ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
PROSPEK DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI PASAR KARBON BAGI PENGURANGAN
EMISI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI KAWASAN ASEAN1
Oleh: Addinul Yakin
Fakultas Pertanian, Universitas Mataram Jl. Majapahit 26 Mataram, NTB, Indonesia 83125
Email: deo2yakin@yahoo.com; addinulkn@gmail.com; Mobile phone: 081339530987
ABS TRAK
Hutan di kawasan ASEAN mempunyai peranan vital bagi pembanguan sosial, ekonomi dan ekologis kawasan dan global. Namun demikian, kawasan ini menghadapi tekanan yang besar akibat deforestasi dan degradasin hutan yang masih mengkhawatirkan. Upaya-upaya kolektif secara internasional dan regional telah berkembang dengan lahirnya Protokol Kyoto dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada 1997 di bawah UNFCCC. Proyek-proyek aforestasi dan reforestasi (A/R CDM) dan REDD+ dapat menyediakan ragam benefit bagi negara-negara ASEAN kalau berpartisipasi baik dalam pasar timber maupun pasar karbon. Secara kolektif, negara-negara ASEAN telah mengembangkan serangkain kebijakan baik penguatan kelembagaan internal ASEAN antara lain ASEAN Multi-Sectoral Framework on Climate Change: Agriculture and Forestry Towards Food Security (AFCC), the Forest Monitoring for Action -FORMA) dibawah the Center for Global Development (CGD), serta memperkuat inteaksi yang positif dengan the United Nation Forum on Forests (UNFF) ASEAN antara lain dengan terbentuknya Caucus on Forestry di bawah the UNFF, serta mengoptimalkan pemanfaatan mekanisme multilateral dan bilateral yang tersedia dalam menyiapkan, melaksanakan, serta perwujudan pembayaran karbon dalam konteks REDD+. Dengan skenario menghindari deforestasi sebesar 50 % dengan harga US$ 5 per ton CO2, kawasan ASEAN akan memperoleh sebesar US$ 2.696,82 juta (96% dari 10 negara dengan potensi REDD+ tertinggi). Estimasi pembiayaan dari alokasi global tahun 2010-2012, negara- negara ASEAN akan memperoleh permbiayaan sebesar US$ 701,70 jut, di mana US$527,88 juta (75,23 %) dialokasikan untuk Indonesia berasal dari mekanisme multilateral dan bilateral. Hasil kajian yang ada tentang potensial benefit ekonomi dan lingkungan dari kebijakan dan program terkait REDD, termasuk potensi penerapan instrumen karbon cukup prospektif, tetapi masih harus terus dikaji terutama terkait dengan kelayakan implementasinya. Selain itu, ragam tantangan baik tataran internasional, regional, dan tingkat pelaksana, misalnya kontroversi internasional tentang factor penyebab pemanasan global, kelayakan program A/R CDM, kompleksitas data dan informasi terkait, keberadaan CER, serta hak pemilik lahan kecil dalam menikmati benefit karbon, harus terus diupayakan jalan keluarnya bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Kata Kunci: deforestasi, perubahan iklim, pemanasan global, aforestasi, reforestasi, mekanisme pembangunan bersih (CDM), pasar karbon, protokol Kyoto.
1.
Latar Belakang
Hutan di kawasan Asia Tenggara merupakan sumberdaya utama bagi pembangunan sosial,
ekonomi, dan lingkungan karena ratusan juta penduduk di kawasan ini sangat tergantung pada kawasan
hutan untuk kehidupan mereka. Selain itu, perdagangan dan ekspor hasil hutan berkontribusi signifikan
terhadap pembangunan ekonomi kawasan. Karena kawasan ini memiliki kawasan lindung yang luas
dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi menjadikannya sangat penting untuk melindungi tanah,
memastikan suplai air, serta memelihara iklim global. Namun demikian, sektor kehutanan menghadapi
1 Disampaikan pada Seminar Nasional “Optimalisasi Integrasi Menuju Komunitas ASEAN 2015”, Kerjasama Ditjen Kerja Sama
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
masalah dan tantangan yang serius, terutama karena deforestasi, devegetasi, serta degradasi hutan yang
masih tinggi sebagai akibat dari tekanan yang meningkat dari pertumbuhan penduduk, perluasan lahan
pertanian, kemiskinan, serta penggunaan yang eksesif dan tidak efisien dari sumberdaya hutan.
Masalah deforestasi dan degradasi hutan dipandang sebagai salah satu penyebab utama terjadinya
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gasses, GHG) antropogenik, pada lapisan bagian
bawah atmosfir (troposfir) yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Para ilmuwan mengestimasi bahwa
temperatur rata-rata global telah meningkat antara 0.30 sampai 0.60C selama 100 tahun yang lalu dan
diperkirakan pada tahun 2100 temperatur rata-rata bisa meningkat antara 10C sampai 3.5 °C (Dickens dan
Murphey 1998; Oberthür dan Ott 1999), yang selanjutnya mengakibatkan adanya perubahan iklim global
(global climate change). Perubahan iklim ini diduga memengaruhi suplai bahan pangan, mengubah musim
tanam, meningkatnya insiden hama dan penyakit tanaman, menurunnya suplai air, memaksa manusia
untuk melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak-dampak perubahan iklim tersebut.
Respon terhadap kekhawatiran global tersebut telah diwujudkan dalam bentuk aksi kolektif
internasional, utamanya diadopsinya kerangka UNFCCC pada tahun 1992, yang kemudian melahirkan
Protokol Kyoto serta Mekanisme Pembangunan Bersih (the Clean Development Mechanism, yang
selanjutnya disingkat CDM) pada tahun 1997. Dengan CDM, negara-negara industri yang berkomitmen
untuk pengurangan GHG dapat menginvestasikan proyek-proyek yang mengurangi emisi di negara-negara
berkembang sebagai suatu alternatif dari pengurangan emisi yang lebih mahal di negara-negara mereka.
Suatu fitur penting dari proyek karbon CDM yang disetujui adalah bahwa program reduksi emisi yang
direncanakan akan diberikan insentif tambahan (additionality) yang disediakan oleh kredit reduksi emisi
dalam suatu mekanisme pasar karbon. Selain itu, CDM bisa membantu mengidentifikasi biaya
kesempatan terendah untuk mengurangi emisi dan menarik partisipasi sektor swasta dalam usaha-usaha
pengurangan emisi. Dalam jangka panjang, Zomer et al. (2008) menilai bahwa Protokol Kyoto dengan
CDMnya tidak hanya akan menjadi instrumen penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan
biaya yang efektif, tetapi juga bisa membantu negara-negara berkembang untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, dengan ragam tujuan seperti pengurangan kemiskinan dan peningkatan
benefit lingkungan.
Dengan demikian, CDM adalah suatu fasilitas untuk perdagangan reduksi emisi yang tersertifikasi
(certified emission reduction- CER) antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Elemen penting dari keberhasilan CDM adalah dengan diterapkannya instrument pasar karbon di mana para
pembeli CER adalah negara-negara maju dan penjualnya adalah negara-negara berkembang. Perdagangan
karbon merupakan tahap akhir dari serangkaian proses mulai dari formulasi proyek, implementasi proyek
yang berhasil, dan akhirnya memperoleh sertifikasi kelayakan berdasarkan syarat dan ketentuan CDM.
Dalam hal ini, mekanisme ini menawarkan peluang-peluang untuk negara-negara berkembang
berkolaborasi dengan negara-negara maju dalam usaha global untuk mengatasi dampak-dampak negatif
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Salah satu jenis proyek umum yang memiliki kualifikasi untuk CDM adalah proyek
sukuestrasi-penimbunan karbon (sequestration projects) yang mengurangi emisi gas rumah kaca (Mendis dan
Openshaw, 2004) di mana proyek-proyek hutan tropis cukup menjanjikan untuk keperluan tersebut
(Unruh, 2008) sehingga memberikan kesempatan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek aforestasi2 dan
reforestasi3- A/R CDM (Mendis dan Openshaw, 2004), yang bisa menyediakan benefit konservasi dan
pembangunan ekonomi bagi negara pelaksananya (Anonymous, 2005) yang menawarkan kesempatan
kredit karbon yang terkait dengan penggunaan akhir dari produk hutan (Shin et al., 2008).
Dalam perkembangan terakhir, CDM Protokol Kyoto telah menunjukkan perkembangan yang luar
biasa. CDM telah melalui suatu batu loncatan baru, yang merefleksikan kesuksesan dan melipatgandakan
usaha-usaha untuk mengembangkan mekanisme tersebut. Sampai saat ini, proyek-proyek CDM telah
menghasilkan lebih dari 135 juta CER. Mekanisme tersebut diharapkan untuk menghasilkan 2,7 milyar
CER dalam periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto. Protokol Kyoto sampai saat ini mempunyai
178 anggota. Di bawah protokol tersebut, 37 negara yang terdiri dari negara-negara industri terkemuka dan
negara-negara yang sedang berlangsung proses transisi pada suatu ekonomi pasar, telah secara hukum
mempunyai komitmen reduksi dan pembatasan emisi yang mengikat (UNFCCC, 2008).
