commit to user
i
KINERJA DINAS PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOPERASI DAN
UMKM KABUPATEN KLATEN DALAM PEMBERDAYAAN UKM
TENUN LURIK
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Jurusan Ilmu Administrasi
Disusun Oleh :
Galih Sri Rahayu
D0107057
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLTIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN
Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Didepan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pembimbing,
Drs. Is Hadri Utomo, M.Si
commit to user
iii
PENGESAHAN
Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada Hari :
Tanggal :
A. ( )
NIP
B. ( )
NIP
C. ( )
NIP
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
commit to user
iv MOTTO
© “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sangatlah berat, kecuali bagi orang yang khusyu” (QS..
Al Baqarah : 45)
© Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS.
Asy-Insyirah : 5)
© Jika kamu ingin mengerti keindahan dari kebebasan menarilah seperti
tidak ada yang melihat, menyanyilah seperti tidak ada yang mendengar
dan mencintailah seperti cinta itu tidak akan menyakitkan. Janganlah
batasi ukuran hidupmu karena orang lain karena seandainya gagal apa
mereka akan bertanggungjawab (Mario Teguh)
© Hidup harus selalu maju. Jangan pernah kamu mengungkit masa lalu
karena itu hanya akan membuat kamu takut untuk melangkah maju.
Jangan pernah takut memilih karena hidup adalah pilihan
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Karya ini aku persembahkan untuk :
Ibunda ku tercinta
Adik ku Sulis tercinta
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Tiada kata yang paling tepat untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah
SWT karena atas rahmat dan karunia Nya skripsi ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan masih
terdapat kekurangan yang tidak dapat penulis atasi. Hal ini semata-mata karena
keterbatasan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu penulis terima
dengan senang hati guna perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang mendalam
kepada Ibu tercinta atas dukungan dan doanya serta seluruh keluarga yang telah
memberikan perhatian dan kasih sayangnya selama ini. Penulis juga perlu
mengucapkan terimakasih dan penghormatan yang tulus kepada pihak-pihak yang
tersebut dibawah ini :
1. Drs. Is Hadri Utomo, M.Si selaku pembimbing atas bimbingan, konsultasi
dan pengertian yang diberikan selama penulisan skripsi ini.
2. Drs. H.Supriyadi SN.SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Drs. Sudarto, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Drs. Wahyu Nurharjadmo, M.Si selaku pembimbing Akademik yang telah
commit to user
vii
5. Segenap dosen jurusan Ilmu Administrasi yang telah memberikan
pengerahuan dan pemikirannya selama penulis menempuh studi.
6. Yoenanto Sinung Hartanto ST. M.SE dan seluruh pegawai Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten yang
telah memberikan data hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
7. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulisan baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu
sehingga akhirnya skripsi ini dapat selesai.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan betapapun kecilnya.
Wassalamu’alaikum wr. wb
Surakarta, Januari 2011
commit to user
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………i
HALAMAN PERSETUJUAN………... ii
HALAMAN PENGESAHAN………iii
HALAMAN MOTTO……….iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………...v
KATA PENGANTAR………vi
DARTAR ISI……….viii
DARTAR TABEL………..x
DAFTAR GAMBAR……….xi
ABSTRAK……… xii
ABSTRACT………..xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1
B. Rumusan Masalah………..10
C. Tujuan Penelitian………...11
D. Manfaat Penelitian ………....11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kinerja………...13
B. Pemberdayaan ………...31
C. Usaha Kecil dan Menengah ……….35
D. Tenun Lurik ……….37
E. Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah ………....40
F. Kerangka Pemikiran ………....44
commit to user
ix
B. Lokasi Penelitian ………..….49
C. Metode Penentuan Sumber Data ………...50
D. Sumber Data... 51
E. Tehnik Pengumpulan Data ...52
F. Validitas Data...53
G. Analisis Data………..54
BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi ………....56
B. Kegiatan Pemberdayaan UKM Tenun Lurik………..89
C. Kinerja Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten dalam Pemberdayaan UKM Tenun Lurik……...100
D. Faktor Pendukung dalam Pemberdayaan UKM Tenun Lurik………...116
E. Faktor Penghambat dalam Pemberdayaan UKM Tenun Lurik………...120
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………...130
B. Saran ……….132
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Data Industri Menengah di Kabupaten Klaten………... 3
Tabel 1.2 Data Industri Kecil di Kabupaten Klaten……….3
Tabel 1.3 Sentra UKM Tenun Lurik ATBM Kab Klaten ……... 5
Tabel 4.1 Formasi pegawai Disperindagkop dan UMKM Kab
Klaten berdasarkan Golongan...………... 87
Tabel 4.2 Formasi pegawai Disperindagkop dan UMKM Kab
Klaten berdasarkan Tingkat Pendidikan………... 88
Tabel 4.3 Formasi pegawai Disperindagkop dan UMKM Kab
Klaten berdasarkan Jenis Kelamin ……….88
Tabel 4.4 Data Peserta Pameran Tahun 2010……….……..…99
Tabel 4.5 Matriks Hasil Penelitian Kinerja Disperindagkop
dan UMKM Kab Klaten dalam pemberdayaan
UKM Tenun Lurik ………...128
Tabel 4.6 Keadaan UKM Tenun Lurik Sebelum dan Sesudah
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran….……….45
Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif………...………... 55
Gambar 4.1 Bagan Organisasi Disperindagkop dan UMKM
commit to user
xii ABSTRAK
Galih Sri Rahayu, DO107057, KINERJA DINAS PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOPERASI DAN UMKM KABUPATEN KLATEN DALAM PEMBERDAYAAN UKM TENUN LURIK, Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya jumlah UKM di Kabupaten Klaten. Salah satu UKM yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Klaten adalah UKM Tenun Lurik. Akan tetapi UKM Tenun Lurik ini masih menemui beberapa kendala dalam menjalankan usaha mereka. Untuk itu Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten sebagai pemegang wewenang dalam pembinaan UKM berkewajiban untuk melakukan pemberdayaan UKM Tenun Lurik agar dapat terus berkembang dan menjadi lebih mandiri. Tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan secara lengkap kinerja Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten dalam memberdayakan UKM Tenun Lurik.
