BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Jiwa
2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa
Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) adalah : Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom.
Artinya, gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom psikologis
atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan diasosiasikan dengan
distress (misalnya simtom yang menyakitkan) atau disabilitas (yakni, hendaya di
dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting) atau diasosiasikan dengan resiko
mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau kehilangan kebebasan diri yang
penting sifatnya, yang meningkat secara signifikan (APA-DSM, 2000).
Konsep “disability” dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders adalah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup
sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak digunakan sebagai komponen esensial untuk didiagnosis gangguan jiwa, oleh karena itu hal ini berkaitan
dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Dari konsep tersebut di atas, dapat
dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan jiwa meliputi : (a) adanya gejala klinis
yang bermakna berupa sindrom atau pola perilaku dan sindrom atau pola psikologik.
(b) gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, disfungsi organ tubuh, dan lain-lain
dan (c) gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup. Menurut Depkes RI (2003) gangguan jiwa adalah gangguan
pikiran, perasaan, dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan
terganggunya fungsi sehari-hari (fungsi pekerjaan dan fungsi sosial) dari orang
tersebut. Sedangkan menurut Muslim (2002) gangguan jiwa merupakan sindrom atau
pola prilaku atau psikologi seseorang yang secara klinis cukup bermakna dan yang
secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau
lebih fungsi penting dari manusia.
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri penyakit degeneratif,
kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan
yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam
menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari,
2006).
Penggunaan istilah gangguan jiwa maupun gangguan mental sering dipakai
secara bergantian. Penelusuran istilah gangguan jiwa justru akan memunculkan
mental illness atau mental disorder. Mental illness atau sakit jiwa merupakan kondisi gangguan secara medis berkaitan dengan proses berpikir, suasana hati, kemampuan
untuk berhubungan dengan orang lain, dan fungsi sehari-hari sebagai individu
(National Alliance on Mental Illness, 2012). Sedangkan mental disorder atau gangguan mental menekankan pada permasalahan yang lebih kompleks dari
gangguan individu yakni gangguan dari luar individu yang mempengaruhi individu
seperti: keluarga, budaya, ekonomi, dan masyarakat. Penggunaan istilah gangguan
mental saat ini sering digunakan karena lebih menekankan pada upaya kesehatan
mental (mulai tahun 1600) yang merupakan upaya penyembuhan, perawatan, dan
pemeliharaan pada permasalahan gangguan mental individu yang menyangkut
permasalahan pribadi maupun di luar diri individu termasauk keluarga dan
masyarakat sekitar.
2.1.2 Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
Penyebab gangguan jiwa bermacam-macam, ada yang bersumber dari
berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak
adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang
dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang
Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan
jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi
karena tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa
contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk afiliasi,
yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok.
Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga,
kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses
mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang
mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari
perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam
hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan dan
ketegangan emosi.
Dari pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa seperti yang
dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh karena
ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya
kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah
diri.
Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya
gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling
mendukung yang meliputi biologis, psikologis, sosial budaya atau lingkungan. Tidak
seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang
berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan
mengobatinya.
Proses mengenai timbulnya gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor.
Suryani (2007) mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor
yang berperan sama yaitu :
1. Faktor Biologik
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti
kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran yang terkait dengan kelainan-kelainan
neurotransmiter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya
dengan gangguan jiwa.
2. Faktor Psikologik
Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental
sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan orang itu. Hal ini sangat
tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial,
perubahan sosial dan tingkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman
hidup seseorang. Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi
interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku
yang sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi
merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan
kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan
masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan
perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai
dewasa.
3. Faktor Sosio-budaya
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan
terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu
sosio-budaya tertentu berbeda dengan sosio-budaya lainnya. Adanya perbedaan satu sosio-budaya
dengan budaya yang lainnya, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan
distribusi dan tipe gangguan jiwa. Inkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian
berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Prubahan budaya yang cepat seperti
identifikasi, kompetisi, inkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan
jiwa. Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan
prevalensi gangguan afektif.
2.1.3 Tanda atau Gejala Gangguan Jiwa
Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah :
a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,
perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.
b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu
padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya
tidak ada hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang
sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bias mendengar
sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada
menurut orang lain.
c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat
keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat
diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.
d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (waham
kebesaran), tetapi di lain waktu ia bias merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya
(depresi) sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.
e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang
berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat,
melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam
lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh. (Yosep, 2007).
Gangguan kesehatan jiwa sering ditandai dengan sikap kurang percaya diri
dan orang lain, perasaaan malu, ragu-ragu, dan perasaan bersalah yang berlebihan.
Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa kesehatan jiwa sangat tergantung pada
seberapa jauh seorang individu mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki
untuk mengembangkan sifat-sifat positif dalam berbagai fase kehidupan. Atau kita
dari gejala gangguan jiwa, yang disertai dengan rendahnya konflik psikologi, dan
memiliki kepuasan dalam bekerja serta mampu menghargai dan mencintai orang lain
Penderita gangguan jiwa biasanya ditandai dengan kelemahan prilaku,
kelemahan proses pikir, kelemahan ekspresi emosi, atau pembicaraan yang sulit
dimengerti, atau mengisolasi diri dari lingkungan. Para penderita gangguan jiwa
mengalami fluktuasi periode baik dan buruk secara ekstrim. Mereka yang mengalami
gangguan jiwa biasanya lebih mudah terstigmatisasi, yang ditandai dengan rendahnya
status sosial, dan penuh prasangka. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan untuk
menilai diri sendiri sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga sulit
mencari pertolongan, atau sulit untuk mengenal diri sendiri dan orang lain (APA,
2001).
Gangguan psikis berbeda dengan gangguan jiwa, dimana gangguan psikis
biasanya ditandai dengan beberapa gejala seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur
dan lain-lain. Gangguan ini sangat tergantung pada tipe dan beratnya gejala, dan
dapat mempengaruhi kemampuan menyelesaikan masalah, kesenangan dalam hidup,
dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Gejala yang dialami orang dengan
gangguan psikis belum bisa digunakan untuk menegakkan sebuah diagnosa.
Gangguan psikis merupakan reaksi normal terhadap sebuah kesulitan dalam
kehidupan. Sementara gangguan jiwa merujuk pada kesulitan psikis yang sudah
mengarah pada sebuah diagnosa (Aiyub, 2012). Sementara ketika orang sakit dan
merasa stres berat dalam hidup, dan orang kurang mampu menilai realitas kenyataan,
2.1.4 Jenis-Jenis Gangguan Jiwa
Dalam ICD X (International Classification of Diseases–X), jenis gangguan jiwa tersebut antara lain : (a) gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
narkotika dan zat- zat adiktif lainnya, (b) skizofrenia dan gangguan psikotik lain, (c)
gangguan afektif (depresi, mania), (d) ansietas (kecemasan yang tidak beralasan),
gangguan somatoform (psikosomatis), (e) gangguan mental organik (demensia,
delirium, epilepsi, pasca stroke, dll). (f) gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja
(gangguan perkembangan belajar, gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, autisme,
gangguan cemas dan depresi).
Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli
berbeda-beda dalam pengelompokannya, menurut Maslim (2002) macam-macam
gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan mental organik dan simtomatik,
skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan,
gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan
dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa
dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan
emosional dengan onset masa kanak dan remaja.
a. Skizofrenia
Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk
psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian
(Maramis, 2005). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan
realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini
secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bias timbul
serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak
diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak atau cacat.
b. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur
dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak
berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dan Sadock, 2005). Depresi juga dapat
diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang
ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Depresi adalah suatu
perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan
yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho,
2008). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai
karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa
seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri
rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang.
Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul
c. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap
orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi
sebaik-baiknya Maslim (2002). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan
takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik. Penyebabnya
maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan
dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Stuart dan
Sundeen (2009) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat
tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.
d. Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan
gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan inteligensi
tinggi ataupun rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa
dan gangguan inteligensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau
tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid,
kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif,
kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian histerik, kepribadian
astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat.
e. Gangguan Mental Organik
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh
dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang
terutama diluar otak.
Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi
mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila
hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah
yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya.
Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat
gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan
menahun.
f. Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah
(Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang
dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan
dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi
faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.
g. Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama
masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara
2.2 Penanganan dan Perawatan Gangguan Jiwa
Penanganan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan beberapa terapi yang
mempunyai teknik dan metode tertentu :
a. Terapi psikofarmaka
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental
dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh
terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2005).
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis,
anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-panik, dan anti
obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer,
neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika (Hawari, 2005).
b. Terapi somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa
sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu system tubuh lain. Salah satu bentuk
terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy (ECT). Terapi elektrokonvulsif merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada
otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik
tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan
(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan.
(Daulima, 2006).
c. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang
bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku
maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Ada beberapa jenis terapi modalitas,
antara lain:
(1) Terapi individual, terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa
dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan
seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat
dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah
hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan
tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu
menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan
mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan
cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
2) Terapi lingkungan. Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata
lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku
maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua
kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan
pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.
3) Terapi Kognitif. Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan
sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang
diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian
dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak
akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien
mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu
memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan
tersebut. Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang
diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun
perubahan kognitif.
4) Terapi Keluarga. Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh
anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi
keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu
sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak
bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi
keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi
dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut
digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga
mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi
mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan
fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
5) Terapi Kelompok. Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang
dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui
media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran
diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku
maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah
kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat
oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat.
Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model,
Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi
aversi atau rileks kondisi.
