• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa - Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Terhadap Kemampuan Merawat Pasien Gangguan Jiwa di Kota Medan pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Jiwa

2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa

Konsep gangguan jiwa dari the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) adalah : Mental disorder is conceptualized as clinically significant behavioural or psychological syndrome or pattern that occurs in an individual and that is associated with present distress (eg., a painful symptom) or disability (ie., impairment in one or more important areas of functioning) or with a significant increased risk of suffering death, pain, disability, or an important loss of freedom.

Artinya, gangguan jiwa dikonseptualisasikan secara klinis sebagai sindrom psikologis

atau pola behavioral yang terdapat pada seorang individu dan diasosiasikan dengan

distress (misalnya simtom yang menyakitkan) atau disabilitas (yakni, hendaya di

dalam satu atau lebih wilayah fungsi yang penting) atau diasosiasikan dengan resiko

mengalami kematian, penderitaan, disabilitas, atau kehilangan kebebasan diri yang

penting sifatnya, yang meningkat secara signifikan (APA-DSM, 2000).

Konsep “disability” dari The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders adalah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup

sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup

(2)

kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak digunakan sebagai komponen esensial untuk didiagnosis gangguan jiwa, oleh karena itu hal ini berkaitan

dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Dari konsep tersebut di atas, dapat

dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan jiwa meliputi : (a) adanya gejala klinis

yang bermakna berupa sindrom atau pola perilaku dan sindrom atau pola psikologik.

(b) gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, disfungsi organ tubuh, dan lain-lain

dan (c) gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan

kelangsungan hidup. Menurut Depkes RI (2003) gangguan jiwa adalah gangguan

pikiran, perasaan, dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

terganggunya fungsi sehari-hari (fungsi pekerjaan dan fungsi sosial) dari orang

tersebut. Sedangkan menurut Muslim (2002) gangguan jiwa merupakan sindrom atau

pola prilaku atau psikologi seseorang yang secara klinis cukup bermakna dan yang

secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau

lebih fungsi penting dari manusia.

Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri penyakit degeneratif,

kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan

yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam

(3)

menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari,

2006).

Penggunaan istilah gangguan jiwa maupun gangguan mental sering dipakai

secara bergantian. Penelusuran istilah gangguan jiwa justru akan memunculkan

mental illness atau mental disorder. Mental illness atau sakit jiwa merupakan kondisi gangguan secara medis berkaitan dengan proses berpikir, suasana hati, kemampuan

untuk berhubungan dengan orang lain, dan fungsi sehari-hari sebagai individu

(National Alliance on Mental Illness, 2012). Sedangkan mental disorder atau gangguan mental menekankan pada permasalahan yang lebih kompleks dari

gangguan individu yakni gangguan dari luar individu yang mempengaruhi individu

seperti: keluarga, budaya, ekonomi, dan masyarakat. Penggunaan istilah gangguan

mental saat ini sering digunakan karena lebih menekankan pada upaya kesehatan

mental (mulai tahun 1600) yang merupakan upaya penyembuhan, perawatan, dan

pemeliharaan pada permasalahan gangguan mental individu yang menyangkut

permasalahan pribadi maupun di luar diri individu termasauk keluarga dan

masyarakat sekitar.

2.1.2 Faktor Penyebab Gangguan Jiwa

Penyebab gangguan jiwa bermacam-macam, ada yang bersumber dari

berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan seperti diperlakukan tidak

adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang

dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang

(4)

Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab terjadinya gangguan

jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi

karena tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa

contoh dari kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk afiliasi,

yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok.

Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga,

kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses

mengerjakan sesuatu dan lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang

mengungkapkan bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari

perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam

hidup. Kegagalan yang terus-menerus ini akan menyebabkan kecemasan dan

ketegangan emosi.

Dari pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan jiwa seperti yang

dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh karena

ketidak mampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya

kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah

diri.

Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung timbulnya

gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa aspek yang saling

mendukung yang meliputi biologis, psikologis, sosial budaya atau lingkungan. Tidak

(5)

seseorang dapat terjadi penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang

berdiri sendiri. Mengetahui sebab-sebab gangguan jiwa penting untuk mencegah dan

mengobatinya.

Proses mengenai timbulnya gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor.

Suryani (2007) mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor

yang berperan sama yaitu :

1. Faktor Biologik

Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti

kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran yang terkait dengan kelainan-kelainan

neurotransmiter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya

dengan gangguan jiwa.

2. Faktor Psikologik

Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental

sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan orang itu. Hal ini sangat

tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial,

perubahan sosial dan tingkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman

hidup seseorang. Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi

interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku

yang sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi

merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.

Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan

(6)

kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan

masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan

perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai

dewasa.

3. Faktor Sosio-budaya

Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan

terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu

sosio-budaya tertentu berbeda dengan sosio-budaya lainnya. Adanya perbedaan satu sosio-budaya

dengan budaya yang lainnya, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan

distribusi dan tipe gangguan jiwa. Inkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian

berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Prubahan budaya yang cepat seperti

identifikasi, kompetisi, inkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan

jiwa. Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan

jiwa. Penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan

prevalensi gangguan afektif.

2.1.3 Tanda atau Gejala Gangguan Jiwa

Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah :

a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,

perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.

b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu

(7)

padahal orang di sekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya

tidak ada hanya muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang

sangat berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bias mendengar

sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada

menurut orang lain.

c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat

keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat

diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau dan acak-acakan.

d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan (waham

kebesaran), tetapi di lain waktu ia bias merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya

(depresi) sampai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.

e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang

berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat,

melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam

lama tidak bergerak atau melakukan gerakan aneh. (Yosep, 2007).

Gangguan kesehatan jiwa sering ditandai dengan sikap kurang percaya diri

dan orang lain, perasaaan malu, ragu-ragu, dan perasaan bersalah yang berlebihan.

Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa kesehatan jiwa sangat tergantung pada

seberapa jauh seorang individu mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki

untuk mengembangkan sifat-sifat positif dalam berbagai fase kehidupan. Atau kita

(8)

dari gejala gangguan jiwa, yang disertai dengan rendahnya konflik psikologi, dan

memiliki kepuasan dalam bekerja serta mampu menghargai dan mencintai orang lain

Penderita gangguan jiwa biasanya ditandai dengan kelemahan prilaku,

kelemahan proses pikir, kelemahan ekspresi emosi, atau pembicaraan yang sulit

dimengerti, atau mengisolasi diri dari lingkungan. Para penderita gangguan jiwa

mengalami fluktuasi periode baik dan buruk secara ekstrim. Mereka yang mengalami

gangguan jiwa biasanya lebih mudah terstigmatisasi, yang ditandai dengan rendahnya

status sosial, dan penuh prasangka. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan untuk

menilai diri sendiri sebagai orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga sulit

mencari pertolongan, atau sulit untuk mengenal diri sendiri dan orang lain (APA,

2001).

