• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak pidana penyerobotan penguasaan ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tindak pidana penyerobotan penguasaan ta"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Tindak pidana penyerobotan penguasaan tanah sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

daerah (OTDA)

Dedy Suwandy, Dodo SDW, Bintatar Sinaga ABSTRACT

Soil functions and economic value of land increases, and the orderly administration is not optimal, appears to have become the driving factor of land grabbing. Article 385 of the Criminal Code Offence is terrnyata not only in urban areas, but occurs also in rural areas is growing. The number of cases involving land grabbing, and even quite a lot of cases involving land grabbing that eventually resolved on appeal that the author got the verdict by the Supreme Court of Indonesia's official website there are two cases that the decision was the decision in 2003 and 2009. Criminal law sanctions against land grabbing is not explicitly defined in Article 385 of the Criminal Code. But the article is the only provision governing crimes directly related to the ownership of Local Government tanah.Kewenangan against land grabbing cases set forth in Article 3 and Article 4 of Law, but due to Local Government rather than the judiciary, then the actions to resolve the case annexation of land restricted to administrative actions.

Keywords: Crime of the procurement of land invasions, Relating to Regional Autonomy.

A. PENDAHULUAN

Hakikat tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Upaya untuk mewujudkannya adalah melalui pembangunan nasional. Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia didasarkan pada sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses yang menyangkut seluruh aspek-aspek hukum masyarakat sehingga dapat mengendalikan masyarakat maupun penguasa dari tindakan-tindakan yang menghambat pembangunaan dan tujuan pembangunaan.

Semakin pentingnya peran manusia selaku subyek pembangunan nasional, yang diikuti dengan kemajuan tehnologi, meningkatkan aktivitas ekonomi, bertambahnya jumlah penduduk dan semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat secara umum, secara rasional akan dibarengi dengan peningkatan kebutuhan akan sarana dan prasarana penunjang hidup lainnya seperti,

pertanian, peternakan, perkantoran, pabrik-pabrik, jalan dan perumahan, atau tempat tinggal. Untuk mewujudkan kebutuhan tersebut diperlukan adanya area pertanahan yang cukup dan memadai.

Salah satu permasalahan pokok yang hingga saat ini dirasakan menonjol adalah pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, atau lebih populer disebut penyerobotan tanah, masalah tersebut selalu mendapat perhatian masyarakat yang sangat kritis akan permasalahan sosial.

Fungsi tanah dan nilai ekonomis tanah yang semakin meningkat, serta belum optimalnya tertib administrasi pertanahan, tampak telah menjadi faktor pendorong terjadinya penyerobotan tanah. Tindak pidana Pasal 385 KUHP ini terrnyata tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan, tetapi terjadi juga di kawasan perdesaan yang tengah berkembang.

(2)

2009, selain itu masih dalam situs yang sama penulis dapatkan pula putusan tingkat banding dari bengkulu yaitu putusan tahun 2011.1

Dalam kasus tanah menurut Guntur Gara2, Kepala Seksi Konflik, Sengketa, dan Perkara BPN mengatakan sengketa antara kedua belah pihak yang sama-sama mempunyai sertifikat hak milik bisa dikenai pidana. “Hal tersebut bisa ditilik dari usia sertifikat para pihak. Sertifikat dengan usia lebih tua bisa menuntut dengan dalih penyerobotan tanah,. Kasus-kasus penyerobotan tanah yang tersaji di atas tentu dapat menimbulkan dampak luas. Dampak penyerobotan tanah itu ternyata tidak hanya menimbulkan permasalahan sosial ekonomi pada perseorangan atau sekelompok warga masyarakat saja, akan tetapi dapat juga meluas hingga menimbulkan masalah keamanan, ketertiban sosial, dan masalah politik. Bahkan pada beberapa kasus dampak penyerobotan tanah seperti dapat dijadikan isu aktual untuk mengkritisi lemahnya penegakan hukum di bidang pertanahan, termasuk lemahnya kinerja instansi pertanahan dalam memberikan pelayanan administrasi pertanahan kepada masyarakat.Karena itu, urusan pertanahan perlu ditonjolkan sebagai salah satu agenda kerja birokrasi pemerintahan untuk mengefektifkan pelaksanaan otonomi daerah, karena kasus-kasus pertanahan terjadi di daerah.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi fokus permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana sanksi hukum terhadap tindak pidana penyerobotan tanah dalam peraturan hukum positif ?