6) Terapi Bermain. Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa
anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari
pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat
perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta
melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.
yang komprehensif, holistik dan paripurna berfokus pada masyarakat yang
difokuskan pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang
pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial
dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada pasien gangguan jiwa dengan proses
pemulihan (Videbeck, 2008)
Varcarolis (2006) pelayanan
(continuity of care) dari kondisi
maupun di rumah sakit, (di mana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai
memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anggota masyarakat
dan yang mengalami gangguan jiwa dapat dipertahankan di lingkungan masyarakat
serta tidak perlu dirujuk segera ke rumah sakit jiwa
pengetahuan penanganan psikis diharapkan dapat berperan sebagai pendeteksi awal
gangguan psikis dan kejiwaan yang ada di lapangan, yang selanjutnya
mengalami masalah psikososial agar segera dibawa ke
perawatan lanjutan dengan pendekata(CMHN).
2.2.1 Pendekatan Model Konsep Keperawatan Jiwa dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa di Masyarakat
Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan
dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan
kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi
kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku kesehatan yang berhasil diadopsi
masyarakat. Pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk tindakan atau
upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk
kesehatan.
2.2.2 Community Mental Health Nursing (CMHN)
Manajemen adalah proses pelaksanaan kerja yang dilakukan melalui orang
(Gillies, 1994). Manajemen keperawatan adalah pendekatan sistem yang menjelaskan
sebagai suatu proses yang sejajar dan menunjang proses keperawatan. Proses
manajemen keperawatan selaras proses keperawatan meliputi tahapan pengumpulan
data (pengkajian), diagnosa atau identifikasi masalah kesehatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi hasil. Adanya keselarasan antara proses manajemen
keperawatan dengan proses asuhan keperawatan diharapkan keduanya saling
menopang dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang professional. Pelayanan
keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang ditujukan
untuk masyarakat yang membutuhkannya, sehingga manajemen pelayanan
keperawatan yang adekuat perlu diterapkan dalam mewujudkan pelayanan
keperawatan yang berkualitas (Keliat dan Akemat, 2011). Pelayanan Keperawatan
atau intervensi keperawatan untuk penanganan masalah gangguan jiwa berdasarkan
paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan lebih menekankan pada
CMHN memberikan perawatan dengan metode yang efektif dalam merespon
kebutuhan kesehatan jiwa individu, keluarga atau kelompok. Konsep dari community mental health nursing ditujukan kepada kesehatan jiwa secara kolektif bagi semua orang yang tinggal dimasyarakat (Mohr, 2006). Tujuan CMHN yaitu memberikan
pelayanan, konsultasi dan edukasi, informasi mengenai prinsip-prinsip kesehatan jiwa
kepada para agen komunitas lainnya, menurunkan angka risiko terjadinya gangguan
jiwa.
2.3 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa
Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat jiwa, disertai pengembangan lingkungan
yang mendukung pengembangan perilaku sehat jiwa. Pemberdayaan keluarga
diperlukan untuk membantu keluarga merawat pasien gangguan jiwa dan mengatasi
masalah dan beban dalam merawat pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan
keluarga dapat dilakukan di masyarakat dan tatanan pelayanan kesehatan
Upaya pemberdayaan keluarga bertujuan membantu keluarga dalam
menjalankan tugas kesehatan keluarga, yaitu (1) mengenal gangguan jiwa anggota
keluarganya, (2) menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan,
(3) merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, (4) merawat diri
sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), (5) memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa, (6) menggunakan
pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa dalam menjalankan tugas kesehatan
keluarga.
2.3.1 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga
Menurut Depkes RI (2006) pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada
pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, namun untuk berdayanya keluarga
yang mengalami gangguan jiwa harus didukung seluruh pihak yang terkait dengan
penanganan penderita gangguan jiwa. Kegiatan yang terkait adalah :
a. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa.
b. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
merawat pasien gangguan jiwa.
c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa.
d. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga.
e. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui
kerjasama lintas sektor.
f. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
pencatatan dan pelaporan.
g. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia
program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi
masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam
monitoring dan evaluasi.
2.3.2 Strategi Pemberdayaan Keluarga
Strategi yang harus dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga pasien
gangguan jiwa, antara lain:
a. Meningkatkan sosialisasi kebijakan, strategi dan materi program pemberdayaan
keluarga pasien gangguan jiwa pada seluruh stakeholder.
b. Mengoptimalkan peran dan fungsi-fungsi sektor terkait sesuai dengan tugas
kerja dan koordinasi program yang dilaksanakan secara sinkron dan sinergis
dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa.
c. Mengembangkan kelompok-kelompok jejaring dukungan keluarga (Family Support Network) yang berbasis wilayah, dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien gangguan jiwa.
d. Meningkatkan kemandirian dan kualitas keluarga pasien gangguan jiwa.
2.3.3 Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Family Psycho Education
Family Psychoeducation (FPE) adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Program
psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart dan
Laraia, 2005).
Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan pasien karena
keluarga yang akan merawat pasien dirumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki
anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka
panjang. Psikoedukasi keluarga ini merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada
penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga
keperawatan jiwa professional sebagai bagian dari keseluruhan tindakan klinik untuk
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat dan Akemat, 2011).
Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi kekambuhan pasien gangguan
kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan
terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan
anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan
keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga,
melatih keluarga untuk bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar
anggota keluarga atau orang lain (Keliat dan Akemat, 2011).
Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif
karena dalam terapi mengandung unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga
tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk
mengetahui gejala–gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi
anggota keluarga itu sendiri. Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan
pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik
pengajaran untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya
dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart
dan Laraia, 2005).
Aktifitas program psychoeducational untuk keluarga menurut Stuart dan Laraia (2005), dapat meningkatkan kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu :
Komponen didaktik: memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistim
kesehatan jiwa. Kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan yaitu keluarga
mampu mengetahui penyebab gangguan jiwa, tanda gejala gangguan jiwa akibatnya
Kebanyakan program pendidikan mempunyai batasan dan didesain terbatas
terutama untuk pola pikir dan perilaku dari keluarga. Yang paling penting dari
program psikoedukasi keluarga adalah bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan
dan keluarga memberi kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan
bersosialisasi dengan anggota yang lain dan profesi kesehatan mental. Psikoedukasi
keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga. Kenaikan kemampuan psikomotor
pada kelompok intervensi dimungkinkan karena terapi psikoedukasi keluarga yang
berkaitan dengan adanya komponen ketrampilan latihan yang terdiri dari :
komunikasi, latihan menyelesaikan konflik, latihan asertif, latihan mengatasi perilaku
dan mengatasi stress. Komponen latihan terdapat dalam sesi tiga yaitu demonstrasi
keluarga cara berinteraksi dan berkenalan dengan orang lain, memperagakan cara
beraktifitas dan meragakan cara memberikan obat pada pasien.
Peningkatan kemampuan psikomotor ini kemungkinan berkaitan dengan teori
belajar yang menjelaskan bahwa seorang belajar bukan saja dari pengalaman
langsung, tetapi dari peniruan, peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil
faktor-faktor kognitif dan lingkungan artinya seseorang mampu memiliki ketrampilan
tertentu bila terdapat jalinan positif dan stimuli yang diamati dan karakteristik diri
seseorang. Kemampuan psikomotor dalam merawat klien ditujukan pada kemampuan
keluarga untuk senantiasa memberi pujian dan penghargaan pada klien, berupaya
memberi dukungan pengobatan dengan membawa klien berobat ke pelayanan
Notoatmodjo (2007) menentukan bahwa kecakapan untuk menyelesaikan
problem praktis, meningkat pada usia 40-50 tahun. Kemampuan psikomotor
didapatkan sebagian besar keluarga mampu meragakan cara berinteraksi, berkenalan
dengan orang lain dan yang jarang dilakukan adalah mengontrol minum obat dan
melibatkan dalam aktifitas, karena klien masih dirawat di rumah sakit.
Penelitian Wardani dkk, (2006) dalam penelitian yang berjudul pengaruh
psikoedukasi terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien
halusinasi di Yogyakarta. Keluarga yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga
meningkatkan kemampuan yang bermakna sebesar 25,36 kali. Goldenberg (2004)
menyatakan bahwa psikoedukasi adalah terapi yang diberiakan untuk memberikan
informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan pada
mereka untuk meningkatkan ketrampilan, untuk dapat memahami dan meningkatkan
koping akibat gangguan jiwa yang dpat mengakibatkan masalah pada keluarga.
Lawrenece dan Veronika (2002) mengungkapkan terjadi peningkatan 33%
pada kelompok klien skizofrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi keluarga,
karena dalam psikoedukasi keluarga berisi tentang : peningkatan hubungan yang
positif antara anggota keluarga, meningkatkan stabilitas keluraga, menajemen stess
keluarga, kemampuan motorik keluarga melalu role play. Dengan demikian dapat
disimpulkan penelitian ini menjawab hipotesa bahwa terapi psikoedukasi keluarga
meningkatkan kemampuan keluarga secara bermakna dalam merawat klien isolasi
Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu mengenal
gangguan jiwa, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat (lingkungan tempat
tinggal) dan tatanan pelayanan kesehatan, yaitu puskesmas, rumah sakit umum daan
swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, dan rumah sakit jiwa.
a. Upaya Petugas Kesehatan di Masyarakat dalam Membantu Keluarga Mengenal
Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat adalah perawat dan dokter
Puskesmas yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga
kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal masalah,
dilakukan dengan cara:
1) Memberikan penyuluhan gangguan jiwa tentang: pengertian, penyebab,
tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa.
2) Mendeteksi pasien gangguan jiwa melalui pengkajian.
3) Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.
4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga.
5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.
