• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Gender dalam Pergeseran Komposi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Gender dalam Pergeseran Komposi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Gender dalam Pergeseran Komposisi Gender Mahasiswa Farmasi Selasa (27/10) lalu menjadi hari spesial untuk Fakultas Farmasi UGM. Sebab, pada hari itu Farmasi UGM merayakan Lustrumnya yang ke-14. Perayaan ini terbilang cukup besar, terlihat dari banyaknya tamu yang diundang dari jajaran para pejabat kampus hingga para alumni yang sudah melanglang buana di dunia perobatan Indonesia.

Dari daftar undangan alumni kala itu, tersaji fakta yang mengusik nalar untuk diterima mentah-mentah. Sesuatu yang baru kami sadari bahwa telah terjadi pergesaran komposisi gender pada mahasiswa fakultas farmasi beberapa tahun belakangan ini. Sepuluh hingga dua puluh tahun yang lalu, perbandingan persentase antara mahasiswa berkelamin laki-laki dan perempuan berimbang. Sementara mulai sejak tahun 2010-an, perbandingan tersebut sedikit demi sedikit tergeser. Tercatat, mahasiswa baru tahun ajaran 2016 memilik rasio anatara mahasiswa laki – laki dan perempuan adalah 1:8.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Farmasi UGM saja. Septimawanto Dwi Prasetyo, M.Si., S.Farm., Apt., dosen Farmasi UGM, juga menjelaskan bahwa rata-rata fakultas farmasi di beberapa wilayah Indonesia mengalami fenomena yang serupa. Hal itu mengundang rasa penasaran berbagai pihak, termasuk mahasiswa farmasi sendiri maupun mahasiswa sosial lain seperti dilihat dari kaca mata Ilmu Filsafat.

(2)

2012 2013 2014 2015 2016 0

20 40 60 80 100

Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Laki - laki Perempuan Tahun Angkatan

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 0

20 40 60 80 100 120

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

(3)

1995 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 0

20 40 60 80 100 120 140 160

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Laki - laki Perempuan Tahun Angkatan

1995 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 0

50 100 150 200 250

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Laki - laki Perempuan Tahun Angkatan

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang menjadi mahasiswa program studi farmasi UGM dan USD pada tahun ajaran 1995 sampai 2000 tidaklah terlalu timpang. Pada tahun tersebut di UGM hanya berkisar 1:3; sementara USD malah hanya 1:2 saja. Sampai tahun 2010, ketimpangan tersebut tidaklah terlalu berubah. Angka perbandingan satu banding dua atau tiga masih banyak mewarnai tahun-tahun tersebut. Hanya untuk di UGM sempat menyentuh angka 1:4 pada tahun 2008. Baru pada tahun setelah 2010 tadi, ketika kenaikan di rasio ketimpangan di USD masih berkisar satu banding dua atau tiga, terjadi peningkatan yang berarti pada ketimpangan tersebut di UGM. Pada tahun 2011, ketimpangan yang terjadi di UGM mencapai angka 1:5, bahkan melonjak menjadi 1:8 pada tahun 2012.

(4)

berturut-turut pada 2015 dan 2016. Untuk USD baru pada tahun 2015 dan 2016 mengalami kenaikan ke angka 1:4 secara berurutan setelah sebelumnya konstan diangka maksimal di 1:3.

Unissula yang baru terbentuk pada 2012 itu, juga mengalami tren ketimpangan tersebut. Walaupun ketika berdiri sempat di rasio yang terbilang kecil, yakni 1:2 pada 2012. Namun, setelahnya mengalami peningkatan, yakni 1:6 pada 2013 dan 2014; serta 1:7 pada tahun 2015. Peningkatan terparah pada 2016, yakni sampai mencapai 1:12. Sementara itu, Unsoed juga sejak tahun 2012 mengalami kenaikan yang sigifikan, tetapi tidak separah Unissula. Pada 2012 hanya di angka 1:2; kemudian pada 2013 dan 2014 setelahnya berturut-turut naik dari 1:4 dan 1:7. Angka itu turun lagi menjadi 1:6 pada 2015. Dan kembali turun ke rasio 1:4 pada 2016.