Dari segala potensi dan kendala yang dimiliki oleh UKM Tenun Lurik maka Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten melakukan pemberdayaan terhadap UKM Tenun Lurik. Dalam pemberdayaan UKM Tenun Lurik diperlukan kinerja yang baik. Dalam menjalankan kinerja tersebut akan dinilai dari indikator penilaian kinerja yaitu produktivitas, responsivitas dan akuntabilitas. Namun dalam menjalankan kinerjanya Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten juga menjumpai berbagai factor pendukung dan factor penghambat.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan snowball sampling. Tehnik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk menguji validitas data digunakan triangulasi data. Tehnik analisis data menggunakan analisis interaktif yang terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan.
commit to user
xiii ABSTRACT
Galih Sri Rahayu, DO107057, PERFORMANCE OF THE OFFICE OF TRADE INDUSTRY OF ECONOMIC ENTERPRISE AND MICRO-AND
MIDDLE-SCALE BUSINESS OF KLATEN REGENCY IN
EMPOWERMENT OF UKM TENUN LURIK, Thesis, Department of Administrative Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta. and becoming more independent. The main purpose of the study is to describe completely the performance of the Office of Trade Industry of Economic Enterprise and Micro-and-Middle-Scale Business of Klaten Regency in empowering UKM Tenun Lurik.
Concerning the potentials and obstacles gained by UKM Tenun Lurik, the Office of Trade Industry of Economic Enterprise and Micro-and-Middle-Scale Business of Klaten Regency empower the UKM Tenun Lurik. In the empowerment of UKM Tenun Lurik, it is required a good performance. The performance will be assessed by the performance assessment indicators of productivity, responsiveness and accountability. Nevertheless, in conducting the performance of the Office of Trade Industry of Economic Enterprise and Micro-and-Middle-Scale Business of Klaten Regency finds a variety of factors supporting and inhibiting ones.
The research method is descriptive qualitative. The samples of the research taken use a purposive sampling and snowball sampling technique. The data were gathered through observations, interviews and documentations. The data were validated through data triangulation. The data were analyzed by an interactive technique of analysis consisting of data reduction, data display, and conclusion drawing.
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional adalah pembangunan bagi manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan
dilaksanakan diberbagai bidang yang bertumpu pada aspek pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas.
Agar tujuan pembangunan nasional tercapai yaitu meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuaran rakyat maka pembangunan nasional perlu
mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa yang diselenggarakan bersama oleh
masyarakat dan pemerintah. Masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan dan
pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing, melindungi serta
menumbuhkan suasana yang menunjang, saling mengisi dan saling melengkapi.
Namun dalam kenyataan masyarakat banyak belum berperan sebagai
subyek dalam pembangunan. Menjadikan rakyat sebagai subyek pembangunan
adalah memberikan hak-haknya untuk berpartisipasi dalam pembentukan dan
pembangunan produksi nasional. Untuk sampai pada tujuan tersebut, rakyat perlu
dibekali modal material dan mental. Hal ini juga telah menginspirasikan perlunya
pemberdayaaan ekonomi rakyat yang kemudian berkembang menjadi isu untuk
commit to user
Berbicara masalah perekonomian rakyat merupakan tantangan yang berat
dan perlu dikelola untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Cita-cita ini
menjadi amanah bagi setiap individu bangsa Indonesia. Cita-cita yang mendasar
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah menjadi bangsa yang
terlindungi, sejahtera, cerdas dan bersolidaritas tinggi. Cita-cita yang lebih
eksplisit dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 ”Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Dalam konsep perekonomian rakyat banyak usaha yang tumbuh secara
alami yang dikenal dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Kegiatan ekonomi yang dilakukan rakyat ini merupakan bagian terbesar dari
kegiatan ekonomi yang dilakukan rakyat Indonesia. Kegiatan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) terbukti mampu bertahan saat krisis tahun 1998. Daya
tahan ini tercipta karena kemampuan usaha ini untuk mengembangkan sistem
ekonominya sendiri yang dikenal dengan perekonomian rakyat yang didukung
sistem keuangan yang baik sumber maupun cara penyelenggaraannya dilakukan
sendiri oleh rakyat. Serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga
mampu menjadi katup penyelamat bagi pemulihan ekonomi bangsa.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perlu diberdayakan secara
seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran masyarakat secara aktif serta
mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia dan dana
commit to user
saja meningkatkan dan mempercepat pembangunan usaha itu sendiri melainkan
pelaksanaannya harus mampu memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan
eksport hasil industri sehingga tercipta struktur ekonomi yang seimbang.
Sektor industri di Klaten merupakan sektor yang sangat potensial untuk
dikembangkan terutama usaha kecilnya. Karena sektor ini menjadi wadah
penyerapan tenaga kerja yang tidak tertampung oleh sektor lain. Adapun kondisi
perindustrian di Klaten dapat dilihat pada tabel 1.1 dan tabel 1.2
Tabel 1.1
Data Industri Menengah di Kabupaten Klaten
No. Uraian Tahun 2007 Tahun 2008
1. Jumlah usaha 126 126
2. Tenaga Kerja 12.543 12.543
3 Nilai produksi 1.253.110.992 1.522.843.986
Sumber : Deperindagkop dan UMKM Kab. Klaten
Tabel 1.2
Data Industri Kecil di Kabupaten Klaten
No. Uraian Tahun 2007 Tahun 2008
1. Jumlah usaha 33.071 33.221
2. Tenaga Kerja 135.097 136.435
3 Nilai produksi 3.491.841.200 4.114.079.060
commit to user
Dari dua tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah usaha dan tenaga kerja
pada industri menengah tetap namun dari jumlah nilai produksi mengalami
peningkatan dari tahun 2007 sebesar 1.253.110.992 menjadi 1.522.843.986 pada
tahun 2008 sedangkan untuk usaha kecil baik dari jumlah usaha, tenaga kerja dan
nilai produksi mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai tahun 2008. Unit
usaha kecil tahun 2007 berjumlah 33.071 unit usaha meningkat menjadi 33.221
unit usaha pada tahun 2008 dan mampu menyerap tenaga kerja 136.435 orang.