1

Redaksi, “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”, tersedia di putusan. Mahkamah agung.go.id,di akses 20 Maret 2012.

2

Guntur Gara, tesedia di borneonews.co.id/.../22437-tidak-semua-kasus-sengketa-kepemilikan, di akses 24 Maret 2012.

2. Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kasus penyerobotan tanah ?

3. Faktor-faktor apa saja masalah yang mendorong terjadinya tindak pidana

penyerobotan tanah dan

penyelesaiannya ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka dapat diketahui dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap tindak pidana penyerobotan tanah;

2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kasus penyerobotan tanah;

3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mendorong terjadinya tindak pidana penyerobotan tanah.

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Kegunaan Praktis Bagi peneliti, seluruh rangkaian kegiatan penelitian dan hasil penelitian dapat lebih memantapkan penguasaan disiplin Ilmu Hukum dan dapat dijadikan masukan yang berguna untuk meningkatkan kinerja pelayanan administrasi pertanahan dan penegakan hukum di bidang pertanahan;

2.Kegunaan Akademis di mana diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan dokumen akademik yang berguna untuk menjadi rujukan studi bagi para mahasiswa. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

1. Kerangka Teoritis

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun sehingga apapun yang terjadi ukurannya, perubahan adalah ciri tetap dari pembangunan, proses perubahan akan berfungsi bagi pembangunan. Proses pembangunan akan berfungsi bagi pembangunan apabila perubahan tersebut berjalan dengan teratur, sehingga dengan demikian hukum tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.

(3)

dengan benda, agar kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Dengan demikian tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat, kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan yang umum dan kaedah-kaedahnya berlaku umum demi terciptanya suasana aman, tentram dan teratur dalam masyarakat sehingga peraturan tersebut ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.

Timbulnya kasus-kasus pertanahan yang terjadi pada akhirnya mendapat perhatian dari pemerintah sehingga dengan ketetapan MPR : No. II/MPR/1993, tanggal 9 Maret 1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Bab IV bidang ekonomi Pasal 12 (Pembangunan Daerah) huruf F, pemerintah menetapkan sebagai berikut :

Penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya sehingga dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia, sedangkan penataan

penggunaan tanah dilaksanakan secara

berencana guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarya. Penataan penggunaan tanah perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hal

atas tanah, batas-batas maksimum

kepemilikan tanah pertanian dan perkotaan serta pencegahan penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya urituk Pemusatan penguasaan tanah, termasuk kepentingan

rakyat. Kelembagaan pertanahan

disempurnakan agar makin terwujud

sistern pengelolaan pertanahan yang

terpadu, serasi, efektif dan efisien yang meliputi tertib administrasi pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Kegiatan

pengembangan administrasi pertanahan

perlu ditingkatkan dan ditunjang dengan perangkat analisis dan perangkat informasi

pertanahan yang baik.3

2. Kerangka Konseptual

Untuk mempermudah penulisan hukum ini, agar terdapat kesamaan persepsi dan menghindarkan kesalahpahaman mengenai hal-hal yang termasuk dalam obyek penulisan ini, maka dapat dijelaskan

3

Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN, (Jakarta : Pustaka Amani, tahun 1993), halaman 8 6.