6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.
b. Upaya Petugas Kesehatan di Pelayanan Kesehatan dalam Membantu Keluarga
Mengenal Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah
perawat dan dokter Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan swasta yang memiliki
fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, serta Rumah Sakit Jiwa, yang telah dilatih
mengenal masalah, dilakukan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dengan
cara:
1) Menginformasikan tentang gangguan jiwa: pengertian, penyebab, tanda dan
gejala, dan akibat dari gangguan jiwa, melalui informasi langsung pada
pengunjung, pembagian leaflet, pemasanganan poster.
2) Mendeteksi gangguan jiwa melalui pengkajian terhadap pasien yang
berkunjung ke Puskesmas, RS Umum dan swasta yang memiliki fasilitas
pelayanan kesehatan jiwa. Misalnya tenaga kesehatan mendeteksi pasien
yang bicara atau senyum-senyum sendiri, atau tanda dan gejala gangguan
jiwa lainnya, saat pasien sedang menunggu giliran panggilan untuk
pemeriksaan.
3) Menjelaskan kondisi gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.
4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga.
5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.
6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.
c. Keluarga Menetapkan Pelayanan Kesehatan Jiwa yang Akan Digunakan. Upaya
pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu menetapkan
pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan untuk merawat anggota yang
mengalami gangguan jiwa dan merawat dirinya sendiri (anggota keluarga yang
1) Mendiskusikan dan membantu keluarga untuk dapat menetapkan pelayanan
kesehatan jiwa untuk membantu proses penyembuhan pasien dan mengatasi
masalah serta beban keluarga.
2) Memotivasi keluarga untuk tetap menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
jiwa untuk penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga.
d. Keluarga Merawat Pasien (Anggota Keluarga yang Menjadi Care Giver)
Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk merawat diri sendiri
diperlukan agar keluarga tetap dapat memberikan perawatan terhadap anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat dan di
pelayanan kesehatan dapat membantu keluarga mengatasi masalah dan
mengurangi beban yang dialami dengan cara memberikan pendidikan kesehatan
untuk mengatasi masalah dan beban yang dirasakan keluarga, yaitu dengan cara:
memberikan psikoedukasi keluarga dan melatih manajemen stres.
e. Keluarga Memodifikasi Lingkungan yang Mendukung Penyembuhan Pasien
Gangguan Jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk
mampu memodifikasi lingkungan, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat
dan pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pengetahuan tentang cara
menciptakan kondisi suasana lingkungan (fisik dan non fisik) yang dapat
mendukung penyembuhan, mencegah kekambuhan, dan kepatuhan minum obat.
f. Keluarga Menggunakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa. Upaya tenaga
kesehatan dalam memfasilitasi keluarga pasien gangguan jiwa menggunakan
1) Menginformasikan pada keluarga tentang kondisi-kondisi pasien yang
membutuhkan perawatan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
2) Menginformasikan tentang pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk
mengatasi masalah keluarga.
3) Menginformasikan keberadaan lintas sektor yang dapat digunakan untuk
proses penyembuhan pasien.
4) Memotivasi keluarga menggunakan lintas sektor untuk proses penyembuhan
pasien.
5) Menginformasikan tentang jejaring dukungan keluarga yang dapat digunakan
untuk proses penyembuhan pasien.
6) Memotivasi keluarga untuk terlibat dalam jejaring dukungan keluarga.
2.3.4Kemampuan Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa
Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan
merupakan komponen dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan
sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok
atau orang orang disekitar pasien termasuk kader (Notoatmodjo, 2012). Keluarga
sebagai care giver bagi pasien harus memiliki kemampuan-kemampuan tentang cara merawat pasien harga diri rendah kronik.
Kemampuan yang harus dimiliki keluarga terdiri dari kemampuan memahami
dan mengerti tentang cara meningkatkan kemampuan positif dan kemampuan
memberikan bantuan dalam meningkatkan kemampuan positif. Kader kesehatan jiwa
diri. Kemampuan yang harus dimiliki kader adalah kemampuan dalam memberikan
dukungan, dorongan dan motivasi melakukan kegiatan positif, memberikan
reinforcement positif atas keberhasilan pasien melakukan kegiatan positif dan merujuk pasien bila ada penurunan kemampuan (Keliat, dkk, 2011).
Keluarga penderita gangguan jiwa perlu dimotivasi untuk menghadapi
keadaan secara realita, bahwa penderita gangguan jiwa membutuhkan dorongan agar
dapat berfungsi secara optimal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Peran serta
masyarakat melalui upaya promotif kesehatan jiwa sangat penting untuk mengurangi
stigma terhadap gangguan jiwa, tanpa peran serta masyarakat maka upaya kesehatan
jiwa tidak akan mencapai hasil seperti yang diinginkan. Misal perlu dijalin kerjasama
dengan pesantren, baik promosi dan prevensi maupun terapi gangguan jiwa. Hal ini
sangat penting karena sampai saat ini pesantren masih merupakan institusi yang
dipercaya oleh masyarakat dan di
Dan hal yang paling penting adalah perubahan paradigma masyarakat agar tidak
membiarkan kelompok resiko terkena gangguan jiwa ini tanpa perawatan.