Dalam pada itu, karena isu-isu kehutanan cendrung bersifat interdisipliner dan lintas sektor dan
mempunyai dampak baik terhadap regional dan global, maka perlu ada upaya dan kegiatan kolektif baik
dalam tataran regional (ASEAN), maupun dengan lembaga-lembaga regional lain dan internasional. Pada
tingkat kawasan, negara-negara anggota harus bisa melaksanakan komitmen internasional masing-masing
secara penuh dan efektif dengan mendayagunakan sumberdaya yang ada serta menghilangkan
kendala-kendala sumberdaya yang dihadapi selama ini. Komitmen politik harus terus dikembangkan di kalangan
pengambil kebijakan (policy makers) dan direalisasikan dalam rangka melanjutkan upaya pengelolaan
hutan berkelanjutan. Oleh karena itu, program REDD+, yaitu selain pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, juga melalui konservasi stok karbon hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan
peningkatan stok karbon hutan sebagai pendekatan baru untuk mitigasi perubahan iklim sekaligus sebagai
sumber pembiayaan bagi pembangunan pedesaan berkelanjutan di kawasan ASEAN serta mengamankan
jasa ekosistem yang memberikan benefit untuk lokal, regional, dan global.
Namun demikian, terdapat banyak pekerjaan dan pengkajian yang dibutuhkan oleh ASEAN dalam
membangun saling kepahaman yang lebih baik dan menyampaikan isu-isu kehutanan pada arena
internasional. Implementasi lokal seperti penertiban dan pengetutan operasi pembalakan dan aktivitas
pengelolaan hutan perlu ditingkatkan lagi melalui upaya-upaya dan regulasi yang lebih baik. Oleh karena
itu, mengingat pentingnya serta kompleksitas persoalan yang menyertai pelaksanaan pasar karbon dalam
konteks A/R CDM dan REDD+ , maka tulisan ini akan mendiskusikan secara ekstensif tentang 3(tiga) hal
2
Aforestasi (afforestasion) adalah proses penanaman jumlah pohon yang banyak pada lahan yang sedikit atau tidak ada pohon sama sekali.
3
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
penting, yaitu (1) bagaimana potensi dan peran kawasan ASEAN dalam upaya mitigasi iklim global,
melalui REDD+ dalam perspektif kebijakan dan ekonomi; (2) mengkaji seberapa besar potensi benefit
ekonomi dan non-ekonomi dari instrumen pasar karbon; (3) mengidentifikasi isu-isu teknis dan
kelembagaan terkait dengan keberlanjutan dan keberhasilan instrumen pasar karbon dalam konteks
pembangunan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.
2. ASEAN bagi Mitigasi Perubahan Iklim Global dalam Perspektif Kebijakan dan Ekonomi
Kawasan hutan ASEAN tidak hanya memiliki potensi yang besar baik bagi pembangunan ekonomi,
sosial, dan ekologis kawasan ASEAN, tetapi juga dapat memberikan andil yang signifikan terhadap
upaya-upaya mitigasi dampak perubahan iklim global. Sampai tahun 2005, total wilayah kawasan mencapai 4.4
juta km2, dengan populasi sekitar 439 juta orang. Tutupan hutan mencapai 203 juta hektar (2,03 juta km2),
atau sekitar 45 % dari luas kawasan ASEAN) dan tiga negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, dan
Filipina adalah termasuk dalam 17 negara dengan keragaman hayati yang luar biasa. Meskipun kawasan
ASEAN hanya 3% dari total permukaan bumi, 20 % dari semua spesies (di gunung, hutan, sungai, danau,
dan laut) yang diketahui dunia ditemukan di kawasan ini. Namun demikian, sebagian besar negara-negara
di kawasan ASEAN ini (sebagian besar negara), terutama negara-negara dengan luas tutupan hutan serta
proporsi luas areal hutan terhadap luas wilayah yang tinggi, mengalami tingkat deforestasi yang tinggi
(lihat pada Tabel 1) sehingga perlu upaya-upaya yang serius agar bisa mewujudkan pengelolaan hutan
yang berkelanjutan (sustainable forest management).
Tabel 1: Klasifikasi negara-negara ASEAN berdasarkan tutupan hutan (forest cover) dan tingkat deforestasi, 2005
Kamboja 10.477 -2 Tinggi 59,2 Tinggi-menengah Tinggi, tinggi Indonesia 88.495 -2 Tinggi 48,8 Tinggi-menengah Tinggi, tinggi Laos 16.142 -0,5 Tinggi 69,9 Tinggi-menengah Tinggi, tinggi Malaysia 20,890 -0,7 Tinggi 63,6 Tinggi-menengah Tinggi, tinggi Myanmar 32,222 -1,4 Tinggi 49 Tinggi-menengah Tinggi, tinggi
Filipina 7.162 -2.1 Tinggi 24 Rendah Tinggi, rendah
Singapura 2 0 low 3,4 Rendah Rendah,
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Komitmen kawasan ASEAN, kalau dilihat ke belakang, terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan
sudah ada sejak tiga dekade yang lalu. Salah satu tonggak penting adalah dengan lahirnya Jakarta
Consensus On ASEAN Tropical Forestry Of The Third ASEAN Economic Ministers Meeting On
Agriculture And Forestry Jakarta pada tanggal13 Augustus 1981, dengan serangkaian proses berikutnya,
yang nampaknya berlangsung agak lamban. Dalam perkembangannya yang mutakhir, ASEAN melihat dan
menyadari bahwa ada peluang bagi mitigasi perubahan iklim dalam hutan ASEAN melalui program A/R
CDM (Afforestation/Reforestation Clean Development Mechanism- A/R CDM) dan skim REDD+ (Evolusi
Perkembangan Komitmen ASEAN menuju Mitigasi Iklim Global lihat Tabel 2). Skim REDD+ ini juga
mencerminkan adanya potensi sumber pembiayaan yang besar untuk pembangunan pedesaan berkelanjutan
di negara-negara berkembang, termasuk kawasan ASEAN, untuk mengamankan jasa-jasa ekosistem hutan,
yang bisa menghasilkan benefit yang besar bagi lokal, regional, dan global.
Tabel 2. Evolusi Perkembangan Komitmen dan Kebijakan ASEAN menuju Pengelolaan Kehutanan Berkelanjutan
Tahun Perkembangan
1968 Kerjasama ASEAN dalam Suplai dan Produksi Pangan 1973 Kerjasama ASEAN di bidang Kehutanan dimulai
1977 Lingkup kerjasama diperluas menjadi pertanian dan kehutanan. Sekarang ini dikoordinasikan oleh the Committee on Food, Agriculture and Forestry (COFAF dan ditransfer ke SEOM.
1981 Jakarta Consensus On ASEAN Tropical Forestry
1992 Adopsi persetujuan the ASEAN Free Trade Area (AFTA) in 1992, ASEAN cooperation in food, agriculture and forestry diarahkan untuk merealisasikan perdagangan intraASEAN dalam produk-produk pertanian yang tidak diproses.
1993 Menandatangani The Ministerial Understanding on ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Forestry, mengidentifikasi tujuh bidang prioritas kerjasama
1997 Menyetujui pernyataan ASEAN Vision 2020 untuk sektor Pangan, Pertanian, dan Kehutanan: to “enhance food security and international competitiveness of food, agriculture and forest products to make ASEAN a leading producer of these products and to promote the forestry sector as a model in forest management, conservation and sustainable development”.
1998 Adopsi the Strategic Plan of Action (SPA) on ASEAN Cooperation in Food, Agriculture and Forestry for the period of 1999-2004.
2004 - SPA baru untuk 2005-2010 disetujui the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry in October 2004 in Yangon.
- ASEAN diterima dengan status observer pada United Nations Forum for Forests (UNFF) 2005 Berdirinya ASEAN Social Forestry Network (ASFN)
Collaborating to build a framework for social forestry in Southeast Asia
2006 ASEAN memberikan masukan kepada UNFF tentang Regional Elements and Proposals for a Non-legally Binding Instrument (NLBI) on All Types of Forests
2007 UNFCCC ke-13 di Bali mengadopsi dalam Bali Action Plan yang mengidentifikasi REDD di negara-negara berkembang sebagai focus utama agenda iklim ke depan.
Pernyataan Menteri-menteri ASEAN tentang Tatapamong dan Penegakan Hukum Kehutanan (ASEAN Ministerial Statement on Forest Law Enforcement and Governance –FLEG) untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN untuk memperbaiki tatapamong hutan di kawasan ASEAN.
Pemimpin ASEAN pada KTT 13, November 2007 di Singapore menandatangani "ASEAN Declaration on Environmental Sustainability", menyerukan untuk bekerja erat dengan komunitas internasional untuk memahami lebih baik tentang dampak-dampak buruk dari perubahan iklim, termasuk isu-isu terkait dengan GHG dan penimbunan karbon pada khususnya.
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Disetujui dan dikukuhkannya “Work Plan for Strengthening FLEG (2008 - 2015) yang memberikan landasan untuk memperdalam kerjasama dan pelaksanaan aksi-aksi bersama, serta mengidentifikasi potensi partner untuk kolaborasi dan interaksi dalam penguatan FLEG di ASEAN.
Didirikan the ASEAN Regional Knowledge Network on FLEG (ARKN-FLEG) untuk mendorong penggunaan jaringan ilmu pengetahuan regional, yang meliputi para ahli FLEG dan lembaga penelitian terkemuka di ASEAN, yang difasilitasi oleh Sekretariat ASEAN.