batasan-batasan pengertian sebagai berikut:

a. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut4; b. Penyerobotan adalah hal, cara, hasil,

atau proses kerja menyerobot atau mengambil.5

c. Penguasaan adalah orang yang menguasai.6

d. Tanah adalah lapisan bumi yang paling atas.7

e. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8

f. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9

B. TINJAUAN PUSTAKA

Sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan tehnologi, keberadaan tanah yang jumlahnya terbatas terutama di daerah perkotaan, terasa semakin langka dan bernilai ekonomi tinggi sehingga semakin menarik bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan investasi dalam bentuk tanah. Di lain pihak kebutuhan akan tanah semakin mendesak terutama untuk keperluan pemukiman, baik yang dibangun didekat pusat kota maupun yang dibangun di pinggiran kota yang semula adalah

4M. Sudrajat Bassar,Tindak-tindak Pidana Tertentu,

(Bandung : Remadja karya, 1984), hal.2. 5

J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal.1301.

6Ibid., hal. 726.

7

J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain,Op. Cit., hal. 1417.

8

Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004.

(4)

merupakan lahan pertanian. Demikian penting dan bernilainya tanah sehingga tidak jarang menimbulkan konflik-konflik dan permasalahan di bidang pertanahan. Untuk mengatasi segala permasalahan yang menyangkut pertanahan, yang terjadi di dalam masyarakat, Pemerintah Republik Indonesia membentuk suatu perundang-undangan yang mengatur tentang masalah pertanahan, yaitu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yang bertujuan untuk meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang merupakan alat untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi masyarakat, juga untuk mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, yang akhirnya akan dapat memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah.

Adapun perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang mengatur tanah antara lain :

1. Undang-undang No.5 tahun 1960 tanggal 24-9-1960 (Lembaran Negara No. tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) tentang Pokok Agraria.

2. Undang-undang No.5l/Prp tahun 1960 tanggal 14-12-1960 nomor 198, (Tambahan Lembaran Negara nomor 2106) tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin.

3. Undang-undang No.20 tahun 1961 tanggal 26-9-1961 Lembaran Negara nomor 288, Tambahan Lembaran Negara nomor 2324) tentang Pencabutan hak-hak atas benda-benda yang ada diatasnya.

4. Undang-undang No.24 tahun 1992 (Lembaran Negara tahun 1992 nomor 115, Tambahan Lembaran Negara nomor 3501) tentang Penataan ruang. 5. Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953

(Lembaran Negara tahun 1953 , Lembaran Negara tahun 1953 nomor 14, Tambahan Lembaran Negara nomor 362) tentang Penguasaan tanah-tanah negara.

6. Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tanggal 19-9-1961, tentang Pelaksanaan pembagian tanah dan ganti rugi.

7. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 tanggal 25-7- 1977, tentang Perwakafan tanah milik.

8. Keputusan Presiden No.33 tahun 1990 tanggal 25-7- 1990,tentang Penggunaan tanah bagi pembangunan kawasan industri.

Penguasaan dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang di haki. Tetapi adajuga penguasaan yuridis yang, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang di haki secara fisik, pada kenyataan penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembai tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.

Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditur pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan anggunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang mempunyai tanah.

C. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian dalam penyusunan tesis ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris artinya melakukan penelusuran data kepustakaan yang didukung oleh penelitian lapangan. 2. Sifat Penelitian

(5)

menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori sesuai perumusan masalah.

3. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris yaitu menerapkan norma-norma atau peraturan-peraturan terhadap Tindak Pidana Penyerobotan Penguasaan Tanah sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (OTDA) yang didukung oleh data lapangan (data primer).

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu penelitian dengan cara menelusuri literatur-literatur (buku-buku), peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum lainnya. Adapun bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan adalah:

1). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan pustaka berupa perundang-undangan.10

2). Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka (buku-buku maupun literatur) yang erat hubungannya dengan bahan hukum Primer, dan dapat membantu menganalisis bahan hukum Primer, yang ada hubungannya dengan penelitian.11

3) Bahan Hukum Tersier disebut juga Bahan Hukum Penunjang berupa kamus, ensiklopedia.12

b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dilakukan untuk

memperoleh data primer, dengan melakukan wawancara secara terstruktur dengan pihak-pihak yang berkompeten. Adapun pihak-pihak yang berkompeten diantaranya; Staf Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor,

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 29.