Orang yang mengalami gangguan jiwa memerlukan perhatian dan pengertian
yang lebih, kasih sayang dan perhatian serta pengertian yang sungguh-sungguh
merupakan kunci utama dalam merawat pasien gangguan jiwa. Pada aspek yang lain,
keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus diberi penjelasan untuk dapat
menerima kondisi pasien
Keluarga sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung
utama dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah. Oleh
karena itu keluarga memiliki peran penting didalam upaya pencegahan kekambuhan
penyakit pada klien jiwa. Melihat fenomena diatas, maka keluarga perlu mempunyai
pemahaman mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan
penyuluhan guna memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga.
Dalam pelayanan kesehatan jiwa modern, petugas yang melakukan perawatan
dan pengobatan memiliki tiga kewajiban terhadap pasien, yaitu (1) kewajiban
memberikan perawatan dan pengobatan yang baik dan bermartabat untuk mencapai
hasil sebaik mungkin dalam upaya mengurangi atau menghilangkan gejala,
mengembalikan fungsi dan kemampuan yang dimiliki pasien sebelumnya, atau
sebagai tindakan rehabilitasi; (2) petugas memiliki kewajiban untuk membentuk dan
mempertahankan pengobatan dan perawatan yang komprehensif kepada semua pasien
yang membutuhkan; dan (3) kewajiban memperbaiki pengetahuan, baik tentang
diagnostik maupun perawatan, dan memberikan pasien sebuah perawatan dan
pengobatan sesuai kebutuhan, fleksibel sesuai dengan metode yang efektif (Aiyub,
2012).
Orang yang bekerja dengan pasien gangguan jiwa harus memiliki rencana
tindakan yang bagus, karena tujuan utama pelayanan kesehatan jiwa adalah
menstimulasi perawatan pasien secara mandiri, penuh dukungan, dan membangun
kehidupannya, meningkatkan kemandirian, rasa memiliki, dan memperkuat
kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Hasil yang diharapkan
dari tindakan perawatan adalah pasien memiliki kemampuan mengatasi stres dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian petugas harus berfungsi sebagai motivator
bagi pasien dalam mengembangkan kepribadian mereka (Aiyub, 2012).
2.3.5Komponen Psikoedukasi dalam Perawatan Gangguan Jiwa
Psikoeduksi dikembangkan oleh Mottaghipour dan Bickerton pada tahun 2005
ahli kesehatan mental orang dewasa bekerjasama dengan Australiaan National
Standards for Mental Health Services, berupa kerangka kebutuhan pelayanan
keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental yang disebut Pyramid of
Family Care.
Menurut Mottaghipour dan Bickerton (2005), psikoedukasi adalah merupakan
suatu tindakan yang diberikan kepada individu dan keluarga untuk memperkuat
strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental.
Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai tempat pada berbagai kelompok atau
rumah tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media berupa catatan seperti poster,
booklet, leaflet, vidio, dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Proses pemberian
psikoedukasi sangat diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci keberhasilan
intervensi. Perawat dapat membangun hubungan saling percaya agar dapat
melakukan pengkajian yang tepat dan memberikan pengertian terhadap keluarga
bagaimana psikoedukasi memberikan keuntungan pada mereka, dapat mengatasi dan
Psikoedukasi adalah suatu tindakan yang diberikan untuk memperbaiki atau
meningkatkan respons positif sesuai yang diharapkan yang difokuskan pada
mempertahankan keutuhan psikososial (self concept needs), perubahan fungsi atau peran dan ketergantungan atau kebutuhan interaksi. Psikoedukasi dapat diberikan
melalui pendidikan kesehatan dengan metode atau cara eksplorasi, asesmen, diskusi,
bermain peran dan demonstrasi.
Menurut Albin (2001), pemberian psikoedukasi mengenai
perubahan-perubahan yang dialami selama hidup dan bersikap terbuka dengan orang lain, serta
penggunaan koping yang efektif dapat membantu untuk mengurangi kecemasan,
membuat perasaan menjadi lebih baik dan dapat membantu memecahkan masalah
yang dihadapi, mengurangi depresi dan menumbuhkan rasa percaya diri.
Menurut Bastable (2002), pendidikan keluarga dalam bentuk psikoedukasi
merupakan pendidikan atau pelatihan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa
yang akan membantu orang tersebut dalam proses pengobatan dan rehabilitasi.
Program psikoedukasi keluarga diimplementasikan dengan pendekatan secara
terstruktur dan eksperiantial. Program pendidikan dianggap berhasil apabila
pengetahuan keluarga meningkat secara signifikan.
