• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX Di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX Di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional

di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok Rd. Arif Mulyadi

Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

Volume 2 Nomor 2 Halaman 121-234

Depok, Agustus 2017

(2)
(3)

ISSN : 2503-1651

Nomor 2

Volume 2 Halaman

121-234

Depok, Agustus 2017

(4)

ISSN : 2503-1651

The Safina is a journal published by Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) PERSON IN CHARGE

Asep Kusnadi EDITOR IN CHIEF

Rd. Arif Mulyadi EDITORIAL BOARDS

IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim

DESIGN GRAPHIC & LAYOUT Abdullah Husein

Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Submissions should be sent to the editor Safina,

Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143

(5)

DAFTAR ISI

Iftitah IV Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam 121-138 Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL)

dalam Perspektif Pendidikan Islam 139-163

Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional

di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung 165-187 Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih

Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok 189-211 Rd. Arif Mulyadi

Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami

di Jakarta Selatan 213-234

Sugiharto

Indeks

(6)

IFTITAH

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.

Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi

Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.

Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif

Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.

Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam

(7)

VII safina Volume 2/Nomor 1/ 2017

ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu.

Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok

Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.

(8)

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!

(9)

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN PROFETIK

DALAM MENUMBUHKAN BUDAYA CINTA KASIH

SISWA KELAS IX DI PONDOK PESANTREN (MTS)

HIMMATUL ALIYAH DEPOK

Rd. Arif Mulyadi

Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madinatul Ilmi Depok

mulyadi.arif12@gmail.com

Muhammad Muchdi Ardansyah ardansyah10@gmail.com

Abstrak

(10)

Pendahuluan

Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia berlangsung secara damai, berbeda dengan daerah-daerah lain di mana kedatangan Islam terjadi melalui peperangan, seperti di Mesir, Irak, Parsi dan beberapa daerah lainnya. Peranan para pedagang dan mubalig sangat besar dalam proses islamisasi di Indonesia. Salah satu jalur proses Islamisasi itu adalah pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan adalah pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan oleh Islam (Daulay 2006, 3).

Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa haruslah diprioritaskan. Kualitas pendidikan sangatlah penting, karena hanya manusia berkualitas saja yang mampu bertahan hidup di masa depan. Manusia yang dapat bersaing dalam masa di mana dunia semakin sengit tingkat kompetisinya adalah manusia yang berkualitas. Manusia yang demikianlah yang diharapkan dapat bersama dengan manusia yang lain untuk turut berpartisipasi dalam percaturan dunia yang senantiasa berubah dan penuh teka-teki.

Untuk menciptakan manusia yang berkualitas salah satunya adalah menumbuhkan pendidikan profetik, yaitu manusia bisa mencontoh atau meneladani perilaku nabi. Semua orang (beragama) tahu bahwa sosok manusia yang memiliki peran sempurna dalam kacamata manusia adalah para nabi (Rosyadi 2009, 128).

Dengan pola pendidikan profetik (mencontoh dan meneladani perilaku nabi), tentu menjadi peta konsep yang jelas dalam membentuk manusia seutuhnya. Oleh karena itu, pendidikan profetik harus menjadi dasar sekaligus nilai dalam sistem pendidikan. Wajah Pendidikan Indonesia akan menampilkan ekspresi dengan penuh percaya diri apabila ada kejelasan ketika menunjukkan jatidirinya. Jatidiri itu adalah jiwa dari kepribadian manusia yang ideal sepanjang

kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

(11)

191 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

zaman seperti perilaku yang telah dicontohkan oleh nabi.

Apa yang dipraktikkan para guru sangat wajar jika kita menyebutnya pendidikan profetik, yakni sebuah sistem pendidikan berdasar dan mencontoh perilaku nabi, peran yang pernah dilakukan oleh para nabi, peran yang berusaha memberikan motivasi-positif kepada murid yang awalnya tidak yakin akan potensi dan bakatnya, tidak ada yang pantas kita lekatkan terhadap pribadi dengan peran tersebut selain pribadi yang pernah dipraktikkan oleh para nabi.

Begitu pula, peran yang meyakinkan bahwa semua dalam kehidupan ini membutuhkan kecermatan pilihan dan setiap pilihan pun pasti mengandung risiko, tiada pula yang bisa kita katakan kepada guru, selain pendidikan profetik. Belum lagi, sikap yang senantiasa bersemangat memberikan bimbingan kepada anak didik, meski mereka merupakan anak-anak yang dalam tahap proses belajar (Fakhruddin 2009, 93-95).

Sementara itu di sisi lain, menurut pengamatan peneliti, pada saat telah terjadi perubahan budaya yang mengarah pada sikap yang mengagungkan kebendaan dan sikap individualistik, sehingga nilai-nilai kepedulian, gotong royong, sopan santun dan menjaga tali silaturahmi sudah mulai berkurang di kalangan masyarakat pada umumnya dan yang lebih memprihatinkan hal ini sudah menular di lingkungan sekolah. Hal ini ditandai dengan adanya fenomena kekerasan, terorisme dan bullying di lingkungan sekolah. Kondisi yang demikian ini menurut hemat peneliti dikarenakan berkurangnya sifat cinta kasih yang sudah mulai memudar di kalangan masyarakat maupun di lingkungan sekolah.

Temuan mengejutkan di dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70% (Qadar 2015).

