• Tidak ada hasil yang ditemukan

NU dan Penegakan Hak Asasi Manusia di In

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NU dan Penegakan Hak Asasi Manusia di In"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

NAHDLATUL ULAMA

DAN PENEGAKAN HAK ASASI

MANUSIA DI INDONESIA

Maghfur Ahmad*

Abstrak: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan sipil memiliki peran strategis untuk mengontrol dan menegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Bagi NU, HAM merupakan persemaian antara nilai hak asasi yang berkembang di Barat, Islam maupun nilai-nilai keindonesiaan. Dalam konteks HAM di Indonesia, lima prinsip dasar: hifz al-nafs (jiwa), hifz al-dîn (agama), hifz al-nasl (keturunan), hifz al-mâl (harta) dan hifz al-aql (akal) dipahami secara kontekstual, sesuai kondisi lokalitas kebangsaan, yang terkadang berlainan dengan paham ortodoksi Sunni. NU memahami, gerakan hak asasi manusia di Indonesia sebagai gerakan oposisional melawan pihak lain, terutama negara, yang mengabaikan nilai dan hak dasar manusia. NU memaknai gerakan HAM tidak untuk melangengkan rezim penguasa yang tiranik, melainkan gerakan progresif menuju terciptanya kebebasan warga untuk memperoleh jaminan hak asasi manusia. Bagi NU, perjuangan HAM semata-mata demi terwujudnya tata kehidupan berbangsa-bernegara yang lebih makmur, adil, dan sejahtera.

Nahdlatul Ulama (NU) as a civil power has a strategic role to control and enforce the Human Right in Indonesia. To NU, Human Right is a seedling of basic right values living in the West, Islam and Indonesia. In the context of Indonesian Human right, five basic principles: hifz al-nafs (right to live), hifz al-din (right to believe), hifz al-nasl (right

(2)

to produce children), hifz al-mal (right to have property), and hifz al-aql (right to have his or her mind be safe) are understood contextually according to the local wisdom, and it, sometime, is different from the orthodox concept of Sunni. NU views the Human Right movement in Indonesia as an oppositional movement to other side, especially the government that neglects values and human basic rights. It also means the movement not to preserve the tyranny regime, but as a progressive movement to manifest the citizens’ freedom to get their human right guaranty. The struggle to enforce the Human Right, to NU, is only to manifest more prosperous, fairer, and safer national life.

Kata Kunci: NU, hak asasi manusia, lima prinsip dasar, kesejahteraan sosial

PEDAHULUAN

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai elemen bangsa memiliki tanggung jawab yang setara dengan pihak yang lain dalam mencapai tujuan bernegara. Negara hadir bertujuan untuk menyejahterakan rakyat dengan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, segenap potensi dan elemen bangsa mestinya dikerahkan secara maksimal. Namun demikian, hingga kini perjuangan ke arah terwujudnya kehidupan berbangsa yang lebih adil, damai dan sejahtera belum juga dapat dinikmati. Bahkan, menurut Salil Shetty (2010), Sekretaris Jenderal Amnesty Internasional bahwa “tujuan pembangunan milenium telah gagal mengentaskan kelompok yang paling miskin karena pemerintah telah mengabaikan hak-hak asasi manusia. Sebaliknya justru banyak negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” (Kompas, 2010: 18/9).

(3)

warganya dapat terjamin. Negara berkewajiban menegakkan dan memenuhi hak asasi bagi rakyatnya (Barry, 1981: 182-184). Tanpa itu, negara dinilai gagal mengemban tanggung jawab untuk mengayomi dan melindungi rakyat menuju hidup sejahtera dan adil.

Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti peristiwa G 30 S PKI, operasi militer di Aceh pada masa Orba, kasus Timor Timur, pencabutan izin media masa, kasus Udin, Marsinah, pembunuhan aktivis HAM Munir, membatasi kebebasan berpendapat, melarang peredaran buku dan lain sebagainya menjadi problem krusial penegakan HAM yang belum dapat diselesaikan. Belum lagi, hak dasar rakyat untuk menikmati pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, lingkungan yang layak dan air bersih juga masih jauh dari standar kelayakan. Dalam kondisi seperti ini, rasanya untuk melahirkan negara yang damai, sejahtera dan berkeadilan sebagai tujuan final bangsa Indonesia masih perlu perjuangan ekstra keras. Perjuangan penegakan HAM sangat terasa berat karena berhadapan dengan kekuatan negara yang justru menjadi penghalang, yang dalam beberapa kasus, pihak ‘penguasa’ adalah perampas hak-hak rakyatnya.