Gangguan psikis berbeda dengan gangguan jiwa, dimana gangguan psikis

biasanya ditandai dengan beberapa gejala seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur

dan lain-lain. Gangguan ini sangat tergantung pada tipe dan beratnya gejala, dan

dapat mempengaruhi kemampuan menyelesaikan masalah, kesenangan dalam hidup,

dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Gejala yang dialami orang dengan

gangguan psikis belum bisa digunakan untuk menegakkan sebuah diagnosa.

Gangguan psikis merupakan reaksi normal terhadap sebuah kesulitan dalam

kehidupan. Sementara gangguan jiwa merujuk pada kesulitan psikis yang sudah

mengarah pada sebuah diagnosa (Aiyub, 2012). Sementara ketika orang sakit dan

merasa stres berat dalam hidup, dan orang kurang mampu menilai realitas kenyataan,

(9)

2.1.4 Jenis-Jenis Gangguan Jiwa

Dalam ICD X (International Classification of Diseases–X), jenis gangguan jiwa tersebut antara lain : (a) gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan

narkotika dan zat- zat adiktif lainnya, (b) skizofrenia dan gangguan psikotik lain, (c)

gangguan afektif (depresi, mania), (d) ansietas (kecemasan yang tidak beralasan),

gangguan somatoform (psikosomatis), (e) gangguan mental organik (demensia,

delirium, epilepsi, pasca stroke, dll). (f) gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja

(gangguan perkembangan belajar, gangguan tingkah laku, hiperaktifitas, autisme,

gangguan cemas dan depresi).

Penggolongan gangguan jiwa sangatlah beraneka ragam menurut para ahli

berbeda-beda dalam pengelompokannya, menurut Maslim (2002) macam-macam

gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan mental organik dan simtomatik,

skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan,

gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan

dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa

dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan

emosional dengan onset masa kanak dan remaja.

a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan

disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk

psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian

(10)

(Maramis, 2005). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan

realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini

secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bias timbul

serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak

diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak atau cacat.

b. Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam

perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur

dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak

berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan dan Sadock, 2005). Depresi juga dapat

diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang

ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak

berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Depresi adalah suatu

perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan

yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho,

2008). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai

karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa

seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidakberdayaan, harga diri

rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang.

Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul

(11)

c. Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap

orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi

sebaik-baiknya Maslim (2002). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan

takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik. Penyebabnya

maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan

dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Stuart dan

Sundeen (2009) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat

tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.

d. Gangguan Kepribadian

Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan

gejala-gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan inteligensi

tinggi ataupun rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa gangguan kepribadian, neurosa

dan gangguan inteligensi sebagian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau

tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid,

kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif,

kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif, kepribadian histerik, kepribadian

astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat.

e. Gangguan Mental Organik

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh

(12)

dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang

terutama diluar otak.

Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi

mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila

hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah

yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya.

Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat

gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan

menahun.

f. Gangguan Psikosomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah

(Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan

sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang

dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan

dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi

faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.

g. Retardasi Mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak

lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama

masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara

(13)

2.2 Penanganan dan Perawatan Gangguan Jiwa

Penanganan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan beberapa terapi yang

mempunyai teknik dan metode tertentu :

a. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada

Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental

dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh

terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2005).

Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis,

anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-panik, dan anti

obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer,

neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika (Hawari, 2005).

b. Terapi somatik

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat gangguan jiwa

sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu system tubuh lain. Salah satu bentuk

terapi ini adalah Electro Convulsive Therapy (ECT). Terapi elektrokonvulsif merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada

otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup

menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik

tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan

(14)

(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan.

(Daulima, 2006).

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang

bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku

maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Ada beberapa jenis terapi modalitas,

antara lain:

(1) Terapi individual, terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa

dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan

seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat

dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah

hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan

sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan

tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.

Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu

menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan

mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan

cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

2) Terapi lingkungan. Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata

lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku

maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua

(15)

kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan

pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.

3) Terapi Kognitif. Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan

sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang

diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian

dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak

akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien

mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu

memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan

tersebut. Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang

diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun

perubahan kognitif.

4) Terapi Keluarga. Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh

anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi

keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu

sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak

bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi

keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi

dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut

digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga

mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi

(16)

mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan

fungsi keluarga seperti yang seharusnya.

5) Terapi Kelompok. Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang

dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui

media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan

sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran

diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku

maladaptive. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah

kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat

oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat.

Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model,

Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis, Pengendalian diri dan Terapi

aversi atau rileks kondisi.

6) Terapi Bermain. Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa

anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari

pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat

perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta

melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.

yang komprehensif, holistik dan paripurna berfokus pada masyarakat yang

(17)

difokuskan pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang

pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial

dan gangguan jiwa dan pencegahan tersier pada pasien gangguan jiwa dengan proses

pemulihan (Videbeck, 2008)

Varcarolis (2006) pelayanan

(continuity of care) dari kondisi

maupun di rumah sakit, (di mana saja orang berada), dari dalam kandungan sampai

memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anggota masyarakat

dan yang mengalami gangguan jiwa dapat dipertahankan di lingkungan masyarakat

serta tidak perlu dirujuk segera ke rumah sakit jiwa

pengetahuan penanganan psikis diharapkan dapat berperan sebagai pendeteksi awal

gangguan psikis dan kejiwaan yang ada di lapangan, yang selanjutnya

mengalami masalah psikososial agar segera dibawa ke

perawatan lanjutan dengan pendekata(CMHN).

2.2.1 Pendekatan Model Konsep Keperawatan Jiwa dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa di Masyarakat

Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan

dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan informasi, memberikan

kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi

kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku kesehatan yang berhasil diadopsi

(18)

masyarakat. Pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk tindakan atau

upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk

kesehatan.

