OPTIMALISASI INTEGRASI MENUJU
KOMUNITAS ASEAN 2015
ADDINUL YAKIN - FAPERTA UNRAM
Hutan ASEAN vital bagi pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Total wilayah : 4.4 juta km2, Populasi : 439
juta orang. Tutupan hutan mencapai 203 juta hektar (2,03 juta km2,45 % dari luas kawasan)
Tiga Negara ASEAN: Indonesia, Malaysia, dan
Filipina adalah termasuk dalam 17 negara dengan keragaman hayati yang luar biasa.
Kawasan ASEAN hanya 3% dari wilayah dunia, tapi 20 % dari semua spesies (di gunung,
hutan, sungai, danau, dan laut) yang diketahui dunia ditemukan di kawasan ini.
DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN MENGKHAWATIRKAN
– PEMANASAN GLOBAL – PERUBAHAN IKLIM
Temperatur rata-rata global telah meningkat antara 0.30
sampai 0.60C selama 100 tahun yang lalu dan diperkirakan
pada tahun 2100 temperatur rata-rata bisa meningkat antara 10C sampai 3.5 °C (Dickens dan Murphey 1998; Oberthür dan
Ott 1999)
UNFCCC – 1992
PROTOKOL KYOTO – CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) - 1997
CDM adalah suatu fasilitas untuk perdagangan reduksi emisi yang tersertifikasi (certified emission reduction- CER) antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang
PROGRAM A/R CDM: Kehutanan, Agroforestri (lahan kecil)
Program REDD+ (2011) DI ASEAN
Potensi terbuka dan Tantangan tidak kecil?
Negara Luas Hutan
Kamboja 10.477 -2 Tinggi 59,2
Tinggi-menengah
Tinggi, tinggi
Indonesia 88.495 -2 Tinggi 48,8
Tinggi-menengah
Tinggi, tinggi
Laos 16.142 -0,5 Tinggi 69,9
Tinggi-menengah
Tinggi, tinggi
Malaysia 20,890 -0,7 Tinggi 63,6
Tinggi-menengah
Tinggi, tinggi
Myanmar 32,222 -1,4 Tinggi 49
Tinggi-menengah
Tinggi, tinggi
Filipina 7.162 -2.1 Tinggi 24 Rendah Tinggi,
rendah
Singapura 2 0 low 3,4 Rendah Rendah,
rendah
Timor Leste 798 -1,3 Tinggi 53,7 Tinggi-
menengah
Tinggi, tinggi
Viet Nam 12.931 2 Low 39,7 Tinggi-
menengah
Rendah, tinggi
ADDINUL YAKIN: PASAR KARBON
TAHUN PERKEMBANGAN 1968 Kerjasama ASEAN dalam Suplai dan Produksi Pangan
1977 Lingkup kerjasama diperluas menjadi pertanian dan kehutanan.. COFAF dan SEOM. 1981 Jakarta Consensus On ASEAN Tropical Forestry
1992 Adopsi persetujuan the ASEAN Free Trade Area (AFTA) in 1992, Perdagangan intraASEAN dalam produk-produk pertanian yang tidak diproses.
1993 Menandatangani The Ministerial Understanding on COFAF: 7 bidang prioritas kerjasama
1997 ASEAN Vision 2020 untuk sektor Pangan, Pertanian, dan Kehutanan: to “enhance food security and international competitiveness of food, agriculture and forest products to make ASEAN a leading producer of these products and to promote the forestry sector as a model in forest management, conservation and sustainable development”.
1998 Adopsi the Strategic Plan of Action (SPA) on COFAF untuk 1999-2004.
2004 - SPA baru 2005-2010 disetujui the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry in October 2004 - ASEAN diterima dengan status observer pada United Nations Forum for Forests (UNFF)
2005 Berdirinya ASEAN Social Forestry Network (ASFN)
Collaborating to build a framework for social forestry in Southeast Asia
2006 ASEAN memberikan masukan kepada UNFF tentang Regional Elements and Proposals for a Non-legally Binding Instrument (NLBI) on All Types of Forests
2008 Brunei Darussalam menjadikan semua 10 negara ASEAN menjadi pihak dalam the Convention on Biological Diversity, dan diwajibkan untuk melaksanakan program-program kehutanan dan yang terkait dengan konvensi tersebut.
2010 ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) mengesahkan the ASEAN Multi-Sectoral framework on Climate Change: Agriculture and Forestry Towards Food Security (AFCC) dengan Skema REDD+
2011 Kehutanan Sosial dalam REDD+ oleh organisasi kerjasama multilateral negara negara di Asia Tenggara atau ASEAN oleh ASFN
ADDINUL YAKIN: PASAR KARBON
CDM Protokol Kyoto, perkembangan luar biasa. Proyek-proyek CDM telah menghasilkan lebih
dari 135 juta CER dan diharapkan untuk
menghasilkan 2,7 milyar CER dalam periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto mempunyai 178 anggota. 37
negara yang terdiri dari negara-negara industri terkemuka dan negara-negara transisi ke
ekonomi pasar, punya komitmen reduksi dan pembatasan emisi yang mengikat (UNFCCC, 2008).