Jewell et al (2009) menyatakan bahwa psikoedukasi yang mampu memenuhi
kebutuhan anggota keluarga menunjukkan hasil yang konsisten terhadap peningkatan
pemulihan penderita. Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah
komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan informasi
menyediakan pelatihan tentang komunikasi, penyelesaian konflik, pemecahan
masalah, asertif, manajemen perilaku dan manajemen stres; komponen emosional,
yaitu memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan disertai dukungan
emosional; serta komponen sosial, yaitu peningkatan penggunaan jejaring formal dan
non formal.
Menurut Jewell et al (2009) serta Stuart dan Laraia (2005) upaya mendukung
keberhasilan psikoedukasi keluarga yang mengalami gangguan jiwa perlu didesain
dengan komponen-komponen sebagai berikut :
a. Komponen Didaktik
Komponen didaktik ini merupakan metode memberikan informasi dengan
cara yang tidak menakutkan. Lama waktu penyampaian informasi ini disesuaikan
dengan kemampuan penerima, metode pengajaran dilakukan secara bervariasi untuk
memperkuat dan mempertahankan minat peserta, penjelasan diberikan menggunakan
bahasa yang sederhana. Peserta penyuluhan diberikan waktu istirahat sebagai
kesempatan untuk dapat digunakan mempraktekkan apa yang telah diinformasikan.
b. Komponen Keterampilan
Komponen keterampilan merupakan metode yang dilakukan dengan
pendekatan behavioural. Komponen ini menekankan pada keterampilan melalui suatu
proses belajar dengan 4 tahap, yaitu : modeling keterampilan oleh para terapis atau
tenaga penyuluh, permainan peran dan mempraktekkan keterampilan, para peserta
pasien gangguan jiwa, para penyuluh mendapatkan umpan balik tenang keberhasilan
dalam mempelajari keterampilan (Robert dan Greene, 2008).
c. Komponen Emosi
Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi
keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu
menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003)
mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari
3 aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya
family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi
kebutuhan otonomi individu.
Hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan
mengontrol emosi dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa : (1) membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita
gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. (2) pendekatan secara spiritual
membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa. (3) mencari bantuan
dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi
yang benar tentang gangguan jiwa. (4) komunikasi sangat penting untuk membangun
kepercayaan antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik
perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan mengerti bahwa kondisi yang
mereka alami membahayakan apabila penderita gangguan jiwa mempercayai untuk
mengungkapkan perasaannya.
d. Komponen Proses Keluarga
Komponen proses keluarga merupakan i
Kontak dengan klien dan keluarga dalam keperawatan jiwa menjadi sangat
penting, karena intervensi dan implementasi asuhan keperawatannya memfokuskan
secara langsung kepada klien dan keluarga, hal tersebut menjadi sangat penting
terutama untuk keluarga intensitas pemberian pendidikan kesehatan melalui
psikoedukasi keluarga mempunyai peranan penting untuk dilaksanakan.
ntervensi selanjutnya adalah terapi
psikoedukasi kepada keluarga klien dan hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan
meminimkan tingkat stressor yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Intervensi ini dapat dikatakan
berhasil karena keluarga sangat kooperatif terhadap pelaksanaan terapi dan keluarga klien mempunyai
motivasi yang tinggi untuk mendukung kesembuhan klien. Intervensi pertama yang dilakukan oleh terapi ini
hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan meminimkan tingkat stresor yang dapat
mengakibatkan kekambuhan.
Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat menyebabkan
stres pada individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres seseorang,
yaitu: (1) sifat menerima keadaan; (2) pengalaman dalam mengatasi stres;
(3) karakteristik individu; (4) persepsi tentang stres; (5) strategi koping; dan
(6) dukungan sosial. Koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan
sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Koping merupakan beberapa respon
yaitu: (1) fokus masalah; (2) pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan
(4) pengaturan diri.
Koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk
mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses koping,
individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada lingkungannya;
(2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung lingkungan, serta
kemampuan untuk mengorganisasikan elemen-elemen tersebut; dan (3) menggunakan
strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul dalam
situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor penyebab stres, seseorang
menggunakan strategi koping untuk mengurangi tekanan yang timbul. Untuk
menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan
proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi
keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan
keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping
keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai
fungsi-fungsi keluarganya secara optimal.
e. Komponen Sosial
Dukungan sosial sangat di butuhkan oleh keluarga dalam merawat anggota
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, dukungan yang di terima keluarga
berupa perhatian bantuan yang di terima dari luar, informasi yang di terima dari luar
keluarga, bantuan financial yang diterima dari luar keluarga dan bantuan keagamaan
Dukungan sosial yang meliputi jaringan kerja spontan dan informal,
dukungan-dukungan terorganisir non tenaga kesehatan dan dukungan terorganisir dari
tenaga kesehatan . Bentuk dukungan sosial yang diberikan adalah dukungan
pemeliharaan dan emosi bagi anggota keluarga. Menurut Magliano (2008), tingkat
beban sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya dukungan sosial yang diterima oleh
caregiver. Dukungan sosial dapat membantu keluarga mengembangkan strategi koping yang efektif dan menurunkan stress yang dirasakan.