ARKN tentang hutan dan perubahan iklim dicetus pada Oktober 2008 sebagai wahana bagi negara-negara anggota ASEAN untuk sharing pengetahuan dan pengalaman dan mengidendtifikasi para ahli dan lembaga penelitian di bidang REDD di negara-negara berkembang dan A/R CDM.
2009 Rencana Aksi “ enhancing Cooperation and Coherence among REDD+ Institutions to Support REDD+ Efforts”
2010 the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF) mengesahkan the ASEAN Multi-Sectoral Framework on Climate Change: Agriculture and Forestry Towards Food Security (AFCC) dengan Skema REDD+
Konferensi Hutan dan Iklim di Oslo, Mei 2010 didirikan the Interim global REDD+ Partnership 2011 Kehutanan sosial (social forestry), salah satu kerangka skema kehutanan yang melibatkan peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan, ditempatkan sebagai salah salah pendekatan terhadap skema REDD+ oleh organisasi kerjasama multilateral negara negara di Asia Tenggara atau ASEAN oleh ASFN
Kerangka kebijakan dalam ASEAN Blueprint (2008-2015) dinyatakan bahwa dalam sektor
kehutanan ditentukan target untuk mendukung inisiatif-inisiatif regional dan global untuk mengurangi
emisi dan melaksanakan program A/R CDM serta mnengidentifikasi bantuan dan insentif internasional.
Selain itu, diperlukan penguatan usaha-usaha untuk melawan pembalakan illegal dan perdagangan terkait,
kebakaran hutan dan dampak-dampak terkaitnya.
Skim REDD+ yang telah diakui dalam Bali Action Plan 2007 juga dipandang sebagai suatu
pendekatan mitigasi iklim dengan potensi yang besar bagi aksi kerjasama jangka panjang. Dalam konteks
kerjasama internasional, ASEAN telah mengembangkan kerjasama dengan negara-negara lain di luar
ASEAN serta lembaga internasional terkait dengan sumberdaya termasuk bantuan keuangan dan teknis,
antara lain dengan kerjasama yang lebih intensif dengan Forum Kehutanan PBB (United Nations Forestry
Forum–UNFF) antara lain dengan memperkuat dalam pelaksanaan Instrumen yang tidak mengikat dengan
resmi untuk semua tipe hutan dan program kerja multi-tahun dari UNFF, 2007-2015. Sebagai anggota
terakreditasi dari UNFF, ASEAN akan terus memperkuat interaksi regional dan interaksi dengan forum
dalam mengatasi isu-isu mutakhir kawasan. Untuk keperluan tersebut antara lain telah dibentuk FORMA
(Forest Monitoring for Action) untuk memfasilitasi konservasi hutan dengan mengidentifikasi di mana dan
kapan deforestasi terjadi per bulan, yang selanjutnya digunakan sebagai system peringatan deforestasi
(deforestation alarm system). Informasi ini membuat lebih mudah mengetahui di mana mengintervensi dan
menghentikan perluasan deforestasi, dan dimaksudkan untuk melengkapi program-program monitoring
hutan nasional dan usaha-usaha konservasi hutan lokal. Fase pertama dari sistem FORMA ini adalah
mengidentifikasi penyebaran deforestasi di Indonesia dari tahun 2005-2009, yang kemudian akan
diperluas penggunaannya pada negara-negara hutan tropis lainnya.
Skim REDD+ dalam pelaksanaannya akan melalui tiga fase utama, yaitu (1) fase persiapan
(readiness) yaitu pengembangan suatu strategi nasional untuk REDD+, termasuk didalamya adalah
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
transformasional, terkait dengan pelaksanaan perencanaan kebijakan-kebijakan dan metode-metode dari
strategi nasional REDD+, antara lain mencakup peningkatan partisipasi orang asli dan komunitas local,
serta pembayaran berbasis penampilan atas dasar indikator proxy yang meliputi penguatan kelembagaan,
tatapamong hutan, dan informasi; kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan seperti reformasi kepemilikan
lahan, pengelolaan hutan dan restorasi lanskap hutan yang terdegradasi, pengelolaan kebakaran berbasis
masyarakat, dan sebagainya; serta kegiatan-kegiatan di luar sektor kehutanan untuk mengurangi tekanan
terhadap hutan seperti pertanian berkelanjutan yang tersertifikasi, rantai suplai energy kayu yang
berkelanjutan, dan agroforestri atau hutan pertanian; (3) fase pembayaran berdasarkan penampilan, yaitu
pembayaran penampilan yang didasarkan pada emisi hutan yang terkuantifikasi dan pembuangan terhadap
tingkat referensi yang disetujui. Ini bisa dalam bentuk pembayaran yang bentuk kredit atau non-kredit.
Dalam pada itu, negara-negara di ASEAN bisa memanfaatkan beberapa mekanisme multilateral
yang sudah ada dalam mendukung pelaksanaan REDD+ sehingga bisa membantu menciptakan
kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk memperoleh benefit dari REDD+. Ada 4(empat) sumber dukungan
multilateral yang tersedia bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai tujuan REDD+ tersebut, yaitu (1)
Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility – FCPF) oleh Bank Dunia, yang
mendukung 37 negara di dunia dari dana kesiapan (readiness fund). 8 negara diantaranya berasal dari Asia
Pasifik, dan 5 dari 8 negara tersebut merupakan negara anggota ASEAN (Kamboja, Indonesia, Laos,
Thailand, dan Viet Nam). (2) UN-REDD Programme, yang dijalankan bersama tiga lembaga yaitu UNDP,
FAO dan UNEP) dimana dari 8 negara yang menjadi pilot, dua diantaranya berada di ASEAN yaitu
Indonesia dan Viet Nam; (3) Program Investasi Hutan (Forest Investment Program- FIP) dari Dana
Investasi Iklim (the Climate Investments Funds) telah memilih dua negara di ASEAN yaitu Indonesia dan
Laos, dari 8 negara di dunia untuk mendukung usaha-usaha pengembangan REDD+ dengan mendesain
dan mendanai investasi dan leveraging sumberdaya keuangan tambahan, termasuk dana dari sektor swasta
untuk membangun pola-pola investasi masa depan yang menjadi dasar pembiayaan karbon hutan; dan (4)
Global Investment Facility Sustainable Forest Management dan REDD+ program (GEF-SFM/REDD+).
Program ini agak berbeda dengan program REDD+ dalam tiga mekanisme di atas, pembiayaan tidak
hanya fokus pada reduksi emisi GHG tetapi juga terkait dengan kehilangan keragaman hayati dan
degradasi lahan. Proyek-proyek dan program-program GEF juga potensial menawarkan cara-cara yang
berguna dengan menggabungkan partner-partner GEF bagi konservasi karbon hutan dan benefit global
lainnya. Oleh karena itu, koordinasi dan kolaborasi yang lebih baik dari berbagai mekanisme multilateral
yang ada akan bisa mempercepat usaha-usaha mendukung terlaksananya program-program REDD+.
Khusus kaitannya dengan dukungan global terhadap REDD+, enam negara yang berkontribusi
yaitu Australia, Prancis, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Amerika Serikat menjanjikan US$3,5 milyar
untuk dukungan REDD+ di Kopenhagen pada Desember 2009 sebagai bagian dari komitmen US$30
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
US$4,2 milyar dari tahun 2010-2012. Negara- negara ASEAN yang memperoleh permbiayaan tersebut
adalah Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Viet Nam, dengan total nilai sebesar
US$ 701,70 juta. Dari kelima negara tersebut, Indonesia memperoleh nilai terbesar yaitu US$527,88 juta
(75,23 %) yang berasal dari keempat mekanisme multilateral di atas dan dari bilateral dengan
negara-negara Australia, Finlandia, Jerman, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Amerika Serikat (Lihat ADB, 2010).
ADB (2010) juga menilai bahwa wilayah Asia dan Pasifik bisa secara signifikan mengurangi emisi
GHGnya dengan menerapkan pendekatan REDD+, dengan kawasan Asia Tenggara menawarkan potensi
reduksi yang paling besar. Aksi-aksi seperti itu harus bisa menghasilkan pembiayaan REDD+ yang besar
dan disertai dengan benefit tambahan yang bernilai tinggi, termasuk mempertahankan kelimpahan
keragaman hayati dari hutan hujan. Sepuluh negara dengan potensi REDD+ yang tertinggi (5 negara di
kawasan ASEAN) bisa menghasilkan US $2.8 milyar dalam kredit reduksi emisi dari tahun tahun 2015 ke
2020 dari suatu reduksi 50 % dalam tingkat deforestasi jika ada pasar karbon yang membayar US $5 per
ton CO2. Untuk negara-negara ASEAN, diperkirakan nilai moneter dari kredit reduksi emisi tersebut
adalah Indonesia (US$1.482, 29 juta); Myanmar (US$ 552,61 juta); Kamboja (US$ 316,02 juta); Malaysia
(US$ 307,08 juta); dan Laos (US $92,82 juta), dengan total nilai sebesar US$ 2.696,82 juta (96%).
