• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media Massa dan Internet Sebagai Katalis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Media Massa dan Internet Sebagai Katalis"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA MASSA DAN INTERNET

SEBAGAI KATALISATOR TERORISME

oleh : STANISLAUS RIYANTA email : stanislausriyanta@gmail.com

Pendahuluan

Selain melakukan kontra radikalisasi dan deradikalisasi, terorisme bisa

dicegah dengan mengurangi faktor-faktor pendorongnya. Salah satu faktor yang

bisa mendorong dan mempercepat terorisme adalah penyebaran informasi yang

semakin cepat dan mudah. Informasi disebarkan untuk menjadi alat propaganda,

menarik simpati. Informasi tentang terorisme di media massa bahkan digunakan

sebagai bahan yang berharga untuk strategi dan aksi para pelaku teror.

Media massa (termasuk dalam hal ini dan selanjutnya adalah internet)

adalah salah satu alat yang bisa menyebarkan informasi secara mudah, cepat, dan

terjangkau. Bagaimana jika media massa justru menjadi katalisator, melalui

penyebaran informasi yang digunakan, untuk mendukung aksi terorisme?

Bagaimana fungsi sebenarnya media massa dalam kasus terorisme?

Pertanyaannya selanjutnya adalah berpihak kepada siapakan media massa?

Teroris, korban, aparat (negara), atau hanya berpihak kepada kepentingan media

massa sediri?

Teroris Memanfaatkan Media Massa

Sering kali media massa dimanfaatkan oleh teroris untuk mensukseskan

aksinya. Informasi yang disajikan media massa menjadi pengetahuan dan bahan

penyusun strategi teroris. Bahkan secara langsung di media internet disajikan

teknik-tenik melakukan teror. Hal ini membuat orang belajar dengan mudah dan

cepat untuk menjadi teroris.

Peristiwa Mumbai 2008 di Hotel Taj Mahal menjadi pelajaran berharga

bagi media massa. Peran media massa yang seharusnya positif justru menjadi

bumerang dan menimbulkan korban jiwa.

Sejumlah teroris yang berada di hotel, ketika pihak keamanan mengepung

(2)

secara langsung peristiwa tersebut. Teroris menyerang balik pasukan keamanan

yang mengepungnya, dan belasan aparat tewas.

Dalam kasus ini jelas bahwa media massa hanya ingin menayangkan

sesuatu hal yang spektakuler yang tidak dilakukan media lain, namun dampaknya

adalah korban jiwa di pihak aparat/pihak yang benar.

Di samping secara teknis media massa digunakan sebagai salah satu bahan

strategi teroris untuk menjalankan aksinya, media lain seperti internet juga

digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham-pahamnya.

Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (27/3/2005) menyatakan bahwa “Media sosial membuka ruang tertutup menjadi terbuka. Tak heran jika beberapa remaja

18-25 tahun bergabung dengan ISIS karena pengaruh propaganda media sosial”.

Agus juga menyatakan bahwa WNI yang berangkat ke Suriah, disinyalir

bergabung dalam jaringan kelompok oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS),

diduga korban penyebaran paham radikalisme melalui jaringan internet.

Agus SB (BNPT) pada bulan Agustus 2015 lalu di Jambi bahkan

menyatakan bahwa tren munculnya bibit terorisme baru-baru ini karena banyak

yang belajar agama dari internet. Dijelaskan pula oleh Agus SB bahwa 47% orang

belajar agama dari internet.

Pernyataan pejabat BNPT ini jelas menggambarkan bahwa internet

digunakan sebagai suatu alat propaganda yang efektif dan menghasilkan

simpatisan-simpatisan bagi kelompok radikal.

Dari sisi pelaku terorisme, seperti Agus Abdillah (kasus Beji), yang

tertangkap pada 17 September 2012 oleh Tim Densus-88/AT Mabes Polri,

terbukti pada fakta persidangan bahwa dia merasa terpanggil untuk berjihad

setelah belajar melalui internet.

Fungki Isnanto, pelaku teror bom di Lumajang pada 1 Juni 2013 bahkan

mengaku mempelajari cara membuat bom dan merencanakan pengembomannya

melalui internet.

Dari fakta-fakta di atas terbukti bahwa media masa dan terutama internet

(3)

dan propaganda bahkan teknik-teknik teror seperti cara merakit dan melakukan

pengemboman dapat diperoleh dengan mudah di internet.

Sementara itu media massa sering kali justru menampilkan para teroris

sebagai hero, menampilkan adegan penangkapan dan penyergapan yang dilakukan

polisi sehingga menjadi pembelajaran aksi terorisme berikutnya atau justru

menjadi bumerang karena menarik simpati dari orang lain atas aksi teroris.

Posisi Media Massa dalam Terorisme

Di Indonesia, Dewan Pers selaku organisasi yang mengatur tentang media

massa di Indonesia, pada tanggal 9 April 2015, mengeluarkan Peraturan Dewan

Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme.

Dewan Pers menjelaskan dalam peraturan tersebut secara tegas bahwa tindak

terorisme adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan keterlibatan semua pihak

termasuk pers untuk menanggulanginya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa media

massa di Indonesia harus berada pada posisi menanggulangi terorisme.

Pedoman tersebut berisi tiga belas hal yang harus dilakukan oleh wartawan

media massa dalam melakukan peliputan terorisme. Jika wartawan mentaati

pedoman ini, maka kasus seperti di Mumbai tidak akan terjadi di Indonesia.

