• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JURNAL ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN 2"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN

SISTEM LUNAK (SOFT SYSTEM)

(Studi Pada Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang)

Nana Abdul Aziz

1

, Bambang Supriyono

2

, MR. Khairul Muluk

3

Abstrak

Penyusunan dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) masih belum berdasarkan kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 dan belum ada keterkaitan substansi antar dokumen perencanaan yang satu dengan dokumen perencanaan yang lain, guna merespon paradigma dan pendekatan perencanaan pembangunan, misalnya dari top-down planning ke bottom-up planning, dari budaya petunjuk ke budaya partisipasi. Padahal didalam proses menyusun dokumen RKPD ada beberapa tahapan-tahapan atau sub sistem-sub sistem yang merupakan bagian yang tersistem dalam menyusun RKPD. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penyusunan RKPD Pemerintah Kota Malang dengan menggunakan pendekatan soft system methodology. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dengan teknik pengumpulan data dari wawancara, observasi, dan studi dokumen serta menggunakan analisa data kualitatif. Kesimpulan yang didapat bahwa proses penyusunan RKPD menunjukan masih terdapat kompleksitas permasalahan. Kompleksitas yang dimaksudkan adalah tahap penyusunan mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, forum SKPD, sampai musrenbang tingkat kota. Pendekatan soft systems methodology mengelompokan kompleksitas tersebut dalam tiga tahap. Strukturisasi permasalahan, mendefinisikan sistem permasalahan dan mendefinisikan sistem permasalahan dan membangun model konseptual.

Kata Kunci : Perencanaan pembangunan daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), soft systems methodology

Abstract

Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) have not been able address the needs of the community, lead apposite planning pattern as Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2008 and combined all substance of the document planning, to respond new paradigm and adapt planning approach methodology, for instance, top-down planning to bottom-up planning and guided participatory to active participatory. On the contrary, the process to arrange RKPD are follow stages as sub-systems that enrol to be systematic blueprint. The objectives of research are considered: to describe the arrangement process of RKPD viewed and analyzed by Soft Systems Methodology approach. The method of the research is qualitative with descriptive approach. Data collection technique is interviews, observations, and document study. Data analysis tool is interactive model qualitative. The result of the research is indicate that the arrangement process of RKPD have complexity problem. This was seen through from Musrenbang in Kelurahan, Musrenbang in Kecamatan, SKPD arbitration, and Musrenbang in Kota. To understanding the complexity of the problem and discover the solution, this research is conducted by soft systems methodology approach. The phase of this methodology divides into three stages; structure the problem, defines the problem and defines the problem and build a conceptual model.

Keywords: Local development planning, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Soft systems methodology

LATAR BELAKANG

(2)

juga sudah terdefinisikan di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) disebutkan bahwa tahapan tersebut meliputi penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksana rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana.

Perencanaan pembangunan daerah seharusnya mencerminkan kebutuhan realitas suatu daerah, sebagaimana dinyatakan Kuncoro (2012, h.3), bahwa perencanaan pembangunan daerah tidak hanya perencanaan dari suatu daerah, tetapi perencanaan untuk suatu daerah. Perencanaan pembangunan daerah berfungsi sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya-sumber daya publik yang tersedia di daerah tersebut. Sehingga menjadi penting dalam proses penyusunannya harus bersifat aspiratif dan menggunakan pendekatan perencanaan yang tepat. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dalam mengejawantahkan pembangunan tentu melalui beberapa proses perencanaan pembangunan, mulai dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) sampai pada Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), hal tersebut adalah merupakan tata urutan hierarki yang bersifat bottom up-top down. Sebagaimanan juga disebutkan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No.54 Tahun 2010. Pada umumnya perencanaan pembangunan daerah di Indonesia mengenal empat pendekatan, sebagaimana juga disebutkan di dalam PERMENDAGRI No.54 Tahun 2010 Pasal 6, diantaranya adalah teknokratis, partisipatif, politis dan top down-bottom up.

Mindset dalam proses penyusunan RKPD nampaknya masih sebatas pada retoris dan belum sepenuhnya tercermin dalam keseluruhan proses penyusunan RKPD. Bahkan yang menjadi catatan penting adalah pola pikir dan cara pandang lama masih cukup kental mewarnai proses RKPD, misalnya cenderung liniear dan belum mampu melihat masalah secara holistik. Kualitas RKPD di Kota Malang sendiri bisa dikatakan belum holistik karena belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 tentang pedoman penyusunan RKPD. Mekanisme perencanaan masih didominasi usulan kegiatan secara hirarki dari birokrasi yang berorientasi lebih kepada fisik dan belum secara komprehensif mengangkat isu-isu strategis yang muncul di masyarakat, sehingga menyebabkan perencanaan pembangunan cenderung inkrimental, padahal didalam proses menyusun dokumen RKPD ada beberapa tahapan-tahapan dan sub sistem-sub sistem, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menyusun RKPD. Proses tahapan tersebut merupakan fenomena yang sistemik. Pada wilayah inilah penulis ingin mengungkapkan dengan menggunakan pendekatan soft system methodology yang merupakan bagian dari system thinking. System thinking merupakan sebuah metode yang mampu menggambarkan masalah secara holistik, dimana system thinking merupakan suatu proses untuk memahami suatu fenomena dengan tidak hanya memandang dari satu atau dua sisi tertentu. System thinking berarti bagaimana memahami bahwa suatu fenomena akan dipengaruhi oleh banyak fenomena lainnya, Seperti halnya dinyatakan oleh Senge (1990, h.53)

“systems thinking is a discipline for seeing wholes. It is a framework

for seeing interrelationships rather than things, for seeing patterns of change rather than

static "snapshots."