Dengan melihat konteks keberadaan kawasan ASEAN dan kondisi hutannya, ASEAN bisa
memainkan peranan penting dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim global. Kebijakan dan
usaha-usaha dalam internal ASEAN sudah banyak dikembangkan, dan mempunyai potensi mekanisme
multilateral yang tersedia untuk mempercepat dan memperluas program-program REDD+ yang dapat
memberikan benefit social, ekonomi, dan lingkungan yang signifikan bagi kawasan ASEAN.
3. Benefit Potensial dan Prospek Pengembangan A/R CDM dan REDD+ di Kawasan ASEAN
Metode yang harus menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang (termasuk ASEAN)
nadalah bagaimana menghindari deforestasi dan devegetasi, melalui pengembangan pengelolaan hutan
berkelanjutan, serta aforestasi dan reforestasi (Dutschke, 2007). Dalam konteks ini, penimbun karbon
berbasis kehutanan (forestry-based carbon sinks) adalah opsi penting untuk menghasilkan potensial benefit
yang besar bagi penduduk pedesaan, lahan, air dan sumber daya biomassa, mitigasi perubahan iklim dan
ketahanan terhadap dampak-dampak pemanasan gobal (Leach dan Leach, 2004). Mekanisme ini tidak
hanya bisa mengkompensasi pasar-pasar yang hilang dalam jasa-jasa lingkungan hutan, tetapi juga
membantu negara-negara industri untuk menghindar dari reduksi penggunaan energi (Smith dan
Applegate, 2004).
Program penyerapan karbon (carbon sequestration) mempunyai potensi untuk menghasilkan
pendapatan melalui dalam proyek-proyek yang terkait dengan penggunaan lahan di bawah konsep CDM
(Aune et al., 2005). Hal ini bisa diwujudkan melalui konsep kredit karbon (carbon credit), yang bisa
digunakan untuk menghasilkan penerimaan dan untuk membiayai proyek-proyek tersebut (Show dan Lee,
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
karbon (Wise dan Cacho, 2005). Dalam hal ini, proyek-proyek yang memenuhi persyaratan-persyaratan
kelayakan dari Protokol Kyoto berpeluang baik untuk perdagangan karbon (Anonymous, 2002). Namun,
para pengembang proyek masih menghadapi kendala dalam memenuhi kriteria CDM atau mekanisme
lainnya untuk tujuan perolehan kredit karbon (Hooda et al., 2007).
Adanya intrumen perdagangan karbon tersebut memungkinkan bagi kehutanan tropis menjadi
lebih kompetitif dibandingkan dengan penggunaan lahan pertanian seperti padang pengembalaan Sapi,
karena adanya penerimaan tambahan dari jasa sekuestrasi karbon tersebut (Olschewski dan Benítez, 2005).
Proyek-proyek kehutanan di bawah CDM bisa menyediakan beberapa benefit untuk negara-negara
berkembang dengan berpartisipasi baik dalam pasar timber maupun pasar karbon. Oleh karena itu,
pengembangan proyek harus memaksimumkan penerimaan mereka berdasarkan ekspektasi pasar karbon
dan timber, dengan tetap mengacu pada aturan-aturan internasional untuk proyek-proyek sekuestrasi
karbon di bawah CDM (Gutiérrez et al., 2006).
Dalam satu dekade terakhir telah banyak kajian tentang potensi penimbunan karbon untuk
berbagai sistem pengembangan hutan, termasuk dalam pengelolaan berbasis masyarakat, dan serta
mengestimasi potensi benefit ekonomi maupun non ekonomi dalam kaitannya dengan investasi A/R CDM
di negara-negara berkembang, dengan hasil yang bervariasi.
Dalam konteks penimbunan karbon, perkebunan dengan vegetasi yang tinggi mempunyai potensi
penimbungan karbon yang besar. Germer dan Sauerborn (2008) mengestimasi bahwa jika lahan rumput
tropis direhabilitasi oleh perkebunan kelapa sawit, fiksasi karbon dalam biomassa perkebunan dan bahan
organik tanah tidak saja menetralkan emisi konversi lahan rumput tetapi juga menghasilkan penghapusan
(removal) bersih sekitar 135 Mg karbon dioksida per hektar dari atmosfir. Penciptaan mekanisme
fleksibilitas (flexibility mechanisms) seperti CDM dan perdagangan emisi dalam Protokol Kyoto bisa
memasukkan perkebunan sebagai penimbun karbon (carbon sinks) dalam usaha untuk memenuhi target
emisi. Oleh karena itu, bagi industri kelapa/minyak sawit, rehabilitasi lahan rumput adalah suatu opsi
untuk mempertahankan hutan alam, menghindari emisi dan jika karbon yang disekuestasi bisa
diperdagangkan dapat menghasilkan tambahan penerimaan (Germer dan Sauerborn 2008).
Untuk merealisasikan potensi sektor kehutanan di negara-negara berkembang untuk mitigasi emisi
skala penuh, potensi sekuentrasi karbon dari spesies yang berbeda dalam tipe-tipe perkebunan yang
berbeda harus diintegrasikan dengan sistem perdagangan karbon dibawah CDM Protokol Kyoto. Sebagai
contoh, hasil Kajian dari Yong et al. (2007) di Bangladesh menunjukkan bahwa tisu/jaringan pohon dalam
hutan-hutan Bangladesh menyimpan rata-rata sebanyak 92 ton karbon per hektar (tC/ha) dan stok kasar
sebesar 190 tC/ha dalam perkebunan-perkebunan dari 13 spesies pohon yang berkisar antara umur 6
sampai 23 tahun. Selain itu, pengurangan CO2 atmosfir yang sangat besar oleh hutan-hutan tersebut jika
lahan hutan yang terdegradasi direforestasi dengan proyek-proyek CDM, yang mengindikasikan potensi
Bangladesh untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon baik untuk benefit ekonomi maupun
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Pengakuan agroforestri sebagai salah satu strategi mitigasi gas rumah kaca di bawah Protokol
Kyoto di bawah UNFCCC menawarkan suatu peluang bagi para pelaku agroforestri untuk memperoleh
benefit dari pasar kredit karbon (C) global. Kebanyakan sistem agroforestri berskala kecil di Asia
Tenggara adalah pohon dengan sistem spesies yang kaya yang menghasilkan produk non-kayu dan kayu
baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk pasar. Akibat dari biomassanya yang tinggi, sistem-sistem ini
mengandung stok karbon (C) yang besar. Sementara sistem-sistem individu petani adalah terbatas dalam
luas, pada suatu per area dasar sistem-sistem skalakecil mengakumulasi jumlah karbon yang signifikan,
sama dengan jumlah C yang disimpan dalam beberapa hutan sekunder dengan umur yang sama.
Kemampuan mereka untuk secara simultan menangani kebutuhan-kebutuhan kehidupan pemilik lahan
kecil (smallholders' livelihood needs) dan menyimpan jumlah C yang besar membuat sistem-sistem skala
kecil menjadi tipe-tipe proyek yang layak di bawah CDM dari Protokol Kyoto, dengan tujuan gandanya
yaitu reduksi emisi dan pembangunan berkelanjutan (Roshetko et al., 2007).
Salah satu sistem agroforestri pemilik lahan kecil adalah tanaman pekarangan banyak dijumpai di
kawasan ASEAN dan seluruh kawasan tropis. Karena biomassanya yang tinggi, sistem tersebut secara
simultan menawarkan potensi bagi penyimpanan karbon. Hasil studi lapangan yang dilakukan oleh
Roshetko et al, (2002) di Indonesia mengindikasikan bahwa tanaman pekarangan dengan umur rata-rata 13
tahun menyimpan 35.3 Mg C ha-1 dalam biomassa di atas tanah mereka, yang adalah sama dengan stok
karbon yang dilaporkan untuk hutan-hutan sekunder dengan umur sama di daerah yang sama. Tergantung
pada opsi pengelolaan, diperkirakan bahwa stok karbon waktu rata-rata di atas tanah dari sistem tanaman
pekarangan bisa bervariasi dari 30 sampai 123 Mg C ha-1. Jika sistem tanaman pekarangan dan sistem
berbasis pohon dari pemilik lahan kecil lainnya ingin dikembangkan dalam lahan-lahan yang sekarang ini
terdegradasi dan pemanfaatannya yang tidak optimal, seperti padang rumput imperata, potensi sekuetrasi
karbon akan mencapai sekitar 80 Mg C ha-1, dengan variasi yang sangat besar tergantung pada komposisi
spesies dan praktek-praktek pengelolaan.
Batas dasar untuk GHG dan skenario reduksi GHG diperkirakan di Thailand sehingga suatu CDM
skala kecil bisa diperkenalkan dalam negara-negara ASEAN lainnya. CDM skala kecil adalah
aktivitas-aktivitas proyek yang mengurangi emisi buatan manusia (anthropogenic emissions) dan secara langsung
mengeluarkan kurang dari 15 karbon dioksida ekuivalen per tahun (Kaku dan Ikeguchi, 2008). Kirby dan
Potvin (2007) bekerja dengan suatu komunitas di Panama Timur menemukan bahwa pengembangan hutan
pertanian atau agroforestri dalam daerah-daerah yang sekarang ini merupakan padang pengembalaan
(pasture) bisa menyerap atau menimbun sejumlah karbon secara signifikan sembari menyediakan
keragaman hayati dan benefit kehidupan yang tidak bisa disediakan oleh sistem reforestasi yang paling
umum seperti pada wilayah-wilayah penanaman kayu jati monokultur.