Lalu, kenapa hal tersebut bisa terjadi ?

Sylvie Utami Tunjung Pratiwi, M,Si., selaku sekretaris prodi farmasi program sarjana UGM, menyebutkan bahwa farmasi yang dasarnya adalah kimia, memerlukan ketelitian. Namun, ia tidak lantas memberi cap bahwa disini perempuan lebih teliti dari laki-laki. Sylvie menjelaskan bahwa semua itu kembali pada personal masing-masing individunya. “Laki-laki pun juga banyak yang teliti,” tuturnya.

Walaupun begitu, Sylvie, sebagai seorang dengan latar belakang mikrobiologi, mengungkapkan bahwa secara biologis sebenarnya ada faktor yang mempengaruhi sifat dasar manusia. Hormonnya laki-laki, menurutnya, yakni testosteron yang tinggi menyebabkan dirinya menjadi kurang teliti. Laki-laki menjadi lebih terkesan macho atau pemberani, sementara perempuan lebih pemalu.

Akan tetapi, Sylvie sekali lagi menekankan bahwa hal itu bisa dirubah tergantung individunya. Jika ada seseorang laki-laki memang minat di bidang seperti farmasi, dalam artian bersedia juga berkorban untuk belajar dengan teliti. Maka mitos bahwa laki-laki kurang teliti pun juga akan runtuh dengan sendirinya.

(5)

Ada; 48.57% Tidak;

51.43%

Apakah ada pertimbangan gender dalam memilih jurusan kuliah?

Ada Tidak

(6)

Ada; 74.00% Tidak ada ;

26.00%

Menurut Anda, apakah ada pengaruh gender (jenis kelamin) terhadap pemilihan jurusan kuliah?

Ada Tidak ada

Ada; 77.00% Tidak Ada;

23.00%

Menurut Anda, apakah benar ada persepsi gender pada suatu jurusan kuliah?

(7)

Ada; 93.00% Tidak Ada; 7.00%

Menurut Anda, apakah semua gender memiliki kesempatan yang sama dalam memilih jurusan kuliah?

Ada Tidak Ada

Ada; 77.00% Tidak Ada;

23.00%

Menurut Anda, apakah semua gender memiliki kesempatan yang sama dalam memilih pekerjaan?

Ada Tidak Ada

Sebaliknya, data yang kami kumpulkan melalui survey terhadap 50 mahasiswa, yang terdiri dari 50 mahasiswa UGM beserta 50 mahasiswa Non-UGM menunjukan hal yang berlawanan. Dari responden yang terdiri dari 70% perempuan dan 30% laki-laki tersebut mayoritas mengakui bahwa dalam mempertimbangkan pengambilan progam studi kuliah, mereka dipengaruhi oleh pandangan gender. Dari 100 orang tadi, 77% dari mereka mengatakan bahwa ada suatu persepsi gender dalam memandang sebuah program studi itu. Walaupun mayoritas dari mereka, yakni 93% dari mereka mengakui bahwa tiap jenis kelamin atau gender memiliki kesempatan yang sama dalam memilih atau mendaftar suatu program studi. Bahkan, 77% dari mereka menganggap bahwa kesetaraan gender ini perlu juga ditegakkan ketika mereka lulus dan memasuki dunia kerja.

(8)

atau lebih spesifik gender feminin. Termasuk ketika lulusan dari farmasi tersebut memasuki dunia kerja.

Dalam dunia kerja, para lulusan farmasi bisa menjadi apoteker, dosen, atau bekerja di industri farmasi. Kondisi dunia kerja farmasi juga hampir sama ketika di kampus-kampus, yakni didominasi oleh perempuan. Seperti kata Wimbuh, “mayoritas lulusan lebih banyak perempuan, sedangkan laki-lakinya ada namun presentasenya kecil.”