Demikian pula nilai produksinya mengalami peningkatan dari 3.491.841.200 pada
tahun 2007 menjadi 4.114.079.060 pada tahun 2008 atau meningkat sebesar
17,8%. Sehingga dapat diartikan bahwa keberadaan UKM di Kabupaten Klaten
mempunyai arti penting untuk mendorong perekonomian daerah khususnya dalam
penyerapan tenaga kerja dan nilai produksi yang dihasilkan.
Usaha kecil dan menengah yang berada di Klaten sebenarnya merupakan
industri yang sudah ada sejak lama. Secara histories usaha kecil dan menengah
tersebut merupakan warisan yang secara turun menurun dipelihara oleh keluarga.
Dalam arti lebih luas usaha kecil dan menengah yang ada sebenarnya berbasiskan
masyarakat, seperti industri Kerajinan Tenun Lurik ATBM (Alat Tenun Bukan
Mesin). Lurik bagi warga Klaten merupakan warisan budaya masa lalu yang
mempunyai nilai budaya yang tinggi dan layak untuk dipertahankan. Lurik bukan
semata busana pembalut raga, tapi bagi penemu di masa lalu lurik memiliki
filosofi, makna dan pesona tersendiri. Oleh sebab itu warga Klaten khususnya
commit to user
memiliki nilai tersendiri, seperti halnya batik yang sudah ditetapkan sebagai
produk asli Indonesia.
Kabupaten Klaten memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat melalui pengembangan usaha tenun lurik ATBM (Alat
Tenun Bukan Mesin). Pembuatan kain tenun lurik yang dikerjakan secara manual
dan padat karya, merupakan potensi penyerapan tenaga kerja dipedesaan yang
berarti usaha yang mampu menggerakan dinamika perekonomian masyarakat. Hal
tersebut menjadikan keberadaan usaha kecil dan menengah yang ada di Klaten
merupakan industri strategis yang menjadi peluang bagi peningkatan
perekonomian daerah. Usaha tenun lurik tersebut selain dapat menyerap tenaga
kerja yang sangat banyak jumlahnya yang berarti mengurangi tingkat
pengangguran juga pembawa kehidupan bagi perekonomian desa.
Di Klaten unit usaha tenun lurik ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin)
disamping memproduksi tenun lurik juga memproduksi serbet makan. Namun
karena harga jual serbet makan sangat rendah kemudian sekarang beralih
memproduksi tenun lurik. Unit usaha tenun lurik ATBM (Alat Tenun Bukan
Mesin) ini tersebar di beberapa kecamatan diantaranya Pedan, Trucuk, Cawas,
Bayat dan Polanharjo. Adapun data sentra UKM Tenun Lurik dapat dilihat pada
commit to user
Tabel 1.3
Sentra Usaha Kecil dan Menengah Tenun Lurik ATBM (Alat Tenun
Bukan Mesin) Kabupaten Klaten
Sumber : Disperindagkop dan UMKM Kab.Klaten
Berdasarkan tabel 1.3 diatas, jumlah unit usaha tenun lurik ATBM (Alat
Tenun Bukan Mesin) terbanyak terdapat di kecamatan Cawas yaitu sebanyak 152
commit to user
Bayat sebanyak 52 unit usaha, di kecamatan Pedan sebanyak 28 unit usaha dan di
kecamatan Polanharjo sebanyak 12 unit usaha. Padahal dahulu kecamatan Pedan
terkenal sebagai sentra tenun lurik ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) namun
dengan semakin berkembangnya tenun lurik sekarang unit usaha terbanyak
terdapat di kecamatan Cawas. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dari
pemerintah untuk mengembangkan kembali agar sentra tenun lurik dapat
bertambah dan berkembang.
Kain tenun lurik merupakan kain yang dibuat melalui proses tenun dengan
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dikerjakan oleh tangan-tangan manusia
secara manual. Proses produksi lurik dimulai dari pewarnaan benang kemudian
proses pengeringan benang melalui penjemuran dibawah sinar matahari
selanjutnya pengelosan benang lalu penatan/penyusunan motif lurik setelah itu
pencucukan dan palet dan akhirnya proses penenunan. Dari kain tenun lurik
ATBM yang dihasilkan dapat dibuat kreasi seperti baju lurik, slayer lurik, jas
lurik, tas kecil lurik, tirai, dll.
Usaha tenun lurik ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) di Klaten sudah ada
sejak tahun 1950-an. Akan tetapi karena desain dan inovasi motifnya hanya itu-itu
saja dan tidak berkembang membuat tenun lurik ATBM (Alat Tenun Bukan
Mesin) kurang diminati. Selain itu usaha tenun lurik ATBM (Alat Tenun Bukan
Mesin) ini menghadapi permasalahan diantaranya :
1. Kurangnya permodalan yang diperlukan untuk mengembangkan
commit to user
ATBM ini merupakan usaha perorangan yang mengandalkan pada
modal sendiri yang jumlahnya sangat terbatas.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Hal ini dikarenakan pada
umumnya usaha tenun lurik ATBM ini merupakan usaha yang
tradisional dan usaha keluarga yang turun temurun sehingga dari segi
pendidikan, pengetahuan dan keterampilannya sulit untuk berkembang.
Disamping itu usaha ini relatif sulit mengadopsi tehnologi baru untuk
meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
3. Lemahnya jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar. Hal ini
dikarenakan pada umumnya usaha tenun lurik ATBM ini merupakan
unit usaha keluarga sehingga mempunyai jaringan usaha yang terbatas
dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah. Sehingga pemasarannya
terbatas.
4. Sarana prasarana yang terbatas. Hal ini dikarenakan dalam usaha tenun
lurik ATBM menggunakan alat tenun tradisional bukan mesin yaitu
alat sederhana terbuat dari kayu yang dirangkai sederhana, bahkan
terkadang diberi penguat batu/batu bata agar dapat dioperasikan secara
manual.