REDD+ - Sustainable Forest
Management
Potensial benefit yang besar bagi
penduduk pedesaan, lahan, air dan
sumber
daya
biomassa,
mitigasi
perubahan
iklim
dan
ketahanan
terhadap dampak-dampak pemanasan
gobal (Leach dan Leach, 2004).
Pasar Timber, Pasar Karbon, dan
Jasa-Jasa Lingkungan (
Payment for
Environmental Services- PES
)
ADDINUL YAKIN: PASAR KARBON
Wise dan Cacho (2005) menemukan bahwa pembayaran sekuestrasi karbon mendorong pemilik lahan untuk mengadopsi praktek yang kurang intensif karena penerimaan bersih adalah lebih tinggi dengan pembayaran karbon. Sebagai contoh, jika biaya tahunan mengukur karbon
tanah adalah lebih besar dari US$1.19 ha-1. Itu
tidak akan hemat/efisien untuk menjelaskan pool ini dalam suatu proyek sekuestrasi karbon
Gutírrez et al. (2006) Annual Equivalent
Value(AEV) terbesar ditemukan pada tingkat diskonto 10%, harga-harga CER US$13 dan
panjang rotasi 40 tahun untuk semua spesies.
ADDINUL YAKIN: PASAR KARBON
van Kooten dan Sohngen (2007) :
Estimasi batas dasar biaya-biaya
sequestering karbon adalah antara
$3-$280 dollar AS per tCO
2, di Eropah
antara $50 sampai $280 per tCO
2. Di
Kanada dan Amerika Serikat, $2 - $80
per tCO
2.
Eropah umumnya menolak timbunan
biologi (
biological sinks
) sebagai suatu
subsitusi bagi reduksi emisi dan lebih
layakn membiayai proyek-proyek CDM
sektor kehutanan.
Smith dan Applegate (2004) di Asia dan Amerika
Latin menemukan benefit-benefit keragaman
hayati dan karbon jangka panjang dari perbaikan pengelolaan hutan diperkirakan terlalu rendah. Seberapa jauh proyek-proyek seperti itu akan membuat negara-negara industri untuk
menghindari pengurangan polusi industri adalah juga nampaknya tidak akan signifikan.
Yao et al., (2004) di China , Biaya proyek-proyek
CDM sangat tinggi : pendapatan dari kredit
karbon tidak bisa menutup semua biayanya. Tapi punya benefit sosial dan ekonomi yang lain, akan layak secara ekonomi jika semua
dampak-dampak ekonomi eksternalnya diperhitungkan.
Takimoto et al. (2008): di Mali terhadap dua
sistem agroforestri (pagar hidup -
live fence
dan penyimpanan makanan ternak-
fodder
bank
) NPV yang diestimasi mencapai $ 96.0 dan $158.8 tanpa penjualan kredit karbon, dan $109.9 dan $179.3 dengan penjualan C, berturut-turut. Dari perspektif penjualan karbon, pagar hidup nampaknya kurangberesiko dan lebih menguntungkan
dibandingkan penumpukan pakan hijauan ternak (
fodder bank
). Penjualan kreditkarbon nampaknya berkontribusi pada
pembangunan ekonomi bagi petani-petani subsistensi
Aune et al. (2005) di Nepal, Uganda dan
Tanzania menunjukkan bahwa
profitabilitas ekonomi dari sistem-sistem penggunaan lahan, dengan asumsi harga karbon sebesar 10 dollar AS per ton (Mg) dengan tingkat bunga per tahun sebesar 10%, NPV meningkat sebesar antara 4.9% dan 6.5% untuk sistem-sistem ini ketika
nilai karbon ditambahkan pada nilai timber dan nilai produk non kayu.
Tomich et al., (2002) Dibandingkan
dengan konservasi hutan,
penyerapan karbon (
C offsets
)
melalui agroforestasi kelihatannya
lebih layak di Indonesia karena
hak-hak pemilikan terhadap timber dari
pohon-pohon yang ditanam akan
lebih mudah untuk diadakan dan
dikembangkan dibandingkan dengan
hak-hak pemilikan terhadap timber
dari hutan-hutan alam.
ADDINUL YAKIN: PASAR KARBON
Hooda et al (2007) di India menemukan penerimaan karbon adalah suatu pemicu utama bagi para investor dalam proyek-proyek masyarakat. Spesies timber dengan
rotasi pendek seperti
Eucalyptus
(Eucalyptus), Poplar (Populus)
mempunyaitingkat pengembalian internal (
internal rates
of return -IRR
) dan potensi reversibilitas benefit karbon yang tinggi akibat fluktuasi dalam harga pasar dari komoditas yang dihasilkan. Pemilikan lahan adalah kecil dan banyak/mengumpul sesuai untuk proyek-proyek untuk mencapai skala ekonomi.