Dalam kontenk penanggulangan terorisme sesuai dengan pedoman yang

dikeluarkan Dewan Pers, maka tugas wartawan disebutkan untuk mengungkapkan

kebenaran. Kebenaran dalam jurnalistik sendiri bukanlah kebenaran yang bersifat

mutlak tetapi kebenaran yang bersifat fungsional, yakni kebenaran yang diyakini

pada saat itu dan terbuka untuk koreksi.

Kepentingan Lain

Sering kali media massa mempunyai kepentingan tertentu sehingga

mengabaikan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip jurnalistik yang bekerja

untuk kepentingan publik. Demi meraih hak ekslusif atau rating yang tinggi,

media bahkan rela mengabaikan kepentingan publik (kasus Mumbai 2008).

Pemerintah wajib menegaskan posisi ini dan berbuat tegas terhadap media

(4)

oleh Dewan Pers untuk tetap menjunjung tinggi kepentingan publik dan turut serta

menanggulangi tindak terorisme yang sudah termasuk kejahatan luar biasa.

Saran untuk Media Massa

Media masa jika tidak dikontrol dengan baik akan menjadi berbahaya bagi

kelangsungan hidup bernegara, bahkan lebih berbahaya dari terorisme itu sendiri.

Prof Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Radikalisme dan Terorisme di

Indonesia (2012) menyatakan bahwa :

Ancaman terbesar bukan dari radikalisme dan terorisme Islam

(jumlah pengikut radikalisme Islam di Indonesia sangat kecil

dibandingkan mayoritas umat Islam Indonesia yang cinta damai),

melainkan datang dari teknologi infomasi global dan media

massa, yang makin lama makin tidak terkontrol oleh pemerintah,

sementara komunitas IT dan media massa sendiri tidak

mengembangkan sistem kontrol diri yang kuat.

Pendapat Sarwono (2012) tersebut jelas mengatakan bahwa media massa

mempunyai peran yang siginifikan dalam kehidupan bernegara.

Supaya media massa menjadi bermanfaat dan berpihak kepada hal yang

positif sesuai fungsinya, maka penulis menyarankan agar media massa melakukan

hal sebagai berikut :

1. Media massa tetap perpegang teguh terhadap kode etik jurnalistik dan

menjalankan fungsi utamanya yaitu fungsi informasi, fungsi hiburan,

fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.

2. Media massa sebaiknya tidak menampilkan/menyiarkan teknis-teknis

tindakan terorisme karena justru dapat menjadi bahan pembelajaran

tindakan teror. Media sebaiknya lebih menampilkan dari sisi korban

tindakan terorisme.

3. Media massa sebaiknya menjadi suatu alat untuk menumbukan rasa

nasionalisme dan pluralisme, menjunjung tinggi kebhinekaan sebagai

salah satu kekuatan bangsa, tidak menanamkan kebencian terhadap

(5)

Sementara itu, mengingat perkembangan teknologi internet yang semakin

pesat dan terbuka, maka penulis menyarankan sebagai berikut :

1. Negara terutama Kementrian Informasi melakukan fungsi pengawasan

terhadap situs-situs dan media sosial, agar segera melakukan tindakan jika

terdapat konten-konten radikal dan konten yang mendukung aksi

terorisme.

2. Negara melakukan propaganda anti terorisme melalui media internet

sehingga bisa menjawab keingintahuan generasi muda yang potensial

direkrut oleh kelompok radikal.

3. Negara memberikan insentif/kemudahan khusus bagi kelompok-kelompok

sosial masyarakat yang berperan serta melalui media massa atau internet

untuk mendukung program kontra terorisme.

Langkah positif yang perlu mendapat apesiasi adalah adanya MOU yang

sudah dilakukan antara Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT)

dengan Komisi Penyiaran Indonesia tentang peningkatan peran media penyiaran

dalam mencegah penyebaran faham ISIS pada tanggal 18 September 2015 di

Jakarta.

Adanya kerjasama (tidak hanya kontrol) dari pemerintah dengan KPI yang

mengawasi media massa penyiaran maka akan menuntun media massa penyiaran

dalam melakukan pemberitaan yang positif dan bertindak kepada kepentingan

negara.

Selangkah lebih maju hal ini juga bisa dilakukan dalam konteks kontra

radikalisme sehingga terjadi social protection di masyarakat terhadap masuknya

faham radikal yang berpotensi menjadi tindak terorisme.

*) Stanislaus Riyanta, peneliti masalah keamanan dan terorisme, alumnus

Referensi

Dokumen terkait

Cacing tanah diketahui sebagai bioakumulator logam berat pada jaringan tubuhnya..

Tabel 11 Besar Pengaruh Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja 38 Tabel 12 Persamaan Regresi Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja 38 Tabel 13 Mean Stres Kerja Subjek

Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang

Penyusunan Laporan Proyek Akhir ini menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan Program Studi Teknik Mesin D3 pada Fakultas

murni sudah ada sejak dulu. Pada dasarnya desa wisata 4. Upaya pengembangan desa wisata Kebonagung ini terbentuk, tumbuh dan berkembang didasarkan pada sebagai desa

vii. b) Description of the identified critical control points. c) Systematic presentation of findings demonstrating conformity or nonconformity to each element of

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air kelapa konsentrasi 25% memberikan waktu muncul tunas paling cepat pada bibit manggis sambung pucuk.. Entres dengan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Faktor-faktor penyebab terjadiya penyalahgunaan wewenang pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo terhadap hak