Dukungan sosial yang di terima keluarga dalam merawat anggota keluarganya
dengan halusinasi merupakan akumulasi dari dukungan-dukungan yang di peroleh
dari luar keluarganya, di susun berdasarkan kategori-kategori sebagai berikut
dukungan dalam bentuk motivasi, informasi yang di peroleh dari luar keluarga,
bantuan materi dan bantuan dalam bentuk spiritual yang berasal dari luar keluarga.
Bantuan keagamaan dari masyarakat, keyakinan terhadap Tuhan dan berdoa
didefinisikan oleh keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga mengatasi
stressor yang berkaitan dengan kesehatan, selain itu dukungan spiritual juga
membantu keluarga mentoleransi adanya ketegangan yang kronis dan lama dalam
keluarga (Friedman, 1998).
Berbagai program menggunakan bermacam teknik untuk menerapkan berbagai strategi di atas.
Dibandingkan dengan berbagai terapi standar (biasa hanya pemberian obat), terapi keluarga ditambah
pemberian obat umumnya menurunkan tingkat kekambuhan dalam periode satu hingga dua tahun. Temuan
positif ini diperoleh terutama dalam berbagai studi dimana penanganan berlangsung sekurang-kurangnya
sembilan bulan (Davison, Neale, & Kring, 2006)
2.4.1 Definisi Keluarga
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan
sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial
yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam
dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh
adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib,
2008).
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya
dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk
homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya
dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari
gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya.
Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu
perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat
memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 ).
Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya,
keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan
berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi
mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan
2.4.2 Fungsi Keluarga
Menurut Suprajitno (2004), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat
dijalankan keluarga : (a) fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah
mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa
depan anak bila kelak dewasa nanti. (b) fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam
menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi
anggota masyarakat yang baik. (c) fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak
dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota
keluarga merasa terlindungi dan merasa aman. (d) fungsi perasaan, keluarga menjaga
secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam
berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya sehingga ada saling pengertian
satu sama lain. (f) fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota
keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada
kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah
dunia ini. (g) fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber
kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya. Dan (h) fungsi biologis,
keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
2.4.3 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki
tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara. Tugas
1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga
mengenal perkembangan emosional dari anggota keluarganya dan tingkah laku
ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat
hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa.
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah
keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan
normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus
dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera
membawanya ke petugas kesehatan.
3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak
dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita
gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang
kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman
dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga
kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas
kesehtan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus
memiliki banyak informasi mengenai kesehtan jiwa anggota keluarganya dari
lembaga petugas kesehatan yang ada.
Rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan memulangkan klien ke
pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh
kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan
berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan
perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien dengan perawatan pasien dengan
gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama, terutama
pasien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurangnya keterlibatan
keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap
dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.
Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ di awali
dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian.
Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan
keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga
berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya
yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka
menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang palng
banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa
ditengah-tengah keluarga mereka (Francesca, 2010).
Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji tentang kesipan menerima pasien
gangguan jiwa adalah sebagai berikut :
Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung
jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien
dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak
keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran
yang paling penting (Depkes RI, 2005).
Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan berbagai
pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka dalam
keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota
keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seterusnya. Perlakuan-perlakuan
keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan,
apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan
kekambuhan kembali.(Depkes RI, 2005 ).
Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan untuk
kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali
mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan
untuk mendukung kesembuhan penderita (Huda, 2012).
Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu menegetahui dan
menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan
bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti
minum obat (berobat) apabila gejal-gejala sudah menghilang / berkurang, juga
medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah.
Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian
obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi
dan pencegahan kekambuhan (Huda, 2012).
b. Sruktur keluarga
Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan
anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi
yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana
emosi yang hangat, saling percaya, menghargai, memperhatikan dan menerima.
Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut
keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut
oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga (Depkes RI, 2005).
Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan atau
pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap
berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan
atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan
cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik. Tetapi
yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis,
bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan
dengan penderita memicu kekambuhan (Depkes RI, 2005).
Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau
memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang
ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang
terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka
dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting (Depkes RI,
2005). Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada
penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita
gangguan mental menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu
yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita
akan merasa dikucilkan. Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap
hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Depkes RI, 2005).
Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian
dari orang yang sisanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai
sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu
obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya
kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan
keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga
mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul
pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan
keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap
keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang
sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung
kesembuhan pasien (Depkes RI, 2005).
Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang
memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat
kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”,
sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi
ditelantarkan oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis
untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan
jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita
itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti
rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi
mereka adalah berada di tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang
yang dicintainya. Yang mereka btuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan,
cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan
orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya.
Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap
penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial
kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial,
dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan
sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa