• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERUBAHAN CUACA EKSTREM TERHADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH PERUBAHAN CUACA EKSTREM TERHADA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG PADA HEWAN DAN MANUSIA” untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Ilmiah. Selain itu, tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk lebih menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan terlebih saat musim pancaroba atau perubahan iklim demi menurunkan risiko penyebaran penyakit flu burung.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu proses penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Sumedang, 21 Maret 2017

(2)

DAFTAR ISI

Kata pengantar………..1

Daftar isi………...2

Bab I Pendahuluan……….…………...…………....3

I.I Latar Belakang………...………...………3

I.II Perumusan Masalah………...…………....4

I.III Tujuan Penulisan………...4

I.IV Hipotesis………....4

I.V Metode Penelitian………..…5

Bab II Pembahasan………..….6

II.I Flu Burung (Avian Influenza)………..….6

II.I.I High Pathogenic Avian Influeanza (HPAI)………..…...7

II.I.II Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)………...…….9

II.II Gejala Penyakit………...……..10

II.II.I Pada Hewan………...……..10

II.II.I Pada Manusia………...……….13

III.II Upaya Pencegahan………...……….17

Bab III Penutup………...……...18

III.I Kesimpulan………..…………18

(3)

BAB I PENDAHULUAN

I.I. LATAR BELAKANG

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka setiap negara berlomba-lomba semaksimal mungkin untuk mengeksploitasi sumber daya alam, baik yang ada dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini memang terbukti dapat meningkatkan perekonomian global dimana sektor pertambangan menjadi komoditas perdagangan utama. Termasuk juga hasil hutan yang menjadi komoditas andalan bagi beberapa negara berkembang yang memiliki luas hutan cukup luas.

Akan tetapi, eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh beberapa negara telah memicu perubahan fenomena alam diantaranya adalah naiknya permukaan air laut, mencairnya es kutub, dan perubahan iklim dunia. Fenomena-fenomena tersebut dipicu oleh maraknya industri primer, industri manufaktur, dan meningkatnya sektor transportasi global.

(4)

I.II. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1. Apa pengertian penyakit flu burung?

2. Bagaimana karakteristik gejala dari hewan dan manusia yang tejangkit flu burung?

3. Bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit flu burung?

4. Bagaimana cara pencegahan penyakit flu burung terlebih ketika perubahan iklim akibat pemanasan global?

I.III. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah : a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah metode ilmiah.

b. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai penyakit flu burung.

c. Untuk mengetahui karakteristik gejala dari hewan dan manusia yang tejangkit flu burung.

d. Untuk mengetahui perubahan iklim terhadap penyebaran penyakit flu burung.

e. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit flu burung terlebih ketika perubahan iklim akibat pemanasan global.

I.IV. HIPOTESIS

Adapun hipotesis (jawaban sementara) dalam makalah ini adalah :

(5)

I.V. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan melalui dua cara yaitu :

1. Studi pustaka

Dilakukan dengan mencatat data yang dibutuhkan dari pustaka-pustaka yang ada.

2. Pencarian data

(6)

BAB II PEMBAHASAN

II.I. FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)

Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan flu burung disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada hewan H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1 (Kemenkes RI, 2005 dalam Novitri, 2014).

Virus AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan kematian tinggi. Penyakit ini menular dengan melalui beberapa cara, yaitu antar-ternak unggas, antar-ternak-manusia, dan antar-manusia (Yudhastuti dan Sudarmaji 2006 dalam Novitri, 2014). Penyakit Avian Influenza (AI) sangat berbahaya karena menyebabkan kematian unggas secara mendadak dan menyebar secara cepat. Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ternak unggas termasuk ayam lokal, dan yang lebih menakutkan lagi bahwa AI dapat menular pada manusia dan menyebabkan kematian (Zainuddin dan Wibawan, 2008 dalam Novitri, 2014).

(7)

permintaan telur dan daging. Kerugian besar juga terjadi pada pembibit yang dalam produksi DOC untuk ekspor dan pasar dalam negeri terpaksa menganggur (Basuno, 2008 dalam Novitri, 2014).