(3)

1.The problem situation : unstructured

2. The problem situation : expressed

6. Feasible, desirable, changes

5. Comparison of 4 with 2

3. Root defnitions of relevant 4. Conceptual models

4b. Other systems thinking 4a. Formal system concept

7. Action to improve the problem situation Cara pandang system thinking dengan pendekatan soft system methodology sangat relevan untuk menganalisis perencananaan pembangunan daerah dengan studi proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Penelitian tentang perencanaan pembangunan daerah telah banyak dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Namun penelitian mengenai RKPD dalam perencanaan pembangunan daerah yang berada dalam koridor disiplin administrasi publik masih tergolong langka terlebih lagi dengan menggunakan pendekatan soft system methodology yang merupakan bagian dari system thinking.

METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang diarahkan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena perencanaan pembangunan dalam tiga dimensi permasalahan. Pertama, proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Daerah Kota Malang. Kedua, peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Ketiga, setelah hal tersebut dilakukan kemudian proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dianalisis dengan pendekatan soft system methodology.

Berangkat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka fokus penelitian ini adalah: 1. Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Kota Malang secara normatif adalah sebagai berikut: (1) Persiapan penyusunan RKPD, (2) Penyusunan rancangan awal RKPD, (3) Penyusunan rancangan RKPD, (4) Pelaksanaan musrenbang RKPD, (5) Perumusan rancangan akhir RKPD, (6) Penetapan RKPD, (7) Dokumen RKPD.

2. Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang terkait dengan peran SKPD dalam musrenbang kecamatan, musrenbang kota, serta peran SKPD yang paling menonjol adalah pada pembahasan forum SKPD.

3. Analisis penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Pemerintah Kota Malang dengan menggunakan pendekatan 7 tahapan soft system methodology, yaitu: (1) Mengenali situasi permasalahan (the problem situation : unstructured), (2) Mengungkapkan situasi permasalahan (the problem situation : expressed), (3) Pembuatan definisi sistem permasalahan

(root definitions of relevant), (4) Membangun model konseptual (conceptual models), (5) Perbandingan antara model konseptual dengan situasi permasalahan (comparison of 4 with 2), (6) Perubahan model yang diinginkan (feasible, desirable, changes),(7) Tindakan perbaikan (action to improve the problem situation).

Gambar 1

Tujuh Tahapan Soft Systems Methodology

Real world

Systems thinking

(4)

HASIL PENELITIAN

Kota Malang yang secara administratif pelayanan kepada masyarakat terdiri dari 5 kecamatan dan 57 kelurahan, instansi administratif pelayanan tersebut merupakan satu kesatuan yang tersistem serta bersifat hierarki. Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah Kota Malang tercatat 10.173 Pegawai Negeri Sipil yang berada dibawah Pemerintahan Kota Malang.

Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang

Tahapan proses penyusunan RKPD, tahap penyusunan rancangan awal RKPD, sampai pada tahap penyusunan rancangan RKPD di Kota Malang dibentuk berdasarkan SK Walikota/188.45/103/35.73.112/2012, didalam SK tersebut dituliskan tim persiapan diantaranya sebagai Ketua Tim adalah BAPPEDA Kota Malang, Sekretaris Ketua Tim adalah Bidang Pendataan dan Evaluasi BAPPEDA Kota Malang, dan anggota adalah Kabag Keuangan Sekda Kota Malang, Kabag Bagian Hukum Sekda Kota Malang serta unsur BAPPEDA Kota Malang. Hal yang dibicarakan tim tersebut adalah terkait dengan sesuatu hal yang bersifat teknis dan tidak membicarakan hal-hal yang bersifat subtansial lebih mendalam. Fenoma tersebut menunjukan bahwa belum adanya sebuah konsistensi untuk melakukan proses tahapan penyusunan RKPD secara menyeluruh serta sesuai dengan ketentuan (mulai dari hal yang strategis sampai pada hal yang praktis). Padahal secara ketentuan yang didasarkan menurut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.050/200/II/BANGDA/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).

Pelaksanaan musrenbang diawali mulai dari tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kelurahan pada dasarnya berjalan dengan baik jika parameternya dilihat dari perspektif partisipasi karena terlihat dari tingkat kehadiran perwakilan masyarakat dalam musrenbang kelurahan, akan tetapi secara subtantif dan juga beberapa hal yang bersifat teknis belum berjalan optimal bahkan tidak diimplementasikan. Mulai dari ketidaktepatan jadwal, ketidakfahaman akan urgensi musrenbangkel, tidak melaksanakan pra musrenbangkel, delegasi yang disepakati untuk diikutsertakan di musrenbang kecamatan mayoritas tidak mencerminkan keterwakilan perempuan karena didominasi oleh kaum laki-laki, beberapa musrenbang kelurahan di dalam pelaksanaannya tidak ada narasumber yang mewakili dari BAPPEDA Kota Malang, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses penyusunan musrenbang RKPD yang tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait fokus perencanaan pembangunan. Hasil akhir dari musrenbang kelurahan belum bisa dikatakan berupa dokumen akan tetapi masih berupa bentuk laporan pembangunan yang mayoritas orientasinya adalah pembangunan fisik.