Atas dasar itu, mengkaji peran NU sebuah organisasi sosial keagamaan sebagai kekuatan sipil menjadi menarik. NU sebagai kekuatan sipil memiliki peran penting dalam membangun Indoensia secara utuh (Ridwan, 2010: 487), mengontrol dan mengkritisi kebijakan negara dalam memenuhi hak dan hajat hidup rakyatnya. Kajian ini difokuskan pada bagaimana kontruksi hak asasi manusia melalui epistemologi berpikir model NU; gerakan perjuangan NU dalam mengimplemetasikan nilai-nilai HAM dalam kehidupan berbangsa; serta bagimana penerapan HAM bekerja untuk kemaslahatan umat.

PEMBAHASAN

A. HAM Versi NU, Dari ‘Kemapanan’ Ke Gerakan Oposisi

(4)

Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang bersifat universal dan dimiliki seseorang sepanjang waktu serta melampaui batasan geografis, agama, nasionalisme, seks, status sosial, etnis, maupun kultur. Masalah HAM baru menjadi perbincangan publik pada pasca- Perang Dunia II. Tepatnya setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri pada 1945 berhasil memaklumkan Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) pada 10 Desember 1948. Namun demikian apabila dilihat lebih jauh, gagasan mengenai hak asasi telah muncul jauh sebelumnya. Pada masa pencerahan (enlighten-ment) telah muncul istilah human rights sebagai ganti dari istilah natural rights dan istilah rights of man yang telah muncul sebelumnya. Pemikiran mengenai HAM juga telah muncul pada Abad XIII sebagaimana termuat dalam dokumen Magna Charta (1215) dan juga Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689) (Prasetyo, 2007: 67).

Dalam konteks dunia Islam, nilai-nilai HAM dapat ditelusuri pada piagam Madinah, pidato haji Wada’ hingga Deklarasi Kairo. Pasal 1 Deklarasi Kairo 1990 tentang Human Rights in Islam (Al-Huqûqal-Insâniyah fî al-Islâm, HAM dalam Islam) menekankan bahwa semua insan setara dalam hal martabat kemanusiaan, tanggung jawab dan kewajiban dasar, tanpa diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, keyakinan agama, afiliasi politik, status sosial, atau pun pertimbangan lain.

Dalam pemikiran Sunni, geneologi berpikir NU, masalah HAM sebagai persoalan penting dalam kehidupan, baik dalam konteks hubungannya dengan sang Kholiq maupun berkaitan dengan persoalan kemanusiaan. Dalam jagad kosmologis, manusia memiliki kedudukan yang amat tinggi. Manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi. Setiap individu mengemban misi kekhalifahan yang harus dilakukan dalam rangka memakmurkan peradaban dunia. Sebab itu, manusia harus berlaku dan diperlakukan secara proporsional pada posisi yang semestinya.

(5)

menggunakannya, Allah menjadikannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Dengan demikian, manusia mempunyai hak al-karâmah dan hak al-fadhîlah.

Merujuk pada Kholid N. Ishaque (1974), tokoh Sunni kenamaan Abdurrahman Wahid (1940-2009) menyebutkan empat belas point hak asasi manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu; hak untuk hidup, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk mendapat perlakuan yang sama, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan negara, hak untuk menolak sesuatu yang melanggar hukum, hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak untuk memperoleh kebebasan dari ancaman dan penuntutan, hak untuk berbicara, hak atas perlindungan terhadap penuntutan, hak memperoleh ketenangan pribadi, hak ekonomi, termasuk hak mendapat upah yang layak, hak untuk melindungi kehormatan dan nama baik, hak atas harta benda, dan hak untuk penggantian kerugian yang sepadan (Wahid, 1985: 96).

Hak asasi manusia menjadi persoalaan serius dan mendapat perhatian di kalangan NU. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1418 H/1997 M mengelaborasi penegakan hak asasi manusia menjadi bagian dari strategi mewujudkan misi Islam yang rahmatan li al-’âlamîn (Asrori, 2004: 620-622). Melalui lima prinsip dasar yang diakui di kalangan Sunni (ushul al-khams), NU merekomendasikan agar jajaran PBNU memperjuangkan dan menyusun strategi untuk menegakkan al-huqûq al-insâniyyah (HAM) secara aktif, serius dan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemasalahan umat.