Hewan-hewan yang dapat terjangkit flu burung adalah Ayam, itik, angsa, ayam kalkun, ayam mutiara, burung puyuh, burung kuau, burung merpati, “burung penyanyi” dan banyak burung liar lainnya dapat dijangkiti oleh virus-virus ini. Bergantung kepada virus-virus atau induk semangnya, ternak-ternak unggas tersebut akan atau tidak akan memperlihatkan tanda-tanda klinis.

Penyebab dan tingkat keganasan penyakit flu burung berbeda-beda dan menunjukkan beberapa bentuk yang berbeda, diantaranya adalah :

 Tanda-tanda klinis yang umum dan parah = High Pathogenic (HPAI)

 Tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan = Low Pathogenic (LPAI)

 Tidak ada tanda-tanda klinis.

II.I.I High Pathogenic Avian Influeanza (HPAI)

Patogenesis sebagai sifat umum virus dalam virus influenza A merupakan bakat filogenik dan sangat bergantung pada sebuah konstelasi gen yang ‘optimal’ yang mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi ke arah atau menjauhi stimulus) dari jaringan dan pejamu, efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran imunitas. Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperanan juga terhadap hasil suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya tidak dapat diduga sebelumnya (Budiman, 2005).

(8)

mikroorganisme (avian virus influenza) untuk menimbulkan penyakit flu burung pada manusia atau dalam kondisi virus influneza unggas yang sangat patogen yang sampai saat ini secara eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7 (Budiman, 2005).

Dalam kenyataannya hanya sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang menunjukan subtipe yang sangat patogen. Biasanya virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam pejamu alaminya dalam bentuk yang berpatogenesis rendah. Dari resevoir ini virus dapat ditularkan melalui berbagai jalan ke kawanan unggas ternak. Setelah masa sirkulasi yang bervariasi dan tidak pasti (dan barang kali juga beradaptasi) dalam populasi unggas yang rentan, virus-virus tersebut dapat secara melompat mengalami mutasi menjadi bentuk yang sangat patogen (Rohm, et al. 1995 dalam Budiman, 2005).

Setelah masa tunas yang biasanya berlangsung selama beberapa hari (jarang sampai 21 hari), bergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies dan usia unggas, gambaran klinis influenza unggas pada burung bervariasi dan gejalanya sering tidak spesifik (Elbers, et al., 2005 dalam Budiman, 2005). Oleh karena itu tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis.

Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh avian influenza virus berpatogenesis rendah mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut, produksi telur yang secara transien menurun atau berat badan menurun yang disertai sedikit gangguan pernafasan (Capua dan Mutineli, 2001 dalam Budiman, 2005).

(9)

kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua, 2000 dalam Budiman, 2005). Seringkali hanya sebagian kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejala awal sehingga kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan (Nakatami, 2005 dalam Budiman, 2005).

Di perusahaan ternak unggas yang besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya penyakit sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, ungags yang terkena HPAI sering hanya menunjukan gejala apatis dan tidak banyak bergerak (Kwon, et al., 2005 dalam Budiman, 2005). Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada jengger, gelambir, dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan dan nampak susah bernafas, dapat dijumpai meskipun tidak selalu (inkonsisten).

Pada unggas petelur, mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit (Elbers, 2005 dalam Budiman, 2005). Gejala-gejala sistem syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran klinis pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kwon, 2005 dalam Budiman, 2005).

II.I.II. Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)

(10)

Pada kalkun terjadi sinusitis, trakheitis, meskipun kemungkinan ada juga peranan infeksi bakteri sekunder. Pernah juga dilaporkan terjadinya pankreatitis pada kalkun. Pada ayam yang paling sering dijumpai adalah radang ringan di saluran pernafasan. Selain itu, lesi juga terjadi pada organ reproduktif (ovarium, saluran telur, peritonitis kuning telur) dari unggas petelur (Budiman, 2005).

II.II. GEJALA PENYAKIT II.II.I Pada Hewan

Menurut Food and Agriculture Organization (2005) dalam Buku Panduan bagi Paramedik Veteriner. Disebutkan bahwa Virus dapat masuk ke areal peternakan unggas melalui beberapa cara:

 Membeli atau menghadiahkan satu atau lebih unggas peliharaan meskipun dalam kondisi tidak sakit

 Manusia (anggota keluarga atau sanak famili, staf, “paramedik veteriner”, pedagang perantara, pengantar pakan ternak, dll.] yang datang ke areal peternakan setelah berada di areal peternakan lain, di pasar ternak unggas, di rumah potong hewan, di laboratorium, dan tempat lain yang terkontaminasi/terinfeksi virus. Mereka dapat membawa virus tersebut di pakaian, sepatu, boot, kendaraan bermotor (misalnya pada roda sepeda motor), pada rak telur dll.