Menurut Wimbuh, untuk dunia kerja alasannya sedikit berbeda. Ia tidak menganggap bahwa lelaki kurang teliti. Namun, ia lebih melihat bahwa pekerjaan di farmasi tidaklah memerlukan energi ekstra yang digunakan, dalam artian ini kerja fisik. Jadi menurutnya di farmasi tidaklah memerlukan banyak kerja fisik jika dibandingkan seperti pekerjaan di bidang teknik. Sekalipun itu di industri farmasi. Dengan demikian, Wimbuh menyebut kerja di farmasi lebih cocok untuk perempuan.

Wimbuh menambahkan alasan lain kenapa farmasi lebih cocok untuk perempuan, yakni terbatasnya mobilitas perempuan dalam dunia kerja. Seperti dijelaskan sebelumnya, Wimbuh menyebut bahwa kita hidup di adat ketimuran dimana laki-laki harus menafkahi perempuan, tepatnya dalam hubungan suami istri. Laki-laki lebih memiliki fleksbilitas dalam hal kerja dibanding perempuan. Semisal suami ABRI, kemudian dipindahtugaskan ke daerah lain, maka otomatis istrinya mau tidak mau ikut. Sebaliknya, jika istri yang bekerja dan harus dipindahtugaskan, maka prosesnya akan berbeda, bisa suami ikut pindah setelah dilakukan negosiasi panjang. Namun, Wimbuh mengungkapkan bahwa biasanya sang istri yang tidak jadi pindah, atau malah diminta mundur dari pekerjaannya. Hal itu pula yang menurutnya membuat laki-laki lebih mudah naik jabatan dibanding perempuan.

Oleh karena itu, kerja di farmasi cocok dengan perempuan penganut adat ketimuran tersebut. Karena farmasi kerja praktisi yang khusus persyaratannya, jadi dimanapun persyaratannya sama dan selalu dibutuhkan. Bahkan, jika memiliki cukup modal bisa membangun apotek sendiri. Hal itu menurut Wimbuh semakin mengukuhkan bahwa farmasi cocok dengan perempuan

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pergeseran komposisi laki-laki dan perempuan di program studi Farmasi memang benar terjadi adanya. Lebih jauh daripada itu, sebenarnya stereotip bahwa program studi farmasi adalah identik dengan perempuan hal itu benar adanya. Itu semua tampak dari data yang kita ambil sejak tahun 1995 tersebut, ketimpangan antara jumlah proporsi lelaki dan perempuan sudah terjadi walau dalam jarak yang sempit. Seiring berjalannya waktu malah ketimpangan itu semakin lebar terutama setelah tahun 2010. Bahkan sampai diakui Tito Gumelar, mahasiswa Farmasi UGM 2013, bahwa mahasiswa lelaki farmasi pun juga sebagian telah memilki sifat yang tergolong feminim. Hal itu malah semakin mengarahkan bahwa pergeseran juga telah terjadi dalam ranah gender dalam program studi farmasi.

(9)

konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia melalui proses kurtular dan sosial yang panjang. Jadi farmasi disini telah mendapat cap sebagai gender feminim atau yang secara khusus diidentikkan dengan sifat-sifat keperempuanan.

Solusi

Dalam menghadapi permasalahan farmasi dan ketidaksetaraan gender ini dapat terselesaikan jika melihatnya melalui kacamata feminisme, lebih tepatnya perspektif feminsme marxis-sosialis. Feminisme, menurut Mansour Fakih, berarti sebuah gerakan yang muncul sebagai respon atas ketertindasan dan pengeksploitasian perempuan. Dengan tujuan untuk mengakhiri penindasan tersebut. Juga, untuk memperjuangkan kesamaan derajat, martabat, serta kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan, baik dalam maupun luar rumah bagi perempuan. (Fakih, 2008)

Ada berbagai macam jenis cara yang ditempuh dalam feminisme ini, salah satunya feminsme sosialis tadi. Berbeda dengan feminisme lainnya, feminisme ini menempuh jalan perjuangan kesetaraan gender dari sudut pandang marxis. Yakni dengan melihat peran ganda perempuan dalam dunia kapitalisme sekarang ini. Selain harus bekerja dalam dalam ranah publik, semisal di pabrik atau perusahaan. Mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga mereka sebagai seorang Ibu.