Kelima hak dasar yang dirumuskan oleh NU adalah: Pertama, hifz al-dîn yang berarti menjaga agama. Prinsip ini memberikan jaminan hak kepada umat untuk memelihara agama dan keyakinan (al- dîn). Jaminan atas keyakinan ini meliputi juga untuk mengekspresikan, mengamalkan serta berkhidmah secara penuh dan konsekuen atas pilihan agamanya. Bagi Sunni, Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis. Karena itu, Islam juga menjamin kebebasan beragama dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu terhadap yang lain.

(6)

Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran diskriminasi oleh negara, lembaga, sekelompok orang, atau orang mana pun atas alasan-alasan agama atau kepercayaan lainnya. Inilah prinsip penting hifz al- dîn.

Fakta sejarah mencatat bahwa penegakan hak asasi manusia mengalami pasang surut. Penafsiran mengenai hifz al-dîn terdakang sangat politis, demi menjaga stabilitas politik. Menjaga ortodoksi pemikiran keagamaan untuk menopang kelangsungan kekuasaan. Interpretasi hak (menjaga) keberagamaan masyarakat menjadi tergantung pada keberpihakan negara terhadap aliran, mazhab, organisasi kemasyarakatan, pemikiran tertentu disertasi penolakan keyakinan, pemahaman dan segala praktik aliran lainnya dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Dalam konteks inilah, perlunya dibuka peluang bagi siapa saja untuk menafsirkan hifz al-dîn secara proporsional sesuai watak Sunni. Sebab menjaga agama berarti juga bermakna kebebasan memahami dan mempraktikan agama sesuai level pemahaman individu.

(7)

Ketiga, hifz al-aql: manjaga akal, suatu jaminan atas kebebasan berpikir, bernalar serta berekspresi. Untuk menjamin terlaksananya hifz al-aql, maka perlu kebijakan yang berpihak dan dapat mendorong pada kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan pendapat, opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas yang memanfaatkan kemampuan rasionalitas seseorang. Di samping itu, Islam juga melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain. Penggunaan zat aditif dapat merusak dan menghalangi optimalisasi kerja akal. Pintu kerusakan harus ditutup untuk menghindari bahaya yang lebih besar.

Sementara itu, berbagai intimidasi yang dilakukan oleh penguasa atau seseorang untuk mengintervensi pendapat, gagasan dan pemikiran orang lain harus dicegah. Di samping dapat melanggar hak asasi seseorang, juga akan mereduksi nilai-nilai ‘kemuliaan’ manusia. Begitu juga pelarangan terhadap peredaran buku, pendapat dan pemikiran mesti dihindari. Sebaliknya, sarana yang dapat menjamin hifz al-aql perlu diperlebar ‘pintunya.’ Kebebasan mengungkapkan pendapat—baik melalui buku, media masa, forum ilmiah— merupakan bagian dari ekspresi intelektual seseorang yang sarat nilai Ilahiyah. Pintu ‘kebebasan berpikir’ mesti dibuka secara luas. Berpikir dan menyebarkannya adalah bagian dari ajaran dan tugas transendental yang harus berdampak sosial. Wajar dan sudah seharusnya jika ‘akal’ harus dijaga bukan hanya kualitasnya, tetapi juga penggunaan dan kemanfaatannya.

Namun demikian, dalam dinamika historisitas Sunni, penafsiran terhadap hifz al-aql sering dimanfaatkan oleh penguasa tertentu untuk melanggengkan wilayah kekuasaannya melalui konservatisme dan pembakuan berpikir model Sunni. Semestinya, pada matra yang sesungguhnya, hifz al-aql berarti deklarasi Islam Sunni atas pengakuan kebebasan berfikir. Bebas tanpa pihak yang boleh mengekang sekali pun itu institusi negara dengan dalih stabilitas politik.

(8)

kekuatan destruktif baik yang datang dari penguasa, budaya asing maupun muncul dari internal. Kesucian keluarga inilah yang akan melandasi keimanan dan memancarkan toleransi dalam derajat yang sangat tinggi. Melalui keluarga, individu-individu dapat mengembangkan pilihan-pilihan tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga, karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya ke dalam unit sosial kemasyarakatan yang lebih luas.