(12)

KASUS TAWURAN PELAJAR DI JABODETABEK

JUMLAH KORBAN 2013 2014 2015

KASUS

1. TAWURAN PELAJAR

LUKA RINGAN 54 62 48

LUKA BERAT 31 22 39

MENINGGAL 17 12 17

JUMLAH KORBAN 102 96 104 302

TINGKAT PENDIDIKAN PELAKU TAWURAN

SD 4 3 2

SMP 24 37 19

SMA 43 32 28

JUMLAH KORBAN 71 72 49 192

Pengolahan data Januari - September 2015

Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2015

Kondisi tersebut menunjukkan betapa rendahnya budaya cinta kasih di kalangan pelajar di Indonesia, padahal diketahui bahwa sifat cinta kasih dalam pandangan Islam adalah faktor terpenting dalam kehidupan yang harus senantiasa dijaga. Hal ini dibuktikan dengan surat al-Fatihah ayat 1yang berbunyi:

ِمي ِح َّرلا ِنا َم

ْحَّرلا ِ َّللا ِم ْسِب

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang

Ayat ini diwajibkan bagi setiap muslim untuk melafazkan sebelum melakukan kegiatan. Tujuan dari ayat ini menjadi pembuka setiap niat muslim dalam melaksanakan kegiatan tidak lain adalah agar setiap muslim dalam kegiatan tersebut selalu dilandasi oleh sikap cinta kasih, seperti sifat Allah yang al-Rahman-al-Rahim. Maka apabila setiap muslim mampu menghayati ayat ini kedamaian dan ketenteraman akan dapat dicapai, dan Islam benar-benar menjadi agama yang rahmatan lil alamin.

Ungkapan bismillah sebenarnya memiliki dua makna sekaligus,

(13)

193 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

perwujudan) daripada iman seseorang kepada Allah Swt Yang Maha Agung; kedua, yaitu memahami sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang (yang penuh dengan sifat rahmah dan rahimnya). Dengan demikian tidak ada tempat bagi seorang muslim untuk berlaku egois, rakus, kekerasan dan ketidaksantunan, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mulia (Sirry 2003, 67-69).

Untuk mengembalikan budaya positif tersebut dapat tumbuh dan berkembang kembali kepada masyarakat Indonesia maka salah satu jalan yang paling tepat menurut penilaian dan pengamatan peneliti adalah dengan mengembangkan system pendidikan yang berdasar pada pendidikan profetik, yaitu system pendidikan yang senantiasa mencontoh dan meneladani sifat Nabi Muhammad yang mampu menumbuhkan budaya cinta kasih (Dauilay 2006, 25-26).

Dari hasil observasi selama melakukan penelitian di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok, peneliti mendapatkan data sebagai berikut.

Tawuran Pelajar 0 0 0

Narkoba 0 0 0

Perzinaan 0 0 0

bullying (kekerasan fisik / psikologis)

0 0 0

Lain-lain :

Jumlah murid di DO karena pelanggaran

0 0 0

Jumlah kelulusan 100% 100% 100%

Dari data tersebut jika dibandingkan dengan data pelanggaran siswa secara nasional dan juga dibandingkan dengan data dari KPAI tentang data tawuran pelajar di Jabodetabek, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa kondisi sistem pengajaran yang ada di Pondok Pesantren ini cukup baik, dimana tidak pernah terjadi jenis pelanggaran berat yang terjadi di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok.

(14)

sistem pendidikan profetik yang diterapkan di Pondok Pesantren, dimana selama observasi dan tinggal di pondok pesantren ini, peneliti menemukan bahwa pendidikan agama Islam dilakukan dengan baik berikut dengan bimbingan ritualnya secara langsung oleh para ustaz dan ustazah. Artinya, kurikulum pendidikan agama Islam tidak hanya diajarkan secara teori saja tetapi penerapan praktik keagamaan dibimbing dan diawasi secara langsung oleh para ustaz di Pondok Pesantren ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti sistem pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren ini, tentang “Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya

Cinta Kasih Siswa Kelas XI di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok.”

Pembahasan

Pengertian Efektivitas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti akibat, pengaruh atau kesan, bisa diartikan sebagai kegiatan yang bisa memberikan hasil yang memuaskan (KBBI 2008, 352). Dapat dikatakan juga efektivitas merupakan keterkaitan antara tujuan dan hasil yang dinyatakan, dan menunjukkan derajat kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai.

Efektivitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran. Selain itu, efektivitas juga dapat dilihat dari bagaimana tingkat kepuasan yang dicapai oleh orang. Efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan seseorang dalam mencapai sararan atau tujuan, atau tingkat pencapaian tujuan EDITED (H 2009, 31).

Selain pendapat di atas di bawah ini peneliti sampaikan beberapa pendapat dari para ahli terkait dengan definisi tentang efektitas, sebagai berikut.

Menurut Sondang P. Siagian dalam buku Manajemen Sumber

(15)

195 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.” (Siagian 2009, 400).

Sedangkan menurut Hidayat dalam buku yang sama menjelaskan bahwa: “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai, di mana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.” (Siagian 2009, 401)

Pendapat lain lebih jelas dan rinci dikemukakan oleh Muasaroh, dalam jurnal Manajemen (tentang pengertian efektivitas dan landasan teori efektivitas yang diterbitkan dalam www. Literaturbook.blog spot), dinyatakan bahwa efektivitas suatu program dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain:

(1) Aspek tugas atau fungsi, yaitu lembaga dikatakan efektivitas jika melaksanakan tugas atau fungsinya, begitu juga suatu program pembelajaran akan efektif jika tugas dan fungsinya dapat dilaksanakan dengan baik dan peserta didik belajar dengan baik; (2) Aspek rencana atau program, yang dimaksud dengan rencana atau program di sini adalah rencana pembelajaran yang terprogram. Jika seluruh rencana dapat dilaksanakan, rencana atau program dikatakan efektif;

(3) Aspek ketentuan dan peraturan, efektivitas suatu program juga dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat dalam rangka menjaga berlangsungnya proses kegiatannya. Aspek ini mencakup aturan-aturan baik yang berhubungan dengan guru maupun yang berhubungan dengan peserta didik. Jika aturan ini dilaksanakan dengan baik berarti ketentuan atau aturan telah berlaku secara efektif; dan

(4) Aspek tujuan atau kondisi ideal, suatu program kegiatan dikatakan efektif dari sudut hasil jika tujuan atau kondisi ideal program tersebut dapat dicapai. Penilaian aspek ini dapat dilihat dari prestasi yang dicapai oleh peserta didik (Muasaroh 2014).

Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan atau program dikatakan efektif bila manfaat atau hasil usaha yang dihasilkan sesuai dengan apa yang diharapkan. Jadi efektivitas adalah tingkat ukuran seberapa jauh keberhasilan suatu tujuan yang dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.

(16)

ini, peneliti menggunakan teknik pengukuran kualitatif, yaitu dengan menyimpulkan dari hasil: observasi, wawancara dan dokumentasi yang peneliti dapatkan. Dari ketiga unsur tersebut peneliti menyimpulkan tingkat efektivitas sistem pendidikan profetik yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok.

Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata “didik”. Kata ini mendapatkan awalan me- sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan, pimpinan, mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.

Selanjutnya, pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Syah 2010, 10).

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Sadulloh 2011, 73). Selain itu pendidikan merupakan lingkungan yang memiliki nilai dan peran strategis untuk meningkatkan pemberdayaan individu sehingga terbangun pengembangan sumber daya (Batubara 2004, 76).

Sejatinya, pendidikan adalah usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, yang didapat dari lembaga formal maupun nonformal. Sedangkan makna pendidikan secara sederhananya adalah sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.

Berikut beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan: Menurut Langeveld, pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada arah tertuju kepada pendewasaan anak itu atau membantu agar cukup melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa (Kasan 2009, 7-10).

(17)

197 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

membantu, dan membimbing seseorang untuk mengembangkan sega-la potensinya sehingga mencapai kualitas diri yang lebih baik (Sasega-lahu- (Salahu-din 2011, 19).

Menurut John Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia (Muslich 2011, 67).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan, pendidikan adalah suatu ke giat an pembinaan dan bimbingan sebagai usaha menumbuhkan dan menyadarkan potensi yang ada pada diri manusia dari aspek rohani dan jasmani, sehingga secara efektif dan efisien dapat mencapai kesempurnaan untuk menjalani kehidupannya di masa yang akan datang.

Pengertian Profetik

Kata “profetik” berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi (Echols & Shadily 2006, 452). Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti dengan penuh cinta kasih dan dapat dipercaya atau amanah (Roqib 2011, 46).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa profetik adalah kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat yang harus diteladani dengan penuh cinta kasih, dapat dipercaya atau amanah, sehingga bisa menjadi salah satu figur bagi umat manusia.

Pengertian Pendidikan Profetik

Pada dasarnya pendidikan adalah permasalahan kemanusiaan, maka sebagai sasaran bidik yang pertama adalah manusia atau masyarakat. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan menampilkan pengertian yang memandang manusia sebagai pelaku pendidikan. Oleh karena itu sasaran dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi yang amanah dan penuh dengan cinta kasih. Pendidikan yang lepas dari dasar-dasar inilah yang pada akhirnya melahirkan tatacara hidup yang tidak lagi membangun bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan (Rosyadi 2009, 304-305).

(18)

pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran Nabi Muhammad saw, maka prinsip dalam pendidikan profetik harus mengikuti keteladan perilaku Nabi. Dalam memberikan suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Alquran dan Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai. Karena pada dasarnya peran pendidikan Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

Pendidikan profetik merupakan proses transfer pengetahuan dan nilai yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah Swt) pencipta alam semesta, sekaligus memahaminya untuk membangun komunitas sosial yang ideal. Dalam pendidikan profetik peserta didiknya digambarkan sebagai individu sekaligus komunitas/ kelompok, sehingga standar keberhasilannya diukur berdasarkan pencapaian yang masuk ke dalam individu dan terlihat hasilnya secara sosial (Roqib 2011, 88).

Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya menggambarkan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan. Namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Roqib 2011, 46).

Menurut Hornby, sebagaimana yang dikutip oleh Yadi Purwanto, pendidikan profetik adalah suatu proses yang menjadikan manusia mrnjadi model dalam bidang teori yang merujuk pada ajaran Tuhan. Penggunaan istilah profetik dalam tulisan ini tidak merujuk pada pengertian pribadi khusus yang ditunjuk Tuhan, seperti misal rasul atau nabi, tetapi hanya merujuk pada sifat-sifat dan karakter pribadi tersebut (Purwanto 2007, 63).

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut di atas peneliti menyimpulkan bahwa, pendidikan profetik adalah suatu sistem pendidikan agama Islam yang diarahkan kepada murid/santri untuk senantiasa meneladani sifat dan perilaku Rasulullah saw. Dengan demikian, proses pelaksanaan pendidikan ini tidak hanya bertumpu mempelajari pendidikan teori agama Islam (seperti di sekolah umum pada saat ini), tetapi praktik pelaksanaan ritual agama Islam dibimbing oleh para ustaz dan ustazah secara langsung dan berkesinambungan.

(19)

199 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

dari pendidikan profetik, sementara pendidikan profetik adalah sistem pendidikan agama Islam yang lebih dalam, tidak hanya penguasaan teori agama namun praktik ritual keagamaan diajar kan, dibimbing dan dikontrol oleh para ustaz atau ustazah secara berkesinambungan sesuai dengan yang dituntutkan oleh Rasulullah secara berkesinambungan.

Pengertian Budaya

Apabila ditinjau dari asal katanya, “Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Budhayah, yang merupakan bentuk jamak dari “Budhi yang berarti Budi atau Akal. Dalam hal ini, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal (Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat 2016, 25).

Kebudayaan atau yang dapat disebut juga “Peradaban mengandung pengertian yang sangat luas dan mengandung pemahaman perasaan suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, kebiasaan dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Elly M. Setiadi, K.A. Hakam, & R. Effendi 2007, 68).

Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, segala se-suatu yang diciptakan oleh sekelompok manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itulah yang disebut kebudayaan. Karena itu, tidak ada sekelompok manusia yang tidak berkebudayaan, budaya sekolompok manusia itu sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualitas dan nilai yang dianut oleh kelompoknya (Rosyadi 2009, 40).