11 Ibid. 12Ibid.

maupun pihak lain yang mengetahui permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dengan menggunakan purposive sampling artinya responden yang dianggap mengetahui sesuai dengan tujuan.

5. Analisis Data

Untuk menganalisis data dan menarik kesimpulan secara kualitatif, yaitu dengan merumuskan kalimat demi kalimat yang menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna agar mudah dimengerti.13

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pasir Angin Kabupaten Bogor yang nantinya akan dipertajam dengan putusan kasus penyerobotan tanah yang ditangani oleh Mahkamah Agung dengan waktu penelitian mulai bulan Februari sampai dengan April 2012.

D. PEMBAHASAN

1. Sanksi Hukum terhadap Tindakan Pidana Penyerobotan Tanah

Perbuatan penyerobotan tanah tidak secara tegas dirumuskan dalam Pasal 385 KUHP, namun karena pasal tersebut merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah, tidak ada pasal lain yang dapat digunakan untuk mengancam dengan hukuman bagi seseorang yang menyerobot tanah milik pihak lain. Disisi ain, posisi hukum penguasaan atas tanah milik orang atau pihak lain oleh seseorang atau beberapa orang dengan tiada izin dari pemiik atau kuasanya (penguasaan tanpa hak) dengan melalui proses peradilan pidana terlebih dahulu terhadap peakunya, tidak dengan sendirinya penguasaan objek tanahnya kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, sekalipun unsur-unsur yang dirumuskan daam Pasal 385 KUHP terpenuhi oeh perbuatan “pelaku”, areal tanah yang ”diserobot” tidak berarti dengan sukarela dikembalikan kepada pemilik.

13Romy Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian

(6)

Proses pengosongan tanahnya harus di tempuh tersendiri. Dengan dasar keputusan Pengadilan (pidana) yang menyatakan pelaku penyerobot bersalah, pemilik tanah harus mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk upaya pengosongan, kecuali dalam putusan pidananya sekaligus memuat hak keperdataan pemilik yang harus dikembalikan kepadanya dengan mengosongkan tanah dari penguasaan pelaku atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya. Dengan proses yang harus ditempuh melalui jenjang pengadilan perdata (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung) hingga penguasaan kembali tanah milik seseorang yang diserobot pihak lain, lama waktu yang harus di tempuh jauh lebih panjang dibandingkan lama waktu yang digunakan “penyerobot” menguasai tanah dimaksud. Oleh karena itu pemilik tanah yang sebenarnya cenderung mencari alternatif lain yang reatif waktu yang diperukan lebih cepat untuk upaya pengosongannya.

Sebelum diterbitkan UU No. 5 tahun 1960 tentang “Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria” telah lebih dulu ditetapkan ketentuan yang melarang setiap orang memakai tanah milik pihak lain tanpa seizin pemilik atau kuasanya yang sah. Karena tuntutan perdata saja tidak dapat mengatasi persoalan okupasi oleh rakyat, maka Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan ordonnatie tahun 1948 yang dimuat dalam S.1948 No. 110 yaitu “Ordonantie onrechtmatige occupatie van gronden”. Ordonasi ini melarang pemakaian tanah tanpa izin yang tak berhak dengan memberi ancaman pidana. Karena hambatan politis, psikologis dan teknis dalam pemberlakuan ketentuan ini digunakanlah Undang-Undang Darurat No. 8 tahun 1954 khusus untuk tanah-tanah perkebunan dan untuktanah non perkebunan diatur oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer. Dan diterbitkanlah Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/014/1957 yang didasarkan pada Regeling op de staat van Oorlog en van Beeg (SOB diatur dalam S.1939 no. 582) yang kemudian diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Peperpu/011/1958 tentang

“Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya” yang masa berlakunya berakhir tanggal 16 Desember 1960 setelah diterbitkan Undang-undang No. 51 tahun 1960.

