174
Hadis Nomor 111 ”Enggan Menjadi Saksi”... 175
Hadis Nomor 112 ”Beban Yang Sanggup Diemban”... 176
Hadis Nomor 113 ”Akhlak Rasulullah Adalah Alquran”... 178
Hadis Nomor 114 ”Definisi Kebaikan”... 178
Hadis Nomor 115 ”Pahala Yang Terus Mengalir”... 179
c. Orientasi Penggunaan Hadis Dalam Tafsir... 180
Bab V: Penutup ... 184
a. Kesimpulan ... 184
b. Saran-saran ... 184
Daftar Bacaan... 186
Lampiran... 193
xx
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ﺍ
- Tidak dilambangkan
ﺏ
B Huruf “Be”ﺕ
T Huruf “Te”ﺙ
Ts Huruf “Te” dan “Es” digabung dengan garis bawahﺝ
J Huruf “Je”ﺡ
H Huruf “Ha” dengan garis bawahﺥ
Kh Huruf “Ka” dan “Ha” dengan garis bawahﺩ
D Huruf “De”ﺫ
Dz Huruf “De” dan “Zet” dengan garis bawahﺭ
R Huruf “Er”ﺯ
Z Huruf “Zet”ﺱ
S Huruf “Es”ﺵ
Sy Huruf “Es” dan Ye” dengan garis bawahﺹ
S Huruf “Es” dengan garis bawahﺽ
D Huruf “De” dengan garis bawahﻁ
T Huruf “Te” dengan garis bawahﻅ
Z Huruf “Zet” dengan garis bawahﻉ
‘ Tanda koma terbalik di atas menghadap kanan(Apostrophe)
ﻍ
G Huruf “Ge” dengan garis bawahxxi
ﻕ
Q Huruf “Qi”ﻙ
K Huruf “Ka”ﻝ
L Huruf “El”ﻡ
M Huruf “Em”ﻥ
N Huruf “En”ﻭ
W Huruf “We”ـ
ﻫ
H Huruf “Ha”ﺀ
` Accent Graveﻱ
Y Huruf “Ye”b. Huruf Vokal Tunggal (Monoftong)
Tanda Vocal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـ
A Harakat Fathahـِـ
I Harakat Kasrahـُـ
U Harakat Dammahc. Huruf Vokal Rangkap (Diftong)
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ﻱ
ـَـ
Ai Huruf “A” dan “I”َـ
xxii
d. Huruf Vokal Panjang (Madd) Tanda
Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ﺍ
ـَـ
 Huruf “A” dengan topi di atas/caret (accentcirconflexe)
ﻱ
ـِـ
Î Huruf “I” dengan topi di atas/caret (accentcirconflexe)
ﻭ
ـُـ
Û Huruf “U” dengan topi di atas/caret (accent١
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Maraknya penafsiran, serta banyaknya metode dan pendekatan guna
memahami Alquran merupakan bukti bahwa kitab suci ini adalah korpus terbuka
yang siap dikaji, dianalisa dan diintepretasi sepanjang masa. Alquran ibarat
sumber mata air yang tidak akan pernah kering di mana semakin banyak orang
mengambil air dari sumber itu, pancaran airnya justru semakin deras.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah menamakan Alquran
sebagai “jamuan Allah” atau ma`dubah Allâh (HR. Hâkim, Dârimî, dan
al-Bazzâr)1. Semua orang diundang untuk mendatangi jamuan itu dan menikmati
hidangannya. Banyak orang yang mendatangi jamuan itu dengan hati lapang.
Banyak pula orang yang mau menghadiri jamuan dengan mengendapkan syak
wasangka dan tuduhan buruk. Tidak sedikit di antara mereka tidak mau
menghadiri bahkan bersikap apriori terhadap undangan itu.
Para penikmat Alquran memiliki sifat dan tingkat intelektualitas yang
berbeda sehingga mengakibatkan “cita rasa” masing-masing orang juga berbeda.
Lebih dari pada itu, karakteristik bahasa Arab yang menjadi bahasa Alquran,2
cenderung multi intepretasi. Sebuah kata dalam bahasa Arab dapat memiliki
makna lebih dari satu (musytarâk), dan satu ungkapan dapat memiliki pengertian
yang beragam bahkan terkadang bertolak belakang. Dari sini, timbulnya
keragaman tafsir Alquran menjadi sebuah keniscayaan.
1
Muhammad bin ‘Abdillâh al-Hâkim, al-Mustadrak ‘Âlâ al-Sahîhayn, (Beirut: Dâr Kutub
al-‘Ilmiyah, 1990), cet. I, vol. I, h. 741; ’Abdullâh bin ’Abdurrahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1407 H), cet. I, vol. II. h. 521 dan 523; Ahmad bin ’Amr al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, (Beirut: Muassasah ’Ulûm al-Qurân, 1409 H), cet. I, vol. V, h. 423. Semuanya dari sahabat ’Abdullâh bin Mas’ûd. Al-Haytsamî mengomentari hadis ini yang melalui jalur sanad al-Bazzâr bahwa seluruh perawinya tsiqat.
Lihat: ’Alî bin Abû Bakar al-Haytsamî, Majma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-’Arabî, 1407 H), vol. I, h. 129.
2
٢
Keragaman penafsiran ini tidak mendapat hambatan normatis dari Agama.
Bahkan lebih dari sekedar kebolehan, penafsiran Alquran merupakan sebuah
perintah. Dalam Alquran kita dapati banyak ayat yang memerintahkan kita
mencermati (tadabbur) Alquran, misalnya ayat 82 surah al-Nisâ’ dan ayat 24
surah Muhammad.3
Dalam pemaknaan yang luas, penafsiran Alquran termasuk dalam kategori
ijtihad yang juga memiliki asas legalitasnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah
menyebutkan jika seseorang berijtihad dan tepat, maka ia mendapat dua pahala.