Setelah tahap musrenbang tingkat kelurahan selesai dilaksanakan, berikutnya adalah musrenbang tingkat kecamatan. Fenomena yang tergambar dalam proses musrenbang kecamatan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada musrenbang kelurahan. Musrenbang tingkat kecamatan hanya sebagai aktivitas yang bersifat formalitas, seolah-olah kegiatan tersebut bersifat bottom-up tapi realitanya lebih kecenderungan top-down. pemaknaan formalitas dalam konteks yang lain diartikan bahwa musrenbangcam hanya bersifat seremonial termasuk peran SKPD hanya bersifat mengakomodir. Selanjutnya adalah kegiatan forum SKPD. Secara teknis forum SKPD hanya melakukan konfirmasi dan penyesuaian antara hasil musrenbangcam dengan program SKPD, sederhananya memberikan ruang untuk terjadinya proses tanya jawab antar seluruh peserta forum SKPD. Memang dalam prosesnya diberikan ruang untuk saling konfirmasi terkait dengan prioritas kegiatan akan tetapi karena kendali ada pada Kepala SKPD, akhirnya proses dinamika itu hanya sampai pada titik konfirmasi dan tidak terjadi proses diskusi yang subtansial. Hal tersebut jelas sudah keluar dari ketentuan dalam poin pertama prinsip-prinsip penyelenggaraan forum SKPD bahwa forum SKPD merupakan forum pembahasan strategis yang mempertemukan pendekatan teknokratis dan

top-down dengan pendekatan partisipatif dan bottom-up. Hasil akhir dari forum SKPD akan dibahas di forum musrenbang tahap akhir yakni musrenbang tingkat kota.

(5)

sebagai wahana untuk mensinkronisasikan dan merekonsiliasikan pendekatan top-down dengan

bottom-up, pendekatan penilaian kebutuhan masyarakat (community need assessment) dengan penilaian yang bersifat teknis (techical assessment); resolusi konflik atas berbagai kepentingan pemerintah daerah dan non government stakeholders untuk pembangunan daerah, antara kebutuhan program pembangunan dengan kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan berbagai sumber pendanaan pembangunan. Proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur kepentingan politik, dimana DPRD menjadi institusi yang memiliki nilai tawar karena perannya yang bisa melakukan untuk tidak memberikan dukungan terhadap proses penyusunan RKPD.

Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan RKPD Kota

Malang

Pada prinsipnya SKPD berperan pada setiap tahapan musrenbang, mulai musrenbang tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, forum SKPD sampai pada tahap akhir yakni musrenbang tingkat kota. Sifat dari peran SKPD sekedar memberikan gambaran dan mengakomodir setiap usulan yang disampaikan di musrenbang terutama di tingkat kecamatan. Pada tahapan forum SKPD maupun musrenbang kota peran SKPD memiliki pengaruh yang signifikan, karena memiliki otoritas yang penuh dalam menentukan skala prioritas rencana pembangunan.

PEMBAHASAN

Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangungan Daerah (RKPD) Kota Malang

Persiapan Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)

Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dalam perspektif Faludi (1973) disebut sebagai subtantive theory. Hal tersebut dikarenakan adanya penyerapan substansi metode dari disiplin ilmu lain, berdasarkan hal tersebut maka perspektif substantive theory lebih tepat atau dalam teori perencanaan dikenal dengan theory in planning. Sementara teori perencanaan disebut sebagai teori prosedural atau theory of planning. Seharusnya dalam praktek, seharusnya tidak dipisahkan antara theory of planning dan theory in planning. Justru diharapkan keduanya akan membentuk suatu kolaborasi yang oleh Faludi (1973) disebut juga sebagai perencanaan efektif. Posisi teori perencanaan yang berada pada domain publik memaksa adanya kolaborasi tersebut. Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dalam perspektif Kumar (2001) disebut sebagai Decentralized planning connotes a better perception of the needs of local areas, makes better informed decision-making possible, gives a greater voice in decision-decision-making to the people for whom the development is meant, and serves to achieve better co-ordination and integration among programmes enabling the felt needs of the people to be taken info account. Desentralisasi diartikan sebagai upaya mengolah persepsi secara tepat terhadap kebutuhan masyarakat lokal, membuat keputusan yang berdasarkan data dan informasi yang lebih akurat, memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, mencapai koordinasi yang lebih baik dan terintegrasi diantara program-program yang ada sehingga pada akhirnya memungkinkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.

(6)

menyatakan bahwa suatu perencanaan merupakan susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan dimasa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi dan faktor-faktor eksternal, serta pihak-pihak yang berkepentingan, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.

Pelaksanaan Musrenbang Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)

Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) pada hakikatnya adalah mekanisme perencanaan pembangunan yang bersifat bottom-up. Dengan mekanisme tersebut diharapkan adanya keterlibatan masyarakat secara aktif sejak awal dalam proses pembangunan. Musrenbang ini dilakukan secara hierarki mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota. Fungsi musrenbang ini merupakan media untuk mempertemukan antar masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah dan antar masyarakat dengan stakeholder pembangunan lainnya. Musrenbang dilakukan lebih menitikberatkan pada aspek lokasi dimana kegiatan dilakukan atau dalam istilah Kuncoro (2012, h.25) disebut sebagai perencanaan regional (pemda mempunyai kepentingan yang berbeda dengan instansi-instansi) di pusat dalam melihat aspek ruang di suatu daerah.

Musrenbang mememiliki peranan besar dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dalam perspektif Kumar (2001) disebut sebagai “People participation in planning it is a sordid fact of reality that despite quite a few decades of economic planning and concerted efforts at revamping and reorganizing the administrative monolith, the notion of active participation and involvement of the people in the plan processes including plan formulation, implementation, monitoring has, by and large, remained a mere myth. This is inspite of the myriad pronouncements in the successive plan documents as well as in the policies and programmes put forth by Central and States Goverments from time to time, with regard to involving people in the plan processes.