5. Terbatasnya bahan baku. Hal ini dikarenakan bahan baku untuk
membuat tenun lurik adalah benang yang kebanyakan masih membeli
commit to user
Namun dengan adanya Peraturan Gubernur Jawa Tengah mengenai
kewajiban Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Jawa Tengah untuk mengenakan
seragam berbahan tenun lurik per 7 Juli 2010 setiap hari rabu serta didukung pula
dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Bupati No. 065/77/2010 yang
mewajibkan PNS Kabupaten Klaten untuk mengenakan seragam lurik dua hari
dalam sepekan, menjadikan tenun lurik mulai diperhatikan. Lurik mulai menarik
perhatian orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap lurik sehingga seiring
dengan perkembangan ide kreatif. Lurik juga berkembang dengan pesatnya mulai
dari peralatan yang digunakan, tenaga yang diserap, hasil tenunan kain lurik yang
di dapat serta desain motif yang semakin modern dan mengikuti pangsa pasar,
bahkan penghasilan penduduk sekitar menjadi operator lurik juga melejit.
Sehingga keberlangsungan kain tenun lurik dengan ATBM (Alat Tenun Bukan
Mesin) dapat lestari. Karena lurik ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) merupakan
salah satu ikon kebanggaan Kabupaten Klaten.
Untuk mendukung pelestarian kain tenun lurik tersebut Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten melakukan
pemberdayaan terhadap UKM Tenun Lurik yang tersebar di daerah Klaten.
Selama ini kegiatan yang dilakukan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi
dan UMKM Kabupaten Klaten dalam pemberdayaan UKM Tenun Lurik adalah
melalui kegiatan pelatihan, bantuan pengadaan peralatan, bantuan akses
permodalan dan bantuan akses pemasaran. Sebagai pihak yang bertanggungjawab
commit to user
Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten telah menjalankan tugasnya dengan baik
walaupun hasilnya belum memenuhi target dari pemerintah.
Dalam menjalankan kinerjanya Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi
dan UMKM Kabupaten Klaten juga menjumpai berbagai factor penghambat
seperti terbatasnya kualitas dan kuantitas aparat Dinas penggerak UKM,
keterbatasan anggaran dan keterbatasan sarana dan prasarana Dinas. Selain itu
ada pula factor pendukung antara lain yaitu terjalinnya kerjasama yang baik
antara Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten,
pengusaha UKM Tenun Lurik dan pihak lain serta bantuan dan kepedulian dari
pihak-pihak luar yang mendukung kegiatan pemberdayaan UKM Tenun Lurik
ini sehingga dapat berjalan dengan baik.
Dari uraian mengenai kondisi UKM Tenun Lurik di Kabupaten Klaten
tersebut, maka menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian mengenai
bagaimana kinerja Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM dalam
pemberdayaan UKM Tenun Lurik tersebut sehingga UKM Tenun Lurik dapat
berkembang dan maju. Sehingga nantinya tenun lurik Klaten bukan sekedar dilirik
oleh masyarakat tetapi juga menjadi brand image baru bagi dunia tekstil di
Indonesia. Disamping itu juga mengangkat nama Klaten di masa mendatang.
B. Rumusan Masalah
Pada dasarnya rumusan masalah digunakan untuk membatasi masalah
yang akan dibahas dalam penelitian. Dengan melihat latar belakang diatas, maka
commit to user
1. Bagaimana kinerja Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
UMKM Kabupaten Klaten dalam memberdayakan UKM Tenun Lurik ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pemberdayaan
UKM Tenun Lurik tersebut?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Operasional
a. Memberi gambaran mengenai kinerja Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten dalam
memberdayakan UKM Tenun Lurik.
b. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat
pemberdayaan UKM Tenun Lurik.
2. Tujuan Fungsional
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
pembaca dalam memahami kinerja Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten
dalam rangka meningkatkan pemberdayaan UKM.
3. Tujuan Individual
Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Sebelas
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Dapat memberikan masukan dan bantuan pemikiran bagi semua pihak
yang terkait dengan pemberdayaaan UKM Tenun Lurik.
2. Dapat menambah pengetahuan kita semua mengenai pemberdayaaan
UKM Tenun Lurik.
3. Dapat mengasah kemampuan penulis dalam merspon masalah,
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Istilah kinerja atau performance oleh para cendekiawan sering diartikan
sebagai “penampilan”, “unjuk kerja” atau “prestasi”. (Yeremias T. Keban, 2004
: 191).
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara
keseluruhan selama periode waktu didalam melaksanakan tugas dibandingkan
denagan berbagai kemungkinan seperti standar hasil kerja target atau sasaran atau
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika
dilihat dari asal katanya kata kinerja merupakan terjemahan dari kata
performance yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary terbitan AS
& Canada (1979) berasal dari akar kata to perform dengan beberapa entries
yaitu :
1. melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute).
2. memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to
discharge of fulfill; as vow).
3. melaksanakan atau menyempuurnakan tanggungjawab (to execute or
complete an understanding).
4. melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what
is expected of a person machine). (Veithzal Rivai dan Ahmad Fawzi Mohd
commit to user
Sedangkan menurut Bernardin dan Russel dalam Yeremias T. Keban
(2004 : 192) mengartikan kinerja sebagai “….the record of outcomes produced on
a specified job function or activity during a specified job function or activity
during a specified time period….”. Dalam definisi ini aspek yang ditekankan
yaitu tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerjaan atau
aktifitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian kinerja disini
hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seorang pagawai selama
periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik pribadi pegawai yang dinilai.
Menurut Stolovitch and Keep, 1992 dalam Veithzal Rivai dan Ahmad
Fawzi Mohd Basri (2005) kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan
merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang
diminta. Kinerja juga menunjuk pada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan
tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja
dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan
baik.
Dalam Encyclopedia of Public Administration and Public Policy Tahun
2003 dalam Yeremias T Keban (2004 : 193), kinerja menggambarkan sampai
seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan
kinerja terdahulunya (previous performance), dibandingkan dengan organisasi
lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang
telah ditetapkan. Dan untuk dapat melakukan perbandingan ini atau pengukuran
pencapaian tujuan tersebut dibutuhkan suatu definisi operasional yang jelas
commit to user
terhadap tingkat kualitas yang diharapkan dari output atau outcomes tersebut
secara kuantitatif ataupun kualitatif.