2.2.2 Community Mental Health Nursing (CMHN)

Manajemen adalah proses pelaksanaan kerja yang dilakukan melalui orang

(Gillies, 1994). Manajemen keperawatan adalah pendekatan sistem yang menjelaskan

sebagai suatu proses yang sejajar dan menunjang proses keperawatan. Proses

manajemen keperawatan selaras proses keperawatan meliputi tahapan pengumpulan

data (pengkajian), diagnosa atau identifikasi masalah kesehatan, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi hasil. Adanya keselarasan antara proses manajemen

keperawatan dengan proses asuhan keperawatan diharapkan keduanya saling

menopang dalam mewujudkan pelayanan keperawatan yang professional. Pelayanan

keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang ditujukan

untuk masyarakat yang membutuhkannya, sehingga manajemen pelayanan

keperawatan yang adekuat perlu diterapkan dalam mewujudkan pelayanan

keperawatan yang berkualitas (Keliat dan Akemat, 2011). Pelayanan Keperawatan

atau intervensi keperawatan untuk penanganan masalah gangguan jiwa berdasarkan

paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan lebih menekankan pada

(19)

CMHN memberikan perawatan dengan metode yang efektif dalam merespon

kebutuhan kesehatan jiwa individu, keluarga atau kelompok. Konsep dari community mental health nursing ditujukan kepada kesehatan jiwa secara kolektif bagi semua orang yang tinggal dimasyarakat (Mohr, 2006). Tujuan CMHN yaitu memberikan

pelayanan, konsultasi dan edukasi, informasi mengenai prinsip-prinsip kesehatan jiwa

kepada para agen komunitas lainnya, menurunkan angka risiko terjadinya gangguan

jiwa.

2.3 Pemberdayaan Keluarga dalam Penanganan Gangguan Jiwa

Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran,

kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat jiwa, disertai pengembangan lingkungan

yang mendukung pengembangan perilaku sehat jiwa. Pemberdayaan keluarga

diperlukan untuk membantu keluarga merawat pasien gangguan jiwa dan mengatasi

masalah dan beban dalam merawat pasien gangguan jiwa. Upaya pemberdayaan

keluarga dapat dilakukan di masyarakat dan tatanan pelayanan kesehatan

Upaya pemberdayaan keluarga bertujuan membantu keluarga dalam

menjalankan tugas kesehatan keluarga, yaitu (1) mengenal gangguan jiwa anggota

keluarganya, (2) menetapkan pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan,

(3) merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, (4) merawat diri

sendiri (anggota keluarga yang menjadi care giver), (5) memodifikasi lingkungan keluarga yang mendukung penyembuhan pasien gangguan jiwa, (6) menggunakan

(20)

pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa dalam menjalankan tugas kesehatan

keluarga.

2.3.1 Ruang Lingkup Pemberdayaan Keluarga

Menurut Depkes RI (2006) pemberdayaan keluarga ini dibatasi pada

pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa, namun untuk berdayanya keluarga

yang mengalami gangguan jiwa harus didukung seluruh pihak yang terkait dengan

penanganan penderita gangguan jiwa. Kegiatan yang terkait adalah :

a. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam

pemberian informasi dan psikoedukasi masalah kesehatan jiwa.

b. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam

merawat pasien gangguan jiwa.

c. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam

pemberian dukungan psikologis pada keluarga pasien gangguan jiwa.

d. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

(21)

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam

peningkatan kemandirian melalui jejaring dukungan keluarga.

e. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa melalui

kerjasama lintas sektor.

f. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam

pencatatan dan pelaporan.

g. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petugas kesehatan, penyedia

program kesehatan, lintas program, lintas sektor, kader kesehatan, dan organisasi

masyarakat serta pihak swasta yang peduli terhadap kesehatan jiwa dalam

monitoring dan evaluasi.

2.3.2 Strategi Pemberdayaan Keluarga

Strategi yang harus dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga pasien

gangguan jiwa, antara lain:

a. Meningkatkan sosialisasi kebijakan, strategi dan materi program pemberdayaan

keluarga pasien gangguan jiwa pada seluruh stakeholder.

b. Mengoptimalkan peran dan fungsi-fungsi sektor terkait sesuai dengan tugas

(22)

kerja dan koordinasi program yang dilaksanakan secara sinkron dan sinergis

dalam pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa.

c. Mengembangkan kelompok-kelompok jejaring dukungan keluarga (Family Support Network) yang berbasis wilayah, dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga pasien gangguan jiwa.

d. Meningkatkan kemandirian dan kualitas keluarga pasien gangguan jiwa.

2.3.3 Upaya Pemberdayaan Keluarga Melalui Edukasi Family Psycho Education

Family Psychoeducation (FPE) adalah tindakan keperawatan spesialis yang tepat untuk diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami

gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Program

psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart dan

Laraia, 2005).

Keluarga menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan pasien karena

keluarga yang akan merawat pasien dirumah. Terlebih untuk keluarga yang memiliki

anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan perawatan jangka

panjang. Psikoedukasi keluarga ini merupakan sebuah metode yang berdasarkan pada

penemuan klinik terhadap pelatihan keluarga yang bekerjasama dengan tenaga

keperawatan jiwa professional sebagai bagian dari keseluruhan tindakan klinik untuk

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Keliat dan Akemat, 2011).

Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi kekambuhan pasien gangguan

(23)

kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan

terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa. Meningkatkan pengetahuan

anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan

keluarga dalam upaya menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga,

melatih keluarga untuk bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar

anggota keluarga atau orang lain (Keliat dan Akemat, 2011).

Terapi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan kognitif

karena dalam terapi mengandung unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga

tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga untuk

mengetahui gejala–gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi

anggota keluarga itu sendiri. Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan

pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik

pengajaran untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya

dengan mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart

dan Laraia, 2005).