Kedua pekerjaan perempuan tersebut memiliki pandangan yang berbeda dalam dunia industri sekarang ini. Kerja yang pertama, yang dikerjakan dalam pabrik dianggap sebagai kerja produktif. Sementara kerja dalam rumah –memasak, membersihkan rumah, mengandung serta mengasuh anak- dianggap sebagai pekerjaan non-produktif. Sehingga hanya pekerjaan luar rumah tadi yang mendapat apresiasi, yakni berupa upah. (Tong, 1987: 155)

Pandangan semacam itu menurut Engels adalah salah. Faktor penentu dalam sejarah, mneurutnya, adalah produksi dan reproduksi dari kehidupan yang paling dekat. Ada dua sisi, pertama produksi alat untuk eksistensi, makanan, pakaian, dan rumah beserta alat-alat penting unutk produksinya. Sisi lainnya, produksi manusia itu sendiri untuk kelangsungan hidup spesies. Dengan demikian, pekerjaan rumah para perempuan tadipun juga sama-sama termasuk kerja dalam istilah ‘produksi’. (Engels, 1884: 71-72)

Bahkan, ketika perempuan mulai memasuki industri publik, ia cenderung untuk melakukan pekerjaan perempuan, seperi : mengajar, merawat, tugas adminstrasi, memasak, menjahit, dan yang serupa lainnya. Lebih dari itu, sebagaimana dalam pekerjaan rumah tangga, pekerjaan tadi juga tidak dihargai. Wujud dari tidak adanya penghargaan itu tampak dalam masalah pengupahan. Perempuan dalam pekerjaan yang didominasi perempuan mendapat upah lebih kecil dibanding laki-laki yang bekerja pada pekerjaan laki-laki. Walaupun, jika perbedaan upah ini disesuaikan dengan faktor-faktor seperti persiapan pendidikan, pengalaman kerja, atau komitmen terhadap pekerjaan. Setengah dari ketimpangan upah tadi tetap tidak dapat dijelaskan.

(10)

yang lebih baik. Namun, juga memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan ulang mengapa masyarakat membayar sebagian orang dengan upah yang sangat tinggi, dan sebagian lainnya dengan upah yang sangat rendah. (Tong, 1987: 164-165)

Apa yang didesakkan oleh feminis marxis dengan “gerakan nilai setara”-nya kepada para majikan, yakni dilakukannya evaluasi ulang pekerjanya secara objektif dengan fokus pada empat komponen sebuah pekerjaan. (1) Pengetahuan dan keahlian, atau total jumlah informasi serta keahlian yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan. (2) Tuntutan mental, atau sejauh mana pekerjaan membutuhkan mengambil keputusan. (3) Pertanggungjawaban, atau jumlah pengawasan yang dituntut dari pekerjaan itu. (4) Kondisi kerja, atau seberapa amannya pekerjaan itu terhadap fisik pekerja.

Gerakan ini dicanangkan feminis marxis dengan dua alasan. Satu alasan berhubungan dengan akses terhadap kemiskinan, yang lain berkaitan dengan akses terhadap nilai kerja. Karena jika perempuan yang mempunyai upah dibayar sesuai dengan nilai kerjanya, maka dia mungkin bisa menghidupi diri dan keluarganya secara layak tanpa dipaksa untuk menggantungkan diri mereka kepada laki-laki sebagai sumber pendapatan tambahan.