Dari uraian pendapat para ahli tersebut dapat diketahui bahwa unsur kebudayaan meliputi:

a) Kebudayaan merupakan bentuk suatu peradaban atau sistem nilai yang disepakati.

b) Kebudayaan diciptakan oleh sekelompok orang atau masyarakat pada area geografis tertentu.

c) Kebudayaan berdasarkan atas pengetahuan, seni, moral, hukum dan kebiasaan yang dianut.

(20)

Wujud Budaya

Menurut Ig. Dodiet Aditya Setyawan, SKM, MPH, secara sederhana membagi dimensi wujud dari budaya, terbagi menjadi tiga yaitu (Sulaeman 2012, 93):

a) Wujud Sistem Budaya Sifatnya Abstrak

Tidak bisa dilihat. Berupa kompleks gagasan, ide-ide, konsep, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang berfungsi untuk mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia serta perbuatannya dalam masyarakat.

b) Wujud Sistem Sosial

Bersifat konkret, dapat diamati atau diobservasi. Berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan yang ada dalam masyarakat. Gotong royong, kerja sama, musyawarah, dan lain-lain.

c) Wujud Kebudayaan Fisik

Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Hasil karya manusia tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah benda dalam bentuk yang konkret (alat makan, cocok tanam, dan lain-lain) sehingga disebut Kebudayaan Fisik.

Pengertian Cinta Kasih

Menurut M. Dawam Rahardjo, cinta kasih adalah sifat kelembutan hati yang mengharuskan berbuat kebajikan kepada semua umat yang diciptakan Allah Swt (Rahardjo 1996, 212).

Menurut Khalid Jamal, cinta kasih adalah ungkapan perasaan jiwa, ekspresi hati dan gejolak naluri jiwa manusia yang penuh dengan semangat untuk merawat, menghargai dengan penuh penghormatan atas suatu objek (Jamal 2007, 16).

Menurut Ibul Qayyim Al-Jauziah, cinta kasih dalam Islam adalah pendidikan ilahi yang terkait dengan emosi dan perasaan yang positif. Cinta kasih itu membina moral dan membunuh insting negatif manusia sehingga cinta kasih menjadi roh dari iman dan amal setiap muslim (al-Jauziah 1998, 357).

(21)

201 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

cinta kasih meliputi beberapa hal, antara lain:

a) Dorongan manusia untuk senantiasa berbuat kebajikan dengan penuh kelembutan.

b) Ungkapan hati untuk senantiasa berkeinginan merawat dan menghargai sesuatu objek dengan penuh penghormatan.

c) Semangat cinta kasih merupakan roh dari iman dan merupakan pendidikan Ilahi, sehingga membina moral dan membunuh insting negatif manusia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian atau definisi Cinta Kasih adalah roh dari iman seseorang yang mendorong untuk selalu berkeinginan untuk merawat, menghargai, menghormati dengan penuh cinta kasih dan kelembutan.

Dalam kehidupan sehari hari cinta kasih selalu berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan ma-nusia dengan alam sekitarnya.

Macam -Macam Jenis Cinta Kasih

Manusia dianugerahi oleh Tuhan rasa cinta kasih. Cinta kasih yang ada pada manusia dapat berwujud dalam berbagai macam yaitu (Munandar 1998, 127):

a. Cinta Diri

Secara alamiah manusia mencintai dirinya sendiri. Sebaliknya, manusia membenci segala sesuatu yang menghalangi hidupnya atau yang menghambat aktualisasi dirinya. Cinta diri erat kaitannya dengan menjaga diri. Manusia menuntut segala sesuatu yang bermanfaat atau berguna bagi dirinya. Gejala yang menunjukkan kecintaan manusia terhadap dirinya sendiri ialah kecintaan yang luar biasa terhadap harta benda (materi). Sebab manusia beranggapan dengan harta benda ia dapat mewujudkan semua keinginannya guna mencapai kesenangan dan kemewahan hidup. Cinta terhadap diri tidak harus dihilangkan, tetapi perlu diimbangkan dengan cinta kepada orang lain untuk berbuat baik. Inilah yang dimaksud dengan cinta diri yang ideal.

b. Cinta Kepada Sesama Manusia

(22)

kepada sesama manusia merupakan watak dari manusia itu sendiri, selain watak manusia sebagai pembenci dan bersifat kikir terhadap manusia lainnya. Motivasi seseorang mencintai sesamanya, menurut persepsi sosiologis, disebabkan karena manusia tidak dapat hidup sendirian (manusia sebagai makhluk sosial). Menurut persepsi agama (Islam), mencintai sesama manusia itu merupakan kewajiban. Bahkan dalam batas suatu kepercayaan, sesama manusia dianggap saudara (seiman).

c. Cinta Kepada Allah SWT

Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah SWT merupakan pendorong dan mengarahkannya kepada penundukan semua makhluk kecintaan lainnya. Cinta kepada Allah SWT akan membuat seseorang menjadi mencintai sesama manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan, semua makhluk Allah SWT, dan seluruh alam semesta. Hal ini terjadi karena semua wujud dipandang merupakan perwujudan Tuhannya, sebagai sumber kerinduan spiritualnya dan harapan kalbunya.

d. Cinta Kepada Rasulullah SAW

Cinta kepada Rasulullah (Muhammad saw) merupakan peringkat kedua setelah cinta kepada Allah Swt. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad saw bagi kaum muslimin merupakan suri teladan atau contoh ideal yang sempurna bagi manusia, baik dalam tingkah laku, moral, maupun berbagai sifat luhur lainnya. Dan sesungguhnya kamu

(Muhammad SAW) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. 68:4).

e. Cinta Kepada Ibu Bapak (orang tua)

Cinta kepada orang tua dalam ajaran Islam sangat mendasar, menentukan rida-tidaknya Tuhan kepada manusia tersebut. Sabda Nabi Muhammad saw, “Keridaan Allah bergantung kepada keridaan

kedua orangtua, dan kemurkaan Allah bergantung kepada kemurkaan kedua orang tua.” (HR. Tirmidzi). Khusus mengenai cinta kepada orang tua ini, Tuhan memperingatkan dengan keras melalui ajaran akhlak mulia dan langsung dengan tata kramanya.