 Membeli atau menghadiahkan hewan lain [misalnya, babi] yang berasal dari areal peternakan unggas yang terinfeksi virus.

(11)

 Burung-burung liar selama mereka migrasi dari tempat satu ke tempat lainnya. Mereka bisa mengkontaminasi peternakan melalui kontak langsung dengan burung-burung peliharaan atau melalui kotoran yang terinfeksi dan jatuh di tanah atau di kolam.

 Itik yang datang dari dan pergi ke sawah.

 Unggas peliharaan yang harus mencari makanannya sendiri di luar peternakan.

 Kontak dengan air kolam.

 Kontak dengan pupuk kandang yang terinfeksi.

Selain itu, adapun gejala yang ditimbulkan oleh hewan yang telah terinfeksi virus H5N1, yaitu:

• Masa Inkubasi:

o Biasanya masa inkubasi berlangsung 2 sampai 5 hari dari sejak terkontaminasi oleh virus dan saat munculnya tanda-tanda klinis

• Tanda-tanda klinis:

o Flu Burung sangat mirip dengan Penyakit Newcastle/ND/Tetelo. Pemilik harus mencurigai Flu Burung bila melihat kematian yang tinggi dan cepat pada ternak unggas

o Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis virus yang menginfeksinya, jenis unggas yang terinfeksi, umur unggas, penyakit-penyakit lain yang ada pada saat itu, dan lingkungannya.

(12)

tanda-tanda sakit atau dengan hanya menunjukkan sedikit depresi, tidak nafsu makan, bulu rontok dan suhu badan tinggi.

o Unggas lainnya menunjukkan kondisi yang lemah dan jalannya sempoyongan.

o Unggas yang sakit seringkali duduk atau berdiri dalam keadaan setengah tidur atau mengantuk dengan kepala menyentuh tanah.

o Beberapa hewan, khususnya unggas yang masih muda memperlihatkan tanda-tanda sakit pada syaraf.

o Ayam betina yang mulai bertelur, cangkang telurnya tipis, dan kemudian segera berhenti bertelur.

o Jengger dan pial berwarna merah kehitaman sampai biru dan bengkak, dan dapat juga disertai pendarahan yang kental diujung-ujungnya.

o Diare banyak dan seringkali muncul, dan unggas merasa haus luar biasa.

o Nafas cepat dan sulit.

o Pendarahan bisa terjadi pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi bulu, khususnya tulang kering pada kaki.

o Laju kematian bervariasi, dari 50% sampai 100%: sedikitnya setengah dari ternak unggas mati.

o Pada ayam kalkun, penyakitnya mirip dengan yang menyerang pada ayam petelur, tetapi berlangsung 2 atau 3 hari lebih lama. Kadang-kadang kelopak mata dan rongga hidung bengkak.

(13)

o Itik yang terinfeksi Flu Burung dan mengeluarkan kotoran yang mengandung virus bisa tidak menunjukkan tanda-tanda klinis atau luka. • Patologi:

o Pada unggas yang mati dengan sangat cepat akibat dari penyakit ini, hanya sedikit luka saja dapat terlihat : dehidrasi, penyumbatan organ-organ dalam dan otot.

o Pada unggas yang tidak mati secara cepat: Pendarahan pada seluruh tubuh, khususnya di pangkal tenggorokan, trakea dan disekitar hati, dll.

o Keluarnya cairan di bawah kulit yang sangat banyak, khususnya disekitar kepala dan lutut kaki.

o Karkas bisa mengalami dehidrasi.

o Bintil-bintil berwarna kuning atau abu-abu dapat muncul di limpa, hati, ginjal dan paru-paru.

o Kantong udara dapat berisi cairan kental.

o Limpa dapat membesar, berwarna gelap dan mengalami pendarahan. II.II.II Pada Manusia

Menurut Dr. Budiman, S.Pd., SKM., S.Kep., M.Kes (2005), riwayat alamiah perjalanan penyakit flu burung pada manusia yaitu :

1. Tahap pre-patogenesis

(14)

terjadi tidak disengaja, tidak disadari, dan terjadi karena kebetulan. Interaksi antara manusia dengan sumber penularan (unggas) secara dominan terjadi di lingkungan sekitar rumah.

Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia dapat melalui kontak langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang terinfeksi melalui saluran pernafasan atau mukosa konjunctiva (selaput lendir). Dari studi kasus yang dilakukan oleh peneliti, kejadian flu burung di Propinsi Jawa Barat sebagian besar melalui kontak dengan unggas (ayam) yang mati mendadak. Unggas yang mati mendadak ini bukan berasal dari peternakan melainkan berasal dari peliharaan ayam miliknya sendiri atau milik tetangga. Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa penyakit ini juga bisa menular melalui udara yang tercemar virus Avian Influenza (H5N1) yang berasal dari tinja atau sekret/lender unggas atau binatang lain terinfeksi dalam jarak terbatas dan kontak dengan benda yang terkontaminasi H5N1. Pada beberapa pasien yang dijadikan studi kasus oleh peneliti menunjukan hal yang sama, pasien terinfeksi melalui burung peliharaan yang tergantung di rumahnya dan terinfeksi melalui kotoran unggas yang mati mendadak (Budiman, 2005).

2. Tahap Inkubasi

(15)

Tahap inkubasi penyakit flu burung pada manusia menurut referensi yang ada sampai saat ini belum diketahui secara pasti namun untuk sementara para ahli (WHO) menetapkan masa inkubasi virus influenza ini pada manusia rata-rata adalah 3 hari (Depkes dan WHO, 2006 dalam Budiman, 2005).

3. Tahap Klinis

Tahap klinis dihitung mulai dari munculnya gejala penyakit sampai kepada seseorang memerlukan perawatan dan pengobatan secara khusus karena ketidakmampuan tubuh melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Tahap klinis penyakit flu burung klinis diantaranya: demam panas ≥ 38ºC, adanya batuk, sakit tenggorokan, pilek, dan sesak nafas.

Menurut Soejoedono dan Handharyani (2005) orang yang terserang flu burung menunjukan gejala seperti terkena flu biasa, hanya saja karena keganasan virusnya menyebabkan flu ini juga ganas. Selanjutnya disampaikan dalam waktu singkat, gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih berat dengan terjadinya peradangan paru-paru (pneumonia). Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Bila ditemukan gejala sesak menandai terdapat kelainan saluran nafas bawah akan ditemukan bronchitis di paru dan bila semakin berat frekuensi pernafasan akan semakin cepat (Depkes RI, 2006 dalam Budiman, 2005).

4. Tahap Terminal

Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat alamiahnya. Tahap terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme penyakit di dalam tubuh manusia dalam keadaan sembuh, mengalami kecacatan, atau meninggal dunia. Termasuk perjalanan akhir penyakit flu burung pada manusia.

(16)

Hal ini terjadi karena adanya gangguan ventilasi dan perfusi jaringan paru-paru. Selain itu juga sering terjadi syok (dapat hipovolemik, distributif, kardiogenis ataupun obstruktif) yang pada akhirnya tubuh tidak lagi mampu menahan keseimbangan.

I. PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

Sesungguhnya keadaan iklim terkait erat dengan timbulnya gangguan kesehatan karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit infeksi, terutama pada pemanasan yang berkepanjangan dan ketidakstabilan iklim seperti cuaca yang ekstrim. Keadaan iklim seperti ini dapat memicu munculnya atau kemunculan kembali penyakit infeksius global (Nicholls, 1993; Epstein, 1999; 2001 dalam Bahri dan Syafriati, 2011).