Seluruh tahapan musrenbang yang telah terlaksana merupakan fenomena sistemik yang melibatkan banyak pihak, dalam hal ini adalah BAPPEDA, DPRD, lembaga pada setiap tingkatan pemerintah dan tentunya masyarakat. Keluaran yang dihasilkan dalam setiap tahapan musrenbang merupakan masukan yang kemudian ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemerintahan daerah sebagai dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah. Dengan melihat peran tersebut, maka musrenbang dapat ditempatkan sebagai bagian bentuk perencanaan partisipatif, yakni perencanaan yang melibatkan seluruh unsur masyarakat sebagimana juga dinyatakan oleh Abe (2005, hal.88) menyatakan bahwa perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak lansung). Penempatan dalam bentuk perencanaan partisipatif disebabkan musrenbang merupakan forum bersama antara berbagai elemen masyarakat dengan penyelenggara pemerintahan daerah, akan tetapi belum seutuhnya merupakan perencanaan bottom up karena peran pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA masih cukup besar, dalam perspektif Muluk (2007, hal.59) disebut sebagai bentuk partisipsi yang bersifat konsultasi sejati bukan partisipasi yang bersifat sebagai badan penasehat yang efektif

Intervensi dan besarnya peran pemerintah daerah dilihat dari pengendali sesungguhnya dari musrenbang tersebut. Secara keseluruhan, Badan Perencanaan Pembangunan (BAPPEDA) Kota Malang merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap berlangsungnya musrenbang. BAPPEDA melakukan koordinasi seluruh jajaran perangkat daerah untuk menjalankan musrenbang. Di tingkat kecamatan, peran kantor kecamatan sangat besar bagi berlangsungnya musrenbang tingkat kecamatan. Di tingkat kelurahan, kantor kelurahan memiliki peran besar untuk memfasilitasi LPMK dalam melakukan musyawarah pembangunan kelurahan.

(7)

Selain hal tersebut, gambaran lain yang terlihat adalah peran pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA begitu kuat dalam musrenbang. Hal tersebut menunjukan bahwa pada akhirnya musrenbang kehilangan ruh hakikat dasarnya yakni bersifat bottom up. Kuatnya peran BAPPEDA dalam proses musrenbang dalam perspektif Faludi (1973, h.1) diartikan sebagai para pembuat rencana melakukan usaha untuk mengurangi gejolak di masyarakat akibat suatu kejadian dengan memberikan arahan yang rasional dan logis tentang kejadian tersebut dimana arahan tersebut tidak dengan pola pikir masyarakat pada umumnya

Belum holistiknya proses penyusunan rencana kerja pembangunan daerah terlihat dari beberapa proses tahapan musrenbang, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, forum SKPD, sampai tahap musrenbang tingkat kota seperti yang telah penulis gambarkan dibeberapa fenomena penyajian data diawal. Perjalanan dari tiap tahapan proses musrenbang lebih terlihat formalitas dikarenakan keputusan akhir dari hasil setiap tahapan proses musrenbang otoritas keputusannya berada pada pemerintahan daerah dalam hal ini adalah BAPPEDA serta forum SKPD, sebagaimana sudah diungkapkan dalam data primer hasil penelitian. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai formalitas partisipatif, sebagaimana Abe (2005, hal.88) mengungkapkan bahwa selama proses transformasi kapasitas masyarakat dan keterampilan masyarakat tidak dilakukan, maka partisipasi hanya akan terlihat sebagai formalitas partisipatif, sedangkan realitas sesungguhnya adalah hegemoni dan manipulasi.

Selanjutnya adalah gambaran musrenbang yang terlihat nuansa politiknya terutama pada tahapan forum SKPD dan musrenbang kota atau bahkan ketika diplenokan di DPRD, seperti sudah diungkapkan dalam poin hasil penelitian. Hal tersebut seperti yang digambarkan oleh Conyer dan Hill.

Gambar 2.

Hubungan Politik, Perencana, Administrator dan Publik

Sumber : Conyer and Hill (1990) DPRD

BAPPEDA

(8)

Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Proses Penyusunan Rencana

Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang

Peran SKPD pada hakikatnya terlibat pada setiap tahapan musrenbang, diantaranya tahap musrenbang kecamatan, tahap forum SKPD, dan tahap musrenbang kota, dari setiap tahapan tersebut dengan berdasarkan data sekunder dan data primer menunjukan bahwa peran SKPD yang paling menonjol adalah pada musrenbang tahap forum SKPD. Berdasarkan perspektif pendekatan perencanaan, forum SKPD lebih tepat disebut sebagai perencanaan teknokratis yang bersifat top down

yang diselaraskan dengan hasil dari pendekatan partisipatif yang bersifat bottom up. Secara konseptual seperti yang diungkapkan oleh Sutoro Eko (www.ireyoga.org), mengungkapkan bahwa perencanaan teknokratis mengandung dimensi teori dan metodologi untuk mengelola data, informasi dan aspirasi secara logis, tepat, dan cermat. Teori dan metodologi mengharuskan agenda perencanaan membuat analisis masalah dan tujuan secara tepat, sehingga mampu menghasilkan kebijakan yang tepat atau menjawab masalah dengan benar.

Pendekatan teknokratis dengan pendekatan partisipasi sejatinya tidak saling bertentangan. Pendekatan teknokratis berupaya melakukan translasi atas pendekatan partisipasi. Para pemimpin daerah atau politisi sering memberikan respons politik atas partisipasi secara cepat, begitu dialog dengan masyarakat berlangsung. Sementara pendekatan teknokrasi membutuhkan proses translasi melalui analisis yang lama, senada dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh proses partisipatif. Tetapi ada sebuah prinsip dasar bahwa siapapun yang sabar mengikuti proses maka akan membuatnya menjadi lebih bijak. Sehingga jika pendekatan teknokrasi dimasukkan dalam proses partisipasi maka akan menghasilkan perencanaan yang lebih bermakna dan berkualitas. Hal ini misalnya ditempuh dengan analisis masalah dan penentuan skala prioritas dalam setiap tahapan proses penyusunan RKPD.