Menurut Ramdhani Wahyu, M.Ag, M.Si. membagi tahapan atau tingkatan cinta menjadi lebih sederhana, yaitu:

1) Cinta yang Agung, yaitu cinta kepada Allah, Rasul dan Islam dengan jihad sebagai buktinya.

(23)

203 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Ibu, Bapak, Guru, anak istri, kaum kerabat dan handai tolan. 3) Cinta bawahan, mencintai sesuatu yang melebihi cintanya

terhadap Allah, Rasul dan Islam (Wahyu 2008, 46).

Penjelasan dari hal tersebut di atas ditujukan untuk mengetahui bagaimana kita melaksanakan cinta kasih tersebut sesuai dengan objeknya dan untuk mengetahui tingkatan atau tahapan seberapa jauh atau seberapa tinggi nilai cinta kasih yang kita punyai.

Unsur Cinta Kasih dalam Hubungan Antar Manusia

Beberapa unsur yang menjadi dasar adanya cinta kasih dalam hubungan antarmanusia meliputi (Wahyu 2008, 145):

a. Afeksi: menghargai orang lain.

b. Reciprocation: cinta yang saling menguntungkan (bukan saling memanfaatkan).

c. Commitment: keinginan untuk mengabadikan cinta, tekad yang kuat dalam suatu hubungan.

d. Keintiman emosional: berbagi emosi dan rasa. e. Kinship: ikatan keluarga.

f. Passion: Hasrat atau nafsu seksual yang cenderung menggebu-gebu. g. Physical intimacy: berbagi kehidupan erat satu sama lain secara

fisik, termasuk di dalamnya hubungan seksual.

h. Self-interest: cinta yang mengharapkan imbalan pribadi, cenderung egois dan ada keinginan untuk memanfaatkan pasangan.

i. Service: keinginan untuk membantu atau melayani

Hubungan cinta kasih antar manusia dalam penelitian ini akan terwujud bila memenuhi unsur :

1. Apabila tumbuh sikap saling menghormati di antara manusia. Hal ini dicerminkan dalam: sikap, sopan santun dan kepatuhan 2. Apabila tumbuh sikap toleransi di antara sesame. Hal ini dicerminkan

dalam: penerimaan adanya perbedaan dengan suka rela

3. Apabila tumbuh sikap empati di antara sesame. Hal ini ditandai dengan adaya rasa belas kasih, perasaan senasib dan peduli

terhadap penderitaan orang lain.

4. Apabila tumbuh budaya silaturahim di antara sesama. Hal ini ditandai oleh adanya keakraban, pemahaman latar belakang

(24)

5. Apabila tumbuh budaya gotong royong, yang ditandai oleh adanya sikap kerelaan, kebersamaan dan kekompakan.

Dasar Pengertian atau Konsep Cinta Kasih Menurut Islam

Cinta kasih menurut pandangan Islam adalah sangat jelas. Hal ini tercantum dalam Al-Fatihah ayat 1 yang menjadi pedoman dan dasar bagi seluruh umat muslim, dimana dalam setiap melaksanakan kegiatan diwajibkan untuk memulai dengan membaca:

ِمي ِح َّرلا ِنا َم

ْحَّرلا ِ َّللا ِم ْسِب

Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi

Maha Penyayang.

Makna dari ayat tersebut menegaskan bahwa apa pun yang dilakukan oleh umat muslim harus dilandasi oleh rasa cinta kasih, sebagaimana sifat Allah yang al-Rahman dan al-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).

Surat Al-Fatihah ayat 1 sebenarnya mempunyai dua makna sekaligus: pertama, dengan membaca surat ini kita akan mengingat akan keagungan Allah Swt dan ini merupakan ekspresi dari iman seorang muslim kepada Allah Swt; kedua, adalah memahami sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, artinya keagungan Allah Swt tersebut dijelaskan dalam sifat-sifatnya yang penuh dengan cinta kasih (Zuhairi Misrawi & Novriantoni 2003, 127).

Dengan senantiasa menyebut ayat tersebut dalam setiap kegiatan, dapat disimpulkan bahwa semestinya tidak ada tempat bagi seorang muslim dalam setiap melakukan kegiatan yang dilandasi oleh sifat amarah, dengki dan iri, kecuali hanya dengan sifat yang penuh dengan cita kasih dalam setiap tindakannya.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat dirumuskan pengertian kasih sayang dan kelembutan menurut pandangan Islam, sebagai berikut. 1. Kasih sayang dan kelembutan merupakan ciri khas manusiawi. 2. Kasih sayang dan kelembutan merupakan satu hal yang sangat

(25)

205 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

3. Kasih sayang dan kelembutan merupakan salah satu roh dari iman. Ini merupakan pemahaman dalam Islam.

Dapat disimpulkan, kasih sayang dan kelembutan atau cinta kasih bukan hanya dikaitkan hubungan antara manusia dengan dirinya dan dengan manusia yang lainnya, tetapi juga terhadap makhluk lain ciptaan Sang Khalik, misalnya lingkungan alam sekitar.

Peranan Mendidik dengan Budaya Cinta Kasih

Terhadap Perkembangan Mental

Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya dan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Sehubungan dengan tujuan tersebut, pemerintah senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dasar agar dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal berkualitas dan berbobot serta membangun watak bangsa.

Namun sangat disayangkan dalam dunia pendidikan hanya sedikit terpengaruh oleh perubahan nilai tersebut, terutama dalam hal hubungan antara guru dan siswa masih menganut gaya feodal.

Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya dijumpai guru-guru yang sangat membatasi diri anak didiknya hanya karena takut kewibawaannya sebagai guru jatuh. Padahal kewibawaan guru bukan ditentukan oleh kedekatannya dengan anak didik, tetapi lebih ditentukan oleh kepandaiannya menempatkan diri dalam fungsinya sebagai pendidik.