Dengan adanya potensi ekonomi dari pasar karbon banyak para ahli yang mencoba mengestimasi
biaya mengadopsi proyek A/R CDM dan dikaitkan dengan potensi penerimaan dan benefit dari sistem
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
bervariasi. Wise dan Cacho (2005), misalnya, menemukan bahwa pembayaran sekuestrasi karbon
mendorong pemilik lahan untuk mengadopsi praktek yang kurang intensif karena penerimaan bersih adalah
lebih tinggi dengan pembayaran karbon. Sebagai contoh, jika biaya tahunan mengukur karbon tanah adalah
lebih besar dari US$1.19 ha-1. Itu tidak akan hemat/efisien untuk menjelaskan pool ini dalam suatu proyek
sekuestrasi karbon.
Hasil kajian Smith dan Applegate (2004) di Asia dan Amerika Latin menemukan bahwa bahwa
biaya kesempatan dari pergeseran dari pembalakan konvensional kepada praktek perbaikan diperkirakan
terlalu rendah. Pada saat yang sama, benefit-benefit keragaman hayati dan karbon jangka panjang dari
perbaikan pengelolaan hutan juga diperkirakan terlalu rendah. Implikasinya adalah bahwa proyek-proyek
pengelolaan hutan bisa menjadi kurang hemat biaya didandingkan dengan yang diduga sebelumnya. Selain
itu, seberapa jauh proyek-proyek seperti itu akan membuat negara-negara industri untuk menghindari
pengurangan polusi industri adalah juga nampaknya tidak akan signifikan. Hasil analisis oleh Yao et al.,
(2004) terhadap proyek kehutanan di China menunjukkan bahwa biaya proyek-proyek CDM kehutanan di
China Utara adalah sangat tinggi sehingga pendapatan dari kredit karbon tidak bisa menutup semua
biayanya. Namun demikian, proyek-proyek kehutanan memberikan benefit sosial dan ekonomi yang lain,
dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, sehingga proyek-proyek seperti bisa menjadi
layak secara ekonomi jika semua dampak-dampak ekonomi eksternalnya diperhitungkan.
Gutiérrez et al. (2006) menemukan bahwa pengelolaan hutan optimal adalah peka terhadap kondisi pasar timber dan karbon. Pada tiap tingkat diskonto, karena harga CER meningkat, frekuensi dan intensitas
cendrung menurun dan penebangan optimal dan panjang rotasi cendrung dicapai pada umur yang lebih tua.
Annual Equivalent Value(AEV) terbesar ditemukan pada tingkat diskonto 10%, harga-harga CER US$13
dan panjang rotasi 40 tahun untuk semua spesies. Bagi semua spesies penebangan optimal ditemukan pada
umur 35 tahun dari umur penanaman adalah pilihan terbaik untuk memaksimumkan profitabilitas proyek
-proyek tersebut (Gutiérrez et al., 2006).
Hasil penelitian di Mali terhadap dua sistem agroforestri (pagar hidup -live fence dan penyimpanan
makanan ternak- fodder bank) ditemukan bahwa untuk ukuran standar proyek-proyek pagar hidup (291 m)
dan penyimpanan makanan(hijauan) ternak (0.25 ha), NPV yang diestimasi mencapai $ 96.0 dan $158.8
tanpa penjualan kredit karbon, dan $109.9 dan $179.3 dengan penjualan C, berturut-turut. Dari perspektif
penjualan karbon, pagar hidup nampaknya kurang beresiko dan lebih menguntungkan dibandingkan
penumpukan pakan hijauan ternak (fodder bank). Penjualan kredit karbon nampaknya berkontribusi pada
pembangunan ekonomi bagi petani-petani subsistensi (Takimoto et al., 2008). Sementara itu, hasil Kajian
Aune et al. (2005) di Nepal, Uganda dan Tanzania menunjukkan bahwa profitabilitas ekonomi dari
sistem-sistem penggunaan lahan, dengan asumsi harga karbon sebesar 10 dollar AS per ton (Mg) dengan tingkat
bunga per tahun sebesar 10%, NPV meningkat sebesar antara 4.9% dan 6.5% untuk sistem-sistem ini
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Hasil kajian oleh Tomich et al. (2002) di dataran rendah pulau Sumatra, di mana hutan-hutan dan
penggunaan lahan lainnya bisa merepresentasikan sistem hutan hujan tropis basah dataran rendah di Asia
Tenggara menunjukkan bahwa nilai timber yang terkait adalah suatu bagian yang signifikan dari biaya
kesempatan konservasi hutan, bahkan untuk estimasi konservatif dari harga timber. Pertanyaan tentang
mengkompensasi untuk nilai-nilai yang hilang ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang kompleks
terkait dengan politik ekonomi Indonesia, karena hak-hak pemilikan terhadap sumber daya-sumber daya
ini adalah sangat kontroversial. Dibandingkan dengan konservasi hutan, penyerapan karbon (C offsets)
melalui agroforestasi kelihatannya lebih layak di Indonesia karena hak-hak pemilikan terhadap timber dari
pohon-pohon yang ditanam akan lebih mudah untuk diadakan dan dikembangkan dibandingkan dengan
hak-hak pemilikan terhadap timber dari hutan-hutan alam (Tomich et al., 2002).
Hasil kajian Pfaff et al., (2007) di Costa Rica menunjukkan bahwa dampak-dampak signifikan dari
penerimaan relatif pada hutan pada berbagai tingkat deforestasi. Oleh karena itu, pembayaran karbon akan
mempengaruhi konservasi dan juga sekuestrasi karbon, dan jika pengguna lahan miskin/kecil bisa
mengkonservasi hutan sambil menangani kemiskinan pedesaan. Ditemukan bahwa daerah-daerah yang
lebih miskin bisa mempunyai suatu respon suplai yang lebih tinggi terhadap pembayaran, tetapi bahkan
tanpa dampak ini, daerah-daerah yang miskin bisa dimasukkan dan benefit menjadi lebih besar akibat areal
hutan per kapita yang lebih tinggi. Mereka bisa dimasukkan kurang akibat biaya-biaya transaksi.
Terkecuali CDM Protokol Kyoto dimodifikasi dalam pelaksanaannya untuk memungkinkan kredit dari
deforestasi yang dihindari, benefit-benefit seperti itu nampaknya menjadi terbatas.
Penyaluran dana investasi karbon ke dalam proyek-proyek kehutanan berbasis masyarakat
membuat pembangunan dan konservasi hutan menjadi layak secara ekonomi dan menarik bagi komunitas
lokal untuk mempertahankan keragaman hayati dan integritas alam (Singh, 2008). Kasus di Karnataka,
India, misalnya, pelaksanaan aktivitas-aktivitas proyek yang berbasis hutan yang berhasil melibatkan
partisipasi lokal, menghasilkan ragam produk hutan dan jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat
lokal (Palm et al., 2008). Biasanya terjadi kompromi antara kehidupan lokal dan penyimpanan karbon,
tetapi penilaian terhadap biaya kesempatan dari sekuestrasi C mensyaratkan analisis pada skala komunitas
dan lanskap. Ini sejalan dengan desain modalitas internasional dengan pendekatan berbasis hasil untuk
meningkatkan penyimpanan karbon dengan fleksiblitas lokal dalam pelaksanaannya (van Noordwijk et al.,
2008).
van Kooten dan Sohngen (2007) mereview isu-isu yang terkait dengan penggunaan aktivitas-aktivitas
kehutanan teresterial untuk menciptakan kredit offset CO2. Estimasi batas dasar biaya-biaya sequestering
karbon adalah antara $3-$280 dollar AS per tCO2, yang mengindikasikan bahwa biaya-biaya menciptakan
kredit offset emisi CO2 melalui kegiatan-kegiatan kehutanan sangat bervariasi. Perkebunan/penanaman
yang intensif di daerah tropis secara potensial bisa menghasilkan benefit positif pada masyarakat, tetapi di
Eropah proyek-proyek yang sama biayanya bisa mencapai $195/tCO2. Sungguh, Eropah adalah wilayah
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
kenapa Eropah umumnya menolak timbunan biologi (biological sinks) sebagai suatu subsitusi bagi reduksi
emisi, sementara negara-negara bergegas membiayai proyek-proyek CDM sektor kehutanan. Di Kanada
dan Amerika Serikat, biaya-biaya sekuestrasi karbon berkisar antara $2 sampai hampir $80 per tCO2.
Salah satu kesimpulan yang jelas adalah beberapa proyek kehutanan untuk sequester karbon adalah sangat
berharga untuk dilaksanakan, tetapi tentu saja tidak semua (van Kooten dan Sohngen, 2007). Eropah telah
memulai sistem perdagangan emisi mereka untuk meratifikasi Protokol Kyoto untuk perdagangan karbon,
dan menilai kredit hutan adalah suatu cara yang sangat terpercaya untuk menangani perubahan iklim
(Anonymous, 2004).