Sama halnya seperti yang terjadi dalam proses musrenbang bahwa dalam forum SKPD juga terlihat nuansa formalitas dan politis dalam melakukan proses penyusunan rencana pembangunan. Serta berdasarkan data primer bahwa para delegasi yang berada dalam pemerintahan dibawahnya tergambar lebih mengambil pada posisi yang aman sehingga tidak muncul dinamika kritis. Maka harus dilakukan proses pembaharuan. Abe (2005, hal.88) memberikan beberapa perspektif agar muncul keseimbangan dalam proses mempengaruhi sebelum kebijakan itu ditetapkan. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah (1). Perubahan budaya, pembaruan kultur politik di masyarakat, agar bisa lebih menerima kejujuran politik dan menentang segala bentuk tekanan politik, dan (2). Perubahan tata politik, sehingga perpolitikan lebih bersifat “poli” dan berorientasi akar rumput, bukan lagi berorientasi elitis. Melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting : (1). Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat. (2). Member nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah masyarakat yang terlibat akan semakin baik. (3). Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.

Analisis Soft Systems Methodology Terhadap Proses Penyusunan Rencana Kerja

Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang

Operasionalisasi soft systems methodology terhadap kompleksitas proses penyusunan RKPD dikelompokan menjadi tiga tahap. Pertama, strukturisasi permasalahan. Kedua, mendefinisikan sistem permasalahan. Ketiga, mendefinisikan sistem permasalahan dan membangun model konseptual.

Strukturisasi Permasalahan

Strukturisasi permasalahan dimaksudkan untuk memahami masalah secara mendalam sesuai proses yang terjadi dalam realitas (real-world problem). Mengenali permasalahan yang tidak terstruktur

(9)

Strukturisasi Permasalahan Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah

(RKPD) Kota Malang

Strukturisasi permasalahan proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada intinya berkaitan dengan pemahaman secara subtansial akan standarisasi proses perencanaan pembangunan yang sesuai dengan mekamisme yang telah ditetapkan. Rumusan strukturisasi permasalahan tersebut baik menyangkut struktur maupun prosesnya dapat dirinci menjadi delapan belas masalah.

1. Dalam tahapan penyusunan RKPD mulai dari tahap persiapan penyusunan RKPD, penyusunan rancangan awal RKPD sampai pada tahap penyusunan rancangan RKPD tidak berjalan sebagaimana sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.

2. Proses tahapan tersebut di point 1 masih berjalan secara formalitas, hal tersebut terlihat dari penjelasan sekretaris Bidang Pendataan dan Evaluasi yang tidak mampu menunjukan dokumen proses tahapan yang telah dilakukan serta ketidakmampuan untuk menjawab beberapa konfirmasi.

3. Belum adanya sebuah konsistensi untuk melakukan proses tahapan penyusunan RKPD yang disebutkan di point 1 secara menyeluruh serta sesuai dengan ketentuan (mulai dari hal yang strategis sampai pada hal yang praktis).

4. Pelaksanaan musrenbang kelurahan yang tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. 5. Tidak adanya pelaksanaan pra musrenbang kelurahan.

6. Terkait dengan delegasi yang disepakati untuk diikutsertakan di musrenbang kecamatan mayoritas tidak mencerminkan keterwakilan perempuan karena didominasi oleh kaum laki-laki.

7. Beberapa musrenbang kelurahan di dalam pelaksanaannya tidak ada narasumber yang mewakili dari BAPPEDA, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses penyusunan musrenbang RKPD yang tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait fokus perencanaan pembangunan sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap cara pandang peserta musrenbang.

8. Hasil akhir dari musrenbang kelurahan belum bisa dikatakan berupa dokumen akan tetapi masih berupa bentuk laporan pembangunan.

9. Mayoritas orientasinya adalah pembangunan fisik yang dari tahun ke tahun seringkali ada kesamaan.

10. Proses musrenbang kelurahan memiliki banyak usulan pembangunan dari masyarakan akan tetapi tidak semua bisa terakomodir.

11. Pelaksanaan musrenbang kecamatan yang tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. 12. Tidak semua kecamatan melakukan pra musrenbang kecamatan.

13. Pelaksanaan musrenbang kecamatan ada yang tidak dihadiri narasumber yang mewakili dari BAPPEDA dan Anggota DPRD, padahal BAPPEDA menjadi lembaga inti dalam proses penyusunan musrenbang RKPD yang tugasnya memberikan informasi dan gambaran terkait fokus perencanaan pembangunan dan juga Anggota DPRD sebagai penyelaras proses musrenbang kecamatan yang dilakukan, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola pikir dan dalam pengambilan keputusan.

14. Musrenbang kecamatan secara umum pelaksanaannya lebih terlihat formalitasnya karena hanya menyelaraskan beberapa usulan dari musrenbang kelurahan sehingga prosesnya belum mengarah kepada diskursus yang bersifat subtansi.

15. Peran pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA begitu kuat dalam musrenbang, hal tersebut menunjukan bahwa pada akhirnya musrenbang kehilangan ruh hakikat dasarnya yakni partisipatif yang bersifat bottom up tapi prakteknya top down.

16. Proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur kepentingan politik, dimana DPRD menjadi institusi yang memiliki nilai tawar karena perannya yang bisa melakukan untuk tidak memberikan dukungan terhadap proses penyusunan RKPD.

(10)

18. Tidak optimalnya dukungan sarana dan prasarana yang didalamnya termasuk dokumen kebijakan pemerintah dan pembiayaan kegiatan yang telah dipersiapkan secara matang dan jelas. Poin ini seperti yang disampaikan dalam laporan musrenbang kecamatan oleh Tim Murenbang Kecamatan Blimbing.

Strukturisasi Permasalahan Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam

Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang

Strukturisasi permasalahan kedua terkait peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Permasalahan yang dihadapi pada intinya berkaitan dengan pemahaman dan konsistensi akan standarisasi proses perencanaan pembangunan yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Strukturisasi permasalahan tersebut baik menyangkut struktur maupun prosesnya dapat dirinci menjadi lima masalah yang dihadapi, diantaranya sebagai berikut.