Aktifitas program psychoeducational untuk keluarga menurut Stuart dan Laraia (2005), dapat meningkatkan kemampuan terdapat unsur didaktik yaitu :

Komponen didaktik: memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan sistim

kesehatan jiwa. Kemampuan kognitif yang mengalami peningkatan yaitu keluarga

mampu mengetahui penyebab gangguan jiwa, tanda gejala gangguan jiwa akibatnya

(24)

Kebanyakan program pendidikan mempunyai batasan dan didesain terbatas

terutama untuk pola pikir dan perilaku dari keluarga. Yang paling penting dari

program psikoedukasi keluarga adalah bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan

dan keluarga memberi kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan dan

bersosialisasi dengan anggota yang lain dan profesi kesehatan mental. Psikoedukasi

keluarga sangat efektif diberikan kepada keluarga. Kenaikan kemampuan psikomotor

pada kelompok intervensi dimungkinkan karena terapi psikoedukasi keluarga yang

berkaitan dengan adanya komponen ketrampilan latihan yang terdiri dari :

komunikasi, latihan menyelesaikan konflik, latihan asertif, latihan mengatasi perilaku

dan mengatasi stress. Komponen latihan terdapat dalam sesi tiga yaitu demonstrasi

keluarga cara berinteraksi dan berkenalan dengan orang lain, memperagakan cara

beraktifitas dan meragakan cara memberikan obat pada pasien.

Peningkatan kemampuan psikomotor ini kemungkinan berkaitan dengan teori

belajar yang menjelaskan bahwa seorang belajar bukan saja dari pengalaman

langsung, tetapi dari peniruan, peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil

faktor-faktor kognitif dan lingkungan artinya seseorang mampu memiliki ketrampilan

tertentu bila terdapat jalinan positif dan stimuli yang diamati dan karakteristik diri

seseorang. Kemampuan psikomotor dalam merawat klien ditujukan pada kemampuan

keluarga untuk senantiasa memberi pujian dan penghargaan pada klien, berupaya

memberi dukungan pengobatan dengan membawa klien berobat ke pelayanan

(25)

Notoatmodjo (2007) menentukan bahwa kecakapan untuk menyelesaikan

problem praktis, meningkat pada usia 40-50 tahun. Kemampuan psikomotor

didapatkan sebagian besar keluarga mampu meragakan cara berinteraksi, berkenalan

dengan orang lain dan yang jarang dilakukan adalah mengontrol minum obat dan

melibatkan dalam aktifitas, karena klien masih dirawat di rumah sakit.

Penelitian Wardani dkk, (2006) dalam penelitian yang berjudul pengaruh

psikoedukasi terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien

halusinasi di Yogyakarta. Keluarga yang mendapatkan terapi psikoedukasi keluarga

meningkatkan kemampuan yang bermakna sebesar 25,36 kali. Goldenberg (2004)

menyatakan bahwa psikoedukasi adalah terapi yang diberiakan untuk memberikan

informasi terhadap keluarga yang mengalami distress, memberikan pendidikan pada

mereka untuk meningkatkan ketrampilan, untuk dapat memahami dan meningkatkan

koping akibat gangguan jiwa yang dpat mengakibatkan masalah pada keluarga.

Lawrenece dan Veronika (2002) mengungkapkan terjadi peningkatan 33%

pada kelompok klien skizofrenia setelah diberikan terapi psikoedukasi keluarga,

karena dalam psikoedukasi keluarga berisi tentang : peningkatan hubungan yang

positif antara anggota keluarga, meningkatkan stabilitas keluraga, menajemen stess

keluarga, kemampuan motorik keluarga melalu role play. Dengan demikian dapat

disimpulkan penelitian ini menjawab hipotesa bahwa terapi psikoedukasi keluarga

meningkatkan kemampuan keluarga secara bermakna dalam merawat klien isolasi

(26)

Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu mengenal

gangguan jiwa, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat (lingkungan tempat

tinggal) dan tatanan pelayanan kesehatan, yaitu puskesmas, rumah sakit umum daan

swasta yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, dan rumah sakit jiwa.

a. Upaya Petugas Kesehatan di Masyarakat dalam Membantu Keluarga Mengenal

Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat adalah perawat dan dokter

Puskesmas yang telah dilatih tentang pelayanan kesehatan jiwa. Upaya tenaga

kesehatan di masyarakat dalam membantu keluarga mengenal masalah,

dilakukan dengan cara:

1) Memberikan penyuluhan gangguan jiwa tentang: pengertian, penyebab,

tanda dan gejala, dan akibat dari gangguan jiwa.

2) Mendeteksi pasien gangguan jiwa melalui pengkajian.

3) Menjelaskan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.

4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga.

5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.

6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.

b. Upaya Petugas Kesehatan di Pelayanan Kesehatan dalam Membantu Keluarga

Mengenal Gangguan Jiwa. Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan adalah

perawat dan dokter Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan swasta yang memiliki

fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, serta Rumah Sakit Jiwa, yang telah dilatih

(27)

mengenal masalah, dilakukan tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dengan

cara:

1) Menginformasikan tentang gangguan jiwa: pengertian, penyebab, tanda dan

gejala, dan akibat dari gangguan jiwa, melalui informasi langsung pada

pengunjung, pembagian leaflet, pemasanganan poster.

2) Mendeteksi gangguan jiwa melalui pengkajian terhadap pasien yang

berkunjung ke Puskesmas, RS Umum dan swasta yang memiliki fasilitas

pelayanan kesehatan jiwa. Misalnya tenaga kesehatan mendeteksi pasien

yang bicara atau senyum-senyum sendiri, atau tanda dan gejala gangguan

jiwa lainnya, saat pasien sedang menunggu giliran panggilan untuk

pemeriksaan.

3) Menjelaskan kondisi gangguan jiwa yang dialami oleh pasien.

4) Menjelaskan masalah dan beban yang dapat dialami keluarga.

5) Mengidentifikasi masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.

6) Menjelaskan masalah dan beban yang dialami oleh keluarga.

c. Keluarga Menetapkan Pelayanan Kesehatan Jiwa yang Akan Digunakan. Upaya

pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk mampu menetapkan

pelayanan kesehatan jiwa yang akan digunakan untuk merawat anggota yang

mengalami gangguan jiwa dan merawat dirinya sendiri (anggota keluarga yang

(28)

1) Mendiskusikan dan membantu keluarga untuk dapat menetapkan pelayanan

kesehatan jiwa untuk membantu proses penyembuhan pasien dan mengatasi

masalah serta beban keluarga.