Dari bebagai pengertian kinerja diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja
(performance) adalah suatu bentuk prestasi atau tingkat pencapaian hasil dari
suatu proses kegiatan yang dilaksanakan selama kurun waktu tertentu untuk
mewujudkan tujuan organisasi.
1. Penilaian Kinerja
Penilaian kerja (performance appraisal) juga dikenal dengan istilah
evaluasi kinerja (performance evaluation) atau pengukuran kinerja (performance
measurement). Penilaian kinerja merupakan analisis dan interpretasi keberhasilan
atau kegagalan pencapaian kinerja. Penilaian sebaiknya dikaitkan dengan sumber
daya (input) yang berada di bawah wewenangnya seperti SDM, dana/keuangan,
sarana prasarana, metode kerja dan hal lainnya yang berkaitan. Tujuannya agar
dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian kinerja yang tidak sesuai
(kegagalan) disebabkan oleh faktor input yang kurang mendukung atau kegagalan
pihak manajemen. (Veithzal Rivai dan Ahmad Fawzi Mohd Basri, 2005 : 29)
Menurut Dessler (2000) dalam Yeremias T Keban (2004 : 196), penilaian
kerja merupakan upaya sistematis untuk membandingkan apa yang dicapai
seseorang dibandingkan dengan standar yang ada. Tujuannya adalah untuk
mendorong kinerja seseorang agar bisa berada di atas rata-rata.
Neely et al., (1995) dalam Suprapto (2009 : 40) mendefinisikan
pengukuran kinerja sebagai suatu proses menilai efektivitas dan efisiensi dari
commit to user
“… the process of quantifying effectiveness and efficiency of action. Effectiveness
is referred to the degree of which stakeholder requirements are met, while
efficiency measure shows the company’s resources are used when providing a
certain degree of stakeholder satisfaction.”
(…proses dari pengukuran efektifitas dan efisiensi tindakan. Efektifitas
dihubungkan dengan tindakan stakeholder yang disyaratkan yang mana
pengukuran digunakan ketika menyediakan tingkatan tertentu dari kepuasan
stakeholder).
(B. Suprapto et al. www.sbm.itb.ac.id/ajtm. The Asian Journal of Technology
Management Vol. 2 No. 2 (2009) 76-87. The Implementation of Balance Score
Card for Performance Measurement in Small and Medium Enterprises: Evidence
from Malaysian Health Care Services)
Sedangkan dalam Quamrul Islam (2009) mendefinisikan “Performance
measurement is the process, or structured set of managed work activities,
used to quantify the productivity, effectiveness and efficiency of action”
(Churchman, 1959; Zairi, 1994).
(Pengukuran kinerja adalah proses, atau kegiatan kerja yang terstruktur, yang
digunakan untuk mengukur produktivitas, efektivitas dan efisiensi tindakan)
(Quamrul Islam. www.2dix.com. International Journal of Global Business, 2 (2),
137-153, December 2009. The Quintessential Performance Matrix : Performance
Measures Used in Strategic Decision-Making Under Governance Structures)
Sedangkan menurut Agus Dwiyanto (2006 : 47) penilaian kinerja
commit to user
ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Untuk organisasi
pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai
seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan
dan memuaskan pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian kinerja maka upaya
untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.
Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para
pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
organisasi. Dengan adanya informasi mengenai kinerja maka benchnarking
dengan mudah bisa dilakukan dan dorongan memperbaiki kinerja bisa diciptakan.
Penilaian kinerja dilaksanakan tidak hanya sekedar untuk mengetahui
kinerja yang lemah, hasil yang baik dan bisa juga diidentifikasi sehingga dapat
digunakan untuk penilaian lainnya. Untuk itu dalam penilaian kinerja perlu
memiliki hal-hal berikut ini :
1. Standar kinerja
Sistem penilaian memerlukan standar kinerja yang mencerminkan
seberapa jauh keberhasilan sebuah pekerjaan telah dicapai. Agar
efektif standar perlu berhubungan dengan hasil yang diinginkan dari
tiap pekerjaan. Hal tersebut dapat diuraikan dari analisis pekerjaan
dengan menganalisis hubungannya dengan kinerja karyawan saat
sekarang.
2. Ukuran kinerja
Penilaian kinerja juga memerlukan ukuran/standar kinerja yang dapat
commit to user
penilaian yang kritis dalam menentukan kinerja, ukuran yang andal
juga hendaknya dapat dibandingkan dengan cara lain dengan standar
yang sama untuk mencapai kesimpulan sama tentang kinerja sehingga
dapat menambah reliabilitas sistem penilaian. (Veithzal Rivai dan
Ahmad Fawzi Mohd Basri, 2005 : 129)
Jadi penilaian kinerja berfungsi untuk menilai sukses atau tidaknya suatu
organisasi, program atau kegiatan. Penilaian kinerja diperlukan untuk menilai
tingkat besarnya terjadi penyimpangan antara kinerja aktual dan kinerja yang
diharapkan. Dengan mengetahui penyimpangan tersebut dapat dilakukan upaya
perbaikan dan peningkatan kinerja. Alasan yang dapat mendasari pentingnya
pengukuran kinerja sektor publik terkait dengan tanggungjawab dalam memenuhi
akuntabilitas dan harapan dari masyarakat. Organisasi sektor publik
bertanggungjawab atas penggunaan dana dan sumber.
2. Indikator Kinerja
Menurut Dwiyanto ( 2002 : 50-51) ada beberapa macam indikator yang
biasa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu sebagai berikut :
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi
juga tingkat pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai
rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu
sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba
commit to user
memasukan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang
diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai layanan cenderung semakin penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk
mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat
terhadap pelayanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan
demikian kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan
kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi
mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan
murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan
seringkali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik akibat
akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap
kualitas layanan relatif sangat tinggi maka bias menjadi satu ukuran
kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan.
Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja
organisasi publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agaenda dan prioritas pelayanan,
mengembangkan program-orogram pelayanan publik sesuai dengan
commit to user
menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan
sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukan dengan
ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal
tersebut jelas menunjukan kegagalan organisasi dalam mewujudkan
misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki
responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek
pula.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan pelaksanaan kegiatan organisasi publik
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau
sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun
implisit. Oleh karena itu, responsibilitas bias saja pada suatu ketika
berbenturan dengan responsivitas.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menujuk pada seberapa besar kebijakan kegiatan
organisasi publik tunduk para pejabat yang dipilih oleh rakyat.
Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut dipilih oleh
rakyat dengan sendirinya mempresentasikan kepentingan rakyat.
commit to user
untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik
itu konsisten denagan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi
publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang
dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti
pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran
eksternal seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi
kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma
yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut Kumorotomo (1996) dalam Agus Dwiyanto (2002 : 52)
menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja
untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik
antara lain adalah berikut ini :
1. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi
pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi
serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila
diterapkan secara obyektif, kriteria seperti likuiditas, solvabilitas dan
rentabilitas merupakan kriteria efisiensi yang sangat relevan.
2. Efektivitas
Apakah tujuan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai?
Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas tehnis, nilai, misi tujuan
commit to user
3. Keadilan
Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat
kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya
mempersoalkan apakah tingkat efektifitas tertentu, kebutuhan dan
nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang menyangkut
pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan
sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
4. Daya Tanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta,
organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara
atau pemerinyah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria
organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini.
Salim & Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan
pertimbangan-petimbangan ekonomi, efisiensi, efektifitas dan persamaan pelayanan. Aspek
ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber
daya seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan
publik. Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu
kondisi tercapainya perbandingan terbaik/proposional antara input pelayanan
dengan output pelayanan. Demikian pula, aspek efektifitas kinerja pelayanan ialah
untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah
commit to user
sebagai ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang
sama terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. (Agus Dwiyanto, 2002 : 52-53)
Ratminto dan Atik Winarsih (2005 : 174) menjelaskan bahwa indikator
kinerja sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penelitian yang
dilakukan dalam proses penemuan dan penggunaan indikator tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Mc Donald dan Lawton (1977) dalam Ratminto dan Atik Winarsih (2005 :
174) mengemukakan beberapa indikator : output oriented measure
throughput, efficiency, effectiveness.
a. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukan
tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam
suatu penyelenggaraaan pelayanan publik.
b. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang
maupun misi organisasi.
2. Salim dan Woodward (1992) dalam Ratminto dan Atik Winarsih (2005 :
174) mengemukakan beberapa indikator : economy, efficiency,
effectuveness, equity.
a. Eonomy atau ekonomis adalah penggunaan sumber daya yang sesedikit
commit to user
b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukan
tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam
suatu penyelenggaraan pelayanan publik.
c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang
maupun misi organisasi.
d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan
dangan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.
3. Lenvinne (1990) dalam Ratminto dan Atik Winarsih (2005 : 175)
mengemukakan beberapa indikator : responsiveness, responsibility,
accountability
a. Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya tanggap
providers terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan
customers.
b. Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang
menunjukan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu
dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan.
c. Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang
menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian antara penyelenggara
pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan
dimiliki oleh stakeholder, seperti nilai dan norma yang berkembang
commit to user
4. Zeithmal, Parasuraman, dan Berry (1990) dalam Ratminto dan Atik
Winarsih (2005 : 175) menjelaskan beberapa indikator : tangibles,
reliability, responsiveness, assurance, empaty
a. Tangibles atau ketampakan fisik artinya ketampakan fisik dari gedung
peralatan, pegawai dan fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki oleh
providers.
b. Reliability atau reabilitas agalah kemampuan untuk menyelenggarakan
pelayanan yang dikanjikan secara akurat.
c. Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong
customers dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.
d. Assurance atau kepastian adalah pengetahuan dan kesopanan para
pekerja dan kemampuan merka dalam memberikan kepercayaan
kepada customers.
e. Empaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang diberikan oleh
providers kepada customers.
5. Gibson, Ivancenich & Donnelly (1990) dalam Ratminto dan Atik
Winarsih (2005 : 177) mengungkapkan indikator : kepuasan, efisiensi,
produksi, perkembangan, keadaptasian dan kelangsungan hidup.
a. Kepuasan artinya seberapa jauh organisasi dapat memenuhi kebutuhan
anggotanya.
b. Efisiensi adalah perbandingan terbaik antara keluaran dan masukan.
c. Produksi adalah ukuran yang menunjukan kemampuan organisasi
commit to user
d. Keadaptasian adalah ukuran yang menunjukan daya tanggap organisasi
terhadap tuntutan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
e. Pengembangan adalah ukuran yang mencerminkan kemampuan dan
tanggung jawab organisasi dalam memperbesar kapasitas dan
potensinya untuk berkembang.
Sedangkan aspek dalam pengukuran kinerja organisasi sektor publik
meliputi hal-hal berikut :
1. Input (masukan)
Adalah sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan dalam
rangka menghasilkan output, seperti sumber daya manusia (SDM), dana,
material, waktu, tehnologi, dan sebagainya.
2. Process (proses)
Adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengolah input menjadi output.
3. Output (keluaran)
Adalah barang atau jasa yang dihasilkan secara langsung dari pelaksanaan
kegiatan berdasarkan input yang digunakan.
4. Outcome (hasil)
Adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output atau efek
langsung dari output pada jangka menengah. (I Gusti Agung Rai, 2008:21)
Menurut Ratminto dan Atik indikator kinerja dapat dikelompokan
dikelompokan menjadi dua yaitu indikator kinerja yang berorientasi pada proses
dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil. Dari beragam indikator yang
commit to user
dapat dirangkum menjadi dua sudut pandang/orientasi. Adapun rangkuman
indikator kinerja tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.1
Tabel 2.1
Rangkuman Indikator Kinerja
Tokoh Indikator
Berorientasi proses Berorientasi hasil
commit to user
Gibson, Ivancenich &
Donnelly (1990) dalam
kurang berkembang dan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh UKM Tenun
Lurik dalam pengembangannya sehingga pihak Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten perlu untuk melakukan pemberdayaan
terhadap UKM Tenun Lurik tersebut melalui kegiatan pelatihan, bantuan
pengadaan alat, bantuan akses permodalan dan bantuan akses pemasaran. Maka
indikator yang digunakan penulis untuk mengukur bagaimana Kinerja Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten dalam
pemberdayaan UKM Tenun Lurik adalah indikator yang berorientasi pada hasil
yaitu produktivitas untuk mengetahui bagaimana hasil kegiatan pemberdayaan
yang telah dilaksanakan dan indikator yang berorientasi pada proses yaitu
responsivitas dan akuntabilitas untuk mengetahui bagaimana kegiatan
pemberdayaan dilakukan apakah sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat dan
kehendak masyarakat.