Sementara itu, kebebasan menentukan profesi berarti kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan atas resiko, dampak atau akibat, mengenai keberhasilan yang ingin diraih maupun kegagalannya. Kebebasan berprofesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya. Namun demikian, hendaknya pilihan profesi masih dalam koridor umum dan wajar bagi masyarakat. Sebab, pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat. Di sinilah pentingnya dicari secara terus menerus jalan keseimbangan (al-tawƒþâzun)—sebagaimana karakter Sunni—antara hak-hak individu dan kebutuhan publik.

Kelima, hifz al-mâl: jaminan atas kepemilikan harta benda, properti, hak paten dan sebagainya. Islam juga melarang adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi, monopoli, eksploitasi dan seterusnya. Setiap warga punya hak untuk memiliki harta dan memanfaatkannya demi menjamin kelangsungan hidupnya. Menafikan hak kekayaan seseorang akan berdampak pada kekacauan hidup. Dan sebab itu, kekacauan yang diakibatkan oleh ketidakpastian jaminan hak milik perlu dieliminir. Seseorang berhak memperoleh dan memiliki kekayaan melalui kerja sesuai keterampilan yang ia pilih. Masing-masing orang memiliki potensi, kecenderungan dan skil yang berbeda-beda. Hifz al-mâl berarti juga melindungi dan menjaga keanekaragaman potensi yang dimiliki seseorang untuk memperoleh dan memiliki harta benda. Termasuk harus dijamin penggunaannya tanpa ada intimidasi dari pihak mana pun.

(9)

Hifz al-aql sebagai salah satu pilar hak asasi manusia dalam praktiknya bisa dimaknai penyeragaman cara berpikir. Menjaga proses dan hasil pemikiran agar selalu dalam koridor stabilitas politik. Pemikiran yang ke luar dari jalur mainstream dianggap tidak lagi masuk dalam golongan jamâ’ah. Orang-orang yang berpandangan berbeda bukan lagi bagian dari ‘kita, tetapi mereka adalah ‘other’, wong liyo, ‘hum’ dan di luar ortodoksi Sunni. Mereka dituduh kufur, syirik, sesat, bid’ah dan seterusnya. Bisa saja akan muncul tuduhan bahwa ‘menjaga akal’ hanya sebagai alat terselubung untuk melanggengkan kekuasaan yang anti kritik, tiranik dan sewenang-wenang. Bukankah dalam sejarah politik Sunni kenyataan ini memang benar-benar terjadi? Atau sebaliknya, justru pemahaman hifz al-aql yang berbasis ‘stabilitas’ merupakan implementasi nyata watak NU yang sesungguhnya. Sejarah yang akan atau bahkan telah membuktikan.

Dalam konteks inilah rumusan, pemahaman, penafsiran dan pemaknaan HAM mesti didialogkan dengan konteks lokalitas dan berpihak pada rakyat akar rumput. Bukan konsep dan penerapan HAM yang berpihak pada penguasa, pemilik modal maupun elit lainnya. Watak Sunni yang adaptif, moderat, proporsional dan mengedepankan prinsip keseimbangan, yang diikuti NU bukan berarti mentolelir konsep HAM yang kompromis, melainkan sebuah strategi gerakan HAM yang mengunakan prinsip-prinsip tersebut untuk sebesar-besar demi kepentingan rakyat.

C. NU dan Jejak Perjuangan Hak Asasi Manusia

NU sebagai kekuatan sipil telah, sedang dan akan menjalankan peran perjuangan mengawal implementasi nilai-nilai HAM di Indonesia. NU minus pergerakan kerakyatan bukanlah NU. Tanpa spirit juang penegakan HAM untuk kemaslahat umat, posisi NU sebagai civil society dipertanyakan. Dalam konteks inilah wilayah kerja gerakan hak asasi manusia yang digelorakan NU dapat bermain diberbagai level sesuai kebutuhan. Perjuangan HAM dapat dimulai dari tingkat pengambil kebijakan, pelaksana, monitoring hingga pada wilayah akar rumput. Mulai dari kerja legislatif, eksekutif, yudikatif hingga pada pengawalan nilai-nilai HAM dalam aktivitas kebangsaan.