Selanjutnya, Hooda et al. (2007) melakukan dua studi kasus yaitu proyek-proyek agroforestri dan
komunitas di Uttaranchal, India dan mnenemukan bahwa proyek tersebut layak secara finansial meskipun
tidak terlalu menguntungkan tetapi potensi mitigasi karbon dalam restorasi tipe proyek lahan terdegradasi
ini adalah sangat besar karena tantangan-tantangan dalam tahap awal bisa diatasi secara memadai.
Penerimaan karbon adalah suatu pemicu utama bagi para investor dalam proyek-proyek masyarakat.
Spesies timber dengan rotasi pendek seperti Eucalyptus (Eucalyptus), Poplar (Populus) mempunyai
tingkat pengembalian internal (internal rates of return -IRR) dan potensi reversibilitas benefit karbon yang
tinggi akibat fluktuasi dalam harga pasar dari komoditas yang dihasilkan. Pemilikan lahan adalah kecil dan
banyak/mengumpul sesuai untuk proyek-proyek untuk mencapai skala ekonomi (Hooda et al., 2007).
Sutter dan Parreño (2007) menilai 16 proyek CDM yang terdaftar resmi apakah sudah memenuhi dua tujuan yang disyaratkan oleh Protokol Kyoto: reduksi emisi gas rumah kaca dan kontribusinya pada
pembangunan berkelanjutan di negara pelaksanaanya. Sementara sebagian besar (72%) dari total portofolio
CER yang diharapkan adalah cendrung menunjukkan reduksi emisi nyata dan terukur, kurang dari 1 persen
adalah cendrung berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan berkelanjutan di negara pelaksana
proyek CDM. Berdasarkan analisis, sekarang ini, tidak ada proyek-proyek CDM yang terdaftar pada
UNFCCC yang cendrung bisa memenuhi tujuan ganda dari Protokol Kyoto yaitu secara simultan
menghasilkan reduksi emisi GHG dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan (Sutter dan Parreño,
2007).
Olschewski dan Benítez (2005) menganalisa proyek-proyek kehutanan di Petagonia Barat laut dari sudut pandang ekonomi yang didasarkan pada perkembangan terbaru dari Protokol Kyoto. Kami
mempertimbangkan CER jangka panjang dan temporer dan menentukan syarat-syarat pada
perkebunan-penanaman hutan yang mana adalah menarik bagi potensi penyuplai dan yang meminta CER. Disimpulkan
bahwa bagi kebanyakan proyeksi harga karbon akhir-akhir ini, proyek-proyek penimbunan karbon akan
layak secara ekonomi bagi penyuplai CER dan pada saat yang sama menarik bagi yang butuh CER yang
mencari peluang pengurangan emisi yang hemat biaya. Ditemukan bahwa hutan sekunder menjadi menarik
secara ekonomi kalau harga kredit permanen adalah di atas $4.5/tCO2, sedangkan perkebunan/penanaman
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
adalah dalam marjin harga yang diprediksi oleh ragam institusi untuk periode komitmen pertama dari
Protokol Kyoto.
Hasil kajian oleh Asquith et al. (2002) di Bolivia menunjukkan bahwa proyek-proyek aksi iklim
akan mempunyai dampak positif jangka panjang terhadap masyarakat lokal. Namun demikian, dalam
jangka pendek, bagian-bagian tertentu dari masyarakat lokal adalah lebih miskin secara finansial.
Proyek-proyek proteksi hutan secara jelas mempunyai potensi untuk menyerap C, melindungi keragaman hayati,
dan secara simultan berkontribusi pada pembangunan pedesaan berkelanjutan, tetapi jika mereka
sungguh-sungguh untuk meningkatkan kehidupan pedesaan, proyek-proyek tersebut harus didesain dan
dilaksanakan secara hati-hati dan partisipatif.
4. Isu-isu Strategis dalam Implementasi Program A/R CDM dan REDD+
Meskipun program A/R CDM dalam konteks REDD+ sudah berkembang jauh baik dari segi
metodologi, program, aksi serta analisis ekonomi jangka panjang, masih banyak isu-isu strategis sekaligus
tantangan yang harus dipecahkan ke depan agar upaya kolektif regional dan internasional untuk mitigasi
dampak perubahan iklim bisa terwujud. Isu-isu strategis tersebut adalah kontroversi internasional ersebut
didiskusikan pada bagian berikut ini.
4.1 Kontroversi internasional tentang penyebab pemanasan global
Pada tataran global, perhatian internasional sebagai suatu aksi kolektif untuk mengatasi masalah
deforestasi dan degradasi hutan masih terbelah baik karena alasan-alasan akademis, politik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Berlawanan dengan kasus ozon, usaha-usaha untuk suatu rezim internasional
yang legal tentang menajemen hutan telah menjadi sesuatu kegagalan yang besar. Jika melihat ke belakang
pada akhir tahun 1980-an, seorang ahli kehutanan menjelaskan agenda hutan internasional sebagai
serangkaian sesuatu yang berbunyi nyaring tapi tanpa aksi (“a series of loudly trumpeted non-events”). Sekarang ini, telah mengalami sedikit kemajuan dengan ungkapan yaitu serangkaian kejadian yang
bersuara nyaring dengan sedikit dampak. Meskipun telah ada inisiatif multilateral yang cukup memadai
dan pandangan yang sama dari banyak negara bahwa kerusakan hutan dunia berlanjut pada tingkat yang
semakin mengkhawatirkan, negara-negara tersebut belum menghasilkan suatu perjanjian internasional
yang komprehensif tentang pengelolaan hutan (Gray, 2000), walaupun dalam beberapa tahun terakhir
sudah menunjukkan perkembangan yang positif.
Dalam konteks A/R CDM, Meskipun CDM memungkinkan proyek-proyek energi yang bisa
diperbaharui dalam LULUCF tersebut diatas dalam proyek A/R yang ditujukan untuk menyerap karbon
dari atmosfir, sejauh ini proyek A/R belum juga disetujui oleh Badan Eksekutif CDM walaupun telah
melalui perdebatan internasional yang tajam. Alasan utama penolakannya adalah ditemukannya
dokumentasi dan/atau kuantifikasi skenario dasar dan addisionalitas, berarti bahwa pengusul proyek tidak
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
pada apa yang telah dilakukan dalam ketidakadaan proyek. Banyak juga proyek yang gagal karena analisis
investasi oleh karena layak secara finansial tanpa kredit karbon, salah satu aspek addisionalitas tetapi tetap
kontroversial.
4.2.Perdebatan tentang Jenis Program yang Sesuai
Konferensi Milan dari UNFCCC telah menetapkan dua tipe pengurangan emisi melalui CDM,
yaitu kegiatan-kegiatan afforestasi (A) dan reforestasi (R) (Dutschke et al., 2005) sebagai instrumen yang
mungkin untuk mengurangi konsentrasi CO2 atmosferik. Proyek-proyek ini juga mempunyai potensi untuk
melawan masalah-masalah lingkungan regional seperti degradasi lahan dan pembentukan gurun
(desertification) (Olschewski dan Benítez , 2005). Perdebatan tentang proyek-proyek mana yang masuk
dalam kategori A/R dalam konteks CDM masih berlangsung. Tapi, dengan Rencana Aksi Bali secara
kategori menempatkan kegiatan-kegiatan pengurangan emisi dari degradasi dam deforestasi (reduced
emissions from degradation and deforestation -REDD) pada agenda negosiasi perubahan iklim masa
depan, sekarang tidak ada suatu kemungkinan yang kuat bahwa pendekatan-pendekatan kebijakan dan
insentif-insentif yang terkait dengan peningkatan stok karbon dalam hutan dengan biomassa rendah akan
dinegosiasikan secara berhasil dan diterima sebagai suatu opsi mitigasi gas rumah kaca yang diakui dalam
rezim perubahan iklim setelah 2012 yang akan datang.
Parameter yang paling penting yang memengaruhi area yang diperuntukkan sebagai hutan adalah
kepadatan puncak minimum yang bisa diset antara 10 sampai 30 persen. Pilihan tersebut akan mempunyai
implikasi-implikasi bagi jumlah lahan yang tersedia dalam suatu negara untuk kegiatan-kegiatan A/R)
CDM(Verchot et al., 2007). Namun, para ahli telah, sedang, dan akan terus melakukan kajian dan analisis
tentang tipe-tipe pengembangan vegetasi dan hutan dalam hubungannya dengan kemampuannya menyerap
karbon serta potensi benefit menjadi bagian dari proyek-proyek A/R CDM yang sesuai dengan protokol
Kyoto.
4.3.Kompleksitas Data dan Informasi yang Dibutuhkan
Meskipun potensial benefit dari proyek A/R CDM sangat menjanjikan, pengembangan proyek
kehutanan CDM mensyaratkan informasi yang beragam sumber dan multi-disiplin sehingga menjadi
sesuatu yang kompleks, tidak efisien dan mahal untuk diperoleh. Negara-negara berkembang (termasuk
kawasan ASEAN) di mana proyek-proyek CDM akan dilaksanakan seringkali mengalami keterbatasan
data dan informasi sehingga sulit memenuhi persyaratan informasi yang kompleks seperti itu. Sebagai
contoh, hasil kajian oleh Minang et al. (2008) di Kamerun tentang struktur dari suatu infrastruktur
pendukung data negara penyelenggara untuk kebutuhan data proyek CDM; data tingkat makro dan meso
dan persyaratan informasi (analisis permintaan); dan suplai data relevan yang tersedia di Kamerun (analisis
penawaran) mempertegas bahwa ketersediaan data dan infrastruktur yang relevan untuk pengumpulan data
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
meso, dan mikro. Kemudian disimpulkan bahwa permintaan informasi A/R CDM sekarang adalah hampir
tidak bisa dipenetrasi oleh masyarakat lokal dalam negara-negara pelaksana karena antara lain karena
adanya sejumlah hambatan-hambatan lintas skala untuk mengadopsi proyek tersebut (Minang et al., 2008).