1. Implementasi dari kegiatan forum SKPD adalah proses partisipasi top down, hakikatnya adalah bottom up

2. Pembahasan di forum SKPD sekedar menyelaraskan, tidak ada diskusi yang bersifat subtansial

3. Kendali penuh forum SKPD ada pada Kepala SKPD sehingga hasil akhir dari forum SKPD tidak mengakomodir seluruhnya usulan dari musrenbangcam

4. Belum adanya pemahaman yang utuh secara strategis terkait standarisasi forum SKPD yang didalam prosesnya idealnya mempertemukan semua pendekatan.

5. Masih tercermin nuansa formalitas dan politis

Mendefinisikan Sistem Permasalahan dan Membangun Model Konseptual

Setelah strukturisasi permasalahan dilakukan, tahap berikutnya yang dilakukan dalam penggunaan soft systems methodology adalah membangun model konseptual melalui kerangka erpikir sistem (system thinking). Tujuan membangun model ini untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistemik mengingat pada dasarnya setiap masalah sosial adalah bersifat sistemik, sehingga pemecahannya harus dilakukan dengan cara sistemik pula. Model dalam mendefinisikan sistem permasalahan tersebut dikenal dengan istilah CATWOE.

Gambar 3.

Kerangka Mendefinisikan Sistem Permasalahan

Sumber : Checkland

and Scholes (1990, h.35-36)

Menggali persepsi dari berbagai pihak dengan bantuan model analisis sistem CATWOE sebagaimana terlihat pada gambar 7 dapat membantu upaya memecahkan masalah yang telah distrukturisasi. Prinsip dasar yang dibangun dalam model ini adalah menentukan siapa yang melakukan aktivitas (actors) pemecahan masalah dan siapa yang dapat menghentikan aktivitas tersebut (owners). Actors dan Owners merupakan elemen dasar dalam model konseptual berpikir sistem. Actor adalah pihak-pihak yang memiliki keterampilan teknis dan diperlukan dalam aktivitas pemecahan masalah, sedangkan owners adalah pengambil keputusan yang lebih diperlukan untuk berpikir strategis daripada sebagai teknisi. Pihak-pihak yang memanfaatkan aktivitas bertujuan, pendorong dan penarik proses transformasi adalah Clients. Proses transformasi (transformation process) menyangkut aktivitas yang dapat merubah status quo kedalam suatu kondisi yang

Environmental Contrains CATWOE

C : pihak-pihak yang diuntungkan

A : pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas pemecahan masalah

T : aktivitas yang merubah masukan menjadi keluaran

W: pemahaman mendalam dari berbagai pihak tentang situasi permasalahan

O : pihak yang dapat menghentikan aktivitas E : hambatan lingkungan yang tidak dapat

dihindari Worl-view

Client Transformation-process Actors

(11)

diharapkan. Sedangkan kendala lingkungan (environmental constrains) menyangkut kekuatan eksternal yang berpengaruh terhadap proses transformasi secara menyeluruh dan dapat merubah pandangan dalam menyikapi persoalan yang dihadapi. The world view merupakan representasi dalam mendefinisikan masalah serta upaya pemecahannya.

Sesuai dengan strukturisasi permasalahan, definisi sistem permasalahan berkaitan dengan proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Rumusan ini dibuat berdasarkan wawancara dengan stakeholders yang terlibat dalam proses penyusunan RKPD, mulai dari penyusunan rancangan awal, musrenbangkel, musrenbangcam dan musrenbangkot. Stakeholders

tersebut diantaranya BAPPEDA, Anggota DPRD, serta pihak yang terlibat dalam musrenbangkel dan musrenbangcam. Merujuk pada kerangka analisis CATWOE, rumusan definisi sistem permasalahan proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1.

Penggabungan Dari Dua Definisi Sistem Permasalahan Proses Penyusunan RKPD dan Sistem Permasalahan Peran SKPD Dalam Proses Penyusunan RKPD

No Komponen Definisi Sistem Permasalahan (CATWOE)

Hasil Definisi Sistem Permasalahan

1 Pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan (Clients)

Masyarakat setempat, institusi pemerintah daerah, pihak swasta, pemerintah

2 Pihak-pihak yang melaksanakan pemecahan

masalah (Actors) DPRD, Kepala Daerah, dan Perangkat Daerah, Akademisi 3 Aktivitas yang merubah masukan jadi keluaran

(Transfotrnation Process)

Forum SKPD, Kebijakan mengintegrasikan semua pendekatan (politik, partisipasi, teknokratis, bottom up top down)

4 Pemahaman mendalam dari berbagai pihak tentang situasi permasalahan (World-view)

Perencanaan pembangunan yang disusun secara komprehensif, Kebersamaan Institusi dalam Setiap Proses

Political will pemerintahan daerah melakukan perubahan, Kesadaraan Masyarakat

Sumber : Data Primer

Setelah mendefinisikan sistem permasalahan yang mencakup dua definisi sistem permasalahan proses penyusunan RKPD, tahap selanjutnya yang perlu dilakukan dalam tahap soft systems methodology adalah membangun model konseptual (building conceptual models).

Penyempurnaan Model Konseptual

Bagian ini menjelaskan tentang proses yang telah dilakukan dalam upaya menyempurnakan model konseptual proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Penjelasan ini dipandang penting untuk memahami proses penggunaan analisis soft systems methodology yang telah dilaksanakan, dan membantu memahami model sistem proses penyusunan RKPD. Penyempurnaan model konseptual dilakukan dalam dua tahap. Pertama, membandingkan model konseptual dengan realitas permasalahan yang dihadapi dalam proses penyusunan RKPD. Kedua, mendefinisikan perubahan yang diinginkan stakeholder agar model yang dibangun dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan aksi.