(10)

mewujudkan penegakan hak asasi tersebut bukan hanya butuh usaha dan pengorbanan, melainkan juga keberanian. Keberanian ini menjadi penting karena pihak-pihak yang semestinya berkewajiban memenuhi seperti institusi dan birokrat negara justeru sering merampas hak dasar rakyatnya (Kompas, 18/9/2010).

Kasus perjuangan petani Jenggawah pada tahun 1995 merupakan contoh nyata dalam kehidupan bernegara kita. Bahwa hak milik harus diperjuangkan, ia tidak akan hadir dengan sendiri. Pada saat itu, petani bergerak dan membakar gedung-gedung tembakau. Petani memprotes hak-hak milik atas tanahnya seluas 1.200 hektar yang telah digarap bertahun-tahun dirampas penguasa. Kiai-kiai NU seperti KH Sodiq Mahmud, KH. Imam Masyhuri dan lainnya dituding berada dibalik radikalisme petani. Pejuang hak asasi seperti petani Jenggawah dalam mempertahankan hak miliknya, di samping harus memiliki jiwa heroik, ia harus punya ketahanan yang prima. Intimidasi, rayuan, ancaman selalu datang, bahkan dalam laporan Majalah Ummat edisi 4 Sep-tember 1995, mereka diminta mundur dengan iming-iming imbalan sejumlah 350 juta rupiah.

Atas sikap, keberanian, konsistensi dan kegigihan petani Jenggawah dalam memperjuangkan haknya, Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (YAPUSHAM) memberikan Anugrah Hak Asasi Manusia Yap Thien Hien kepada petani Jenggawah. Menyikapi perihal kasus petani Jenggawah ini, KH Cholil Bisri menilai: “Rakyat Jenggawah yang sudah bertahun-tahun menggarap tanah itu patut memiliki dan menggarapnya, karena tanah itu adalah peninggalan penjajah yang otomatis menjadi tanah mati (ardh amwât). Jadi, menurut Kiai Cholil, dalil apa saja yang dipakai, yang berhak atas tanah ini adalah rakyat Jenggawah”.

(11)

maka mengakomodasi varian komunitas agama di Indonesia adalah sikap terpuji dan moderat sebagaimana prinsip yang dianut NU (Baso, 2006: 43). Kebebasan beragama dan penjalankan ritual keagamaan, sekali pun diakui dalam konstitusi, namun dalam dataran realitas sering terjadi deviasi-deviasi. Pengakuan konstitusi terhadap kebebasan berkeyakinan tidak utuh. Diskriminasi terhadap Darul Arqom, Ahmadiyah, Lia Eden, Komunitas Adat Karuhun Sunda Cigugur dan ratusan penganut penghayat kepercayaan dan kebatinan masih tetap berlangsung. Dalam situasi relasi keagamaan seperti ini, negara yang memiliki otoritas untuk menjamin kebebasan beragama bagi warga, justru menjadi perampok hak warganya. Entah atas dalih stabilas politik, ekonomi atau pembangunan, atau lainnya, negara berlaku tidak adil terhadap aliran-aliran keagamaan yang “tidak mapan”.

Perlakuan diskriminatif menunjukkan bahwa negara tidak menghargai kebebasan individu untuk menentukan pilihan agamanya. Beragama, baik itu model Ahmadiyah, atau lainya merupakan bentuk ekspresi kebebasan individu yang paling fundamental (Madjid, 1992: 654-565). NU selama ini telah memerankan diri sebagai gawang terakhir tentang toleransi dan kebebasan beragama. Profil Gus Dur, tokoh progresif NU, adalah ikon pejuang HAM. Komitmen itu ditujukkan dengan keberaniannya mengungkap gagasan non-muslim (baca: minoritas) dapat menjadi kepala negara di Indonesia, dan juga keberaniannya menentang setiap pelanggaran atau ketimpangan HAM lainnya. NU dan Gus Dur menjadi jendela bagi kaum minoritas untuk melihat ada jaminan hak di Indonesia (Suhanda (ed), 2010: 22). Ketika Syi’ah, Ahmadiyah, Darul Arqom, atau kelompok minoritas lainnya dikebiri hak-hak politik dan agamanya oleh negara dan sebagian umat Islam, baik lewat MUI, ICMI atau FPI, justru NU tampil membela hak-hak mereka (AULA Nomor 08, XVI Agustus 1994: 58-61).