Olschewski dan
Beń
tez (2005):
kebanyakan proyeksi harga karbon
akhir-akhir ini, proyek-proyek
penimbunan karbon akan layak secara
ekonomi bagi penyuplai CER dan
pada saat yang sama menarik bagi
yang butuh CER yang mencari peluang
pengurangan emisi yang hemat biaya.
Kontroversi internasiona karena alasan-alasan akademis, politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dukungan
menjadikan protokol Kyoto menjadi persetujuan internasional yang mengikat secara global masih belum terrealisasi karena belum memenuhi korum (50%+1).
Perdebatan tentang Jenis Program yang Sesuai: Perdebatan tentang proyek-proyek mana yang masuk dalam kategori A/R dalam konteks CDM masih berlangsung. Tapi, program REDD dan REDD + pada agenda negosiasi perubahan iklim masa depan
Kompleksitas Data dan Informasi yang Dibutuhkan
Kredit permanen Vs Kredit Sementara: kaitannya dengan kelayakan proyek A/R CDM
Mengakomodir Pemilik Lahan Kecil (property rights?): Pasar karbon kaitannya dengan hak hutan.
Program A/R CDM adalah instrumen penting untuk reduksi emisi dengan biaya yang efektif
pengurangan kemiskinan, benefit lingkungan, serta untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Kawasan ASEAN sangat potensial untuk memperoleh benefit tersebut.
Program A/R CDM (REDD+) memiliki prospek yang
cerah dengan beberapa catatan penting.
Analisis ekonomi tentang pasar karbon- kredit
karbon menunjukkan hasil yang beragam.
◦ Pasar karbon bisa memberikan kontribusi bagi perekonomian negara dan masyarakat
◦ Biaya proyek-proyek CDM kehutanan adalah sangat tinggi sehingga pendapatan dari kredit karbon tidak bisa
menutup semua biayanya.
◦ Ada keyakinan bahwa jika semua dampak eksternal yaitu benefit sosial dan ekonomi yang lain diperhitungkan,
proyek-proyek A/R CDM
Namun demikian, masih ada ketidak pastian terkait dengan dinamika karbon dan cara perhitungannya, sehingga perlu standardisasi dan transparansi. Aune et al., (2005) menyarankan adanya penentuan data dasar, biaya monitoring karbon, penilaian kebocoran dan dokumentasi dampaknya pada pembangunan berkelanjutan menjadi krusial. Selain itu, Hooda et al. (2007) perlu perbaikan metodologi-metodologi untuk proyek-proyek mitigasi hutan untuk memenuhi kriteria dalam CDM atau mekanisme lainnya untuk tujuan perolehan kredit karbon.
Meskipun proyek-proyek A/R mempunyai potensi benefit dan pendapatan bagi negara dan
masyarakat, namun implementasinya masih
banyak yang harus diperbaiki dan dikembangkan.
Perlu dirumuskan strategi kebijakan
pengembangan kapasitas dan kelembagaan,
regulasi yang proaktif bagi perbaikan pengelolaan data hutan yang bisa meningkatkan penggunaan pengelolaan karbon biosfir di negara-negara
sedang berkembang dalam mendukung pelaksanaan program-program CDM.
Pemerintah di kawasan ASEAN juga harus
mendefinisikan hak-hak karbon hutan dalam
legislasi serta pengaturan hak-hak karbon untuk kelompok pengguna hutan komunitas/
kemasyarakatan, termasuk sebelum skim REDD+ dikembangkan .
Perlu pendesainan yang cepat dan sungguh-sungguh dari suatu rencana taktis dan
strategis untuk industri hutan adalah suatu keharusan jika ancaman-ancaman potensial adalah untuk didominasi dan asset-asset
tersembunyi yang direalisasikan (Galeano
et
al
., (1998) . Kontroversi internasional tentang
keberadaan CDM dan program terkait, perdebatan tentang kelayakan program, serta kompleksitas data dan informasi
terkait, termasuk sharing benefit yang bisa diperoleh masyarakat miskin, harus terus
diupayakan jalan keluarnya bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Nama: Addinul Yakin (Addy)
Lahir di Dompu, 1962
Keluarga: 1 istri, 4 anak
Alamat: Jl. Sapta Pesona 48 Bumi Pagutan Permai Mataram 83117 email: [email protected]; HP: 081339530987
Pendidikan:
◦ S1 Faperta Unram 1986 (Sosial Ekonomi Pertanian)
◦ Graduate Diploma in Economics (Resource and Environmental management), La Trobe University, Australia, 1994
◦ Master of Economic by Research (Resource and Environmental Economics), La Trobe University, Australia 1998
Buku: Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Pressindo, Jakarta. Cet. II (2004).
Memperoleh ASIAN PUBLIC INTELLECTUAL (API) FELLOWSHIP
PROGRAM dari the Nippon Foundation, Jepang, 2003/2004 untuk menjadi Peniliti Tamu (Juni-Desembar 2003) Univ. Kebangsaan Malaysia (UKM), Selangor dan (Januari-Juni 2004) di Kyoto
University, Jepang, mengkaji: “Implementation and Enforcement of
Environmental Policies for Promoting Sustainable Development in Asia: Learning from Malaysia and Japan”.