Dengan kata lain, bila dalam melaksanakan tugasnya guru bersikap adil dan bijaksana dalam segala aspek yang berhubungan dengan proses pembelajaran, sudah pasti anak didik akan tetap hormat dan segan kepada guru tersebut.

Dengan demikian, demi kemajuan pendidikan di masa mendatang sudah saatnya guru-guru berusaha mengubah cara pembelajarannya dengan menerapkan pendekatan hubungan sosial dengan siswa. Guru yang diharapkan di masa mendatang adalah guru yang dapat berkedudukan sebagai pendidik, sahabat, dan orang tua bagi anak didiknya (Gie 1998, 9).

(26)

ataupun orang tua bagi anak didiknya, pada intinya dengan pendekatan sistem pendidikan “cinta kasih” dimana guru dengan kelembutan dan kasih sayangnya maka kewibawaan seorang guru tidak akan pernah pudar, bahkan sebaliknya siswa akan senantiasa memberikan penghargaan dan penghormatan yang cukup kepada para guru sebagai pendidik. Inilah esensi atau nilai utama dari seorang guru (D. Syaiful Bahri & Asuran Zain 1997, 203).

Dengan demikian bila peran-peran itu dapat dimainkan dengan baik, anak didik sebagai penonton akan terkesan. Perasaan terkesan pada guru menyebabkan anak didik antusias dan bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini akan membawa dampak positif bagi peningkatan prestasi belajarnya, karena kesan yang mendalam dapat memunculkan minat untuk mengkaji materi yang disampaikan guru. Adanya minat menyebabkan timbulnya kegembiraan dalam belajar yang akhirnya pikiran mereka terkonsentrasi pada pelajaran. Inilah tujuan yang diharapkan terwujud bila pendekatan kasih sayang diterapkan dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan atas uraian diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa sistem pendidikan yang mengedepankan perhatian, penghargaan yang seimbang dan dengan penuh kelembutan tidak hanya akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar peserta didik, tetapi juga mampu mengembangkan budaya “cinta kasih” di lingkungan sekolah. Dengan terbentuknya mental cinta kasih di lingkungan sekolah, dengan sendirinya akan tercipta “Budaya Cinta Kasih“ sesuai dengan nilai-nilai Islami di lingkungan sekolah.

Kerangka Berpikir

Menentukan Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memilih dua variabel yang akan diteliti, yaitu Pendidikan Profetik (Variabel Independen/ Variable bebas) dan Budaya Cinta Kasih (Variabel Dependen/ Variabel yang dipengaruhi).

Salah satu bait dari syair lagu Indonesia Raya adalah berbunyi “bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, kalau direnungkan dengan sungguh-sungguh syair ini mengandung filosofi

(27)

207 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

yang sangat dalam, yaitu untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, maka satu hal yang paling utama, adalah membangun jiwanya (rohani/mental) manusia terlebih dahulu, baru membangun badan (jasmaninya), karena membangun jiwa relatif jauh lebih susah dari pada membangun fisik/jasmani.

Sebagai umat Islam, kita mestinya sudah tidak perlu ragu dan bingung untuk mencari contoh manusia yang berakhlak mulia, sosok paling mulia dalam berakhlak adalah Nabi dan Rasul kita Muhammad saw. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, agar tidak berpaling kepada yang lain untuk mencari teladan dalam berakhlak yang berbunyi,

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah (33: 21).

Dengan ayat ini Allah ingin menegaskan kepada umat manusia, Rasulullah Muhamad Saw sebagai manusia yang paling layak untuk diteladani dalam segala tindakannya. Beliau sebagai nabi dan utusan Allah yang terakhir yang memiliki keistimewaan dibanding nabi-nabi sebelumnya. Salah satu keistimewaannya adalah misi risalah Muhammad tidak terbatas pada umat (bangsa) tertentu, tetapi meliputi semua umat manusia (rahmatan lil’alamin). Semua umat manusia yang hidup pada masa Muhammad hingga tibanya hari akhir nanti wajib mengikuti syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw (Marzuki 1997, 75).

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan untuk mendidik manusia agar berakhlak mulia, contohlah bagaimana Rasulullah berperilaku dan memperlakukan orang di sekitarnya. Cara mendidik yang mencontoh perilaku Nabi tersebut disebut dengan pola atau “Sistem Pendidikan Profetik”.

Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok, yang merupakan sekolah dengan pola boarding (pondok). Sudah barang tentu sistem pendidikan yang diajarkan berdasarkan atas “sistem Pendidikan Profetik”. Dalam hal ini peneliti akan meneliti apakah terjadi “Efektivitas Pendidikan

Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok”.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua variabel yaitu

(28)

Alat Ukur Analisis Data yang Dipilih

Alat ukur yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan Alat Ukur Analisis Kualitatif, yaitu dengan cara melakukan wawancara dengan guru/ustaz, pengurus sekolah dan peserta didik, kemudian dibandingkan dengan data yang diperoleh berkaitan dengan kondisi lingkungan sekolah, kegiatan sekolah, peserta didik dan prestasi sekolah yang bersangkutan. Dari perbandingan ini peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian apakah pendidikan profetik ini efektif mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren (MTs) Himatul Aliyah Depok, yaitu dengan melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa santri, pengelola pondok, ustaz, dan pendiri Pondok dan disertai dengan beberapa dokumentasi yang peneliti peroleh, maka kesimpulan penelitian kami yang berjudul “Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta

Kasih kelas XI di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok“ adalah sebagai berikut.