2) Memotivasi keluarga untuk tetap menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan

jiwa untuk penyembuhan pasien dan mengatasi masalah serta beban keluarga.

d. Keluarga Merawat Pasien (Anggota Keluarga yang Menjadi Care Giver)

Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk merawat diri sendiri

diperlukan agar keluarga tetap dapat memberikan perawatan terhadap anggota

keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tenaga kesehatan di masyarakat dan di

pelayanan kesehatan dapat membantu keluarga mengatasi masalah dan

mengurangi beban yang dialami dengan cara memberikan pendidikan kesehatan

untuk mengatasi masalah dan beban yang dirasakan keluarga, yaitu dengan cara:

memberikan psikoedukasi keluarga dan melatih manajemen stres.

e. Keluarga Memodifikasi Lingkungan yang Mendukung Penyembuhan Pasien

Gangguan Jiwa. Upaya pemberdayaan keluarga pasien gangguan jiwa untuk

mampu memodifikasi lingkungan, dilakukan oleh tenaga kesehatan di masyarakat

dan pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pengetahuan tentang cara

menciptakan kondisi suasana lingkungan (fisik dan non fisik) yang dapat

mendukung penyembuhan, mencegah kekambuhan, dan kepatuhan minum obat.

f. Keluarga Menggunakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa. Upaya tenaga

kesehatan dalam memfasilitasi keluarga pasien gangguan jiwa menggunakan

(29)

1) Menginformasikan pada keluarga tentang kondisi-kondisi pasien yang

membutuhkan perawatan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.

2) Menginformasikan tentang pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia untuk

mengatasi masalah keluarga.

3) Menginformasikan keberadaan lintas sektor yang dapat digunakan untuk

proses penyembuhan pasien.

4) Memotivasi keluarga menggunakan lintas sektor untuk proses penyembuhan

pasien.

5) Menginformasikan tentang jejaring dukungan keluarga yang dapat digunakan

untuk proses penyembuhan pasien.

6) Memotivasi keluarga untuk terlibat dalam jejaring dukungan keluarga.

2.3.4Kemampuan Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa

Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan

merupakan komponen dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan

sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok

atau orang orang disekitar pasien termasuk kader (Notoatmodjo, 2012). Keluarga

sebagai care giver bagi pasien harus memiliki kemampuan-kemampuan tentang cara merawat pasien harga diri rendah kronik.

Kemampuan yang harus dimiliki keluarga terdiri dari kemampuan memahami

dan mengerti tentang cara meningkatkan kemampuan positif dan kemampuan

memberikan bantuan dalam meningkatkan kemampuan positif. Kader kesehatan jiwa

(30)

diri. Kemampuan yang harus dimiliki kader adalah kemampuan dalam memberikan

dukungan, dorongan dan motivasi melakukan kegiatan positif, memberikan

reinforcement positif atas keberhasilan pasien melakukan kegiatan positif dan merujuk pasien bila ada penurunan kemampuan (Keliat, dkk, 2011).

Keluarga penderita gangguan jiwa perlu dimotivasi untuk menghadapi

keadaan secara realita, bahwa penderita gangguan jiwa membutuhkan dorongan agar

dapat berfungsi secara optimal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Peran serta

masyarakat melalui upaya promotif kesehatan jiwa sangat penting untuk mengurangi

stigma terhadap gangguan jiwa, tanpa peran serta masyarakat maka upaya kesehatan

jiwa tidak akan mencapai hasil seperti yang diinginkan. Misal perlu dijalin kerjasama

dengan pesantren, baik promosi dan prevensi maupun terapi gangguan jiwa. Hal ini

sangat penting karena sampai saat ini pesantren masih merupakan institusi yang

dipercaya oleh masyarakat dan di

Dan hal yang paling penting adalah perubahan paradigma masyarakat agar tidak

membiarkan kelompok resiko terkena gangguan jiwa ini tanpa perawatan.

Orang yang mengalami gangguan jiwa memerlukan perhatian dan pengertian

yang lebih, kasih sayang dan perhatian serta pengertian yang sungguh-sungguh

merupakan kunci utama dalam merawat pasien gangguan jiwa. Pada aspek yang lain,

keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus diberi penjelasan untuk dapat

menerima kondisi pasien

(31)

Keluarga sebagai orang terdekat dengan klien merupakan sistem pendukung

utama dalam memberikan pelayanan langsung pada saat klien berada dirumah. Oleh

karena itu keluarga memiliki peran penting didalam upaya pencegahan kekambuhan

penyakit pada klien jiwa. Melihat fenomena diatas, maka keluarga perlu mempunyai

pemahaman mengenai cara perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perawat dapat melaksanakan

penyuluhan guna memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga.

Dalam pelayanan kesehatan jiwa modern, petugas yang melakukan perawatan

dan pengobatan memiliki tiga kewajiban terhadap pasien, yaitu (1) kewajiban

memberikan perawatan dan pengobatan yang baik dan bermartabat untuk mencapai

hasil sebaik mungkin dalam upaya mengurangi atau menghilangkan gejala,

mengembalikan fungsi dan kemampuan yang dimiliki pasien sebelumnya, atau

sebagai tindakan rehabilitasi; (2) petugas memiliki kewajiban untuk membentuk dan

mempertahankan pengobatan dan perawatan yang komprehensif kepada semua pasien

yang membutuhkan; dan (3) kewajiban memperbaiki pengetahuan, baik tentang

diagnostik maupun perawatan, dan memberikan pasien sebuah perawatan dan

pengobatan sesuai kebutuhan, fleksibel sesuai dengan metode yang efektif (Aiyub,

2012).

Orang yang bekerja dengan pasien gangguan jiwa harus memiliki rencana

tindakan yang bagus, karena tujuan utama pelayanan kesehatan jiwa adalah

menstimulasi perawatan pasien secara mandiri, penuh dukungan, dan membangun

(32)

kehidupannya, meningkatkan kemandirian, rasa memiliki, dan memperkuat

kemampuan untuk mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Hasil yang diharapkan

dari tindakan perawatan adalah pasien memiliki kemampuan mengatasi stres dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian petugas harus berfungsi sebagai motivator

bagi pasien dalam mengembangkan kepribadian mereka (Aiyub, 2012).

2.3.5Komponen Psikoedukasi dalam Perawatan Gangguan Jiwa

Psikoeduksi dikembangkan oleh Mottaghipour dan Bickerton pada tahun 2005

ahli kesehatan mental orang dewasa bekerjasama dengan Australiaan National

Standards for Mental Health Services, berupa kerangka kebutuhan pelayanan

keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental yang disebut Pyramid of

Family Care.

Menurut Mottaghipour dan Bickerton (2005), psikoedukasi adalah merupakan

suatu tindakan yang diberikan kepada individu dan keluarga untuk memperkuat

strategi koping atau suatu cara khusus dalam menangani kesulitan perubahan mental.