Pada pasal 2 dan 6 Undang-Undang No. 51/Prp tahun 1960 ini (yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang No. 1 tahun 1961 L.N. 1961 No. 3) ditetapkan bahwa pemakain tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarangan dan diancam hukuman pidana. Jelasnya pasal 6 menyebutkan bahwa tindak pidana “penguasaan tanpa hak” adalah tindak pidana pelanggaran. Ketentuan dalam Undang-Undang No. 51/Prp tahun 1960 ini jelas tidak sejalan dengan pasal 385 KUHP yang memang tidak secara tegas merumuskan unsur-unsur “penguasaan tanah tanpa seizin pemilik atau kuasanya”, karena klasifikasi perbuatan yang diancam pasal 385 KUHP adalah kejahatan.

Pasal 548 sampai dengan Pasal 551 KUHP memuat tentang “pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan perkarangan” namun tidak memuat tentang prilaku “penguasaan tanpa hak” atau “penyerobotan”. Hal ini berati satu-satunya pasal dalam KUHP yang mengancam perbuatan “penguasaan tanpa hak” atau “penyebotan” atas tanah pihak lain yang dapat diklasifikasi sebagai perbuatan curng adalah pasal 385 KUHP yang termuat dalam Buku Kedua Bab XXV tentang perbuatan curang (Bedrog).

(7)

penanaman atau pembenihan di atas tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain; barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband, hak tanah Indonesia yang telah dibebani creditverband, atau sesuatu gedung, bangunan penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain ; barang siapa dengan maksud yang sama, mengadakan creditverband mengenai sesuatu hak atas tanah Indonesia, dengan menyembunyikan kepada pihak lain, bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan; dan barang siapa dengan maksud yang sama menggadaikan atau menyewa tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang ain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu.

2. Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan

Keberadaan Pemerintahan Daerah adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keberagaman daerah. Esensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan dengan Pemerintah Daerah (Pemda), mengindikasikan bahwa adanya Pemda adalah untuk mensejahterakan masyarakatnya yang secara universal diukur dengan kemampuan untuk meningkatkan pencapaian indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI). Indikator HDI, diantaranya dapat diketahui dari keadaan dan kondisi kesehatan, pendidikan, pendapatan masyarakat, kondisi lingkungan dan lainnya.

Meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk perumahan, perindustrian, pembangunan dan untuk kebutuhan lain yang dihadapkan pada keterbatasan luas tanah, akhirnya menjadikan masalah-masalah pertanahan semakin kompleks. Timbunya masalah-masalah pertanahan

atnra lain disebabkan minimnya pemahaman masyarakat akan pentingnya dan adanya motif-motif tertentu yang mendorong terjadinya upaya memiliki atau menguasai tanah secara tidak sah. Karena itu, tidak sedikit kasus-kasus pertanahan yang muncul ke permukaan. Sementara itu, dari sekian banyak kasus-kaus pertanahan yang terjadi di berbagai daerah, salah satu kasus yang menarik untuk dibahas adalah kasus penyerobotan tanah yang terjadi di Kampung Pasir Angin, Babakan Sirna, Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Kasus ini menarik untuk dibahas karena akar permasalahannya berhubungan dengan banyak faktor yang mendorong terjadinya tindak pidana penyerobotan tanah, terutama kurang tertibnya pengaturan administrasi pertanahan. Dalam konteks ini, bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kasus-kasus penyerobotan tanah?

Jawaban yang mendasar terhadap pertanyaan yang demikian itu tentu merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan. Kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan ini sekurang-kurangnya telah diatur dalam 3 undang-undang, yaitu : - TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam;

- Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya;

- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14. (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan;

(8)

g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan;

Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut di atas merupakan landasan yuridis untuk membahas kewenangan Pemerintah Daerah di bidang administrasi pertanahan.