Keadaan yang sama juga diperkirakan terjadi di negara-negara di kawasan ASEAN.
Sementara itu, kegiatan-kegiatan LULUCF melalui proyek-proyek A/R CDM yang bisa dilakukan
dalam mendemostrasikan pembangunan berkelanjutan masih tidak jelas. Sebagai contoh, dalam 302
kabupaten/kota seluruh Indonesia yang mencakup area lahan seluas 193 juta ha, kriteria kelayakan
(eligibility) didasarkan pada Perjanjian (the Marrakesh Accord), yang kemudian disebut kriteria keras
(“hard”) mengidentifikasi 47 juta hektar lahan. Dengan tambahan, yang disebut kriteria lunak ("soft") dari suatu kepadatan penduduk antara 10 dan 100 orang per km-2 dan di bawah rata-rata HDI, 17.3 juta lahan
yang cocok terdistribusi pada 53 kabupaten diprioritaskan. Perbedaan-perbedaan dalam resiko kebakaran
menyebabkan suatu stratifikasi kluster kesamaan dalam domain prioritas ini, dengan CDM mungkin pada
resiko kebakaran yang tinggi serta rendah, tetapi membutuhkan tipe proyek yang berbeda. Dengan
mengelompokkan kabupaten-kabupaten dalam kluster kesamaan keseluruhan dari tutupan lahan, tiga
kluster utama dengan 7.9, 0.7 dan 3.7 juta ha dari lahan yang cocok dan diprioritaskan diidentifikasi
dimana aktivitas-aktivitas pilot/contoh untuk CDM bisa dilaksanakan dengan probabilitas benefit
pengembangan dan potensi ekstrapolasi yang lebih tinggi (Murdiyarso et al., 2008).
4.4.Kredit Jangka Panjang Vs Kredit Sementara
Dalam konteks penerapan karbon kredit, pembahasan lebih lanjut terkait dengan konsep kredit
permanen/jangka panjang dan kredit sementara atau non permanen. Potensi non permanen dari skuestrasi
emisi karbon adalah isu yang krusial untuk ditangani agar supaya bisa memasukkan kegiatan-kegiatan
kehutanan sebagai kegiatan-kegiatan yang memenuhi syarat untuk CDM. Daripada mencari cara-cara
yang tepat untuk mengamankan reduksi permanen, beberapa ahli mengkaji kemungkinan memberikan ijin
sementara (temporary credits) sebagai satu cara mengatasi kesulitan atau kelemahan yang ada dari
pendekatan-pendekatan yang diusulkan sebelumnya (misalnya, Akunting Ton-Tahun - Ton-Year
Accounting). Dalam kaitan ini, Maréchal dan Hecq (2006) menemukan bahwa konsep kredit sementara
tersebut bisa merupakan suatu jawaban yang meyakinkan pada isu non permanen tersebut baik dari
perspektif lingkungan maupun dari sudut pandang finansial (karena itu mempunyai ciri-ciri yang efisien
terkait dengan ketidakpastian dan karenanya melindungi resikonya). Dutschke et al. (2005) dengan
mengambil contoh sistem perdagangan emisi Masyarakat Eropah, perlunya membahas masa berlaku kredit
(expiring credits) bisa meraih kemampuan penyederhanaan (fungibility) dengan dana (allowances) emisi
permanen pada pasar-pasar domestik (Dutschke et al., 2005).
Perlu ada metode untuk mendukung proses pengambilan keputusan pada sisi penawaran dari pasar
CER masa depan. Biaya-biaya kesempatan dari perubahan penggunaan lahan harus dianalisa secara
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
waktu lama. Menetapkan kredit temporer/sementara pada hutan sekunder yang ditumbukan kembali secara
alamiah meskipun bisa dikeluarkan dari CDM selama periode komitmen pertama – mengkombinasikan
keunggulan-keunggulan dari rezim akunting yang fleksibel dengan dampak ekonomi dan ekologi yang
positif dari penggunaan lahan yang kompetitif ini (Olschewski dan Benítez, 2005).
Komisi Eropah diberi mandat untuk mempertimbangkan memasukkan kredit dari proyek-proyek
penggunaan lahan dibawah CDM dan pelaksanaan bersama (joint implementation- JI), dimulai dengan
periode kedua dari Skim perdagangan emisi Uni Eropah (the European Union's emission trading scheme-
ETS).Kredit sementara dari afforestasi dan reforestasi under CDM tersebut dilihat oleh banyak ahli sebagai
mempunyai masalah teknis bagi penggunaannya dibawah ETS. Schlamdinger et al. (2005) meringkas
3(tiga) alternatif ramah lingkungan yang efisien dan layak untuk mewujudkan integrasi kredit sementara
seperti itu dalam pasar perdagangan emisi Eropah yang dimulai tahun 2008. Tiga proposal yang diajukan,
yaitu; (1) mengintegrasi tCERs dan lCERs (temporary credits) ke dalam EU ETS dengan mengijinkan
untuk penggunaan langsung mereka untuk tujuan-tujuan kepatuhan; (2) membangun pada gagasan
penukaran kredit sementara (swapping temporary credits) untuk EU allowances (EUAs) oleh
negara-negara anggota; (3) tidak membutuhkan suatu keputusan politik pada tingkat Uni Eropah. Ketimbang
negara-negara anggota yang mendukung atau para operator dana karbon swasta akan setuju untuk
penukaran atau barter kredit temporer dengan CERs atau ERUs mereka punya dalam akaun mereka.
4.2. Mengakomodir Pemilik Lahan Kecil
Kebanyakan lahan hutan di kawasan ASEAN dikelola oleh masyarakat baik dalam sistem
agroforestri maupun pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah kecil, dan sering terpencar.
Proyek-proyek A/R skala kecil di bawah CDM Protokol Kyoto bisa menyerap (sequester) karbon atmosfir dan
menfasilitasi perdagangan karbon tetapi mereka menghadapi tantangan-tantangan pelaksanaan yang
signifikan diantara komunitas dan rumahtangga miskin pedesaan yang ditujukan untuk mengadopsi dan
memperoleh manfaat darinya. Menghindari deforestasi – suatu opsi reduksi karbon kontroversial sekarang
dibawah diskusi kebijakan iklim – menjanjikan manfaat bagi konservasi hutan dan pengentasan
kemiskinan diantara masyarakat hutan asli (Coomes et al., 2008). Sistem-sistem pemilik lahan kecil belum
berkembang di daerah-daerah di mana kondisi-kondisi pendukungnya tidak tersedia. Suatu proyek CDM
yang memfasilitasi suatu batas minimum dari kondisi-kondisi mendukung yang membuat agroforestasi
berskala kecil ini memungkinkan untuk memenuhi syarat kredit C. Untuk mengamankan keyakinan para
pemilik lahan kecil, sistem-sistem agroforetsri yang dipromosikan melalui proyek CDM harus independen
layak secara sosial dan ekonomi dari pembayaran C. Untuk meyakinkan profitabilitas dan produktivitas
sistem, proyek-proyek harus menyediakan bantuan teknis dan pemasaran bagi para petani. Namun
demikian, proyek-proyek CDM yang terfokus pada pemilik lahan kecil akan mempunyai biaya-biaya
mekanisme-ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
mekanisme yang mengurangi biaya: (a) mengemas informasi (misalnya, teknologi, pasar) yang lebih bisa
diakses bagi banyak klien; (b) menfasilitasi dan menegakkan persetujuan-persetujuan pemilik lahan kecil;
dan (c) mendesain sistem monitoring yang layak (Roshetko et al., 2007). Selain itu, persoalan tentang
petani dengan lahan hutan kecil ini terkait dengan status lahan yang tidak jelas dan/atau lemah, dan ini
penting dalam identifikasi pemegang hak (right holder) untuk mengklaim benefit dari pasar karbon hutan
dan REDD. Untuk itu telah dikembangkan suatu forum yang dikenal dengan REDD Net yang antara lain
berupaya untuk membangun proyek dan kebijakan pro kaum miskin (
Pro-poor REDD projects
and policies
).
Mengacu pada keputusan untuk memasukkan proyek-proyek penyerap/penimbun skala kecil yang
dilakukan oleh masyarakat berpendapatan rendah dalam CDM Protokol Kyoto. Sampai saat ini, belum ada
proyek-proyek penyerap karbon yang berskala kecil dan tervalidasi dan para investor mempunyai perhatian
yang kecil dalam membiayai proyek-proyek seperti itu, mungkin karena resiko dan ketidakpastian yang
terkait dengan proyek-proyek penyerap karbon tersebut (Boyd et al., 2007).