Selain itu, gerakan ini pula menjadikan pekerjaan tradisional perempuan, atau pekerjaan rumah tangga tadi, lebih dihargai sesuai nilai kerjanya. Dengan demikian, pekerjaan tersebut juga akan mendapatkan upahnya sesuai nilainya tadi. Dampak lain dari diakuinya pekerjaan tradisional perempuan ini akan menjadikan laki-laki tertarik kepadanya. Sehingga pada akhirnya banyak juga laki-laki juga tertarik melakukan ‘pekerjaan perempuan’. Pada akhirnya, secara perlahan-lahan adanya ‘gerakan nilai setara’ akan menghapuskan pembagian kerja secara seksual di tempat kerja. (Tong, 1987: 166-167)

Satu hal yang belum dijelaksan, yakni bahwa gerakan itu dapat tercapai dengan suatu pra-kondisi. Seperti telah disebutkan bahwa feminis marxis-sosialis menyerang peran ganda perempuan. Atau malah disini bisa disebut subordinasi ganda dari perempuan. Yakni, perempuan sebagai buruh dalam industri kapitalisme, dan perempuan sebagai gender teropresi dalam budaya patriarkal.

Selain sistem kerja dalam kapitalisme yang membelenggu perempuan. Budaya patriarki juga turut mengekangnya. Budaya patriarki yang dimaksud disini yakni budaya mayoritas yang didominasi oleh laki-laki. Dari pembentuk, pelaksana, sampai pihak yang diuntungkan disini ialah laki-laki. Sementara perempuan dipaksa untuk menyesuaikan dengan budaya tersebut.

(11)

Alienasi lebih lanjut, menurut Jaggar, terjadi dalam tataran motherhood. Perempuan dialienasi dalam produk reproduksinya, tepatnya perempuan dikekang dalam memutuskan berapa jumlah anak yang seharusnya ia kandung dan lahirkan. Jika menginginkan tenaga produktif, perempuan dipaksa untuk melahirkan sebanyak mungkin anak. Sebaliknya, jika anak dipandang sebagai beban ekonomi, perempuan dicegah untuk memiliki anak, bahkan sampai dipaksa untuk melakukan aborsi dan sterilisasi. (Jaggar, 1983: 311)

Dalam kerja reproduksinya juga perempuan dialienasi. Perempuan dialienasi dalam tahap mengandung serta mengasuh anaknya. Berkembangnya teknologi membuat ahli kandungan memegang kendali selama proses mengandung dan mengasuh ini tadi. Hingga akhirnya seorang Ibu akan teralienasi sendiri dari anaknya. Hal itu tampak ketika anaknya tidak mampu lagi melihat dirinya sebagai seorang manusia, melainkan sebagai objek yang melakukan terlalu sedikit atau terlalu banyak bagi mereka. (Jaggar, 1983: 315)

Jika sudah demikian, akhirnya perempuan, bagi Jaggar, telah teralienasi dari kapasitas intelektualnya. Hal ini merupakan akumulasi setelah perempuan teralienasi dari tubuh dan peran motherhood-nya. Ia merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri, serta ragu untuk mengungkapkan gagasannya kepada publik. Ia takut pandangannya tidak cukup layak untuk untuk diungkapkan. Itu semua karena selama ini perempuan selalu di bawah bayang-bayang laki-laki yang selalu menetapkan kerangka pemikiran dan wacananya. (Jaggar, 1983: 316)

Setelah perempuan memahami kondisi kultural yang mengopresi mereka ini, dimungkinkan mereka untuk melawannya. Dengan demikian pra-konidisi untuk gerakan nilai setara tadi telah lengkap. Yakni, dengan lenyapnya kapitalisme dan budaya patriarki.

Kembali kepada permasalahan kita, prespektif gerakan nilai setara ini bisa diterapkan dalam kasus stereotip pada farmasi. Farmasi disini dipandang sebagai sebuah pekerjaan, yakni seorang apoteker atau ahli kimia obat-obatan. Seperti dalam kajian feminis marxis-sosialis tadi, pekerjaan yang identik dengan perempuan tersebut dikonstruksi oleh budaya patriarki juga dieksploitasi oleh sistem kapitalis.