(12)

Kasus Alastologo juga menjadi ujian bagi NU dalam memperjuangkan hak dan martabat warga. Alastologo adalah salah satu desa dari 10 desa yang memiliki yang memiliki sejarah konflik berkepanjangan antara warga setempat dan tentara (TNI AL). Kasus perebutan lahan, berujung pada penembakan warga sipil dan pembakaran beberapa fasilitas menunjukkan arogansi aparat negara. Tentara yang digaji dari uang rakyat justru menjadikan rakyat sebagai sasaran tembak. Dalam kasus ini, PCNU Pasuruan membentuk tim infestigasi. Namun pada saat yang sama pembelaan elit-elit NU masih perlu dipertanyakan. Ada ketidakpedulian jajaran elit dalam membela hak-hak rakyat kecil, seperti warga NU di Alastologo.

Demikian juga tentang kasus Lapindo. Data yang dilansir oleh Paring Waluyo Utomo, Winarso, dan Mashuri per Agustus 2006 dengan per Januari 2007 menyebutkan: pengungsi 12.659 Jiwa (3.333 KK) dan meningkat menjadi 25.134 jiwa (6852 KK); sawah/ladang sejumlah 353,29 ha menjadi 359,2 ha; tambak 7000 ha; ternak unggas 1.605 ekor; ternak kambing 30 ekor; ternak sapi 2 ekor; perumahan ada 1.810 (menjadi 18.696); Sekolah 18 unit (menjadi 23 unit); tempat ibadah 15 unit; dan perusahaan 19 unit (menjadi 24 unit) (Ridwan, 2010: 405). Data ini menunjukkan bahwa kasus Lapindo adalah tragedi kemanusiaan. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini. Korban dari luapan lumpur Lapindo adalah masyarakat bawah NU di Sidoarjo. Ketidakjelasan penyelesaian kasus ini hingga sekarang menandai ketidak hadiran negara, elit politik, termasuk elit NU dalam menegakkan hak asasi rakyat. Dengan demikian, kiprah NU dalam mengawal penegakan hak asasi manusia mengalami pasang surut, dinamis, bahkan terkadang sulit ditebak.

D. Penegakan HAM untuk Keadilan dan Kemaslahatan Umat

(13)

keindonesiaan dan bagaimana strategi penerapannya dalam kehidupan berbangsa-bernegara.

Salah satu tujuan pokok bernegara adalah terjaminnya kualitas hidup masyarakat yang damai, adil dan sejahtera. Kebutuhan institusi negara dalam pandangan Sunni adalah kebutuhan instrumental, agar manusia sebagai kholifah Allah di muka bumi dapat menjalankan amanatnya sebagai agen perubahan sosial untuk menggelorakan dan mengimplementasikan kerahmahmatan bagi semesta alam. Dengan demikian, rahmatan li al-,âlamîn merupakan mandat, orientasi, visi, misi dan target strategis penyelenggaraan pemerintahan dalam ajaran Sunni.

Sebagaimana Sunni, NU juga meyakini bahwa Islam lahir, al-Qur’an diturunkan, serta nabi Muhammad SAW diutus hanya dalam rangka menebar dan mewujudkan peradaban manusia yang damai dan sejahtera. Al-Qur’an menjelaskan bahwa: “Kami mengutus engkau hanya bertujuan memberi rahmat bagi alam semesta.” (Q.S. al-Anbiya’: 107); dan juga “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S. al-Nahl: 64).

(14)

Demi keadilan dan kesejahteraan sosial itulah, NU sebagai kekuatan sipil memiliki andil besar untuk menekan pemerintah agar dapat memenuhi hak asasi warga. Negara yang tidak menjalankan kewajibannya untuk menjamin hak-hak asasi rakyatnya, sama halnya kehadiran negara Indonesia menjadi tidak bermakna. Ada namun tidak berfungsi, ada namun tidak berbekas. Dalam konteks ini, NU menjadi penting sebagai institusi yang dapat memaksa agar negara tidak absen dalam menegakkan hak asasi untuk rakyat yang lebih adil dan sejahtera.