Pada umumnya hampir semua agen infeksius (seperti virus, bakteria, parasiter) perkembangannya dapat dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat, terutama yang paling peka pada saat agen patogen tersebut menjalani siklus hidupnya di luar hospes utamanya (McMichael dan Woondruff, 2008 dalam Bahri dan Syafriati, 2011). Patz et al. (1998) mengemukakan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat mempercepat masa perbanyakan suatu agen patogen dalam kelenjar liur nyamuk, sehingga nyamuk menjadi lebih infektif dan dapat meningkatkan penularan. Kuman Salmonella spp. juga akan berkembang lebih cepat pada suhu yang lebih panas. Demikian juga dengan bakteri Vibrio cholera juga akan lebih berkembangbiak pada air yang lebih hangat yang terdapat di danau, muara dan pantai (Willcox dan Cowell, 2005 dalam Bahri dan Syafriati, 2011), namun tidak semua organisme akan memberikan respon yang sama terhadap perubahan iklim (Slenning, 2010 dalam Bahri dan Syafriati, 2011).

(17)

gejala penyakit. Pengaruh langsung juga dapat terjadi pada hospes utama berupa burung yang biasa bermigrasi karena mengikuti musim. Pada perubahan iklim maka migrasi dapat dipercepat atau diperlambat sehingga apabila burung tersebut telah terinfeksi misalnya virus West Nile maka virus ini akan ikut menyebar ke lokasi baru (Bahri dan Syafriati, 2011)

Demikian juga dengan unggas lain yang bermigrasi dan membawa agen patogen seperti virus H5N1 dalam tubuhnya sebagai reservoar, dapat menularkan penyakit avian influenza (AI) di lokasi yang baru (Gilbert et al., 2006). Hal yang sama juga dapat terjadi pada kalong yang pindah lokasi karena gangguan habitat lingkungannya dengan membawa serta virus Nipah dalam tubuhnya yang berperan sebagai reservoar (Aziz et al., 1999; Chua et al., 2000a; Field et al., 2007 dalam Bahri dan Syafriati, 2011).

Pada keadaan curah hujan atau musim hujan yang berkepanjangan akan meningkatkan kelembaban termasuk di lokasi peternakan unggas terutama ayam kampung maupun itik yang dipelihara masyarakat secara tradisional sehingga keadaan lingkungan di sekitar kandang unggas tersebut menjadi lembab dan virus AI H5N1 yang masih terdapat di Indonesia akan bertahan hidup lebih lama, sementara itu kondisi ayam tersebut menjadi lemah. Keadaan demikian akan memicu munculnya wabah penyakit flu burung. Selain itu migrasi burung/unggas pada keadaan pemanasan global dan perubahan iklim global juga akan terus terjadi, dan migrasi burung/unggas liar dari China dan negara Asia bagian Barat dan Utara yang masih belum bebas AI akan memicu munculnya penyakit AI strain baru (hasil mutasi dari virus H5N1 yang ada). Oleh karena itu, hal demikian perlu diantisipasi dengan mengembangkan vaksin AI yang sesuai dan biosekuriti yang ketat (Bahri dan Syafriati, 2011).

III.II. UPAYA PENCEGAHAN

(18)

daerah endemis serta lebih diprioritaskan pada keadaan iklim yang ekstrim seperti curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan atau musim kemarau yang berlangsung lama seperti penyakit BT, leptospirosis, anthrax dan AI H5N1. Hal lain yang penting adalah dalam memperkuat sistem pelayanan kesehatan hewan nasional, umumnya sistem pelayanan kesehatan hewan di negara Asia sangat lemah, sehingga kemampuan mendiagnosa penyakit hewan menular secara dini diragukan (Forman et al., 2008 dalam Bahri dan Syafriati, 2011). Pemberian vaksinasi yang rutin dan pakan yang baik merupakan salah satu upaya pencegahan dan pengendalian penyakit flu burung yang tidak boleh terlewati.

Sementara itu pada manusia, sebagai upaya pencegahan, WHO merekomendasikan untuk orang-orang yang mempunyai risiko tinggi kontak dengan unggas atau orang yang terinfeksi, dapat diberikan terapi profilaksis dengan 75 mg oseltamivir sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari (Radji, 2006).

Beberapa hal yang patut diperhatikan untuk mencegah semakin meluasnya infeksi H5N1 pada manusia adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kebersihan diri, gunakan penutup hidung dan sarung tangan apabila memasuki daerah yang telah terjangkiti atau sedang terjangkit virus flu burung, dan amati dengan teliti kesehatan kita apabila telah melaku kan kontak dengan unggas/burung. Segeralah cari perhatian medis apabila timbul gejala-gejala demam, infeksi mata, dan/atau ada gangguan pernafasan (Radji, 2006).