Sementara jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (Muttafaq ’alayh
dari ’Amr bin al-’Âsh)4. Kata “ijtihad” dalam hadis ini mengisyaratkan kriteria
kelayakan orang yang akan menafsirkan Alquran, yaitu orang yang memiliki
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kegiatan penafsiran Alquran. Sementara orang
yang tidak memiliki ilmu yang cukup, tidak berhak menafsirkan Alquran.
Rasulullah bersabda,
ﻣ
ﻦ
ﹶ
ﻝﺎﻗ
ﹸ
ﻘﻟﺍ
ﰲ
ِ
ﺑ
ﻥﺁﺮ
ﻐ
ﻴ
ِ
ﻋ
ﺮ
ﹾ
ﻠ
ﹶ
ﻓ
ﻢ
ﹾ
ﻠ
ﻴ
ـ
ﺘ
ﺒ
ـ
ﻮ
ﹾ
ﺃ
ﻣ
ﹾ
ﻘ
ﻌ
ِ
ﻣ
ﻩﺪ
ﻨﻟﺍ
ﻦ
ﺭﺎ
“Siapa yang menafsirkan Alquran tanpa ilmu, maka hendaknya ia
menentukan tempatnya di neraka”. (HR. Al-Tirmidzî dari Ibn ’Abbâs)5
Penafsiran adalah upaya memahami maksud sebuah ucapan yang tidak
lugas. Dalam banyak kasus, ucapan yang lugas dan sederhanapun masih perlu
penafsiran ketika pihak yang mengucapkannya memiliki ucapan atau pendapat
lain yang bertolak belakang. Dalam konteks ucapan yang belum jelas atau adanya
lebih dari dua ucapan dari satu pengucap yang substansinya berbeda, diperlukan
kejelasan maksud dari si pengucap. Untuk menghindari kerancuan dan
3“
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisâ` 4:82)
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?!”
(QS. Muhammad 47:24) 4
Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Kitab al-I’tisâm Bi al-Kitâb wa al-Sunnah Bab Ajr al-Hâkim Idzâ Ijtahad Fa Asâb aw Akhtaa, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), cet. III, vol. VI, hal. 2676; Muslim, Sahîh Muslim, Kitab al-Aqdiyah Bab Bayân Ajr al-Hâkim Idzâ Ijtahad Fa Asâb aw Akhtaa, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-’Arabî), tth., vol. III, hal. 1342
5
٣
ambiguitas, kita dapat melakukan konfirmasi dan bertanya langsung kepada pihak
yang mengucapkannya, atau kepada pihak lain yang diberikan otoritas untuk
menjelaskan maksud ucapan tadi.
Pihak yang paling mengatahui maksud dari sebuah ucapan, tentulah
pengucapnya. Oleh karena itu, pihak yang paling mengatahui maksud dan
penafsiran Alquran adalah Allah Ta’ala. Dari sini, penafsiran sebuah ayat Alquran
dengan ayat Alquran lain, merupakan penafsiran yang—menurut penulis—paling
tepat. Namun demikian, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Allah tidak
menghalangi manusia menafsirkan firman-Nya, Ia bahkan memerintahkan
hamba-hamba-Nya untuk mengkaji dan menafsirkan ayat-ayat-Nya.6 Dan dari sekian
banyak penafsir Alquran, Rasulullah adalah satu-satunya sosok manusia yang
secara langsung mendapatkan otoritas dan mandat penuh dari Allah untuk
menafsirkan Alquran.7 Penafsiran Rasulullah ini terabadikan dalam hadis.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penafsiran ayat-ayat Alquran dengan
berdasarkan ayat-ayat Alquran lainnya, dan penafsiran ayat dengan hadis adalah
penafsiran—masih menurut pendapat penulis—yang paling baik. Model
penafsiran ini dikenal dengan Tafsir bi al-Ma`tsûr (tafsir ayat Alquran
berdasarkan ayat Alquran lain dan hadis).
Dari sekian banyak kitab tafsir yang beredar di masyarakat luas, sebagian
menggunakan metode bi al-ma`tsûr. Salah satu tafsir yang menggunakan metode
6“
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran?! Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisâ` 4:82) 7
Berikut beberapa ayat yang menyatakan Rasulullah mendapatkan mandat untuk menyampaikan wahyu Ilahi, dan menerangkannya kepada manusia:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Âlu ’Imrân 3:164)
“Keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl 16:44)
”Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Alquran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. al-Nahl 16:64)
٤
ini adalah tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI.8 Tafsir ini memiliki
sisi kelebihan dan kekurangannya. Hal ini bersifat relatif melihat siapa yang
menilai dan standar apa yang dijadikan alat ukurnya. Lepas dari penilaian
subyektivitas kita, kehadiran Tafsir Depag RI perlu diapresiasi, terutama karena ia
hadir di masyarakat yang masih sedikit mampu membaca tafsir-tafsir klasik
berbahasa Arab. Bahwa isinya memiliki kesesuaian dengan konteks waktu dan
masyarakat Indonesia kontemporer, Tafsir ini akan menjadibacaan yang akan
banyak dikaji masyarakat luas.
Sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, metode yang digunakan
Tafsir Depag RI adalah bi al-ma`tsûr. Namun, sebagaimana tafsir-tafsir yang lain,
pendekatan dan metode yang digunakan pastilah tidak satu. Ungkapan bahwa
tafsir ini menggunakan metode bi al-ma`tsûr tidak menafikan penggunaan metode
lain (yang dikenal sebagai tafsir bi al-ra`y). Ungkapan bahwa sebuah tafsir
menggunakan metode bi al-ma`tsûr atau bi al-ra`y menerangkan bahwa metode
atau pendekatan itu yang paling dominan digunakan. Terkait dengan Tafsir Depag
RI, metode bi al-ra`y tetap digunakan dengan proporsional.
Metode bi al-ma`tsûr yang digunakan menjadikan Tafsir ini menyebutkan
banyak hadis dan riwayat-riwayat sebagai dasar penafsiran dan argumentasinya.
Dalam tesis ini penulis menyoroti hadis-hadis itu, di mana sebagian besarnya
tidak disebutkan kualitas kesahîhannya (validitas nisbat hadis kepada Rasulullah).
Ketiadaan penyebutan kualitas hadis ini menimbulkan keraguan atas validitasnya
sebagai hadis.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tidak semua ungkapan yang
dinyatakan sebagai hadis, adalah benar-benar hadis. Hadis da’îf dan bahkan palsu,
banyak beredar luas di tengah masyarakat yang secara common sense tidak
mengetahui cara memverifikasi dan menilai kesahîhan hadis. Sementara ketika
kualitas sebuah hadis belum dipastikan kesahîhannya, maka argumentasi dan
penafsiran yang berdasarkan hadis itu juga tidak dapat dipastikan kebenarannya.
8
٥
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana di paparkan di atas,
muncul permasalahan mendasar yang menjadi pokok penelitian ini: Apakah
hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Qur`an Depag RI kualitasnya sahîh?
Dari permasalahan pokok tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan khusus
(minor research questions) yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana metodologi penulisan Tafsir Al-Qur`an Depag RI?
2. Apa definisi hadis?
3. Apa kriteria (syarat) hadis sahîh?
4. Apa hukum penggunaan hadis yang tidak sahîh dalam menafsirkan
Alquran dan dalam penetapan hukum?
5. Apa kualitas hadis-hadis yang terdapat dalam Tafsir
Al-Qur`an Depag RI?
6. Bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag
RI?
Point pertama penulis paparkan dalam bab III sub bab b. Point kedua
hingga keempat telah dibahas oleh ulama hadis, dan penulis singgung sekilas
dalam bab II. Penulis membatasi penelitian ini pada dua pertanyaan: Pertama, apa
kualitas hadis-hadis yang disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI? Kedua,
bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, terkait
penisbatan dan jenis periwayatannya?
Mengingat besarnya Tafsir yang menjadi objek penelitian dan banyaknya
hadis yang terdapat dalam Tafsir itu, penulis membatasi penelitiannya pada surah
al-Fâtihah, dan al-Baqarah. Dalam dua surah ini, penulis mengkaji 115 (seratus
lima belas) riwayat hadis atau yang diindikasikan sebagai hadis.
Kedua surah yang penulis jadikan sample, kurang lebih merupakan
sepersepuluh dari total seluruh ayat Alquran. Kajian terhadap dua surah ini
diharap dapat memberikan gambaran singkat yang akurat terkait kualitas hadis
yang ada dalam Tafsir ini. Pemilihan dua surah ini, juga berdasarkan pendekatan
klasifikatif, di mana surah Fâtihah termasuk kategori Makkiyah, sementara
٦
surah ini memuat seluruh aspek kandungan Alquran, mulai dari akidah, syariah,
akhlak, sejarah, dan lain sebagainya, sehingga hadis yang dicantumkan juga
beragam dan bervariasi.
C. Rumusan Masalah
Dengan beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas, maka
penulis merumuskan permasalahan yang akan menjadi pokok penelitian dalam
dua pertanyaan: Pertama, apa kualitas hadis yang disebutkan dalam Tafsir
Al-Qur`an Depag RI? Kedua, bagaimana orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir
Al-Qur`an Depag RI, terkait penisbatan dan jenis periwayatannya?
D. Tujuan Penelitian
Penulis menyebutkan literatur yang dijadikan sumber rujukan bagi
hadis-hadis yang tidak disebutkan dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, serta memberikan
analisa kualitas kesahîhannya. Hal ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kepada pembaca tentang orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini.
Tesis ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah dalam
kajian-kajian keislaman terutama yang berhubungan dengan tafsir dan hadis. Tesis
ini juga diharapkan dapat mendorong dan menyemarakkan kajian hadis dan Ilmu
hadis.
E. Signifikansi Penelitian
Maraknya penyimpangan ajaran agama Islam, seringkali disebabkan
kesalahan penafsiran atas Alquran yang dilakukan individu penafsir. Dengan
berdasarkan hadis da’îf atau bahkan palsu, penyimpangan-penyimpangan itu
mendapatkan justifikasi. Takhrîj hadis adalah mekanisme untuk menyeleksi hadis
yang beredar di tengah masyarakat, dan untuk memilah antara hadis yang sahîh
dan yang da’îf (termasuk yang palsu).
Tesis ini bermanfaat untuk menjelaskan kualitas hadis yang tercantum
dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, sehingga pembaca dapat mengetahui
٧
F. Kajian Pustaka
Buku-buku atau kitab keislaman yang diterbitkan dan dicetak pada
tahun-tahun belakangan kebanyakan sudah mencantumkan tahqîq (kajian dan penjelasan
yang terkadang bersifat anotatif) yang ditulis dalam catatan kaki. Tahqîq ini berisi
penjelasan hal-hal yang ada dalam buku atau kitab itu yang dianggap perlu
mendapat penjelasan lebih, misalnya kata atau ungkapan yang sulit dipahami atau
kekhilafan penulis yang salah dalam menyampaikan data, atau penulisan hadis
dan ucapan orang yang oleh penulis tidak disebutkan sumber rujukannya. Takhrîj
hadis adalah salah satu bentuk tahqîq.