KESIMPULAN

Dari kajian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, terjaminnya hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa merupakan syarat penting menuju tercapainya MDGs. Dalam konteks keindonesiaan, NU sebagai lembaga sosial kemasyarakatan memiliki peluang, kesempatan dan potensi untuk mengontrol dan menegakkan hak asasi manusia. Kedua, HAM dalam konsep NU merupakan persemaian antara nilai-nilai hak asasi yang berkembang di Barat, Islam maupun nilai-nilai lokalitas keindonesiaan. Sebab itu, bagi NU, hak-hak beragama, berserikat, berpendapat, berpenghasilan, hak milik dan lain sebagainya, bukan diadopsi secara tekstual dari konsep Barat atau Islam tetapi didialogkan secara kritis dengan realitas sosial, politik, budaya ekonomi dan lainnya. Dengan demikian, hak asasi yang dipahami NU, demi terjaganya lima prinsip dasar: hifz al-nafs (jiwa), hifz al-dîn (agama), hifz al-nasl (keturunan), hifz al-mâl (harta) dan hifz al-aql (akal) bisa jadi maknanya berlainan dengan pemahaman pemikiran ortodoksi Sunni selama ini.

Ketiga, dalam perjalanan kehidupan berbangsa bagi NU selama ini, menunjukkan bahwa pemahaman dan gerakan penegakan hak asasi manusia di Indonesia yang digalang NU adalah dalam rangka gerakan oposisi melawan pihak lain, terutama negara, yang mengabaikan nilai dan hak dasar manusia. NU memaknai gerakan HAM tidak untuk melanggengkan rezim penguasa tirani atau situasi destruktif melainkan gerakan progresif menetang pihak-pihak yang menghalangi tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia.

Keempat, hak asasi manusia ditegakkan demi terwujudknya tata

(15)

berserikat, bekerja, terpanuhinnya kebutuhan dasar. Dalam kondisi ini, perjuangan NU dalam menegakkan HAM hanya didedikasikan untuk menggelorakan agar negara dapat mewujudkan kehidupan sosial yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hafid, “Islam dan Penegakan Hak asasi Manusia dalam Perspektif Global” Makalah pada Annual Conference on Islamic Studies, Riau: Diktis Depag dan UIN Suska, 2007

Adi Prasetyo,Yoseph, “HAM dalam Konteks dan Kepentingan Sosiologis Keindonesiaan,” dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2007

Asrori, A. Ma’ruf, dan Said, Imam Ghozali (Peny.), Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas

dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999 M), Surabaya: LTN NU

Jawa Timur dan Diantama, 2004 AULA Nomor 08, XVI Agustus 1994

Barry, P. Norman, An Introduction to Modern Political Theory, New York: St. Martin’s Press, 1981

Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamintalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006

Ibn ‘Abd al-Salâm, ‘Izz al-Dîn, Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, t.tp: Mathba’ah al-Istiqâmah, tt.

Madjid, Nurcholish, “Kaum Muslim dan Partisipasi Sosial Politik” dalam Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Maslah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina,

1992

Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Yogyakarta: Arruzz Media, 2010

Qardlâwî, Yûsuf, al-, al-Ijtihâd al-Mu’âshir, Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1998

(16)

Suhanda, Irwan (ed.), Gus Dur santri par excellence: Teladan Sang Guru Bangsa, Jakarta: Kompas, 2010

Tirtana, Endang, dan Ul Haq, Fajar Riza, (ed.), Islam, HAM dan Keindonesiaan, Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2007

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah terhadap penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia saat ini, Pemerintah belum sukses dalam menjalankan

penelitian dan mengangkat Judul: ” Pelaksanaan Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Artikel ini menganalisis mengenai adanya berbagai usaha penegakan HAM di era reformasi yang merupakan tindak lanjut atas perjuangan meraih pengakuan hak-hak asasi manusia di era

5.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang telah diperbaharui

agama; sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi landasan politik hukum yang menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang nondiskriminatif; sila

Hak asasi manusia dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Keadilan sosial berwujud hendak melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, ini

Dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia ini, jika kita menanyakan “siapa melakukan apa?”, ini yang dapat kita simpulkan: [A] adanya peningkatan ketimpangan

Dari penelitian ini menggunakan telaah pustaka yang bertujuan untuk mempelajari dari referensi yang telah ada untuk memahami makna dari hak asasi manusia serta menerapkan nilai-nilai