Sederhananya, kerja-kerja farmasi diidentikan dengan kerja-kerja perempuan, terutama dalam hal merawat dan mengobati. Kemudian peran ganda seorang perempuan yang berkerja di bidang farmasi juga mempermudah opresi mereka dalam bidang kerja. Mereka banyak bekerja terutama sebagai apoteker, walau juga ada yang bekerja di farmasi industri, riset farmasi, dan juga sebagai dosen farmasi. Namun ada satu ciri khusus pada lulusan perempuan farmasi tersebut.

Hal itu ada hubungannya dengan peran ganda tadi, karena menanggung peran motherhood, perempuan teralienasi dari dirinya sendiri. Sebagai perempuan dan Ibu ia dituntut untuk selalu bisa mengawasi dan dekat dengan keluarganya. Tidak seperti bidang lainnya yang memerlukan tenaga dan waktu lebih banyak. Dengan bekerja di bidang farmasi ia dianggap akan mendapat pekerjaan yang ringan.

(12)

laki-laki yang terjun di bidang farmasi. Perempuan biasanya mudah mengikuti kemana suaminya pergi. Jika suaminya dipindah tugaskan ke kota lain, ia akan mudah untuk keluar dari pekerjaannya tadi dan mencari apotek baru karena apotek di setiap tempat ada dan dibutuhkan. Sebaliknya, jika ia yang harus diminta untuk pindah tugas ke tempat lain, ia akan memilih untuk melepaskan pekerjaannya itu dengan alasan yang sama seperti sebelumnya. Selain itu, jika laki-laki berani mengambil tugas shift malam, sebaliknya perempuan tidak berani dengan alasan motherhood tadi. Dengan demikian laki-laki akan lebih mudah untuk mendaki puncak industri farmasi. Terbukti dalam industri farmasi, banyak pemimpin perusahaan yang tak lain adalah seorang laki-laki. Bahkan ada rahasia publik bahwa laki-laki lebih mudah naik jabatan jika dibanding perempuan. Seperti yang diungkap Wimbuh di atas.

Oleh karena itu gerakan nilai setara pantas jika diterapkan dalam dunia farmasi. Pertama-tama, ia harus melawan budaya patriarki untuk menghapus segala alienasi mereka sebagai perempuan. Untuk selanjutnya, mereka harus melawan sistem kapitalisme industri farmasi untuk memperbaiki kondisi kerja mereka. Sehingga, lelaki pun tahu bahwa farmasi tidak hanya untuk perempuan saja. Sehingga pembagian kerja secara seksual hilang. Dengan demikian stereotip farmasi yang identik dengan perempuan juga terhapuskan.

Referensi

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press. Jaggar Alison M. 1983. Feminist Politics and Human Nature. Lanham: Rowman &

Littlefield Publishers Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Evaluasi terhadap Sistem Informasi merupakan pengendalian/pengawasan terhadap sistem informasi (aplikasi) yang telah ada menjadi bahan evaluasi/rekomendasi perbaikan

Apakah Bapak/Ibu setuju jika masyarakat diwajibkan secara aktif untuk ikut dalam pencegahan penebangan hutan bakau.. Apakah Bapak/Ibu setuju jika diadakan pemeliharaan hutan

Serta, mulai tahun 2007, khusus untuk penyelenggaraan diklat Non-gelar substantif, Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota juga dapat meminta penyelenggara diklat-diklat non-gelar

Unit PT PLN (PERSERO) yang akan membangun SCADA harus mengacu pada SPLN S3.001: 2008 Peralatan SCADA Sistem Tenaga Listrik. Jumlah yang dijelaskan pada tabel 6 dan tabel 7

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Sebagai pengantar untuk memahami wajah Gereja Indonesia yang gembira dan berbelaskasih di masa lampau, kini dan esok, berikut uraian singkat untuk mengenal Anjuran Apostolik dan

3) Hasil pengujian menunjukkan nilai Cronbach’s alpha dari keseluruhan variabel adalah lebih besar dari 0,600, dapat disimpulkan bahwa semua item pertanyaan adalah reliabel

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga ditemukan pengertian yang hampir serupa bahwa modul adalah kegiatan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh peserta didik