5. Kesimpulan dan Implikasi
Kawasan ASEAN mempunyai peranan vital bagi pembanguan sosial, ekonomi dan ekologis
kawasan dan global karena luas tutupan hutan yang besar dengan tingkat keragaman hayati yang luar
biasa, dan tempat habitatnya sekitar 20 % dari semua spesies dunia.Namun demikian, kawasan ini
menghadapi tekanan yang besar akibat deforestasi dan degradasi hutan yang masih mengkhawatirkan.
Protokol Kyoto dengan program A/R CDM dan REDD+ merupakan menjadi instrumen penting untuk
mitigasi dampak perubahan iklim global dan merupakan peluang bagi negara-negara ASEAN untuk untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dengan ragam tujuan seperti pengurangan kemiskinan, benefit
lingkungan, serta reduksi emisi dengan biaya yang efektif.
Upaya-upaya kolektif secara regional dan internasional telah berkembang dengan lahirnya
Protokol Kyoto dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada 1997. Proyek A/R CDM REDD+
dapat menyediakan ragam benefit bagi negara-negara ASEAN kalau berpartisipasi baik dalam pasar timber
maupun pasar karbon. Secara kolektif, negara-negara ASEAN telah mengembangkan serangkain kebijakan
baik penguatan kelembagaan internal ASEAN serta memperkuat inteaksi yang positif dengan the United
Nation Forum on Forests (UNFF) ASEAN, serta mengoptimalkan pemanfaatan mekanisme multilateral
dan bilateral yang tersedia dalam menyiapkan, melaksanakan, serta perwujudan pembayaran karbon dalam
konteks REDD+. Dengan skenario menghindari deforestasi sebesar 50 % dengan harga US$ 5 per ton CO2,
kawasan ASEAN akan memperoleh sebesar US$ 2.696,82 juta (96% dari 10 negara dengan potensi
REDD+ tertinggi). Estimasi pembiayaan dari alokasi global tahun 2010-2012, negara- negara ASEAN
akan memperoleh permbiayaan sebesar US$ 701,70 jut, di mana US$527,88 juta (75,23 %) dialokasikan
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Hasil kajian yang ada tentang potensial benefit ekonomi dan lingkungan dari kebijakan dan
program terkait REDD+ khususnya pasar karbon atau kredit karbon cukup menjannjikan , walaupun masih
harus terus dikaji terutama kaitannya dengan aspek teknik, metodologi, dan kelembagaan untuk kelayakan
implementasinya sesuai dengan kriteria CDM. Karbon dan perhitungan finansialnya juga masih dalam
ketidakpastian karena terkait dengan dinamika karbon, caranya diperhitungkan serta efisiensi biaya dari
proyek tersebut. Hasil kajian tentang potensi pasar karbon atau kredit karbon terhadap
proyek-proyek yang memungkinkan masuk A/R CDM menunjukkan hasil yang beragam dan terbelah. Sebagian
temuan menunjukkan bahwa biaya proyek-proyek CDM kehutanan adalah sangat tinggi sehingga
pendapatan dari kredit karbon tidak bisa menutup semua biayanya. Sebagian lagi menyimpulkan bahwa
pasar karbon bisa memberikan kontribusi bagi perekonomian negara dan masyarakat serta layak secara
ekonomi apalagi jika semua dampak-dampak ekonomi eksternalnya ikut diperhitungkan. Namun demikian,
dengan harga karbon yang moderat (misalnya US$ 5 per ton CO2), investasi untuk proyek-proyek A/R
CDM di negara-negara berkembang (termasuk ASEAN) akan layak secara ekonomi, apalagi ada potensi
untuk perbaikan kualitas lingkungan serta pengentasan kemiskinan di pedesaan. Namun demikian, Aune et
al., (2005) menyarankan bahwa penentuan data dasar, biaya monitoring karbon, penilaian kebocoran dan
dokumentasi dan dampaknya pada pembangunan berkelanjutan menjadi penting untuk dilakukan.
Pada akhirnya ragam tantangan baik tataran internasional, regional, dan tingkat pelaksana,
misalnya kontroversi internasional tentang keberadaan CDM dan program terkait, perdebatan tentang
kelayakan program, serta kompleksitas data dan informasi terkait, analisis tentang jangka waktu CER,
termasuk sharing benefit yang bisa diperoleh masyarakat miskin, harus terus diupayakan jalan keluarnya
bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan. Untuk itu, perlu dirumuskan strategi kebijakan
pengembangan kapasitas dan kelembagaan, regulasi yang proaktif bagi perbaikan pengelolaan data hutan
yang bisa meningkatkan penggunaan pengelolaan karbon biosfir di kawasan ASEAN dalam mendukung
keberhasilan pelaksanaan program-program CDM dan REDD+. Selain itu, pemerintah juga harus
mendefinisikan hak-hak karbon hutan dalam legislasi serta pengaturan hak-hak karbon untuk kelompok
pengguna hutan komunitas/ kemasyarakatan (property rights) yang umumnya dengan lahan kecil.
REFERENCES
Anonymous (2002), Carbon trading: What does it mean for RE? Refocus 3 (1), pp. 24-27
Anonymous (2004), Europe frowns on forest credits. Inwood International 58, pp. 31
Asian Development Bank (2010), National REDD+ Strategies in Asia and the Pacific: Progress and Challenges. The Philippines: The Center for People and Forests, ADB. 44 pages.
Asquith, N.M., Vargas Ríos, M.T., Smith, J. (2002), Can forest-protection carbon projects improve rural livelihoods? Analysis of the Noel Kempff Mercado Climate Action Project, Bolivia. Mitigation dan Adaptation Strategies for Global Change 7 (4), pp. 323-337
ADDINUL YAKIN: Pasar Karbon di Kawasan ASEAN | Seminar Nasional ASEAN dan UNRAM 2011
Boyd, E., Gutierrez, M., Chang, M. (2007), Small-scale forest carbon projects: Adapting CDM to low-income communities. Global Environmental Change 17 (2), pp. 250-259
Coomes, O.T., Grimard, F., Potvin, C., Sima, P. (2008), The fate of the tropical forest: Carbon or cattle? Ecological Economics 65 (2), pp. 207-212
Dickens, G. dan K. Murphy (1998), Ecosystems. London/New York: Routledge.
Dutschke, M., Schlamadinger, B., Wong, J.L.P., Rumberg, M. (2005), Value dan risks of expiring carbon credits from afforestation dan reforestation projects under the CDM Climate Policy 5 (1), pp. 109-125.
Dutschke, M. (2007), CDM forestry dan the ultimate objective of the climate convention. Mitigation dan Adaptation Strategies for Global Change 12 (2), pp. 275-302.
Galeano, Sergio F., Nicholson, William J. (1998), Understdaning climate change issues dan how they could affect the forest industry dan its companies. TAPPI Proceedings - Environmental Conference & Exhibit 2, pp. 605-616
Germer, J., Sauerborn, J. (2008), Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance. Environment, Development dan Sustainability 10 (6), pp. 697-716.
Gray, John A (2000), Forest Concessions: Experience dan Lessons from Countries Around the World. A paper presented at IUFRO International Symposium Integrated Management of Neotropical Rain Forests by Industries dan Communities, Belém, Pará, Brasil December 4-7, 2000.
Gutiérrez, V.H., Zapata, M., Sierra, C., Laguado, W., Santacruz, A. (2006), Maximizing the profitability of forestry projects under the Clean Development Mechanism using a forest management optimization model. Forest Ecology dan Management 226 (1-3), pp. 341-350
Hooda, N., Gera, M., Danrasko, K., Sathaye, J., Gupta, M.K., Vasistha, H.B., Chdanran, M., Rassaily, S.S. (2007), Community dan farm forestry climate mitigation projects: Case studies from Uttaranchal, India. Mitigation dan Adaptation Strategies for Global Change 12 (6), pp. 1099-1130
Leach, G., Leach, M. (2004), Carbonising forest landscapes? Linking climate change mitigation dan rural livelihoods. IDS Bulletin 35 (3), pp. 76-83
Maréchal, K., Hecq, W. (2006), Temporary credits: A solution to the potential non-permanence of carbon sequestration in forests? Ecological Economics 58 (4), pp. 699-716
Minang, P.A., McCall, M.K., Skutsch, M.M., Verplanke, J.J. (2008), A data support infrastructure for Clean Development Mechanism forestry implementation: An inventory perspective from Cameroon. Mitigation dan Adaptation Strategies for Global Change 13 (2), pp. 157-178
Murdiyarso, D., van Noordwijk, M., Puntodewo, A., Widayati, A., Lusiana, B. (2008), District-scale prioritization for A/R CDM project activities in Indonesia in line with sustainable development objectives. Agriculture, Ecosystems dan Environment 126 (1-2), pp. 59-66.
Oberthür, S. dan H. E. Ott (1999), The Kyoto Protocol, International Climate Policy for the 21st Century
(pp. 130, 197–200). Springer.
Olschewski, R., Benítez, P.C. (2005), Secondary forests as temporary carbon sinks? The economic impact of accounting methods on reforestation projects in the tropics. Ecological Economics 55 (3), pp. 380-394
Palm, M., Ostwald, M., Berndes, G., Ravindranath, N.H. (2008), Application of Clean Development Mechanism to forest plantation projects dan rural development in India. Applied Geography. Article in Press