1. TAP MPR RI Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam 3.Faktor-faktor yang Mendorong

Terjadinya Tindak Pidana Penyerobotan Tanah

Berdasarkan hasil penelitian, si pembeli tanah tidak bertindak langsung begitu saja mendirikan bangunan (villa), melainkan dengan jasa petunjuk pihak lain yang kepadanya diberikan sedikit imbalan. Dengan demikian selalu ada pelaku utama yang tidak turut mendirikan bangunan dan pendiri bangunan adalah pembantu pelaku tindak pidana atau turut serta malakukan tindak pidana. Dengan ”penyerobotan tanah” yang demikian inilah kedudukan hukum kepemilikan tanah yang dipunyai seseorang menjadi ‘terganggu”.

Seseorang yang bukan karena alasan kebutuhan rumah tinggal yang mendesak mengetahui sebidang tanah belum dimanfaatkan pemiliknya yang tidak dikenal, dapat beritindak spekulatif untuk memperoleh keuntungan dari pemilik tanah dengan cara memanfaatkannya tanah tersebut tanpa seizin pemiliknya atau kuasanya, yang kemudian setelah pemilik tanah datang menegur dan memberikan peringatan tidak begitu saja meninggalkan tanah dimaksud. Pemanfaatan yang sedemikian tidak mudah dikosongkan sendiri oleh pemilik tanah tanpa bantuan aparat instansi yang berwenang, memberi peluang alternatif penyelesaian secara musyawarah antara pemilik tanah dengan “penyerobotan”. Tujuan “musyawarah” inilah yang disebut sebagai tujuan spekulatif.

Tanah-tanah yang kosong tidak dimanfaatkan untuk jangka waktu relatif lama, pada umumnya adalah milik badan

hukum tertentu yang karena sesuatu hal mengalami kesulitan dalam pemanfaatan tanahnya. Tidak jarang pula tanah demikian adalah asset badan hukum publik yaitu instansi pemerintahan tertentu yang tidak langsung memanfaatkan tanahnya karena alasan-alasan klasik dana yang terbatas atau tanah milik perorangan yang karena kepindahan kerja ke daerah lain dalam waktu relatif lama, menjadi terkesan “terbengkalai”. Seseorang atau suatu badan hukum sebagaimana pemilik tanah yang tanahnya “diserobot” pihak lain, apabila hendak mengosongkan tanahnya namun tidak dengan sendirinya “sipenyerobot” mengosongkannya, maka pemilik tanah tersebut harus memanfaatkan kewenangan instansi resmi yang berkaitan. Penyidikan atas tindak pidana yang diduga terjadi dapat dihentikan aparat penyidik apabila pemilik bangunan dianggap bukan sebagai pelaku tindak pidana melainkan sebagai pihak yang beritikad baik. Msalahnya menjadi masalah perdata, sebagai alasan penghentian penyidikan. Pelaku dalam “penyerobotan” ini biasanya mempunyai bukti seadanya tentang lalulintas hukum penguasaan tanah untuk dijadikan sebagai pegangan oleh yang menguasai fisik tanahnya. Misalnya, seseorang dengan selembar bukti peralihan hak garap (dibawah tangan) atas sebidang tanah kemudian secara di bawah tangan pula mengalihkan kepada beberapa orang dengan membuat surat peralihan hak yang si penerima peralihan hak kemudian mendirikan bangunan.

(9)

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas rumusan permasalahan, dengan penjabaran sebagai berikut:

1. Sanksi hukum terhadap tindak pidana penyerobotan tanah dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (“UU No 51 PRP 1960”) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 51 PRP 1960. Ketentuan Pasal 6 UU No 51 PRP 1960 adalah (i) barang siapa yang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, (ii) barang siapa yang menggangu pihak yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan suatu bidang tanah, (iii) barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan maupun tulisan untuk memakai tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah, atau mengganggu yang berhak atau kuasanya dalam menggunakan suatu bidang tanah, dan (iv) barang siapa memberi bantuan dengan cara apapun untuk memakai tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah, atau mengganggu pihak yang berhak atau kuasanya dalam menggunakan suatu bidang tanah. Selain itu dapat pula diterapkan ketentuan Pasal 385 KUHP, di mana Pasal tersebut merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang kejahatan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah, dan pasal tersebut menyatakan : Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun terhadap barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband sesuatu hak atas tanah indonesia sesuatu gedung bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah dengan hak indonesia, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain : barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband. Hak tanah indonesia yang telah dibebani creditverband, atau sesuatu gedung bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dbebani demikian, tanpa memberitukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain; barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan creditverband mengenai sesuatu hak atas tanah indonesia, dengan menyembunyikan kepada pihak lain, bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan : dan barang siapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu.

2. Kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kasus penyerobotan tanah diatur Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (“UU No 51 PRP 1960”), di mana secara garis besar dinyatakan : Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-masing pada suatu waktu. Penyelesaian tersebut diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksud maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada

yang memakainya untuk

(10)

orang yang menerima hak daripadanya. Jika setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan tersebut perintah itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau Pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri. Namun karena Pemerintah Daerah bukan lembaga peradilan, maka tindakan- tindakan untuk menyelesaikan kasus penyerobotan tanah terbatas hanya pada tindakan-tindakan administrasi. Dalam konteks Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 menegaskan bahwa : urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup seta pelayanan pertanahan, di sini mestinya seluruh aspek tindakan adminitrasi pertanahan di daerah sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Namun realitasnya tidak demikian, karena urusan pertanahan masih ditangani oleh unit kerja Pemerintah Pusat yaitu Badan Pertanahan Nasional serta Kantor-Kantor Pertanahan di seluruh daerah. 3. Faktor-faktor yang mendorong

terjadinya tindak pidana penyerobotan tanah adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya perlindungan hukum atas hak pemilikan atau penguasaan tanah di kalangan masyarakat; nilai sosial ekonomi tanah korelasinya dengan perkembangan suatu kawasan; adanya

pihak yang mempunyai motif- motif tertentu terhadap tanah yang dianggap tidak mempunyai perlindungan hukum, dan lemahnya kinerja instansi pertanahan yang menyebabkan muncul kasus- kasus pemalsuan sertifikat tanah. Selain hal itu kasus yang terjadi dalam masalah tanah yaitu adanya pengusaan fisik oleh orang atau pihak lain terhadap objek tanah di mana pemilik objek tanah tersebut sebenarnya merupakan pihak yang sah menurut hukum sebagai pemiliknya karena memiliki sertifikat hak milik atas objek tanah tersebut namun pemilik yang sah tersebut menerlatarkan tanah tersebut sehingga digarap orang dan ini berlangsung lama sampai terjadi penggarap sudah mewariskan tanah garapannya kepada anak cucunya dan inilah yang terjadi pada kasus penyerobotan tanah di Bojong Kaso pada tahun 1998. Penyelesaian terhadap tindak pidana penyerobotan tanah dapat diselesaikan dengan menempuh upaya penegakan hukum oleh pihak yang merasa dirugikan baik secara pidana, perdata ataupun secara tata usaha negara apabila pihak yang merasa dirugikan telah mempunyai bukti kepemilikan atas tanah sebagai alat bukti yang kuat, apabila pemegang hak atas tanah belum memiliki bukti kepemilikan agar segera mengurus bukti kepemilikan atas tanah yang dimiliki dan setelah memiliki surat bukti kepemilikan agar tidak menerlantarkan tanahnya dan selalu melihat objek tanah secara berkala. Saran

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ada beberapa saran yang terkait dengan hasil penelitian, sebagai berikut :

(11)

penggunaan atau pemanfaatan tanah di indonesia.

2. Secara Khusus perlu diadakan pengajian ulang terhadap hierarki peraturan perundang- undang yang mengatur kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan, agar pelaksanaan sistem pelayanan administrasi pertanahan di daerah menjadi lebih lancar, terarah dan terpadu secara efketif dan efisien. 3. Bagi pihak-pihak yang terkonsentrasi

pada pengkajian masalah pertanahan dan kaitannya dengan kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan, jangan lagi memggunakan materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Karena undang-undang tersebut telah diubah menjadi undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1983), hal. 25. Badudu J.S. dan Sutan Mohammad Zain,

Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal.1301.