1. Produktivitas
Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan
output. Produktivitas merupakan ukuran yang menunjukan kemampuan
Pemerintah untuk menghasilkan keluaran yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Alasan pemilihan kriteria ini yaitu untuk mengetahui apakah
commit to user
Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten mampu
menghasilkan keluaran yang diharapkan yaitu mengembangkan UKM
Tenun Lurik agar lebih maju dan mandiri.
Konsep produktivitas pada Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
UMKM Kabupaten Klaten diukur dari seberapa besar pelayanan publik
yang diberikan dalam pemberdayaan UKM Tenun Lurik tesebut mampu
menghasilkan keluaran/output sesuai dengan yang diharapkan.
2. Responsivitas
Organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya terutama untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas merupakan daya tanggap
dari organisasi terhadap suatu permasalahan.
Menurut Lenvinne (1990) dalam Ratminto dan Atik Winarsih (2005 : 175)
responsivitas adalah mengukur daya tanggap providers terhadap harapan,
keinginan dan aspirasi serta tuntutan customers.
Sedangkan menurut Dwiyanto (2002 : 50) responsivitas adalah
kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun
agaenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-program
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara
singkat responsivitas disini menujuk pada keselarasan antara program dan
kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Sehingga responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena
hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali
commit to user
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Alasan pemilihan kriteria ini yaitu
untuk mengetahui apakah Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
UMKM Kabupaten Klaten memiliki responsivitas dengan kemampuan
untuk mengenali kebutuhan dan aspirasi para UKM Tenun Lurik dengan
mengetahui dan menindaklanjuti keluhan yang dialami oleh pengusaha
tenun lurik selama kegiatan pemberdayaan.
Responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara kegiatan
pemberdayaan dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan
UMKM Kabupaten Klaten dengan kebutuhan masyarakat. Responsivitas
dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas
secara langsung menggambarkan kemampuan Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi dan UMKM dalam menjalankan misi dan
tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka
pemberdayaan UKM Tenun Lurik.
3. Akuntabilitas
Menurut Dwiyanto (2002 : 50) akuntabilitas publik menujuk pada
seberapa besar kebijakan kegiatan organisasi publik tunduk para pejabat
yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik
tersebut dipilih oleh rakyat dengan sendirinya mempresentasikan
kepentingan rakyat. Kriteria ini dipilih karena jika dilihat dari akuntabilitas
dapat menunjukan bagaimana kinerja Dinas Perindustrian Perdagangan
commit to user
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten
bertanggungjawab terhadap UKM Tenun Lurik yang telah di binanya.
Dalam konteks ini, konsep dasar akuntabilitas publik dapat digunakan
untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Klaten dalam
pemberdayaan UKM Tenun Lurik itu konsisten dengan kehendak
masyarakat.
B. Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari penerjemahan Bahasa Inggris empowerment
yang juga dapat bermakna ”pemberian kekuasaan” karena power bukan sekedar
”daya” tetapi juga ”kekuasaan” sehingga kata ”daya” tidak saja bermakna
”mampu” tetapi juga ”mempunyai kuasa”. (Randy R Wrihatnolo dan Riant
Nugroho Dwijowijoto, 2007 : 1).
Pemberdayaan adalah sebuah ”proses menjadi, bukan sebuah ”proses
instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu :
a. Tahap penyadaran.
Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam
bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk
mempunyai sesuatu. Program-program yang dapat dilakukan pada tahap
ini misalnya memberikan pengetahuan yang kognisi, belief, dan healing.
commit to user
(membangun ”demand” diberdayakan dan proses pemberdayaan itu
dimulai dari dalam diri mereka (tidak dari orang lain).
b. Tahap pengkapasitasan.
Tahap inilah yang sering disebut ”capacity building” atau dalam bahasa
yang lebih sederhana memampukan atau enabling. Untuk diberikan daya
atau kuasa yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Proses
capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi dan
sistem nilai.
c. Tahap pemberian daya
Tahap pemberian daya merupakan pemberian daya itu sendiri atau
empowerment dalam makna sempit. Pada tahap ini kepada target diberikan
daya, kekuasaan, otoritas atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan
kualitas kecakapan yang dimiliki. (Randy R Wrihatnolo dan Riant
Nugroho Dwijowijoto, 2007 : 2-6).
Menurut Ron Johnson dan David Redmod (The Art of Empowerment,
1992) dalam Randy R Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwijowijoto (2007) bahwa
at last empowerment is about art. It is about value we believe. Tatkala
pemberdayaan menjadi sebuah praktik dan seni, yang mengemuka adalah
bagaimana memanajemeni proses pemberdayaan. Artinya memberdayakan tidak
boleh bermakna “merobotkan” atau “menyeragamakan”. Pemberdayaan memberi
ruang pada pengembangan keberagaman kemampuan manusia yang beragam,
commit to user
Dalam pengertian konvensional, konsep pemberdayaan sebagai terjemahan
empowerment mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power or authority
atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke
pihak lain, (2) to give ability atau to enable atau usaha untuk memberi
kemampuan atau keberdayaan yang terlibat dalam perjuangan tersebut. Dengan
demikian proses pemberdayaan merupakan tindakan usaha perbaikan atau
peningkatan ekonomi, sosial budaya, politik dan psikologi baik secara individual
maupun kolektif yang berbeda menurut kelompok etnik dan kelas sosial.