Psikoedukasi dapat dilaksanakan diberbagai tempat pada berbagai kelompok atau

rumah tangga. Tindakan psikoedukasi memiliki media berupa catatan seperti poster,

booklet, leaflet, vidio, dan beberapa eksplorasi yang diperlukan. Proses pemberian

psikoedukasi sangat diperlukan kehadiran keluarga sebagai kunci keberhasilan

intervensi. Perawat dapat membangun hubungan saling percaya agar dapat

melakukan pengkajian yang tepat dan memberikan pengertian terhadap keluarga

bagaimana psikoedukasi memberikan keuntungan pada mereka, dapat mengatasi dan

(33)

Psikoedukasi adalah suatu tindakan yang diberikan untuk memperbaiki atau

meningkatkan respons positif sesuai yang diharapkan yang difokuskan pada

mempertahankan keutuhan psikososial (self concept needs), perubahan fungsi atau peran dan ketergantungan atau kebutuhan interaksi. Psikoedukasi dapat diberikan

melalui pendidikan kesehatan dengan metode atau cara eksplorasi, asesmen, diskusi,

bermain peran dan demonstrasi.

Menurut Albin (2001), pemberian psikoedukasi mengenai

perubahan-perubahan yang dialami selama hidup dan bersikap terbuka dengan orang lain, serta

penggunaan koping yang efektif dapat membantu untuk mengurangi kecemasan,

membuat perasaan menjadi lebih baik dan dapat membantu memecahkan masalah

yang dihadapi, mengurangi depresi dan menumbuhkan rasa percaya diri.

Menurut Bastable (2002), pendidikan keluarga dalam bentuk psikoedukasi

merupakan pendidikan atau pelatihan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa

yang akan membantu orang tersebut dalam proses pengobatan dan rehabilitasi.

Program psikoedukasi keluarga diimplementasikan dengan pendekatan secara

terstruktur dan eksperiantial. Program pendidikan dianggap berhasil apabila

pengetahuan keluarga meningkat secara signifikan.

Jewell et al (2009) menyatakan bahwa psikoedukasi yang mampu memenuhi

kebutuhan anggota keluarga menunjukkan hasil yang konsisten terhadap peningkatan

pemulihan penderita. Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah

komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan informasi

(34)

menyediakan pelatihan tentang komunikasi, penyelesaian konflik, pemecahan

masalah, asertif, manajemen perilaku dan manajemen stres; komponen emosional,

yaitu memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan disertai dukungan

emosional; serta komponen sosial, yaitu peningkatan penggunaan jejaring formal dan

non formal.

Menurut Jewell et al (2009) serta Stuart dan Laraia (2005) upaya mendukung

keberhasilan psikoedukasi keluarga yang mengalami gangguan jiwa perlu didesain

dengan komponen-komponen sebagai berikut :

a. Komponen Didaktik

Komponen didaktik ini merupakan metode memberikan informasi dengan

cara yang tidak menakutkan. Lama waktu penyampaian informasi ini disesuaikan

dengan kemampuan penerima, metode pengajaran dilakukan secara bervariasi untuk

memperkuat dan mempertahankan minat peserta, penjelasan diberikan menggunakan

bahasa yang sederhana. Peserta penyuluhan diberikan waktu istirahat sebagai

kesempatan untuk dapat digunakan mempraktekkan apa yang telah diinformasikan.

b. Komponen Keterampilan

Komponen keterampilan merupakan metode yang dilakukan dengan

pendekatan behavioural. Komponen ini menekankan pada keterampilan melalui suatu

proses belajar dengan 4 tahap, yaitu : modeling keterampilan oleh para terapis atau

tenaga penyuluh, permainan peran dan mempraktekkan keterampilan, para peserta

(35)

pasien gangguan jiwa, para penyuluh mendapatkan umpan balik tenang keberhasilan

dalam mempelajari keterampilan (Robert dan Greene, 2008).

c. Komponen Emosi

Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi

keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu

menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003)

mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari

3 aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya

family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi

kebutuhan otonomi individu.

Hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan

mengontrol emosi dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan

jiwa : (1) membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita

gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota

keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. (2) pendekatan secara spiritual

membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa. (3) mencari bantuan

dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi

yang benar tentang gangguan jiwa. (4) komunikasi sangat penting untuk membangun

kepercayaan antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik

(36)

perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan mengerti bahwa kondisi yang

mereka alami membahayakan apabila penderita gangguan jiwa mempercayai untuk

mengungkapkan perasaannya.

d. Komponen Proses Keluarga

Komponen proses keluarga merupakan i

Kontak dengan klien dan keluarga dalam keperawatan jiwa menjadi sangat

penting, karena intervensi dan implementasi asuhan keperawatannya memfokuskan

secara langsung kepada klien dan keluarga, hal tersebut menjadi sangat penting

terutama untuk keluarga intensitas pemberian pendidikan kesehatan melalui

psikoedukasi keluarga mempunyai peranan penting untuk dilaksanakan.

ntervensi selanjutnya adalah terapi

psikoedukasi kepada keluarga klien dan hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan

meminimkan tingkat stressor yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Intervensi ini dapat dikatakan

berhasil karena keluarga sangat kooperatif terhadap pelaksanaan terapi dan keluarga klien mempunyai

motivasi yang tinggi untuk mendukung kesembuhan klien. Intervensi pertama yang dilakukan oleh terapi ini

hasilnya keluarga dapat memahami permasalahan klien dan meminimkan tingkat stresor yang dapat

mengakibatkan kekambuhan.

Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat menyebabkan

stres pada individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres seseorang,

yaitu: (1) sifat menerima keadaan; (2) pengalaman dalam mengatasi stres;

(3) karakteristik individu; (4) persepsi tentang stres; (5) strategi koping; dan

(6) dukungan sosial. Koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan

sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Koping merupakan beberapa respon

(37)

yaitu: (1) fokus masalah; (2) pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan

(4) pengaturan diri.

Koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk

mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses koping,

individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada lingkungannya;

(2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung lingkungan, serta

kemampuan untuk mengorganisasikan elemen-elemen tersebut; dan (3) menggunakan

strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul dalam

situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor penyebab stres, seseorang

menggunakan strategi koping untuk mengurangi tekanan yang timbul. Untuk

menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan

proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi

keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan

keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping

keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai

fungsi-fungsi keluarganya secara optimal.

e. Komponen Sosial

Dukungan sosial sangat di butuhkan oleh keluarga dalam merawat anggota

keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, dukungan yang di terima keluarga

berupa perhatian bantuan yang di terima dari luar, informasi yang di terima dari luar

keluarga, bantuan financial yang diterima dari luar keluarga dan bantuan keagamaan

(38)

Dukungan sosial yang meliputi jaringan kerja spontan dan informal,

dukungan-dukungan terorganisir non tenaga kesehatan dan dukungan terorganisir dari

tenaga kesehatan . Bentuk dukungan sosial yang diberikan adalah dukungan

pemeliharaan dan emosi bagi anggota keluarga. Menurut Magliano (2008), tingkat

beban sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya dukungan sosial yang diterima oleh

caregiver. Dukungan sosial dapat membantu keluarga mengembangkan strategi koping yang efektif dan menurunkan stress yang dirasakan.

Dukungan sosial yang di terima keluarga dalam merawat anggota keluarganya

dengan halusinasi merupakan akumulasi dari dukungan-dukungan yang di peroleh

dari luar keluarganya, di susun berdasarkan kategori-kategori sebagai berikut

dukungan dalam bentuk motivasi, informasi yang di peroleh dari luar keluarga,

bantuan materi dan bantuan dalam bentuk spiritual yang berasal dari luar keluarga.

Bantuan keagamaan dari masyarakat, keyakinan terhadap Tuhan dan berdoa

didefinisikan oleh keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga mengatasi

stressor yang berkaitan dengan kesehatan, selain itu dukungan spiritual juga

membantu keluarga mentoleransi adanya ketegangan yang kronis dan lama dalam

keluarga (Friedman, 1998).

Berbagai program menggunakan bermacam teknik untuk menerapkan berbagai strategi di atas.

Dibandingkan dengan berbagai terapi standar (biasa hanya pemberian obat), terapi keluarga ditambah

pemberian obat umumnya menurunkan tingkat kekambuhan dalam periode satu hingga dua tahun. Temuan

positif ini diperoleh terutama dalam berbagai studi dimana penanganan berlangsung sekurang-kurangnya

sembilan bulan (Davison, Neale, & Kring, 2006)

(39)

2.4.1 Definisi Keluarga

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan

sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial

yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Sedangkan dalam

dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh

adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu

dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib,

2008).

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya

dengan seseorang. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk

homoestatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya

dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota kelurganya dari

gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional anggota keluarganya.

Usaha kesehatan mental sebaiknya dan seharusnya dimulai dari keluarga. Karena itu

perhatian utama dalam kesehatan mental adalah menggarap keluarga agar dapat

memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan

kesehatan mental (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 ).

Sebagai bagian dari tugasnya untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya,

keluarga perlu menyusun dan menjalankan aktivitas-aktivitas pemeliharaan kesehatan

berdasarkan atas apakah anggota keluarga yakin menjadi sehat dan mencari informasi

mengenai kesehatan yang benar yang dapat bersumber dari petugas kesehatan

(40)

2.4.2 Fungsi Keluarga

Menurut Suprajitno (2004), ada beberapa fungsi keluarga yang dapat

dijalankan keluarga : (a) fungsi pendidikan, dalam hal ini tugas keluarga adalah

mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa

depan anak bila kelak dewasa nanti. (b) fungsi sosialisasi anak, tugas keluarga dalam

menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi

anggota masyarakat yang baik. (c) fungsi perlindungan, keluarga melindungi anak

dan anggota keluarga dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota

keluarga merasa terlindungi dan merasa aman. (d) fungsi perasaan, keluarga menjaga

secara instuitif, merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota lainya dalam

berkomunikasi dan berinteraksi satu dengan lainya sehingga ada saling pengertian

satu sama lain. (f) fungsi religius, keluarga memperkenalkan dan mengajak anggota

keluarga dalam kehidupan beragama untuk menenamkan keyakinan bahwa ada

kekuatan lainya yang mengatur kehidupan ini dan akan ada kehidupan lain setelah

dunia ini. (g) fungsi ekonomis, keluarga dalam hal ini mencari sumber-sumber

kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga lainnya. Dan (h) fungsi biologis,

keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.

2.4.3 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Untuk dapat mencapai tujuan kesehatan keluarga, keluarga harus memiliki

tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara. Tugas

(41)

1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya. Keluarga

mengenal perkembangan emosional dari anggota keluarganya dan tingkah laku

ataupun aktivitas yang normal atau tidak untuk dilakukan. Hal ini erat

hubungannya dengan pengetahuan keluarga akan gejala-gejala gangguan jiwa.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Segera setelah

keluarga mengetahui bahwa ada kondisi anggota keluarag tidak sesuai dengan

normal maka sebaiknya keluarga memutuskan dengan cepat tindakan yang harus

dilakukan untuk keseimbangan anggota keluarganya dengan segera

membawanya ke petugas kesehatan.

3) Memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak

dapat membantu diri sendiri karena cacat fisik ataupun mental. Karena penderita

gangguan jiwa tidak bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan aktivitas hidupnya.

4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga. Keluarga membuat iklim yang

kondusif bagi penderita gangguan jiwa di lingkungan rumah agar merasa nyaman

dan merasa tidak diikucilkan dari keluarga.

5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga

kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas

kesehtan yang ada. Untuk kesembuhan penderita gangguan jiwa, keluarga harus

memiliki banyak informasi mengenai kesehtan jiwa anggota keluarganya dari

lembaga petugas kesehatan yang ada.

(42)

Rumah sakit jiwa seringkali mengalami kesulitan memulangkan klien ke

pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh

kembali, selain itu keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan

berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan

perawatan pasien mantan gangguan jiwa. Pasien dengan perawatan pasien dengan

gangguan jiwa di rumah sakit jiwa memang memerlukan waktu yang lama, terutama

pasien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurangnya keterlibatan

keluarga untuk ikut serta cara perawatannya sehari-hari, sehingga keluarga tidak siap

dan tidak dapat beradaptasi dengan pasien lagi.

Dalam proses perencanaan kepulangan klien gangguan jiwa dari RSJ di awali

dengan pertemuan yang pada proses keperawatan disebut dengan proses pangkajian.

Proses pengkajian ini penting dilakukan untuk memperoleh data dari pasien dan

keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien dan keluarga

berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di rumah. Biasanya

yang dikaji adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kesiapan mereka

menerima kepulangan pasien gangguan jiwa dan faktor-faktor tersebutlah yang palng

banyak menjadi alasan keluarga menolak kehadiran klien gangguan jiwa

ditengah-tengah keluarga mereka (Francesca, 2010).