BAB III PENUTUP

III. I. KESIMPULAN

(19)

1. Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan flu burung disebabkan oleh virus influenza tipe A. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi unggas dengan kematian tinggi. Penyakit ini menular dengan melalui beberapa cara, yaitu antar-ternak unggas, ternak-manusia, dan antar-manusia.

2. Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis virus yang menginfeksinya, jenis unggas yang terinfeksi, umur unggas, penyakit-penyakit lain yang ada pada saat itu, dan lingkungannya. Penyakit-penyakit muncul tiba-tiba pada sekelompok ternak, dan banyak unggas yang mati: Bisa dengan sangat cepat tanpa menunjukkan tanda-tanda sakit atau dengan hanya menunjukkan sedikit depresi, tidak nafsu makan, bulu rontok dan suhu badan tinggi. Sementara itu, pada manusia, gejala awal ditandai dengan demam tinggi, sakit tenggorokan, batuk dan pilek.

3. Pada keadaan curah hujan atau musim hujan yang berkepanjangan akan meningkatkan kelembaban termasuk di lokasi peternakan unggas terutama ayam kampung maupun itik yang dipelihara masyarakat secara tradisional sehingga keadaan lingkungan di sekitar kandang unggas tersebut menjadi lembab dan virus AI H5N1 yang masih terdapat di Indonesia akan bertahan hidup lebih lama, sementara itu kondisi ayam tersebut menjadi lemah. Keadaan demikian akan memicu munculnya wabah penyakit flu burung. Selain itu migrasi burung/unggas pada keadaan pemanasan global dan perubahan iklim global juga akan terus terjadi.

(20)

yang mempunyai risiko tinggi kontak dengan unggas atau orang yang terinfeksi, dapat diberikan terapi profilaksis dengan 75 mg oseltamivir sekali sehari, selama 7 sampai 10 hari.

DAFTAR PUSTAKA

(21)

Budiman. 2005. Penyakit Flu Burung : Riwayat Alamiah dan Pencegahannya. http://jurnalkeperawatan.stikes-aisyiyahbandung.ac.id/file/13.%20Penyakit

%20Flu%20Burung.pdf [Diakses pada Selasa, 21 Maret 2017 pukul 21.45

WIB]

Food and Agriculture Organization. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Flu Burung (Avian Influenza) pada Peternakan Unggas Skala Kecil. Buku Petunjuk bagi Paramedik Veteriner.

http://www.fao.org/docs/eims/upload/241491/ai303id00.pdf [Diakses pada

Selasa, 21 Maret 2017 pukul 21.48 WIB]

Nofitri, Zella. 2014. Manajemen Resiko Rantai Pasok Unggas Terkait Kasus Avia Influenza di Kabupaten Bandung. SKRIPSI. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Insitut Pertanian Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Peranan p o lit ik h uku m d alam pengembangan ekonomi syariah harus dilihat secara inte- gral, karena masing-masing unsur bersifat komplementer dan berada dalam suatu

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas asimetri informasi (AdjSpread) terhadap variabel terikat manajemen laba (discretionary accruals)

Bagi Auditor, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kantor akuntan publik khususnya auditor untuk mengetahui seberapa besar pengaruh independensi,

Dari data tabel 4 diketahui bahwa sensor akan aktif dan memberikan logika 1 ke mikrokontroler, pada saat sensor mendeteksi adanya asap yang berlebih didalam ruangan secara

Di dalam mimpi ada tiga materi yang telah dikemukakan oleh Freud yaitu; pertama, telah diketahui bahwa materi-materi tertentu yang muncul dalam isi mimpi, yang sesudahnya tidak

Sehingga penelitian yang berjudul Komparasi Pemahaman Konsep dan Generalisasi Matematika antara Student Research dan Direct Instruction Berbantuan Geometers’

Untuk menguji apakah semua variabel independen dalam model regresi memiliki pengaruh terhadap variabel dependen dapat ditentukan dengan membandingkan antara nilai

2). Memberikan kesempatan pada ibu untuk belajar merawat bayi baru lahir. Meningkatkan rasa percaya diri dan tanggung jawab kepada ibu untuk merawat bayinya... Memberikan