Sumodiningrat (2001) menyebutkan beberapa kegiatan pemberdayaan
masyarakat erat dengan pengembangan ekonomi rakyat yang difasilitasi oleh
sejumlah program penbangunan dan menyebut program-program tersebut sebagai
upaya pemberdayaan masyarakat sebagai penerjemahan dari pelaksanaan
demokrasi ekonomi Pasal 33. Kunci program-program tersebut adalah perlibatan
peran serta aktif masyarakat lokal dalam menciptakan kegiatan ekonomi yang
berkelanjutan bagi diri mereka sendiri. Sumodiningrat menyebutkan bahwa secara
umum ada lima ciri khas dalam penerapan pemberdayaan masyarakat yaitu
adanya stimulus modal, pendampingan, bantuan prasarana dan sarana,
pengembangan kelembagaan serta pemantauan dan pelaporan. (Randy R
Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwijowijoto, 2007 : 193).
Dubois dan Miley (1997) dalam Randy R Wrihatnolo dan Riant Nugroho
Dwijowijoto (2007 : 115-117) mengemukakan bahwa dasar-dasar pemberdayaan
commit to user
1. Pemberdayaan adalah proses kerjasama antara klien dan pelaksana kerja
secara bersama-sema yang bersifat mutual benefit.
2. Proses pemberdayaan memandang sistem klien sebagai komponen dan
kemampuan yang memberikan jalan ke sumber penghasilan dan
memberikan kesempatan.
3. Klien harus merasa dirinya sebagai agen bebas yang dapat mempengaruhi.
4. Kompetensi diperoleh atau diperbaiki melalui pengalaman hidup,
pengalaman khusus yang kuat daripada keadaan yang menyatakan apa
yang dilakukan.
5. Pemberdayaan meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan dan kapasitas
untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut dengan cara
efektif.
6. Proses pemberdayaan adalah masalah yang dinamis, sinergis, terus
berubah, dan evolusioner yang selalu memiliki banyak solusi.
7. Pemberdayaan adalah pencapaian melalui struktur-struktur paralel dari
perseorangan dan perkembangan masyarakat
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberdayaan adalah proses
menyeluruh : suatu proses aktif antara motivator, fasilitator dan kelompok
masyarakat yang perlu diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan,
keterampilan, pemberian berbagai kemudahan serta peluang untuk mencapai akses
sistem sumber daya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proses
pemberdayaan hendaknya meliputi enabling (menciptakan suasana kondusif),
commit to user
(perlindungan dari ketidakadilan), supporting (bimbingan dan dukungan), dan
foresting (memelihara kondisi yang kondusif tetap seimbang). Pada gilirannya
diharapkan akan terwujud kapasitas ketahanan masyarakat secara lebih bermakna,
bukan sebaliknya bahwa stimulan dan proses yang ada menjebak masyarakat pada
suasana yang penuh ketergantungan.
C. Usaha Kecil dan Menengah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dijelaskan bahwa Usaha Kecil adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang,
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi
kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Sedangkan
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang, perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Kecil atau Usaha Besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
Undang-Undang.
Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008 kriteria
commit to user
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus
juta rupiah).
Sedangkan kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling tidak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh milyar rupiah).
Pengertian UKM dilihat dari kriteria jumlah pekerja yang dimiliki, di
Indonesia BPS mempunyai kriteria usaha kecil jika karyawannya 5-19 orang, jika
kurang dari 5 orang digolongkan usaha rumah tangga dan usaha menengah terdiri
dari 20-99 karyawan.
Kriteria usaha kecil sangat berbeda-beda, tergantung pada fokus
permasalahan yang dituju dan instansi yang berkaitan dengan sektor ini.
Sedangkan di negara-negara lain, kriteria yang pada akhirnya turut menentukan
ciri sektor usaha kecil yang antara lain ditentukan oleh karyawan yang dimiliki
perusahaan yang bersangkutan. Misalnya di Perancis, menggunakan jumlah
commit to user
dianggap sebagai perusahaan sangat kecil (mikro), sedangkan jika memiliki 10-40
orang karyawan dianggap perusahaan kecil, dan jika memiliki 50-500 orang
karyawan disebut sebagai perusahaan menengah. (Pandji Anoraga dan Djoko
Sudantoko, 2002 : 225)
Menurut Pandji Anoraga dan Djoko Sudantoko, (2002 : 225-226) secara
umum sektor UKM memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Sistem pembukuan yang relatif sederhana cenderung tidak mengikuti
kaidah administrasi pembukuan standar. Kadangkala pembukuan tidak di
up to date, seingga sulit umtuk menilai kinerja usahanya,
2) Margin usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat
tinggi.
3) Modal terbatas.
4) Pengalaman manajerial dalam mengelola perusahaan masih sangat
terbatas.
5) Skala ekonomi yang terlalu kecil, sehingga sulit mengharapakan untuk
mampu menekan biaya mencapai titik efisiensi jangka panjang.
6) Kemampuan untuk memperoleh sumber dana dari pasar modal rendah
mengingat dana di pasar modal, sebuah perusahaan harus mengikuti sistem
administrasi standar dan harus transparan
D. Tenun Lurik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun
yang memiliki corak jalur-jalur. Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri
commit to user
kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun
sarat dengan makna. Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik
juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan.
(Djoemena, Nian S : 2000).
Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain
hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar
garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya
diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya
garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya.
Namun pakaian atau kain dengan motif lorek tidak dapat secara langsung disebut
lurik, karena lurik harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bahan
tertentu dan diolah melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan,
pencelupan, pengkelosarf, pemaletan, peghanian, pencucukan, penyetelan, sampai
pada penenunan, hingga nantinya menjadi kain yang slap dipakai. Motif kain lurik
ternyata tidak hanya berupa garis-garis membujur saja, tetapi dalam
perkembangannya kemudian, motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara
garis melintang dengan garis membujur dapat dikategorikan sebagai lurik. Tidak
hanya berupa garis, motif kain lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang
merupakan perpaduan dua garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang
bercorak garis atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan
berbagai warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan.
commit to user
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik
diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang,
tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada
mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai
kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu
dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan
lurik gendong. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief
Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat
tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari
Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama
kain lurik (Djoemena, Nian S : 2000).
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garis-garis, namun variasinya
sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti dalam
Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak
klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, melati secontong, ketan ireng,
ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, dan sebagainya. Dalam
Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng,
gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya muncul motif-
motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos
abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah
motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.
Adapun alat tenun yang paling awal dikenal dalam membuat lurik adalah