Bassar, M Sudrajat, Tindak-tindak Pidana Tertentu, (Bandung : Remadja karya, 1984), hal.2.

Bosu, B. Sendi-Sendi Krimonologi, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982), hal. 20-21.

Farid, A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta : Sinar Grafiti,1995), hal.228.

Gara, Guntur, tesedia di

borneonews.co.id/.../22437- tidak-semua-kasus-sengketa-kepemilikan, di akses 24 Maret 2012.

Harsono, Boedi,Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, ( Jakarta : Jembatan, 1989), hal. 683.

---, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria.Isi dan Pelaksanaanya (Jakarta : Djambatan, 2003) hlm. 19.

Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004.

________, Nomor 32 Tahun 2004,Pasal 7. ________,Nomor 5 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya., Pasal 3 dan Pasal 4. Kansil , C. S. T. dan Christine S. T. Kansil,

Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), halaman 107.

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Citra Aditya Bhakti : Bandung, 1997), hal. 185. …………, Hukum Pidana Indonesia,

(Bandung : Sinar Baru : 1980), hal. 10-11.

Pasaribu, Ivor Ignasio” Masalah Penyerobotan Tanah Dalam Perspektif

Pidana, tersedia di

www.facebook.com/note.php?noteid= 101504089954303 24, diakses pada 25 Maret 2012.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1962), hal 13.

…………., Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia ,(Jakarta: Eresco, 1980), hal. 1.

Ruchiyat, Edy,Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, (Bandung : Alumni, 1984), hal. 49. Sahetapy,.J.E. Paradoks Kriminologi(Jakarta:

Rajawali; 1982), hal. 108.

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana;Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal 55.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 29. ………….., Faktor-faktor Yang

Mmepengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 14.

(12)

Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana,( Bogor : Politea, 1988), hal. 230.

…………, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bogor : Politea, 1984), hal. 29. Sudarto, Hukum Pidana Jilid IA-B,

(Alumni: Bandung, 1982), hal. 30. TAP MPRI RI Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 2. Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN, (Jakarta : Pustaka Amani, tahun 1993), halaman 8 6. ________, Nomor II/MPR/1993 tentang

GBHN, (Jakarta : Pustaka Amani, tahun 1993), halaman 8 6.

Tom, Camphell, Tujuh Teori Sosial (Sketsa, Penelitian, Perbandingan). Terjemahan “seven Theories of Human Society”. Oleh : F. Budi Hardiman, hal. 117.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Universitas Muhammadiyah : Malang, 2008), hal. 105-112.

Referensi

Dokumen terkait

Tanggapan responden pengguna jasa penerbangan Garuda Indonesia di Surabaya skala tertinggi untuk variabel Niat Beli adalah tanggapan responden terhadap indikator

Jl. Akibatnya masyarakat adat sebagai salah satu sumber daya pembangunan melakukan perlawanan. Sumber daya manusia merupakan modal dasar pembangunan yang utama, yang diharapkan

Dan jika pendekatan antropologis dilakukan dalam studi Islam dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami Islam dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh

Lembar Penilaian Tes Kemampuan Menghafal Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 11- 20 Siswa Kelas VIII SMP Takhassus Plus Al-Mardliyah Kaliwungu Selatan Kendal.. No Nama Siswa

Pemasaran atau juga promosi dalam dunia pendidikan ini, tak akan lepas dari Masyarakat, bayangkan jika sebuah perusahaan maupun madrasah tetapi tidak didukung

Data produksi karkas ayam broiler yang meliputi bobot potong dan bobot karkas umur lima minggu dengan perlakuan 0,0; 0,5; 1,0; dan 1,5% tepung kulit manggis tertera

Mengarahnya tren ke depan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik di kalangan masyarakat Indonesia, hal ini didukung oleh kondisi ekonomi yang relatif stabil serta