Upaya menakhrîj hadis yang ada dalam karya tulis tertentu, terutama buku
atau kitab yang menjadi bacaan masyarakat luas, bukanlah merupakan hal yang
baru. Tidak sedikit dari para ulama dan sarjana yang menulis karya ilmiah yang
khusus berkaitan dengan takhrîj hadis dalam buku atau kitab tertentu.
Takhrîj hadis mendapatkan perhatian yang besar sebagai sebuah respon
atas maraknya kegiatan pemalsuan hadis dan penyebaran hadis palsu yang
menjadi fenomena umum di setiap kurun waktu. Sadar akan pentingnya memilah
dan membedakan antara hadis yang sahîh dan yang da’îf, para ulama menakhrîj
hadis yang tertulis dalam kitab-kitab yang beredar di masyarakat.
Sebagai sebuah buku yang akan dibaca dan dijadikan rujukan masyarakat
umum, upaya menakhrîj hadis yang ada dalam Tafsir Al-Qurân Depag RI menjadi
sebuah keharusan.
Ada beberapa kajian atas Tafsir Al-Qur’an Depag RI baik yang berbentuk
artikel lepas maupun tesis, misalnya Pluralisme Agama Dalam Al-Qur`an: Telaah
Terhadap Tafsir Departemen Agama yang ditulis oleh Jauhar Azizy (tesis UIN
Jakarta, 2007), ”Telaah Tentang Tafsir Al-Qur`an Departemen Agama RI” yang
ditulis oleh M. Shohib Tahar dalam jurnal Lektur Keagamaan (Jakarta, 2003),
”Menimbang Tafsir Depag RI: Telaah Penafsiran Surah Al-Fatihah” dalam
www.stainsalatiga.ac.id yang ditulis oleh Adang Kuswaya, ”Pengamatan Sekilas
٨
M. Quraish Shihab, dan ”Al-Qur`[a]n al-Karim wa Tafsiruh (Al-Qur`an Dan
Tafsirnya Depag RI)” sebuah artikel yang ditulis Nurul Huda.9
Masing-masing penulis tersebut di atas mengulas isi dan profil Tafsir
dengan bobot kajian yang berbeda. Jauhar Azizy dan Adang Kuswaya
menitikberatkan kajiannya pada isi dan tema yang dibahas dalam Tafsir. M.
Shohib Tahar mengulas profil dan metodologi Tafsir. Sementara Nurul Huda dan
M. Quraish Shihab mengulas isi dan metodologinya.
M. Shohib Tahar menyatakan bahwa hingga kini belum ada buku atau
karya tulis ilmiah yang mengkaji kesahîhan hadis yang ada dalam Tafsir
Al-Qur`an Depag RI, baik yang menggunakan pendekatan takhrîj maupun lainnya.10
Dengan demikian, kiranya tesis ini merupakan karya ilmiah pertama yang meneliti
kualitas hadis yang ada dalam Tafsir Depag RI.
G. Metodologi Penelitian
Objek kajian dalam tesis ini bervariasi, mulai dari hadis yang disebutkan
secara lengkap dan telah dinilai kualitasnya, hingga ungkapan yang tidak secara
lugas dinyatakan sebagai hadis namun diindikasikan sebagai hadis. Ada juga
riwayat yang dinyatakan sebagai hadis namun tanpa dijelaskan secara eksplisit
matan hadisnya, sanad, mukharrij (kitab sumber), dan kualitasnya.
Dalam melakukan kajian, penulis menggunakan kajian perpustakaan
(library research) dengan menetapkan hal-hal berikut:
1. Jika dalam Tafsir disebutkan bahwa “Rasulullah bersabda,” atau bahwa
“dalam sebuah riwayat disebutkan begini atau begitu", tanpa secara
eksplisit menjelaskan matan hadisnya, maka penulis mencari matan hadis
itu beserta mukharrijnya.
2. Jika disebutkan matan hadisnya saja, maka penulis mencari mukharrijnya
9
www.nuhamaarif.blogspot.com, tanggal 23 Agustus 2006 10
٩
3. Hadis yang telah disebutkan mukharrijnya akan dilakukan pengecekan ke
kitab yang disebutkan untuk memastikan bahwa hadis yang dimaksud
tersebut benar-benar ada dalam kitab itu.
4. Setelah hadis diketahui mukharrijnya dan didapatkan sanadnya, penulis
melakukan kajian untuk mengetahui kualitas sanadnya.
5. Jika mukharrij hadisnya al-Bukhâri dan atau Muslim, maka penulis
menilainya sahîh karena adanya kesepakatan ulama yang menyatakan
bahwa seluruh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim atau
salah satu di antara keduanya kualitasnya sahîh.11
6. Jika hadisnya terdapat dalam sunan arba’ah (Abû Dâwud, Nasâî,
al-Tirmidzî, dan Ibn Mâjah) atau kitab hadis lainnya yang sudah masyhur
seperti Musnad Ahmad, Sahîh Ibn Hibbân, Sahîh Ibn Khuzaimah,
Mustadrak al-Hâkim, dan Sunan al-Dâruqutnî, maka kualitas hadisnya
sesuai dengan kekuatan hadis tersebut dilihat dari hasil kajian sanad dan
matan mengikuti kaedah umum kritik hadis.
7. Jika ada ulama hadis yang telah memberikan penilaian atas kualitas hadis,
maka penulis menyebutkan penilaian itu sebagai pembanding dan bahan
pertimbangan.12
11
Mahmûd al-Tahhân berkata, "Terdapatnya hadis dalam salah satu al-Sahîhayn (Sahîh al-Bukhâri dan Sahîh Muslim) dapat dipastikan bahwa hadis itu sahîh. Tidak perlu dilakukan kajian atas sanadnya"
Mahmûd al-Tahhan, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Beirut: Dâr Qurân al-Karîm, 1979), cet. ll, hal. 210.
Ibn al-Salâh berkata, "Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî atau Muslim termasuk hal-hal yang dipastikan kesahîhannya…"
Ibn Salâh, 'Ulûm al-Hadîts, (Aleppo: al-Maktabah al-'Ilmiyah), tth., hal. 25 Ibn Katsîr berkata, "Aku sependapat dengan Ibn al-Salâh dalam hal ini"
Mahmûd al-Tahhan, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Beirut: Dâr Qurân al-Karîm, 1979), cet. ll, hal. 211
12
Al-Suyûtî berkata, “Ambillah penilaian hadis berdasarkan penetapan dari seorang hâfiz (pakar hadis), atau dari penilaian koletor hadis yang memiliki kualifikasi dan berkompeten”.
Muhammad Mahfûz al-Termasî, Manhaj Dzawî al-Nazar Syarh Manzûmah ’Ilm al-Atsar, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H), hal. 19
١٠
8. Jika hadisnya ada di dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis da’îf
seperti Târîkh Bagdâd dan Târîkh Ibn ‘Asâkir, maka penulis mengkaji
sanadnya dengan mencoba menganalisa argumentasi keda’îfan hadis itu
9. Terkait dengan riwayat yang masuk kategori Asbâb al-Nuzûl (peristiwa
atau kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran), penulis
menggunakan riwayat-riwayat yang dikumpulkan al-Wâhidî dalam kitab
Asbâb al-Nuzûl. Penulis memilih riwayat asbab nuzul yang akan ditakhrîj
dengan pertimbangan ketersediaan informasi terkait sanad hadisnya.
10.Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis menukil
pendapat-pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimîn) seperti al-Tirmidzî,
Ibn Hibbân, al-Bayhaqî, dan Ibn al-Jawzî, dan pendapat ulama
mutaakhirîn seperti al-Dzahabî, al-Zayla’î Haytsamî, Ibn Hajar,
al-Sakhâwi, al-Suyûtî, dan al-Munâwî. Penulis juga mengutip pendapat
ulama kontemporer seperti al-Albânî, Ahmad Syâkir, dan al-Arna’ût.
11.Penulis melakukan kajian kritik sanad dan matan dengan menggunakan
kaedah umum takhrîj hadis sebagaimana yang telah disebutkan oleh
al-Tahhân dan ulama lain.
12.Dalam melakukan kajian terhadap seorang rawi, penulis mendasarkan
penilaian kepada data-data yang terdapat dalam kitab tarâjum (biografi)
seperti Tahdzîb al-Kamâl dan Mîzân al-I’tidâl.
13.Jika ada perbedaan pendapat di antara ulama jarh wa ta’dîl mengenai
kualitas seorang rawi, maka penulis melakukan ijtihad dan komparasi
pendapat-pendapat itu.
14.Setelah menentukan kualitas sebuah hadis, jika diperlukan penulis akan
mencoba mencarikan mutâbi’ dan syawâhid-nya (hadis yang substansi
matannya sama namun sanadnya berbeda dengan hadis yang sedang
dikaji)
١١
15.Jika ada hadis atau perawi hadis yang terulang, penulis tidak melakukan
kajian ulang, dan cukup memberikan rujukan tempat pembahasannya di
halaman yang telah memuat kajian itu.
16.Dalam melakukan penukilan dan penulisan ulang hadis atau ungkapan
yang disinyalir sebagai hadis dari Tafsir Depag RI, penulis akan
menuliskannya sebagaimana tertulis dalam Tafsir itu, tanpa melakukan
penyesuaian dengan transliterasi yang penulis tetapkan.
H. Sistematika Penulisan
Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif
tentang isi tesis ini, penulis menganggap perlu mengungkapkan sistematika
penulisan tesis ini sebagaimana berikut:
Bab I berupa Pendahuluan yang mengungkap beberapa permasalahan yang
melatarbelakangi penulisan tesis ini. Permasalahan-permasalahan itu diidentifikasi
dan dirumuskan serta diberi batasan agar penulisan tesis terarah dan sesuai tujuan.
Dan untuk menghindari adanya tumpang tindih antara tesis ini dengan karya tulis
ilmiah lain, diperlukan sebuah kajian pustaka yang berisi penjelasan apakah kajian
yang ada dalam tesis ini sudah pernah ditulis oleh orang lain. Kemudian demi
tercapainya tujuan dan signifikansi tesis ini, diperlukan metodologi penulisan
yang sesuai dengan kaedah penulisan karya ilmiah. Pendahuluan ini diakhiri
dengan uraian sistematika penulisan tesis yang dimaksudkan memberikan
gambaran umum dari isi Tesis.
Bab II tentang Takhrîj hadis yang berisi hal-hal terkait dengan kegiatan
penakhrîjan hadis. Penulis memberikan gambaran singkat dan signifikan seputar
sejarah dan perkembangan kajian matan dan sanad hadis, definisi dan sejarah
perkembangan takhrîj hadis, metode yang digunakan dalam penakhrîjan hadis,
beberapa prinsip dasar takhrîj, dan manfaat takhrîj hadis.
Bab III memberikan gambaran singkat dan komprehensif tentang profil
Tafsir al-Qur`an Depag RI, metodologi penulisannya, dan gambaran umum terkait
١٢
Bab IV yang merupakan inti dari tesis ini berisi takhrîj hadis-hadis yang
ada dalam Tafsir Al-Qur`an Depag RI, sebagaimana batasan dan rumusan yang
telah disebutkan sebelumnya, dengan disertai analisa yang pada akhirnya dapat
memberikan gambaran orientasi penggunaan hadis dalam Tafsir ini.
Bab V yang menjadi penutup tesis ini berisi kesimpulan berupa
jawaban-jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang telah disebutkan dalam sub Bab
Perumusan dan Pembatasan masalah pada Bab I. Perlu juga disampaikan
saran-saran yang dapat menyempurnakan hasil dari tesis ini. Dan sebagai pelengkap
penulisan Tesis, pada bagian akhir disebutkan lampiran yang berkaitan dengan
١٣
BAB II
TAKHRÎJ HADIS
Diskursus yang berkembang selama ini terkait dengan kajian hadis adalah
seputar keotentikan hadis, dan kajian atas kesahîhan atau keda’îfan hadis.
Sependek pembacaan penulis, sejarah hanya mencatat sedikit sekali polemik yang
mengarah pada keraguan atas kehujjahan hadis, atau isu penolakan terhadap
otoritas hadis dalam hukum dan syariat Islam. Penolakan beberapa orang terhadap
otoritas hadis secara keseluruhan, sama sekali tidak berpengaruh terhadap
eksistensi hadis dan khazanah keilmuan Islam lainnya.13 Hal ini dikarenakan
lemahnya argumentasi yang digunakan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai
sebuah kekonyolan.
Dengan mengurut kronologis sejarah, kita akan dapati adanya klaim
penolakan hadis sebagai hujjah dari beberapa golongan atau sekte pada abad ke I
hingga III H, dan masa kontemporer sekarang ini. Namun klaim itu beserta
argumentasinya terbantahkan.
Dalam sejarah kita dapati fakta bahwa pada masa sahabat sudah ada
orang-orang yang dipersangkakan menolak kehujjahan hadis. Namun sebenarnya
mispersepsi terkait data sejarah terkait adanya sikap penerimaan kabar yang
diasosiasikan kepada Rasulullah, dan perbedaan penetapan kriteria hadis yang
diterima menurut masing-masing kelompok, telah menimbulkan kesan adanya
penolakan terhadap hadis sebagai hujjah.
Misalnya pada pertengahan abad I Hijriah, kita dapati klaim yang
menyatakan bahwa golongan Khawârij menolak hadis yang diriwayatkan oleh
mayoritas sahabat yang menyetujui proses arbitrase antara ’Alî bin Abû Tâlib
dengan Mu’âwiyah. Namun di waktu yang sama, mereka masih menerima hadis
yang diriwayatkan oleh sahabat yang menurut penilaian mereka masih ”belum
murtad”.
Al-Sibâ’î menuturkan bahwa Khawârij—dengan berbagai kelompoknya
yang berbeda-beda itu—sebelum terjadinya perang saudara antar sahabat, mereka
13
١٤
menganggap semua sahabat Nabi sebagai orang-orang yang dapat dipercaya.
Mereka kemudian mengafirkan ‘Alî, ‘Utsmân, orang-orang yang mengikuti
‘Perang Unta’, dua utusan perdamaian, orang-orang yang menerima keputusan
perdamaian (tahkîm), dan orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua
orang utusan perdamaian tadi. Dengan demikian mereka menolak hadis yang
diriwayatkan oleh mayoritas sahabat setelah terjadinya fitnah.
Namun pendapat al-Sibâ’î ini perlu ditinjau kembali, sebab yang jelas
kitab-kitab tulisan orang Khawârij telah punah bersamaan dengan punahnya
golongan itu, kecuali golongan ‘Ibâdiyah yang masih termasuk golongan
Khawârij. Berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh kelompok ini (‘Ibâdiyah), kita
dapati bahwa mereka menerima hadis Nabi, dan mereka meriwayatkan hadis yang
diriwayatkan melalui sahabat ‘Alî, ‘Utsmân’ ’Âisyah, Abû Hurayrah, Anas bin
Mâlik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa seluruh
golongan Khawârij menolak Hadis yang diriwayatkan para sahabat Nabi, baik
sebelum maupun sesudah peristiwa tahkîm, adalah tidak benar.14
Berdasarkan tulisan-tulisan al-Sya’fi’î, al-Khudarî menarik kesimpulan
bahwa golongan yang menolak hadis secara keseluruhan adalah Mu’tazilah.
Al-Sibâ’i tampaknya juga cenderung kepada pendapat ini. Namun sebenarnya—
seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Sibâ’i—ada kesimpangsiuran dalam
keterangan para ulama tentang sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah, apakah mereka
menerimanya secara keseluruhan, atau malah menolaknya secara keseluruhan,
atau hanya menerima yang mutawâtir dan menolak yang âhâd.15
“Menurut pendapat saya—setelah melihat sumber-sumber tadi—golongan Mu’tazilah juga seperti umumnya umat Islam, menerima hadis Nabi. Memang mereka mungkin mengkritik sejumlah hadis yang berlawanan dengan teori madzhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan”.
Demikian ujar M.M. Azami.16
Golongan Syî’ah yang masih eksis di dunia sekarang ini umumnya
kelompok Itsnâ ‘Asyariyah yang merupakan madzhab resmi negara Iran hingga
14
M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 42-43 15
M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 43-44 16
١٥
sekarang. Mereka menerima dan memakai hadis Nabi. Hanya saja ada anggapan
bahwa mayoritas sahabat—setelah Nabi wafat—sudah murtad, kecuali sekitar tiga
sampai sebelas orang saja. Maka timbul dugaan mereka tidak mau menerima
hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat tadi. Mereka hanya menerima
hadis yang diriwayatkan oleh Ahl al-Bayt (keturunan Rasulullah).17 Walau al-Suyûti sempat mencatat pengingkaran ekstrimis Syi’âh (al-Râfidah) dan kaum
zindiq terhadap kehujjahan hadis secara totalitas.18
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa sejak masa lalu umat Islam
sepakat untuk menerima hadis dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam
yang wajib dipatuhi. Hanya saja di antara mereka ada yang menerimanya dengan
beberapa syarat, seperti tiga kelompok yang telah disebutkan di atas.
Pensyaratan terhadap penerimaan hadis juga ada dalam madzhab Mâlikî
yang mensyaratkan tidak adanya pertentangan hadis dengan ‘amal ahl al-Madînah
(tradisi penduduk kota Madinah). Demikian juga madzhab Abû Hanîfah yang
mensyaratkan tiga hal: Tidak bertentangan dengan qiyâs, tidak ditentang sendiri
oleh perawinya, dan tidak masuk dalam kategori ta’umm bihî al-balwâ
(menyangkut hal ihwal masyarakat).
Kondisi yang mengesankan adanya penolakan terhadap kehujjahan hadis
ini, lenyap pada akhir abad ketiga. Penolakan ini muncul kembali pada abad
ketiga belas hijriyah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan barat.19
Sesudah abad kedua hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan
kelompok muslim mana yang tidak menerima hadis sebagai hujjah. Sementara
mereka yang menolak hadis tempo dulu, tepatnya pada abad kedua hijriyah, sudah
tidak ada lagi. Sesudah abad kedua itu, sampai kira-kira sebelas abad berikutnya
tidak terdengar adanya orang yang menolak hadis sebagai hujjah. Barulah setelah
negara-negara barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka menyebarkan
benih-benih busuk untuk melumpuhkan kekuatan Islam. pada saat itu di Irak muncul
orang yang menolak hadis.
17
M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 45-46 18’
Abdurrahmân bin Abû Bakar al-Suyûtî, Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bî al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,1987), cet. I,hal. 14
19
١٦
Di Mesir kondisi yang mengesankan adanya penolakan hadis muncul pada
masa Muhammad ‘Abduh. Ini menurut kesimpulan Abû Rayyah, apabila hal itu
benar. Pada tahun 1929, Ahmad Amin menulis buku Fajr al-Islâm di mana ia
membahas hadis Nabi seraya mencampuradukkan antara yang benar dan yang
batil. Sebuah pembahasan yang justru membuat orang ragu terhadap keotentikan
hadis.20
Para orientalis sudah lama mencurahkan perhatian untuk meneliti
ilmu-ilmu keislaman. Pada awalnya kajian mereka berkisar pada sejarah dan sastra
Islam. Mereka mulai meneliti hadis Nabi pada abad XIX, dan barangkali orang
yang pertama kali meneliti hadis adalah Ignaz Goldziher yang pada tahun 1890
mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul Muhammedanische Studien.
Karyanya ini yang kemudian menjadi rujukan utama para orientalis dalam
melakukan kajian atas hadis.
Lebih kurang empat puluh tahun kemudian, Prof. Schacht melakukan
penelitian atas sumber-sumber hadis dalam bidang fiqh. Penelitian ini dilakukan
selama sepuluh tahun, yang kemudian dipublikasikan sebagai buku dengan judul
The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Dalam karyanya ini, Schacht
berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang sahîh (otentik) terutama
hadis-hadis fiqh. Buku ini kemudian menjadi rujukan utama kedua bagi para
orientalis. Dan apabila Goldziher ‘berhasil’ membuat orang ragu terhadap
kebenaran hadis Nabi, maka Schacht ‘berhasil’ meyakinkan’ orang bahwa apa
yang sering disebut hadis itu tidak otentik berasal dari Nabi Muhammad.21
Goldziher, Shacht, Juynbol tidak ”mengusik” otoritas hadis dan
kehujjahannya. Goldziher hanya meragukan otentitas hadis dari Rasulullah.
Sementara beberapa pengaji lainnya menafikan otentisitas itu sama sekali. Logika
yang hendak dibangun dari keraguan terhadap keotentikan hadis cukup sederhana:
Jika hadis tidak otentik sebagai ajaran yang bersumber dari Rasulullah, maka
tidak mungkin ia dijadikan sumber ajaran Agama.22
20
M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya,hal. 46-48 21
M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 3-5 22
١٧
Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa Goldziher dan orientalis
lainnya tidak mengungkit kehujjahan hadis, tetapi lebih pada keotentikannya.
Walaupun jika dilanjutkan, penolakan terhadap keotentikan hadis akan berujung
kepada penolakan terhadap eksistensi hadis itu sendiri. Ketika eksistensi hadis itu
ditolak, maka berhujjah dengannya pun menjadi tertolak.
Sebagai sumber ajaran Agama setelah Alquran, hadis memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam Islam. Namun tidak seperti Alquran yang mendapat
penjagaan langsung dari Tuhan (QS. Al-Hijr ayat 9), hadis memang menghadapi
dilema seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah membuktikan bahwa
semenjak era pertama Islam, sudah banyak didapati hadis-hadispalsu.
Sadar akan pentingnya hadis dalam Islam, para ulama klasik bahkan sejak
zaman sebelum pengkodifikasian hadis secara massal, telah melakukan kajian
hadis dengan intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan
pedoman dalam menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal
sebagai ’Ulumul Hadîts (ilmu-ilmu hadis), para pengaji hadis dapat
mengidentifikasi hadis yang benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadis yang
nisbatnya lemah (da’îf) atau yang benar-benar merupakan hadis palsu.
A. Sejarah Perkembangan Kajian Matan dan Sanad Hadis
Saat seseorang mengatakan ”hadis”, maka yang terlintas dalam benak
adalah gabungan antara sanad dan matan. Dalam beberapa literatur hadis kita
dapati ungkapan hadis yang hanya berupa matan tanpa sanadnya. Hal ini lumrah
dilakukan guna menyingkat dan mempermudah penyampaian hadis, bukan karena
pembenaran atas anggapan yang menyatakan bahwa hadis adalah matan saja tanpa
sanad.
Sanad adalah mata rantai atau silsilah keguruan yang menghubungkan
seseorang dengan gurunya hingga sampai kepada Rasulullah (atau dalam kasus
١٨
terhenti pada tabi’in) yang menjadi pengantar bagi matan hadis. Sementara matan
adalah isi atau kandungan hadis.23
Sanad sering dianggap sebagai anugerah agung yang hanya dimiliki oleh
umat Rasulullah dan tidak dimiliki umat agama lain. Dengan sanad, otentitas kitab
suci Alquran dan hadis dapat dijaga. Di waktu yang sama kitab suci agama lain
ternodai oleh oknum-oknum pimpinan agamanya yang menyisipkan banyak
tambahan, dan mengurangi banyak keterangan dalam kitab suci mereka.
Ketiadaan sanad membuat mustahil penelusuran untuk mengetahui mana ”matan”
yang otentik dan mana ”matan” yang palsu dalam kitab suci mereka. Ibn
al-Mubârak menilai sanad sebagai bagian dari Agama. Tanpa sanad, tiap orang akan
berkata-kata semaunya, dan kemudian mengklaim bahwa perkataan itu adalah
hadis.24 Muhammad bin Sîrîn, al-Dahhâk bin Muzâhim, dan Mâlik bin Anas juga
menyatakan bahwa hadis adalah bagian dari Agama, dan kita harus melihat dari
siapa Agama ini kita ambil.25
Meneliti dari mana ”Agama” diambil, sama dengan meneliti pembawa
Agama itu sendiri. Kajian atas pembawa kabar adalah istilah sederhana dari kajian
sanad.
Kajian kesahîhan hadis biasanya diawali dengan kajian atas sanadnya.
Ketika kualitas sanadnya sudah ditetapkan, penilaian hadis itu linear (sama)
dengan penilaian atas sanadnya itu. Bahkan ada kecenderungan jika sanad hadis
telah ditetapkan sahîh, sementara matannya bermasalah, maka matannya yang
akan ditakwilkan.
Sebagai sebuah alat ukur penilaian kualitas hadis, para ulama merumuskan
kriteria kesahîhan hdis, yaitu ketersambungan sanad, seluruh perawinya bersifat
adil dan dabt (perawi yang memiliki kedua sifat ini disebut tsiqah), tidak ada
syadz dan ’illah. Kelima kriteria ini diterapkan pada kajian sanad, dan hanya
kriteria keempat dan kelima yang digunakan dalam kajian matan.
23
Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 157-158 24
Al-Tahhân, Usûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, hal. 158 25 ’
١٩
Secara zahir, kajian sanad memang lebih banyak menyita perhatian
orang-orang yang meneliti hadis dari pada kajian atas matan. Hal ini bisa jadi karena
kondisi matan yang jumlahnya statis sementara sanad bersifat dinamis dan
cenderung bertambah banyak sejalan dengan banyaknya jumlah perawi yang
diteliti. Semakin panjang jalur periwayatan sebuah hadis, semakin banyak pula
perawi yang dikaji. Ditambah lagi adanya fakta banyaknya sebuah matan yang
memiliki sanad lebih dari satu.
Sebenarnya, kajian hadis yang dilakukan tidak diprioritaskan pada
sanadnya, sebagaimana yang dipersangkakan beberapa orang, namun juga
dilakukan pada matannya. Hanya saja objek kajian yang lebih banyak memang
ada pada sanad hadis, sehingga timbul kesan bahwa kajian sanad memang lebih
mendominasi dalam kajian hadis.
Kajian atas sanad dan matan sudah ada di masa awal Islam. Beberapa
pakar semisal Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa kajian berupa kritik matan
Hadis muncul lebih dahulu dibanding kritik sanadnya. Menurutnya, kajian atas
matan sudah dilakukan pada zaman Rasulullah, sementara kajian sanad baru
diberlakukan pasca peristiwa terbunuhnya khalifah ’Utsmân bin ’Affân pada
tahun 35 H.26
Pendapat Ali Mustafa ini masih dapat diperdebatkan, di mana kajian sanad
dalam bentuk yang sederhana telah dilakukan oleh Rasulullah. Misalnya pujian
Rasulullah terhadap ’Abdullâh bin ’Umar yang disampaikan kepada Hafsah salah
seorang istri beliau yang juga saudara dari ’Abdullâh bin ’Umar itu sendiri,
ﱠ
ﻥﺇ
ﺒﻋ
ﺪ
ﺭ
ﷲﺍ
ﺟ
ِ
ﻟﺎﺻ
ﻞ
ﺢ
٢٧”Sesungguhnya ’Abdullâh bin ’Umar adalah seorang laki-laki yang
shaleh”.
26
AMY, ”Kata Pengantar” dalam Kritik Matan Hadis, Hasjim Abbas, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004), cet. I, hal. x
27