Perubahan model konseptual ini sangat dimungkinkan dan diperlukan mengingat soft systems methodology esensinya adalah membandingkan antara kerangka berpikir sistem (systems thinking) dengan dunia nyata (real world) untuk menganalisis dan memecahkan masalah secara sistemik. Hasil perbandingan menunjukan bahwa model proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang telah dilakukan masih terdapat perbedaan dengan realitas yang dihadapi. Merujuk kepada hasil perbandingan model konseptual, maka hasil penyempurnaan model konseptual tersebut berupa dua model sistem proses penyusunan RKPD.

Model Sistem Proses Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota

Malang dan Model Sistem Peran SKPD dalam Proses Penyusunan RKPD

(12)

Pemahaman akan aturan (strategis maupun teknis) terkait proses penyusunan RKPD secara menyeluruh sampai tingkat pemerintahan yang paling bawah (2) Memahami proses tahapan penyusunan RKPD oleh semua stakeholders (1)

Monitor, kontrol dan evaluasi (11)

Pengumpulan data dan informasi serta analisis kondisi dan permasalahan daerah (6)

Forum/diskusi tentang arah perencanaan (proses bottom-up) (8)

Hasil yang diinginkan (9)

Melakukan proses orientasi perencanaan (5)

Memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah dan swasta (3)

Proses tahapan penyusunan RKPD yang sesuai dengan ketetapan dan kesepakatan stakeholders (7)

Pemilahan proses penyusunan RKPD menjadi tiga bagian (proses teknokratis, proses partisipatif dan proses legislasi dan administratif) (4)

Tolok ukur dengan dimensi komprehensif dan holistik RKPD (10)

Konsistensi terhadap proses tahapan RKPD (12)

Gambar 4

Penggabungan Dua Model Sistem Proses Penyusunan Rencana RKPD dan Model Sistem Peran SKPD dalam Proses Penyusunan RKPD

Real World Systems Thinking

(13)

diakomodir. Langkah berikutnya adalah melakukan pemilahan proses penyusunan RKPD menjadi tiga bagian (proses teknokratis, proses partisipatif dan proses legislasi dan administratif) hal tersebut untuk memudahakan dalam membangun sebuah sistem (wilayah kerja mana yang harus melakukan pendekatan partisipatif, membutuhkan konsultasi (teknokratis), serta proses kekuatan hukum). Langkah selanjutnya adanya ketetapan dan kesepakatan terhadap proses tahapan RKPD hal ini untuk mewujudkan konsistensi terhadap alur yang komprehensip dan holistik.

Langkah berikutnya adalah melakukan proses orientasi perencanaan, hal ini dalam rangka agar proses penyusunan RKPD tidak bertentangan antara satu dokumen dengan dokumen lainnya, memahami pola-pola pendekatan dalam menyusun RKPD. Berikutnya adalah pengumpulan data dan informasi serta analisis kondisi permasalahan daerah dalam rangka melakukan review terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), membuat skema prioritas dan target program. Setelah langkah itu dilakukan kembali lagi kepada proses tahapan ketetapan dan kesepakatan stakeholders. Langkah berikutnya adalah melakukan forum atau diskusi tentang arah perencanaan (proses bottom up) hasil yang diinginkan, menyamakan perspektif pembangunan secara kolektif dalam rangka mencari langkah terbaik. Hasil dari langkah tersebut adalah adanya tolok ukur komprehensip dan holistik RKPD dilihat dari segala dimensi. Sehingga lankah berikutnaya adalah melakukan monitor, kontrol dan evaluasi untuk melihat sejauh mana konsistensi terhadap proses tahapan RKPD.

SIMPULAN

Peran BAPPEDA secara keseluruhan sangat dominan dan memiliki otoritas yang penuh dalam mengendalikan proses penyusunan perencanaan pembangunan termasuk di dalamnya prose penyusunan RKPD. Tentu fenomena tersebut sedikit keluar dari koridor semangat proses penyusunan perencanaan pembangunan yang merupakan sebagai wahana untuk mensinkronisasikan dan merekonsiliasikan pendekatan top-down dengan bottom-up, pendekatan penilaian kebutuhan masyarakat (community need assessment) dengan penilaian yang bersifat teknis (techical assessment); resolusi konflik atas berbagai kepentingan pemerintah daerah dan non government stakeholders untuk pembangunan daerah, antara kebutuhan program pembangunan dengan kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan berbagai sumber pendanaan pembangunan. Dalam dimensi lain SKPD juga tidak melakukan peran advokasi untuk memperjuangkan setiap usulan-usulan pembangunan dari masyarakat yang dihasilkan dari musrenbangkel maupun musrenbangcam sehingga dapat dikatakan bahwa secara subtansial SKPD tidak berperan seutuhnya

Fakta lain menggambarkan juga bahwa proses penyusunan RKPD juga tidak terlepas dari unsur kepentingan politik, dimana dalam hal tersebut DPRD menjadi institusi yang memiliki nilai tawar karena perannya yang bisa melakukan untuk tidak memberikan dukungan terhadap proses penyusunan RKPD. Dari keseluruhan fakta tersebut diatas menunjukan bahwa dalam proses musrenbang terjadi pertarungan antara partisipasi dengan teknokratis, seharusnya proses musrenbang bisa bersifat partisipasi seutuhnya, akan tetapi realitasnya keputusan ditetapkan berdasarkan teknokratis karena faktor pemerintah daerah dalam hal ini BAPPEDA sebagai pengendali. Hasil penelitian yang penulis lakukan ada satu variabel yang tahapannya tidak dilalui secara utuh yaitu

focus group discussion (FGD) dikarenakan pada saat melakukan penelitian segala proses tahapan perencanaan RKPD terutama musrenbang sudah selesai dilaksanakan, atas dasar hal tersebut maka rekomendasi bagi yang akan melakukan penelitian terhadap proses perencanaan pembangunan daerah dengan pendekatan soft systems methodology maka focus group discussion (FGD) menjadi variabel penting karena dalam rangka untuk mendapatkan informasi dan perspektif secara utuh dan komprehensif.

SARAN

(14)

dalam rangka memunculkan suatu proses perencanaan pembangunan yang secara implementatif dapat mensinergiskan semua dimensi pendekatan, mulai dari pendekatan politis, pendekatan partisipatif, pendekatan teknokratis serta pendekatan bottom up- top down.

Memberikan pembaharuan dalam beberapa perspektif agar muncul keseimbangan dalam proses mempengaruhi sebelum kebijakan itu ditetapkan. Beberapa hal tersebut diantaranya : Pertama, perubahan budaya, pembaruan kultur politik di masyarakat, agar bisa lebih menerima kejujuran politik dan menentang segala bentuk tekanan politik. Kedua, perubahan tata politik, sehingga perpolitikan lebih bersifat “poli” dan berorientasi akar rumput, bukan lagi berorientasi elitis. Melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting : Pertama, terhindar dari peluang terjadinya manipulasi, keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat. Kedua, Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah masyarakat yang terlibat akan semakin baik. Ketiga, meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta : Pustaka Jogja Mandiri.

Balle, Michael. 1994. Managing With Systems Thinking. Berkshire : McGRAWW-HILL Book Company Europe

Bratakusumah, Riyadi. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.

Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Cavana, Maani. 2000. Systems Thinking Modelling. Auckland : Pearson Education New Zealand

Limited.

Checkland, Peter. 1999. Systems Thinking, Systems Practice : Includes a 30-year retrospective.

Chichester : John Wiley & Sons.

Checkland, Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action. Chicester : John Wiley & Sons. Conyers, Hills. 1990. An Introduction To Development Planning In The Third World. Chicester : John

Wiley & Sons.

Faludi, Andreas. 1973. Planning Theory. Oxford : Pergamon Press. Hardjanto, Imam. 2011. Teori Pembangunan. Malang : UB Press.

Kumar, Arvind. 2001. Encyclopedia Of Decentralised Planning and Local Self Governance. New Delhi : J.L.Kumar For Anmol Publications Pvt.Ltd.

Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah, Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan. Jakarta : Salemba Empat.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Muluk, Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian

dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Malang : Bayumedia Publishing. Rustiadi, Ernan. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor : IPB.

Soesilo, Aminullah, Muhammadi. 2001. Analisis Sistem Dinamis (Lingkungan Hidup Sosial, Ekonomi, Manajemen). Jakarta : UMJ Press.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Khairul, Muluk. 2006. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan Daerah Dengan Pendekatan Berpikir Sistem. Depok : FISIP UI.

Supriyono, Bambang. 2007. Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah Dalam Penyediaan Prasarana Perkotaan di Kota Malang. Depok : FISIP UI.

Syaifullah. 2007. Analisis Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah di Kota Magelang (Studi Kasus Perencanaan Pembangunan Tahun 2007). Semarang : FISIP UNDIP.

Brenton RMN, Kevin, MSc. 2007. Using soft system methodology to examine communication difficulties. Journal of Mentah Health Practice. Vol 10, No 5.

Dibia, Ifechukwude K, Hom Nath Dakai, Spencer Onuh. 2011. A ‘Lean’ Study using the Soft Systems Methodolgy.

(15)

Gati, Patria Kurnia, Mahmud Imrona dan Saufiah. 2010. Analisis Soft System Methodology (SSM) Untuk Excellent Service Management : Studi Kasus Spee- Dy PT.Telkom Divre III Jabar Dan Banten.

Raguphati, Wullianallur, Amjad Umar. 2009. Integrated digital Health system Design : A Service-Oriented Soft System Methodology. International Journal of Information Technologies and system approach. Volume 2, Issue 2.

Turner, Mike. 2008. Using Mode 2 soft system methodology in the teaching and assessment of the “practical” content in undergraduate hospitality degrees. Journal of hospitality, Leisure, Sport and Tourism education. Volume 7, No. 2.

Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undan-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 050/200/Ii/Bangda/2008 Tentang Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri 2008 Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)

Gambar

Gambar 2.Hubungan Politik, Perencana, Administrator dan Publik
Gambar 3.Kerangka Mendefinisikan Sistem Permasalahan
Tabel 1.Penggabungan Dari Dua Definisi Sistem Permasalahan Proses Penyusunan RKPD
Gambar 4

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Musrenbang sebagai tahapan proses perencanaan pembangunan dan penganggaran termasuk dalam pendekatan perencanaan partisipatif karena telah melibatkan

Selain itu, Mengingat kampus UNTIDAR yang tersebar di beberapa wilayah di karesidenan Kedu seperti Kota dan Kabupaten Magelang, kabupaten Temanggung dan kabupaten

Dalam rangka mencapai target tahunan Kantor WRRI/LPPM ITB, maka dari sisi pelaksanaan administrasi kegiatan kerjasama, Kantor WRRI/LPPM ITB berupaya untuk

Berdasarkan evaluasi hasil percobaan tersebut dapat disarankan bahwa dalam suatu proses gasifikasi batubara bawah tanah adanya perubahan panjang zona gasifikasi

"Jadi apakah dibenarkan untuk melakukan sesuatu yang tidak merugikan orang lain atau diri sendiri." Tidak, HANY A apabila suatu tindakan berada dalam lingkup batas-batas

Frekuensi makanan tinggi lemak jenuh bukan merupakan faktor risiko karena bias informasi dimana responden melakukan perkiraan yang tidak tepat dalam menentukan jumlah

Limbah ini adalah sisa dari usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang sifatnya, konsentrasinya, dan jumlahnya dapat mencemarkan lingkungan hidup serta

Kebiasaan yang dijadikan habituasi dalam kegiatan kokurikuler yaitu tujuh kompetensi yang meliputi; kompetensi iman dan takwa, kompetensi ilmu pengetahuan dan