Adapun beberapa faktor yang perlu dikaji tentang kesipan menerima pasien

gangguan jiwa adalah sebagai berikut :

(43)

Sebagai sebuah keluarga, seharusnya mengetahui tentang peran dan tanggung

jawab dalam proses keperawatan yang direncanakan untuk perawatan klien

dirumah. Faktor ini adalah salah satu faktor yang sering kali diabaikan oleh pihak

keluarga padahal peran keluarga dalam proses penyembuhan merupakan peran

yang paling penting (Depkes RI, 2005).

Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi dirinya dengan berbagai

pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan mereka dalam

keluarga secara baik dan memadai, bersifat teraupetik dan membawa anggota

keluarga tersebut kepada kesembuhan yang seterusnya. Perlakuan-perlakuan

keluarga terhadap salah satu anggota keluarga yang mengidap perilaku kekerasan,

apabila tidak disertai pengetahuan dan sikap yang benar dapat mengakibatkan

kekambuhan kembali.(Depkes RI, 2005 ).

Penelitian lain juga menunjukkan perlunya terapi pada keluarga diberikan untuk

kesiapan keluarga dalam menerima kepulangan pasien jiwa dengan membekali

mereka pengetahuan-pengetahuan tentang perawatan pasien perilaku kekerasan

untuk mendukung kesembuhan penderita (Huda, 2012).

Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu menegetahui dan

menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menetukan

bagaimana sikap yang sebaiknya diambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak

diinginkan. Banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita boleh berhenti

minum obat (berobat) apabila gejal-gejala sudah menghilang / berkurang, juga

(44)

medikasi (obat-obatan) untuk dapat sembuh saat proses pemulihannya dirumah.

Hal ini jelas keliru, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian

obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialiosasi

dan pencegahan kekambuhan (Huda, 2012).

b. Sruktur keluarga

Struktur keluarga meliputi pola dan proses komunukasi yang memungkinkan

anggota keluarga untuk mengekspresikan marahnya, sedih, gembira, komunikasi

yang terbuka, komunikasi yang dapat menyelesaikan konflik keluarga, suasana

emosi yang hangat, saling percaya, menghargai, memperhatikan dan menerima.

Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga, nilai-nilai yang dimilki dan dianut

keluarga yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, norma sosial yang dianut

oleh masyarakat turut mempengaruhi kesiapan keluarga (Depkes RI, 2005).

Menerima kenyataan adalah kunci pertama proses penyembuahan atau

pengendalian perilaku kekerasan. Keluarga harus bersikap menerima, tetap

berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan kasar, berantakan

atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan

cenderung bersikap kasar. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik. Tetapi

yang kita temukan pada kenyataannya justru keluarga menjadi emosional, kritis,

bahkan bermusuhan, jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan ketika berhadapan

dengan penderita memicu kekambuhan (Depkes RI, 2005).

(45)

Keluarga sebagai sebuah kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah atau

memperbaiki masalah kesehatan yang dalam hal ini adalah gangguan jiwa yang

ada dalam kelompoknya sendiri, oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang

terutama sebagai pendukung bagi klien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Maka

dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor yang penting (Depkes RI,

2005). Keluarga pasien diharapkan memberikan perhatian khusus kepada

penderita. Biasanya keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita

gangguan mental menyembungikannya sehingga tidak terlihat oleh tamu-tamu

yang datang ke rumah mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena penderita

akan merasa dikucilkan. Yang harus dilakukan adalah menyapa penderita setiap

hari dan memberikan perhatian agar mereka tidak disingkirkan (Depkes RI, 2005).

Kesedian keluarga untuk tetap merawat dan tetap mengakuinya sebagai bagian

dari orang yang sisanyangi sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai

sebagai manusia layaknya. Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu

obat penyembuhan yang sangat berarti bagi penderita. Dengan dibentuknya

kelompok keluarga gangguan jiwa dimasyarakat akan memungkin pasien dan

keluarga gangguan jiwa di masyarakat akan memungkinkan klien dan keluarga

mengadakan diskusi dan tukar pengalaman dalam mengatasi gejala yang timbul

pada pasien gangguan jiwa. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan

keberadaan penderita gangguan jiwa sehingga hal ini turut mempengaruhi sikap

keluarga terhadap pasin bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang

(46)

sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung

kesembuhan pasien (Depkes RI, 2005).

Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang

memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat

kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling parah seperti “gila”,

sehingga penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi

ditelantarkan oleh keluarganya. Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis

untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan

jiwa. Karena pengucilan dan diskriminasi justru memperburuk kondisi penderita

itu sendiri. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti

rehabilitasi atau di rumah sakit jiwa, apalagi dijalanan. Tempat terbaik bagi

mereka adalah berada di tengah-tengah keluarganya, diantaranya orang-orang

yang dicintainya. Yang mereka btuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan,

cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus dari keluarga dan

orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses penyembuhan kondisi jiwanya.

Sudah seharusnya keluarga dapat mengurangi persepsi dan diskriminasi terhadap

penderita gangguan jiwa dalam keluarga dan memberikan dukungan sosial

kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial,

dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus berusaha. Terapi sosial ini akan

sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam menghadapi peristiwa-peristiwa

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengelola informasi dari lingkungan dan anggota organisasi, akan lebih baik bila terdapat unit khusus yang melakukan proses pengorganisasian tersebut,

Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang hendaknya lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat dengan memberikan hukuman yang

Sejalan dengan Kurikulum Nasional yang dirancang untuk menyongsong model pembelajaran Abad ke-21 yang di dalamnya menekankan pembelajaran aktif yang mendorong siswa untuk mencari

Berangkat dari fenomena yang telah dikemukakan, dan belum ada penelitian yang mengkaji tentang pengaruh pemberian kredit simpan pinjam dan perputaran likuiditas

pergerakan wanita juga tidak banyak yang terekspose keluar termasuk pandangan keagamaan yang bersifat konsep tasawuf dalam pandangan wanita, islam datang

[r]

Dihasilkan sebuah rancangan dan cetak biru ( blue print ) sistem pengukuran kinerja (SPK) Jurusan Teknik Mesin yang dapat memberikan informasi kepada stakeholder dan pengambil

Jika active voice dalam past future perfect tense, maka ‘be’ passive voice-nya adalah been yang diletakkan setelah auxiliary would have, sehingga menjadi ‘would have