Program pelaksanaan pendidikan profetik telah dilaksanakan di Pondok Pesantren ini. Hal ini bisa diamati dari kurikulum yang diajarkan sudah sesuai dengan kaidah dan ciri-ciri pendidikan profetik, yaitu adanya keseimbangan kurikulum mata pelajaran yang diberikan di pondok ini, antara mata pelajaran pendidikan umum dengan mata pelajaran pendidikan agama dan akhlak. Program pelaksanaan sistem pedidikan profetik juga bisa diamati dari jadwal kegiatan harian santri yang sangat ketat dari bangun pagi belajar dan sampai menjelang tidur malam yang syarat dengan nuansa keagamaan. Hal ini juga menjadi data pendukung sebagai tanda bahwa sistem pendidikan profetik benar-benar telah dilaksanakan di pondok pesantren ini.

(29)

209 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

ini yang penuh dengan cinta kasih.

Efektivitas pelaksanaan mampu menumbuhkan budaya cinta kasih. Hal ini ditandai dengan kondisi nyaman dan rukun yang dirasakan oleh para santri dan lingkungan pesantren.

Budaya cinta kasih telah tumbuh di lingkungan pondok pesantren ini juga ditandai oleh sikap santri yang senantiasa sopan, ramah dan sangat jarang ditemukan terjadi perkelahian antarsantri di sini. Di sisi lain program-program pesantren ini juga mendukung terciptanya budaya cinta kasih antara lain: peduli pada lingkungan sekitar pesantren untuk gotong royong, peduli terhadap lingkungan yang lebih luas, menyantuni yatim piatu secara rutin, dan melakukan penggalangan dana apabila terjadi bencana dalam sekala nasional, contoh sumbangan kepada banjir bandang di Garut belum lama ini.

Daftar Pustaka

Buku

al-Jauziah, Ibnu al-Qayyim. Madarij al-Salikin. Cet-I. Diterjemahkan oleh Kathur Suradi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.

Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan. Cet-I. Jakarta: Ciputat Press, 2004.

D. Syaiful Bahri & Asuran Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Dauilay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan

Nasional di Indonesia. Cet-II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:

Panduang Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya.

Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016.

Elly M. Setiadi, K.A. Hakam, & R. Effendi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Predana Media Grup, 2007.

Fakhruddin, Asef Umar. Menjadi Guru Favorit! I. Yogyakarta: DIVA Press, 2009.

(30)

H, Raymond. Buku Ajar Pendidikan dalam Perawatan. I. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009.

Jamal, Khalid. Ajari Aku Cinta. Translated by Budiman Mustofa. Surakarta: Ziyaad Book, 2007.

Kasan, Tholib. Dasar-Dasar Pendidikan. III. Jakarta: Studia Press, 2009.

KBBI, Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Marzuki. Meneladani Nabi Muhammad saw dalam Kehidupan

Sehari-Hari. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Munandar, Sulaeman. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Cet-I. Bandung: Eresco, 1998.

Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis

Multidimensional. Cet-I. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Purwanto, Yadi. Etika Profesi Psikologi Profetik Perspektif Psikologi

Islami. Cet-I. Bandung: Refika Aditama, 2007.

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.

Roqib, Moh. Prophetic Education: Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya

Profetik dalam Pendidikan. Purwokerto: STAIN Press, 2011.

Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Cet-II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Sadulloh, Uyoh. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Cet-I. Bandung: Alfabeta, 2011.

Salahudin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Shadily, John M. Echols & Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Cet.-II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Siagian, Mondang P. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Aksara, 400.

Sirry, Mun’im A. Fiqih Lintas Agama. 1. Jakarta: Paramadina-The Asia Foundation, 2003.

Sulaeman, M. Ilmu Budaya Dasar: Pengantar Ke Arah Ilmu Sosial Budaya

(31)

211 safina Volume 2/Nomor 2/ 2017

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Cet.-15. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Wahyu, Ramdhani. Ilmu Budaya Dasar. Cet-I. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Zuhairi Misrawi & Novriantoni. Doktrin Islam Progresif. Cet-I. Jakarta: Mizan, 2003.

Sumber Lain:

KPAI, Data. “Kasus Tawuran Pelajar di Jabodetabek.” 2013-2015.

Muasaroh. literaturbook.blogspot.com. 2014. (accessed April 6, 2015). Qadar, Nafisyul. Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah. Plan

(32)

INDEKS

A

Abad Pertengahan, 220 Abangan 125

Abdullah bin Umar 134 Abu Sa’id ibn al-Mu’alla, 153 Ahlusunnah waljama’ah 129-130 Aisyah 135

Akomodasi 145, 171, 224 Alfiyah al-Suyuthi 176 Ali bin Abi Thalib 166

Alquran IV, VI, 122, 125-126, 130-133, 135, 139, 150-156, 158-160, 167, 178, 198, 213, 220-221, 232-233

Analogi 156, 158, 235 Asimilasi 145

Aswaja 129-130, 136, 235 Azra, Azyumardi 136, 186 Al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an 176 Al-Khulafa al-Rasyidin 122

B

Bahts al-masa’il 176 Bidayat al-Mujtahid 176 Bilal 134-135

bandongan 176, 183, 231

C

Case-Based Learning IV, 139, 141, 148-150, 153, 155, 158-159, 162-163 Cinta kasih III, VI, 189-194, 197, 200-201, 203-209

Civil society 128

D

Darussalam 214 Dayah 171

(33)

Depok, II, 193, 207-208 Deskripstif analitik IV, 121 Dhofier, Zamakhsyari 136, 186

E

Efektivitas III, VI, 189, 194-196, 207-209 Ekuilibrasi 145

F

Fath al-Majid 176 Fikih ibadah 16 Filosofi 206

Filsafat 132, 144, 151, 159, 210

G

Geertz 125

H

Hadis 122, 134-135, 167, 173, 176, 184, 228, 232 Halstead, Mark 162

Hayatun Nufus 180, 182 Heinich 142-143, 161

Himmatul Aliyah III, VI, 189, 193-194, 196, 207-208 Hindu-Budha 131

Hindu-Jawa 124

I

Ihya `Ulum al-Din 176

International Center for Research on Women 191, 211 Islam Jawa 125

“Islam kultural” 131

Islam moderat III, IV, 121-123, 128-129, 131, 133 “Islam nominal” 125

Islam pesantren 124

(34)

K

Kawula Gusti 126

Kementerian Agama 214, 232 Khawarij 132

Kitab kuning V, 165-166, 170, 172, 179, 183, 185, 220, 224 Konstruktivisme 140, 142, 144-145, 147, 158

Konstruktivisme kognitif 158 Konstruktivisme pendidikan 144 Konstruktivisme sosial 142, 158 KPAI 191, 193, 211

Kurikulum VI, 140, 145, 151, 170, 174-175, 180, 189, 194, 208, 214, 220, 222-223, 231-233

Kurikulum pesantren 174-175

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 140

Kyai V, 165-166, 170-174, 176, 179-183, 185-186, 216, 218-219, 222, 224-227, 229-232

L

Langeveld 196 Lindgren 142, 161 Lurah kobong 180

M

Manajemen III, V, 165-170, 173, 180, 185-187, 194-195, 210, 226, 231-234 Manajemen Sumber Daya Manusia 194

Manhaj 220

Martabat Tujuh 126

Masjid V, 134-135, 153-155, 165, 170, 172, 179, 183, 185, 224-225, 229-230 Masjid Quba 172

Mastuhu 170, 174, 186, 221, 227, 234 Mas’ud, Abdurrahman 136

Matsal 156

Media Amal Islami III, VI, 213, 215-216, 228, 233 Metode “studi kasus” 153

Model pembelajaran IV, 139-141, 146, 149-150, 153, 155, 158-159 Model pembelajaran tradisional 141

(35)

Muasaroh 195, 211

Muhammadiyah IV, 121, 123, 127-129, 135-136 Musala 172

Muslim moderat 131-132

N

Nabi Muhammad IV, V, 122, 130, 136, 139, 150, 152-156, 159, 172, 193, 198, 202, 207, 210, 230

Nahdlatul Ulama 123 Naib al-ulama 228 NU 123, 127-130, 135-137

P

Pandangan dunia Tauhid 150, 159 Pembangun aktif 158

Pembelajaran aktif IV, 139, 148, 158-159 Pembelajaran autentik 142, 146, 150

Pembelajaran berbasis kasus III, IV, 139-141, 146-150, 152-153, 155, 158-159

Pembelajaran berbasis masalah 145-147 Pemulung VI, 213, 216, 228

Pendidikan Islam III, IV, 139, 141, 150-152, 159-161, 170-172, 181, 183, 186, 190, 198, 209, 214, 216, 220, 224, 230, 233

Pendidikan profetik III, VI, 189-191, 193-199, 206-208, 210 Penelitian kualitatif 219, 234

Perkembangan kognitif 142, 144-145

Pesantren III, V, VI, 124, 136, 165-183, 185-186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-234

Pesantren MAI VI, 213, 215, 218, 221, 231-233

Pesantren tradisional III, V, 165-166, 168, 170, 173, 180, 185, 220, 225-227, 230, 232-233

Piaget, Jean 161

Planning for Teaching, and Introduction 141 Poerwadarminta 196

Pondok pesantren III, V, VI, 165-172, 175-177, 179, 181-183, 186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-220, 222-223, 229, 231-232, 234

Pribumisasi Islam 124 Priyayi 125

(36)

Proses Islamisasi 190

Proses pembelajaran 140, 143, 147, 149-150, 158, 205-206

R

Rahmatan lil alamin 123, 192 Rais al-ummah 229

Ranah afektif 143 Ranah kognitif 143 Ranah psikomotorik 143

Rasul 126, 153, 198, 202-203, 207, 228 Rasulullah 135, 153, 166, 198-199, 202, 207

S

Safinah IV, 178, 184

Salafiyah III, V, 165, 176-177, 179-183, 185

Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh V, 165, 180, 182, 185

Santri V, VI, 125, 165, 168-172, 175-183, 185, 190, 198, 208-209, 213, 216-217, 219-230, 232

Santri kalong 227 Santri mukim 227 Satrul al-aurah 228 Scaffolding 155-158 Shahih Bukhari 176 Shahih Muslim 176

Shalih li kulli zaman wa makan 125 Sinkretisme 125

Sisdiknas 218

Sistem pendidikan profetik VI, 189, 194, 196, 198, 207-208 Sistem weton 219

Struktur linguistik bawaan pikiran 144 Subculture 173

Sudjana, Nana 161 Sufi Jawa 124 Sufisme 123

Sugiharto III, VI, 213 Suhartini 168

Sullam al-Munaruq 176

(37)

T

Tafsir Ibn Katsir 161, 176 Tarikh Tasyri` 176 tark al-ma’shi 229 Tasawuf Islam 126 Tawalib 214 Tebu Ireng 214

Teori manajemen Deming 167, 185 Teori Vygotskian 158

The religion of Java 123

Timur Tengah 125-126, 133, 173, 186 Tradisi besar 125

Tradisi lokal 124-125, 130-131

Tradisional III, V, 127, 141, 148, 165-166, 168-173, 180, 183, 185, 220, 224-227, 230, 232-234

U

Ummatan Wasathan 121, 131, 136

Universitas Muhammadiyah Tangerang IV, 121 Uqudu al-Jumah 176

V

Von Glasersfeld 144 Vygotsky, Lev 161

W

Wahyu, Ramdhani 211

Walisongo 122-125, 130, 136, 169, 187, 233 Waratsat al-anbiya 218

Washatiyyah 132-133

Washatiyyah Islamiyyah 133 Wells, Gordon 162

Z

Zhahiriyah 132

(38)

Referensi

Dokumen terkait

Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Tulungagung. Yang bertanda tangan di bawah

Seiring berjalannya waktu, paradigma belajar di pesantren yang hanya mengeksplorasi ilmu agama Islam kini telah tergeser. Hal ini ditandai dengan berdirinya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan bidang agama Islam, lebih khusus pada metode dalam menghafal Al- Qur’an di Pondok Pesantren Tahfiizhul Qur’an,